Jakarta, 14 November 2016 Menyiasati Trump Inferno Brexit 2.0 Tidak seperti yang diramalkan oleh banyak survey, Donald Trump secara mengejutkan memenangi pilpres Amerika Serikat dengan perolehan electoral vote 279 melebihi Hillary Clinton 228. Lihat peraga. Mencermati profil pemilih yang disurvei setelah memberi suara, kemenangan Trump nampak dilandasi faktor yang semirip referendum Inggris untuk keluar dari kawasan Eropa (Brexit). Itu sebabnya ada yang menjuluki yang terjadi di Amerika Serikat sebagai Brexit 2.0. Ada kecemasan hal ini bisa menular ke negara lain seperti Perancis (Frexit) yang bakal menggelar pemilu tahun depan. Perolehan suara untuk Trump diyakini lebih banyak berasal dari kalangan kulit putih berumur dengan tingkat pendidikan non-universitas yang tinggal di daerah tengah yang terbuai dengan thema kampanye Trump yang nasionalis, proteksionis dan populis. Kelompok ini ditengarai marah dan takut akibat kompetisi sengit globalisasi dan arus imigrasi yang menggerus kemakmuran mereka. Banyak kota industri yang tutup karena relokasi industri ke negara berkembang. Simpatisan partai republikan ini juga tidak menyukai pembebanan pajak untuk mendukung program kesehatan ObamaCare bagi masyarakat luas. Kendati banyak dari mereka yang menilai menilai kualifikasi Trump kurang memadai sebagai presiden, namun kelompok ini diduga lebih kecewa kepada Partai Demokrat yang sudah berkuasa hampir satu dekade terakhir (anti establishment). 1 Investor Antisipasi Inward Looking Trump Reaksi investor berubah drastis sebagai artikulasi antisipasi apakah retorika kampanye Trump diterapkan sebagai kebijakan. Bila sebelum pilpres terkoreksi, maka setelah pidato kemenangan Trump SPX justru naik signifikan hingga 3,8% sepekan. Lihat tabel. Harapan Trump bakal memacu pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur memacu kenaikan harga saham sektor domestik. Media Bloomberg melansir Trump dalam kampanyenya mengajukan dana infrastuktur senilai $1 triliun selama satu dekade. Angka ini jauh lebih besar dibanding yang dijanjikan kubu Hillary Clinton. Harapan stimulus ini digulirkan menguat dengan penguasaan Kongres oleh Republikan. Namun dengan kondisi perekonomian Amerika Serikat sendiri yang boleh dinilai sudah full-employment, memaksa investor obligasi mengubah secara struktural trajektori inflasi dan pasokan utang Amerika Serikat. Sebagai akibatnya yield T-bond 10 tahun meroket menjadi 2,1% yang memicu kejatuhan harga obligasi global, termasuk Indonesia. The Fed diduga akan lebih agresif untuk mengendalikan inflasi. Kami cermati ekspektasi inflasi di Amerika Serikat juga melonjak dan spread antara obligasi jangka panjang dan pendek 2 melebar sebagai indikasi antisipasi investor memperpendek durasi. Kemungkinan the Fed yang lebih hawkish ini kemudian memicu kekuatiran berkurangnya aliran dana investasi ke negara berkembang. Sebagai akibatnya, terjadi pelemahan nilai tukar mata uang selain kejatuhan harga saham dan obligasi. Peraga Bloomberg dibawah ini menunjukkan koreksi pasar obligasi terjadi secara global. Kecuali Yunani dan India (yang tidak diperdagangkan untuk investor asing), yield obligasi negara kini berada pada sisi “high” selama sepekan terakhir. Ketegangan Politik Perdagangan Dunia Tekanan lebih besar dialami negara yang selama ini tergabung dalam kesepakatan perdagangan seperti NAFTA dan Trans Pacific Partnership (TPP). Trump mengkampanyekan proteksionist termasuk dengan membatalkan kesepakatan dagang dan mengenakan tarif impor terhadap China yang dianggap melakukan manipulasi mata uang. Peraga dibawah ini meringkas pandangan ekonom Credit Suisse terkait dampak dari kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS ke-45. Pada dasarnya, negara yang selama ini terjalin dalam supply chain yang erat dengan Amerika Serikat dinilai lebih rentan. Mudah dipahami bila tahun depan ketegangan politik pasti meningkat terutama dengan China yang juga sedang menghadapi transisi kepemimpinan. 3 Menyikapi Trump Inferno Peraga dibawah ini meringkas dampak terpilihnya Trump terhadap pasar modal dan nilai tukar Indonesia. Lihat kembali tabel di halaman 2. Merespon koreksi tajam yang terjadi, pemerintah melalui Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Departemen Keuangan telah mengeluarkan pernyataan bersama untuk membantu menenangkan investor dengan memaparkan kualitas fundamental ekonomi dan kesiapan pemerintah melakukan reformasi. Menyikapi dominasi dinamika global seperti saat ini, terus terang mood saya sekarang seolah seperti pada akhir tahun 2015 pasar belum mengapresiasi perbaikan fundamental ekonomi Indonesia. Walau saat itu tenggelam dalam thema the great asset rotation menuju negara maju, saya berharap ada semacam discrimination bagi negara yang telah melakukan stabilisasi dan reformasi seperti Indonesia. Harapan yang sama saya nilai tetap relevan yang melandasi pandangan saya mengenai prospek ekonomi dan investasi 2017 “Beter Admin, Higher Gain”. Seperti halnya kejadian tahun 2015, sebagai investor yang rasional kita tetap sebaiknya menggunakan acuan untuk cuan. Trump juga diberitakan tidak sepenuhnya membuang program administrasi sebelumnya seperti ObamaCare. Dia juga dinilai tidak dapat semaunya memberhentikan Janet Yellen sebagai petinggi the Fed. Demikian juga peningkatan konflik perdagangan bukan tidak mungkin memanaskan situasi politik yang penurunan volume perdagangan dunia sekaligus juga harga energi. Penurunan harga komoditas secara umum bakal menahan tekanan inflasi dan menyebabkan suku bunga tetap terjaga rendah, paling tidak secara historis. Bagi Amerika Serikat sendiri penguatan dollar bukan sesuatu yang diinginkan untuk memacu sektor manufaktur dan mengendalikan defisit perdagangan. Sementara di dalam negeri, Bank Indonesia dianggap lebih tanggap seperti dibanding Bank Negara Malaysia dengan mengakumulasi cadangan devisa yang dapat digunakan untuk stabilisasi. Mungkin ini sebabnya ringgit Malaysia sepekan lalu merosot 3.5% lebih besar ketimbang rupiah 1,8%. Stabilisasi rupiah hingga akhir tahun juga semestinya ditopang oleh arus repatriasi tax amnesty. Bank Indonesia diketahui melakukan intervensi di dua pasar: Melepas valas di pasar valuta dan membelikan rupiahnya untuk obligasi negara. Dengan defisit neraca berjalan yang relatif terkendali dan pasokan tambahan penerbitan SUN yang terbatas, saya berharap kestabilan makroekonomi dapat kembali terjaga. Semoga. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 4