2017 Economic Outlook

advertisement
2017 Economic Outlook
Written By:
R. M. Yusuf Catradiningrat
R&D of Academics HMPSEP 2016/2017
Dengan berakhirnya 2016, bagaimana prospek perekonomian Indonesia setahun
ke depan? Apa saja tantangan yang akan dihadapi? Apa yang dapat menjadi
pendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia?
T
erdapat beberapa dilema yang menanti Indonesia dalam menghadapi tahun 2017, baik dari
segi domestik maupun global. Tantangan dari kedua kubu tersebut merupakan hambatan dari
Indonesia dari mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tercantum pada APBN 2017,
yakni 5,1%; hal ini dapat dikatakan cukup optimis dengan pertimbangan bahwa perekonomian dunia
sedang melambat, namun Indonesia memang termasuk salah satu negara yang mampu
mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi meski kubu-kubu perekonomian utama
di dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan RRT sedang mengalami perlambatan – meski
terdengar bagus, hal tersebut tidak berarti Indonesia bebas dari potensi guncangan.
A FEW BUMPS AHEAD
Global Challenges:
Domestic Challenges:
1. China’s Economic Slowdown
2. Trump’s Presidency
1. Fiscal Stringency
2. Underperforming Private Sector
China: Hare Turned Tortoise?
R
epublik Rakyat Tiongkok menikmati
pertumbuhan perekonomian yang
pesat selama bertahun-tahun –
sesuatu yang membuat negara tersebut
menjadi salah satu perekonomian terkuat di
dunia – namun entah mengapa hal sebaliknya
justru terjadi beberapa tahun ini. Menghadapi
tahun 2017 ke depan, RRT diperkirakan masih
akan mengalami hal serupa. Sebenarnya
perlambatan yang terjadi berakar pada upaya
pemerintah untuk mendorong perekonomian
melalui investasi yang menjadi senjata makan
tuan ketika banyak terjadi kredit macet.
Perlambatan ini menjadi salah satu
ancaman utama perekonomian dunia karena
bila RRT tidak segera menindaklanjuti
perlambatan perekonomian, RRT berpotensi
mengalami hard landing, yakni kondisi dimana
negara mengalami pemerosotan tajam dalam
perekonomiannya yang dapat berujung pada
resesi. Guna mengantisipasi hal tersebut, RRT
diperkirakan akan melakukan pengetatan
terhadap kredit untuk lebih memastikan
pengalokasian dana yang lebih efisien.
Langkah tersebut akan menghambat laju
investasi yang dapat berimplikasi terhadap
permintaan ekspor mitra dagang RRT, salah
satunya adalah Indonesia. Dampak ini akan
semakin eksponensial dengan pertimbangan
bahwa Tiongkok merupakan negara tujuan
utama ekspor Indonesia.
Volume Ekspor Indonesia Berdasarkan
Negara Tujuan Utama Tahun 2010-2014
300.000,00
250.000,00
200.000,00
150.000,00
100.000,00
50.000,00
0,00
2010
Tiongkok
ASEAN
2012
Jepang
2013
Korsel
2014
Uni Eropa
Sumber: Badan Pusat Statistik, (2015).
Terlihat bahwa perlambatan perekonomian
Tiongkok sudah menunjukkan dampak
terhadap volume ekspor Indonesia; ekspor
terhadap negara tersebut menurun drastis
pada
tahun
2014.
Jika
Tiongkok
memberlakukan
kebijakan
pengetatan
ekonomi, maka ekspor Indonesia akan
semakin terpengaruhi; hal ini berpotensi
memberikan pengaruh negatif terhadap
perusahaan-perusahaan yang bergantung
pada aktivitas ekspor, neraca perdagangan,
nilai tukar, dan akhirnya pertumbuhan
ekonomi sendiri.
Trump’s Rise to Power
S
2011
alah satu sorotan utama dunia kini adalah Donald
Trump yang tidak lama ini terpilih menjadi
presiden Amerika Serikat yang baru. Meski beliau
baru akan menduduki Gedung Putih untuk mengganti
Barrack Obama tanggal 20 Januari 2017, kemenangan
Trump bulan November lalu menimbulkan berbagai
kekhawatiran dunia, tidak terkecuali Indonesia. Proposal
kebijakan perdagangan Trump yang condong
proteksionis tampak paling mendiskriminasi RRT dan Meksiko, khususnya dalam hal tarif impor;
dengan RRT merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, tentu saja sebuah kebijakan yang
berpotensi merugikan RRT akan berpotensi merugikan Indonesia pula dalam hal ekspor. Dapat
dikatakan bahwa ketika Donald Trump dilantik menjadi presiden baru Amerika Serikat, dampak
perlambatan ekonomi RRT terhadap ekspor Indonesia semakin besar sehingga mengancam
pertumbuhan ekonomi.
Kehadiran Trump turut menimbulkan berbagai ketidakpastian terhadap apa yang akan
terjadi akibat pandangan umum bahwa Donald Trump merupakan sosok yang dapat dikatakan
radikal dan tidak dapat ditebak. Ketidakpastian ini tidak hanya berlaku bagi keberlangsungan
Amerika Serikat, tetapi negara-negara di seluruh dunia. Beberapa beranggapan bahwa kemenangan
Trump membuat investor menahan dananya karena tidak yakin terhadap masa depan
perekonomian, tetapi ada pula yang beranggapan bahwa justru hal tersebut akan menguntungkan
negara-negara emerging market karena investor justru akan mengalihkan dana kepada alternatif
yang lain, yakni negara-negara emerging market seperti Indonesia. Dalam kata lain, presiden baru
Amerika Serikat bisa menjadi insentif positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia – tentu hal
tersebut dengan asumsi bahwa kondisi perekonomian Indonesia stabil.
Where are My Taxes?
H
ingga saat ini Presiden Joko Widodo sangat gencar dalam hal pembangunan infrastruktur,
sesuatu yang dilakukan dalam rangka pemerataan pembangunan yang diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan. Pada tahun 2017 ini, proses perwujudan salah satu poin Nawa
Cita Jokowi menghadapi sebuah tantangan, yakni shortfall dari penerimaan pajak yang merupakan
sumber pendanaan belanja pemerintah. Penyebab dari kurang optimalnya pajak yang terhimpun
adalah perekonomian yang lesu, tetapi di sisi lain belanja pemerintah dari tahun ke tahun semakin
besar pula sehingga patut dipertanyakan apakah memang alasan shortfall yang terjadi adalah
perekonomian yang lesu atau pemerintah yang terlalu ambisius dalam menetapkan target
penerimaan pajak.
Salah satu implikasi dari
ketimpangan yang terjadi adalah
defisit anggaran yang kian
melebar. Memang di satu sisi
2016
273,2
2015
245,9
defisit
anggaran
terkadang
2014
175,4
merupakan
sesuatu
yang
2013
153,3
disengajakan
karena
dapat
2012
124
2011
124,7
menstimulasi
perekonomian
2010
98
yang sedang lesu dengan
0
50
100
150
200
250
300
pembangunan, tetapi defisit
tidak boleh dibiarkan membengkak terlalu besar. Salah
Sumber: Badan Pusat Statistik, (2015).
satu alasan mengapa hal tersebut tidak boleh terjadi
adalah karena pemerintah harus menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) guna menutupi kekurangan
dana belanja yang dibutuhkan. Bila defisit kian melebar, utang negara akan kian meningkat pula; hal
ini berarti porsi anggaran yang dialokasikan untuk membayar utang semakin besar.
Defisit Perdagangan Negara Tahun 2010-2016
(Triliun Rupiah)
Terlihat bahwa defisit anggaran dari tahun 2010-2016 cenderung membesar, bahkan meski
dengan adanya program Tax Amnesty, diperkirakan masih akan terjadi shortfall penerimaan pajak
hingga 137,6 triliun rupiah. Melihat hal tersebut, pemerintah hendak mengambil langkah
pencegahan dengan melakukan pemangkasan belanja sebesar estimasi defisit sesudah adanya
program Tax Amnesty. Pemangkasan yang dilakukan sendiri lebih diperuntukkan bagi belanja yang
bersifat konsumtif sehingga anggaran pembangunan infrastruktur kemungkinan besar tidak akan
terganggu. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa budget cut, dalam bentuk apapun itu,
sudah pasti dapat memengaruhi pencapaian target ekonomi.
Private Sector: The New Driver?
S
elama ini belanja pemerintah merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, namun
dengan ruang gerak fiskal yang lebih terbatas, tentu kita patut mempertanyakan sektor swasta
sebagai counterpart pemerintah. Sangat disayangkan melihat bahwa perekonomian yang
melesu menciptakan sektor swasta yang kurang bergairah; hal ini terindikasi dari pertumbuhan
kredit yang rendah disertai Non-Performing Loans (NPL) yang semakin tinggi. Pertumbuhan kredit
yang rendah berakar pada permintaan agregat yang rendah, perusahaan kemudian memiliki
kelebihan kapasitas sehingga tidak
tergerak untuk melakukan investasi.
Kelebihan kapasitas itu sendiri juga
Pertumbuhan Kredit
menjadi alasan mengapa tingkat NPL
Tahun 2012-2016
meningkat karena keuntungan yang
diperoleh tidak sesuai ekspektasi
sehingga terdapat beberapa pinjaman
yang tidak dapat terbayarkan. NPL
yang meningkat akan disikapi oleh
perbankan dengan memberlakukan
Sumber: Trading Economics, (n.d.)
pengetatan penyaluran kredit guna
menjaga stabilitas perbankan; hal ini semakin memperburuk insentif perusahaan untuk melakukan
investasi. Melihat keadaan demikian, pada tahun 2017 sektor swasta belum dapat dijadikan sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi yang baru.
NPL Ratio Tahun 2012-2016 (%)
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
2012
2013
2014
2015
2016
Sumber: World Bank, (n.d.)
Tampak bahwa pertumbuhan kredit menunjukkan tren
menurun dari tahun 2012-2016, sementara rasio kredit
bermasalah semakin meningkat pada rentang tahun yang
sama. Sebenarnya hal ini cukup unik dengan pertimbangan
bahwa Bank Indonesia kerap menurunkan tingkat suku
bunga acuan yang seharusnya bisa menstimulasi
pertumbuhan kredit, tetapi terlihat bahwa pada tahun
2016 sendiri, meski BI telah menurunkan tingkat suku
bunga acuan hingga 100 basis poin suku bunga kredit
hanya merespon dengan penurunan sebesar 50 basis poin.
Dapat dikatakan bahwa terdapat transmisi kebijakan
moneter yang kurang efektif.
So What’s to Become of Indonesia?
Berbagai tantangan menanti Indonesia seraya menyongsong tahun baru ini dengan adanya
hambatan baik dari sisi global maupun domestik dalam pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, Indonesia tidaklah tanpa harapan.
Fiscal Damaged, is Monetary Our Savior?
Prospek fiskal kurang baik akibat shortfall
penerimaan pajak. Tentu cukup instinctive
bagi Indonesia untuk berpaling kepada
penggunaan kebijakan moneter untuk
mendorong
perekonomian.
Dengan
pertimbangan tingkat inflasi rendah, nilai
tukar stabil, dan defisit neraca berjalan yang
terkendali, tentu pihak otoritas moneter
memiliki
ruang
untuk
memberikan
kelonggaran seperti dalam bentuk penurunan
tingkat suku bunga. Langkah demikian
diharapkan dapat menjadi stimulus bagi
perusahaan untuk melakukan investasi
maupun bagi masyarakat umum dalam
melakukan konsumsi. Insentif bagi pihak
moneter juga datang dari adanya program Tax
Amnesty yang meningkatkan jumlah likuiditas
perbankan; hal tersebut dapat membantu
menjamin transmisi kebijakan moneter yang
lebih efektif dalam hal penurunan tingkat
suku bunga.
E-Commerce: Shop ‘Till You Drop!
Saat ini bisnis online sedang marak di
Indonesia. Kini geografi bukan lagi hambatan
dalam melakukan perdagangan; penjual dan
pembeli tidak perlu lagi bertatap muka untuk
melakukan pertukaran, semua berkat
kehadiran internet. Kemudahan tersebut
terlipatgandakan dengan adanya smartphone
yang membuat proses jual-beli semakin
praktis. Selain situs online trading, kini sedang
marak pula transportasi online. Dengan
adanya aplikasi demikian, masyarakat
dipermudahkan dalam hal berjelajah, bahkan
karena diversitas aplikasi yang tersedia yang
memungkinkan masyarakat untuk bisa
memperoleh
kebutuhan-kebutuhan
lain
seperti makanan, pengiriman barang,
kecantikan, bahkan reparasi kendaraan.
Sektor
keuangan
juga
mengalami
perkembangan seiring dengan munculnya
inovasi-inovasi dalam bentuk financial
technology (fintech); kini sudah terdapat
beberapa aplikasi yang dapat dikatakan
mengganti peran bank sebagai lembaga
intermediasi. Berbagai kemajuan teknologi
yang sudah merayap masuk ke lanskap
perekonomian Indonesia; hal tersebut
diperkirakan akan mendorong konsumsi
masyarakat akibat aktivitas ekonomi yang kini
dipermudah. Dalam kata lain, pertumbuhan
ekonomi tahun 2017 dapat terbantu oleh sifat
konsumtif masyarakat Indonesia yang
terakomodir dengan adanya E-Commerce.
Sources:
http://www.bappenas.go.id/index.php?cID=9693
http://www.tradingeconomics.com/indonesia/loangrowth
http://data.worldbank.org/indicator/FB.AST.NPER.Z
S?end=2016&locations=ID&name_desc=false&start=2
012&view=chart
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/2
3/201911626/pertumbuhan.kredit.masih.lemah.npl.p
erbankan.menanjak.
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1009
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1178
Download