KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA - Repository UIN Jakarta

advertisement
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
(Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah
Dan NU Di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah)
Oleh :
MUCHAMMAD ARIEF SIGIT MUTTAQIEN
NIM. 105051001976
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
(Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah
Dan NU Di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam
(S.Sos.I)
Oleh :
MUHAMMAD ARIEF SIGIT MUTTAQIEN
NIM. 105051001976
Pembimbing :
Drs. Jumroni, M.Si
NIP : 19630515 1992031 006
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang memiliki judul “Komunikasi Antar Budaya (Study Pada
pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus,
Semarang, Jawa Tengah” telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 9
Desember 2009.Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2009
PANITIA SIDANG MUNAQOSAH
Ketua Merangkap Anggota,
Anggota,
Sekretaris
Drs. Mahmud Jalal, Ma
NIP. 19520422 198103 1002
Merangkap
Dra. Halimah SM M. Ag
NIP. 19590413 199603 2001
Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Drs.Masran, M. Ag
NIP. 150275384
Drs. Wahidin Saputra, MA
NIP.197108161997032002
Pembimbing,
Drs. Jumroni, M.Si
NIP. 19630515 199203 1006
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (S1) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat
atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat,16 September 2009
M. Arief Sigit. Muttaqien
ABSTRAKSI
JUDUL
:
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (STUDY PADA POLA
KOMUNIKASI MASYARAKAT MUHAMMADIYAH DAN NU
DI DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH)
NAMA
:
MUCHAMMAD ARIEF SIGIT. M
Komunikasi antar budaya pada dasarnya adalah komunikasi biasa. Hanya
yang membedakanya adalah latar belakang budaya yang berbeda dari orang-orang
yang melakukan proses komunikasi tersebut. Aspek-aspek budaya dalam
komunikasi seperti bahasa, isyarat, non verbal, sikap kepercayaan, watak, nilai
dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan besar yang
sering kali menyebabkan distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam masyarakat
yang bagaimanapun berbedanya kebudayaan. Tetaplah akan terdapat kepentingankepentingan bersama untuk melakukan komunikasi
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi Islam, Muhammadiyah dan NU
adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh. Muhammadiyah
mewakili kelompok "modernis" Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili
kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll
Dari hal di atas timbulah pertanyaan dalam benak penulis tentang
bagaimana pola komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan Nu di sana
serta apa faktor pendukung dan penghambat dalam mereka berkomunikasi?
kehidupan keagamaan cara masyarakat NU dengan Muhammadiyah di
desa Pringapus tidak ada perbedaan yang tajam, akan tetapi pada tataran realitas
social, sering terjadi adanya perbedaan pendapat yang mendatar, terutama dalam
hal pandangan dan cara menyingkapi ritual ziarah kubur (makam). Bagi
masyarakat NU setempat, ziarah kubur tidak dilarang bahkan dianjurkan Karena
tidak dianggap menyalahi syariat Islam. Akan tetapi, bagi warga Muhammadiyah,
ziarah kubur tidak benar dan merupakan bid’ah (segala sesuatu yang tidak ada
pada zaman Nabi Muhammad). Contoh lain adalah pada saat perayaan hari raya
Islam yang kaitannya dengan sholat sunat Ied. Biasanya warga Muhammadiyah
cenderung menjalankan sholat Ied di tanah lapang, sementara warga NU
melaksanakan sholat Ied di masjid
Sebagai warga masyarakat yang bersifat heterogen, hendaknya
setiap warga harus memiliki sikap saling menghormati dan saling
menghargai pada setiap perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan
menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai tembok pembatas untuk
dapat saling berkomunikasi. Karena indahnya kebersamaan jika bisa
dapat saling berdampingan dengan adanya perbedaan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa terucap kepada Allah dari lisan
manusia yang taat kepadaNya. yang masih memberikan kesempatan kepada
penulis untuk beribadah kepadaNya dan untuk ber Sholawat kepada kekasihnya,
serta dengan izinnya pula penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sholawat serta salam senantiasa terucap kepada manusia yang agung, yang
bagus ucapannya, yang luhur bedi pekertinya, yang tidak pernah lelah untuk
mengajak umatnya kepada jalan yang benar serta yang akan menyelamatkan
umatNya di dunia dan di akhirat beliau adalah Sayyiudina Muhammad bin
Abdillah
Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Walaupun cukup banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi,
baik itu berupa sifat malas, lalai dan sombong yang masih melekat kuat di dalam
diri penulis. Sungguh sesuatu yang sangat anugrah terindah yang diberikan Allah
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua ini
terwujud yang telah mendukung serta memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis persembahkan segalanya kepada bapak (Much. Thamrin) yang
dengan ketegaran hidupnya telah menjadi sumber inspirasi dan semangat hidup
bagi penulis dan kepada ibu (Hartini) yang air susunya telah menjadi daging
dalam tubuh ini, yang dengan keringat dan air matanya telah menyatu dalam jiwa
penulis. Kakakku Muchammad Choirul Khamsani dan kak Purwa Ningsih serta
keponakan ku Nada Thifalya Azzahra dan adik Nur Rahmawati Handayani yang
selalu mendoakan penulis serta menghibur penulis dikala kesedihan datang
kepada penulis.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
penulisan skripsi, rasa terima kasih penulis uapkan kepada:
1. Kepada bapak Dr. Arief Subhan MA sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi dan bapak Drs. H. Mahmud Djalal, MA selaku Pudek II dan
bapak Drs Study Rizal LK, MA selaku Pudek III.
2. Kepada Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah
dan Komunikasi bapak Drs. Wahidin Saputra, MA dan juga Bapak
Drs.
Jumroni. M.si sebagai pembimbing skripsi yang selalu setia dan sabar
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Kepada para dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
memberikan dedikasinya sebagai pengajar yang memberikan berbagai
pengarahan, pengalaman, serta bimbingan kepada peneliti selama dalam
masa perkuliahan.
4. Kepada bapak/ibu pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas yang telah membantu peneliti dengan penyediaan bahan-bahan
dalam mengerjakan skripsi ini.
5. Keluarga besar penulis di Pringapus kepada Pakde Ud, mas pipit dan mbak
Yuli, serta keluarga Mbah Sukinah, mbak Umi, Om Yon, Intan dan elok,
yang telah membantu mengumpulkan data hingga akhirnya selesainya
skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat yang ada dikampus, Ahmad Fawzi yang senantiasa
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, Pahlevi, Zulvikar dan
Rahmat Hidayat
7. kepada Nurhasanah yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada
penulis serta teman-teman keluarga besar dari Yayasan Al-Istiqomah
Nugraha Sumaryadi Ramadhan S.sos.i, Maulana Sukarya, Wahyu Pratama
Putra, Ahmad Rifa’i, Sendi Prabowo dan Rohiman Sunandar yang selalu
mewarnai hari-hari penulis dengan indahnya persahabatan yang telah kalian
berikan..
8. Keluarga Besar KPI D angkatan 2005, kk Farah, Kikim, Shella, Shofi,
Geary, Novi, Irma Iztarizkizra, Zaini yang sudah membantu penulis serta
telah menjadi keluarga bagi penulis.
Pada akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang besarbesarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah yang
akan membalas semua kebaikan sahabat-sahabatku tercinta. Amin ya Rabbal
Alamin
Ciputat,16 September 2009
Muchammad Arief Sigit Muttaqien
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................
ii
ABSTRAKSI ...............................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...............................
6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................
6
D. Metodologi Penelitian ......................................................
7
E. Tinjauan Pustaka..............................................................
9
F. Sistematika Penulisan.......................................................
9
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya..............................
12
B. Pengertian Pola Komunikasi ............................................
15
1. Proses Komunikasi.....................................................
16
2. Bentuk-bentuk Komunikasi ........................................
20
C. Pengertian Masyarakat .....................................................
22
1. Etika dan Budaya Masyarakat Desa............................
23
2. Karakteristik Masyarakat Desa ...................................
23
D. Komunikasi Organisasi ....................................................
27
BAB III
1. Pengertian Komunikasi Organisasi .............................
27
2. Teori Komunikasi Organisasi .....................................
30
E. Prasangka dan Stereotip ...................................................
35
1. Pengertian Prasangka .................................................
35
2. Pengertian Stereotip ...................................................
37
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA
PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH
A. Keadaan Geografis Desa Pringapus, Kec. Pringapus,
Semarang, Jawa Tengah ...................................................
38
B. Kondisi Demografis .........................................................
40
C. Gambaran Umum Masyarakat Muhammadiyah dan NU
Setempat ..........................................................................
BAB IV
46
POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DARI KALANGAN
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT NU DI DESA
PRINGAPUS
A. Pola Komunikasi Antar Pribadi ........................................
50
B. Pola Komunikasi Antar Kelompok...................................
55
C. Faktor-faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya
BAB V
Masyarakat Muhammadiyah dengan Masyarakat NU.......
57
1. Faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya ............
57
2. Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya ..........
60
PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................
70
B. Saran................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
74
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 01
Data Penduduk Desa Pringapus Berdasarkan Usia ....................
41
Tabel 02
Mata Pencaharian masyarakat Pringapus...................................
43
Tabel 03
Tingkat Pendidikan Warga Desa Pringapus...............................
44
Tabel 04
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama .......................
45
Tabel 05
Tabel Keagamaan .....................................................................
45
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling
berkomunikasi. Manusia juga pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam
hidup, yaitu sebagai makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk pribadi,
manusia mempunyai beberapa tujuan dan cita-cita yang ingin di capai, di
mana masing-masing individu memiliki tujuan dan kebutuhan yang berbeda
dengan individu lainnya. Sedangkan sebagai mahluk sosial, individu selalu
ingin berinteraksi dan hidup dinamis bersama orang lain.
!"
)*!☺
(
#$%&'
0☺12
/
-.
: 56$)89 !☺3
4
(5 – 1 : ‫)ا‬
Artinya: ”(1). (Tuhan) yang Maha pemurah (2)Yang Telah mengajarkan Al
Quran.(3)Dia menciptakan manusia (4) Mengajarnya pandai
berbicara (5) Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”
Dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Individu
memiliki tujuan, kepentingan, cara bergaul, pengetahuan ataupun sutau
kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya dan semua itu
harus dicapai untuk dapat melangsungkan kehidupan.
Komunikasi memiliki fungsi tidak hanya sebagai pertukaran informasi
dan pesan tapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar
menukar data, fakta dan ide. Agar komunikasi berlangsung efektif dan
informasi yang disampaikan oleh seorang komunikan dapat diterima dan
dipahami dengan baik oleh seorang komunikator, maka seorang komunikan
perlu menetapkan pola komunikasi yang baik pula.1
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak perduli di mana kita berada, kita
selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang–orang tertentu yang
berasal dari kelompok, ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan
pengalaman baru yang selalu kita hadapi. Berkomunikasi merupakan kegiatan
sehari-hari yang sangat popular dan pasti dijalankan dalam pergaulan manusia.
Aksioma komunikasi mengatakan:”manusia selalu berkomunikasi, manusia
tidak dapat menghindari komunikasi.”2
Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dari seluruh waktu kita
dipakai untuk berkomunikasi, untuk itu kita akan merasa betapa pentingnya
komunikasi untuk dipelajari. Agar kita dapat berkomunikasi dengan efektif,
sehingga tidak terjadi kesalah pahaman.
Berikut beberapa contoh kasus yang disebabkan komunikasi yang
tidak efektif adalah adanya kasus perceraian, permusuhan, bunuh diri,
keretakan hubungan antara orang tua dan anak, bahkan sampai konflik antar
suku budaya.
Sebuah fakta sosial yang harus kita terima adalah tentang
kemajemukan yang ada pada kehidupan manusia. Yaitu bahwa manusia dapat
1
Asnawir dan Basyirudin Ustman, media pembelajaran (Jakarta; Ciputat Press, 2002)
Alo Liliweri, “dasar-dasar komunikasi antar budaya”, (Jogjakarta: Pustaka {Pelajar
Press, 2000)
2
dibedakan berdasarkan suku, agama dan ras. Bahkan terhadap individu pun
dapat pula dibedakan dalam hal pemikiran atau dalam persepsi tertentu.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia3. Jika mengenai kebudayaan, hingga kini telah
ditemukan lebih dari 500 definisi. Perbedaan penekanan dalam pemberian
definisi ditentukan oleh lingkup materi budaya yang tercakup maupun
pendekatan analisisnya.
Hubungan antara budaya dam komunikasi sangat penting dipahami
untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena itu melalui pengaruh
budayalah orang-orang belajar berkomunikasi4. Misalnya seorang yang
berasal dari Jawa, Jakarta atau dari Medan belajar berkomunikasi. Seperti
orang–orang Jawa, orang–orang betawi dan orang-orang Medan lainnya.
Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku mereka tersebut
dipelajari dan diketahui dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang
memandang mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label
yang dihasilkan budaya mereka.
Komunikasi antar budaya pada dasarnya adalah komunikasi biasa.
Hanya yang membedakannya adalah latar belakang budaya yang berbeda dari
orang-orang yang melakukan proses komunikasi tersebut. Aspek-aspek
budaya dalam komunikasi seperti bahasa, isyarat, non verbal, sikap
3
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, “komunikasi antar budaya”. (PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung). Cet-9, 2005.Hlm 24
4
Ibid. hlm. 25
kepercayaan, watak, nilai dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan
sebagai perbedaan besar yang sering kali menyebabkan distorsi dalam
komunikasi. Namun, dalam masyarakat yang bagaimanapun berbedanya
kebudayaan. Tetaplah akan terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk
melakukan komunikasi. 5
Dalam perspektif Islam. Dasar-dasar untuk hidup bersama di tengahtengah masyarakat yang pluralistik secara religius sejak semula memang telah
di bangun atas landasan normatif dan historis. Seiring dengan berjalannya
waktu kemudian membawa masyarakat Islam untuk berinteraksi dan
beradaptasi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Pertemuan
budaya dengan masyarakat lain melahirkan tarik menarik serta perkawinan
masyarakat yang lainnya.
Seperti halnya di dalam masyarakat Islam di Indonesia. Setidaknya
telah mengalami dua macam simbolisasi. Perkembangannya bisa digambarkan
sebagai berikut:
I
II
Integrasi
luar
dalam
Tempat
Desa
Kota
Pelaku
Petani
Pedagang , Profesional
Ekonomi
Agraris
Industrial
Simbol agama memerlukan Integrasi, yaitu kekuatan yang menjadi
pusat pusaran untuk bermakna. Dalam budaya I integrasi itu terletak di luar
5
Alex. H. Rumondor dkk, komunikasi antar Budaya, (Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka, 2001), h. 117
pelaku, dalam satuan yang lebih besar, yaitu komunitas. Seorang budaya I
mengadakan selamatan sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh komunitas
(misalnya Ruwah, Mulud) sesuai dengan kepentingan komunitas (misalnya
Ruwahan, Muludan), di tempat yang juga ditentukan oleh komunitas
(misalnya di makam atau di masjid), dan undangannya pun ditentukan oleh
komunitas (misalnya lurah, kyai dan warga).
Dalam budaya II integrasi simbolis itu terletak di dalam, yaitu dalam
kesadaran individual pelakunya. Seseorang dari Budaya II mengadakan
selamatan (namanya berubah menjadi syukuran) sesuai dengan tanggal, jam
dan hari yang ditentukan sendiri (misalnya pernikahan), tidak harus bersamaan
dengan kepentingan komunitas, di tempat yang ditentukan sendiri (misalnya
rumah), dan dengan undangan yang ditentukan sendiri (misalnya temanteman). Dalam budaya II ini peran komunitas tidak penting lagi.
Dari uraian di atas yang singkat ini dengan mudah kita ketahui bahwa
masyarakat NU sebagai gerakan tradisonalis mewakili budaya I dan
Muhammadiyah sebagai gerakan modernis mewakili Budaya II. Kita dapat
melihat ada bias desa, masyarakat agraris, dan masa lalu dalam NU.
Sebaliknya kita dapat melihat ada bias kota, masyarakat industrial dan masa
kini dalam Muhamadiyah. Kata kunci dari kebudayaan masyarakat
tradisionalis adalah kelestarian dan pewarisan, sedangkan dalam masyarakat
modernis adalah kemajuan dan penyesuaian.
Melihat fenomena-fenomena di atas penulis tertarik untuk menulis
proposal skripsi dengan judul Komunikasi Antar Budaya (study pada pola
komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU di
Desa Pringapus, Semarang, Jawa tengah).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Mengingat luasnya bahasan mengenai masyarakat Muhammadiyah dan
masyarakat NU ini, maka penulis membatasi penelitian ini hanya pada pola
komunikasi masyarakat Muhammadiyah terhadap masyarakat NU dalam
bermasyarakat di wilayah desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah.
Berdasarkan batasan masalah yang akan di bahas, maka penulis
merumuskan masalah tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana pola komunikasi yang dilakukan masyarakat dari kalangan
Muhammadiyah dengan masyarakat dari kalangan NU dalam kehidupan
sehari-hari?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung
komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan
masyarakat NU ?
Adapun pola yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan
dari proses penyampaian pesan baik secara verbal maupun non verbal dalam
suatu komunikasi.
C. Tujuan dan Kegunaan Masalah
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Ingin mengetahui pola komunikasi masyarakat Muhammadiyah
dengan masyarakat NU.
b. ingin menemukan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam
komunikasi antar budaya antara masyarakat Muhammadiyah dengan
masyarakat NU.
c. ingin menemukan faktor-faktor yang dapat menjadi pendukung
komunikasi antar masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU.
2. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam
memperkaya kajian ilmu komunikasi antar agama dan budaya.
b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pola
komunikasi antara masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan
masyarakat NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah.
D. Metodologi Penelitian
Karena penelitian ini dilandasi dari rasa keingintahuan penulis,
sebagaimana dijelaskan dalam rumusan masalah, maka dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan
pendekatan sosiologis dan antropologis.
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Situasi-situasi tertentu.
Termasuk dalam hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan serta dan pengaruhnya dalam suatu fenomena.
Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat Muhammadiyah dan
masyarakat NU yang secara geografis tinggal di Desa Pringapus, Semarang
Jawa Tengah. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah pola dari komunikasi
antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU.
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data yang di perlukan dalam menyusun proposal
penelitian ini penulis melalui observasi dan wawancara.
a. Observasi, dalam penelitian ini penulis mendatangi langsung ke lokasi
yang menjadi tempat penelitian, kemudian meneliti, mengamati dan
mencatat komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang termasuk
masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU.
b. Untuk memperoleh data yang diinginkan peneliti menggunakan teknik
wawancara. Karena dengan wawancara peneliti dapat memperoleh
data secara langsung dari sumber, sehingga memudahkan dalam
memperoleh data. Wawancara akan dilakukan secara bebas, tetapi
tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan terarah
2. Analisis Data
Setelah penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini ,maka penulis akan mengolah dan menganalisa data dengan
menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu data yang sudah terkumpul,
penulis menjabarkannya dengan memberikan analisa-analisa untuk
kemudian penulis ambil kesimpulan akhir, agar penulis mengetahui
bagaimana pola atau bentuk komunikasi yang terjadi antara masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU di Desa Pringapus Semarang
Jawa Tengah, kemudian menemukan apa saja faktor penghambat dan
pendukung komunikasi antara kedua masyarakat tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini penulis meneliti dengan objek pada pola
komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU di
desa Pringapus dan penulis telah melakukan tinjauan Pustaka, penulis melihat
judul yang ada di perpustakaan, penulis melihat ada satu mahasiswa yang
pembahasannya sama dengan yang peneliti kaji. Dengan judul ”Komunikasi
Antar Budaya (Study pada pola komunikasi masyarakat Betawi dengan
Masyarakat Madura di Kelurahan Condet, Batu Ampar).
Oleh sebab itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
seperti menjiplak atau mengambil dari hasil karya orang lain, maka penulis
perlu mempertegas perbedaan antara masing-masing judul dengan masalah
yang sedang di bahas.
Adapun perbedaannya adalah dari skripsi tersebut dengan skripsi
peneliti adalah pada subjek penelitiannya, pada penelitian terdahulu
membahas bagaimana pola komunikasi antar budaya antara dua suku yang
berbeda, yaitu masyarakat Betawi dengan masyarakat Madura. Dalam
penelitian ini subjek penelitian penulis adalah masyarakat Muhammadiyah
dengan masyarakat NU yang tinggal di desa Pringapus, Semarang, Jawa
Tengah.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan
dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam
lima bab. Di mana masing-masing bab di bagi ke dalam sub-sub dengan
penulisan sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
: TINJAUAN TEORITIS
Terdiri dari pengertian komunikasi, unsur-unsur komunikasi dan
bentuk-bentuk
komunikasi,
pengertian
pola
komunikasi,
pengertian komunikasi antar budaya, Pengertian komunikasi
Organisasi, pengertian masyarakat.
BAB III
: GAMBARAN
UMUM
MASYARAKAT
DESA
PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH
Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari
keadaan geografis desa Pringapus, Semarang ,Jawa Tengah, serta
gambaran umum tentang masyarakat Muhammadiyah dan NU
setempat.
BAB IV
: POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DARI KALANGAN
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT NU DI DESA
PRINGAPUS
Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil Penelitian,
berikut analisanya. Yaitu tantan pola komunikasi antara
masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus,
Semarang , Jawa Tengah
BAB V
: PENUTUP
Adalah merupakan bab penutup dari tulisan ini yang berisi
tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya
Dalam setiap prosesnya komunikasi selalu melibatkan ekspektasi,
persepsi,
tindakan dan
penafsiran.6
Maksudnya
adalah
ketika
kita
berkomunikasi dengan orang lain maka kita dan orang yang menjadi
komunikan kita akan menafsirkan pesan yang diterima baik berupa pesan
verbal maupun non verbal dengan standar penafsiran dari budayanya sendiri.
Kita pun dalam memaknai dan menyandikan tanda atau lambang yang akan
kita jadikan pesan menggunakan standar budaya yang kita punyai. Pada
dasarnya komunikasi antar budaya adalah komunikasi biasa, yang menjadi
perbedaannya adalah orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut
berbeda dalam hal latar belakang budayanya. Ada banyak pengertian yang
diberikan para ahli komunikasi dalam menjelaskan komunikasi antar budaya,
di antaranya adalah :
1. Menurut Aloweri, Andrea L. Rich dab Dennis M. Ogawa sebagaimana
dikutip oleh Armawati Arbi, komunikasi antar budaya adalah komunikasi
antara orang-orang yang berbeda kebudayaanya. Misalnya antara suku
bangsa, etnik, ras dan kelas sosial. 7
2. Menurut Guo-Ming Chen dan Willian J. Starosta sebagaimana dikutip oleh
Deddy Mulyana berpendapat bahwa komunikasi antar budaya adalah
6
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 7
7
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003), h. 182
proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing
perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya
sebagai kelompok.8
3. Menurut Deddy Mulyana, komunikasi antar budaya (Inter Cultural
Communication) adalah proses pertukaran fikiran dan makna antara orangorang yang berbeda budayanya. 9
4. Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss mendefinisikan komunikasi antar budaya
sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbdea budaya (baik dalam
arti ras, etnik atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).10
Dari beberapa
definisi
yang penulis
kutipkan
tadi.
Penulis
berkesimpulan bahwa komunikasi antar budaya dapat diartikan sebagai
komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memilki latar belakang
budaya yang berbeda. Ada beberapa istilah yang sering disepadankan dengan
istilah komunikasi antar budaya, diantaranya adalah komunikasi antar etnik
(Inter ethnic communication), komunikasi antar ras, komunikasi lintas budaya
(Cross Cultural Communication), dan komunikasi Internasional.11
1. Komunikasi antar etnik adalah komunikasi antar anggota etnik yang
berbeda atau dapat saja komunikasi antar etnik terjadi di antara anggota
etnik yang sama tetapi memiliki latar belakang budaya yang berbeda atau
sub kultur yang berbeda. Kelompok etnik adalah kelompok orang yang
ditandai dengan bahasa dan asal-usul yang sama. Komunikasi antar etnik
8
Ibid. 2.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, h. xi
10
Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication konteks-konteks komunikasi
antar budaya, (Bandung:PT. Remaja Rosda karya buku ke-2, 2001),h. 182
11
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003)., h.16
9
juga merupakan bagian dari komunikasi antar budaya, namun komunikasi
antar budaya belum tentu merupakan komunikasi antar etnik.12
2. Komunikasi antar ras adalah sekelompok orang yang ditandai dengan artiarti biologis yang sama. Dapat saja orang yang berasal dari ras yang
berbeda memiliki kebudayaan yang sama, terutama dalam hal bahasa dan
agama. Komunikasi antar ras dapat juga dimasukan dalam komunikasi
antar budaya, karena secara umum ras yang berbeda memiliki bahasa dan
asal-usul yang berbeda juga. Komunikasi antar budaya dalam konteks
komunikasi antar ras sangat berpotensi terhadap konflik, karena orang
yang berbeda ras biasanya memiliki prasangka-prasangka atau stereotip
terhadap orang yang berbeda ras dengannya. Dalam hal ini tentunya
mempengaruhi orang-orang yang berbeda ras tersebut di dalam
berkomunikasi.
3. Komunikasi Lintas Budaya adalah studi tentang perbandingan gagasan
atau konsep dalam berbagai kebudayaan. Perbandingan antara aspek atau
minat tertentu dalam suatu kebudayaan atau perbandingan antar suatu
aspek atau umat tertentu dengan satu atau kebudayaan lain.13
4. Komunikasi Internasional, dapat diartikan sebagai komunikasi yang
dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara untuk
menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan
12
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2003). h. xii
13
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003), h. 186
negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan
untuk memperoleh dukungan yang lebih luas.14
B. Pengertian Pola komunikasi
Bahwasanya pola komunikasi merupakan serangkaian dua kata.
Karena keduanya mempunyai keterkaitan makna sehingga mendukung dengan
makna lainnya. Maka lebih jelasnya dua kata tersebut akan diuraikan tentang
penjelasannya masing-masing.
Kata “pola” dalam kamus besar Bahasa Indonesia15 artinya bentuk atau
sistem, cara atau bentuk (struktur) yang tetap, yang mana pola dapat dikatakan
contoh atau cetakan.
Pola dapat dikatakan juga dengan model, yaitu cara untuk
menunjukkan
sebuah
objek
yang
mengandung
kompleksitas
proses
didalamnya dan hubungan antara unsur-unsur pendukungnya.16.Menurut Little
Jhon model dapat diterapkan pada setiap representasi simbolik dari suatu
benda.17
Secara
etimologis,
menurut
Onong
Uchjana
Effendi,
istilah
komunikasi berasal dari perkataan bahasa Inggris “Communication” yang
bersumber dari bahasa latin “Communicatio” yang berarti “pemberitahuan”
14
Bakrie Abbas, Komunikasi Internasional: Peran dan Permasalahannya, (Jakarta;
Yayasan Kampus Tercinta- ISIIP), h. 2
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), h. 778
16
Dikutip dari Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, Gramedia
Widiasavina:2004), h.9
17
Ibid.
atau pertukaran pikiran. Maka hakiki dari communicatio ini adalah Communis
yang berarti “sama” atau “kesamaan arti.”18
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Astrid susanto, beliau
berpendapat bahwa “perkataan komunikasi berasal dari kata “Communicare”
yang
dalam
bahasa
latin
memiliki
arti
“berpartisipasi”
atau
“memberitahukan”. Kata Communis berarti milik bersama atau berlaku
dimana-mana.”19
Sedangkan ditinjau dari segi terminologis, para ahli komunikasi
mendefinisikan komunikasi antara lain, sebagai berikut:
Wilbur Schramm dalam uraiannya mengatakan bahwa sebenarnya,
“definisi komunikasi berasal dari bahasa latin “communis”. Bilamana kita
melakukan komunikasi itu artinya kita mencoba untuk berbagi informasi, ide
atau sikap. Jadi, esensi dari komunikasi itu adalah menjadikan si pengirim
dapat berhubungan bersama denngan si penerima guna menyampaikan isi
pesan.20
1. Proses Komunikasi
Sebelum kita mengetahui bentuk sebuah pola komunikasi apa yang
diterapkan dalam sebuah komunitas baik secara individu maupun
organisasi, maka kita perlu melihat proses komunikasinya, karena pola
komunikasi tersebut terlahir dari berbagai proses komunikasi sehingga
18
Onong Uchjana Effendy, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992), cet
ke-1, h-4
19
Phill Astrid Susanto, Komunikasi dalam teori dan Praktek, (Bandung, Bina Cipta,
1998)cet ke-3, h-1
20
Onong Uchjana Effendi, Dinamika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1992), cet ke-22, h. 6
keduanya tidak dapat dipisahkan, karena menjadi sebuah kesatuan. Tanpa
kita melihat proses komunikasi yang terjadi dalam sebuah aktifitas
komunikasi maka kita tida dapat mengetahui pola komunikasi apa yang
digunakannya,
Menurut Onong Uchjana Effendy, proses komunikasi terbagi
menjadi dua tahap, yaitu primer dan sekunder.21
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian
pikiran
atau
perasaan seseorang
kepada
orang
lain dengan
menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai
media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa yang secara
langsung mampu menterjemahkan pikiran atau perasaan komunikator
kepada komunikan. Pertama-tama komunikator menyandi (encode)
pesan
yang
disampaikan
kepada
komunikan,
ini
berarti
ia
memformulasikan pikiran atau perasaannya ke dalam bahasa yang
diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi
giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator
itu. Itu berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau
perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertiannya.
Yang penting dalam proses penyandiannya (coding) itu bahwa
komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi
(decoding) hanya kedalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam
21
Onong Uchjana Efendi,Imu Komunikasi Teori dan Praktek, ,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1990), h.11-13.
pengalamannya masing-masing, karena komunikasi berlangsung
apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh
komunikan, dengan kata lain komunikasi adalah proses membuat
sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan.
Dalam pada itu sudah terbiasa pula kita memperoleh umpan
balik baik dari perasaan kita sendiri maupun dari seorang komunikan
yang menjadi penerima pesan kita. Komunikator yang baik adalah
orang yang selalu memperhatikan umpan balik, sehingga ia dapat
dengan segera mengubah gaya komunikasinya diakal ia mengetahui
bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif.
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian
pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau
sarana sebagai media kedua setelah mamakai lambang sebagai media
penama. Seperti yang telah diterangkan di atas pada umumnya bahasa
yang banyak digunakan dalam komunikasi karena bahasa sebagai
lambang mampu mentransmisikan pikiran, ide, pendapat dan
sebagainya, baik mengenai hal yang abstrak maupun yang konkrit.
Namun
masyarakat
pada
beserta
akhirnya
sejalan
peradaban
dan
dengan
berkembangnya
kebudayaan.
Komunikasi
mengalami kemajuan dengan memadukan berlambang bahasa dengan
komunikasi berlambang gambar dan warna. Akan tetapi oleh para ahli
komunikasi diakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi
bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat
informatif. Menurut mereka yang efektif dan efisien dalam
menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka karena
kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator,
sedangkan dalam proses komunikasinya umpan balik berlangsung
seketika dalam arti kata komunikator mengetahui tanggapan atau
reaksi komunikan pada saat itu juga.
Proses Komunikasi22
Massage
Sender
Receiver
Decoding
enkoding
Noise
Feed Back
Response
Gambar 01
Bagan/ skema proses komunikasi
Unsur komunikasi antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sender; Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau
sejumlah orang.
2. Encoding: Penyandian, yaitu proses pengalihan fikiran ke dalam bentuk
lambang.
3. Massage: pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang
disampaikan oleh komunikator.
22
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), Cet ke-19. hal 18
4. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator
kepada komunikan.
5. Decoding: pengawasandian, yaitu proses di mana komunikasi menetapkan
makan pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
6. Receiver: komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
7. Feedback: Umpan balik, yaitu tanggapan komunikan apabila tersampaikan
atau disampaikan kepada komunikator.
8. Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi
sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda
dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Dari penjelasan tentang proses komunikasi di atas, peneliti merasa juga
harus memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, karena unsur-unsur
tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
2. Bentuk-bentuk Komunikasi
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pola komunikasi yang
sesuai dengan arti pola di atas lebih tepat untuk mengambil kesimpulan adalah
bentuk-bentuk komunikasi terdapat empat macam, yaitu:
a. Komunikasi Intra Pribadi (Interpersonal Communication). Adalah proses
komunikasi dalam diri seseorang berupa proses pengolahan informasi
melalui panca indera dan sistem saraf. 23
23
h. 39
Sasa Djuarsa Sendjaya, Pengantar Komunikasi, (Jakarta, Universitas Terbuka, 1998),
b. Komunikasi Antar Pribadi (Antarpersonal Communication) adalah proses
penyampaian paduan pikiran dan perasaan oleh seseorang kepada orang
lain agar mengetahui, mengerti dan melakukan kegiatan tertentu.24
c. Komunikasi Kelompok (Group Communication) adalah penyampaian
pesan oleh seorang komunikator kepada sejumlah komunikan untuk
mengubah sikap, pandangan atau perilakunya.25
d. komunikasi Massa (mass Communication) menurut Zulkarnaen Nasution
di dalam bukunya Sosiologi Komunikasi Massa, bahwa yang dimaksud
dengan komunikasi massa adalah “suatu proses penyampaian informasi
atau pesan-pesan yang ditujukan kepada khalayak massa dengan
karakteristik tertentu”. Sedangkan media massa hanya salah satu
komponen atau sarana yang memungkinkan berlangsungnya prose sang di
maksud.26
Adapun proses komunikasi yang melibatkan antara masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat Nu yang memiliki dua kebudayaan yang
berbeda ini dalam kehidupan sehari-hari, maka penyampaian pesan nya pun
berlangsung secara lisan dan melalui tatap muka.
24
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002), cet ke-6 h. 60
25
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002), cet ke-6, h-62
26
Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, (Jakarta: Universitas Terbuka,
1993), h-5
C. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki
tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam
lingkungannya. 27
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa masyarakat
adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu
kebudayaan yang mereka anggap sama.28
Selain itu banyak pula para tokoh yang mengemukakan beberapa
definisi mengenai masyarakat, diantaranya :
1. R. Linton: seorang tokoh Antropologi mengemukakan bahwa masyarakat
adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya, berpikir
tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
2. Hasan Shadily mendefinisikan, masyarakat adalah golongan besar atau
kecil dari beberapa manusia yang dengan pengaruh bertalian secara
golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain.29
Dari definisi-definisi masyarakat di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa masyarakat harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. harus ada pengumpulan manusia dan harus banyak.
2. telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama.
3. adanya peraturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk
menuju
27
kepada kepentingan dan tujuan bersama.
Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h-85
Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 485
29
Harwantiyoko dan Neljte F. Katuuk, MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Gundar,
1992) h. 146
28
1. Pengertian, Etika dan Budaya Masyarakat Desa
Masyarakat Desa Dalam Tinjauan Sosial Budaya
Menurut Bintarto yang dimaksud desa adalah perwujudan atau
kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ
(suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik
dengan daerah lain.30
Sedangkan menurut Sutardjo Kartohadikusuma, desa adalah suatu
kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahannya
sendiri.
Adapun masyarakat desa ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan
batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga anggota
masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana dia
hidu, dicintainya serta memiliki perasaan bersedia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena
beranggapan sama-sama sebagai warga masyarakat yang saling mencintai dan
saling menghormati.
Definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat kecil adalah masyarakat di daerah masyarakat pedesaan.
Masyarakat kecil disebut juga rural community yang diartikan sebagai
masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas
tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan
30
Ibid, h. 159
mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan
masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati
bersama.
2. Karakreristik Masyarakat Desa31
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup
bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka.
Pada
situasi
dan
kondisi
tertentu,
sebagian
karakteristik
dapat
digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian,
dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan
teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”.
Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait
dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih
sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan
bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan
a. Sederhana
Sebagian
besar
masyarakat
desa
hidup
dalam
kesederhanaan.
Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
1) Secara ekonomi memang tidak mampu
2) Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
b. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
1) Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
31
http://prayudi.staff.uii.ac.id/2008/09/22/karakteristik-masyarakat-desa/
2) Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
c. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan
atau “unggah-ungguh” apabila:
1) Bertemu dengan tetangga
2) Berhadapan dengan pejabat
3) Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
4) Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
5) Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya
d. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana
kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati
sanubari mereka.
e. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat
desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi
orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang
lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
f. Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang
bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang
tersebut belum begitu dikenalnya. Katakanlah, mahasiswa yang sedang
melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi
tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.
g. Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara
langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang
kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka
cenderung untuk diam/tidak banyak omong.
h. Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang
pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesarbesarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga
dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut
dengan “ngajeni”.
i.
Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas
tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan
kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama
ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan
program pembangunan di daerahnya.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka
dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh
kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan
tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam
20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.
j.
Suka gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh
kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat
Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus
dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahumembahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe”
atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang
dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak,
bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi
tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
k. Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan
keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui
mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan
Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input
dari warga.
l.
Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian
mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga
mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa
keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.
D. Komunikasi Organisasi
1. Pengertian Komunikasi Organisasi
Bahwasanya komunikasi organisasi merupakan serangkaian dua
kata yang tergabung dan memiliki makna yang saling terkait, sehingga
mendukung dengan makna yang lainnya. Sumber konflik yang terjadi
antar individu dalam organisasi yang mungkin paling sering dikemukakan
adalah buruknya komunikasi.
Dalam pembahasan komunikasi organisasi lebih tepatnya adalah
kajian pada komunikasi insani yang terjadi dalam organisasi, karena
manusialah yang berkomunikasi, bukan organisasi. 32 Hal pertama yang
kita perlukan dalam studi tentang organisasi adalah definisi eksplisit
tenang apa yang dimaksud dengan sesuatu organisasi, James L. Gibson
menyatakan bahwa:
“…..
organisasi
merupakan
entitas-entitas
yang
memungkinkan
masyarakat mencapai hasil-hasil tertentu yang tidak mungkin dilaksanakan
sendiri”.
Menjelaskan organisasi sebagai sebuah kelompok individu yang
diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi
bervariasi dari tiga atau empat, sampai dengan ribuan anggota. Organisasi
juga memiliki struktur formal maupun informal. Organisasi memiliki
tujuan umum untuk meningkatkan pendapatan, namun juga memliki
tujuan-tujuan spesifik yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi itu.
32
Stewart L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human Communication
KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja Risdakarya, 2005) h. 164
Dan untuk mencapai tujuan,organisasi membuat norma aturan yang
dipatuhi oleh semua anggota organisasi.33
Organisasi didefinisikan sebagai “suatu kumpulan (sistem)
individu yang bersama-sama, melalui suatu hirarki pangkat dan
pembagiain kerja, berusaha mencapai tujuan tertentu.”34seorang objektivis,
menganggap organisasi adalah sebuah wadah yang menampung orangorang dan objek-objek; orang-orang dalam organisasi yang berusaha
mencapai tujuan bersama.35
Kaum subjektif mendefinisikan organisasi sebagai perilakku
pengorganisasian (organizing behaviour) berdasarkan definisi ini,
pengetahuan mengenai organisasi harus di peroleh dengan melihat
perilaku-perilaku khusus tersebut dan apa makan perilaku-perilaku itu bagi
mereka yang melakukan.36
Kaum objektivitas secara khas memandang organisasi sebagai
suatu entitas besar dengan struktur kendali yang terdiri dari prosedur dan
kebijakan. Sistem tersebut ditata berdasarkan logika untuk mencapai suatu
tujuan dan mengandung derajat-derajat otoritas (kewenangan), berbeda
pada berbagai tingkat dan juga kegiatan-kegiatan ternetu yang dilakukan
oleh individu-individu.37 Sebaliknya kaum subjektifitas menganut sutau
33
H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA, 2006), h. 272
34
Stewart L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human Communication
KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja Risdakarya, 2005) h. 164
35
R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan
Kinerja Perusahaan, (Bandung; Rosda Karya, 2006), h. 17
36
Ibid, h 17
37
Ibid, h 18
pandangan lebih luas mengani orgnisasi. Misalnya, mendefinisikan
organisasi sebagai “tindakan-tindakan yang bertautan (Interlocked) suatu
kolektifitas”. Suatu kolektifitas mungkin kecil atau besar; aspek penting
definisi tersebut adalah “tindakan-tindakan bertautan” dan makan yang
diberikan pada tindakan tindakan-tindakan tersebut.38
Dalam konteks organisasi, pemahaman mengnai peristiwaperistiwa komunikasi yang terjadi di dalamnya,seperti apakah instruksi
pimpinan sudah dilaksanakan dengan benar oleh karyawan ataupun
bagaimana bawahan mencoba menyampaikan keluhan pada atasan,
memungkinkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai
sesuai dengan hasil yang diharapkan, merupakan contoh sederhana untuk
memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan aspek yang penting dalam
organisasi, baik organisasi profit maupun non profit.39
2. Teori Komunikasi Organisasi
a. Organisasi Sosial
Istilah organisasi sosial merujuk kepada pola-pola interaksi
sosial
(Frekuensi
dan
lamanya
kontak
antara
orang-orang;
kecenderungan mengawali kontak, arah pengaruh antara orang-orang,
derajat kerja sama, perasaan tertarik, hormat dan permusuhan serta
perbedaan status) dan regularitas yang teramati dan perilaku sosial
38
Ibid
H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA, 2006), h. 255
39
orang-orang yang disebabkan oleh situasi sosial mereka, alih-alih oleh
karakteristik fisiologis atau psikologis mereka sebagai individu.40
Adanya
pola
atau
regularitas
dalam
interaksi
sosial
mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan antara orang-orang yang
mentransformasikan mereka dari suatu kumpulan individu menjadi
sekelompok orang atau dari sejumlah kelompok menjadi suatu sistem
sosial yang lebih besar.41
Berlo (1960) menyarankan bahwa komunikasi berhubungan
dengan organisasi sosial melalui tiga cara:
Pertama,
sistem
sosial
dihasilkan
lewat
komunikasi.
Keteranagan perilaku dan tekanan menyesuaikan diri dengan normanorma dihasilkan lewat komunikasi di antara angoota-anggota
kelompok.
Kedua, sistem sosial mempengaruhi bagaimana, ke, dan, dari
siapa dan dengan pengaruh bagaimana komunikasi terjadi di antara
anggota-anggota sistem. Status sosial dalam sistem, misalnya,
meningkatkan kemungkinan berbicara kepada orang-orang yang punya
status setara dan mengurangi kemungkinan komunikasi dengan orangorang yang berstatus jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah.
Ketiga, pengetahuan mengenai suatu sistem sosial dapat
membantu kita membuat prediksi yang akurat mengenai orang-orang
tanpa mengetahui lebih banyak daripada peranan-peranan yang mereka
40
41
R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Komunikasi Organisasi, h. 41
Ibid, h. 42
duduki dalam sistem. Seperti yang diringkas Berlo, “meskipun kita
tidak mengenal seseorang sebagai seorang individu, meskipun kita
belum berkomunikasi dengannya untuk memastikan sikapnya,
pengetahuannya, keterampilan komunikasinya, kita masih dapat
membuat prediksi yang cukup akurat berdasarkan pengetahuan
mengenai jabatannya dalam satu atau lebih sistem sosial”.42 Sistem
sosial mempunyai aneka macam bentuk, struktur dan hasil. Ada
elemen-elemen tertentu pada sebuah sistem sosial, diantaranya adalah
motivasi, nilai-nilai, norma-norma, komunikasi dan kepemimpinan
yang mencapai bentuk tertentu dan yang selaras satu sama lain, hingga
sistem sosial yang bersangkutan mendapatkan kualitas tertentu.43
b. Organisasi Formal
Sebuah organisasi formal memiliki suatu struktur yang
terumuskan dengan baik. Struktur ini menerangkan hubunganhubungan otoritasnya,
kekuasaan,
akuntabilitas,
dan tanggung
jawabnya. Organisasi-organisasi formal menunjukkan tugas-tugas
terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki sasaransasaran organisasi formal dinyatakan eksplisit. Status, prestise,
imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasyarat-prasyarat lainnya
terurutkan dengan baik dan terkendali. Organisasi-organisasi formal
tahan lama, dan terencana.44
42
Ibid, h. 43
J. Winardi, S.E, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali Pers,
2006), h. 34
44
Ibid, h, 9
43
Istilah komunikasi formal dapat kita gunakan dalam arti bahwa
pola-pola kerja dan hubungan-hubungan pribadi disusun secara sadar
dan diakui secara resmi.45
Pendapat
bahawa,
“….organisasi
formal
sesuatu
perusahaan
mempengaruhi kondisi-kondisi sosial pekerjaan, yang sebaliknya
memegang peranan penting dalam hal memotivasi para karyawan
untuk menghasilkan kinerja yang bertambah baik, atau bertambah
buruk. Apakah yang kiranya dimaksud dengan organisasi formal?
Organisasi formal adalah apa yang tercantum di atas kertas (hubungan
logical yang dinyatakan oleh peraturan-peraturan dan kebijakankebijakan perusahaan yang bersangkutan)..”46
Organisasi formal yang secara popular disebut birokrasi. Untuk
memperoleh suatu persfektif yang tepat mengenai analisis Max
Webber mengenai birokrasi atau organisasi formal, kita perlu
menyadari bahwa ia mengembangkan teori tentang organisasi sebagai
suatu tipe ideal.47
Karakteristik Birokrasi Weberian.
1) Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan
antara jabatan-jabatan.
2) Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas,tugastugas organisasi disalurkan diantara berbagai jabatan sebagai
45
Ibid, h. 80
Ibid, h. 77
47
R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Komunikasi Organisasi, h. 44
46
kewajiban resmi. Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab
melekat pada jabatan.
3) Kewenangan untuk melaksanakan kewajiban diberikan kepada
jabatan.
Yaitu,
satu-satunya
saat bahwa seseorang diberi
kewenangan untuk melakukan tugas-tugas jabatan adalah ketika ia
secara sah menduduki wewenang disahkan oleh kepercayaan akan
supermasi hukum.
4) Garis-garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan
hierarki. Ruang lingkup kewenangan atasan atas bawahan secara
tegas dibatasi. Konsep-konsep komunikasi ke atas (upward
communication)
dan
komunikasi
ke
bawah
(downward
comuunication) mencerminkan konsep kewenangan ini, dengan
informasi mengalir ke bawah dari jabatan yang memiliki
kewenangan lebih luas ke jabatan yang memiliki kewenangan yang
sempit.
5) Suatu sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas, yang
ditetapkan secara formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsifungsi jabatan dalam organisasi.
6) Prosedur dalam organisasi bersifat formal dan impersonal, yaitu
peraturan-peraturan organisasi berlaku bagi setiap orang.
7) Suatu sikap dan prosedur untuk menerapkan suatu system disiplin
merupakan bagian dari organisasi.
8) Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan
kehidupan organisasi.
9) Pegawai dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan
kualifikasi teknis, alih-alih koneksi politis, koneksi keluarga, atau
koneksi lainnya.
10) Meskipun pekerjaan dalam birokrasi berdasarkan kecakapan teknis,
kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas dan prestasi
kerja. Pekerjaan dalam organisasi merupakan karier seumur hidup,
memberikan kenyamanan dalam jabatan. 48
Ciri-ciri ini menghasilkan pengambilan keputusan yang rasional dan
efisensi administrative. Ahli-ahli berpengalaman adalah orang-orang yang
paling cakap untuk membuat keputusan-keputusan teknis. Kinerja berdisiplin
yang diatur dengan aturan-aturan, regulasi dan kebijakan-kebijakan yang
abstrak dan dikoordinasiksan oleh kewenangan hierarkis merupakan usaha
yang rasional dan konsisten untuk mencapai tujuan organisasi.49
E. Prasangka dan Stereotip
1. Prasangka Sosial
Prasangka berasal dari bahasa Latin. Pracjudicium yang berarti
preseden atau suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman
terdahulu. Richard W. Brislin mengartikan prasangka sosial sebagai suatu
sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok
48
49
Ibid, h. 44-47
Ibid, h. 48
orang. Prasangka itu sendiri bremacam-macam. Dan yang paling populer
adalah prasangka sosial kesukuan, agama dan gender.50 Gerungan
mengartikan prasangka sosial sebagai sikap perasaan orang-prang terhadap
golongan masnusia tertentu. Golongan ras atau golongan kebudayaan yang
berlainan dengan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial itu tertadri
atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan
mempengaruhi tingkah
laku
golongan manusia
tadi.51
Tindakan
diskriminatif dalam prasangka sosial dapat saja berupa tindakan-tindakan
bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan orang yang
diprasangkai, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang –orang yang
hanya karena kebetulan mereka berasal dari golongan orang yang
diprasangkai. 52
Faktor-faktor yang menumbuhkan prasangka :
a. Kepentingan. Jika terjadi benturan kepentingan antara satu orang
dengan orang lain terlebih orang yang berbenturan kepentingan itu
berasal dari kelompok atau golongan yang berbeda.53
b. Faktor Kepribadian dari Orang yang Berprasangka. Orang yang
berprasangka biasanya memiliki kepribadian yang tidak toleran,
kurang mengenal diri sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa
aman, memupuk hayalan dan lain-lain.54
50
Deddy Mulyana, Ilmu KOmunikasi Suatu Pengantar, (Bandung PT. Remaja
Rosadakarya, 2000)h. 224
51
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung. PT. ERESCO, 1996) cet ke-13. h. 167
52
Ibid
53
Ibid, 124
54
Ibid, 176-177
c. Faktor Frustasi dan Agresi. Prasangka sosial dapat menjelma ke dalam
tindakan-tindakan
diskriminatif,
agresif
terhadap
orang
yang
diprasangkai. Teori frustasi yang menimbulkan agresi, di mana orangorang akan mengalami frustasi apabila maksd-maksud dan keinginan
yang diperjuangkan dengan intensif mengalami kegagalan atau
hambatan, akibatnya timbul perasaan jengkel atau perasaan-perasaan
agresif yang akan ditumpahkan kepada orang lain. Hal ini yang
dinamakan denagn teori Seapegatisme :teori kambing hitam.55
2. Stereotip
Stereotip adalah gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifatsifat dan watak pribadi orang-orang atau golongan lain yang negatif.
Stereotip sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia
memiliki kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang lain yang
dikenakan prasangka itu. Biasanya stereotip terbentuk berdasarkan
keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif.
Menurut Deddy Mulyana stereotip adalah menggeneralisasikan
orang-orang berdasarkan sedikit informasi yang dan membentuk asumsi
terhadap mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok.
Penstereotipan adalah proses menempatkan orang-prang dan subjek ke
dalam kategori yang mapan atau penilain mengenai orang-orang atau
55
Deddy Mulyana, Ilmu KOmunikasi Suatu Pengantar, (Bandung PT. Remaja
Rosadakarya, 2000)h.218
objek-objek berdasarkan kategori yang dianggap sesuai, alih-alih
berdasarkan karakteristik individual mereka.56
56
Ibid, h 218
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PRINGAPUS,
SEMARANG, JAWA TENGAH
A. Kondisi Geografis
Desa Pringapus terletak di wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah
Kabupaten Semarang merupakan wilayah Pembantu Gubernur Wilayah
Semarang dengan Ibukota Ungaran. Jarak Pringapus dari pusat pemerintahan
kabupaten adalah 9 km kearah selatan menuju Solo atau Jogjakarta.
Menurut keterangan masyarakat setempat, bahwa kata-kata pringapus
itu berasal dari perang apus yang berarti “perang apus-apusan” atau dalam
bahasa Indonesianya adu argumen, dahulu ada dua orang pengembara yang
menetap di suatu wilayah yang belum ada penduduknya, kedua pengembara
itu bernama Kyai Kalang dan Pangeran Benowoyang. Akhirnya pada suatu
ketika kedua pengambara ini bertemu, karena mereka masing-masing sudah
merasa cukup lama tinggal di daerah tersebut, keduanya pun memutuskan
untuk memberi nama wilayah yang telah mereka singgahi itu. Karena
keduanya sama-sama ingin memberi nama wilayah tersebut, akhirnya
keduanya pun terlibat perselisihan, namun perselisihan ini tidak berlanjut
sampai perang fisik, keduanya hanya terlibat adu argumen yang pada akhirnya
di
menangkan
oleh
Pangeran
Benowo.
setelah
pangeran
Benowo
memenangkan persaingan ini, Kiyai Kalang pun pergi meninggalkan daerah
yang saat itu menjadi daerah kekuasaan pangeran Benowo. Peristiwa tersebut
di abadikan oleh masyarakat setempat sebagai nama desa Pringapus yang
berasal dari kata Perang Apus atau adu argumen.
Pada tahun 2001, desa Pringapus menjadi kecamatan, sebelumnya
wilayah Desa Pringapus termasuk dalam Kecamatan Klepu. Dalam penelitian
ini objek penelitian lebih dimaksudkan kepada Pringapus dalam lingkup desa
bukan kecamatan. Pada pertengahan tahun 2005 bentuk pemerintahan desa
Pringapus berubah statusnya menjadi kelurahan. Akan tetapi, dalam penelitian
ini penulis tetap menggunakan istilah desa karena perubahan status tersebut
hanya bersifat administratif semata tanpa ada pengaruh terhadap data pada
objek penelitian. Dalam artian perubahan status tersebut tidak berpengaruh
pada keberadaan cerita yang ada dalam masyarakat.
Luas wilayah Desa Pringapus 509.380 Ha atau 5.093,8 km2. Desa
Pringapus adalah pusat pemerintahan Kecamatan Pringapus. Dengan luas
terbesar sebagai lahan pemukiman penduduk yaitu 642 km2 atau 64.202 km2
Ha sedangkan lainnya merupakan lahan pertanian baik sawah maupun ladang
serta kawasan industri. Dengan batas wilayahnya :
1. Sebelah Barat
: Desa Derekan, Desa Klepu
2. Sebelah Timur
: Desa Pringsari
3. Sebelah Utara
: Desa Klepu, Desa Sambeng
4. Sebelah Selatan
: Desa Jatirunggo
Desa Pringapus termasuk daerah dataran tinggi karena letaknya berada
di sekitar kaki gunung Ungaran dengan ketinggian tanah 600 meter dari
permukaan laut. Selain itu, wilayahnya terdiri dari 7 dusun yaitu Krajan Barat,
Krajan Timur, Ngabean, Tangkil, Ngetuk dan Wahyurejo atau Trembel yang
letaknya terpencar dan sebagian besar di kelilingi bukit-bukit kecil.Berikut
adalah tabel pemanfaatan lahan Desa Pringapus :
Tanah Bengkok
25,61 Ha
Sawah dan Ladang
238,947 Ha
Pemukiman/ Perumahan
56,48 Ha
Perkantoran
3,125 Ha
Tanah Wakaf
6,0 Ha
Irigasi Teknis
186,64 Ha
Irigasi Sederhana
59,5 Ha
Pekarangan
54,48 Ha
Tegalan
53,12 Ha
Lain-Lain
0,451 Ha
Dari tabel di atas dijelaskan bahwa tanah sawah dan ladang di Desa
Pringapus sangat luas, namun meskipun demikian mayoritas masyarakat desa
Pringapus berprofesi sebagai pegawai negeri, dan tanah ladang dan sawah
mereka di garap oleh orang lain dengan system bagi hasil saat musim panen
tiba.
B. Kondisi Demografis
1. Penduduk
Berdasarkan data pada tahun 2007, penduduk desa Pringapus
adalah 7.386 jiwa dengan pebandingan penduduk pria sebanyak 3.099
orang, sedangkan penduduk wanita sebanyak 4.287 orang. Akan tetapi
terjadi pertambahan penduduk dalam jumlah besar akibat dari banyak ya
perantau yang bekerja di pabrik-pabrik yang berada di wilayah desa
Pringapus yang kemudian menjadi penduduk sementara. Jumlah penduduk
asli desa Pringapus berdasarkan data Monografi 2007.
Tabel 01
Data Penduduk Desa Pringapus Berdasarkan Usia
Kelompok Umur
0-14
Laki-laki
716
Perempuan
855
Jumlah
1.581
15-20
21-25
26-30
31-35
447
527
205
178
651
596
401
375
1.098
1.123
606
553
36-40
127
379
506
41-45
46-50
217
162
253
596
470
758
51-55
69
142
211
56 ke atas
318
446
764
Jumlah
3.099
4.287
7.386
Kehidupan masyarakat Pringapus walaupun dalam kenyataan
sudah terjadi interaksi antara masyarakat pertanian dan masyarakat
industri, tetapi masih dapat dikategorikan tradisional. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan masih eratnya hubungan antara masyarakat sebagai
contoh warga dusun Krajan Barat tetap tahu dalam artian mengenal warga
dusun Wahyurejo
walaupun jaraknya termasuk jauh.
Solidaritas
masyarakat desa Pringapus satu sama lain masih tinggi, sebagai contoh
ketika salah satu warga memiliki hajat seperti menikahkan anak,
melahirkan atau bahkan kematian, tanpa adanya undangan hampir semua
warga lainnya akan dating dan memberikan sumbangan. Dengan kata lain
pola kekerabatan masyarakat tidak terpengaruh oleh pola masyarakat
industri yang biasanya lebih cenderung hidup secara individu.
Sepintas memang tidak nampak adanya perbedaan dalam hal status
sosial pada masyarakat desa Pringapus. Akan tetapi dalam kenyataannya
masih terdapat perbedaan perlakuan kepada beberapa orang karena
dianggap lebih terhormat dibanding dengan masyarakat biasa, yaitu tokoh
agama, pejabat, pengusaha dan orang-orang yang dianggap mampu dalam
hal ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas dalam setiap acara
yang diadakan di lingkup desa maupun kecamatan. Selalu terdapat
perlakuan istimewa kepada orang-orang dengan kategori mampu tersebut
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
2. Mata Pencaharian
Berdasarkan data pemerintah desa tercatat bahwa mata pencaharian
masyarakat desa Pringapus sebagian besar adalah sebagai karyawan
perusahaan swasta. Disebutkan bahwa mata pencaharian pokok penduduk
sesuai usia kerja, yaitu 15-60 tahun adalah buruh atau swasta (659 orang
hampir 50%). Sedangkan sisanya sebagai pegawai negeri, petani, PNS,
pedagang dan lain sebagainya. Hal itu sesuai dengan data yang disebutkan
dalam monografi Desa Tahun 2008 yang dicatat pada semester I periode
Juni 2007, sebagai berikut.
Data mata pencaharian (bagi umur 10 tahun ke atas):
Tabel 02
Mata Pencaharian masyarakat Pringapus
No.
Mata Pencaharian Pokok
1
Petani Sendiri
2
Buruh Tani
3
Nelayan
4
Pengusaha
5
Buruh Industri
6
Buruh Bangunan
7
Montir
8
Pedagang
9
Dokter
10
Supir
11
Pegawai Negeri (Sipil/ ABRI)
12
Pensiunan
13
Ibu Rumah Tangga
14
Masih sekolah
Jumlah
Jumlah
123 orang
194 orang
- orang
35 orang
659 orang
175 orang
15 orang
375 orang
3 orang
193 orang
83 orang
64 orang
329 orang
729 orang
2.977 orang
Berdasarkan tabel di atas terlihat meskipun desa Pringapus itu masih di
kelilingi area persawahan, namun sangat sedikit sekali warga desa Pringapus
yang mengolah lahannya sendiri, mereka lebih memilih sawahnya di kelola
orang lain dengan sistem bagi hasil panen, menurut mereka dengan
mempekerjakan orang lain untuk mengurus sawahnya, mereka dapat
membantu tetangga mereka atau bahkan saudara mereka yang tidak memiliki
pekerjaan tatap.
3. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Pringapus
tingkat pendidikan masyarakat desa Pringapus secara umum tergolong
baik, karena sudah banyak penduduk yang berpendidikan tinggi, yaitu
mencapai 109 orang. Namun demikian, masih banyak penduduk yang hanya
lulusan SD, sebagian lulusan SLTA. Di luar itu, berdasarkan data monografi
desa, masih juga ada penduduk yang tidak tamat SD, sebagaimana gambaran
pada tabel berikut:
Data monografi Pendidikan tahun 2007:
Tabel 03
Tingkat Pendidikan Warga Desa Pringapus
No
Pendidikan
1
Tidak Tamat SD
2
Tamat SD
3
Tamat SLTP / sederajat
4
Tamat SLTA /sederajat
5
D1 /D2 / D3
6
S1
7
S2
8
S3
Jumlah
Jumlah
890 orang
2.672 orang
1.877 orang
1.817 orang
81 orang
28 orang
- orang
- orang
7.365 orang
Dari tabel di atas penulis dapat melihat bahwasanya tingkat pendidikan
warga desa Pringapus masih dapat dikatakan rendah. Terbukti masih
banyaknya warga desa Pringapus yang tidak dapat meneyekolahkan anaknya
hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Biasanya hal ini disebabkan karena faktor
ekonomi. Para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk membantu pekerjaan
mereka, seperti berdagang menjadi petani dan lain sebagainya.
4. Agama
Jumlah penduduk dari segi pemeluk agama dan sarana peribadatan
masyarakat desa Pringapus adalah sebagai berikut:
TABEL 04
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama
No
Pemeluk Agama
Jumlah
1
Islam
7360 Orang
2
Kristen Protestan
16 Orang
3
Kristen Khatolik
10 Orang
4
Hindu
- Orang
5
Budha
- Orang
7.386 Orang
Jumlah
Mayoritas penduduk Pringapus adalah Muslim. Karena agama Islam
telah di anut oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Hal ini dapat
terlihat dari tidak adanya bangunan atau rumah ibadat agama lain. Sepertu
gereja atau biara atau kuil atau pura atau bahkan klenteng. Yang ada hanya
Masjid dan Mushola. Hal terbukti seperti tabel berikut ini:
TABEL 05
Tabel Keagamaan
No
Tempat Peribadatan
Jumlah
1
Masjid
9 Buah
2
Mushola
28 Buah
3
Gereja, Pura atau klenteng
- Buah
Dari beberapa masjid yang ada di desa Pringapus, terdapat satu buah
masjid yang menjadi peninggalan sejarah, yaitu Masjid Jami Syaikh
Basyaruddin yang terletak di RW II. Selain menjadi peninggalan sejarah, di
masjdi ini tempat menyimpan satu pusaka yaitu Qur’an Blawong, bentuknya
memang seperti Al-Qur’an pada umumnya, namun berdasarkan cerita yang
berkembang di masyarakat, tidak semua orang dapat membaca kitab tersebut.
C. Gambaran Umum Masyarakat Muhammadiyah Dan NU Setempat
Sesuai dengan data tabel di atas bahwa sebagian besar penduduk desa
Pringapus yaitu 7.360 orang dari jumlah penduduk keseluruhan yang
berjumlah 7.386 orang adalah Muslim. Oleh karena itu, sudah dapat dipahami
kalau dalam keseharian pola hidup mayarakat desa Pringapus menunjukkan
corak kehidupan yang islami. Keislaman menurut faham yang dilakukan oleh
warga NU dan Muhammadiyah.
Sekilas,
memang
kehidupan
keagamaan
cara
NU
dengan
Muhammadiyah tidak ada perbedaan yang tajam, akan tetapi pada tataran
realitas social, sering terjadi adanya perbedaan pendapat yang mendatar,
terutama dalam hal pandangan dan cara menyingkapi ritual ziarah kubur
(makam). Bagi masyarakat NU setempat, ziarah kubur tidak dilarang bahkan
dianjurkan Karena tidak dianggap menyalahi syariat Islam. Akan tetapi, bagi
warga Muhammadiyah, ziarah kubur tidak benar dan merupakan bid’ah
(segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad). Contoh lain
adalah pada saat perayaan hari raya Islam yang kaitannya dengan sholat sunat
Ied. Biasanya wrga Muhammadiyah cenderung menjalankan sholat Ied di
tanah lapang, sementara warga NU melaksanakan sholat Ied di masjid.
Kenyataan tersebut sedikit banyak berpengaruh pada tradisi yang biasa
dilaksanakan oleh masyarakat desa Pringapus. Secara keseluruhan, dalam
kesehariannya warga NU cenderung lebih banyak melakukan aktivitas yang
mentradisi.
Tradisi dalam Masyarakat Pringapus
1. Yasinan
Yasinan adalah kegiataan keagamaan berupa pembacaan surat
Yasin dan Tahlil serta doa yang biasanya dilaksanakan setiap malam
Jum’at, setelah Sholat Maghrib, yang diadakan di Mushola-mushola.
Peserta Yasinan biasanya adalah jama’ah Sholat Maghrib di Mushola.
Selain dilaksanakan secara rutin pada malam jum’at, kegiatan
Yasinan sering dilaksanakan pada saat-saat memperingati meninggalnya
seseorang, istilahnya kurmat yang dilaksanakan pada hari ke-3 kematian
(nelung dina), hari ke-7 (mitung dina), hari ke-40 (matang puluh), hari ke100 (nyaus), setahun atau sependak, istilahnya mendak. Hitungan mendak
ada tiga, yaitu mendak 1, mendak 2 dan mendak 3. Tahun pertama
hitungannya 365 hari disebut mendak pisan (1), tahun kedua disebut
mendak pindho (2), dan tahun ketiga hitungannya hari ke-1000 disebut
mendak ketelu (3) atau disebut dengan istila ngentek.
2. Nariyahan
Nariyahan adalah komunitas sekaligus kegiatan keagamaan
berupapembacaan Sholawat. Istilah nariyahan diperluas dari sebutan
Sholawat Nariyah. Kegiatan ini biasanya diikuti oleh pada ibu maupun
remaja puteri dan diadakan setiap malam selasa, tempatnya biasanya
bergilir dari rumah ke rumah para jamaahnya.
3. Selapanan
Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35
ini, hari lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari
Rabu Pon (hari weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu
Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon,
Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan
masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu
angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai
makna yang sangat kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton
bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun. Namun selapanan
utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan kesehatan
bayi.
4. Punggahan
Punggahan adalah istilah untuk acara keagamaan yang diadakan
guna menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Dilaksanakan pada
akhir bulan Ruwah (Sya’ban) bersamaan dengan acara Haul Syekh
Basyaruddin (beliau merupakan tokoh agama yang tinggal di desa
Pringapus, yang sampai sekarang namanya diabadikan sebagai sebuah
nama salah satu Masjid di desa Pringapus, yaitu masjid Jami’Syekh
Basyaruddin) acara ini dilaksanakan di makam Syekh
Tradisi keagamaan sebagaimana di atas, merupakan bentuk dari
kohesitas masyarakat yang tengah mengalami perubahan. Perubahan dari
masyarakat yang bercorak agraris ke dalam masyarakat industri.
Perubahan itu dapat terlihat dari pelaksanaannya, sudah banyak
dipengaruhi budaya luar. Dalam hal jamuan makanan misalnya, pada
zaman dahulu setiap kegiatan selalu menyajikan hidangan nasi klubanan
atau ambengan (berupa nasi dengan sayur-sayuran, lauk telur rebus, ikan
asin,dll), akan tetapi menu tersebut saat ini, diganti dengan makanan
berupa makanan kudapan dengan alasan agar lebih praktis dan diangap
lebih modern.
BAB IV
POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MUHAMMADIYAH DENGAN
MASYARAKAT NU
A. Pola Komunikasi Antar Pribadi
Setelah penulis melakukan penelitian di desa Pringapus, terkadang
penulis menemukan interaksi berupa komunikasi yang kurang intensif baik
dari kalangan masyarakat Muhammadiyah maupun masyarakat NU pada
generasi tua mereka. Namun hal ini sangat berbeda sekali saat penulis melihat
generasi setelahnya
atau pada anak-anak mereka. Penulis sering sekali
menemukan interaksi berupa komunikasi yang terjalin sangat intensif. Bahkan
banyak diantara mereka yang tergabung dalam suatu lembaga social
masyarakat yang bernama BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). BKM itu
sendiri bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat desa Pringapus. Di dalam
lembaga tersebut tidak ada diskriminasi antara warga dari golongan
Muhammdiyah ataupun dari NU.
Dulu sangat ekstrim sekali terlihat perbedaan antara masyarakat
Muhammadiyah dan NU dan seolah ada jurang pemisah antara keduanya.
Salah satu contohnya adalah ada beberapa warga Muhammadiyah yang
enggan menyekolahkan anaknya kalau bukan di sekolah Muhammadiyah,
pernah juga ada keluarga dari NU yang tidak jadi menikahkan anaknya setelah
tahu calon menantunya itu dari keluarga Muhammadiyah. Namun saat ini
keadaan masyarakat Muhammadiyah dan Nu sudah jauh lebih baik, kendati
kedua masyarakat ini sudah bisa dikatakan dapat membaur bersama, namun
penulis masih dapat menemukan perbedaan yang mencolok di antara
keduanya, dan biasanya perbedaan tersebut terlihat dalam konteks keagamaan.
Contohnya dalam perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, kedua
masyarakat tersebut melaksanakan sholat Ied tidak di satu tempat, melainkan
di tempat yang terpisah, masyarakat Muhammdiyah biasanya melaksanakan
Sholat Ied di tanah lapang sedangkan masyarakat NU di dalam masjid.
Pernah juga pada perayaan hari raya Idul Fitri dua tahun yang lalu
mereka merayakan hari raya pada hari yang berbeda, masyarakat
Muhammadiyah merayakan hari raya Idul Fitri pada tanggal tiga puluh pada
bulan Ramadhan sedangkan masyarakat NU merayakannya seperti biasa, yaitu
pada tanggal satu Syawal. Namun hal ini rupanya sudah tidak menjadi suatu
hal yang menyebabkan mereka terpecah, baik masyarakat Muhammadiyah
maupun NU saat ini sudah bisa menerima perbedaan masing-masing dan
saling menghormati satu sama lain. Masyarakat Muhammadiyah yang pada
saat itu merayakan hari raya Idul fitri lebih dulu memlilih untuk menunda
untuk merayakannya, meskipun ada beberapa yang merayakannya namun
mereka merayakannya hanya di dalam rumah saja, atau masih dalam konteks
satu keluarga. Jadi setelah mereka melaksanakan sholat Ied mereka kembali
pulang dan kemudian melakukan aktivitas seperti biasanya baru kemudian
besoknya mereka merayakan hari raya Idul Fitri bersama dengan masyarakat
Pringapus yang lain. 57
57
Wawancara dengan bapak Saeri 1 Juli 2009
Meskipun demikian, seperti apa yang sudah penulis katakan di atas,
saat ini memang keadaan masyarakat desa Pringapus sudah jauh lebih baik,
namun penulis masih menemukan beberapa orang dari generasi tua yang
berasal baik dari Muhammadiyah maupun dari NU yang menjalin komunikasi
hanya dari beberapa konteks tertentu saja, biasanya dari konteks ekonomi dan
konteks sosial:
1.
Konteks Ekonomi
Desa Pringapus adalah sebuah daerah yang cukup strategis dan
lokasi tanahnya bisa dibilang sangat baik sekali digunakan untuk lahan
pertanian, karena desa Pringapus terletak di sekitar kaki gunung pertanian,
terbukti desa Pringapus masih dikelilingi dengan area persawahan,
meskipun saat ini sudah banyak pabrik-pabrik yang didirikan di sekitar
desa, namun luas lahan untuk pertanian masih sangat luas. Kendati
masyarakat desa Pringapus memiliki lahan persawahan yang luas, sedikit
dari mereka yang berprofesi sebagai petani sendiri, atau mereka mengolah
lahan persawahan mereka sendiri.
Kebanyakan dari mereka menyerahkan lahan persawahan mereka
untuk dikelola oleh orang lain, dengan sistem bagi hasil. Yaitu mereka
membagi hasil panen dari lahan yang dikelola saat musim panen nanti.
Pada konteks inilah terjadi interaksi berupa komunikasi yang intensif
antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat Nu setempat, di
mana kebanyakan orang NU sebagai pemilik lahan karena bisa dikatakan
mayoritas masyarakat NU di desa Pringapus merupakan masyarakat asli
desa Pringapus dan orang dari Muhammadiyah yang kebanyakan sebagai
warga pendatang yang menjadi buruh tani.
Bentuk lain dari konteks ekonomi yang terjadi dalam komunikasi
antara masyarakat dari kalangan Muhamadiyah dan Nu adalah di pasar
Pringapus. Pasar Pringapus ini merupakan satu-satunya pasar yang ada di
desa Pringapus. dan banyak masyarakat setempat yang berprofesi sebagai
pedagang di pasar tersebut. Para pedagang di pasar Pringapus ini
mayoritas masyarakat dari kalangan Muhammadiyah. Dalam konteks ini
komunikasi yang terjadi adalah hanyalah sebatas sebagai penjual dan
pembeli, di mana orang-orang dari Muhammadiyah kebanyakan sebagai
penjual dan orang dari NU kebanyakan sebagai pembeli, dan dalam hal ini
merupakan kebalikan dari konteks yang pertama yaitu di mana masyarakat
NU mayoritas sebagai pemilik tanah dan Masyarakat Muhammadiyah
sebagai buruh tani.
Komunikasi yang penulis lihat dari kedua konteks ekonomi di atas,
menurut penulis bukanlah komunikasi yang dapat mendekatkan hubungan
antara orang-orang dari kalangan Muhammadiyah dengan orang-orang
dari kalangan NU. Namun karena komunikasi yang terjadi sangatlah
singkat dan hanya dalam konteks jual beli, di mana jika telah tercapai
kesepakatan harga, maka komunikasi pun terhneti dan selesai. Tidak ada
efek yang lebih mendalam dari komunikasi tersebut. padahal menurut
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, ada lima indikasi dari komunikasi yang
efektif, yaitu: pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan
yang makin baik dan tindakan.
Pemahaman berarti dalam proses komunikasi orang-orang yang
terlibat di dalamnya saling memahami apa yang diinginkan atau dimaksud
oleh lawan bicaranya. Kesenangan yaitu bagaimana komunikasi yang baik
dapat memberikan kesenangan pada orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Pengaruh pada sikap, yaitu bagaimana komunikasi itu tidak saja
memberikan suatu informasi, tetapi juga dapat mempengaruhi sikap dari
komunikannya. Hubungan yang makin baik dapat berarti komunikasi
efektif dapat merekatkan tali silaturahmi atau merekatkan hubungan yang
mulai merenggang. Dan yang terakhir adalah tindakan yaitu bagaimana
komunikasi yang efektif dapat berpengaruh pada tindakan para
komunikannya.
2. Konteks Sosial
Salah satu ciri khas masyarakat desa pada umunya yang juga
terlihat pada masyarakat desa Pringapus adalah gotong-royong atau kalau
dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”.
Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan
“nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang
sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan
kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip
mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik
kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
Maksud penulis di sini adalah warga setempat tidak hanya
bergotong royong jika salah satu warga memiliki hajat atau musibah saja,
tetapi dalam semua konteks sosial, di antaranya adalah di saat ada program
kerja bakti seperti pembenahan jalan-jalan yang rusak serta pembuatan
sarana dan prasana untuk umum, bahkan sekarang BKM Mandiri yang ada
di desa Pringapus bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk
membenahi rumah-rumah warga yang sudah tidak layak huni, agar
masyarakat desa Pringapus dapat sejahtera secara keseluruhan.
Dalam komunikasi dengan konteks kegiatan sosial ini masyarakat
dari Muhammadiyah dengan masyarakat Nu akan bertemu dan
berinteraksi. Dalam konteks ini terlihat juga karakteristik masyarakat desa,
yaitu Guyub atau kekeluargaan di mana sudah menjadi karakteristik khas
bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah
“mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.
B. Pola Komunikasi Antar Kelompok
Jika berbicara mengenai komunikasi kelompok yang terjalin antara
kedua masyarakat Muhammadiyah dan NU, penulis hanya menemukan hanya
pada konteks keagamaan saja, biasanya masyarakat pedesaan dikenal sangat
religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah
agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam
kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban,
Jumat Kliwonan, dll.
Konteks keagamaan di sini adalah acara-acara keagamaan berupa
ceramah atau tabligh akbar dalam memperingati maulid nabi Muhammad
SAW dan acara punggahan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Dalam kegiatan keagamaan yang menurut penulis adalah merupakan salah
satu dari pola komunikasi kelompok yang lebih tepatnya adalah kelompok
kecil, di mana bertindak sebagai penyampai pesan atau komunikan adalah
seorang ustadz atau kiyai. Pada umumnya yang bertindak sebagai ustadz atau
kiyai adalah tokoh-tokoh masyarakat atau para sesepuh desa Pringapus.
Kegiatan komunikasi kelompok kecil yang mempertemukan
masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat NU ini paling
sering penulis temukan di wilayah RW 01 dan RW 02, biasanya mereka
melakukan acara keagamaan ini di Masjid Jami Syekh Basyaruddin. Pola
komunikasi yang terjadi dalam komunikasi kelompok ini adalah pola Linear,
seperti yang penulis gambarkan pada gambar 02 yang menjelaskan pola
komunikasi kelompok kecil.
Komunikator
(kyai/Ustadz)
Pesan
Jamaah
(terdiri dari
semua
kalangan
masyarakat)
Gambar 02
Model komunikasi Masyarakat daei kalangan Muhammadiyah dengan
Masyarakat NU dalam konteks keagamaan
efek
Meskipun berjalan satu arah dan ada sebagian warga dari kalangan
Muhammadiyah yang tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan seperti ini
namun menurut penulis komunikasi dengan model seperti ini jauh lebih
memiliki efek pada komunikan daripada proses komunikasi yang terjadi dalam
konteks ekonomi. Karena penyampai pesan atau komunikator adalah sebagai
orang yang dianggap memiliki kredibilitas, dipercaya dan dapat diterima oleh
warga masyarakat. Maka apa yang disampaikan lebih didengar dan dipatuhi
oleh komunikannya, dalam hal ini komunikannya adalah warga masyarakat
desa Prigapus.
C. Faktor-faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya Masyarakat
Muhammadiyah dengan Masyarakat NU
1. Faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya
Ada beberapa karakteristik masyarakat desa Pringapus yang
menjadi faktor pendukung dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
a. Sikap kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa
suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging”
dalam hati sanubari mereka. Hal ini pun terlihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat desa Pringapus yang memperlihatkan sikap
kekeluargaan, seperti contohnya apabila salah satu warga tertimpa
musibah atau mengadakan suatu hajat seperti akan menikahkan
anaknya atau sekedar acara tasyakuran, biasanya para tetangga di
lingkungan sekitar warga yang memiliki hajat akan segera datang
untuk memberi bantuan tanpa diminta terlebih dahulu oleh si pemilik
hajat tersebut seolah mereka merasa sepereti saudara sendiri.
b. Menjunjung tinggi sikap sopan santun
Hal ini sangat terlihat sekali pada masyarakat desa Pringapus
dalam kehidupan sehari-hari, dimana mereka bisa menempatkan sikap
mereka. Contohnya Seperti, mereka membedakan logat bahasa yang
digunakan saat mereka berbicara dengan orang yang lebih tua dari
mereka dengan saat mereka berbicara dengan teman sebayanya, selain
itu jika mereka berpapasan dengan orang yang lebih tua, biasanya
orang yang lebih muda lah yang menegur terlebuh dahulu.
c. Sikap saling menghargai orang lain
Sesuai dengan sikap masyarakat desa pada umumnya,
masyarakat desa Pringapus sangat menghargai orang lain, mereka
benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah
diterimanya sebagai patokan untuk membalas kebaikan orang tersebut
di kemudian hari.
d. Sikap Gotong-royong
Dalam konteks ini penulis melihat sikap gotong royong
masyarakat desa Pringapus dalam kehidupan sehari-hari, contohnya
mereka saling bergotong royong dan bekerja sama apabila tetangganya
ada yang terkena musibah, seperti halnya sikap kekeluargaan mereka
akan
dengan
sendirinya
bersama-sama
meringankan
beban
tetangganya yang memang sedang membutuhkan bantuan.
e. Sikap Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa,
pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu
dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam
kehidupan sehari-hari apabila masyarakat desa Pringapus berselisih
paham akan sesuatu masalah maka cara yang ditempuh adalah dengan
cara musyawarah untuk mufakat, hal ini sangat efektif dalam
menyelesaikan masalah antara kedua orang atau kelompok yang
berselisih, biasanya mereka memanggil tokoh masyarakat sebagai
penengah.
f. Religius
Mayoritas masyarakat desa Pringapus adalah Muslim dan
dalam agama Islam di anjurkan untuk saling menjaga dan
menyambung tali silaturahmi atau tali persaudaraan antar sesama umat
Islam. Dan juga haram hukumnya menumpahkan darah sesama muslim
tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara hukum Syar’i ataupun
hukum positif dari suatu negara. Hal ini terlihat dalam kegiatan
perayaan hari raya. Misalnya pada saat merayakan hari raya idul fitri,
meskipun mereka pernah melaksanakannya pada hari dan tempat yang
berbeda, namun itu bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap
menyambung silaturahmi.
Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat
mereka mengadakan acara-acara
keagamaan,
bagi masyarakat
Muhammadiyah mereka tidak pernah melaksanakan acara-acara
keagamaan seperti Yasinan, Selapanan, Ruwahan, Nariyahan dan lain
sebagainya. Yang biasa melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini adalah
masyarakat dari kalangan NU, namun saat ini tidak sedikit masyarakat
dari kalangan Muhammadiyah yang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
tersebut meskipun ada sebagian warga Muhammadiyah yang tidak
mengikuti acara-acara seperti ini, namun mereka tidak merasa
terganggu dan tidak mengganggu acara tersebut. Biasanya mereka
datang selain untuk bersilaturahmi, karena kegiatan-kegiatan tersebut
memang sudah menjadi kebudayaan umum bagi masyarakat Jawa.
2. Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya
a. Sikap Mudah Curiga
Pada umumnya masyarakat desa memiliki sikap yang mudah
menaruh curiga kepada orang lain tentang sesuatu hal dan sesuatu hal
itu di anggap asing bagi mereka, bagi masyarakat di sana segala
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh mereka pada umumnya
dianggap asing. Hal ini adalah salah satu faktor yang menjadikan
terhambatnya proses komunikasi antar budaya antara masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU. Mereka memiliki pandangan
yang berbeda dalam segi beribadah. Misalnya dalam masyarakat
Muhammadiyah itu tidak ada yang namanya acara ziarah kubur,
Yasinan, Nariyahan, Selapanan, Punggahan dan lain sebagainya. Hal
ini berbeda sekali dengan masyarakat NU di Desa Pringapus yang
selalu mengadakan kegiatan-kegiatan tersebut dalam acara-acara
tertentu.
Akibat adanya sikap mudah curiga ini pernah terjadi gesekangesekan yang menyebabkan terhambatnya proses komunikasi antara
Masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat desa Kali Kidang
yang sampai sekarang masih terlihat seolah ada pembatas antara
masyarakat Muhammdiyah dengan masyarakat NU, hal itu di tandai
dengan
mereka
memiliki
masjid
masing-masing,
masyarakat
Muhammadiyah memiliki masjid sendiri dan masyarakat NU juga
memiliki masjid sendiri. Awal masalahnya sebenarnya hanya masalah
kecil, yaitu masjid yang di bangun oleh masyarakat Muhammadiyah di
sana digunakan untuk kegiatan “rebanaan” oleh masyarakat kali
kidang, pada masa itu kondisi masyarakat Kali kidang bisa dikatakan
minim dalam pengetahuan dan belum adanya tokoh masyarakat atau
tokoh agama yang menonjol. Selain itu banyak masyarakat kali kidang
pada umumnya tidak ingin dikatakan bahwa mereka itu dari kalangan
Muhammadiyah dan juga dari kalangan masyarakat NU, intinya
mereka menganggap diri mereka itu netral, namun meskipun mereka
menganggap diri mereka itu netral, namun tanpa mereka sadari
amaliah-amaliah masyarakat di sana dalam kehidupan sehari-hari
mencerminkan bahwa mereka itu seperti orang NU, seperti salah satu
contohnya dengan adanya kegiatan rebanaan tersebut. Dengan adanya
kegiatan
rebanaan
tersebut
beberapa
orang
dari
kalangan
Muhammadiyah memberikan reaksi secara tidak langsung, mereka
kurang setuju jika masjid yang di bangun mereka itu digunakan selain
untuk ibadah, apalagi mereka melakukan kegiatan yang tidak pernah
dilakukan oleh orang-orang Muhammadiyah, sedangkan masyarakat
Kali Kidang sendiri beranggapan bahwa masjid yang sudah di bangun
itu bersifat amal, dan mereka boleh melakukan kegiatan-kegiatan di
masjid selama tidak sampai mengganggu orang yang beribadah.58
Akhirnya dampak dari peristiwa tersebut masyarakat di sana
beribadah di tempat yang berbeda, masyarakat Muhammadiyah
memiliki masjid sendiri dan masyarakat Kali kidang yang di luar
Muhammadiyah pun memiliki masjid sendiri.
b. Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam yang berbeda
pandangan dalam beribadah.
Muhammadiyah
dan
NU
adalah
organisasi
Islam,
Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam
secara fiqh. Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" (begitu
ilmuwan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang
memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad,
Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok
"tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll.
58
Wawancara deengan bapak Umar (beliau adalah warga sepuh dari kalangan NU)
Kedua organisasi ini memiliki berbagai perbedaan pandangan.
Dalam masyarakat, perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai
masalah furu' (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan
membid'ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU
mensunahkan, bahkan masuk dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan
harus melakukan sujud syahwi.
Perkembangan Muhammadiyah di desa Pringapus tidak seperti
perkembangan NU, perkembangan masyarakat NU jauh lebih cepat
karena pada dasarnya amalan-amalan masyarakat NU itu sesuai
dengan kebudayaan-kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya,
contohnya adalah ritual Yasinan. Awalnya ritual Yasinan ini adalah
ketika dahulu pada masanya Wali Songo, tepatnya pada masa Sunan
Kali jaga, masyarakat Jawa itu mayoritas adalah masyarakat Hindu,
apabila ada salah satu warga mereka yang meninggal maka mereka
berkumpul di rumah keluarga yang terkena musibah itu, namun
mereka berkumpul itu hanya sekedar kumpul-kumpul biasa, melihat
fenomena tersebut Sunan Kali Jaga mengubah kebiasaan mereka,
Sunan Kali Jaga menganjurkan agar mereka mambacakan surat Yasin
agar dalam kumpulnya mereka itu ada manfaatnya.
Karena pada awalnya masyarakat Jawa itu adalah masyarakat
Hindu, maka di dalam kegiatan ibadah itu apabila masih ada kaitannya
dengan kehinduan maka masyarakat itu akan cenderung lebih mudah
mengikuti. Kebudayaan yang masih banyak di lakukan oleh
kebanyakan warga desa Pringapus ini adalah mereka meminta berkah
kepada alim ulama yang sudah meninggal dan mengirimkan doa
kepada orang-orang yang sudah meninggal, yang bagi masyarakat
Muhammadiyah itu tidak pernah mereka lakukan. Bagi masyarakat
Muhammadiyah sendiri, apabila seseorang itu telah meninggal dunia
maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu amal yang
sholih, shodaqoh zariyah dan anak yang sholih, meskipun tidak sedikit
juga masyarakat dari kalangan Muhammadiyah yang mengikuti
bahkan mengadakan acara-acara sepereti Yasinan dan kendurian, hal
ini di sebabkan karena mereka belum bisa melepaskan kebudayaan asal
mereka, yaitu budaya Kehinduan.
c. Prasangka sosial
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara masyarakat
Muhammadyah dengan masyarakat NU terdapat juga prasangka sosial,
yang beberapa sebabnya adalah sebagai berikut:
1) Perbedaan dalam beribadah. Masyarakat Muhammadiyah di desa
Pringapus termasuk masyarakat minoritas, namun meskipun
mereka termasuk masyarakat minoritas, hal itu sama sekali tidak
mempengaruhi
apa
yang
sudah
menjadi
kegiatan
kaum
Muhammadiyah itu sendiri. Di dalam melaksanakan ibadah itu
kaum Muhammadiyyin hanya berfokus memandang apa yang
dicontohkan oleh rasul, apa yang dituntunkan oleh Muhammad,
apa yang diajarkan oleh nabi Muhammad dan apa yang telah di
lakukan oleh nabi Muhammad SAW. Menurut mereka yang
namanya ibadah itu adalah hanya mengikuti atau Ittiba pada
Rasulullah SAW, sebab yang tahu betul masalah ibadah itu hanya
Rasulullah sebab hal tersebut dibimbing oleh wahyu. Maka
Rasulullah membimbing umatnya secara sempurna umatnya dalam
beribadah lewat hadist-hadistnya yang shohih. Maka dari kaum
Muhammadiyyin itu kalo ada bentuk-bentuk ibadah yang tidak ada
contohnya, tidak ada perintahnya oleh Rasulullah SAW
itu
cenderung mayoritas mereka meninggalkan. Hal ini yang
membedakan
antara
masyarakat
Muhammadiyah
dengan
masyarakat NU. Meskipun saat ini ada sebagian masyarakat
Muhammadiyah yang masih mengikuti karena memang sebagian
masyarakat Muhammadiyah di sana itu memiliki pengetahuan yang
kurang,
dan juga masih kentalnya
kebudayaan mayoritas
masyarakat Jawa dalam melaksanakan acara-acara keagamaan
meskipun itu di luar yang telah di perintahkan oleh rasulullah.
Bagi kaum Muhammadiyyin, mereka berpegang teguh pada
hadist Nabi yang menerangkan bahwa “telah aku (Muhammad)
tinggalkan kepadamu dua perkara, dimana jika kalian berpegang
teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat, keduanya itu
adalah Kitaballah dan Sunnah Rasul. Berangkat dari hadist tersebut
kaum Muhammadiyyin beranggapan bahwasanya segala sesuatu
yang bukan dari Kitabullah dan bukan dari Sunnah Rasul, maka
mereka cenderung tidak mengerjakan atau bahkan meninggalkan,
hal ini lah yang membedakan antara kaum Muhammadiyyin dengan
kaum Nahdiyyin, yang menurut masyarakat NU sendiri dalam
melakukan seuatu hal apalagi yang menyangkut ibadah, selain dari
Al-Qur’an dan Hadist mereka mengikuti Ijma dan Qiyas.
Contoh lainnya adalah bagi kaum Muhammadiyyin segala
sesuatu yang telah diperbuat itu akan di kembalikan pada diri
pribadi masing-masing, contoh yang di maksud di sini adalah bagi
orang yang masih hidup tidak dapat melakukan ritual kirim doa
untuk sanak family atau kerabatnya yang telah meninggal dunia hal
ini sangat berbeda dengan kaum Nahdiyyin, di mana mereka biasa
melakukan ritual- ritual kirim doa seperti Yasinan, Tahlilan dan
Ziarah kubur. Di sinilah perbedaan antara kedua masyarakat
tersebut yang biasa penulis temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa contoh di atas maka prasangka sosial akan
mudah timbul dalam pikiran orang-orang yang memiliki perbedaan
apalagi perbedaan tersebut menyangkut ibadah. Dalam konteks ini
terkadang penulis menemukan ketidak serasian antara kedua
masyarakat tersebut, yaitu biasanya penulis menemukan adanya
konflik batin,
2) Kepentingan. Jika terjadi benturan kepentingan antara satu orang
dengan orang lain terlebih orang yang berbenturan kepentingan itu
berasal dari kelompok atau golongan yang berbeda. Maka
prasangka sosial akan mudah tertanam dalam pikiran orang yang
berbenturan kepentingan tadi. Dalam hal ini penulis melihat saat
ada sanak famili atau kerabat dari kalangan Muhammadiyah yang
meninggal dunia, dan dari pihak keluarga tidak melakukan
kegiatan yasinan seperti yang biasa masyarakat sekitar lakukan,
maka hal ini akan menimbulkan prasangka-prasangka sosial seperti
adanya omongan-omongan miring dari beberapa warga sekitar
tentang keluarga yang di tinggalkan, misalnya ada yang
mengatakan keluarga tersebut pelit karena tidak mau mengadakan
ritual yang biasa masyarakat desa Pringapus lakukan. Meskipun
hanya sebatas konflik batin namun tetap saja hal ini merugikan
bagi pihak keluarga.
3) faktor
kurangnya
pengetahuan
dalam
masyarakat.
Dalam
penjelasan di atas tadi telah penulis jelaskan bahwa prasangka
sosial dapat menimbulkan konflik batin dalam bermasyarakat,
meski pun demikian seharusnya perbedaan yang terjadi antara
kedua masyarakat tersebut tidak akan menjadi masalah bagi orangorang yang memiliki pengetahuan.
Dari hasil pengamatan penulis, tidak terlalu banyak perbedaan
antara masyarakat Muhammadiyyin dengan Nahdiyyin, perbedaannya
hanya kebanyakan dari kalangan Nahdiyyin itu menganggap bahwa
perkataan dan kesepakatan para alim ulama itu dijadikan pegangan
pokok
setelah
Al-Qur’an
dan
Hadist,
jika
dari
masyarakat
Muhammadiyyin ucapan dan kesepakatan para ulama itu dijadikan
hanya sebagai refensi dalam beribadah, jka ucapan, perkataan dan
kesepakatan para ulama ini terdapat pada salah satu hadist nabi, maka
mereka akan melaksanakan, namun apabila tidak terdapat pada salah
satu hadist nabi dan apabila perkataan ulama tersebut ada dalam hadist
nabi tapi hadist tersebut dinilai Dhaif atau lemah, maka cenderung
mereka tinggalkan.
Dalam kesehariannya, antara masyarakat Muhammadiyah
dengan masyarakat NU itu memiliki pandangan yang berbeda
mengenai ibadah, namun dengan adanya perbedaan tersebut penulis
tidak pernah menemukan adanya konflik besar secara massa, yang
penulis temukan hanyalah sebatas konflik batin. Namun seiring
perkembangan pengetahuan masyarakat, konflik ini sedikit demi
sedikit mulai tidak terlihat, meskipun terkadang masih terjadi namun
tidak seperti dulu.
d. Stereotip
Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa stereotip yan
dilekatkan baik itu kepada masyarakat Muhammadiyah maupun
masyarakat NU. Pada masyarakat Muhammadiyah ada stereotip yang
berkembang dan menyatakan bahwa orang-orang dari kalangan
Muhammadiyah itu cenderung kurang khusyu dalam beribadah dan
pelit. Memang dalam beberapa kasus, penulis menemukan beberapa
orang dari kalangan Muhammadiyah itu setelah selesai melaksanakan
sholat mereka tidak berzikir terlebih dahulu, tidak seperti masyarakat
dari kalangan NU yang mayoritas dari kalangan NU setelah solat
terutama apabila sholat berjamaah di masjid selalu melaksanakan
dzikir terlebih dahulu.
Masyarakat Muhammadiyah di sana juga dikatakan pelit karena
mereka tidak pernah mengadakan acara-acara tasyakuran, dan apabila
di undang untuk hadir dalam acara-acara tasyakuran berupa yasinan
dan lain sebagainya mereka jarang hadir dan kalaupun mereka ikut
hadir mereka tidak ikut serta membaca yasin , mereka hanya sekedar
datang untuk menghormati warga yang lain.
Pada masyarakat di kalangan NU juga di kenakan stereotip, di
mana menurut warga dari kalangan Muhammadiyah itu, warga NU itu
berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah, menurut mereka dzikir
dsetelah sholat itu tidak di anjurkan hingga berlama-lama. selain itu
juga mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak pernah
dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dengan Masyarakat
NU
Pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat dari kalangan
Muhamnmadiyah dengan masyarakat NU mengambil bentuk hanya
pada komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. Dalam
komunikasi antar pribadi yang terjadi antara orang-orang dari
masyaarakat Muhammadiyah dengan orang-orang dari masyarakat
NU lebih sering terjadi pada dua konteks saja, yaitu konteks
ekonomi dan konteks sosial. Dalam konteks ekonomi komunikasi itu
terjadi biasanya di pasar Pringapus, di mana banyak orang yang
berasal dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat NU
bertransaksi bisnis di sana. Bentuk lain dari konteks ekonomi
dalam komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah
dengan masyarakat NU adalah di mana kebanyakan dari warga NU
sebagai pemilik sawah dan warga Muhammadiyah sebagai buruh
tani. Konteks lain dari komunikasi antar budaya masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah dalam konteks
sosial,
contohnya
mereka
bersama-sama
dalam
upaya
mensejahterakan warga desa Pringapus dengan mengadakan
kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti dan bakti sosial.
Pola
lain
dari
komunikasi
antar
budaya
masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah mengambil pola
komunikasi kelompok kecil, di mana hal ini terjadi dalam konteks
keagamaan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya
masyarakat pedesaan itu memiliki sifat yang religius. Namun dalam
hal ini tidak semua kegiataan keagamaan dapat menjadikan
komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan
masyarakat NU berjalan efektif, hal ini disebabkan adanya
perbedaan dalam pengamalan ibadah mereka dalam kehidupan
sehari-hari, masyarakat Muhammadiyah dalam ibadahnya hanya
berpedoman pada Al-Qu’an dan Hadist sedangkan masyarakat NU
berpedoman pada Al-Qur’an dan hadist serta Ijma dan Qiyas.
Karena adanya perbedaan itulah terkadang komunikasi yang
terjadi kurang efektif.
2. Faktor Penghambat dan Pendukung
Perbedaan pandangan dalam beribadah lebih dirasakan
sebagai faktor
yang membuat terhambatnya komunikasi antar
budaya. Hal ini disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan
pada sebagian warga masyarakat desa dan sikap curiga yang
mudah timbul dalam diri masyarakat desa. Kedua masyarakat ini
menganggap apa yang mereka kerjakan dalam beribadah itu
adalah yang benar, bagi kaum Muhammadiyyin mereka merasa
benar
karena
mereka
mengerjakan
segala
sesuatunya
berdasarkan AL-Qur’an dan hadist Nabi, segala sesuatu yang tidak
ada
dalam Al-Qur’an dan hadist
Nabi, cenderung
mereka
tinggalkan. Namun bagi kaum Nahdiyyin selain Al-Qur’an dan
hadist mereka juga berpegang pada Ijma dan Qiyas.
Sedangkan yang menjadi salah satu faktor pendukung dari
komunikasi antar budaya antara masyarakat Muhammadiyah
dengan
masyarakat
NU
di
desa
Pringapus
adalah
sikap
kekeluargaan yang terjalin antar sesama warga desa. Di mana
biasanya interaksi sosial yang terjalin antara masyarakat yang
tinggal di desa itu jauh lebih baik daripada masyarakat yang tinggal
di kota.
B. SaranSaran-saran
Memperhatikan dari faktor penghambat dan faktor pendukung
komunikasi
yang
terjadi
antara
masyarakat
dari
kalangan
Muhammadiyah dengan masyarakat dari kalangan NU, maka penulis
berkeinginan memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Sebagai warga masyarakat yang bersifat heterogen, hendaknya
setiap warga harus memiliki sikap saling menghormati dan saling
menghargai pada setiap perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan
menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai tembok pembatas
untuk dapat saling berkomunikasi. Karena indahnya kebersamaan
jika bisa dapat saling berdampingan dengan adanya perbedaan.
2. Sebagai sesama muslim hendaknya dapat menumbuhkan rasa
toleransi dalam beribadah, tidak perlu berlarut-larut dalam
membicarakan perbedaan-perbedaan yang ada karena jika itu
terus di perbincangkan maka aperbedaan itu tidak akan ada
habisnya. Biarkanlah perbedaan itu tetap ada selama perbedaan itu
tidak menyimpang dari Syari’ah.
3. Hendaknya bagi setiap masyarakat, lebih ditekankan lagi rasa ingin
tahu, agar tidak adanya lagi sikap mudah curiga dan konflik-konflik
yang memicu pada perpecahan antar sesama muslim. Karena di
dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa jangan lah kamu menghina
suatu kaum karena boleh jadi kaum yang kamu hina itu lebih baik
dari kamu.
DAFTAR PUSTAKA
Alex. H. Rumondor dkk, komunikasi antar Budaya, (Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka, 2001),
Alo Liliweri, “dasar-dasar komunikasi antar budaya”, (Jogjakarta: Pustaka
{Pelajar Press, 2000
Asnawir dan Basyirudin Ustman, media pembelajaran (Jakarta; Ciputat Press,
2002)
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003)
Astrid S. Susanto, Komunnikasi Dalam Teori dan Praktek,(Bandung, Bina Cipta,
1942)
Bakrie Abbas, Komunikasi Internasional: Peran dan Permasalahannya, (Jakarta;
Yayasan Kampus Tercinta- ISIIP),
Deddy Mulyana, ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003),
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, “komunikasi antar budaya”. (PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung). Cet-9, 2005)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahaa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996)
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung. PT. ERESCO, 1996) cet ke-13
H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA,
2006)
J. Winardi, S.E, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali Pers,
2006),
Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication konteks-konteks
komunikasi antar budaya, (Bandung:PT. Remaja Rosda karya buku ke2, 2001),
Stewart
L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human
Communication KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja
Risdakarya, 2005)
Harwantiyoko dan Neljte F. Katuuk, MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Gundar,
1992)
Onong Uchyana Effendi, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992),
cet ke-1
Onong Uchyana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung;PT> Remaja
Rosdakarya, 2000), cet ke-4,
Onong Uchjana Efendi,Imu Komunikasi Teori dan Praktek, ,(Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1990),
Sasa Djuarsa Sendjaya, Pengantar Komunikasi, (Jakarta, Universitas Terbuka,
1998),
Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Phill Astrid Susanto, Komunikasi dalam teori dan Praktek, (Bandung, Bina Cipta,
1998)cet ke-3,
Puis A. Partanto dan M. Fahlan Al- Barry, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya:Arkola, 19941)
R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan
Kinerja Perusahaan, (Bandung; Rosda Karya, 2006),
Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 1993)
Download