Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena dunia yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena dunia yang nyaris tidak
dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional.
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya.
Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya
blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC.
Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya
integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.
Perdagangan
dengan
WTO
dan
kerjasamanya
ekonomi
regional
berarti
mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan
memfungsikan sistim hukum. Bagaimanapun juga karakteristik dan hambatannya,
globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum.
Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar
bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur. 1
Sejarah perdagangan bebas internasional menunjukkan bahwa perdagangan
internasional merupakan perdagangan yang fokus dalam pengembangan pasar
1
H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa: Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, Dan Kepentingan Negara Berkembang,
(Jakarta : UI Press, 2000), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
terbuka. 2 Disadari bahwa perdagangan bebas akan membawa manfaat 3 yang lebih
besar maka tuntutan untuk meliberalisasi perdagangan dunia semakin marak
dilakukan oleh sejumlah negara dalam berbagai forum perundingan perdagangan.
Pihak yang mendukung globalisasi perdagangan berpendapat bahwa globalisasi dapat
menjadi
motor
penggerak
pertumbuhan
ekonomi
yang
selanjutnya
akan
meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Globalisasi perdagangan juga
pada dasarnya memberikan peluang bagi semua negara memperoleh manfaat berupa
akses pasar yang semakin terbuka guna meningkatkan nilai dan volume perdagangan
internasional, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat. 4
Upaya untuk meliberalisasikan perdagangan dunia yang lebih konseptual dan
formal baru mendapat perhatian yang serius setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-II
dengan pembentukan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun
1947 yang diikuti dengan berbagai putaran perundingan dalam kerangka GATT dan
putaran perundingan Uruguay Round yang berhasil membentuk World Trade
Organization (WTO). Pendirian WTO ini dimaksudkan antara lain untuk membangun
2
Sejarah Perdagangan Bebas, http://www.wikipedia.com diakses pada 02 April 2009.
Terdapat lima manfaat dibukanya liberalisasi perdangan. Pertama, akses pasar lebih luas
sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan
pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling menunjang
sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, iklim usaha menjadi lebih kompetitif sehingga
mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi, bukan bagaiman mengharapkan mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga,
arus perdangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdangan yang lebih bebas memberikan signal
harga yang “benar”sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih
bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat
berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang
mengatur persaingan usaha yang sehat dan melarang praktek monopoli.
4
Harum Setiawati dan Gavriyuni Amier, Kerjasama Perdagangan Multilateral, (Jakarta :
Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 143.
3
Universitas Sumatera Utara
sistem perdagangan multilateral yang terintegrasi, viable dan bertahan lama. 5
Indonesia sendiri telah meratifikasi Agreement Establishing WTO beserta ketentuanketentuannya melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia). 6 Pada dasarnya pertimbangan keuntungan ekonomi
dari penurunan tarif dan perluasan akses pasar merupakan pertimbangan utama bagi
Indonesia menandatangani hasil kesepakan Uruguay Round. Sistem perdagangan
bebas dengan perlindungan tarif dalam kalkulasi ekonomis akan menguntungkan bagi
Indonesia. Negara-negara industri maju berdasarkan kesepakatan GATT harus
menurunkan tingkat tarif mereka pada kisaran 0-5 %, sedangkan Indonesia di sektor
industri tidak perlu melakukan hal yang demikian. Bahwa Indonesia mendapatkan
komitmen apabila diperlukan untuk meningkatkan lagi bea masuk sampai 40 %.
Padahal dalam sektor industri, tarif yang dikenakan Indonesia jauh lebih rendah dari
itu. Hal ini berarti bahwa Indonesia tidak perlu menurunkan proteksi tarif terhadap
5
Susanti Aryaji, Latar Belakang Kerjasama Perdagangan Internasional, ( Jakarta :
Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 1. Bandingkan dengan tujuan WTO berdasarkan Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yaitu untuk membentuk suatu sistem perdagangan
multilateral yang terpadu, lebih bergairah dan bertahan lama meliputi Persetujuan Umum tentang Tarif
dan Perdagangan, hasil-hasil dari upaya liberalisasi perdagangan sebelumnya, dan semua hasil Putaran
Uruguay dari Perundingan Perdagangan Multilateral, Organisasi Perdagangan Dunia memberikan
kerangka kelembagaan umum bagi pelaksanaan hubungan perdagangan diantara anggota-anggotanya
dalam hal-hal yang berhubungan dengan persetujuanpersetujuan dan instrumen-instrumen hukum.
6
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Peraturan Tentang Jasa di Bidang
Keuangan (Bank dan Non Bank) Pasca GATT-GATT’s/WTO Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan
Perdagangan di Indonesia, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
industri dalam negeri, atau dengan kata lain proteksi tarif sektor industri tetap
berlangsung sebagaimana adanya saat ini. 7
GATT selalu mengupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia. Prinsip
suatu sistem perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan
yang disepakati bersama ini cukup beralasan. Latar belakang prinsip ini tidak terlepas
dari suatu konsep yang disebut dengan keunggulan komperatif (comparative
advantage) seperti dikemukakan David Ricardo. Dengan kata lain, kebijakan
perdagangan bebas yang melancarkan arus barang, jasa, dan produksi mau tidak mau
harus mengandalkan produk yang mutu dan harganya bersaing. 8 Pada dasarnya
tujuan pendirian GATT adalah menciptakan sistem perdagangan liberal dan terbuka
sehingga dunia bisnis dari masing-masing negara anggota dapat bersaing secara adil
(fair) dan tanpa distorsi dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan
perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan
kesejahteraan manusia. 9 GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap
industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui
upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures). 10 Hal lain yang
7
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Studi Kesiapan
Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah
Pascasarjana, 2008), hlm. 304.
8
Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan
Internasional, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 12.
9
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Era Globalisasi Hukum dan Ekonomi,,
(Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 42.
10
Non-Tariff Measures (Tindakan Non-Tarif) adalah bertujuan untuk mengurangi atau
menghapus berbagai hambatan perdagangan yang bersifat non-tarif, dengan tetap memperhatikan
komitmen untuk mengurangi sebanyak mungkin hambatan perdagangan sejenis (Standstill and
Rollback Principles).
Universitas Sumatera Utara
menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif (quantitative
restriction) 11 yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. 12
GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk
melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satusatunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif
diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat
tarif meninggi (tariffication). Pada periode 1950-1973 pengurangan tarif berlangsung
secara positif. Pengurangan ini memacu tingkat produksi dan perdagangan dunia yang
pada mulanya tersendat-sendat mulai bergerak cepat. Kompetisi dan efesiensi
produksi terjadi yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat dunia dengan
banyaknya pilihan barang yang murah dan berkualitas. GATT mengharapkan tarif
menjadi satu-satunya alat yang digunakan oleh negara-negara anggotanya dalam
melindungi industri dalam negerinya dari persaingan dengan industri luar negeri
karena beberapa alasan:
a.
Tarif adalah mekanisme yang “kelihatan”, langsung mempengaruhi harga
produk impor yang dipasarkan di pasar domestik;
b.
Tarif tidak memerlukan anggaran dari negara, sehingga intervensi negara
dalam perekonomian bisa diminimalisir, sebuah dogma kaum liberal, dan
anggaran negara bisa disalurkan pada bidang lain yang lebih diperlukan.
11
Restriksi Kuantitatif (quantitative restriction) misalnya adalah penetapan kuota impor atau
ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk – produk
impor atau ekspor.
12
Huala Adolf dan A. Chandrawulan, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
c.
Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara
ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh
negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi
yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan
menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi,
sampai pada taraf tertentu. 13
Dalam perdagangan internasional, terdapat berbagai mekanisme yang
digunakan oleh suatu negara untuk melakukan pembatasan atas impor mereka. Selain
menerapkan kebijakan tarif, mekanisme yang digunakan untuk membatasi impor
adalah kebijakan Non-Tariff Barriers (NTBs). Selain untuk membatasi impor,
penerapan kebijakan tarif dan NTBs dimaksud pula untuk melindungi produk dalam
negeri dari kompetisi asing. Berbagai jenis Non-Tariff Barriers tersebut antara lain
Voluntary Export Restraint (VER) 14 , Certificate of Origin 15 , Domestic Content
Requirment 16 , Impor Licenses 17 , Import State Trading Enterprises (ISTEs) 18 ,
13
Mumu Muhajir, “Non Tarif Barriers Dalam Perdagangan Internasional”,
http://www.kataloghukum.com diakses pada 04 April 2009
14
Voluntary Export Restraint (VER). Kebijakan NTBs ini dilakukan dalam bentuk
kesepakatan di antara negara-negara pengekspor untuk membatasi pengapalan komoditas mereka ke
negara pengimpor. Dalam beberapa kasus, suatu negara bersedia menerapkan kebijakan ini karena
mereka dapat memperoleh keuntungan melalui harga yang lebih tinggi atas produk ekspor mereka di
negara pengimpor.
15
Certificate of Origin (CoO). Sertifikasi ini merupakan tipe baru NTBs yang dilakukan
dalam bentuk memberikan kepastian jaminan atas reputasi dan kualitas suatu produk. CoO merupakan
salah satu bentuk dari subsidi biaya untuk memodifikasi kualitas investasi suatu perusahaan dan
kuantitas untuk produk yang ditawarkan.
16
Domestic Content Requirement, Kebijakan NTBs ini dilakukan melalui penggunaan
regulasi kandungan domestik yang bertujuan membatasi impor dan mendorong perkembangan industri
domestik. Pengaturan kandungan domestik secara khusus dilakukan dengan menerapkan ketentuan
prosentase tertentu dari nilai total suatu produk dapat dijual di pasar dalam negeri. Kebijakan ini
umumnya diterapkan bersamaan dengan kebijakan impor substitusi untuk menggantikan produk impor.
Universitas Sumatera Utara
Technical Barrier to Trade 19 , Exchance Rate Management Policies 20 , Precautionary
Principle and Sanitary Barrier to Trade 21 . Anggota GATTS/WTOS melalui Uruguay
Round dalam kerangka negosiasi GATT/WTO telah menyepakati untuk melakukan
berbagai kebijakan yang diperlukan dalam rangka mengatasi kendala tersebut.
Berbagai upaya tersebut antara lain (i) kebijakan untuk menghapus penggunaan
import quota dan Non-Tariff Barrier (NTBs), (ii) menurunkan tarif secara gradual,
dan (iii) meningkatkan penerapan kuantitas penurunan tarif. 22 Restriksi kuantitatif
terhadap ekspor dan impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota,
17
Impor Licenses. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk NTBs dimana importir suatu
komoditas tertentu diminta memiliki izin untuk dapat melakukan pengapalan atas barang yang akan
diimpor.
18
Import State Trading Enterprises (ISTEs). ISTEs merupakan agen-agen yang dimiliki oleh
pemerintah yang bertindak sebagai importir pembeli tunggal secara penuh atau sebagian atas
komoditas tertentu atau satu set komoditas tertentu di pasar dunia. ISTEs ini biasanya juga bertindak
sebagai monopoli di pasar domestik untuk penjualan komoditas tersebut. Kegiatan ISTEs dapat
membatasi impor dalam berbagai bentuk yaitu : (i) menerapkan tarif impor secara implisit (hidden
tariff) dengan membeli barang impor pada harga pasar dunia dan menawarkan komoditas tersebut
dengan harga yang lebih tinggi di pasar domestik, (ii). Impor yang dilakukan ISTEs dapat
dikategorikan sebagai Kuota impor atau menerapkan peraturan impor yang secara implisit berbiaya
tinggi yang membuat importir lain tidak akan mendapat keuntungan. Problem utama dengan impor
yang dilakukan ISTEs adalah sulitnya untuk memperkirakan dampak operasi mereka terhadap
perdagangan mengingat operasi mereka yang tidak transparan.
19
Technical Barrier to Trade, Kebijakan NTBs ini dilakukan dalam bentuk penerapan
peraturan teknis mengenai packaging, definisi produk, labeling dan lain-lain. Peraturan teknis ini dapat
menjadi penghambat yang efektif terhadap penjualan suatu produk suatu negara ke negara yang
menerapkan kebijakan ini. Peraturan ini menyalahi ketentuan WTO yang menghendaki suatu negara
memperlakukan produk impor dan domestik secara sama dan tidak ada produk dari suatu sumber
diuntunkan atas yang lainnya.
20
Salah satu bentuk NTBs ini diterapkan denagan menggunakan kebijakan nilai tukar untuk
menghambat impor dan pada saat yang sama mendorong ekspor semua komoditas. Selain kebijakan
ini, beberapa Negara juga menargetkan spesifik tipe impor mereka melalui penerapan multiple
exchange rate diman importer diminta membayar nilai tukar yang berbeda untuk mata uang asing
mereka bergantung pada komoditas yang diimpor. Tujuan ini adalah untuk mengurangi masalah
Balance of Payment dan meningkatkan pedapatan pemerintah.
21
Precautionary Principle and Sanitary Barrier to Trade. prinsip Precautionary saat ini
sering ddigunakan atau diusulkan sebagai justifikasi atas pembatasan perdagangan oleh pemerintah
dalam konteks kesehatan dan lingkungan, yang terkadang sering tidak disetai bukti yang ilmiah.
22
Aswin Kootali dan Gunawan Saichu, Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas, (
Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2008), hlm. 64.
Universitas Sumatera Utara
dumping, subsidi dan voluntary export restraints (VER), restriksi penggunaan lisensi
impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada
umumnya dilarang. 23
Adapun prinsip-prinsip dasar perdagangan barang yang diatur dalam GATT
sebagai berikut :
1.
Protection to domestic industry through tariffs. Setiap negara anggota dapat
memproteksi industri dalam negerinya dari pihak asing dalam bentuk tarif.
Sedangkan pembatasan kuantitas (quantitatif restrictions) seperti kuota tidak
diperbolehkan kecuali dalam situasi tertentu.
2.
Binding of tariff. Setiap negara anggota diminta untuk menurunkan dan
menghilangkan bentuk-bentuk proteksi bagi industri dalam negeri degan cara
menurunkan tarif dan menghilangkan hambatan lainnya. Tarif yang telah
diturunkan diwajibkan untuk terus diturunkan dan penurunan tarif tersebut
harus didaftarkan pada GATT sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari
GATT legal system. Penurunan tarif secara rata-rata pada awal berdirinya
WTO turun menjadi :
a.
Negara maju dari 6,3 % menjadi 3,8 %
b.
Negara berkembang dari 15,3 % menjadi 12,3 % dan
c.
Negara transisi ekonomi dari 8,6 % menjadi 6 %
23
Wahyu Pratomo, Teori Kerjasama Perdagangan Internasional, (Jakarta : Elexmedia
Komputindo, 2007), hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
3.
Most Favoured Nation (MFN) Treatment. Dasar dari pelaksanaan prinsip non
diskriminasi ini menghendaki penentuan tarif dan persyaratan perdagangan
lainnya harus diterapkan tanpa diskriminasi pada setiap negara anggota.
4.
National Treatment Rule.
Setiap
negara
anggota
tidak
dibenarkan
mengenakan pajak lebih tinggi terhadap produk impor dibandingkan dengan
pajak untuk produk domestik. 24
Namun ada beberapa pengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nation
(MFN) Treatment ini. Pengecualian tersebut yang antara lain, Pertama, perlakuan
preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada, tetap boleh terus dilaksanakan
namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikkan. Kedua, anggota-anggota
GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi
persyaratan Pasal XXIV 25 tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada
negara anggota lainnya. Ketiga, Preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada
produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara kurang beruntung
(least developed) melalui fasilitas Generalised System of Preferences (sistem
preferensi umum). 26 GATT juga memungkinkan negara-negara untuk memberikan
24
Bismar Nasution, op.cit., hlm. 12.
Kesatuan Pabean, Wilayah Perdagangan Bebas dan persetujuan sementara dalam
pembentukan Kesatuan Pabean dan FTA, harus konsisten dengan Pasal XXIV, dan harus sesuai
dengan paragraph 5,6,7 dan 8 dari Kesepakatan Tentang Penafsiran Pasal XXIV Dari Peraturan Umum
Tarif Dan Perdagangan 1994 (Understanding on The Interpretation of Article XXIV of The General
Agreement on Tariffs And Trade 1994). Kesepakatan Tentang Penafsiran Pasal XXIV Dari Persetujuan
Umum Tentang Tarip dan Perdagangan 1994, Pasal 1 yaitu : kesatuan pabean, wilayah perdagangan
bebas dan persetujuan sementara dalam pembentukan kesatuan pabean dan FTA, harus konsisten
dengan Pasal XXIV.
26
Herry Soetanto, Catatan Mengenai Ketentuan Asal Barang (Rules Of Origin) Dalam
Perdagangan Internasional, (Jakarta : Direktorat Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen
Perdagangan RI), hlm.1. Berakhirnya Putaran Tokyo 1979, negara-negara sepakat dan mengeluarkan
25
Universitas Sumatera Utara
konsesi khusus terhadap negara-negara berkembang tanpa perlu memberikan hal yang
sama untuk seluruh anggota WTO. Hal ini disebut “perlakuan khusus dan berbeda”
(special and diffrential treatment-S&D). 27
Meskipun GATT menganut prinsip Most Favoured Nation (MFN) atau nondiscriminatory, konsep kerjasama perdagangan dalam bentuk Free Trade Area (FTA)
dan Custom Union (CU) diakomodasi dalam perjanjian dan diberikan pengecualian
dalam Pasal 24. 28 Suatu argumen yang mendukung munculnya banyak kerjasama
liberalisasi perdagangan regional adalah bahwa kerjasama tersebut didasari spirit
untuk mewujudkan perdagangan bebas, sama seperti spirit WTO. Spirit yang sama
inilah yang diyakini menjadi pertimbangan WTO untuk mengijinkan negara-negara
anggotanya terlibat dalam Free Trade Area atau pun Custom Union, meski perlakuan
preferential itu sendiri bertentangan dengan non-diskriminasi dalam WTO. Seperti di
ketahui pembentukan Free Trade Area atau Customs Union mencakup langkah
menghilangkan tarif sesama negara anggota akan mempercepat proses liberalisasi
perdagangan dunia. 29
putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar
bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia (‘enabling clause’). Keputusan tersebut
mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku yang permanen dalam sistem
perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara industri untuk
memberikan GSP (Generalized System of Preferences atau sistem preferensi umum) kepada negaranegara sedang berkembang.
27
Herry Soetanto, World Trade Organizatioan (WTO) dan Negara Berkembang, ( Jakarta :
Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007),
hlm.5.
28
Rahmat Dwi Saputra, Kerjasama Perdagangan Regional, ( Jakarta : Elexmedia
Komputindo, 2007), hlm. 163. Kesepakatan Tentang Peraturan Umum Tarif Dan Perdagangan 1994
Pasal XXIV tentang Kesatuan Pabean atau Wilayah Perdagangan Bebas atau persetujuan sementara
dalam rangka pembentukan Kesatuan Pabean atau Wilayah Perdagangan Bebas.
29
Susanti Aryaji, op.cit., hlm. 51.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu yang menjadi pertimbangan suatu negara untuk melakukan Free
Trade Agreement (FTA) adalah kekhawatiran kehilangan pangsa pasar yaitu
kemungkinan beralihnya mitra dagang ke negara lain yang telah melakukan FTA
dengan mitra dagang dagang tersebut. Hal ini dapat terjadi karena anggapan bahwa
daya tarik suatu negara akan meningkat dengan menjadi anggota suatu FTA atau
RTA (Regional Trade Agreement) yang mendorong antara lain terjadinya trade
creation. 30 FTA adalah bentuk perjanjian perdagangan dengan preferensi yang
melakukan diskriminasi terhadap pihak luar perjanjian melalui penerapan tarif dan
hambatan dalam bentuk ketentuan. Untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi
dan perdagangan ASEAN, pada tahun 1992 disepakati permbentukan ASEAN Free
Trade Area (AFTA), pada tahun yang sama saat KTT ke-5 ASEAN di Singapura
tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN
Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade
Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential
Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi
dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan
non-tarif, AFTA diwujudkan dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan
perdagangan, berupa tarif maupun non tarif dalam waktu 15 tahun kedepan terhitung
tanggal 1 Januari 1993 dengan menggunakan skema Common Effective Preferential
Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Skema Common Effective Preferential
30
Heri Ispriyahadi dan Mutiara Sibarani, Kerjasama Perdagangan Bilateral, ( Jakarta :
Elexmedia Kompetindo, 2007), hlm. 209.
Universitas Sumatera Utara
Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk
mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan
pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Tujuan AFTA adalah untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar negara
ASEAN
guna
mencapai
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan
yang
berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat
penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran kawasan. Tujuan strategis AFTA
adalah untuk meningkatkan competitive advantage kawasan sebagai suatu kawasan
unit produksi tunggal (single production unit) dan pasar tunggal (single market).
Pengurangan tarif dan non-tarif negara-negara ASEAN diharapkan akan menciptakan
efisiensi ekonomi yang lebih besar, peningkatan produktifitas dan daya saing. 31
ASEAN terus mengupayakan langkah-langkah untuk mewujudkan ASEAN
sebagai kawasan perdangan bebas melalui pengurangan dan penghapusan hambatan
perdagangan baik tarif maupun non-tarif. Karena dengan cara demikian perdagangan
kawasan ASEAN diharapkan dapat meningkat karena arus barang tidak terhambat.
Pada gilirannya kondisi tersebut akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan basis
produksi yang kompetitif (terutama dalam menarik investasi asing) sekaligus
mewujudkan ASEAN sebagai pasar yang potensial. Skema penurunan dan
pengurangan tarif dalam kerangka AFTA dilakukan melalui instrumen Common
Effective Preferential Tariff (CEPT). Komoditas yang terdapat dalam skema CEPT
dikelompokkan dalam suatu daftar (list) yang terdiri dari Inclusion List (IL),
31
Rahmat Dwi Saputra, op.cit., hlm 181.
Universitas Sumatera Utara
Temporary Exclusion List (TEL), Sensitive/Highly Sensitive List (SL/HSL), dan
General Exception List (GEL). Produk yang akan diliberalisasi dan diberikan atau
menerima konsesi penurunan/penghapusan tarif diletakan dalam IL, sedangkan
produk yang tidak termasuk dalam IL diletakkan dalam TEL, yang disusun dengan
menggunakan HS hingga 8 atau 9 angka. Penggunaan HS hingga 8 atau 9 angka
tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan jumlah kelompok produk yang termasuk
dalam TEL. Pada pertemuan menteri ekonomi ASEAN ke-26 tahun 1994, diputuskan
daftar komoditas dalam TEL harus dikurangi secara bertahap sebesar 20 % setiap
tahunnya selama lima tahun sehingga pada akhirnya kelompok barang yang berada di
TEL dapat masuk dalam IL. 32
Sebagai konsekuensi legal dari keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi
pembentukan WTO, Indonesia harus melaksanakan semua ketentuan dibawah GATT
termasuk persetujuan-persetujuannya. 33
Masalah utama yang menghambat
kelancaran arus barang yang melintasi suatu perbatasan negara adalah diterapkannya
prosedur kepabeanan yang rumit dan berbeda-beda serta diberlakukannya berbagai
macam persyaratan baik impor maupun ekspor. Untuk mengatasi masalah tersebut
Worl Custom Organization (WCO) atau organisasi kepabeanan dunia dimana
Indonesia merupakan salah anggotanya, telah menerapkan salah satu tujuannya, yaitu
menjamin tercapainya tingkat harmonisasi dan keseragaman sistem kepabeanan yang
32
Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN
2015, ( Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2008), hlm. 96.
33
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pengantar Nilai Pabean, ( Jakarta : Pusdiklat
Bea dan Cukai, 2005), hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
memadai dalam rangka memperlancar perdagangan.pencapaian tersebut menjadi
tanggung jawab the permanent technical commitee (PTC). Untuk memperlancar
perdagangan pada tahun 1973 PTC telah menghasilkan the international convention
on the simplication and harmonization of customs prosedures, dikenal dengan nama
Kyoto Convention. Direktorat Jenderal Bea dan cukai melalui Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
Tentang Kepabeanan diharapkan akan mendukung perdagangan bebas. Perubahan
Undang-Undang Kepabeanan tersebut lebih dipengaruhi oleh konvensi dan situasi
perdagangan internasional yang menghendaki keterbukaan dan transparansi dan juga
untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam dunia perdagangan internasional
baik berupa tarif maupun yang bukan tarif. 34
B.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana kedudukan tarif dalam hukum perdagangan internasional menurut
ketentuan-ketentuan WTO dan AFTA ?
2.
Bagaimana
kebijakan
Pemerintahan
Indonesia
sehubungan
dengan
harmonisasi tarif di lingkungan AFTA ?
3.
Bagaimana aturan terkait dengan peran dan kedudukan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai dalam pelaksanaan dan penunjukan tarif bea masuk ?
34
Ali Purwito, Reformasi Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Pengganti
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, ( Jakarta : Graha Ilmu, 2007), hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan tarif dalam kebijakan
perdagangan internasional menurut ketentuan WTO dan AFTA;
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan Pemerintah Indonesia
sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA;
3.
Untuk mengetahui dan menganalisis peran dan kedudukan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai dalam Penetapan dan penunjukan tarif bea masuk;
D.
Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di di bidang
ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perdagangan internasional bagi kalangan
akademisi, untuk mengetahui dinamika perkembangan perdagangan bebas (free
trade) atau liberalisasi perdagangan (trade liberalization), khususnya harmonisasi
tarif bea masuk dalam perdagangan bebas regional.
2.
Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi kalangan praktisi, pemerintah, DPR dan pelaku dalam dunia bisnis
yang melakukan kegiatan di bidang perdagangan internasional khususnya
perdagangan bebas regional antara negara-negara ASEAN.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti dan tenaga
administrasi di Sekretariat Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara bahwa terdapat sejumlah tesis yang menganalisis topik
yang terkait dengan perdagangan internasional dalam konteks multilateral maupun
regional, antara lain :
a.
Penerapan Ketentuan Country of Origin Making Di Bea dan Cukai
Medan, ditulis oleh Supratignya;
b.
Eksistensi dan Harmonisasi Kebijakan Pengamanan Perdagangan
(Safeguard) Indonesia, ditulis oleh Ramziati.
Tetapi penelitian tentang Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Dalam
Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau dari Sudut Kepabeanan
dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang berbeda dengan beberapa
tulisan terdahulu. Oleh sebab itu penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yakni : jujur, rasional, objektif dan terbuka/trasnsparan. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka
atas masukan dan kritikan, serta saran-saran yang bersifat membangun.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam sejarah perdagangan internasional yaitu pada Era Merkantilisme
Thomas Mun dalam bukunya yang berjudul England’s Treasure by Foreign
berpendapat bahwa untuk meningkatkan kekayaan negara, cara yang biasa dilakukan
adalah lewat perdagangan dan karena itu pedoman yang harus dipegang teguh oleh
suatu negara adalah mengusahakan agar nilai ekspor ke luar negeri harus lebih besar
dibandingkan dengan yang diimpor oleh negara itu. Pada Era Klasik ketika Adam
Universitas Sumatera Utara
Smith mengeluarkan bukunya yang berjudul An Inquiry into Nature and Causes of
the Wealth of Nations, yang biasa disingkat dengan Wealth of Nations, berpendapat
bahwa jika suatu Negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan
spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan
antar bangsa. Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih
baik berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana ia mempunyai keunggulan
yang absolut dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya. Sedangkan David
Ricardo dalam bukunya The Principles of Political Economy and Taxation (1817), 35
menekankan bahwa perdagangan internasional dapat saling menguntungkan jika
salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi seperti
yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun cukup memiliki keunggulan komparatif
di mana harga untuk suatu komoditi di negara yang satu dengan yang lainnya relatif
berbeda. 36
Konsep perdagangan bebas saat ini tidak terlepas dari pemikiran pada era
klasik tersebut, dimana GATT selalu mengupayakan terciptanya perdagangan bebas
dunia. Prinsip suatu sistem perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuanketentuan yang disepakati bersama ini tidak terlepas dari suatu konsep yang disebut
dengan keunggulan komperatif (comparative advantage). Prinsip-prinsip hukum
dalam GATT menginginkan perlakuan sama atas setiap produk impor maupun
produk domestik. Tujuan utamanya adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang
35
Wahyu Pratomo, op.cit., hlm.18.
Andreas
Limongan,
Perdagangan
Internasional
dan
ngunanKemiskinan
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/05/24/0015.html Diakses 30 Maret 2009
36
Universitas Sumatera Utara
teratur dan berdasarkan norma-norma hukum GATT. Masalah perdagangan
antarnegera dihadapkan pada dua kepentingan yaitu kepentingan nasional dan
kepentingan internasional. GATT berusaha untuk berkompromi antara kepentingan
37
GATT berupaya
dengan
menghilangkan
tersebut melalui peraturan dan pencantuman skedul tarif GATT.
menghilangkan
hambatan
perdagangan
internasional
hambatan berupa tarif ataupun non-tarif. Perdagangan bebas saat ini juga dilakukan
melalui pengahapusan hambatan tarif dan non-tarif, tetapi GATT pada dasarnya
melegalkan tarif sebagai satu-satunya instrumen bagi sebuah negara untuk
melindungi industri dalam negerinya. Ada beberapa alasan penggunaan instrumen
tarif dalam perdagangan internasional yakni :
a.
Tarif bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus
membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota
lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil.
b.
Tarif merupakan instrumen lebih mudah dan dapat diubah sewaktu-waktu
dibandingkan dengan instrumen non-tarif.
Tarif yang berbeda-beda pada setiap negara dalam perdagangan internasional
akan menimbulkan distorsi pasar dan pasar tersebut juga menjadi tidak dapat di
prediksi. Dalam praktek perdagangan internasional saat ini distorsi tersebut dapat
berupa subsidi produksi, tarif, kuota tarif dan sebagainya. 38 Untuk menghindari
37
Syahmin A.K., Aspek-Aspek Hukum Perdagangan Internasional dalam GATT dan WTO,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm, 50.
38
Executive Summary, Current State Play in WTO, (Jakarta : Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, 2009). hlm.3.
Universitas Sumatera Utara
distorsi dan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional tersebut setidaktidaknya ada bebarapa faktor yang perlu di perhatikan dalam pembaharuan hukum
menuju ekonomi perdagangan internasional. Menurut Burg’s mengenai hukum dan
pembangunan ekonomi terdapat beberapa unsur yang harus dikembangkan supaya
tidak menghambat ekonomi yaitu apakah hukum mampu menciptakan "stability",
"predictability" dan "fairness". Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem
ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah
potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang
saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability)
akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang
sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi
melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti
perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk
menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.39 Hal yang sama
juga diungkapkan J.D. Ny Hart bahwa konsep dasar pembangunan ekonomi yaitu
hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat
memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan
apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi. 40 Seperti halnya tarif,
GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip
39
Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, ( Jakarta : Universitas
Indonesia), hlm. 7.
40
Bismar Nasution, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, (Medan :
Sekolah Pasca Sarjan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
transparansi. Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang
pasti (predictable).
Untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam
perdagangan internasional dan bagi negara berkembang yang masih berada dalam
tahap awal pembangunan ekonominya dalam memasuki hubungan-hubungan
perdagangan internasional dan agar dapat meramalkan langkah-langkah yang diambil
dapat memperhatikan prinsip-prinsip GATT yaitu prinsip Most Favoured Nation,
National Treatment dan Reciprocity dimana semua negara diperlakukan atas dasar
yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan
perdagangan. Negara yang sedang berkembang juga memperoleh perlakuan yang
sama dengan adanya “perlakuan khusus dan berbeda” (special and diffrential
treatment-S&D), dimana negara-negara maju juga tidak akan meminta balasan dalam
perundingan penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap
perdangan negara-negara berkembang. John Rawls dalam A Theory of Justice, juga
mengkonsepkan keadilan sebagai fairness dimana setiap negara berkembang yang
berkehendak
untuk
mengembangkan
kepentingan-kepentingannya
dalam
perdagangan internasional hendaknya juga memperoleh suatu kedudukan yang sama
pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi negara
berkembang untuk memasuki perdagangan internasional. 41
41
Eman Suparman, Perjanjian Internasional Sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan
Masyarakat Global, Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum, (Bandung :
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2000), Hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
GATT dalam pasal XXIV mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang
ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas. Bentuk pengelompokan dalam pasal
XXIV tersebut dapat berupa custom union dan free trade area. Dalam free trade
area, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap
mempertahankan tarif mereka masing-masing terhadap impor dari negara-negara di
luar FTA. Agar negara anggota FTA dapat memprediksi langkah-langkah yang
diambilnya dalam menghadapi perdagangan bebas maka mekanisme penurunan tarif
dilakukan melalui penerapan common effective preferential tariff (CEPT) dan atas
dasar prinsip MFN. Dalam penyusunan pengaturan domestik negara anggota
didorong untuk merujuk standar harmonisasi internasional. Penomoran tarif akan
diseragamkan (diharmonisasikan) demikian juga dengan prosedur sistem penilaian
dan kepabeanan. 42 Harmonisasi hukum dapat juga digambarkan sebagai suatu upaya
yang dilaksanakan dengan proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara
anggota ASEAN mempunyai prinsip atau pun pengaturan yang sama tentang masalah
yang serupa di masing-masing jurisdiksinya. Harmonisasi dalam bidang hukum
merupakan salah satu tujuan penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan
hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai
kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang
berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan hukum yang
42
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
137.
Universitas Sumatera Utara
diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya
dengan ketentuan yang berlaku di negara lain. 43
Harmonisasi adalah proses membawa dua atau lebih standar, peraturan teknis
dan prosedur kesesuaian (conformity assessment procedures) kedalam kesesuaian
satu sama lain. Harmonisasi tersebut dapat terjadi dalam dua konteks sebagai berikut
: (1). Secara bilateral atau multilateral diantara negara-negara yang berbeda, dan (2).
Antara negara-negara dengan organisasi-organisasi yang menetapkan standar
internasional. 44 Secara historis tujuan utama harmonisasi adalah untuk integrasi
ekonomi dan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan. Secara teoritis,
harmonisasi standar dan prosedur akan meningkatkan akses pasar, mengurangi biaya,
meningkatkan produktivitas melalui spesialisasi atas dasar keuntungan komparatif
dan menaikkan pertumbuhan secara keseluruhan. 45
Pada dasarnya ada dua macam harmonisasi, yaitu harmonisasi penuh (full
harmonization) dan model kesetaraan (equivalence model). Berdasarkan harmonisasi
penuh, dua negara atau lebih menyetujui untuk mengadopsi standar yang sama.
Negara-negara dapat menyamakan standarnya dalam satu dari tiga cara sebagai
berikut : (1). harmonisasi yang mengikat (upward harmonization), dimana negara
dengan standar yang lebih rendah memperketat standarnya untuk menyamakan
standar yang lebih tinggi ; (2) harmonisasi menurun (downward harmonization),
43
Eman Suparman, op.cit, hlm. 30.
Alexander M. Donahue, “ Equivalence : Not Quite Close Enough for the International
Harmonization of Environmental Standards” Environmental Law, (Vol. 30 : 2000), hal. 367.
45
Alberto Bernabe – Riefkohl, “To Dream the Impossible Dream : Globalization and
Harmonization of Environmental Laws, “ Notrh Carolina Journal of International Law and
Commercial Regulation, (Vol. 20 : 1995), hal. 211.
44
Universitas Sumatera Utara
dimana negara dengan standar yang lebih tinggi menurunkan standarnya untuk
menyamakan dengan standar yang lebih rendah ; (3) harmonisasi kompromi
(compromise harmonization), dimana dua negara atau lebih memperundingkan
standar baru pada tingkat menengah. 46
Model harmonisasi yang kedua adalah model kesetaraan, yang juga disebut
convergence, approximation, or less-than-full harmonization. Berdasarkan model
kesetaraan ini, suatu negara menyetujui untuk menerima standar negara lain yang
berbeda karena setara dengan standar yang dimiliknya, tanpa sebenarnya
menyamakan standar. Ketika dua negara atau lebih setuju untuk menerima standar
masing-masing negara lain sebagai kesetaraan, maka mutual recognition agreement
(MRA) terbentuk. Setara dalam hal ini tidak berarti sama. Negara pada intinya
menyatakan bahwa standar dan sistim pengaturan negara lain sangat dekat dengan
standar yang dimilikinya sehingga mempercayakan perlindungan warga negaranya
dalam hal tersebut kepada negara lain. 47
Konsekuensi logis atas keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi GATT
Agreement maupun AFTA, APEC, dan lain-lain, memberikan kewenangan yang
semakin besar Kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai institusi
Pemerintah untuk dapat memainkan perannya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi
yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah
keinginan dari para pengguna jasa internasional. Untuk mengantisipasi berbagai
46
47
Alexander M. Donahue, op.cit, hal. 369.
Ibid., hal. 370.
Universitas Sumatera Utara
prakarsa bilateral, regional, dan multilateral di bidang perdagangan yang semakin
diwarnai oleh arus liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan investasi, Pemerintah
Indonesia melalui kebijaksanaanya telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
kepabeanan yang diharapkan mampu menghadapi tantangan-tantangan di era
perdagangan bebas saat ini. 48
2.
Kerangka Konsepsi
Bagian kerangka konsepsi ini akan dijelaskan hal-hal yang berkenan dengan
konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan Tesis ini. Konsep pada
dasarnya berperan dalam penelitian Tesis ini adalah untuk menghubungkan Teori
hukum dalam perdagangan internasional dan observasi mengenai ketentuan dan
kebijakan pemerintah indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas, Konsep ini
juga dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan
dalam hal-hal yang khusus yang biasa disebut dengan defenisi operasional. Definisi
operasional ini mempunyai peranan penting dalam menghindarkan perbedaan
(diskriminasi). Pengertian antara penafsiran mendua (double) atau biasa juga disebut
dengan istilah “debius” dari suatu istilah yang dipergunakan. Dalam proses penelitian
tesis ini dipergunakan juga defenisi operasional untuk memberikan pegangan bagi
penulis, yakni sebagai berikut :
48
Sekilas
Tentang
Direktorat
Jenderal
http://www.beacukai.go.id/bout_us/sekilas.php diakses 18 Mei 2009.
Bea
dan
Cukai
Universitas Sumatera Utara
Pengertian harmonisasi berasal dari ilmu musik, yang kemudian digunakan
Ilmu Seni. Dalam musik dikenal harmonisasi nada-nada dan seni berkembang
harmonisasi warna-warna, kata-kata, frase dan sebagainya. Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia (1988) tidak diberikan perumusan mengenai kata harmoni atau
harmonisasi. Yang ada ialah padanan kata harmoni yaitu serasi, selaras, sepadan.
Dalam Collins Cobuild Dictionary (1991) ditemukan kata-kata : harmonious
dan harmonize dengan penjelasan sebagai berikut :
1. A Relationship, agreement etc. That harmonius is friendly and peaceful.
2. Things which are harmonius have parts which make up an attractive whole
and which are proper proportion to each other
3. When people harmonize, they agree about issue or subject in a friendly,
peaceful ways;suitable, reconcile
4. If you harmonize teo things, they fit in with each other is part of a system,
society etc.
Beberapa unsur dapat ditarik dari perumusan-perumusan dalam beberapa
kamus tersebut antara lain :
1.
Adanya hal-hal yang bertentangan, kejanggalan.
2.
Mencocokkan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk
satu keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu, atau
masyarakat.
3.
Terciptanya suasana persahabatan dan damai.
Pada tahun 1902 Rudolf Stambler di Jerman telah mengutarakan suatu konsep
bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi pelbagai maksud, tujuan dan
kepentingan antar individu dengan individu dan atar individu dengan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip hukum yang adil, yang mencakup harmonisasi antara maksud tujuan
serta kepentingan perorangan dan maksud tujuan serta kepentingan umum terdiri dari
dua unsur yaitu :
1.
Saling menghormati maksud tujuan dan kepentingan masing-masing
2.
Partisipasi semua pihak dalam usaha mencapai maksud dan tujuan
bersama. 49
Harmonisasi hukum dapat juga diartikan sebagai upaya/proses untuk
menjadikan hukum nasional suatu negara mempunyai prinsip ataupun kaedah yang
sama tentan masalah yang sama dengan negara-negara lainnya, baik secara regional
maupun global. Tujuan harmonisasi hukum adalah agar hubungan-hubungan hukum
yang diatur oleh suatu negara sejalan atau tidak begitu berbeda penerapannya dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku pada negara-negara lain. 50 Harmonisasi hukum
dapat juga digambarkan sebagai suatu upaya yang dilaksanakan dengan proses untuk
membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN mempunyai prinsip
atau pun pengaturan yang sama tentang masalah yang serupa di masing-masing
jurisdiksinya. 51
Tarif, atau bea impor adalah pajak-pajak yang dikenakan atas barang-barang
impor dengan tujuan utama untuk meningkatkan harga jualnya di pasar negara
49
LM. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, (Jakarta : Fakutas Hukum
Universitas Indonesia, 1995), Hlm., 4.
50
Suhaidi , Hukum Transaksi Internasional, (Medan : Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum
Univeristas Sumatera Utara, 2009), Hlm., 1.
51
Komar Kantaatmadja, Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN, Kertas Kerja Pada
Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-negara ASEAN dalam
rangka AFTA, (Bandung : Fakultas Hukum UNPAD, 1993), Hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
pengimpor dengan tujuan utama mengurangi persaingan bagi pada produsen
domestik. Beberapa negara yang lebih kecil juga menggunakannya untuk
meningkatkan penerimaan baik dari impor maupun ekspor. 52 Tarif juga dapat
diartikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. 53
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
Tentang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk
melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satusatunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif
diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat
tarif meninggi (tariffication). Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan
oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang
dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan
proteksi yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan
menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi, sampai pada
taraf tertentu menghilangkan, regulasi pemerintah dalam bidang perdagangan.
Bentuk-bentuk hambatan non tarif dalam Putaran Tokyo dan putaran-putaran
perundingan GATT dan WTO antara lain :
52
Donald A. Ball, dkk., International Business, Bisnis Internasional Tantangan Persaingan
Global, (Jakarta : Salemba Empat , Buku 1, Edisi 9, 2004), Hlm. 160.
53
Pasal 1 ayat 21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Universitas Sumatera Utara
a.
Subsidi dan tindakan balasan atas subsidi; 54
b.
Hambatan teknis; 55
c.
Hambatan Administratif; 56
d.
Government Procurement (Pembelian Negara); 57
e.
Dumping dan Bea Masuk Anti Dumping; 58
54
Subsidi adalah penyaluran bantuan dalam bentuk finansial yang dilakukan oleh pemerintah
atau instansi publik tertentu. Subsidi disalurkan dalam rangka pembangunan ekonomi baik dalam
rangka bantuan, pengembangan dan atau perlindungan suatu industri atau sektor ekonomi yang
dipandang sensitif serta untuk memperkuat daya saing ekspor. Subsidi bisa berupa subsidi domestik
atau juga subsidi ekspor. Subsidi ekspor dilarang oleh GATT dalam pasal VI, sedangkan bentuk
subsidi lainnya ada yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat dan dilarang.
55
Putaran Tokyo mengatur hambatan non tarif jenis ini dalam Agreement on Technical
Barriers to Trade atau lebih dikenal dengan standar code. Standar code ini merupakan
penyempurnaan dari aturan GATT, yaitu pasal I dan III, yang mengatur tentang dilarangnya spesifikasi
yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri; pasal IX tentang aturan dalam merk; pasal X
mengatur tentang publikasi peraturan administratif yang mencakup juga standar-standar produk; pasal
XI dan XX berkenaan dengan referensi umum mengenai standar dan peraturan-peraturan yang terkait.
56
Hambatan administrasi adalah hambatan yang terjadi di kepabeanan yang menyangkut
penilaian pada produk impor yang masuk. Penilaian ini harus sesuai dengan kenyataan praktek dunia
perdagangan dan melarang cara penentuan penilaian yang arbiter/semena-mena dan fiktif. Dikenal
sebagai custom valuation. Masalah penilaian yang bertele-tele akan sangat merugikan pihak importir
karena akan ada keterlambatan waktu karena barang tertahan di pelabuhan yang akan menambah
beban biaya karena harus membayar lebih atas keterlambatan itu. Harga produk pun bisa berpengaruh.
Penilaian di pabean ini penting untuk menentukan tingkat bea masuk barang tersebut. GATT
mengaturnya dalan pasal VII. Putaran Tokyo mengenai custom valuation ini mengandung serangkaian
peraturan mengenai valuasi, bersifat meluaskan dan merinci aturan valuasi yang sudah diatur dalam
Pasal VII GATT.
57
Putaran Tokyo menghasilkan Code on Government Procurement dengan maksud untuk
membuka terjadinya kompetisi internasional dalam hal pembelian yang dilakukan oleh suatu negara
untuk pembangunan infrastruktur seperti waduk, jalan atau jembatan dan lain-lain ataupun untuk
keperluan pelayanan publik. Banyak negara, terutama negara-negara maju serta para pengusahanya,
yang sangat berkepentingan dengan keterbukaan tender dalam hal pembelian negara ini dan
menginginkan masuk dalam perjanjian GATT karena melihat bahwa masalah ini bisa menjadi alat
untuk mendiskriminasi produk dan pemasok dari luar negeri dan memproteksi industri dalam negeri
yang pastinya melanggar prinsip GATT tentang Most Favoured Nation serta National Treatment.
Sedangkan di lain pihak negara-negara berkembang, yang sektor pemerintahnya umumnya adalah
pembeli terbesar, berkepentingan untuk tidak membuka terlalu lebar bagi masuknya tender bagi pihak
asing dalam pembelian negara karena bisa menjadi stimulus bagi industri dalam negerinya untuk
mendapatkan keuntungan.
58
Dumping mempunyai dua definisi. Pertama, dumping adalah praktek yang dilakukan oleh
sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga
produk itu jika dijual di negara asalnya. Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan
Putaran Tokyo mengenai anti dumping duties. Sementara definisi dumping yang disepakati dalam
Universitas Sumatera Utara
Regionalisme dapat diartikan sebagai paham pengelompokan geografis yang
sesuai dengan kriteria homogenitas para anggotanya. Tujuan terbentuknya kawasan
regional dalam perekonomian :
1.
Meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara anggota;
2.
Meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi ekonomi nasional masingmasing negara anggota;
3.
Menyeimbangkan peta kekuatan ekonomi dunia sehingga benar-benar
tercipta interpedensi;
4.
Memperkuat posisi negara-negara anggotanya dalam berbagai forum
perundingan internasional; 59
Selain itu juga terdapat istilah regionalisation (regionalisasi) dan regionalism
(regionalisme). Regionalisasi adalah upaya penyatuan perkonomian yang didorong
oleh pasar dan biasanya didorong oleh kekuatan pasar dan perkembangan teknologi
yang sama dengan proses globalisasi. Sedangkan menurut Lamberte, regionalisasi
adalah upaya penyatuan perekonomian yang didorong oleh pasar yang dimulai dari
Putaran Uruguay adalah praktek yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang menjual produk
ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga normal produk itu. Putaran Uruguay juga
menentukan kriteria sebuah perusahaan dianggap melakukan dumping, yaitu : (i) Harga ekspornya
lebih rendah daripada harga perbandingan untuk barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di
dalam negeri pengekspor. (ii) Bila tidak ada penjualan dipasar domestik, maka digunakan
perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga. (iii) Bila ukuran pertama dan kedua tidak ada, maka
digunakan suatu ukuran ketiga yakni dengan diadakan pembentukan harga yang didasarkan pada biaya
produksi ditambah dengan satu jumlah biaya untuk administrasi, pemasaran dan biaya lainnya
ditambah dengan suatu jumlah keuntungan yang wajar.
59
Suhaidi , op.cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
proses reformasi perkonomian secara unilateral di masing-masing negara dalam suatu
kawasan. 60
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan
atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea
masuk dan bea keluar. 61 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana
tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.62
Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan masyarakat
agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Pemerintah
khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai
memfasilitasi perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang
dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan
pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada
Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari
World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, penjualan produk
antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.
Perdagangan bebas juga dapat didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan
(hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-
60
Mario B. Lamberte, An Overview of Economic Cooperation and Integration in Asia, dalam
Asian Economic Cooperation and Integration, (Manila : Asian Development Bank, 2005), hlm. 4.
61
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
62
Pasal 1 Ayat 10 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Universitas Sumatera Utara
individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. 63
Pengertian
kawasan
perdagangan
bebas
dalam
Kyoto
Convention
yang
mendefinisikan free zone sebagai berikut : “Free Zone” means a part of the territory
of a Contracting Party where any goods introduced are generally regarded, insofar
as import duties and taxes are concerned, as being outside the Customs territory. 64
Daerah perdagangan bebas (Free Trade Area) adalah suatu kawasan dimana
tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap
menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota. 65
Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan
penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh
negara-negara ASEAN. 66
Industri Dalam Negeri adalah: keseluruhan produsen dalam negeri barang
sejenis atau produsen dalam negeri Barang Sejenis yang produksinya mewakili
sebagian besar (lebih dari 50%) dari keseluruhan produksi barang yang
bersangkutan 67
63
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas diakses pada tanggal 10 Juli 2009
Text of The Revised Kyoto Convention : International Convention on The Simplification
And Harmonization Of Customs Procedures (as Amended), Specific Annex D, Chapter 1, Customs
Warehouses And Free Zones Chapter 2 Free Zones E1./ F1. (Brussels : 1999), hlm.1.
65
Aswin Kootali dan Gunawan Saichu, Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas,
Loc.Cit, hlm. 33.
66
http://www.depperin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm diakses pada tanggal 20 Agustus
2009.
67
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Pasal 1 ayat 8. Ayat 9 : Barang Sejenis adalah barang yang
identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor dimaksud atau barang yang memiliki
karakteristik fisik, teknik, atau kimiawi menyerupai barang impor dimaksud
64
Universitas Sumatera Utara
G.
Metode Penelitian
1.
Jenis, sifat dan pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doctrinal (doctrinal
research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it
written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge trough judicial
process. 68
Penelitian yang dilakukan terhadap Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk
dalam Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau Dari Sudut Kepabeanan
dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute-approach), yaitu
bagaimana
hukum
didayagunakan
sebagai
instrumen
dalam
memfasilitasi
perdagangan internasional. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yang
bertujuan untuk melukiskan ketentuan tarif dalam perdagangan bebas internasional
khususnya AFTA.
2.
Sumber Data
Sumber bahan hukum pada penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan berupa
perpustakaan dan dokumen legislasi dan regulasi yaitu dari :
1.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang terdiri atas undang-undang yang berkaitan dengan
perdagangan Internasional dan Kepabeanan, antara lain : Undang-Undang
68
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan :
Majalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hlm., 1.
Universitas Sumatera Utara
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
2.
Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli
hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana hukum dan hasil
simposium yang berkaitan dengan hukum.
3.
Bahan hukum tersier, seperti bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, encyclopedia hukum, surat kabar dan majalah yang memuat
tentang topik yang relevan dalam penulisan tesis ini. 69
3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipergunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan studi dokumen yaitu dilakukan dengan menginventarisir
berbagai bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder dan tertier melalui
penelusuran kepustakaan (library research).
4.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian tesis ini dilakukan dalam rangkaian aktivitas
yang dimulai dari pengumpulan data sampai dengan penarikan kesimpulan. Metode
69
Johnny Ibrahim, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, ( Surabaya : Bayu Media
Publishing, 2005), hlm. 294.
Universitas Sumatera Utara
analisis dilakukan dengan metode analisis kualitatif yang difokuskan pada kedalaman
analisis antar konsep yang dipergunakan atau ditemukan dalam penelitian.
Secara umum rangkaian kegiatan analisis dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Menginventarisasi dan memilah bahan hukum yang relevan dengan topik
penelitian.
2.
Menemukan norma-norma hukum atau asas-asas hukum dalam konsepkonsep hukum yang terdapat dalam bahan hukum yang dipergunakan.
3.
Mensistematisasikan konsep-konsep hukum dalam kategori yang lebih umum.
4.
Menganalisis dan mendeskripsikan hubungan antara kategori-kategori yang
diperoleh dalam penelitian.
5.
Menarik kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah.
H.
Jadwal Rencana Penelitian
Penelitian ini direncanakan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan, yakni dimulai dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2009. Pengumpulan
data awal dimulai sejak bulan Maret 2009, dan perumusan proposal hingga seminar
hasil diselesaikan dari bulan Maret sampai dengan bulan Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
Download