KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah Dan NU Di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah) Oleh : MUCHAMMAD ARIEF SIGIT MUTTAQIEN NIM. 105051001976 JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah Dan NU Di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) Oleh : MUHAMMAD ARIEF SIGIT MUTTAQIEN NIM. 105051001976 Pembimbing : Drs. Jumroni, M.Si NIP : 19630515 1992031 006 JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang memiliki judul “Komunikasi Antar Budaya (Study Pada pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah” telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 9 Desember 2009.Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 9 Desember 2009 PANITIA SIDANG MUNAQOSAH Ketua Merangkap Anggota, Anggota, Sekretaris Drs. Mahmud Jalal, Ma NIP. 19520422 198103 1002 Merangkap Dra. Halimah SM M. Ag NIP. 19590413 199603 2001 Anggota, Penguji I, Penguji II, Drs.Masran, M. Ag NIP. 150275384 Drs. Wahidin Saputra, MA NIP.197108161997032002 Pembimbing, Drs. Jumroni, M.Si NIP. 19630515 199203 1006 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat,16 September 2009 M. Arief Sigit. Muttaqien ABSTRAKSI JUDUL : KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (STUDY PADA POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MUHAMMADIYAH DAN NU DI DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH) NAMA : MUCHAMMAD ARIEF SIGIT. M Komunikasi antar budaya pada dasarnya adalah komunikasi biasa. Hanya yang membedakanya adalah latar belakang budaya yang berbeda dari orang-orang yang melakukan proses komunikasi tersebut. Aspek-aspek budaya dalam komunikasi seperti bahasa, isyarat, non verbal, sikap kepercayaan, watak, nilai dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan besar yang sering kali menyebabkan distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam masyarakat yang bagaimanapun berbedanya kebudayaan. Tetaplah akan terdapat kepentingankepentingan bersama untuk melakukan komunikasi Muhammadiyah dan NU adalah organisasi Islam, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh. Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll Dari hal di atas timbulah pertanyaan dalam benak penulis tentang bagaimana pola komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan Nu di sana serta apa faktor pendukung dan penghambat dalam mereka berkomunikasi? kehidupan keagamaan cara masyarakat NU dengan Muhammadiyah di desa Pringapus tidak ada perbedaan yang tajam, akan tetapi pada tataran realitas social, sering terjadi adanya perbedaan pendapat yang mendatar, terutama dalam hal pandangan dan cara menyingkapi ritual ziarah kubur (makam). Bagi masyarakat NU setempat, ziarah kubur tidak dilarang bahkan dianjurkan Karena tidak dianggap menyalahi syariat Islam. Akan tetapi, bagi warga Muhammadiyah, ziarah kubur tidak benar dan merupakan bid’ah (segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad). Contoh lain adalah pada saat perayaan hari raya Islam yang kaitannya dengan sholat sunat Ied. Biasanya warga Muhammadiyah cenderung menjalankan sholat Ied di tanah lapang, sementara warga NU melaksanakan sholat Ied di masjid Sebagai warga masyarakat yang bersifat heterogen, hendaknya setiap warga harus memiliki sikap saling menghormati dan saling menghargai pada setiap perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai tembok pembatas untuk dapat saling berkomunikasi. Karena indahnya kebersamaan jika bisa dapat saling berdampingan dengan adanya perbedaan. KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa terucap kepada Allah dari lisan manusia yang taat kepadaNya. yang masih memberikan kesempatan kepada penulis untuk beribadah kepadaNya dan untuk ber Sholawat kepada kekasihnya, serta dengan izinnya pula penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa terucap kepada manusia yang agung, yang bagus ucapannya, yang luhur bedi pekertinya, yang tidak pernah lelah untuk mengajak umatnya kepada jalan yang benar serta yang akan menyelamatkan umatNya di dunia dan di akhirat beliau adalah Sayyiudina Muhammad bin Abdillah Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Walaupun cukup banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi, baik itu berupa sifat malas, lalai dan sombong yang masih melekat kuat di dalam diri penulis. Sungguh sesuatu yang sangat anugrah terindah yang diberikan Allah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua ini terwujud yang telah mendukung serta memberikan motivasi kepada penulis. Penulis persembahkan segalanya kepada bapak (Much. Thamrin) yang dengan ketegaran hidupnya telah menjadi sumber inspirasi dan semangat hidup bagi penulis dan kepada ibu (Hartini) yang air susunya telah menjadi daging dalam tubuh ini, yang dengan keringat dan air matanya telah menyatu dalam jiwa penulis. Kakakku Muchammad Choirul Khamsani dan kak Purwa Ningsih serta keponakan ku Nada Thifalya Azzahra dan adik Nur Rahmawati Handayani yang selalu mendoakan penulis serta menghibur penulis dikala kesedihan datang kepada penulis. Selanjutnya penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi, rasa terima kasih penulis uapkan kepada: 1. Kepada bapak Dr. Arief Subhan MA sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan bapak Drs. H. Mahmud Djalal, MA selaku Pudek II dan bapak Drs Study Rizal LK, MA selaku Pudek III. 2. Kepada Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi bapak Drs. Wahidin Saputra, MA dan juga Bapak Drs. Jumroni. M.si sebagai pembimbing skripsi yang selalu setia dan sabar membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Kepada para dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan dedikasinya sebagai pengajar yang memberikan berbagai pengarahan, pengalaman, serta bimbingan kepada peneliti selama dalam masa perkuliahan. 4. Kepada bapak/ibu pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas yang telah membantu peneliti dengan penyediaan bahan-bahan dalam mengerjakan skripsi ini. 5. Keluarga besar penulis di Pringapus kepada Pakde Ud, mas pipit dan mbak Yuli, serta keluarga Mbah Sukinah, mbak Umi, Om Yon, Intan dan elok, yang telah membantu mengumpulkan data hingga akhirnya selesainya skripsi ini. 6. Sahabat-sahabat yang ada dikampus, Ahmad Fawzi yang senantiasa membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, Pahlevi, Zulvikar dan Rahmat Hidayat 7. kepada Nurhasanah yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis serta teman-teman keluarga besar dari Yayasan Al-Istiqomah Nugraha Sumaryadi Ramadhan S.sos.i, Maulana Sukarya, Wahyu Pratama Putra, Ahmad Rifa’i, Sendi Prabowo dan Rohiman Sunandar yang selalu mewarnai hari-hari penulis dengan indahnya persahabatan yang telah kalian berikan.. 8. Keluarga Besar KPI D angkatan 2005, kk Farah, Kikim, Shella, Shofi, Geary, Novi, Irma Iztarizkizra, Zaini yang sudah membantu penulis serta telah menjadi keluarga bagi penulis. Pada akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang besarbesarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah yang akan membalas semua kebaikan sahabat-sahabatku tercinta. Amin ya Rabbal Alamin Ciputat,16 September 2009 Muchammad Arief Sigit Muttaqien DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... ii ABSTRAKSI ............................................................................................... iii KATA PENGANTAR................................................................................. iv DAFTAR ISI ............................................................................................... vii DAFTAR TABEL ....................................................................................... x BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 6 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................... 6 D. Metodologi Penelitian ...................................................... 7 E. Tinjauan Pustaka.............................................................. 9 F. Sistematika Penulisan....................................................... 9 TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya.............................. 12 B. Pengertian Pola Komunikasi ............................................ 15 1. Proses Komunikasi..................................................... 16 2. Bentuk-bentuk Komunikasi ........................................ 20 C. Pengertian Masyarakat ..................................................... 22 1. Etika dan Budaya Masyarakat Desa............................ 23 2. Karakteristik Masyarakat Desa ................................... 23 D. Komunikasi Organisasi .................................................... 27 BAB III 1. Pengertian Komunikasi Organisasi ............................. 27 2. Teori Komunikasi Organisasi ..................................... 30 E. Prasangka dan Stereotip ................................................... 35 1. Pengertian Prasangka ................................................. 35 2. Pengertian Stereotip ................................................... 37 GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH A. Keadaan Geografis Desa Pringapus, Kec. Pringapus, Semarang, Jawa Tengah ................................................... 38 B. Kondisi Demografis ......................................................... 40 C. Gambaran Umum Masyarakat Muhammadiyah dan NU Setempat .......................................................................... BAB IV 46 POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DARI KALANGAN MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT NU DI DESA PRINGAPUS A. Pola Komunikasi Antar Pribadi ........................................ 50 B. Pola Komunikasi Antar Kelompok................................... 55 C. Faktor-faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya BAB V Masyarakat Muhammadiyah dengan Masyarakat NU....... 57 1. Faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya ............ 57 2. Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya .......... 60 PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................... 70 B. Saran................................................................................ 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 74 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 01 Data Penduduk Desa Pringapus Berdasarkan Usia .................... 41 Tabel 02 Mata Pencaharian masyarakat Pringapus................................... 43 Tabel 03 Tingkat Pendidikan Warga Desa Pringapus............................... 44 Tabel 04 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama ....................... 45 Tabel 05 Tabel Keagamaan ..................................................................... 45 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling berkomunikasi. Manusia juga pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup, yaitu sebagai makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia mempunyai beberapa tujuan dan cita-cita yang ingin di capai, di mana masing-masing individu memiliki tujuan dan kebutuhan yang berbeda dengan individu lainnya. Sedangkan sebagai mahluk sosial, individu selalu ingin berinteraksi dan hidup dinamis bersama orang lain. !" )*!☺ ( #$%&' 0☺12 / -. : 56$)89 !☺3 4 (5 – 1 : )ا Artinya: ”(1). (Tuhan) yang Maha pemurah (2)Yang Telah mengajarkan Al Quran.(3)Dia menciptakan manusia (4) Mengajarnya pandai berbicara (5) Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” Dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Individu memiliki tujuan, kepentingan, cara bergaul, pengetahuan ataupun sutau kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya dan semua itu harus dicapai untuk dapat melangsungkan kehidupan. Komunikasi memiliki fungsi tidak hanya sebagai pertukaran informasi dan pesan tapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta dan ide. Agar komunikasi berlangsung efektif dan informasi yang disampaikan oleh seorang komunikan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh seorang komunikator, maka seorang komunikan perlu menetapkan pola komunikasi yang baik pula.1 Dalam kehidupan sehari-hari, tidak perduli di mana kita berada, kita selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang–orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu kita hadapi. Berkomunikasi merupakan kegiatan sehari-hari yang sangat popular dan pasti dijalankan dalam pergaulan manusia. Aksioma komunikasi mengatakan:”manusia selalu berkomunikasi, manusia tidak dapat menghindari komunikasi.”2 Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dari seluruh waktu kita dipakai untuk berkomunikasi, untuk itu kita akan merasa betapa pentingnya komunikasi untuk dipelajari. Agar kita dapat berkomunikasi dengan efektif, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman. Berikut beberapa contoh kasus yang disebabkan komunikasi yang tidak efektif adalah adanya kasus perceraian, permusuhan, bunuh diri, keretakan hubungan antara orang tua dan anak, bahkan sampai konflik antar suku budaya. Sebuah fakta sosial yang harus kita terima adalah tentang kemajemukan yang ada pada kehidupan manusia. Yaitu bahwa manusia dapat 1 Asnawir dan Basyirudin Ustman, media pembelajaran (Jakarta; Ciputat Press, 2002) Alo Liliweri, “dasar-dasar komunikasi antar budaya”, (Jogjakarta: Pustaka {Pelajar Press, 2000) 2 dibedakan berdasarkan suku, agama dan ras. Bahkan terhadap individu pun dapat pula dibedakan dalam hal pemikiran atau dalam persepsi tertentu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia3. Jika mengenai kebudayaan, hingga kini telah ditemukan lebih dari 500 definisi. Perbedaan penekanan dalam pemberian definisi ditentukan oleh lingkup materi budaya yang tercakup maupun pendekatan analisisnya. Hubungan antara budaya dam komunikasi sangat penting dipahami untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena itu melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi4. Misalnya seorang yang berasal dari Jawa, Jakarta atau dari Medan belajar berkomunikasi. Seperti orang–orang Jawa, orang–orang betawi dan orang-orang Medan lainnya. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku mereka tersebut dipelajari dan diketahui dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label yang dihasilkan budaya mereka. Komunikasi antar budaya pada dasarnya adalah komunikasi biasa. Hanya yang membedakannya adalah latar belakang budaya yang berbeda dari orang-orang yang melakukan proses komunikasi tersebut. Aspek-aspek budaya dalam komunikasi seperti bahasa, isyarat, non verbal, sikap 3 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, “komunikasi antar budaya”. (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung). Cet-9, 2005.Hlm 24 4 Ibid. hlm. 25 kepercayaan, watak, nilai dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan besar yang sering kali menyebabkan distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam masyarakat yang bagaimanapun berbedanya kebudayaan. Tetaplah akan terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk melakukan komunikasi. 5 Dalam perspektif Islam. Dasar-dasar untuk hidup bersama di tengahtengah masyarakat yang pluralistik secara religius sejak semula memang telah di bangun atas landasan normatif dan historis. Seiring dengan berjalannya waktu kemudian membawa masyarakat Islam untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Pertemuan budaya dengan masyarakat lain melahirkan tarik menarik serta perkawinan masyarakat yang lainnya. Seperti halnya di dalam masyarakat Islam di Indonesia. Setidaknya telah mengalami dua macam simbolisasi. Perkembangannya bisa digambarkan sebagai berikut: I II Integrasi luar dalam Tempat Desa Kota Pelaku Petani Pedagang , Profesional Ekonomi Agraris Industrial Simbol agama memerlukan Integrasi, yaitu kekuatan yang menjadi pusat pusaran untuk bermakna. Dalam budaya I integrasi itu terletak di luar 5 Alex. H. Rumondor dkk, komunikasi antar Budaya, (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2001), h. 117 pelaku, dalam satuan yang lebih besar, yaitu komunitas. Seorang budaya I mengadakan selamatan sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh komunitas (misalnya Ruwah, Mulud) sesuai dengan kepentingan komunitas (misalnya Ruwahan, Muludan), di tempat yang juga ditentukan oleh komunitas (misalnya di makam atau di masjid), dan undangannya pun ditentukan oleh komunitas (misalnya lurah, kyai dan warga). Dalam budaya II integrasi simbolis itu terletak di dalam, yaitu dalam kesadaran individual pelakunya. Seseorang dari Budaya II mengadakan selamatan (namanya berubah menjadi syukuran) sesuai dengan tanggal, jam dan hari yang ditentukan sendiri (misalnya pernikahan), tidak harus bersamaan dengan kepentingan komunitas, di tempat yang ditentukan sendiri (misalnya rumah), dan dengan undangan yang ditentukan sendiri (misalnya temanteman). Dalam budaya II ini peran komunitas tidak penting lagi. Dari uraian di atas yang singkat ini dengan mudah kita ketahui bahwa masyarakat NU sebagai gerakan tradisonalis mewakili budaya I dan Muhammadiyah sebagai gerakan modernis mewakili Budaya II. Kita dapat melihat ada bias desa, masyarakat agraris, dan masa lalu dalam NU. Sebaliknya kita dapat melihat ada bias kota, masyarakat industrial dan masa kini dalam Muhamadiyah. Kata kunci dari kebudayaan masyarakat tradisionalis adalah kelestarian dan pewarisan, sedangkan dalam masyarakat modernis adalah kemajuan dan penyesuaian. Melihat fenomena-fenomena di atas penulis tertarik untuk menulis proposal skripsi dengan judul Komunikasi Antar Budaya (study pada pola komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa tengah). B. Batasan dan Rumusan Masalah Mengingat luasnya bahasan mengenai masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU ini, maka penulis membatasi penelitian ini hanya pada pola komunikasi masyarakat Muhammadiyah terhadap masyarakat NU dalam bermasyarakat di wilayah desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan batasan masalah yang akan di bahas, maka penulis merumuskan masalah tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi yang dilakukan masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat dari kalangan NU dalam kehidupan sehari-hari? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU ? Adapun pola yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari proses penyampaian pesan baik secara verbal maupun non verbal dalam suatu komunikasi. C. Tujuan dan Kegunaan Masalah 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Ingin mengetahui pola komunikasi masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. b. ingin menemukan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam komunikasi antar budaya antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. c. ingin menemukan faktor-faktor yang dapat menjadi pendukung komunikasi antar masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. 2. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: a. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya kajian ilmu komunikasi antar agama dan budaya. b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pola komunikasi antara masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah. D. Metodologi Penelitian Karena penelitian ini dilandasi dari rasa keingintahuan penulis, sebagaimana dijelaskan dalam rumusan masalah, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan pendekatan sosiologis dan antropologis. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Situasi-situasi tertentu. Termasuk dalam hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan serta dan pengaruhnya dalam suatu fenomena. Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU yang secara geografis tinggal di Desa Pringapus, Semarang Jawa Tengah. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah pola dari komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU. 1. Teknik Pengumpulan Data Untuk melengkapi data yang di perlukan dalam menyusun proposal penelitian ini penulis melalui observasi dan wawancara. a. Observasi, dalam penelitian ini penulis mendatangi langsung ke lokasi yang menjadi tempat penelitian, kemudian meneliti, mengamati dan mencatat komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang termasuk masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. b. Untuk memperoleh data yang diinginkan peneliti menggunakan teknik wawancara. Karena dengan wawancara peneliti dapat memperoleh data secara langsung dari sumber, sehingga memudahkan dalam memperoleh data. Wawancara akan dilakukan secara bebas, tetapi tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan terarah 2. Analisis Data Setelah penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini ,maka penulis akan mengolah dan menganalisa data dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu data yang sudah terkumpul, penulis menjabarkannya dengan memberikan analisa-analisa untuk kemudian penulis ambil kesimpulan akhir, agar penulis mengetahui bagaimana pola atau bentuk komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU di Desa Pringapus Semarang Jawa Tengah, kemudian menemukan apa saja faktor penghambat dan pendukung komunikasi antara kedua masyarakat tersebut. E. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan skripsi ini penulis meneliti dengan objek pada pola komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU di desa Pringapus dan penulis telah melakukan tinjauan Pustaka, penulis melihat judul yang ada di perpustakaan, penulis melihat ada satu mahasiswa yang pembahasannya sama dengan yang peneliti kaji. Dengan judul ”Komunikasi Antar Budaya (Study pada pola komunikasi masyarakat Betawi dengan Masyarakat Madura di Kelurahan Condet, Batu Ampar). Oleh sebab itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menjiplak atau mengambil dari hasil karya orang lain, maka penulis perlu mempertegas perbedaan antara masing-masing judul dengan masalah yang sedang di bahas. Adapun perbedaannya adalah dari skripsi tersebut dengan skripsi peneliti adalah pada subjek penelitiannya, pada penelitian terdahulu membahas bagaimana pola komunikasi antar budaya antara dua suku yang berbeda, yaitu masyarakat Betawi dengan masyarakat Madura. Dalam penelitian ini subjek penelitian penulis adalah masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU yang tinggal di desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah. F. Sistematika Penulisan Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam lima bab. Di mana masing-masing bab di bagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN TEORITIS Terdiri dari pengertian komunikasi, unsur-unsur komunikasi dan bentuk-bentuk komunikasi, pengertian pola komunikasi, pengertian komunikasi antar budaya, Pengertian komunikasi Organisasi, pengertian masyarakat. BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari keadaan geografis desa Pringapus, Semarang ,Jawa Tengah, serta gambaran umum tentang masyarakat Muhammadiyah dan NU setempat. BAB IV : POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DARI KALANGAN MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT NU DI DESA PRINGAPUS Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil Penelitian, berikut analisanya. Yaitu tantan pola komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang , Jawa Tengah BAB V : PENUTUP Adalah merupakan bab penutup dari tulisan ini yang berisi tentang kesimpulan dan saran. BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya Dalam setiap prosesnya komunikasi selalu melibatkan ekspektasi, persepsi, tindakan dan penafsiran.6 Maksudnya adalah ketika kita berkomunikasi dengan orang lain maka kita dan orang yang menjadi komunikan kita akan menafsirkan pesan yang diterima baik berupa pesan verbal maupun non verbal dengan standar penafsiran dari budayanya sendiri. Kita pun dalam memaknai dan menyandikan tanda atau lambang yang akan kita jadikan pesan menggunakan standar budaya yang kita punyai. Pada dasarnya komunikasi antar budaya adalah komunikasi biasa, yang menjadi perbedaannya adalah orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut berbeda dalam hal latar belakang budayanya. Ada banyak pengertian yang diberikan para ahli komunikasi dalam menjelaskan komunikasi antar budaya, di antaranya adalah : 1. Menurut Aloweri, Andrea L. Rich dab Dennis M. Ogawa sebagaimana dikutip oleh Armawati Arbi, komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaanya. Misalnya antara suku bangsa, etnik, ras dan kelas sosial. 7 2. Menurut Guo-Ming Chen dan Willian J. Starosta sebagaimana dikutip oleh Deddy Mulyana berpendapat bahwa komunikasi antar budaya adalah 6 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7 7 Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003), h. 182 proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.8 3. Menurut Deddy Mulyana, komunikasi antar budaya (Inter Cultural Communication) adalah proses pertukaran fikiran dan makna antara orangorang yang berbeda budayanya. 9 4. Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss mendefinisikan komunikasi antar budaya sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbdea budaya (baik dalam arti ras, etnik atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).10 Dari beberapa definisi yang penulis kutipkan tadi. Penulis berkesimpulan bahwa komunikasi antar budaya dapat diartikan sebagai komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memilki latar belakang budaya yang berbeda. Ada beberapa istilah yang sering disepadankan dengan istilah komunikasi antar budaya, diantaranya adalah komunikasi antar etnik (Inter ethnic communication), komunikasi antar ras, komunikasi lintas budaya (Cross Cultural Communication), dan komunikasi Internasional.11 1. Komunikasi antar etnik adalah komunikasi antar anggota etnik yang berbeda atau dapat saja komunikasi antar etnik terjadi di antara anggota etnik yang sama tetapi memiliki latar belakang budaya yang berbeda atau sub kultur yang berbeda. Kelompok etnik adalah kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal-usul yang sama. Komunikasi antar etnik 8 Ibid. 2. Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, h. xi 10 Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication konteks-konteks komunikasi antar budaya, (Bandung:PT. Remaja Rosda karya buku ke-2, 2001),h. 182 11 Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003)., h.16 9 juga merupakan bagian dari komunikasi antar budaya, namun komunikasi antar budaya belum tentu merupakan komunikasi antar etnik.12 2. Komunikasi antar ras adalah sekelompok orang yang ditandai dengan artiarti biologis yang sama. Dapat saja orang yang berasal dari ras yang berbeda memiliki kebudayaan yang sama, terutama dalam hal bahasa dan agama. Komunikasi antar ras dapat juga dimasukan dalam komunikasi antar budaya, karena secara umum ras yang berbeda memiliki bahasa dan asal-usul yang berbeda juga. Komunikasi antar budaya dalam konteks komunikasi antar ras sangat berpotensi terhadap konflik, karena orang yang berbeda ras biasanya memiliki prasangka-prasangka atau stereotip terhadap orang yang berbeda ras dengannya. Dalam hal ini tentunya mempengaruhi orang-orang yang berbeda ras tersebut di dalam berkomunikasi. 3. Komunikasi Lintas Budaya adalah studi tentang perbandingan gagasan atau konsep dalam berbagai kebudayaan. Perbandingan antara aspek atau minat tertentu dalam suatu kebudayaan atau perbandingan antar suatu aspek atau umat tertentu dengan satu atau kebudayaan lain.13 4. Komunikasi Internasional, dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan 12 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003). h. xii 13 Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003), h. 186 negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan untuk memperoleh dukungan yang lebih luas.14 B. Pengertian Pola komunikasi Bahwasanya pola komunikasi merupakan serangkaian dua kata. Karena keduanya mempunyai keterkaitan makna sehingga mendukung dengan makna lainnya. Maka lebih jelasnya dua kata tersebut akan diuraikan tentang penjelasannya masing-masing. Kata “pola” dalam kamus besar Bahasa Indonesia15 artinya bentuk atau sistem, cara atau bentuk (struktur) yang tetap, yang mana pola dapat dikatakan contoh atau cetakan. Pola dapat dikatakan juga dengan model, yaitu cara untuk menunjukkan sebuah objek yang mengandung kompleksitas proses didalamnya dan hubungan antara unsur-unsur pendukungnya.16.Menurut Little Jhon model dapat diterapkan pada setiap representasi simbolik dari suatu benda.17 Secara etimologis, menurut Onong Uchjana Effendi, istilah komunikasi berasal dari perkataan bahasa Inggris “Communication” yang bersumber dari bahasa latin “Communicatio” yang berarti “pemberitahuan” 14 Bakrie Abbas, Komunikasi Internasional: Peran dan Permasalahannya, (Jakarta; Yayasan Kampus Tercinta- ISIIP), h. 2 15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 778 16 Dikutip dari Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, Gramedia Widiasavina:2004), h.9 17 Ibid. atau pertukaran pikiran. Maka hakiki dari communicatio ini adalah Communis yang berarti “sama” atau “kesamaan arti.”18 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Astrid susanto, beliau berpendapat bahwa “perkataan komunikasi berasal dari kata “Communicare” yang dalam bahasa latin memiliki arti “berpartisipasi” atau “memberitahukan”. Kata Communis berarti milik bersama atau berlaku dimana-mana.”19 Sedangkan ditinjau dari segi terminologis, para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi antara lain, sebagai berikut: Wilbur Schramm dalam uraiannya mengatakan bahwa sebenarnya, “definisi komunikasi berasal dari bahasa latin “communis”. Bilamana kita melakukan komunikasi itu artinya kita mencoba untuk berbagi informasi, ide atau sikap. Jadi, esensi dari komunikasi itu adalah menjadikan si pengirim dapat berhubungan bersama denngan si penerima guna menyampaikan isi pesan.20 1. Proses Komunikasi Sebelum kita mengetahui bentuk sebuah pola komunikasi apa yang diterapkan dalam sebuah komunitas baik secara individu maupun organisasi, maka kita perlu melihat proses komunikasinya, karena pola komunikasi tersebut terlahir dari berbagai proses komunikasi sehingga 18 Onong Uchjana Effendy, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992), cet ke-1, h-4 19 Phill Astrid Susanto, Komunikasi dalam teori dan Praktek, (Bandung, Bina Cipta, 1998)cet ke-3, h-1 20 Onong Uchjana Effendi, Dinamika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), cet ke-22, h. 6 keduanya tidak dapat dipisahkan, karena menjadi sebuah kesatuan. Tanpa kita melihat proses komunikasi yang terjadi dalam sebuah aktifitas komunikasi maka kita tida dapat mengetahui pola komunikasi apa yang digunakannya, Menurut Onong Uchjana Effendy, proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu primer dan sekunder.21 a. Proses komunikasi secara primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa yang secara langsung mampu menterjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Pertama-tama komunikator menyandi (encode) pesan yang disampaikan kepada komunikan, ini berarti ia memformulasikan pikiran atau perasaannya ke dalam bahasa yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator itu. Itu berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertiannya. Yang penting dalam proses penyandiannya (coding) itu bahwa komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi (decoding) hanya kedalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam 21 Onong Uchjana Efendi,Imu Komunikasi Teori dan Praktek, ,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), h.11-13. pengalamannya masing-masing, karena komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan, dengan kata lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Dalam pada itu sudah terbiasa pula kita memperoleh umpan balik baik dari perasaan kita sendiri maupun dari seorang komunikan yang menjadi penerima pesan kita. Komunikator yang baik adalah orang yang selalu memperhatikan umpan balik, sehingga ia dapat dengan segera mengubah gaya komunikasinya diakal ia mengetahui bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif. b. Proses komunikasi secara sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah mamakai lambang sebagai media penama. Seperti yang telah diterangkan di atas pada umumnya bahasa yang banyak digunakan dalam komunikasi karena bahasa sebagai lambang mampu mentransmisikan pikiran, ide, pendapat dan sebagainya, baik mengenai hal yang abstrak maupun yang konkrit. Namun masyarakat pada beserta akhirnya sejalan peradaban dan dengan berkembangnya kebudayaan. Komunikasi mengalami kemajuan dengan memadukan berlambang bahasa dengan komunikasi berlambang gambar dan warna. Akan tetapi oleh para ahli komunikasi diakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Menurut mereka yang efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka karena kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator, sedangkan dalam proses komunikasinya umpan balik berlangsung seketika dalam arti kata komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga. Proses Komunikasi22 Massage Sender Receiver Decoding enkoding Noise Feed Back Response Gambar 01 Bagan/ skema proses komunikasi Unsur komunikasi antara lain adalah sebagai berikut: 1. Sender; Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. 2. Encoding: Penyandian, yaitu proses pengalihan fikiran ke dalam bentuk lambang. 3. Massage: pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. 22 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), Cet ke-19. hal 18 4. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. 5. Decoding: pengawasandian, yaitu proses di mana komunikasi menetapkan makan pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. 6. Receiver: komunikan yang menerima pesan dari komunikator. 7. Feedback: Umpan balik, yaitu tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator. 8. Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Dari penjelasan tentang proses komunikasi di atas, peneliti merasa juga harus memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, karena unsur-unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 2. Bentuk-bentuk Komunikasi Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pola komunikasi yang sesuai dengan arti pola di atas lebih tepat untuk mengambil kesimpulan adalah bentuk-bentuk komunikasi terdapat empat macam, yaitu: a. Komunikasi Intra Pribadi (Interpersonal Communication). Adalah proses komunikasi dalam diri seseorang berupa proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem saraf. 23 23 h. 39 Sasa Djuarsa Sendjaya, Pengantar Komunikasi, (Jakarta, Universitas Terbuka, 1998), b. Komunikasi Antar Pribadi (Antarpersonal Communication) adalah proses penyampaian paduan pikiran dan perasaan oleh seseorang kepada orang lain agar mengetahui, mengerti dan melakukan kegiatan tertentu.24 c. Komunikasi Kelompok (Group Communication) adalah penyampaian pesan oleh seorang komunikator kepada sejumlah komunikan untuk mengubah sikap, pandangan atau perilakunya.25 d. komunikasi Massa (mass Communication) menurut Zulkarnaen Nasution di dalam bukunya Sosiologi Komunikasi Massa, bahwa yang dimaksud dengan komunikasi massa adalah “suatu proses penyampaian informasi atau pesan-pesan yang ditujukan kepada khalayak massa dengan karakteristik tertentu”. Sedangkan media massa hanya salah satu komponen atau sarana yang memungkinkan berlangsungnya prose sang di maksud.26 Adapun proses komunikasi yang melibatkan antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat Nu yang memiliki dua kebudayaan yang berbeda ini dalam kehidupan sehari-hari, maka penyampaian pesan nya pun berlangsung secara lisan dan melalui tatap muka. 24 Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002), cet ke-6 h. 60 25 Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002), cet ke-6, h-62 26 Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993), h-5 C. Pengertian Masyarakat Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. 27 Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.28 Selain itu banyak pula para tokoh yang mengemukakan beberapa definisi mengenai masyarakat, diantaranya : 1. R. Linton: seorang tokoh Antropologi mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya, berpikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. 2. Hasan Shadily mendefinisikan, masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang dengan pengaruh bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain.29 Dari definisi-definisi masyarakat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa masyarakat harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1. harus ada pengumpulan manusia dan harus banyak. 2. telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama. 3. adanya peraturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju 27 kepada kepentingan dan tujuan bersama. Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h-85 Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 485 29 Harwantiyoko dan Neljte F. Katuuk, MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Gundar, 1992) h. 146 28 1. Pengertian, Etika dan Budaya Masyarakat Desa Masyarakat Desa Dalam Tinjauan Sosial Budaya Menurut Bintarto yang dimaksud desa adalah perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.30 Sedangkan menurut Sutardjo Kartohadikusuma, desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahannya sendiri. Adapun masyarakat desa ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana dia hidu, dicintainya serta memiliki perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai warga masyarakat yang saling mencintai dan saling menghormati. Definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan masyarakat kecil adalah masyarakat di daerah masyarakat pedesaan. Masyarakat kecil disebut juga rural community yang diartikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan 30 Ibid, h. 159 mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati bersama. 2. Karakreristik Masyarakat Desa31 Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan a. Sederhana Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal: 1) Secara ekonomi memang tidak mampu 2) Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri. b. Mudah curiga Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada: 1) Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya 31 http://prayudi.staff.uii.ac.id/2008/09/22/karakteristik-masyarakat-desa/ 2) Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing” c. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh” Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila: 1) Bertemu dengan tetangga 2) Berhadapan dengan pejabat 3) Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan 4) Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi 5) Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya d. Guyub, kekeluargaan Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka. e. Lugas “Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki. f. Tertutup dalam hal keuangan Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya. Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka. g. Perasaan “minder” terhadap orang kota Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong. h. Menghargai (“ngajeni”) orang lain Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesarbesarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”. i. Jika diberi janji, akan selalu diingat Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di daerahnya. Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu. j. Suka gotong-royong Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahumembahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara. k. Demokratis Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga. l. Religius Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll. D. Komunikasi Organisasi 1. Pengertian Komunikasi Organisasi Bahwasanya komunikasi organisasi merupakan serangkaian dua kata yang tergabung dan memiliki makna yang saling terkait, sehingga mendukung dengan makna yang lainnya. Sumber konflik yang terjadi antar individu dalam organisasi yang mungkin paling sering dikemukakan adalah buruknya komunikasi. Dalam pembahasan komunikasi organisasi lebih tepatnya adalah kajian pada komunikasi insani yang terjadi dalam organisasi, karena manusialah yang berkomunikasi, bukan organisasi. 32 Hal pertama yang kita perlukan dalam studi tentang organisasi adalah definisi eksplisit tenang apa yang dimaksud dengan sesuatu organisasi, James L. Gibson menyatakan bahwa: “….. organisasi merupakan entitas-entitas yang memungkinkan masyarakat mencapai hasil-hasil tertentu yang tidak mungkin dilaksanakan sendiri”. Menjelaskan organisasi sebagai sebuah kelompok individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi bervariasi dari tiga atau empat, sampai dengan ribuan anggota. Organisasi juga memiliki struktur formal maupun informal. Organisasi memiliki tujuan umum untuk meningkatkan pendapatan, namun juga memliki tujuan-tujuan spesifik yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi itu. 32 Stewart L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human Communication KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja Risdakarya, 2005) h. 164 Dan untuk mencapai tujuan,organisasi membuat norma aturan yang dipatuhi oleh semua anggota organisasi.33 Organisasi didefinisikan sebagai “suatu kumpulan (sistem) individu yang bersama-sama, melalui suatu hirarki pangkat dan pembagiain kerja, berusaha mencapai tujuan tertentu.”34seorang objektivis, menganggap organisasi adalah sebuah wadah yang menampung orangorang dan objek-objek; orang-orang dalam organisasi yang berusaha mencapai tujuan bersama.35 Kaum subjektif mendefinisikan organisasi sebagai perilakku pengorganisasian (organizing behaviour) berdasarkan definisi ini, pengetahuan mengenai organisasi harus di peroleh dengan melihat perilaku-perilaku khusus tersebut dan apa makan perilaku-perilaku itu bagi mereka yang melakukan.36 Kaum objektivitas secara khas memandang organisasi sebagai suatu entitas besar dengan struktur kendali yang terdiri dari prosedur dan kebijakan. Sistem tersebut ditata berdasarkan logika untuk mencapai suatu tujuan dan mengandung derajat-derajat otoritas (kewenangan), berbeda pada berbagai tingkat dan juga kegiatan-kegiatan ternetu yang dilakukan oleh individu-individu.37 Sebaliknya kaum subjektifitas menganut sutau 33 H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA, 2006), h. 272 34 Stewart L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human Communication KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja Risdakarya, 2005) h. 164 35 R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, (Bandung; Rosda Karya, 2006), h. 17 36 Ibid, h 17 37 Ibid, h 18 pandangan lebih luas mengani orgnisasi. Misalnya, mendefinisikan organisasi sebagai “tindakan-tindakan yang bertautan (Interlocked) suatu kolektifitas”. Suatu kolektifitas mungkin kecil atau besar; aspek penting definisi tersebut adalah “tindakan-tindakan bertautan” dan makan yang diberikan pada tindakan tindakan-tindakan tersebut.38 Dalam konteks organisasi, pemahaman mengnai peristiwaperistiwa komunikasi yang terjadi di dalamnya,seperti apakah instruksi pimpinan sudah dilaksanakan dengan benar oleh karyawan ataupun bagaimana bawahan mencoba menyampaikan keluhan pada atasan, memungkinkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan, merupakan contoh sederhana untuk memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan aspek yang penting dalam organisasi, baik organisasi profit maupun non profit.39 2. Teori Komunikasi Organisasi a. Organisasi Sosial Istilah organisasi sosial merujuk kepada pola-pola interaksi sosial (Frekuensi dan lamanya kontak antara orang-orang; kecenderungan mengawali kontak, arah pengaruh antara orang-orang, derajat kerja sama, perasaan tertarik, hormat dan permusuhan serta perbedaan status) dan regularitas yang teramati dan perilaku sosial 38 Ibid H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA, 2006), h. 255 39 orang-orang yang disebabkan oleh situasi sosial mereka, alih-alih oleh karakteristik fisiologis atau psikologis mereka sebagai individu.40 Adanya pola atau regularitas dalam interaksi sosial mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan antara orang-orang yang mentransformasikan mereka dari suatu kumpulan individu menjadi sekelompok orang atau dari sejumlah kelompok menjadi suatu sistem sosial yang lebih besar.41 Berlo (1960) menyarankan bahwa komunikasi berhubungan dengan organisasi sosial melalui tiga cara: Pertama, sistem sosial dihasilkan lewat komunikasi. Keteranagan perilaku dan tekanan menyesuaikan diri dengan normanorma dihasilkan lewat komunikasi di antara angoota-anggota kelompok. Kedua, sistem sosial mempengaruhi bagaimana, ke, dan, dari siapa dan dengan pengaruh bagaimana komunikasi terjadi di antara anggota-anggota sistem. Status sosial dalam sistem, misalnya, meningkatkan kemungkinan berbicara kepada orang-orang yang punya status setara dan mengurangi kemungkinan komunikasi dengan orangorang yang berstatus jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah. Ketiga, pengetahuan mengenai suatu sistem sosial dapat membantu kita membuat prediksi yang akurat mengenai orang-orang tanpa mengetahui lebih banyak daripada peranan-peranan yang mereka 40 41 R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Komunikasi Organisasi, h. 41 Ibid, h. 42 duduki dalam sistem. Seperti yang diringkas Berlo, “meskipun kita tidak mengenal seseorang sebagai seorang individu, meskipun kita belum berkomunikasi dengannya untuk memastikan sikapnya, pengetahuannya, keterampilan komunikasinya, kita masih dapat membuat prediksi yang cukup akurat berdasarkan pengetahuan mengenai jabatannya dalam satu atau lebih sistem sosial”.42 Sistem sosial mempunyai aneka macam bentuk, struktur dan hasil. Ada elemen-elemen tertentu pada sebuah sistem sosial, diantaranya adalah motivasi, nilai-nilai, norma-norma, komunikasi dan kepemimpinan yang mencapai bentuk tertentu dan yang selaras satu sama lain, hingga sistem sosial yang bersangkutan mendapatkan kualitas tertentu.43 b. Organisasi Formal Sebuah organisasi formal memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik. Struktur ini menerangkan hubunganhubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas, dan tanggung jawabnya. Organisasi-organisasi formal menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki sasaransasaran organisasi formal dinyatakan eksplisit. Status, prestise, imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasyarat-prasyarat lainnya terurutkan dengan baik dan terkendali. Organisasi-organisasi formal tahan lama, dan terencana.44 42 Ibid, h. 43 J. Winardi, S.E, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 34 44 Ibid, h, 9 43 Istilah komunikasi formal dapat kita gunakan dalam arti bahwa pola-pola kerja dan hubungan-hubungan pribadi disusun secara sadar dan diakui secara resmi.45 Pendapat bahawa, “….organisasi formal sesuatu perusahaan mempengaruhi kondisi-kondisi sosial pekerjaan, yang sebaliknya memegang peranan penting dalam hal memotivasi para karyawan untuk menghasilkan kinerja yang bertambah baik, atau bertambah buruk. Apakah yang kiranya dimaksud dengan organisasi formal? Organisasi formal adalah apa yang tercantum di atas kertas (hubungan logical yang dinyatakan oleh peraturan-peraturan dan kebijakankebijakan perusahaan yang bersangkutan)..”46 Organisasi formal yang secara popular disebut birokrasi. Untuk memperoleh suatu persfektif yang tepat mengenai analisis Max Webber mengenai birokrasi atau organisasi formal, kita perlu menyadari bahwa ia mengembangkan teori tentang organisasi sebagai suatu tipe ideal.47 Karakteristik Birokrasi Weberian. 1) Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan. 2) Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas,tugastugas organisasi disalurkan diantara berbagai jabatan sebagai 45 Ibid, h. 80 Ibid, h. 77 47 R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Komunikasi Organisasi, h. 44 46 kewajiban resmi. Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab melekat pada jabatan. 3) Kewenangan untuk melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan. Yaitu, satu-satunya saat bahwa seseorang diberi kewenangan untuk melakukan tugas-tugas jabatan adalah ketika ia secara sah menduduki wewenang disahkan oleh kepercayaan akan supermasi hukum. 4) Garis-garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarki. Ruang lingkup kewenangan atasan atas bawahan secara tegas dibatasi. Konsep-konsep komunikasi ke atas (upward communication) dan komunikasi ke bawah (downward comuunication) mencerminkan konsep kewenangan ini, dengan informasi mengalir ke bawah dari jabatan yang memiliki kewenangan lebih luas ke jabatan yang memiliki kewenangan yang sempit. 5) Suatu sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas, yang ditetapkan secara formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsifungsi jabatan dalam organisasi. 6) Prosedur dalam organisasi bersifat formal dan impersonal, yaitu peraturan-peraturan organisasi berlaku bagi setiap orang. 7) Suatu sikap dan prosedur untuk menerapkan suatu system disiplin merupakan bagian dari organisasi. 8) Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi. 9) Pegawai dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan kualifikasi teknis, alih-alih koneksi politis, koneksi keluarga, atau koneksi lainnya. 10) Meskipun pekerjaan dalam birokrasi berdasarkan kecakapan teknis, kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja. Pekerjaan dalam organisasi merupakan karier seumur hidup, memberikan kenyamanan dalam jabatan. 48 Ciri-ciri ini menghasilkan pengambilan keputusan yang rasional dan efisensi administrative. Ahli-ahli berpengalaman adalah orang-orang yang paling cakap untuk membuat keputusan-keputusan teknis. Kinerja berdisiplin yang diatur dengan aturan-aturan, regulasi dan kebijakan-kebijakan yang abstrak dan dikoordinasiksan oleh kewenangan hierarkis merupakan usaha yang rasional dan konsisten untuk mencapai tujuan organisasi.49 E. Prasangka dan Stereotip 1. Prasangka Sosial Prasangka berasal dari bahasa Latin. Pracjudicium yang berarti preseden atau suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman terdahulu. Richard W. Brislin mengartikan prasangka sosial sebagai suatu sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok 48 49 Ibid, h. 44-47 Ibid, h. 48 orang. Prasangka itu sendiri bremacam-macam. Dan yang paling populer adalah prasangka sosial kesukuan, agama dan gender.50 Gerungan mengartikan prasangka sosial sebagai sikap perasaan orang-prang terhadap golongan masnusia tertentu. Golongan ras atau golongan kebudayaan yang berlainan dengan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial itu tertadri atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah laku golongan manusia tadi.51 Tindakan diskriminatif dalam prasangka sosial dapat saja berupa tindakan-tindakan bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan orang yang diprasangkai, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang –orang yang hanya karena kebetulan mereka berasal dari golongan orang yang diprasangkai. 52 Faktor-faktor yang menumbuhkan prasangka : a. Kepentingan. Jika terjadi benturan kepentingan antara satu orang dengan orang lain terlebih orang yang berbenturan kepentingan itu berasal dari kelompok atau golongan yang berbeda.53 b. Faktor Kepribadian dari Orang yang Berprasangka. Orang yang berprasangka biasanya memiliki kepribadian yang tidak toleran, kurang mengenal diri sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk hayalan dan lain-lain.54 50 Deddy Mulyana, Ilmu KOmunikasi Suatu Pengantar, (Bandung PT. Remaja Rosadakarya, 2000)h. 224 51 W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung. PT. ERESCO, 1996) cet ke-13. h. 167 52 Ibid 53 Ibid, 124 54 Ibid, 176-177 c. Faktor Frustasi dan Agresi. Prasangka sosial dapat menjelma ke dalam tindakan-tindakan diskriminatif, agresif terhadap orang yang diprasangkai. Teori frustasi yang menimbulkan agresi, di mana orangorang akan mengalami frustasi apabila maksd-maksud dan keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami kegagalan atau hambatan, akibatnya timbul perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif yang akan ditumpahkan kepada orang lain. Hal ini yang dinamakan denagn teori Seapegatisme :teori kambing hitam.55 2. Stereotip Stereotip adalah gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifatsifat dan watak pribadi orang-orang atau golongan lain yang negatif. Stereotip sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia memiliki kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang lain yang dikenakan prasangka itu. Biasanya stereotip terbentuk berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. Menurut Deddy Mulyana stereotip adalah menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi yang dan membentuk asumsi terhadap mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Penstereotipan adalah proses menempatkan orang-prang dan subjek ke dalam kategori yang mapan atau penilain mengenai orang-orang atau 55 Deddy Mulyana, Ilmu KOmunikasi Suatu Pengantar, (Bandung PT. Remaja Rosadakarya, 2000)h.218 objek-objek berdasarkan kategori yang dianggap sesuai, alih-alih berdasarkan karakteristik individual mereka.56 56 Ibid, h 218 BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH A. Kondisi Geografis Desa Pringapus terletak di wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah Kabupaten Semarang merupakan wilayah Pembantu Gubernur Wilayah Semarang dengan Ibukota Ungaran. Jarak Pringapus dari pusat pemerintahan kabupaten adalah 9 km kearah selatan menuju Solo atau Jogjakarta. Menurut keterangan masyarakat setempat, bahwa kata-kata pringapus itu berasal dari perang apus yang berarti “perang apus-apusan” atau dalam bahasa Indonesianya adu argumen, dahulu ada dua orang pengembara yang menetap di suatu wilayah yang belum ada penduduknya, kedua pengembara itu bernama Kyai Kalang dan Pangeran Benowoyang. Akhirnya pada suatu ketika kedua pengambara ini bertemu, karena mereka masing-masing sudah merasa cukup lama tinggal di daerah tersebut, keduanya pun memutuskan untuk memberi nama wilayah yang telah mereka singgahi itu. Karena keduanya sama-sama ingin memberi nama wilayah tersebut, akhirnya keduanya pun terlibat perselisihan, namun perselisihan ini tidak berlanjut sampai perang fisik, keduanya hanya terlibat adu argumen yang pada akhirnya di menangkan oleh Pangeran Benowo. setelah pangeran Benowo memenangkan persaingan ini, Kiyai Kalang pun pergi meninggalkan daerah yang saat itu menjadi daerah kekuasaan pangeran Benowo. Peristiwa tersebut di abadikan oleh masyarakat setempat sebagai nama desa Pringapus yang berasal dari kata Perang Apus atau adu argumen. Pada tahun 2001, desa Pringapus menjadi kecamatan, sebelumnya wilayah Desa Pringapus termasuk dalam Kecamatan Klepu. Dalam penelitian ini objek penelitian lebih dimaksudkan kepada Pringapus dalam lingkup desa bukan kecamatan. Pada pertengahan tahun 2005 bentuk pemerintahan desa Pringapus berubah statusnya menjadi kelurahan. Akan tetapi, dalam penelitian ini penulis tetap menggunakan istilah desa karena perubahan status tersebut hanya bersifat administratif semata tanpa ada pengaruh terhadap data pada objek penelitian. Dalam artian perubahan status tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan cerita yang ada dalam masyarakat. Luas wilayah Desa Pringapus 509.380 Ha atau 5.093,8 km2. Desa Pringapus adalah pusat pemerintahan Kecamatan Pringapus. Dengan luas terbesar sebagai lahan pemukiman penduduk yaitu 642 km2 atau 64.202 km2 Ha sedangkan lainnya merupakan lahan pertanian baik sawah maupun ladang serta kawasan industri. Dengan batas wilayahnya : 1. Sebelah Barat : Desa Derekan, Desa Klepu 2. Sebelah Timur : Desa Pringsari 3. Sebelah Utara : Desa Klepu, Desa Sambeng 4. Sebelah Selatan : Desa Jatirunggo Desa Pringapus termasuk daerah dataran tinggi karena letaknya berada di sekitar kaki gunung Ungaran dengan ketinggian tanah 600 meter dari permukaan laut. Selain itu, wilayahnya terdiri dari 7 dusun yaitu Krajan Barat, Krajan Timur, Ngabean, Tangkil, Ngetuk dan Wahyurejo atau Trembel yang letaknya terpencar dan sebagian besar di kelilingi bukit-bukit kecil.Berikut adalah tabel pemanfaatan lahan Desa Pringapus : Tanah Bengkok 25,61 Ha Sawah dan Ladang 238,947 Ha Pemukiman/ Perumahan 56,48 Ha Perkantoran 3,125 Ha Tanah Wakaf 6,0 Ha Irigasi Teknis 186,64 Ha Irigasi Sederhana 59,5 Ha Pekarangan 54,48 Ha Tegalan 53,12 Ha Lain-Lain 0,451 Ha Dari tabel di atas dijelaskan bahwa tanah sawah dan ladang di Desa Pringapus sangat luas, namun meskipun demikian mayoritas masyarakat desa Pringapus berprofesi sebagai pegawai negeri, dan tanah ladang dan sawah mereka di garap oleh orang lain dengan system bagi hasil saat musim panen tiba. B. Kondisi Demografis 1. Penduduk Berdasarkan data pada tahun 2007, penduduk desa Pringapus adalah 7.386 jiwa dengan pebandingan penduduk pria sebanyak 3.099 orang, sedangkan penduduk wanita sebanyak 4.287 orang. Akan tetapi terjadi pertambahan penduduk dalam jumlah besar akibat dari banyak ya perantau yang bekerja di pabrik-pabrik yang berada di wilayah desa Pringapus yang kemudian menjadi penduduk sementara. Jumlah penduduk asli desa Pringapus berdasarkan data Monografi 2007. Tabel 01 Data Penduduk Desa Pringapus Berdasarkan Usia Kelompok Umur 0-14 Laki-laki 716 Perempuan 855 Jumlah 1.581 15-20 21-25 26-30 31-35 447 527 205 178 651 596 401 375 1.098 1.123 606 553 36-40 127 379 506 41-45 46-50 217 162 253 596 470 758 51-55 69 142 211 56 ke atas 318 446 764 Jumlah 3.099 4.287 7.386 Kehidupan masyarakat Pringapus walaupun dalam kenyataan sudah terjadi interaksi antara masyarakat pertanian dan masyarakat industri, tetapi masih dapat dikategorikan tradisional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih eratnya hubungan antara masyarakat sebagai contoh warga dusun Krajan Barat tetap tahu dalam artian mengenal warga dusun Wahyurejo walaupun jaraknya termasuk jauh. Solidaritas masyarakat desa Pringapus satu sama lain masih tinggi, sebagai contoh ketika salah satu warga memiliki hajat seperti menikahkan anak, melahirkan atau bahkan kematian, tanpa adanya undangan hampir semua warga lainnya akan dating dan memberikan sumbangan. Dengan kata lain pola kekerabatan masyarakat tidak terpengaruh oleh pola masyarakat industri yang biasanya lebih cenderung hidup secara individu. Sepintas memang tidak nampak adanya perbedaan dalam hal status sosial pada masyarakat desa Pringapus. Akan tetapi dalam kenyataannya masih terdapat perbedaan perlakuan kepada beberapa orang karena dianggap lebih terhormat dibanding dengan masyarakat biasa, yaitu tokoh agama, pejabat, pengusaha dan orang-orang yang dianggap mampu dalam hal ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas dalam setiap acara yang diadakan di lingkup desa maupun kecamatan. Selalu terdapat perlakuan istimewa kepada orang-orang dengan kategori mampu tersebut dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. 2. Mata Pencaharian Berdasarkan data pemerintah desa tercatat bahwa mata pencaharian masyarakat desa Pringapus sebagian besar adalah sebagai karyawan perusahaan swasta. Disebutkan bahwa mata pencaharian pokok penduduk sesuai usia kerja, yaitu 15-60 tahun adalah buruh atau swasta (659 orang hampir 50%). Sedangkan sisanya sebagai pegawai negeri, petani, PNS, pedagang dan lain sebagainya. Hal itu sesuai dengan data yang disebutkan dalam monografi Desa Tahun 2008 yang dicatat pada semester I periode Juni 2007, sebagai berikut. Data mata pencaharian (bagi umur 10 tahun ke atas): Tabel 02 Mata Pencaharian masyarakat Pringapus No. Mata Pencaharian Pokok 1 Petani Sendiri 2 Buruh Tani 3 Nelayan 4 Pengusaha 5 Buruh Industri 6 Buruh Bangunan 7 Montir 8 Pedagang 9 Dokter 10 Supir 11 Pegawai Negeri (Sipil/ ABRI) 12 Pensiunan 13 Ibu Rumah Tangga 14 Masih sekolah Jumlah Jumlah 123 orang 194 orang - orang 35 orang 659 orang 175 orang 15 orang 375 orang 3 orang 193 orang 83 orang 64 orang 329 orang 729 orang 2.977 orang Berdasarkan tabel di atas terlihat meskipun desa Pringapus itu masih di kelilingi area persawahan, namun sangat sedikit sekali warga desa Pringapus yang mengolah lahannya sendiri, mereka lebih memilih sawahnya di kelola orang lain dengan sistem bagi hasil panen, menurut mereka dengan mempekerjakan orang lain untuk mengurus sawahnya, mereka dapat membantu tetangga mereka atau bahkan saudara mereka yang tidak memiliki pekerjaan tatap. 3. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Pringapus tingkat pendidikan masyarakat desa Pringapus secara umum tergolong baik, karena sudah banyak penduduk yang berpendidikan tinggi, yaitu mencapai 109 orang. Namun demikian, masih banyak penduduk yang hanya lulusan SD, sebagian lulusan SLTA. Di luar itu, berdasarkan data monografi desa, masih juga ada penduduk yang tidak tamat SD, sebagaimana gambaran pada tabel berikut: Data monografi Pendidikan tahun 2007: Tabel 03 Tingkat Pendidikan Warga Desa Pringapus No Pendidikan 1 Tidak Tamat SD 2 Tamat SD 3 Tamat SLTP / sederajat 4 Tamat SLTA /sederajat 5 D1 /D2 / D3 6 S1 7 S2 8 S3 Jumlah Jumlah 890 orang 2.672 orang 1.877 orang 1.817 orang 81 orang 28 orang - orang - orang 7.365 orang Dari tabel di atas penulis dapat melihat bahwasanya tingkat pendidikan warga desa Pringapus masih dapat dikatakan rendah. Terbukti masih banyaknya warga desa Pringapus yang tidak dapat meneyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Biasanya hal ini disebabkan karena faktor ekonomi. Para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk membantu pekerjaan mereka, seperti berdagang menjadi petani dan lain sebagainya. 4. Agama Jumlah penduduk dari segi pemeluk agama dan sarana peribadatan masyarakat desa Pringapus adalah sebagai berikut: TABEL 04 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama No Pemeluk Agama Jumlah 1 Islam 7360 Orang 2 Kristen Protestan 16 Orang 3 Kristen Khatolik 10 Orang 4 Hindu - Orang 5 Budha - Orang 7.386 Orang Jumlah Mayoritas penduduk Pringapus adalah Muslim. Karena agama Islam telah di anut oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya bangunan atau rumah ibadat agama lain. Sepertu gereja atau biara atau kuil atau pura atau bahkan klenteng. Yang ada hanya Masjid dan Mushola. Hal terbukti seperti tabel berikut ini: TABEL 05 Tabel Keagamaan No Tempat Peribadatan Jumlah 1 Masjid 9 Buah 2 Mushola 28 Buah 3 Gereja, Pura atau klenteng - Buah Dari beberapa masjid yang ada di desa Pringapus, terdapat satu buah masjid yang menjadi peninggalan sejarah, yaitu Masjid Jami Syaikh Basyaruddin yang terletak di RW II. Selain menjadi peninggalan sejarah, di masjdi ini tempat menyimpan satu pusaka yaitu Qur’an Blawong, bentuknya memang seperti Al-Qur’an pada umumnya, namun berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, tidak semua orang dapat membaca kitab tersebut. C. Gambaran Umum Masyarakat Muhammadiyah Dan NU Setempat Sesuai dengan data tabel di atas bahwa sebagian besar penduduk desa Pringapus yaitu 7.360 orang dari jumlah penduduk keseluruhan yang berjumlah 7.386 orang adalah Muslim. Oleh karena itu, sudah dapat dipahami kalau dalam keseharian pola hidup mayarakat desa Pringapus menunjukkan corak kehidupan yang islami. Keislaman menurut faham yang dilakukan oleh warga NU dan Muhammadiyah. Sekilas, memang kehidupan keagamaan cara NU dengan Muhammadiyah tidak ada perbedaan yang tajam, akan tetapi pada tataran realitas social, sering terjadi adanya perbedaan pendapat yang mendatar, terutama dalam hal pandangan dan cara menyingkapi ritual ziarah kubur (makam). Bagi masyarakat NU setempat, ziarah kubur tidak dilarang bahkan dianjurkan Karena tidak dianggap menyalahi syariat Islam. Akan tetapi, bagi warga Muhammadiyah, ziarah kubur tidak benar dan merupakan bid’ah (segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad). Contoh lain adalah pada saat perayaan hari raya Islam yang kaitannya dengan sholat sunat Ied. Biasanya wrga Muhammadiyah cenderung menjalankan sholat Ied di tanah lapang, sementara warga NU melaksanakan sholat Ied di masjid. Kenyataan tersebut sedikit banyak berpengaruh pada tradisi yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat desa Pringapus. Secara keseluruhan, dalam kesehariannya warga NU cenderung lebih banyak melakukan aktivitas yang mentradisi. Tradisi dalam Masyarakat Pringapus 1. Yasinan Yasinan adalah kegiataan keagamaan berupa pembacaan surat Yasin dan Tahlil serta doa yang biasanya dilaksanakan setiap malam Jum’at, setelah Sholat Maghrib, yang diadakan di Mushola-mushola. Peserta Yasinan biasanya adalah jama’ah Sholat Maghrib di Mushola. Selain dilaksanakan secara rutin pada malam jum’at, kegiatan Yasinan sering dilaksanakan pada saat-saat memperingati meninggalnya seseorang, istilahnya kurmat yang dilaksanakan pada hari ke-3 kematian (nelung dina), hari ke-7 (mitung dina), hari ke-40 (matang puluh), hari ke100 (nyaus), setahun atau sependak, istilahnya mendak. Hitungan mendak ada tiga, yaitu mendak 1, mendak 2 dan mendak 3. Tahun pertama hitungannya 365 hari disebut mendak pisan (1), tahun kedua disebut mendak pindho (2), dan tahun ketiga hitungannya hari ke-1000 disebut mendak ketelu (3) atau disebut dengan istila ngentek. 2. Nariyahan Nariyahan adalah komunitas sekaligus kegiatan keagamaan berupapembacaan Sholawat. Istilah nariyahan diperluas dari sebutan Sholawat Nariyah. Kegiatan ini biasanya diikuti oleh pada ibu maupun remaja puteri dan diadakan setiap malam selasa, tempatnya biasanya bergilir dari rumah ke rumah para jamaahnya. 3. Selapanan Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun. Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi. 4. Punggahan Punggahan adalah istilah untuk acara keagamaan yang diadakan guna menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Dilaksanakan pada akhir bulan Ruwah (Sya’ban) bersamaan dengan acara Haul Syekh Basyaruddin (beliau merupakan tokoh agama yang tinggal di desa Pringapus, yang sampai sekarang namanya diabadikan sebagai sebuah nama salah satu Masjid di desa Pringapus, yaitu masjid Jami’Syekh Basyaruddin) acara ini dilaksanakan di makam Syekh Tradisi keagamaan sebagaimana di atas, merupakan bentuk dari kohesitas masyarakat yang tengah mengalami perubahan. Perubahan dari masyarakat yang bercorak agraris ke dalam masyarakat industri. Perubahan itu dapat terlihat dari pelaksanaannya, sudah banyak dipengaruhi budaya luar. Dalam hal jamuan makanan misalnya, pada zaman dahulu setiap kegiatan selalu menyajikan hidangan nasi klubanan atau ambengan (berupa nasi dengan sayur-sayuran, lauk telur rebus, ikan asin,dll), akan tetapi menu tersebut saat ini, diganti dengan makanan berupa makanan kudapan dengan alasan agar lebih praktis dan diangap lebih modern. BAB IV POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MUHAMMADIYAH DENGAN MASYARAKAT NU A. Pola Komunikasi Antar Pribadi Setelah penulis melakukan penelitian di desa Pringapus, terkadang penulis menemukan interaksi berupa komunikasi yang kurang intensif baik dari kalangan masyarakat Muhammadiyah maupun masyarakat NU pada generasi tua mereka. Namun hal ini sangat berbeda sekali saat penulis melihat generasi setelahnya atau pada anak-anak mereka. Penulis sering sekali menemukan interaksi berupa komunikasi yang terjalin sangat intensif. Bahkan banyak diantara mereka yang tergabung dalam suatu lembaga social masyarakat yang bernama BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). BKM itu sendiri bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat desa Pringapus. Di dalam lembaga tersebut tidak ada diskriminasi antara warga dari golongan Muhammdiyah ataupun dari NU. Dulu sangat ekstrim sekali terlihat perbedaan antara masyarakat Muhammadiyah dan NU dan seolah ada jurang pemisah antara keduanya. Salah satu contohnya adalah ada beberapa warga Muhammadiyah yang enggan menyekolahkan anaknya kalau bukan di sekolah Muhammadiyah, pernah juga ada keluarga dari NU yang tidak jadi menikahkan anaknya setelah tahu calon menantunya itu dari keluarga Muhammadiyah. Namun saat ini keadaan masyarakat Muhammadiyah dan Nu sudah jauh lebih baik, kendati kedua masyarakat ini sudah bisa dikatakan dapat membaur bersama, namun penulis masih dapat menemukan perbedaan yang mencolok di antara keduanya, dan biasanya perbedaan tersebut terlihat dalam konteks keagamaan. Contohnya dalam perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, kedua masyarakat tersebut melaksanakan sholat Ied tidak di satu tempat, melainkan di tempat yang terpisah, masyarakat Muhammdiyah biasanya melaksanakan Sholat Ied di tanah lapang sedangkan masyarakat NU di dalam masjid. Pernah juga pada perayaan hari raya Idul Fitri dua tahun yang lalu mereka merayakan hari raya pada hari yang berbeda, masyarakat Muhammadiyah merayakan hari raya Idul Fitri pada tanggal tiga puluh pada bulan Ramadhan sedangkan masyarakat NU merayakannya seperti biasa, yaitu pada tanggal satu Syawal. Namun hal ini rupanya sudah tidak menjadi suatu hal yang menyebabkan mereka terpecah, baik masyarakat Muhammadiyah maupun NU saat ini sudah bisa menerima perbedaan masing-masing dan saling menghormati satu sama lain. Masyarakat Muhammadiyah yang pada saat itu merayakan hari raya Idul fitri lebih dulu memlilih untuk menunda untuk merayakannya, meskipun ada beberapa yang merayakannya namun mereka merayakannya hanya di dalam rumah saja, atau masih dalam konteks satu keluarga. Jadi setelah mereka melaksanakan sholat Ied mereka kembali pulang dan kemudian melakukan aktivitas seperti biasanya baru kemudian besoknya mereka merayakan hari raya Idul Fitri bersama dengan masyarakat Pringapus yang lain. 57 57 Wawancara dengan bapak Saeri 1 Juli 2009 Meskipun demikian, seperti apa yang sudah penulis katakan di atas, saat ini memang keadaan masyarakat desa Pringapus sudah jauh lebih baik, namun penulis masih menemukan beberapa orang dari generasi tua yang berasal baik dari Muhammadiyah maupun dari NU yang menjalin komunikasi hanya dari beberapa konteks tertentu saja, biasanya dari konteks ekonomi dan konteks sosial: 1. Konteks Ekonomi Desa Pringapus adalah sebuah daerah yang cukup strategis dan lokasi tanahnya bisa dibilang sangat baik sekali digunakan untuk lahan pertanian, karena desa Pringapus terletak di sekitar kaki gunung pertanian, terbukti desa Pringapus masih dikelilingi dengan area persawahan, meskipun saat ini sudah banyak pabrik-pabrik yang didirikan di sekitar desa, namun luas lahan untuk pertanian masih sangat luas. Kendati masyarakat desa Pringapus memiliki lahan persawahan yang luas, sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai petani sendiri, atau mereka mengolah lahan persawahan mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka menyerahkan lahan persawahan mereka untuk dikelola oleh orang lain, dengan sistem bagi hasil. Yaitu mereka membagi hasil panen dari lahan yang dikelola saat musim panen nanti. Pada konteks inilah terjadi interaksi berupa komunikasi yang intensif antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat Nu setempat, di mana kebanyakan orang NU sebagai pemilik lahan karena bisa dikatakan mayoritas masyarakat NU di desa Pringapus merupakan masyarakat asli desa Pringapus dan orang dari Muhammadiyah yang kebanyakan sebagai warga pendatang yang menjadi buruh tani. Bentuk lain dari konteks ekonomi yang terjadi dalam komunikasi antara masyarakat dari kalangan Muhamadiyah dan Nu adalah di pasar Pringapus. Pasar Pringapus ini merupakan satu-satunya pasar yang ada di desa Pringapus. dan banyak masyarakat setempat yang berprofesi sebagai pedagang di pasar tersebut. Para pedagang di pasar Pringapus ini mayoritas masyarakat dari kalangan Muhammadiyah. Dalam konteks ini komunikasi yang terjadi adalah hanyalah sebatas sebagai penjual dan pembeli, di mana orang-orang dari Muhammadiyah kebanyakan sebagai penjual dan orang dari NU kebanyakan sebagai pembeli, dan dalam hal ini merupakan kebalikan dari konteks yang pertama yaitu di mana masyarakat NU mayoritas sebagai pemilik tanah dan Masyarakat Muhammadiyah sebagai buruh tani. Komunikasi yang penulis lihat dari kedua konteks ekonomi di atas, menurut penulis bukanlah komunikasi yang dapat mendekatkan hubungan antara orang-orang dari kalangan Muhammadiyah dengan orang-orang dari kalangan NU. Namun karena komunikasi yang terjadi sangatlah singkat dan hanya dalam konteks jual beli, di mana jika telah tercapai kesepakatan harga, maka komunikasi pun terhneti dan selesai. Tidak ada efek yang lebih mendalam dari komunikasi tersebut. padahal menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, ada lima indikasi dari komunikasi yang efektif, yaitu: pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan. Pemahaman berarti dalam proses komunikasi orang-orang yang terlibat di dalamnya saling memahami apa yang diinginkan atau dimaksud oleh lawan bicaranya. Kesenangan yaitu bagaimana komunikasi yang baik dapat memberikan kesenangan pada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh pada sikap, yaitu bagaimana komunikasi itu tidak saja memberikan suatu informasi, tetapi juga dapat mempengaruhi sikap dari komunikannya. Hubungan yang makin baik dapat berarti komunikasi efektif dapat merekatkan tali silaturahmi atau merekatkan hubungan yang mulai merenggang. Dan yang terakhir adalah tindakan yaitu bagaimana komunikasi yang efektif dapat berpengaruh pada tindakan para komunikannya. 2. Konteks Sosial Salah satu ciri khas masyarakat desa pada umunya yang juga terlihat pada masyarakat desa Pringapus adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara. Maksud penulis di sini adalah warga setempat tidak hanya bergotong royong jika salah satu warga memiliki hajat atau musibah saja, tetapi dalam semua konteks sosial, di antaranya adalah di saat ada program kerja bakti seperti pembenahan jalan-jalan yang rusak serta pembuatan sarana dan prasana untuk umum, bahkan sekarang BKM Mandiri yang ada di desa Pringapus bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk membenahi rumah-rumah warga yang sudah tidak layak huni, agar masyarakat desa Pringapus dapat sejahtera secara keseluruhan. Dalam komunikasi dengan konteks kegiatan sosial ini masyarakat dari Muhammadiyah dengan masyarakat Nu akan bertemu dan berinteraksi. Dalam konteks ini terlihat juga karakteristik masyarakat desa, yaitu Guyub atau kekeluargaan di mana sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka. B. Pola Komunikasi Antar Kelompok Jika berbicara mengenai komunikasi kelompok yang terjalin antara kedua masyarakat Muhammadiyah dan NU, penulis hanya menemukan hanya pada konteks keagamaan saja, biasanya masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll. Konteks keagamaan di sini adalah acara-acara keagamaan berupa ceramah atau tabligh akbar dalam memperingati maulid nabi Muhammad SAW dan acara punggahan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Dalam kegiatan keagamaan yang menurut penulis adalah merupakan salah satu dari pola komunikasi kelompok yang lebih tepatnya adalah kelompok kecil, di mana bertindak sebagai penyampai pesan atau komunikan adalah seorang ustadz atau kiyai. Pada umumnya yang bertindak sebagai ustadz atau kiyai adalah tokoh-tokoh masyarakat atau para sesepuh desa Pringapus. Kegiatan komunikasi kelompok kecil yang mempertemukan masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat NU ini paling sering penulis temukan di wilayah RW 01 dan RW 02, biasanya mereka melakukan acara keagamaan ini di Masjid Jami Syekh Basyaruddin. Pola komunikasi yang terjadi dalam komunikasi kelompok ini adalah pola Linear, seperti yang penulis gambarkan pada gambar 02 yang menjelaskan pola komunikasi kelompok kecil. Komunikator (kyai/Ustadz) Pesan Jamaah (terdiri dari semua kalangan masyarakat) Gambar 02 Model komunikasi Masyarakat daei kalangan Muhammadiyah dengan Masyarakat NU dalam konteks keagamaan efek Meskipun berjalan satu arah dan ada sebagian warga dari kalangan Muhammadiyah yang tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan seperti ini namun menurut penulis komunikasi dengan model seperti ini jauh lebih memiliki efek pada komunikan daripada proses komunikasi yang terjadi dalam konteks ekonomi. Karena penyampai pesan atau komunikator adalah sebagai orang yang dianggap memiliki kredibilitas, dipercaya dan dapat diterima oleh warga masyarakat. Maka apa yang disampaikan lebih didengar dan dipatuhi oleh komunikannya, dalam hal ini komunikannya adalah warga masyarakat desa Prigapus. C. Faktor-faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Muhammadiyah dengan Masyarakat NU 1. Faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya Ada beberapa karakteristik masyarakat desa Pringapus yang menjadi faktor pendukung dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya: a. Sikap kekeluargaan Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka. Hal ini pun terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa Pringapus yang memperlihatkan sikap kekeluargaan, seperti contohnya apabila salah satu warga tertimpa musibah atau mengadakan suatu hajat seperti akan menikahkan anaknya atau sekedar acara tasyakuran, biasanya para tetangga di lingkungan sekitar warga yang memiliki hajat akan segera datang untuk memberi bantuan tanpa diminta terlebih dahulu oleh si pemilik hajat tersebut seolah mereka merasa sepereti saudara sendiri. b. Menjunjung tinggi sikap sopan santun Hal ini sangat terlihat sekali pada masyarakat desa Pringapus dalam kehidupan sehari-hari, dimana mereka bisa menempatkan sikap mereka. Contohnya Seperti, mereka membedakan logat bahasa yang digunakan saat mereka berbicara dengan orang yang lebih tua dari mereka dengan saat mereka berbicara dengan teman sebayanya, selain itu jika mereka berpapasan dengan orang yang lebih tua, biasanya orang yang lebih muda lah yang menegur terlebuh dahulu. c. Sikap saling menghargai orang lain Sesuai dengan sikap masyarakat desa pada umumnya, masyarakat desa Pringapus sangat menghargai orang lain, mereka benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai patokan untuk membalas kebaikan orang tersebut di kemudian hari. d. Sikap Gotong-royong Dalam konteks ini penulis melihat sikap gotong royong masyarakat desa Pringapus dalam kehidupan sehari-hari, contohnya mereka saling bergotong royong dan bekerja sama apabila tetangganya ada yang terkena musibah, seperti halnya sikap kekeluargaan mereka akan dengan sendirinya bersama-sama meringankan beban tetangganya yang memang sedang membutuhkan bantuan. e. Sikap Demokratis Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan sehari-hari apabila masyarakat desa Pringapus berselisih paham akan sesuatu masalah maka cara yang ditempuh adalah dengan cara musyawarah untuk mufakat, hal ini sangat efektif dalam menyelesaikan masalah antara kedua orang atau kelompok yang berselisih, biasanya mereka memanggil tokoh masyarakat sebagai penengah. f. Religius Mayoritas masyarakat desa Pringapus adalah Muslim dan dalam agama Islam di anjurkan untuk saling menjaga dan menyambung tali silaturahmi atau tali persaudaraan antar sesama umat Islam. Dan juga haram hukumnya menumpahkan darah sesama muslim tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara hukum Syar’i ataupun hukum positif dari suatu negara. Hal ini terlihat dalam kegiatan perayaan hari raya. Misalnya pada saat merayakan hari raya idul fitri, meskipun mereka pernah melaksanakannya pada hari dan tempat yang berbeda, namun itu bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap menyambung silaturahmi. Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat mereka mengadakan acara-acara keagamaan, bagi masyarakat Muhammadiyah mereka tidak pernah melaksanakan acara-acara keagamaan seperti Yasinan, Selapanan, Ruwahan, Nariyahan dan lain sebagainya. Yang biasa melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini adalah masyarakat dari kalangan NU, namun saat ini tidak sedikit masyarakat dari kalangan Muhammadiyah yang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut meskipun ada sebagian warga Muhammadiyah yang tidak mengikuti acara-acara seperti ini, namun mereka tidak merasa terganggu dan tidak mengganggu acara tersebut. Biasanya mereka datang selain untuk bersilaturahmi, karena kegiatan-kegiatan tersebut memang sudah menjadi kebudayaan umum bagi masyarakat Jawa. 2. Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya a. Sikap Mudah Curiga Pada umumnya masyarakat desa memiliki sikap yang mudah menaruh curiga kepada orang lain tentang sesuatu hal dan sesuatu hal itu di anggap asing bagi mereka, bagi masyarakat di sana segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh mereka pada umumnya dianggap asing. Hal ini adalah salah satu faktor yang menjadikan terhambatnya proses komunikasi antar budaya antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. Mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam segi beribadah. Misalnya dalam masyarakat Muhammadiyah itu tidak ada yang namanya acara ziarah kubur, Yasinan, Nariyahan, Selapanan, Punggahan dan lain sebagainya. Hal ini berbeda sekali dengan masyarakat NU di Desa Pringapus yang selalu mengadakan kegiatan-kegiatan tersebut dalam acara-acara tertentu. Akibat adanya sikap mudah curiga ini pernah terjadi gesekangesekan yang menyebabkan terhambatnya proses komunikasi antara Masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat desa Kali Kidang yang sampai sekarang masih terlihat seolah ada pembatas antara masyarakat Muhammdiyah dengan masyarakat NU, hal itu di tandai dengan mereka memiliki masjid masing-masing, masyarakat Muhammadiyah memiliki masjid sendiri dan masyarakat NU juga memiliki masjid sendiri. Awal masalahnya sebenarnya hanya masalah kecil, yaitu masjid yang di bangun oleh masyarakat Muhammadiyah di sana digunakan untuk kegiatan “rebanaan” oleh masyarakat kali kidang, pada masa itu kondisi masyarakat Kali kidang bisa dikatakan minim dalam pengetahuan dan belum adanya tokoh masyarakat atau tokoh agama yang menonjol. Selain itu banyak masyarakat kali kidang pada umumnya tidak ingin dikatakan bahwa mereka itu dari kalangan Muhammadiyah dan juga dari kalangan masyarakat NU, intinya mereka menganggap diri mereka itu netral, namun meskipun mereka menganggap diri mereka itu netral, namun tanpa mereka sadari amaliah-amaliah masyarakat di sana dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan bahwa mereka itu seperti orang NU, seperti salah satu contohnya dengan adanya kegiatan rebanaan tersebut. Dengan adanya kegiatan rebanaan tersebut beberapa orang dari kalangan Muhammadiyah memberikan reaksi secara tidak langsung, mereka kurang setuju jika masjid yang di bangun mereka itu digunakan selain untuk ibadah, apalagi mereka melakukan kegiatan yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Muhammadiyah, sedangkan masyarakat Kali Kidang sendiri beranggapan bahwa masjid yang sudah di bangun itu bersifat amal, dan mereka boleh melakukan kegiatan-kegiatan di masjid selama tidak sampai mengganggu orang yang beribadah.58 Akhirnya dampak dari peristiwa tersebut masyarakat di sana beribadah di tempat yang berbeda, masyarakat Muhammadiyah memiliki masjid sendiri dan masyarakat Kali kidang yang di luar Muhammadiyah pun memiliki masjid sendiri. b. Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam yang berbeda pandangan dalam beribadah. Muhammadiyah dan NU adalah organisasi Islam, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh. Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" (begitu ilmuwan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll. 58 Wawancara deengan bapak Umar (beliau adalah warga sepuh dari kalangan NU) Kedua organisasi ini memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat, perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai masalah furu' (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid'ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi. Perkembangan Muhammadiyah di desa Pringapus tidak seperti perkembangan NU, perkembangan masyarakat NU jauh lebih cepat karena pada dasarnya amalan-amalan masyarakat NU itu sesuai dengan kebudayaan-kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, contohnya adalah ritual Yasinan. Awalnya ritual Yasinan ini adalah ketika dahulu pada masanya Wali Songo, tepatnya pada masa Sunan Kali jaga, masyarakat Jawa itu mayoritas adalah masyarakat Hindu, apabila ada salah satu warga mereka yang meninggal maka mereka berkumpul di rumah keluarga yang terkena musibah itu, namun mereka berkumpul itu hanya sekedar kumpul-kumpul biasa, melihat fenomena tersebut Sunan Kali Jaga mengubah kebiasaan mereka, Sunan Kali Jaga menganjurkan agar mereka mambacakan surat Yasin agar dalam kumpulnya mereka itu ada manfaatnya. Karena pada awalnya masyarakat Jawa itu adalah masyarakat Hindu, maka di dalam kegiatan ibadah itu apabila masih ada kaitannya dengan kehinduan maka masyarakat itu akan cenderung lebih mudah mengikuti. Kebudayaan yang masih banyak di lakukan oleh kebanyakan warga desa Pringapus ini adalah mereka meminta berkah kepada alim ulama yang sudah meninggal dan mengirimkan doa kepada orang-orang yang sudah meninggal, yang bagi masyarakat Muhammadiyah itu tidak pernah mereka lakukan. Bagi masyarakat Muhammadiyah sendiri, apabila seseorang itu telah meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu amal yang sholih, shodaqoh zariyah dan anak yang sholih, meskipun tidak sedikit juga masyarakat dari kalangan Muhammadiyah yang mengikuti bahkan mengadakan acara-acara sepereti Yasinan dan kendurian, hal ini di sebabkan karena mereka belum bisa melepaskan kebudayaan asal mereka, yaitu budaya Kehinduan. c. Prasangka sosial Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara masyarakat Muhammadyah dengan masyarakat NU terdapat juga prasangka sosial, yang beberapa sebabnya adalah sebagai berikut: 1) Perbedaan dalam beribadah. Masyarakat Muhammadiyah di desa Pringapus termasuk masyarakat minoritas, namun meskipun mereka termasuk masyarakat minoritas, hal itu sama sekali tidak mempengaruhi apa yang sudah menjadi kegiatan kaum Muhammadiyah itu sendiri. Di dalam melaksanakan ibadah itu kaum Muhammadiyyin hanya berfokus memandang apa yang dicontohkan oleh rasul, apa yang dituntunkan oleh Muhammad, apa yang diajarkan oleh nabi Muhammad dan apa yang telah di lakukan oleh nabi Muhammad SAW. Menurut mereka yang namanya ibadah itu adalah hanya mengikuti atau Ittiba pada Rasulullah SAW, sebab yang tahu betul masalah ibadah itu hanya Rasulullah sebab hal tersebut dibimbing oleh wahyu. Maka Rasulullah membimbing umatnya secara sempurna umatnya dalam beribadah lewat hadist-hadistnya yang shohih. Maka dari kaum Muhammadiyyin itu kalo ada bentuk-bentuk ibadah yang tidak ada contohnya, tidak ada perintahnya oleh Rasulullah SAW itu cenderung mayoritas mereka meninggalkan. Hal ini yang membedakan antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. Meskipun saat ini ada sebagian masyarakat Muhammadiyah yang masih mengikuti karena memang sebagian masyarakat Muhammadiyah di sana itu memiliki pengetahuan yang kurang, dan juga masih kentalnya kebudayaan mayoritas masyarakat Jawa dalam melaksanakan acara-acara keagamaan meskipun itu di luar yang telah di perintahkan oleh rasulullah. Bagi kaum Muhammadiyyin, mereka berpegang teguh pada hadist Nabi yang menerangkan bahwa “telah aku (Muhammad) tinggalkan kepadamu dua perkara, dimana jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat, keduanya itu adalah Kitaballah dan Sunnah Rasul. Berangkat dari hadist tersebut kaum Muhammadiyyin beranggapan bahwasanya segala sesuatu yang bukan dari Kitabullah dan bukan dari Sunnah Rasul, maka mereka cenderung tidak mengerjakan atau bahkan meninggalkan, hal ini lah yang membedakan antara kaum Muhammadiyyin dengan kaum Nahdiyyin, yang menurut masyarakat NU sendiri dalam melakukan seuatu hal apalagi yang menyangkut ibadah, selain dari Al-Qur’an dan Hadist mereka mengikuti Ijma dan Qiyas. Contoh lainnya adalah bagi kaum Muhammadiyyin segala sesuatu yang telah diperbuat itu akan di kembalikan pada diri pribadi masing-masing, contoh yang di maksud di sini adalah bagi orang yang masih hidup tidak dapat melakukan ritual kirim doa untuk sanak family atau kerabatnya yang telah meninggal dunia hal ini sangat berbeda dengan kaum Nahdiyyin, di mana mereka biasa melakukan ritual- ritual kirim doa seperti Yasinan, Tahlilan dan Ziarah kubur. Di sinilah perbedaan antara kedua masyarakat tersebut yang biasa penulis temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa contoh di atas maka prasangka sosial akan mudah timbul dalam pikiran orang-orang yang memiliki perbedaan apalagi perbedaan tersebut menyangkut ibadah. Dalam konteks ini terkadang penulis menemukan ketidak serasian antara kedua masyarakat tersebut, yaitu biasanya penulis menemukan adanya konflik batin, 2) Kepentingan. Jika terjadi benturan kepentingan antara satu orang dengan orang lain terlebih orang yang berbenturan kepentingan itu berasal dari kelompok atau golongan yang berbeda. Maka prasangka sosial akan mudah tertanam dalam pikiran orang yang berbenturan kepentingan tadi. Dalam hal ini penulis melihat saat ada sanak famili atau kerabat dari kalangan Muhammadiyah yang meninggal dunia, dan dari pihak keluarga tidak melakukan kegiatan yasinan seperti yang biasa masyarakat sekitar lakukan, maka hal ini akan menimbulkan prasangka-prasangka sosial seperti adanya omongan-omongan miring dari beberapa warga sekitar tentang keluarga yang di tinggalkan, misalnya ada yang mengatakan keluarga tersebut pelit karena tidak mau mengadakan ritual yang biasa masyarakat desa Pringapus lakukan. Meskipun hanya sebatas konflik batin namun tetap saja hal ini merugikan bagi pihak keluarga. 3) faktor kurangnya pengetahuan dalam masyarakat. Dalam penjelasan di atas tadi telah penulis jelaskan bahwa prasangka sosial dapat menimbulkan konflik batin dalam bermasyarakat, meski pun demikian seharusnya perbedaan yang terjadi antara kedua masyarakat tersebut tidak akan menjadi masalah bagi orangorang yang memiliki pengetahuan. Dari hasil pengamatan penulis, tidak terlalu banyak perbedaan antara masyarakat Muhammadiyyin dengan Nahdiyyin, perbedaannya hanya kebanyakan dari kalangan Nahdiyyin itu menganggap bahwa perkataan dan kesepakatan para alim ulama itu dijadikan pegangan pokok setelah Al-Qur’an dan Hadist, jika dari masyarakat Muhammadiyyin ucapan dan kesepakatan para ulama itu dijadikan hanya sebagai refensi dalam beribadah, jka ucapan, perkataan dan kesepakatan para ulama ini terdapat pada salah satu hadist nabi, maka mereka akan melaksanakan, namun apabila tidak terdapat pada salah satu hadist nabi dan apabila perkataan ulama tersebut ada dalam hadist nabi tapi hadist tersebut dinilai Dhaif atau lemah, maka cenderung mereka tinggalkan. Dalam kesehariannya, antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU itu memiliki pandangan yang berbeda mengenai ibadah, namun dengan adanya perbedaan tersebut penulis tidak pernah menemukan adanya konflik besar secara massa, yang penulis temukan hanyalah sebatas konflik batin. Namun seiring perkembangan pengetahuan masyarakat, konflik ini sedikit demi sedikit mulai tidak terlihat, meskipun terkadang masih terjadi namun tidak seperti dulu. d. Stereotip Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa stereotip yan dilekatkan baik itu kepada masyarakat Muhammadiyah maupun masyarakat NU. Pada masyarakat Muhammadiyah ada stereotip yang berkembang dan menyatakan bahwa orang-orang dari kalangan Muhammadiyah itu cenderung kurang khusyu dalam beribadah dan pelit. Memang dalam beberapa kasus, penulis menemukan beberapa orang dari kalangan Muhammadiyah itu setelah selesai melaksanakan sholat mereka tidak berzikir terlebih dahulu, tidak seperti masyarakat dari kalangan NU yang mayoritas dari kalangan NU setelah solat terutama apabila sholat berjamaah di masjid selalu melaksanakan dzikir terlebih dahulu. Masyarakat Muhammadiyah di sana juga dikatakan pelit karena mereka tidak pernah mengadakan acara-acara tasyakuran, dan apabila di undang untuk hadir dalam acara-acara tasyakuran berupa yasinan dan lain sebagainya mereka jarang hadir dan kalaupun mereka ikut hadir mereka tidak ikut serta membaca yasin , mereka hanya sekedar datang untuk menghormati warga yang lain. Pada masyarakat di kalangan NU juga di kenakan stereotip, di mana menurut warga dari kalangan Muhammadiyah itu, warga NU itu berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah, menurut mereka dzikir dsetelah sholat itu tidak di anjurkan hingga berlama-lama. selain itu juga mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak pernah dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dengan Masyarakat NU Pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat dari kalangan Muhamnmadiyah dengan masyarakat NU mengambil bentuk hanya pada komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. Dalam komunikasi antar pribadi yang terjadi antara orang-orang dari masyaarakat Muhammadiyah dengan orang-orang dari masyarakat NU lebih sering terjadi pada dua konteks saja, yaitu konteks ekonomi dan konteks sosial. Dalam konteks ekonomi komunikasi itu terjadi biasanya di pasar Pringapus, di mana banyak orang yang berasal dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat NU bertransaksi bisnis di sana. Bentuk lain dari konteks ekonomi dalam komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah di mana kebanyakan dari warga NU sebagai pemilik sawah dan warga Muhammadiyah sebagai buruh tani. Konteks lain dari komunikasi antar budaya masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah dalam konteks sosial, contohnya mereka bersama-sama dalam upaya mensejahterakan warga desa Pringapus dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti dan bakti sosial. Pola lain dari komunikasi antar budaya masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah mengambil pola komunikasi kelompok kecil, di mana hal ini terjadi dalam konteks keagamaan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya masyarakat pedesaan itu memiliki sifat yang religius. Namun dalam hal ini tidak semua kegiataan keagamaan dapat menjadikan komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU berjalan efektif, hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam pengamalan ibadah mereka dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Muhammadiyah dalam ibadahnya hanya berpedoman pada Al-Qu’an dan Hadist sedangkan masyarakat NU berpedoman pada Al-Qur’an dan hadist serta Ijma dan Qiyas. Karena adanya perbedaan itulah terkadang komunikasi yang terjadi kurang efektif. 2. Faktor Penghambat dan Pendukung Perbedaan pandangan dalam beribadah lebih dirasakan sebagai faktor yang membuat terhambatnya komunikasi antar budaya. Hal ini disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan pada sebagian warga masyarakat desa dan sikap curiga yang mudah timbul dalam diri masyarakat desa. Kedua masyarakat ini menganggap apa yang mereka kerjakan dalam beribadah itu adalah yang benar, bagi kaum Muhammadiyyin mereka merasa benar karena mereka mengerjakan segala sesuatunya berdasarkan AL-Qur’an dan hadist Nabi, segala sesuatu yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi, cenderung mereka tinggalkan. Namun bagi kaum Nahdiyyin selain Al-Qur’an dan hadist mereka juga berpegang pada Ijma dan Qiyas. Sedangkan yang menjadi salah satu faktor pendukung dari komunikasi antar budaya antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU di desa Pringapus adalah sikap kekeluargaan yang terjalin antar sesama warga desa. Di mana biasanya interaksi sosial yang terjalin antara masyarakat yang tinggal di desa itu jauh lebih baik daripada masyarakat yang tinggal di kota. B. SaranSaran-saran Memperhatikan dari faktor penghambat dan faktor pendukung komunikasi yang terjadi antara masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan masyarakat dari kalangan NU, maka penulis berkeinginan memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Sebagai warga masyarakat yang bersifat heterogen, hendaknya setiap warga harus memiliki sikap saling menghormati dan saling menghargai pada setiap perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai tembok pembatas untuk dapat saling berkomunikasi. Karena indahnya kebersamaan jika bisa dapat saling berdampingan dengan adanya perbedaan. 2. Sebagai sesama muslim hendaknya dapat menumbuhkan rasa toleransi dalam beribadah, tidak perlu berlarut-larut dalam membicarakan perbedaan-perbedaan yang ada karena jika itu terus di perbincangkan maka aperbedaan itu tidak akan ada habisnya. Biarkanlah perbedaan itu tetap ada selama perbedaan itu tidak menyimpang dari Syari’ah. 3. Hendaknya bagi setiap masyarakat, lebih ditekankan lagi rasa ingin tahu, agar tidak adanya lagi sikap mudah curiga dan konflik-konflik yang memicu pada perpecahan antar sesama muslim. Karena di dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa jangan lah kamu menghina suatu kaum karena boleh jadi kaum yang kamu hina itu lebih baik dari kamu. DAFTAR PUSTAKA Alex. H. Rumondor dkk, komunikasi antar Budaya, (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2001), Alo Liliweri, “dasar-dasar komunikasi antar budaya”, (Jogjakarta: Pustaka {Pelajar Press, 2000 Asnawir dan Basyirudin Ustman, media pembelajaran (Jakarta; Ciputat Press, 2002) Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003) Astrid S. Susanto, Komunnikasi Dalam Teori dan Praktek,(Bandung, Bina Cipta, 1942) Bakrie Abbas, Komunikasi Internasional: Peran dan Permasalahannya, (Jakarta; Yayasan Kampus Tercinta- ISIIP), Deddy Mulyana, ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, “komunikasi antar budaya”. (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung). Cet-9, 2005) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahaa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung. PT. ERESCO, 1996) cet ke-13 H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA, 2006) J. Winardi, S.E, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication konteks-konteks komunikasi antar budaya, (Bandung:PT. Remaja Rosda karya buku ke2, 2001), Stewart L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human Communication KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja Risdakarya, 2005) Harwantiyoko dan Neljte F. Katuuk, MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Gundar, 1992) Onong Uchyana Effendi, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992), cet ke-1 Onong Uchyana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung;PT> Remaja Rosdakarya, 2000), cet ke-4, Onong Uchjana Efendi,Imu Komunikasi Teori dan Praktek, ,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), Sasa Djuarsa Sendjaya, Pengantar Komunikasi, (Jakarta, Universitas Terbuka, 1998), Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia Phill Astrid Susanto, Komunikasi dalam teori dan Praktek, (Bandung, Bina Cipta, 1998)cet ke-3, Puis A. Partanto dan M. Fahlan Al- Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:Arkola, 19941) R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, (Bandung; Rosda Karya, 2006), Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993)