Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit bulai yang disebabkan oleh P. maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 90 persen (Mikoshiba, 1983) dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (Semangun, 1996; Subandi et al., 1996). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wakman dan Kontong (2000) di Lanrang (Sulawesi Selatan) serta Azrai dan Kasim (2005a) di Maros, Bogor, dan Lampung menunjukkan bahwa ketahanan dari beberapa varietas jagung unggul nasional terhadap penyakit bulai masih bervariasi, yaitu dari sangat rentan hingga resisten. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan jagung terhadap patogen penyebab penyakit bulai cukup beragam, tergantung pada variabilitas genetik, variabilitas fenotipik, dan interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting terutama dalam penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu karakter yang diinginkan (Prasanna, 2002). Upaya perakitan jagung yang resisten terhadap penyakit bulai terus dilakukan melalui penyaringan plasmanutfah yang dilanjutkan dengan kegiatan persilangan antara tetua terpilih. Kegiatan tersebut telah lama dilakukan oleh pemulia jagung, akan tetapi sejauh ini belum banyak dilaporkan mengenai model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia. Pengetahuan tentang sifat dan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter sangat penting terutama dalam hal keefektifan penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan karakter yang diinginkan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung dikendalikan oleh gen tunggal (Chang dan Cheng, 1968; Chang, 1972; Handoo et al. 1970; Takdir et al., 2004), sedangkan beberapa peneliti yang lain melaporkan melaporkan bahwa karakter ini dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) (Francis, 1967; Carangal et al. 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Peerasak, 1974; Ruswandi, 2001). Salah satu contoh kasus perbedaan hasil penelitian yang paling menonjol adalah studi tentang kendali genetik terhadap P. philippinensis. Aday (1974), melaporkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan 21 dengan derajat dominansi berada dalam over dominan. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Perbedaan tersebut diduga kuat karena perbedaan tingkat ketahanan dari tetua persilangan, jumlah generasi, dan besarnya genotip yang diteliti. Untuk itu, informasi tentang model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia dirasa perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, terbagi atas dua tahap, yaitu pembentukan genotip uji dan pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai. Pembentukan genotip dilaksanakan dari Agustus 2004 sampai April 2005. Pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai berlangsung dari bulan JanuariMaret 2006. Bahan Penelitian Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini masing-masing terdiri atas 7 macam populasi pada dua set persilangan dan progeninya, yaitu: masing-masing 10 genotip (tongkol) tetua persilangan yaitu P1 (CML161) sebagai tetua rentan (donor gen opaque-2) dan P2 (MR10 dan Nei9008) sebagai tetua resisten (silang balik = recurrent), masing-masing 20 genotip dari generasi F1, F2, BC1P1, dan BC1P2 serta 100 genotip dari generasi F3. CML161 merupakan galur yang bermutu protein tinggi (QPM = Quality Protein Maize) yang diintroduksi dari CIMMYT-Mexico. Nei9008 diintroduksi dari Thailand melalui Jaringan Kerjasama Bioteknologi Jagung Asia (AMBIONET = Asian Maize Biotechnology Network) dan MR10 merupakan salah satu galur elit Balitseral yang digunakan sebagai tetua hibrida Semar 8. Selain itu, juga digunakan Varietas Anoman-1 sebagai cek rentan dan tanaman baris penyebar konidia bulai. Varietas Anoman-1 22 merupakan salah satu varietas bersari bebas milik Balitsereal yang sangat rentan terhadap penyakit bulai (Azrai, 2006). Pembentukan Genotip Uji Pembentukan genotip uji dilakukan dengan cara melakukan silang balik antara tanaman F1 dengan kedua tetuanya untuk membentuk masing-masing 20 genotip BC1P1 dan BC1P2 dan mensegregasikan tanaman F1 untuk membentuk 20 genotip F2. Benih genotip F2 masing-masing ditanam dua baris kemudian dilakukan penyerbukan sendiri sebanyak 10 tanaman per genotip. Setelah panen, dipilih 5 tongkol per genotip sehingga diperoleh 100 tongkol benih F3. Dengan demikian telah tersedia masing-masing 7 macam populasi dari dua set persilangan untuk dievaluasi sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai. Pengujian Karakter Ketahanan terhadap P. maydis Masing-masing set persilangan diuji karakter ketahanannya terhadap P. maydis dengan teknik inokulasi pada tanaman baris penyebar dan pada genotip uji. Saat tanaman baris penyebar >80% terinfeksi bulai, masing-masing set persilangan ditanam sesuai dengan rancangan acak kelompok (RAK), dua ulangan (Petersen, 1994), kemudian 5 hari setelah kecambah muncul dipermukaan tanah, genotip uji disemprot dengan konidia bulai dan 3 hari setelah penyemprotan pertama dulangi lagi dengan cara yang sama dengan penyemprotan sebelumnya. Faktor pertama adalah dua set persilangan dan faktor kedua adalah 7 macam populasi uji. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase tanaman terinfeksi per genotip, sedangkan metode penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (2000). Tata letak percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 3. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Waktu pengamatan yaitu saat tanaman berumur 14, 21, 28, 35 dan 42 hari setelah tanam (hst). Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan setiap pengamatan tersebut, kemudian dikonversi ke dalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogen P. maydis dengan menggunakan rumus : a P x 100% b 23 keterangan : P = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai a = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai b = jumlah tanaman tumbuh Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 42 hst penularannya sudah jarang terjadi. Analisis Data Analisis Ragam Analisis ragam meliputi ragam genetik per generasi dari masing-masing set persilangan. Estimasi ragam genetik dan fenotip dianalisis berdasarkan nilai kuadrat tengah genotip (M2), nilai tengah galat (M1), dan ulangan (r), dengan persamaan sebagai berikut, (Bernardo, 2002): M 2 M 1 r 2 e = M1 g2 = 2f = g2 + e2 Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan variabilitasgenetik ( g2 ) dan standar deviasi variabilitasgenetik ( 2 ) menurut Anderson g dan Brancoff (1952), dikutip Wahdah et al. (1995) sebagai berikut : 2 = g 2 r2 M 22 M 12 dbgenotipe 2 dbgalat 2 keragaman genetik luas jika g2 >2 2 dan sempit jika g2 2 2 g g Analisis Data Sebaran Frekuensi Untuk mempelajari pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut, dilakukan dengan uji normalitas berdasarkan aturan Sturgers (Siregar, 2004): 2 i 1 f i e i ei 2 keterangan : fi = jumlah fenotip ke i menurut hasil pengamatan ei = jumlah fenotip ke-i yang diharapkan 24 Kriteria keputusan sesuai dengan hipotesis yakni jika nilai peluang (p-v) > 0.05 maka data dinyatakan berdistribusi normal. Uji Kesesuaian Model Genetik Untuk menentukan model genetik yang sesuai terhadap sifat ketahanan dari kedua set persilangan, dilakukan analisis rata-rata generasi. Model genetik aditif dominan yang sesuai untuk pola pewarisan kuantitatif, digunakan untuk menduga pengaruh gen-gen yang mengendalikan karakter ketahanan untuk kedua genotip yang digunakan. Selanjutnya model aditif dominan diuji untuk menentukan kesesuaiannya dengan uji t (Hill et al., 1998). Jika hasil uji skala menunjukkan adanya pengaruh interaksi antar lokus, maka model interaksi ditentukan kesesuaiannya dengan uji skala gabungan (Joint Scalling Test) dengan menggunakan seluruh generasi secara bersama-sama (Mather dan Jinks, 1982). Enam parameter genetik dari model yang menyertakan pengaruh interaksi adalah m = pengaruh rata-rata generasi, [d] = pengaruh aditif, [h] = pengaruh dominan, [I] = pengaruh interaksi aditif x aditif, [j] = pengaruh interaksi aditif x dominan, dan [l] = pengaruh interaksi dominan x dominan. Jadi model genetik yang menyertakan pengaruh interaksi adalah [m][d][h][I]; [m][d][h][j]; [m][d][h][l]; [m][d][h][i][j]; [m][d][h][i][l] dan [m][d][h][i][j][l]. Setiap model diuji kebaikan suainya dengan 2 terboboti. Koefisien dari parameter genetik yang digunakan dalam model lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi. Generasi P1 P2 F1 F2 F3 BCP1 BCP2 m 1 1 1 1 1 1 1 [d] 1 -1 0 0 0 ½ -½ Parameter Genetik [h] [i] 0 1 0 1 1 0 ½ 0 ¼ 0 ½ ¼ ½ ¼ [j] 0 0 0 0 0 ¼ -¼ [l] 0 0 1 ¼ 1/16 ¼ ¼ Analisis selanjutnya adalah pendugaan komponen ragam yang ditentukan sesuai dengan persamaan menurut Kearsey dan Pooni, (1996) sebagai berikut : VP1 = E1 VP2 = E2 VF1 = E3 VF2 = E4 25 VF3 = VA + VD +¼VE2 + ½VE3 VBCP1 = ½VA + VD –½VI + ½VE1 + ½VE3 VBCP2 = ½VA + VD + ½ VI + ½VE2 + ½VE3 VP1 , VP2 , VF1 , VF2, VF3, VBCP1 , VBCP2 masing-masing adalah ragam P1, P2, F1, F2, F3, BCP1 dan BCP2. Awal pendugaan parameter dilakukan dengan menduga nilai E = (VP1 + VP2 + VF1 + VF2 )/4. Selanjutnya Nilai E disubstitusikan ke persamaan, sehingga diperoleh nilai VA, VD dan VF. Nilai VE adalah jumlah ragam lingkungan, VA adalah jumlah ragam aditif, VD adalah jumlah ragam dominan, dan VI adalah jumlah ragam interaksi aditif dan dominan. Parameter yang diduga adalah : a. Heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability): h2ns = VA VA + VD + E b. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability): h2bs = VA+ VD VA + VD + E HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Genetik Hasil analisis ragam genetik ketahanan dari set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis disajikan pada Tabel 2. Kedua tetua dari masingmasing set persilangan memperlihatkan reaksi ketahanan yang sangat berbeda. Galur MR10 dan Nei9008 sebagai tetua donor gen resisten memperlihatkan reaksi yang sangat resisten, sedangkan galur CML161 sebagai tetua donor gen opaque-2 (gen pengendali lisin dan triptofan tinggi) sangat rentan terhadap patogen P. maydis. Perbedaan karakter ketahanan penyakit bulai yang ekstrim antara kedua tetua sangat bermanfaat untuk melihat frekuensi sebaran karakter kuantitatif ketahanan genotip terhadap patogen penyakit bulai yang terekspresi pada progeninya (Namkong, 1979; Hoisington dan Coe, 1990; Prasanna, 2002). 26 Nilai tengah antar generasi dari set persilangan yang sama maupun dari set persilangan yang berbeda memperlihatkan reaksi ketahanan terhadap penyakit bulai yang beragam. Progeni Nei9008 x CML161 lebih resisten dibandingkan dengan progeni MR10 x CML161. Hal ini diduga karena pada pengujian ini, Nei9008 sangat resisten dan bahkan tidak terinfeksi bulai sama sekali. Dari beberapa pengujian sebelumnya, Nei9008 sangat resisten bulai di Sulawesi Selatan, Bogor, dan Lampung (Kasim et al., 2004). Selain resisten terhadap P. maydis, Nei9008 juga resisten terhadap P. zeae dan P. philippinensis (Ruswandi, 2002 dan Grudloyma et al, 2004). Tabel 2. Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan terhadap P. maydis pada set persilangan galur jagung Set Persilangan MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 2x 2 Rerata ± SD Interval (%) g2 0.1 0.4 0.0 ± 0.0 tn 0.0 –0.0 - - 95.7 –100 0 2.3 99.0 ± 0.3 tn 98.0 –100 0 0.5 60.0 ± 2.0 tn 36.4 –70.8 35.1 53.5 28.6 ± 1.3 tn 21.0 - 39.1 6.4 17.2 F2 59.0 ± 1.5 tn 47.4 –67.0 1.6 19.4 35.1 ± 1.4 tn 25.2 - 47.9 12.5 22.9 F3 54.2 ± 0.8** 6.3 –100 324.8 101.9 41.8 ± 0.6** 249.5 76.3 BC1P1 32.5 ± 1.0 tn 26.1 –41.2 3.9 10.0 23.9 ± 0.9 tn 20.0 - 31.8 4.8 8.7 BC1P 2 78.2 ± 1.7 tn 68.6 –88.8 7.0 28.3 56.7 ± 1.3 tn 50.3 –64.6 3.0 15.2 Generasi Rerata ± SD Interval (%) g2 P1 2.2 ± 0.2tn 1.3 - 3 P2 99.6 ± 0.6 tn F1 Keterangan: g 4.2 –85.7 2x 2 g Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi g2 = Keragaman genetik; 2g = standar deviasi keragaman genetik; Hbs = Heritabilitas dalam arti luas; - = data tidak dianalisis karena tidak ada infeksi bulai Nilai duga ragam genetik yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa variabilitas genetik dari setiap generasi pada kedua set persilangan menurut kriteria Anderson dan Brancoff (1952) tergolong sempit, kecuali pada generasi F3 yang tergolong luas. Hal ini menunjukkan bahwa segregasi puncak terjadi pada generasi F3. Kejadian ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data persentase antar famili, bukan berupa skoring terhadap individu tanaman, sehingga secara teoritis variabilitas genetik yang timbul pada tetua, F1, generasi silang balik, dan F2 adalah keragaman antara individu dalam famili yang sama yang ditimbulkan oleh ragam lingkungan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Takdir (2003) yang melaporkan bahwa tidak ditemukan 27 adanya keragaman genetik yang nyata antar famili pada generasi P1, P2, F1, F2, BC1P1, dan BC1P2. Variabiliatas genetik dapat terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan gen pada generasi tersebut sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988). Sebaran Frekuensi Generasi F3 Uji normalitas untuk pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut tingkat penularan penyakit bulai menurut aturan Sturgers (Siregar, 2004) disajikan pada Tabel 3. Sebaran frekuensi generasi F3 dari kedua set persilangan disajikan pada Gambar 6. Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F3 dari kedua set persilangan menyebar normal Tabel 3. Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F3 set persilangan galur jagung Set Persilangan Parameter MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 Rerata 54.2 41.8 Simpangan baku (S) 19.0 17.0 2 χ 8.2tn 7.4 tn p-v 0.3 0.4 Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; t n = tidak nyata; Nilai chi-square0.05: db 7 = 14.07; Nilai chi-square0.01: db 7 = 12.02; p-v = nilai peluang (p-v > 0.05 = sesuai dengan hipotesis) 35 Frekuensi 30 25 MR10 20 Nei9008 15 10 MR10 Nei CML161 5 0 0 Gambar 6. Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F3 pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 28 Pada Gambar 6 terlihat bahwa pola distribusi penularan penyakit bulai pada genotip uji untuk generasi F3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan. Namun demikian, dari hasil analisis statistik sebaran normal mengindikasikan bahwa terdapat gen-gen bersifat kuantitatif yang mengendalikan ketahanan penyakit bulai. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan penyakit bulai pada tanaman jagung dikendalikan oleh gen-gen minor atau poligenik dan bersifat aditif (Handoo et al., 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Pamin 1980; Ruswandi et al., 2002; Azrai dan Kasim, 2003). Kesesuaian Model Genetik Untuk mengetahui model aksi gen yang mengendalikan karakter ketahanan 2 terhadap P. maydis dari dua set persilangan yang diuji, diperlukan uji χ . Model genetik yang paling sederhana adalah model genetik aditif dominan yang terdiri atas komponen rata-rata tetua (m), pengaruh aksi gen aditif [d], dan pengaruh aksi gen dominan [h]. Hasil uji skala (scalling test) terhadap rata-rata generasi sesuai dengan metode Singh dan Chaudary (1979) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua pasang persilangan galur jagung Skala A B C D Set Persilangan MR10 x CML161 Ragam Nei9008 x CML161 2.83 ± 2.81 tn -3.13 ± 3.96tn 14.06 ± 7.13 * -2.78 ± 4.47 tn 7.92 15.71 50.92 19.07 ± 2.13 ** -14.26 ± 2.90 ** -15.90 ± 6.14 * -1.84 ± 3.85 tn 20.02 Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; Ragam 4.54 8.38 37.75 14.84 A = 2BC1P1-P1-F1; B= 2BC1P2-P2-F1; C = 4F2-2F1-P1-P2; D = 4F3-2F2-P1-P2; ** = nyata pada taraf uji t 1% = 2.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata Hasil uji skala pada Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai skala C pada set persilangan MR10 x CML161 berbeda nyata dengan hipotesis nol, sedangkan nilai skala A, B, dan D tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa model aksi gen ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan tersebut tidak cukup dijelaskan dengan mengikuti model aksi gen aditif-dominan. Demikian pula halnya dengan set persilangan antara Nei9008 x CML161, nilai skala A, B, dan C masing-masing berbeda sangat nyata dengan nol, sedangkan nilai skala D tidak berbeda nyata. Dengan adanya nilai skala yang berbeda nyata pada kedua set persilangan tersebut, menunjukkan adanya pengaruh 29 interaksi antar lokus (non alelik) sehingga untuk menguji kesesuaian model interaksinya diperlukan uji skala gabungan dengan menggunakan seluruh generasi secara bersamasama (Mather dan Jinks, 1982). Hasil uji skala gabungan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk kedua set persilangan yang digunakan disajikan pada Tabel 5. 2 Tabel 5. Uji χ dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model genetik Persilangan MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 Model genetik m [d] m [d] [h] m [d] [h] [i] m [d] [h] [j] m [d] [h] [l] m [d] [h] [i] [j] m [d] [h] [i] [l] m [d] [h] [j] [l] m [d] [h] [i] [j] [l] m [d] m [d] [h] m [d] [h] [i] m [d] [h] [j] m [d] [h] [l] m [d] [h] [i] [j] m [d] [h] [i] [l] m [d] [h] [j] [l] m [d] [h] [i] [j] [l] 2 χ 101.62** 90.85 ** tn 7.49 7.77 tn 8.14* 4.93 tn 7.38 * 6.11* 11.65* 355.66 ** 138.26 ** 5.06 tn 14.03* 102.78 ** 2.40 tn 0.34 tn 10.71 * 0.01tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji chi-square 1%; * = nyata pada taraf uji chi-square 5% = tidak nyata; Nilai chi-square0.05: db 5 = 11.07; db 4 = 9.49; db 3 = 7.82; db 2 = 5.99; db 1 = 3.84 tn Beberapa model genetik memperlihatkan nilai kebaikan suai yang cukup kontras 2 antara kedua set persilangan pada generasi yang sama. Dari hasil analisis χ diketahui bahwa penyebab perbedaan tersebut disebabkan karena adanya penyimpangan nilai yang cukup besar antara nilai pengamatan dengan nilai duganya sehingga menimbulkan selisih nilai yang tinggi. Dari uji kebaikan suai untuk set persilangan MR10 x CML161 diperoleh tiga model genetik yang sesuai yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [j]; m [d] [h] [i] [j]. Hal ini menunjukkan bahwa komponen genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk set persilangan tersebut terdiri atas gen aditif, dominan, interaksi aditif x aditif, dan interaksi aditif x dominan. Model aksi gen yang sesuai dengan set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [i] [j]; m [d] [h] [i] [l], dan m [d] [h] [i] [j] [l]. Model aksi gen tersebut menunjukkan bahwa aksi gen aditf, dominan, interaksi aditif x aditif, 30 interaksi aditif x dominan, dan interaksi dominan x dominan berkontribusi untuk ketahanan genetik pada set persilangan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis. Untuk mengetahui komponen genetik yang berkontribusi nyata terhadap karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua set yang digunakan, dilakukan uji t. Uji t untuk komponen dari model-model genetik yang digunakan adalah model genetik yang mempunyai komponen yang paling lengkap seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai pada uji X2 untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada dua set persilangan galur jagung. Persilangan MR10 x CML161 Model yang sesuai m [d] [h] [i] [j] Nei9008 x CML161 m [d] [h] [i] [j] [l] Komponen genetik m = 53.07 ± 1.26 [d] = -48.67 ± 0.35** [h] = 7.12 ± 2.14** [i] = -2.20 ± 1.11* [j] = 5.22 ± 3.26tn m = 50.94 ± 3.30 [d] = -37.37 ± 9.07** [h] = -41.06 ± 15.03** [i] = 20.72 ± 6.33 ** [j] = -10.96 ± 18.76 tn [l] = 18.76 ± 12.11 tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji t 1% = 2.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata Hasil uji t pada Tabel 6, menunjukkan bahwa gen-gen aditif [d] dan dominan [h] berkontribusi sangat nyata pada kedua set persilangan yang digunakan. Selain itu, komponen interaksi gen aditif x aditif [i] masing-masing sangat nyata dan nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Nilai komponen genetik aditif yang bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif pada set persilangan MR10 x CML161 menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis komplomenter, sedangkan pada set persilangan Nei9008 x CML161 komponen genetik aditif bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat (Hill et al, 1998) Kontribusi gen-gen aditif untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis lebih tinggi daripada gen-gen dominan pada set persilangan MR10 x CML161 dan sebaliknya pada set persilangan Nei9008 x CML161 relatif seimbang (Tabel 6). Selain itu, interaksi gen aditif x aditif masing-masing berkontribusi nyata dan sangat nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan set persilangan Nei9008 x CML161. Kontribusi yang nyata dari interaksi gen aditif x aditif pada set persilangan tersebut dapat meningkatkan 31 variasi antara famili generasi F3 dan ini dapat difiksasi (Singleton, 1967). Ragam aditif mencerminkan nilai pewarisan (breeding value) yang merupakan penyebab utama kemiripan antara famili sehingga menjadi penentu utama dalam penurunan suatu sifat, sedangkan ragam dominan dapat dimanfatkan jika varietas hibrida yang menjadi tujuan program pemuliaan (Hallauer dan Miranda, 1981). Parameter Genetik Gabungan Generasi Nilai parameter genetik dari kedua set persilangan disajikan pada Tabel 7. Pada set persilangan MR10 x CML161 memiliki nilai ragam genetik (dominan dan aditif), ragam lingkungan dan fenotip serta ragam interaksi genetik x lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan ragam pada set persilangan Nei9008 x CML161. Kedua set persilangan yang digunakan juga mempunyai nilai duga heritabilitas dalam arti luas yang tergolong tinggi berdasarkan kriteria yang digunakan oleh McWhirter (1979) yaitu masing-masing sebesar 0.78 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.76 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Berbeda halnya dengan nilai duga heritabilitas dalam arti sempit, dimana kedua set persilangan menunjukkan nilai heritabilitas yang tergolong sedang yaitu masing-masing sebesar 0.46 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.47 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Nilai duga heritabilitas merupakan suatu ukuran sampai sejauh mana fenotip yang tampak sebagai refleksi genotip, atau hubungan antara keragaman genetik dengan keragaman fenotipiknya (Fehr, 1987). Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dari faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Sjamsudin, 1990). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong sedang pada kedua set persilangan yang digunakan menunjukkan bahwa faktor lingkungan cukup berpengaruh pada pewarisan ketahanan terhadap P. maydis sehingga seleksi akan lebih efektif jika dilakukan pada generasi lebih lanjut. Dengan keberadaan interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161, maka disarankan proses seleksi dilakukan secara hati-hati dan tidak dilakukan pada generasi awal yang masih bersegregasi (Stoskpf, 1993). 32 Tabel 7. Parameter genetik untuk karakter ketahanan pada dua pasang persilangan galur jagung terhadap P. maydis Parameter VA VD VE VP VI Hbs Hns Hns/Hbs (%) Set Persilangan MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 65.12 37.40 26.03 14.38 31.63 18.82 122.78 70.60 19.41 8.51 0.78 0.76 0.46 0.47 58.90 62.03 Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; VA = jumlah ragam aditif; VD = jumlah ragam dominan; VE = jumlah ragam lingkungan; VI = jumlah ragam interaksi genetik x lingkungan; Vp = jumlah ragam fenotip; Hbs = Heritabilitas dalam arti luas; Hns = Heritabilitas dalam arti sempit Efek dominansi berdasarkan rasio heritabilitas disajikan pada Tabel 7. Menurut Moeljopawiro (1986), nisbah antara nilai heritabilitas dalam arti sempit terhadap nilai heritabilitas dalam arti luas menggambarkan besarnya porsi ragam aditif terhadap total ragam genetik. Karakter yang mempunyai nisbah Hns/Hbs < 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan, dan bila mempunyai nilai nisbah Hns/Hbs > 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif. Berdasarkan kriteria tersebut, aksi gen-gen aditif mempunyai porsi yang lebih besar dalam mengendalikan karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan yang digunakan. Oleh karena kedua set persilangan yang digunakan memiliki ragam aditif yang lebih tinggi daripada ragam dominan, maka peluang pewarisan karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua persilangan tersebut cukup tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam proses seleksi untuk mengintrogresikan gen resisten ke galur jagung rentan terhadap penyakit tersebut, namun punya nilai ekonomis tinggi, seperti pada galur-galur QPM . KESIMPULAN 1. Estimasi variabilitas genetik dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong sempit, kecuali generasi F3 yang tergolong luas. 2. Nilai duga heritabilitas dalam arti sempit dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong rendah sampai sedang, kecuali generasi F3 yang tergolong luas. Dari hasil analisis gabungan rata-rata generasi pada kedua pasang persilangan diperoleh nilai duga heritabilitas dalam arti luas tergolong tinggi, sedangkan dalam arti sempit tergolong sedang. 33 3. Pola distribusi penularan konidia patogen bulai genotip uji pada generasi F3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan dari set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan, namun keduanya berdistribusi normal. Terdapat gengen yang bersifat kuantitatif dalam mengontrol ketahanan penyakit bulai. 4. Model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis yang sesuai untuk set persilangan MR10 x CML161 adalah m [d] [h] [i] [j], sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i] [j] [l]. 5. Aksi gen aditif dan dominan dari kedua set persilangan berkontribusi nyata untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan. Set MR10 x CML161 diperankan oleh aksi gen aditif dominan dengan pengaruh interaksi non alelik aditif komplementer epistasis dan non alelik aditif duplikat epistasis pada set persilangan Nei9008 x CML161. 34