12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik yang meliputi sebagian wilayah Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km². 1 Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur pendistribusian minyak dunia, perdagangan dan pelayaran internasional. 2 Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) termasuk (Makau dan Hongkong), Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia dan Vietnam. Adapun sungai-sungai besar yang bermuara di Laut Cina Selatan antara lain sungai Mutiara (Guangdong), Min, Jiulong, Red, Mekong, Rajang, Pahang, dan Pasig. 3 Secara geografis Laut Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke timur laut, batas selatan 3° Lintang Selatan antara Sumatera Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata) , dan batas utara-nya adalah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir Fujian di Tiongkok daratan. Laut Cina Selatan terletak di 1 www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html, diakses pada tanggal 12 Januari 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan,diakses tanggal 12 Januari 2015. 3 www.anneahira.com, Loc.Cit. 2 1 13 sebelah selatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan; di sebelah Barat Filipina;di sebelah barat Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei; di sebelah utara Indonesia ; di sebelah timur laut Semenanjung Malaya (Malaysia) dan Singapura; dan disebelah timur Vietnam. 4 Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandugan minyak bumi dan gas alam yang terdapat di dalamnya,serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahuntahun. Penemuan minyak dan gas bumi pertama kali di pulau Spartly adalah pada tahun 1968. Menurut data dari The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spartly adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 x 1010 kg). Fakta tersebut menempatkan kepulauan Spartly sebagai tempat cadangan minyak terbesar keempat di dunia. 5 Sumber daya hidrokarbon juga menjadi daya tarik tersendiri. Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60-70% hidrokarbon di kawasan ini merupakan gas alam. Sementara itu, penggunaan sumber daya gas 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan, Loc.Cit. http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratlypotensi.html, diakses tanggal 12 Januari 2015. 5 14 alam diproyeksikan bertambah sebanyak 5% per tahun untuk dua dekade yang akan datang. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 20 trilion cubic feet (Tcf) per tahun, lebih cepat daripada bahan bakar lainnya. 6 Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran penting. Jalur pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati Selat Malaka dan bagian barat daya Laut Cina Selatan bahkan lebih dari tiga kali yang melewati Terusan Suez dan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama. 7 Selama dua puluh tahun ke depan konsumsi minyak bumi di negara-negara Asia akan naik 4% rata-rata per tahun. Apabila laju pertumbuhan tetap konsisten, permintaan minyak bumi akan naik menjadi 25 juta barrel per hari. Mau tidak mau untuk mengatasi permintaan Asia dan Jepang harus dilakukan impor minyak dari Timur Tengah. Kapal-kapal tanker pengangkut minyak dari Timur Tengah ke negara-negara Asia tersebut setelah melewati Selat Malaka harus melalui Laut Cina Selatan. Pelayaran Komersial di Laut Cina Selatan didominasi oleh bahan mentah yang menuju negara-negara Asia Timur, dan yang melewati Selat Malaka dan Kepulauan Spartly sebagian besar adalah kargo cair seperti minyak dan gas alam cair (LNG), sementara kargo kering kebanyakan batu bara dan bijih besi. 6 Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut China Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No. 08/II/P3DI/April /2012) Hal. 6. 7 Ibid. 15 Pengangkutan LNG melewati Laut Cina Selatan mewakili dua per tiga dari perdagangan LNG seluruh dunia menuju Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. 8 Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan (South China Sea, atau SCS) ini diawali oleh klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas Kepulauan Spartly dan Paracel pada tahun 1974 dan 1992. 9 Hal ini dipicu oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan kepulauan Spartly, Paracels dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut. 10 Tentu saja klaim tersebut segera mendapat respon negara-negara yang perbatasannya bersinggungan di Laut Cina Selatan, utamanya negara-negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Adapun negara-negara tersebut antara lain Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. 11 Di Laut Cina Selatan terdapat empat kepulauan dan karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan Paracel, (seperti perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Sejak klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas kepulauan di Laut Cina Selatan pada tahun 1974 , Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menganggap Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatan lautnya. Pada 8 Ibid. Evelyn Goh, (Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies, 2005), East-West Center Washington, Hal. 31. 10 Ibid. 11 http://www.eastasiaforum.org/2011/06/29/china-s-militant-tactics-in-the-south-chinasea/, diakses tanggal 15 Januari 2015 9 16 tahun 1974 ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menginvasi kepulauan Paracel ini juga di klaim oleh Vietnam. Pada Tahun 1979, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam berperang sengit di perbatasan dan angkatan laut kedua negara bentrok di tahun 1988, kedua angkatan laut bentrok di Jhonson Reef di kepulauan Spartly yang menelan korban dimana dengan tenggelamnya beberapa kapal Vietnam dan 70 orang prajurit Angkatan Laut Vietnam gugur.12 Pada tahun 1992, 1995, dan 1997, bersamaan dengan Filipina, Vietnam mengganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. 13Adanya konfrontasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT)-Vietnam ketika terjadi eksplorasi minyak dalam wilayah perairan Internasional tahun 1994. Pada tahun 1995 Taiwan menembak arteleri ke kapal Angkatan Laut Vietnam.14 Pada tahun 1996 terjadi kontak senjata, antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Filipina. Pada tahun 1998 Filipina menembak kapal nelayan Vietnam. Tahun 2000 tentara Filipina menembaki nelayan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Tahun 2001 tentara Vietnam menembakkan tembakan peringatan kepada pesawat pengintai Filipina yang mengelilingi Pulau Spartly. Konflik Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Vietnam, ini kemudian menimbulkan suatu gerakan massa Anti-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Vietnam pada tanggal 14 Mei 2014, yang melakukan demonstrasi menyusul ketegangan antar kedua negara, yang awalnya berlangsung dengan tenang namun berujung pada melakukan kerusuhan terhadap sejumlah perusahaan asing di 12 Evelyn Goh, Op.Cit., hal. 19 Ibid. 14 Kolonel Karmin Suharna,SIP.,MA (Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi Ketahanan Nasional: Majalah Komunikasi dan Informasi edisi 94 tahun , 2012 ), Hal. 34. 13 17 negara tersebut serta massa membakar dan menghancurkan 15 pabrik yang kebanyakan dimiliki oleh perusahaan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT). 15 Pada tanggal 21 Mei 2014 Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung membeberkan suatu langkah ilegal yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yaitu melakukan penempatan anjungan minyak Haiyang 981 di Laut Cina Selatan dan pengerahan kapal-kapal patroli untuk melindungi anjungan, yang mana ini menurut beliau sangat serius mengancam perdamaian, stabilitas, keamanan laut dan keselamatan serta kebebasan . 16 Latar belakang sejarah dan penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan sebagai alasan bagi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan. Hal ini yang kemudian ditindak lanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan kekuatannya melalui aksi provokatif terhadap negara-negara pengklaim lainnya. Seperti terlihat dalam kebijakannya sejak tahun 1974 hingga sekarang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) secara intensif telah menunjukkan simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak jarang terlihat agresif dengan melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi perairan Laut Cina Selatan guna mempertahankan sumber-sumber potensial barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya. 17 Keteguhan sikap Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam mempertahankan klaimnya atas wilayah Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan 15 republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-bakar-15pabrik-di-vietnam#” , diakses pada tanggal 23 Januari 2015. 16 republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-vietnam-cina-langgarhukum-internasional” , diakses pada tanggal 23 Januari 2015. 17 Setyasih Harini (Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan: artikel Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unsri Surakarta, 2015), Hal. 4. 18 niatnya untuk memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan hanya di tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga Internasional. Sebagai salah satu sasaran progam modrenisasi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berusaha mengembangkan kemampuan Angkatan Laut guna meningkatkan statusnya dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut biru (blue water navy), suatu kekuatan yang memiliki kemampuan proyeksi jauh ke wilayah samudera luas. Artinya, kekuatan laut biru dapat dijadikan sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi yang semakin dipertimbangkan di area internasional. 18 Dengan arti strategis dan ekonomis yang demikian, maka kawasan ini berpotensi mengundang konflik. 19 Sebuah perairan dengan potensi kandungan minyak dan gas alam yang tinggi juga peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia membuat Laut Cina Selatan menjadi objek perdebatan dalam konteks Regional dan Internasional. Keterlibatan banyaknya negara-negara dalam sengketa ini, maka perlu adanya penyelesaian sengketa internasional yang berdasarkan pada suatu resolusi internasional yakni Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary yakni suatu putusan oleh ITLOS (International Tribunal of the Law of the Sea) yang mana memiliki latar belakang konflik yang identik dengan konflik Laut Cina Selatan,yang telah diputus pada tanggal 7 juli 2014 dan diakui keberadaannya. Berdasarkan hal tersebut, dalam skripsi ini juga akan dibahas mengenai UNCLOS 1982 yang menjadi pedoman Hukum Laut Internasional dan dapat menjadi salah satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan dikarenakan 18 19 Ibid. www.foreignpolicy.com, diakses tanggal 24 Mei 2013. 19 sengketa ini merupakan suatu sengketa multinasional. Selain itu, isi dan prinsipprinsip yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dapat mengakomodir penyelesaian sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adapaun permasalahan yang akan dibahas antara lain : 1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik wilayah perairan menurut Hukum Internasional? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary ? 3. Bagaimana Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model penyelesaian sengketa terhadap Laut Cina Selatan? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan perumusan masalah diatas , maka tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain : 1. Mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik wilayah perairan menurut Hukum Internasional. 2. Mengetahui penyelesaian sengketa dalam Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary. 3. Mengetahui Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model penyelesaian sengketa terhadap Laut Cina Selatan. 20 Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini,antara lain : 1. Secara teoritis Diharapkan kehadiran skripsi ini dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan dan melahirkan pemahaman tentang penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan sekaligus memperkaya serta menambah wawasan ilmiah baik dalam tulisan ini maupun dalam bidang lainnya. 2. Secara praktis Untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh dan memberikan masukan bagi pembaca untuk memahami peranan Hukum Laut Internasional sebagai model penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan serta memberikan manfaat bagi setiap pihak yang berkepentingan dalam kaitannya dengan sengketa Laut Cina Selatan. D. Keaslian Penulisan Untuk mengetahui orisinalitas penulisan sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN” , penulis terlebih dahulu telah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mealalui surat tertanggal 18 September 2014 , menyatakan bahwa judul 21 skripsi ini merupakan karya ilmiah yang belum pernah diangkat menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada hal itu adalah diluar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan Resolusi menurut Black’s Law Dictionary “a formal expression of the opinion or will of an official body or a public assembly, adopted by vote; as a legislative resolution” 20 Hal ini bererti bahwa suatu resolusi merupakan suatu bentuk pernyataan yang resmi mengenai suatu pendapat atau kehendak dari suatu badan yang resmi atau suatu majelis yang bersifat umum serta disahkan melalui pemungutansuara serta dinyatakan bahwa suatu resolusi merupakan sebagai suatu bentuk penyelesaian legislatif. Istilah “resolusi”sebagaimana yang digunakan oleh PBB memiliki arti yang luas, yakni tidak hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga 20 Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary. Hal 457. 22 keputusan. 21 Pada umumnya resolusi merupakan suatu pernyataan tercatat yang berisi kesepakatan oleh negara-negara anggota. 22 Kesepakatan–kesepakatan antar negara tersebut mereka tuangkan dalam bentuk suatu perjanjian yang mengikat antar negara tersebut. Keputusan-keputusan atau resolusi yang dilahirkan suatu organisasi internasional ada yang mengikat pada ruang lingkup intern organisasinya saja. Namun ada juga organisasi internasional yang mana keputusan yang dikeluarkannya tidak hanya berlaku dan mengikat bagi negara-negara non anggota. Oleh karena itu pengaruh dan ruang lingkup berlakunya keputusankeputusan tersebut sangat besar dan luas. Hal ini dapat dilihat pada keputusankeputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum ataupun Dewan Keamanan PBB dimana ruang lingkup resolusi yang dikeluarkannya juga berlaku bagi negara non anggota PBB. 23 Dalam praktiknya, adapun fungsi-fungsi suatu resolusi yang dikeluarkan oleh suatu organisasi internasional adalah : 24 1. Menciptakan kewajiban, hak dan atau kekuatan maupun wewenang (fungsi subtantif) 2. Menentukan fakta atau keadaan hukum yang dapat menentukan fungsi subtantif tersebut. 3. Menentukan bagaimana dan kapan suatu fungsi subtantif tersebut dapat berlaku. 21 Marco Divac Oberg,The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ,16 Eur.J.Int’l.L.2006. Hal. 879. 22 Richard K.Gardiner,International Law, Person Education Limited,England, 2003. Hal. 254 23 Ibid 24 Marko Divac Oberg,Op.Cit, Hal .881. 23 Maritime Boundaries atau disebut juga dengan batas maritim. Batas Maritim didefinisikan dengan segmen garis batas yang menghubungkan titik-titik batas yang telah disepakati. Dalam batas maritim dikenal ada dua pengertian dasar yang penting yaitu limit batas maritim (maritime limits) dan batas maritim (maritime boundaries). 25 Limit batas maritim adalah batas terluar zona maritim sebuah negara (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang lebarnya diukur dari garis pangkal. Pada dasarnya limit batas maritim ini ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada tumpang tindih dengan negara lain. Penentuan limit batas maritim dilakukan oleh suatu negara yang letaknya di tengah samudera dan jauh sekali dari negara-negara lain, maka negara tersebut bisa menentukan batas terluar zona maritimnya secara sepihak tanpa harus berurusan dengan negara tetangga, batas terluar ini disebut dengan limit batas maritim (maritime limits). 26 Meski demikian jarang ada satu negara yang bisa menentukan batas zona maritim tanpa berurusan dengan negara lain. Misalnya di Selat Malaka, Indonesia tidak mungkin mengklaim 200 mil ZEE karena jaraknya dengan Malaysia dekat, sementara itu, Malaysia juga berhak atas ZEE. Disinilah diperlukan usaha membagi laut, prosesnya disebut maritime delimination. Proses martime delimination ini akan menghasilkan maritime boundaries (batas maritim). 27 Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier&Vaughan Lowe membedakan antara sengketa 25 M.George Cole, Water Boundaries, Manchester University Press.1997. Ibid 27 Ibid 26 24 (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah : “a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal,counter claim or denial by another.”28 Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. 29 Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara. Terkait dengan sengketa internasional sangat menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh John Collier bahwa fungsi hukum penyelesaian sengketa internasional manakala terjadi sengketa internasional adalah to manage, rather than to supress or to resolve a dispute. 30 Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai berikut : 31 1. Interpretation of a treaty. 2. Any question of international law 3. The existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation 28 John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law,Oxford University Press.1999. 29 Sefriani,S.H.,M.Hum.,Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press.2010.Hal 322. 30 Ibid 31 Ibid 25 4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, melarang negara anggota menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. 32 Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal 33 Piagam PBB yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa mereka sambil menyebutkan bermacam-macam prosedur yang dapat dipilih oleh negara yang bersengketa. 33 Karena kebebasan ini, negara-negara pada umumnya memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik,ketimbang penyelesaian melalui arbitrase atau secara yuridiksional karena penyelesaian secara politik akan lebih melindungi kedaulatan mereka. Bila terjadi ketegangan internasional yang bersumber pada suatu sengketa maka negara-negara berpendapat akan lebih baik bila sengketa tersebut dapat terlebih dahulu diselesaikan secara politik mengingat sistem penyelesaian melalui cara tersebut lebih luwes, tidak mengikat dan mengutamakan kedaulatan masing-masing pihak. Kalau tidak berhasil maka baru diambil prosedur penyelesaian secara hukum,sekiranya sengeketa tersebut memiliki aspek hukumnya pula. 34 Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional sebagai berikut : 35 1. Secara damai : a. Jalur politik : 32 DR.Boer Mauna,Hukum Internasional Pengertian,Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,edisi ke-2 , P.T.Alumni,Bandung,2005.Hal 193. 33 Ibid 34 Ibid 35 Sefriani,S.H.,M.Hum.,Op.cit. Hal 325. 26 1) Negosiasi 2) Mediasi 3) Jasa baik (good offices) 4) Inquiry b. Jalur hukum : 1) Arbitrase 2) Pengadilan internasional 2. Secara kekerasan : a. Perang b. Non perang: pemutusan hubungan diplomatik, retorsi, blokade, embargo, reprisal. F. Metode Penulisan Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secar sistemastis dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut. 36 1. Sifat dan Jenis Penelitian. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, 36 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wriono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, Hal.1. 27 menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa perjanjian-perjanjian dan Konvensi-konvensi internasional yang berkaitan tentang Hukum Laut Internasional. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penulisan normatif yaitu penelitian yang berdasarkan perjanjian dan peraturan Hukum Internasional UNCLOS 1982 dan Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary. Dan merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menentukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum internasional, peraturan-peraturan internasional, perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi hukum internasional serta beberapa dokumen terkait. 2. Sumber Data Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang berbentuk bahan hukum dan terdiri dari : a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 37 Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui UNCLOS 1982 dan Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary serta perjanjian–perjanjian internasional dan konvensikonvensi internasional yang terkait. 37 Hal.19. Soedikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1988, 28 b. Bahan hukum sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnaljurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakuakan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunkan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pusaka adalah sebagai berikut : 38 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian. 38 Ronitidjo Hanitijo Soematri, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimet. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, Hal.63. 29 b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun media eletronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah , dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi. 30 BAB II MEKANISME PENYELESAIAN INTERNASIONAL TERHADAP SENGKETA KONFLIK LAUT INTERNASIONAL Pada bab ini diuraikan mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik laut internasional yang terdiri dari prinsip dan konsepsi hukum internasional dalam penetapan batas negara, klasifikasi batas negara, mekanisme penyelesaian sengketa internasional menurut hukum internasional,mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik laut internasional berdasarkan UNCLOS 1982 serta Peranan ITLOS sebagai lembaga penyelesaian sengketa laut internasional. BAB III PENYELESAIAN SENGKETA RESOLUTION OF BANGLADESH - INDIA MARITIME BOUNDARY Bab ini mengurai tentang penyebab timbulnya sengketa Bangladesh-India maritime boundary, mekanisme penyelesaian sengketa Bangladesh-India maritime boundary, dan hasil penyelesaian sengketa Bangladesh-India maritime boundary. BAB IV RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN Pada bab ini dibahas mengenai kajian Resolution of BangladeshIndia maritime boundary, perbandingan sengketa Bangladesh-India 31 maritime boundary dengan sengketa Laut Cina Selatan, serta mekanisme penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan. BAB V PENUTUP Pada bab terakhir ini akan dimuat kesimpulan dari pembahasan yang ada pada bab-bab sebelumnya dan akan diakhiri dengan saran-saran terhadap pembahasan skripsi ini.