BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Obesitas 2.1.1 Definisi Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang berlebih atau abnormal yang berisiko mengganggu kesehatan (WHO, 2014). Metode untuk mengukur berat badan anak berbeda berdasarkan usia. Untuk anak usia 0-5 tahun dipergunakan WHO Child Growth Standards 2006. Sedangkan untuk anak usia 5-19 tahun, WHO mengembangkan Growth Reference Data yang merupakan rekonstruksi dari standar National Center for Health Statistics (NCHS)/WHO 1977 dan menggunakan data NCHS dilengkapi dengan data dari standar WHO dengan sampel anak-anak usia hingga 5 tahun. Obesitas didiagnosis bila didapatkan Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari dua standar deviasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. (WHO, 2008). 2.1.2 Patogenesis dan etiologi 2.1.2.1 Gangguan pada kontrol homeostasis keseimbangan energi Pada individu dengan obesitas, kadar leptin meningkat bila dibandingkan individu dengan berat badan normal. Konsentrasi leptin proporsional dengan massa lemak tubuh baik pada individu dengan obesitas maupun tidak. Obesitas bukan merupakan akibat dari defisiensi leptin yang bersirkulasi, tetapi lebih karena resistensi terhadap leptin. Resistensi ini bisa terjadi pada tingkat sirkulasi ataupun pada transpor leptin ke sistem saraf pusat (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research). Disfungsi dari mediator selain leptin juga terlibat pada obesitas. Sitokin lain yang juga berperan dalam transmisi informasi dari jaringan adiposa ke otak yaitu TNF-α juga meningkat pada individu dengan obesitas yang mengalami resistensi insulin. Terdapat pula disfungsi pada protein yang berperan pada fosforilasi oksidatif pada adiposit serta pada faktor transkripsi yang mengatur lipogenesis dan ekspresi gen dari enzim yang terkait dengan homeostasis lemak dan glukosa. (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research). 2.1.2.2 Faktor genetik Faktor genetik juga mempunyai peranan penting dalam patogenesis obesitas. Bentuk obesitas dismorfik di mana faktor genetik berperan di antaranya sindrom Prader-Willi, sindrom Ahlstrom,sindrom Laurence-Moon-Biedl, sindrom Cohen, dan sindrom Carpenter. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara variasi sekuens DNA pada gen tertentu dan terjadinya obesitas. (GurevichPanigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research). Hubungan antara obesitas pada manusia dengan faktor lain berkaitan dengan keseimbangan energi juga telah dilaporkan. Mutasi pada gen reseptor beta-3adrenergik dihubungkan dengan onset diabetes mellitus onset dini dan resistensi insulin sebagaimana peningkatan berat badan pada pasien dengan obesitas morbid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara populasi etnik yang berbeda. Kadar IL-8 plasma meningkat pada pasien dengan obesitas. IL-8 ini berkaitan dengan massa lemak dan sistem TNF. Peningkatan kadar IL-8 dapat merupakan faktor yang menghubungkan obesitas dengan risiko kardiovaskuler yang lebih tinggi. Sebagian besar penelitian genomik pada manusia menunjukkan heterogenitas genetik yang mempengaruhi regulasi indeks massa tubuh. (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research). 2.1.2.3 Faktor lingkungan Faktor lingkungan berinteraksi dengan suseptibilitas genetik pada patogenesis obesitas. Sebagai contoh, cedera pada hipotalamus akibat trauma atau pembedahan dan lesi destruktif pada regio ventromedial atau nukleus paraventrikuler dapat menyebabkan obesitas. Beberapa faktor pada obesitas hipotalamus adalah hiperfagia, gangguan pada fungsi reproduktif, penurunan aktivitas simpatis dan peningkatan aktivitas parasimpatis. Kelainan endokrin seperti penyakit Cushing, sindrom polikistik ovarium dan pemakaian beberapa obat (golongan phenothiazine; seperti antidepresan klorpromazin; amitriptilin, valproat, steroid, glukokortikoid, antihipertensi terazosin) juga dikaitkan dengan obesitas (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research). 2.1.2.4 Asupan makanan Pada individu dengan obesitas dikatakan terdapat kelebihan masukan energi dibandingkan pengeluaran energi sebanyak 30-40 kkal pada awalnya dan kemudian meningkat secara bertahap untuk mempertahankan peningkatan berat badan. Jenis makanan yang dikonsumsi memegang peranan penting dalam gangguan keseimbangan energi. Lemak mengandung lebih banyak kalori dibandingkan karbohidrat atau protein. Tiap gram lemak mengandung 9 kalori, sementara karbohidrat dan protein mengandung 4 kalori per gram. Diduga bahwa mekanisme yang mengatur nafsu makan bereaksi lebih lambat pada lemak dibandingkan karbohidrat dan protein sehingga rasa kenyang muncul lebih lambat. Peningkatan densitas makanan, porsi makanan, rasa yang lebih enak, peningkatan ketersediaan dan biaya yang murah meningkatkan kejadian obesitas. Individu dengan obesitas berusaha melakukan diet untuk menurunkan berat badan, akan tetapi pada saat seseorang mengurangi asupan energi, terdapat pergeseran ke arah keseimbangan energi negatif. Seseorang dapat mengalami penurunan berat badan tetapi bersamaan dengan itu juga terjadi penurunan laju metabolisme dan terdapat penurunan pengeluaran energi. Sistem tubuh berusaha untuk mengembalikan berat badan pada set point tertentu dan hal ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan keseimbangan energi tergantung pada berbagai jalur umpan balik metabolik yang diatur oleh suseptibilitas gen individu. Seseorang yang sebelumnya dengan obesitas dan saat ini dengan berat badan normal pada umumnya memerlukan lebih sedikit kalori untuk mempertahankan berat badannya dibandingkan dengan seseorang yang tidak pernah mengalami obesitas. Berkurangnya pengeluaran energi kemungkinan sebagian besar akibat dari perubahan pada konversi energi kimia menjadi aktivitas mekanik pada otot skeletal (Gurevich-Panigrahi Collaborative on Childhood Obesity Research). dkk., 2009; National 2.1.2.5 Aktivitas fisik Aktivitas fisik dapat dibagi menjadi aktivitas olahraga dan bukan olahraga. Aktivitas bukan olahraga termasuk kegiatan terkait pekerjaan dan aktivitas hidup harian. Sulit untuk mengukur energi yang dikeluarkan dalam aktivitas bukan olahraga. Secara umum, peningkatan perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas harian dan pekerjaan bertanggungjawab terhadap obesitas. Peningkatan pengeluaran energi dengan aktivitas fisik mempunyai peran yang positif dalam mengurangi cadangan lemak dan mengatur keseimbangan energi, terutama bila dikombinasikan dengan modifikasi diet (Gurevich-Panigrahi dkk., 2009; National Collaborative on Childhood Obesity Research). 2.1.3 Diagnosis Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali dengan tanda dan gejala yang khas antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang membesar dengan payudara yang membesar, perut membuncit dengan dinding perut yang berlipat-lipat dan kedua tungkai umumnya berbentuk X. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan pengukuran yang obyektif dengan pengukuran antropometrik dan laboratorik (Sjarif, 2011). Pengukuran antropometrik pada umumnya berdasarkan atas tiga metode pengukuran sebagai berikut : a. Mengukur berat badan dan hasilnya dibandingkan dengan berat badan ideal sesuai tinggi badan (BB/TB). Obesitas pada anak didefinisikan sebagai berat badan menurut tinggi badan di atas persentil 90 atau 120% dibandingkan berat badan ideal. Bila berat badan lebih besar 140% dibandingkan berat badan ideal maka dikategorikan sebagai superobesitas. Cara ini mencerminkan proporsi atau penampilan tetapi tidak mencerminkan massa lemak tubuh. b. WHO dan the National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai standar pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Cara ini berkorelasi dengan massa lemak tubuh dan dapat untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat komplikasi medis. Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin karena distribusi lemak tubuh pada anak laki-laki dan perempuan berbeda. Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan kurva baru IMT menurut umur dan jenis kelamin usia 05 tahun berdasarkan hasil pengamatan jangka panjang pada anak-anak yang tmbuh dalam lingkungan yang optimal di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara. Klasifikasi yang digunakan adalah berdasarkan Zscore sebagai berikut Z score ≥ +1: berpotensi gizi lebih, ≥ +2 gizi lebih (overweight), dan ≥ +3 obesitas. Sedangkan untuk usia 5-19 tahun menggunakan WHO Reference 2007: Z-score ≥ +1 diklasifikasikan sebagai gizi lebih (overweight), ≥ +2 sebagai obesitas. c. Pengukuran langsung lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit (TLK). Terdapat empat macam pengukuran TLK yaitu TLK biseps, triseps, subskapular, dan suprailiaka, di mana TLK triseps di atas persentil 85 merupakan indikator adanya obesitas (Sjarif, 2011). 2.1.4 Tatalaksana Tatalaksana obesitas bersifat komprehensif mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dan mencakup pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, merubah pola hidup, dan keterlibatan keluarga dalam proses terapi. (Sjarif, 2011). 2.1.4.1 Pengaturan diet Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan Recommended Daily allowance (RDA). Kalori yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan normal. Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan target penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan ditargetkan sampai mencapai kira-kira 10% di atas berat badan ideal atau cukup dipertahankan agar tidak bertambah, karena pertumbuhan linier masih berlangsung. (Sjarif, 2011). Diet seimbang yang dianjurkan dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%, dan protein cukup untuk tumbuh kembang normal (15-20%). Bentuk dan jenis makanan harus dapat diterima anak. Diet tinggi serat juga dianjurkan karena dapat membantu pengaturan berat badan lewat mekanisme menurunkan asupan makanan akibat efek serat yang cepat mengenyangkan, mengurangi rasa lapar, meningkatkan oksidasi lemak, sehingga mengurangi jumlah lemak yang disimpan. (Sjarif, 2011). Secara garis besar prinsip pengaturan diet pada anak dengan obesitas adalah: a. Menghindari obesitas serta mempertahankan berat badan dan pertumbuhan normal b. Masukan makanan dengan kandungan karbohidrat rendah (48% energi total) c. Menurunkan masukan lemak (<30% energi total), dengan lemak tak jenuh (10% energi total), kolesterol tidak lebih dari 300 mg per hari d. Meningkatkan makanan tinggi serat e. Makanan dengan kandungan garam cukup (5 gram per hari) f. Meningkatkan masukan besi, kalsium, dan fluor (Sjarif, 2011). 2.1.4.2 Pengaturan aktivitas fisik Cara yang dilakukan adalah melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian. Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya dengan diet. Aktivitas sehari-hari dioptimalkan seperti berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah, mengurangi lama menonton televise dan bermain games komputer, atau bermain di luar rumah. Aktivitas fisik sedang dianjurkan selama 20-30 menit. (Sjarif, 2011). 2.1.4.3 Modifikasi perilaku Prioritas utama dalam tatalaksana obesitas adalah perubahan perilaku dan perlu menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi. Beberapa cara pengubahan perilaku misalnya dengan pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan aktivitas fisik; kontrol terhadap rangsangan/stimulus terhadap keinginan untuk makan, mengubah perilaku makan, mekanisme penghargaan dan hukuman, pengendalian diri dalam mengatasi masalah. (Sjarif, 2011). 2.1.4.4 Terapi intensif Terapi intensif diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai penyakit peserta dan tidak memberikan respons terhadap terapi konvensional. Terapi intensif terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi, dan terapi bedah (Sjarif, 2011). a. Diet berkalori sangat rendah Terapi ini diindikasikan bila berat badan >140% dari berat badan ideal (superobesitas). Diet yang paling sering diterapkan adalah protein sparing modified fast (PSMF). Diet ini membatasi asupan kalori hanya 600-800 kalori/hari. Selain itu dianjurkan juga ditambah protein hewani 1,5-2,5 g/kg berat badan ideal, suplementasi vitamin dan mineral serta minum lebih dari 1,5 liter cairan per hari. Diet ini hanya boleh diterapkan selama 12 minggu di bawah pengawasan dokter (Sjarif, 2011). b. Farmakoterapi Farmakoterapi untuk obesitas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat gizi (orlistat), dan kelompok lain-lain (leptin, octreotide, metformin). Akan tetapi penggunaan farmakoterapi untuk anak obesitas masih dipertanyakan untuk keamanannya. Hanya orlistat yang sudah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk tatalaksana obesitas pada usia di atas 12 tahun (Sjarif, 2011). c. Terapi bedah Terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) pada prinsipnya ada dua yaitu mengurangi asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding dan vertical-banded gastroplasty, serta mengurangi absorpsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus. Terapi ini dipertimbangkan bila remaja mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah menjalani program yang terencana > 6 bulan. Indikasi bedah bariatrik pada remaja adalah superobesitas, secara umum sudah mencapai maturitas tulang (pada perempuan umumnya ≥ 13 tahun dan laki-laki ≥ 15 tahun), dan menderita komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan penurunan berat badan. Komplikasi yang dapat terjadi di antaranya adalah hiatal hernia, infeksi luka, defisiensi mikronutrien, hingga embolisme paru, syok, obstruksi usus, perdarahan pasca bedah, kebocoran di tempat jahitan, dan gizi buruk (Sjarif, 2011). 2.1.5 Komorbiditas Komorbid terkait obesitas pada anak hampir sama dengan orang dewasa. Secara umum, komorbid ini dapat dikategorikan menjadi komplikasi medis dan psikososial. Konsekuensi medis dapat menimbulkan efek metabolik, yang melibatkan sistem kardiovaskuler, endokrin, gastrointestinal, dan renal, dan juga efek mekanik yang melibatkan sistem pulmonal, skeletal, dan sistem saraf pusat. 2.1.5.1 Sistem endokrin Obesitas mempunyai dampak negative pada perubahan aksis glukosa/insulin dan atau metabolisme lipid. Laju sekresi insulin meningkat secara bermakna pada kelompok obesitas bila dibandingkan dengan kelompok dengan berat badan normal. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan pada bersihan insulin atau ekstraksi insulin hepatik pada kedua kelompok. Abnormalitas pada metabolisme glukosa yang terjadi secara dini pada anak dengan obesitas merupakan respon insulin terhadap stimulus makanan dan ambilan glukosa maksimal menurun sesuai umur dan durasi obesitas. Dapat dismpulkan bahwa efek negatif obesitas yang paling awal adalah terjadinya resistensi insulin (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.2 Sindrom metabolik Sindrom metabolik terdiri dari hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia dan obesitas di mana lemak tubuh dan resistensi insulin dianggap sebagai masalah utama. Penelitian oleh Goodman menunjukkan bahwa obesitas memberikan pengaruh maksimal pada risikokardio-metabolik kumulatif. Setiap komponen dari kompleks sindrom ini bertambah buruk seiring dengan berkembangnya obesitas dan tidak tergantung pada umur, jenis kelamin, dan status pubertas (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.3 Diabetes mellitus tipe 2 Prevalensi dari diabetes mellitus anak meningkat secara bermakna selama dekade terakhir dengan variabilitas yang bermakna berdasarkan ras dan etnik. Data tentang peningkatan insiden dan prevalensi diabetes mellitus pada remaja menunjukkan bahwa resistensi insulin dan peningkatan lemak total dan lemak viseral memegang peranan dalam terjadinya diabetes mellitus pada remaja, sama seperti pada orang dewasa. Obesitas dihubungkan dengan kadar TNF α yang menyebabkan peningkatan pelepasan asam lemak bebas pada adiposit, blokade sintesis adiponektin, dan aktivasi reseptor insulin. Selain itu, IL-6, yang sebagian besar dihasilkan oleh makrofag dan adiposit, mempengaruhi toleransi glukosa dengan memberikan efek antagonis terhadap sekresi adiponektin dan dengan meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan menghambat glikogenesis. Terdapat banyak adipokin seperti resistin, adipsin, dan lainnya yang dianggap merupakan missing link antara obesitas dan resistensi jaringan target terhadap insulin menyebabkan terjadinya diabetes mellitus. Obesitas dengan onset dini dianggap lebih suseptibel terhadap diabetes dan komplikasinya (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.4 Gangguan ginekologi a. Sindrom ovarium polikistik Penyakit ovarium polikistik merupakan salah satu kelainan endokrin yang paling umum dan dimulai pada usia remaja. Seringkali penyakit ini disertai dengan hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia. Meskipun mekanisme untuk hubungan ini masih belum jelas, diduga bahwa kadar insulin yang tinggi berperan dalam pertumbuhan kista ovarium akibat dari efek anabolik insulin pada reseptor IGF ovarium. Hingga 30% wanita dengan penyakit ovarium polikistik mengalami obesitas/ overweight. Obesitas dapat memperburuk gambaran sindrom ovarium polikistik dengan meningkatkan resistensi insulin, diabetes, dan sindrom metabolik. Kondisi ini dapat berujung pada infertilitas. Prevalensi gangguan toleransi glukosa pada wanita muda dengan obesitas dengan sindrom ovarium polikistik diperkirakan sebanyak 30-40%, dengan tambahan sekitar 5-10% mengalami diabetes mellitus (Banerjee dan Schuster, 2012). b. Gangguan menstruasi Berat badan dan lemak tubuh dianggap merupakan trigger fisiologis menarche yang bermakna. Oleh sebab itu, anak perempuan dengan obesitas sering mengalami menarche sebelum usia 10 tahun. Obesitas juga dapat menyebabkan oligomenorrhea atau amenorrhea,yang meningkatkan risiko untuk terjadinya kehamilan yang sulit (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.5 Sistem kardiovaskuler a. Hipertensi Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas pada anak-anak merupakan determinan utama dari faktor risiko kardiovaskuler pada masa dewasa. Selain peningkatan jaringan adiposa secara keseluruhan, obesitas pada batang tubuh dikaitkan dengan peningkatan penyakit aterotrombotik dan peningkatan petanda inflamasi. Hipertensi, terutama tekanan darah sistolik, pada anak dan remajaberhubungan erat dengan jaringan lemak. Ketebalan intima media, suatu petanda non invasif untuk perubahan aterosklerotik dini, ditemukan meningkat secara bermakna pada anak dengan obesitas dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami obesitas dengan umur, jenis kelamin, dan tingkat pubertas yang sama (Banerjee dan Schuster, 2012). b. Hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit arteri koroner Onset hipertrofi ventrikel kiri dipercaya bermula dari masa remaja dan berkembang menjadi risiko penyakit kardiovaskuler pada masa dewasa muda. Penelitian oleh Maggio menemukan onset dari hubungan antara obesitas dengan hipertrofi ventrikel kiri pada kelompok usia prapubertas dan menyarankan untuk memulai pencegahan dan pengobatan obesitas untuk menegah kerusakan organ. Penelitian Harvard Growth Study pada tahun 1922-1935 menemukan bahwa mengalami overweight pada usia remaja berhubungan dengan peningkatan risiko relative hingga 2 kali pada kematian akibat penyakit arteri koroner, dan tidak tergantung dari berat badan saat dewasa. Oleh karena itu, pasien-pasien ini dengan penuaan usia vaskuler, memerlukan tatalaksana intensif, termasuk farmakoterapi untuk modifikasi faktor risiko, dengan tujuan akhir adalah menghentikan progresifitas aterosklerosis dan menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.6 Sistem gastrointestinal a. Steatohepatitis non-alkoholik Insiden steatosis hepatic pada anak dengan obesitas sebesar 38%. Penyebab dasarnya belum diketahui, tetapi kondisi ini dikaitkan dengan diabetes mellitus, obesitas, penurunan berat badan yang cepat,dan hiperlipidemia, di mana semua kondisi ini ditandai oleh gangguan metabolisme lemak. Steatosis non-alkoholik merupakan komplikasi hepatik primer dari obesitas dan resistensi insulin, dan dapat dianggap sebagai manifestasi hepatik dini dari sindrom metabolik. Pada anak-anak, penelitian menunjukkan peningkatan aktivitas lipolisis jaringan adiposa meningkat dan menghasilkan peningkatan laju pelepasan asam lemak ke dalam plasma sepanjang hari. Hal ini mendukung hipotesis bahwa resitensi insulin berpengaruh pada pathogenesis steatosis dan berkontribusi terhadap komplikasi metabolik yang berhubungan dengan steatosis non alkoholik. Lemak terakumulasi terutama pada jaringan adiposa namun dapat pula pada otot dan hati. Rangkaian proses akumulasi trigliserida ektopik yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin disebut dengan hipotesis overflow. Derajat berat dari penyakit ini dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis hepatis(Banerjee dan Schuster, 2012). b. Batu empedu Dislipidemia yang diinduksi oleh obesitas menyebabkan peningkatan ekskresi kolesterol oleh sistem bilier sehingga meningkatkan kecenderungan untuk pembentukan batu empedu. Kondisi ini terjadi tanpa adanya penyakit dasar seperti gangguan hemolitik. Obesitas menyebabkan 8 hingga 33% batu empedu pada anak, dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik merupakan faktor risiko potensial yang lain (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.7 Sistem renal Obesitas memerankan peranan penting dalam terjadinya penyakit ginjal kronis. Obesitas merupakan predisposisi untuk nefropati diabetikum, nefrosklerosis hipertensi, glomerulosklerosis fokal segmental dan urolitiasis. Meskipun tidak ada komorbid yang lain, obesitas menyebabkan perubahan structural seperti glomerulomegali dan penebalan basal membran glomerulus yang menyebabkan terjadinya nefropati obesitas. Modifikasi fisiologis pada hemodinamika renal pada obesitas terdiri atas hiperfiltrasi yang berhubungan dengan hiperperfusi, yang secara bersamaan menyebakan gangguan renal. Peningkatan laju filtrasi ginjal ditemukan pada individu overweight dibandingkan normal, secara bermakna berkorelasi positif dengan indeks massa tubuh dan resistensi insulin. Pembedahan bariatrik untuk menginduksi penurunan berat badan berhubungan dengan peningkatan fungsi ginjal jangka panjang pada orang dewasa dengan obesitas morbid (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.8 Sistem pulmonal a. Obstructive sleep apnea Prevalensi obstructive sleep apnea (OSA) pada anak dengan obesitas diperkirakan sekitar 7%. Dibandingkan dengan anak normal, anak dengan obesitas berisiko 6 kali lebih besar untuk mengalami OSA. Kondisi ini mengakibatkan somnolen pada siang hari dan defisit neurokognitif seperti gangguan memori dan konsentrasi akibat dari kualitas tidur yang buruk. Gangguan tidur ini juga berhubungan dengan peningkatan petanda inflamasi seperti CRP dan IL-6. Perubahan hormonal yang ditemukan pada OSA termasuk penurunan leptin, peningkatan ghrelin, peningkatan kadar insulin, dan penurunan sensitivitas insulin. Etiologi dari perubahan ini masih belum jelas tetapi kemungkinan besar karena hipoksemia intermiten yang mepotensiasi kaskade inflamasi yang menstimulasi inflamasi sistemik (Banerjee dan Schuster, 2012). b. Hiperaktivitas bronkial dan eksaserbasi asma Obesitas dikatakan berhubungan secara bermakna dengan asma pada anak dan remaja dengan hubungan yang lebih kuat pada anak non atopik dibandingkan anak yang atopik. Inflamasi sistemik diduga sebagai penyebab kondisi ini. Anak dengan obesitas dan overweight menunjukkan penurunan respon terhadap steroid inhalasi pada asma. Jaringan lemak pada anak dan remaja berhubungan dengan peningkatan risiko asma secara bermakna dan meningkatkan ketergantungan terhadap obat-obatan dalam jangka panjang. Ketidakmampuan untuk berolahraga meningkatkan progresifitas obesitas dan siklus tersebut terus berlanjut (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.9 Sistem muskuloskeletal Obesitas pada masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan derajat keparahan masalah ortopedik pada anak. Gangguan ortopedik ini akibat dari peningkatan tekanan dan peregangan pada tulang dan tulang rawan yang tidak dirancang untuk membawa beban yang berlebih. Ganggua ortopedik yang umum termasuk melengkungnya tibia dan femur yang menyebabkan pertumbuhan berlebih bagian medial metafisis tibial proksimal atau sindrom Blount dan bergesernya epifisis femoralis akibat dari peningkatan beban pada growth plate sendi panggul. Obesitas pada saat growth spurt dapat meningkatkan kecenderungan fraktur saat jatuh karena perkembangan tulang tidak dapat mengatasi beban yang berlebih. Ketidakseimbangan berat badan dan tulang ini juga memberikan tekanan tinggi pada tulang dan sendi yang sedang berkembang yang menghasilkan kerusakan sendi dan terjadinya osteoarthritis pada usia-usia berikutnya. Terjadinya fraktur yang lebih berat dan kelainan tulang meningkatkan kemungkinan pembedahan yang kompleks dan penggantian sendi, terutama pada trauma pediatrik, dan meningkatkan beban fisik maupun financial (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.10 Sistem saraf pusat Corbett dkk melaporkan peningkatan insiden hipertensi intrakranial idiopatik pada usia relatif muda yaitu di bawah 20 tahun sebesar 90% pada pasien anak dengan obesitas. Sekitar 30-50% anak dengan pseudotumor serebri mengalami obesitas dan tidak berhubungan dengan infeksi atau obat-obatan. Diperkirakan bahwa peningkatan tekanan intraabdominal akibat obesitas meningkatkan tekanan intratorakal yang ditransmisikan ke kepala sebagai peningkatan resistensi dari venous return ke otak (Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.5.11 Konsekuensi psikososial Obesitas pada anak merupakan proses dinamis yang melibatkan aspek perilaku, kognitif, dan emosional. Hubungan antara obesitas dan masalah psikologis bersifat siklik, di mana gangguan psikologis yang bermakna secara klinis dapat meningkatkan berat badan dan obesitas dapat menyebabkan masalah psikososial lebih lanjut. Depresi pada orang dewasa berhubungan dengan obesitas pada masa remaja. Wanita dikatakan mempunyai hubungan yang lebih kuat dibandingkan laki-laki. Pasien wanita pada umumnya mempunyai perhatian yang obsesif terhadap stigma sosial terhadap citra tubuh, rasa percaya diri yang rendah, dan persepsi diri yang buruk mengenai penampilan fisik. Harapan akan penolakan menyebabkan depresi lebih lanjut. Remaja overweight seringkali melaporkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan pada aspek fisik, emosional, dan social. Remaja dengan obesitas dapat memiliki pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah, dan peningkatan laju kemiskinan (Schwartz dan Puhl, 2003; Banerjee dan Schuster, 2012). 2.1.6. Peran obesitas sentral pada resistensi insulin Hubungan obesitas dengan resistensi insulin ditemukan pada semua kelompok etnik. Penelitian epidemiologis besar menunjukkan bahwa risiko mengalami diabetes dan juga resistensi insulin, meningkat apabila indeks massa tubuh (IMT) meningkat, menunjukkan bahwa ukuran lemak tubuh mempunyai efek pada sensitivitas insulin. Meskipun hubungan ini ditunjukkan dengan parameter jaringan adiposa yaitu IMT, yang menunjukkan derajat adiposa total, tidak semua lokasi jaringan adiposa memberikan pengaruh yang sama. Deposit lemak sentral (intra-abdominal) lebih berhubungan dengan resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, dan penyakit kardiovaskuler dibandingkan deposit lemak perifer (gluteal/subkutan) (Kahn, 2000). Hipotesis tentang obesitas sentral menyatakan bahwa adiposit intra-abdominal lebih aktif mengalami lipolisis karena adanya reseptor adrenergik. Hal ini meningkatkan kadar dan aliran asam lemak bebas intraportal, yang dapat menghambat bersihan insulin dan menyebabkan resistensi insulin. Hiperinsulinemia sendiri menyebabkan resistensi insulin dengan men-down regulasi reseptor insulin dan mendesensitisasi jalur pasca reseptor (Kahn dan Flier, 2000). Meskipun obesitas merupakan penyebab utama resistensi insulin pada anak dan remaja, beberapa anak dengan obesitas dapat sangat berbeda dalam hal sensitivitas insulin dan mungkin memiliki risiko kardiovaskuler dan metabolik yang lebih rendah. Sensitivitas insulin dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh. Individu dengan resistensi insulin berat ditandai dengan peningkatan deposisi lemak viseral dan kompartemen intra-mioseluler (Weiss dan Kaufman, 2008). Peningkatan lemak viseral berhubungan dengan profil metabolik atherogenik pada masa anak-anak. Lemak viseral berhubungan dengan resistensi insulin dan respon sekresi insulin yang lebih rendah pada anak dan remaja dengan obesitas. Kadar adiponektin pada anak dengan obesitas semakin menurun dengan meningkatnya deposisi lemak viseral, meskipun total lemak tubuh secara keseluruhan sama (Weiss dan Kaufman, 2008). Dari sudut pandang risiko metabolik, lokasi kelebihan lemak sangat penting. Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa konsekuensi metabolik lebih berkaitan dengan lokasi lemak dibandingkan dengan jumlah lemak. Akumulasi lemak sentral merupakan prediktor yang lebih baik untuk risiko DM tipe II dan penyakit kardiovaskuler dibandingkan massa lemak absolut (Westphal, 2008). Obesitas abdominal dikatakan meningkatkan risiko untuk menderita DM tipe II. Orang kurus dikatakan menunjukkan variabilitas dalam hal sensitivitas insulin yang disebabkan karena perbedaan distribusi lemak. Orang dengan distribusi lemak perifer dikatakan lebih sensitif terhadap insulin dibandingkan yang distribusi lemaknya sentral. Sebaliknya, orang yang secara klinis tidak tampak gemuk dapat berisiko mengalami resistensi insulin dan gangguan metabolik bila lemaknya terdistribusi secara sentral (Westphal, 2008). Jaringan lemak abdominal dapat dibedakan menjadi lemak subkutan dan lemak viseral. Di antara berbagai depot lemak, jumlah lemak intra-abdominal atau viseral berkorelasi dengan sensitivitas insulin. Pemeriksaan dengan computed tomography scan (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan bahwa lemak viseral yang berlokasi sentral lebih berhubungan dengan resistensi insulin dibandingkan lemak subkutan yang berlokasi sentral (Westphal, 2008). Pola obesitas abdominal sentral memiliki korelasi yang lebih kuat dengan obesitas pada bagian tubuh yang lebih rendah. Meskipun lingkar perut tidak dapat membedakan jumlah lemak viseral atau subkutan, pemeriksaan CT scan dan MRI dapat membedakan depot lemak viseral dan subkutan. Pemeriksaan lingkar perut merupakan pemeriksaan fisik yang berkorelasi dengan jumlah lemak viseral. Pemeriksaan lingkar perut dapat membantu klinisi dalam membantu pasien yang mempunyai risiko metabolik yang tinggi (Westphal, 2008). 2.2 Resistensi Insulin 2.2.1 Definisi Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada uptake, metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Resistensi insulin menunjukkan insensitifitas jaringan perifer (otot, hati, jaringan adiposa) terhadap efek insulin. Resistensi insulin merupakan faktor prinsip dalam patogenesis diabetes mellitus tipe 2 bersama dengan gangguan sekresi insulin. Untuk mempertahankan homeostasis glukosa, sel beta pancreas mengkompensasi resistensi insulin dengan meningkatkan sekresi insulin dan membuat suatu kondisi hiperinsulinemia. Kegagalan progresif sel beta untuk mempertahankan sekresi insulin yang adekuat selanjutnya mengarah ke diabetes mellitus tipe 2 (Kahn dan Flier, 2000; Lee dkk., 2006). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resistensi insulin dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, jaringan adiposa, dan status pubertas. Penelitian oleh Lee menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan dan usia pubertas menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami resistensi insulin (Lee dkk., 2006). 2.2.2. Patogenesis Resistensi insulin pada obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 bermanifestasi sebagai menurunnya transport dan metabolisme glukosa yang distimulasi insulin pada jaringan adiposa dan otot dan gangguan pada penekanan pengeluaran glukosa oleh hati. Gangguan fungsional ini disebabkan oleh terganggunya sinyal insulin pada ketiga jaringan target dan hambatan pada transporter glukosa sensitif insulin yang utama yaitu GLUT4 (Kahn dan Flier, 2000). Reseptor insulin merupakan tirosin kinase. Ikatan insulin dengan reseptornya menyebabkan fosforilasi pada residu tirosin dari IRS-1 yang mengaktivasi enzimenzim yang berperan dalam metabolisme glukosa yang normal. Pada resistensi insulin, terjadi inhibisi pada ikatan insulin dan reseptornya yang mengakibatkan penurunan fosforilasi tirosin pada IRS-1 serta peningkatan fosforilasi serin pada IRS-1. Terjadi penurunan aktivitas fosfoinositida 3-kinase (PI3K) yang mengakibatkan terganggunya translokasi, penyimpanan, dan fusi dari vesikel yang mengandung GLUT4 dengan membran plasma. Akibatnya terjadi penurunan transpor glukosa ke dalam sel. Inhibisi pada reseptor insulin juga menurunkan aktivitas heksokinase yang berfungsi dalam fosforilasi glukosa dan enzim fosfofruktokinase serta glikogen sintase yang mengakibatkan penurunan pembentukan glikogen dan peningkatan glukosa dalam darah. Terdapat perbedaan yang spesifik untuk proses sinyal insulin pada jaringan tertentu. Pada adiposit dari individu obesitas dengan diabetes tipe 2, ekspresi IRS1 menurun, menyebabkan penurunan aktivitas fosfoinositida 3-kinase (PI3K) yang berkaitan dengan IRS-1, dan IRS-2 menjadi protein utama untuk PI3K. Sebaliknya, pada jaringan otot individu obesitas dan diabetes tipe 2, kadar protein IRS-1 dan IRS-2 normal tetapi aktivitas PI3K yang berkaitan dengan IRS terganggu (Kahn dan Flier, 2000). Dislipidemia dengan penumpukan lemak intra abdominal dikatakan berkorelasi positif dengan kadar insulin basal serta triasilgliserol. Sementara kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah pada dislipidemia, berkorelasi negatif dengan kadar insulin basal (Osganian dan Ferranti, 2008). Akumulasi asam lemak dalam sel otot, terutama dalam bentuk asil-CoA rantai panjang dan diasilgliserol, dapat meningkatkan aktivitas serin kinase dan selanjutnya meningkatkan fosforilasi serin IRS-1. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan transpor glukosa (Savage dkk., 2005). Pada obesitas morbid, ekspresi dari berbagai molekul sinyal insulin menurun pada otot skeletal. Pada berbagai bentuk obesitas dan diabetes, faktor utama yang berkontribusi terhadap gangguan transport glukosa yang distimulasi insulin pada adiposit adalah down regulasi dari GLUT4. Meskipun demikian, pada otot skeletal individu obese dan diabetes, dapat ditemukan ekspresi GLUT4 normal dan gangguan transpor glukosa tampaknya adalah akibat terganggunya translokasi, penyimpanan, dan fusi dari vesikel yang mengandung GLUT4 dengan membrane plasma (Kahn dan Flier, 2000). Individu dengan resistensi insulin bila tidak mampu mempertahankan derajat hiperinsulinemia yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi insulin, akan berkembang menjadi diabetes mellitus tipe 2. Sedangkan apabila individu dengan resistensi insulin mampu mensekresi insulin yang cukup untuk tetap berada dalam kondisi non diabetes, individu ini tetap memiliki risiko yang meningkat untuk mengalami sekumpulan kelainan yang disebut dengan istilah Sindrom Resistensi Insulin. Istilah lain yang juga sering dipergunakan adalah Sindrom Metabolik atau Sindrom Dismetabolik. (ACE, 2003) 2.2.3 Kriteria diagnosis Pendekatan untuk menegakkan diagnosis resistensi insulin dapat menggunakan beberapa pendekatan. Hingga saat ini beberapa pemeriksaan yang sering dipergunakan untuk menegakkan resistensi insulin adalah pemeriksaan kadar gula darah puasa, tes toleransi glukosa oral, tes toleransi glukosa intravena, dan pemeriksaan insulin. Standar baku untuk resistensi insulin adalah hyperinsulinemic-euglycemic clamp dan tes toleransi glukosa intravena. Kedua jenis pemeriksaan tersebut bersifat invasif dan mahal dan tidak dianjurkan untuk penelitian epidemiologis berskala besar. Metode yang lebih sederhana dan praktis adalah homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR). (Lee dkk., 2006) HOMA-IR merupakan perkiraan resistensi insulin yang dinilai dari gula darah puasa dan kadar insulin, dengan kadar yang lebih tinggi menunjukkan derajat resistensi insulin yang lebih tinggi. HOMA-IR telah divalidasi sebagai metode pengukuran pengganti untuk resistensi insulin pada anak yang non-diabetik. HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar insulin (mikrounit/ml) dan gula darah puasa (mg/dl) dengan 405 (Matthews dkk., 1985). Hingga saat ini belum terdapat standar nilai cut-off HOMA-IR untuk menentukan ada tidaknya resistensi insulin. Penelitian yang dilakukan oleh Keskin dkk. (2005) pada anak dan remaja menemukan nilai cut-off untuk diagnosis resistensi insulin sebesar 3,16 dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik yaitu sensitivitas 76% dan spesifisitas 66%. Sementara itu, beberapa penelitian lain menganjurkan nilai cut off yang berbeda-beda seperti penelitian oleh Burrows dkk. pada remaja Chili (cut off 2,6; sensitivitas 59%; spesifisitas 87%), penelitian oleh Yin dkk. pada anak dan remaja di Cina (cut off 2,6; sensitivitas 78%; spesifisitas 67%), dan penelitian oleh Singh dkk. pada remaja di India (cut off 2,5; sensitivitas >70%; spesifisitas >60%). Untuk mendapatkan nilai standar baku HOMA-IR serta dengan memperhitungkan faktor jenis kelamin dan umur yang mempengaruhi nilai tersebut, masih diperlukan penelitian epidemiologis dengan sampel yang representative (Keskin dkk., 2005; Yin dkk., 2013; Singh dkk., 2013; Burrows dkk., 2015). 2.3 Peran Tumor Necrosis Faktor α pada Resistensi Insulin 2.3.1 Proses inflamasi pada obesitas Inflamasi adalah respon terhadap stimulus yang membahayakan untuk mengembalikan sistem tubuh kembali ke dalam kondisi normal. Respon inflamasi dipicu oleh obesitas yang melibatkan banyak komponen dari respon inflamasi klasik terhadap patogen dan termasuk peningkatan sitokin inflamasi dan protein fase akut yang beredar, penarikan leukosit ke jaringan inflamasi, aktivasi leukosit jaringan, dan respon perbaikan jaringan (Lumeng dan Saltiel, 2011). Perjalanan kronis obesitas mengakibatkan aktivasi sistem imun yang mempengaruhi homeostasis metabolik. Obesitas pada anak menempatkan seseorang dalam metainflamasi jangka panjang, di mana petanda inflamasi meningkat pada anak obesitas sejak usia 3 tahun (Lumeng dan Saltiel, 2011). Keterlibatan multiorgan pada inflamasi yang diinduksi oleh obesitas sangatlah unik. Inflamasi multipel berkontribusi terhadap disfungsi metabolik termasuk peningkatan sitokin yang beredar, penurunan faktor protektif (misal adiponektin) dan komunikasi antara sel inflamasi dan metabolik (Lumeng dan Saltiel, 2011). Penelitian terbaru menunjukkan hasil bahwa obesitas berkaitan dengan proses inflamasi level rendah di dalam jaringan adiposa, mekanisme fisiologis yang masih belum dimengerti hingga saat ini, mendasari hubungan antara sel lemak dan sistem imun. Aspek fisiologis dan patologis yang menghasilkan berbagai hasil menunjukkan bahwa jaringan adiposit mempunyai kemampuan untuk mensintesis dan mensekresi beberapa faktor yang secara kolektif disebut adipokin. Beberapa di antaranya memainkan peranan penting dalam resistensi insulin terkait obesitas dan komplikasi kardiovaskuler (Bastard dkk., 2006). 2.3.2 Sitokin proinflamasi 2.3.2.1 Tumor necrosis factor αlpha (TNF-α) TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag dan limfosit, dan sedikit oleh jaringan adiposa. Peningkatan kadar TNF- α pada pasien obesitas diperkirakan bukan karena produksi yang berlebih oleh jaringan adiposa. Diperkirakan bahwa efek sistemik leptin atau adipokin lainnya dapat menginduksi sekresi TNF-α dari makrofag dan limfosit (Arslan dkk., 2010). Dua efek TNF-α yang bermakna secara klinis pada anak dan orang dewasa obesitas adalah resistensi insulin dan perubahan inflamasi endotel. Pada tikus, TNF-α diperkirakan memainkan peranan penting dalam patofisiologi resistensi insulin melalui fosforilasi protein insulin receptor substrate-1 (IRS-1) pada residu serin. Peningkatan sensitifitas insulin ditemukan pada netralisasi TNF-α endogen pada tikus yang obesitas. Peningkatan kadar dalam plasma dari reseptor 2 TNF ditemukan berkaitan dengan resistensi insulin pada sukarelawan sehat (Arslan dkk., 2010). Penelitian pada 47 anak obese, menunjukkan indeks HOMA, kadar TNF-α dan CRP meningkat secara bermakna pada anak obesitas dibandingkan dengan kontrol. TNF-α mengaktivasi transkripsi faktor nuklear faktor κB, yang mengakibatkan perubahan inflamasi pada jaringan vaskuler. Perubahan inflamasi pada jaringan vaskuler ini menghasilkan disfungsi endotel dan hipertensi. Pada penelitian yang melibatkan 64 anak dan remaja 911 anak dengan obesitas, 11 anak dengan hipertensi, 28 dengan diabetes, dan 14 dengan hipertensi menyertai obesitas. Obesitas dan hipertensi yang menyertai obesitas ditemukan berkaitan dengan peningkatan kadar TNF-α dan IL-6. Peningkatan kadar IL-6 dan TNF-α pada anak dengan faktor risiko aterosklerosis, khususnya obesitas, mengkonfirmasi adanya proses inflamasi pada fase awal aterosklerosis (Arslan dkk., 2010). Fungsi adiposit dalam regulasi metabolisme lipid berdasarkan kebutuhan energi fisiologis. Tiga lokasi biokimiawi regulasi adalah uptake asam lemak, lipogenesis, dan lipolisis. Tiga tempat regulasi bisa berubah sebagai respon terhadap stimulus ekstraseluler seperti insulin, kortisol, katekolamin, hormon pertumbuhan, testosteron, asam lemak bebas, dan sitokin. Penelitian pada binatang menunjukkan peran TNF-α dalam memodulasi metabolisme lemak. Pada obesitas, peningkatan kadar TNF-α mungkin pula berkontribusi terhadap peningkatan lipolisis basal yang merupakan karakteristik dari adiposit pada subyek yang obesitas. Pemberian TNF-α eksogen dapat menstimulasi lipolisis dan meningkatkan kadar asam lemak bebas in vivo maupun in vitro. Karena asam lemak bebas juga memediasi resistensi insulin, kerja TNF-α pada sensitifitas insulin mungkin dipotensiasi oleh peningkatan lipolisis (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Pada adiposit, asam lemak terutama berasal dari uptake dari sirkulasi atau dari lipolisis intraseluler dan sedikit secara de novo dari sintesis glukosa. Uptake asam lemak difasilitasi oleh aktivitas ekstraseluler dari lipoprotein lipase (LPL) yang bervariasi berdasarkan status nutrisi dan endokrin. TNF-α menghambat aktivitas LPL dan men-down regulasi ekspresi protein in vitro dan in vivo. TNF-α juga menurunkan ekspresi transporter asam lemak pada jaringan adiposa. Kerja TNF-α dapat menurunkan uptake asam lemak dari sirkulasi dan berkontribusi terhadap hiperlipidemia pada infeksi maupun pada obesitas. Meskipun demikian, efek yang sama pada sel lemak manusia masih kontroversial. (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Pada inhibisi uptake asam lemak bebas, TNF-α juga bekerja menurunkan ekspresi enzim yang terlibat dalam lipogenesis yaitu asetil-Coa karboksilase dan fatty acid synthase. Meskipun demikian TNF-α juga dapat menurunkan mRNA acyl-CoA synthetase (ACS) dan aktivitasnya pada jaringan adiposa. Hal ini akan mengurangi reesterifikasi asam lemak bebas dan bersama dengan penurunan ketersediaan substrat mengakibatkan penekanan akumulasi trigliserida (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Target ketiga dari kerja TNF α adalah kerja lipolitik dari adiposit. Proses lipolisis terutama diatur oleh stimulasi adrenergik dan dimediasi oleh suatu jalur dependen cAMP, sedangkan mekanisme lipolisis yang diinduksi oleh TNF-α (Sethi dan Hotamisligil, 1999). 2.3.3 Peran TNF-α dalam resistensi insulin Peningkatan kadar TNF-α dikatakan dapat menginduksi resistensi insulin akibat dari berbagai kondisi katabolik termasuk kanker, sepsis, dan trauma. Pada individu obesitas, TNF-α diproduksi secara berlebih di jaringan adiposa dan jaringan otot. Kadar TNF-α meningkat pada individu dengan diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin. Kadar TNF-α berkaitan dengan hiperinsulinemia dan menurunnya sensitifitas insulin (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Tatalaksana diet dan kimiawi dari obesitas meningkatkan sensitifitas insulin dan berkorelasi dengan penurunan produksi TNF-α. Kerja inhibisi TNF-α juga dapat dilawan oleh obat yang meningkatkan sensitivitas insulin seperti tiazolidinedion. Secara in vivo, kerja obat terjadi bersamaan dengan penurunan ekspresi TNF-α. (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa tidak adanya TNF-α atau reseptor memberikan proteksi terhadap resistensi insulin. TNF-α juga mempengaruhi sensitivitas insulin pada berbagai target yang terlibat seperti transportasi glukosa, produksi leptin, sinyal reseptor insulin dan peningkatan metabolisme lipid (Sethi dan Hotamisligil, 1999). TNF-α bekerja pada tahapan akhir sinyal insulin. Pada jaringan adiposa, TNFα meningkatkan fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS-1) pada residu serin (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Mekanisme TNF-α dalam resistensi insulin pada obesitas diduga karena gangguan pada akitivitas tirosin kinase pada reseptor insulin. Inhibisi pada aktivitas tirosin kinase ini menyebabkan penurunan semua fungsi biologis insulin seperti fosforilasi tirosin IRS-1 yang diinduksi insulin dan transpor glukosa (Peraldi dan Spiegelman, 1998). TNF-α mempunyai dua reseptor yaitu TNFR1 (p55TNFR) dan TNFR2 (p75TNFR). TNF-α berikatan dengan TNFR1 sementara TNFR2 meningkatkan konsentrasi TNF-α hingga dapat menstimulasi TNFR1. Ikatan TNF-α dengan TNFR1 menstimulasi sfingomielinase yang menghidrolisasi sfingomielin menjadi seramida dan kolin. Seramida mengaktivasi beberapa enzim secara langsung seperti protein kinase C (PKC) ζ dan fosfatase yang mengakibatkan peningkatan fosforilasi serin IRS-1. IRS-1 yang terfosforilasi ini bertindak sebagai inhibitor reseptor insulin dengan menghambat enzim tirosin kinase dan menurunkan fosforilasi tirosin IRS-1. Akibatnya terjadi penurunan translokasi GLUT-4 sehingga terjadi penurunan transpor glukosa dan penurunan sintesis glikogen serta mengakibatkan suatu keadaan resistensi insulin (Peraldi dan Spiegelman, 1998; Sethi dan Hotamisligil, 1999). TNF-α meningkatkan produksi leptin yang dapat meningkatkan resistensi insulin melalui mekansime autokrin dan parakrin (Sethi dan Hotamisligil, 1999). TNF-α juga dapat menyebabkan resistensi insulin melalui down regulasi ekspresi gen GLUT-4 sehingga menyebabkan penurunan transpor glukosa (Sethi dan Hotamisligil, 1999). Gambar 2.1 Mekanisme Inhibisi Reseptor Insulin oleh TNF-α (dimodifikasi dari Peraldi dan Spiegelman, 1998)