Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 PENGGUNAAN BEBERAPA ADITIF DAN BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK SILASE RUMPUT GAJAH PADA HARI KE- 14 (THE USE OF SEVERAL ADDITIVES AND LACTIC ACID BACTERIA ON THE PHYSICAL CHARACTERISTICS OF ELEPHANT GRASS SILAGE AT DAY-14) Ganjar Subekti, Suwarno dan Nur Hidayat* Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto *Corresponding author :[email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji sejauh mana peranan bahan aditif dan bakteri asam laktat terhadap karakteristik fisik silase rumput gajah varietas Thailand pada hari ke-14. Materi yang digunakan adalah rumput Gajah (Pennisetum purpureum) varietas thailand, tetes, onggok, bekatul dan bakteri asam laktat. Penelitian dilakukan secara eksperimental yang dirancang menggunakan Rancangan Acak kelompok (Randomized Complete Block Design). Perlakuan adalah rumput gajah 2 kg + tetes 40 ml + bakteri asam laktat 20 ml (R1), rumput gajah 2 kg + tetes 40 ml + bakteri asam laktat 40 ml (R2), rumput gajah 2 kg + bekatul 20 gram + bakteri asam laktat 20 ml (R3), rumput gajah 2 kg + bekatul 20 gram + bakteri asam laktat 40 ml (R4), rumput gajah 2 kg + onggok 20 gram + bakteri asam laktat 20 ml (R5), rumput gajah 2 kg + onggok 20 gram + bakteri asam laktat 20 ml (R6). Variabel yang diukur yaitu karakteristik fisik silase (warna, bau dan tekstur) rumput gajah. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna, bau dan tekstur silase. berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan aditif berupa tetes 20 %, onggok 10 % dan bekatul 10 % serta bakteri asam laktat 1 % dan 2 %, belum memberikan perbedaan terhadap warna, bau dan tekstur silase rumput gajah varietas thailand. Kata kunci :Bahan Aditif (tetes, onggok dan bekatul) dan Bakteri Asam Laktat (BAL), Karakteristik Fisik Silase (Warna, Bau Dan Tekstur) Rumput Gajah. ABSTRACT The study was aimed to assess the extent of the role of additives and lactic acid bacteria on the physical characteristics of grass silage varieties of Thailand on day 14.The materials used are elephant grass (Pennisetum purpureum) Thailand variety, molasses, cassava, rice bran and lactic acid bacteria. The study was conducted on the experimental farm that was designed using the Randomized Complete Block Design (RCBD). The treatments were : elephant grass 2 kg + molasses 40 ml+20 ml of lactic acid bacteria (R1), elephant grass 2 kg + molasses 40 ml + 40 ml of lactic acid bacteria (R2), elephant grass 2 kg + rice bran 20 g + lactic acid bacteria 20 ml (R3), elephant grass 2 kg + rice bran 20 g + lactic acid bacteria 40 ml (R4), elephant grass 2 kg + cassava 20 g + 20 ml lactic acid bacteria (R5), elephant grass 2 kg + cassava 20 g + 40 ml lactic acid bacteria (R6). The measured variables were thephysical characteristics (color, smell andtexture) of elephant grass silage. Friedman test results showed that the treatments had no significant effect (P>0.05) on the color, smell and texture of silage. Based on these results it can be concluded that the uses of additives in the form of 20 % molasse, 10% cassava and 10 % rice bran and 1 % and 2 % lacticacid bacteria, do not give any differences on the color, smell and texture of elephant grass silage. Keywords:Molasses, Cassava, Rice BranandLactic AcidBacteria(LAB), Physical Characteristics of silage. 835 Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 PENDAHULUAN Penyediaan bahan pakan yang berkualitas baik serta tersedia sepanjang tahun di daerah tropis dapat diupayakan melalui diversifikasi pakan, salah satunya adalah dengan cara dibuat silase pada saat produksi melimpah. Sugiri dkk. (1981) menyatakan bahwa keuntungan pengawetan hijauan adalah dapat dipertahankan kualitasnya atau komposisi nutriennya hingga berakhirnya masa penyimpanan, selanjutnya dikatakan silase merupakan pakan ternak yang sengaja disimpan dalam keadaan segar pada suatu tempat (silo) yang kedap udara sehingga mengalami proses fermentasi. Prinsip pembuatan silase adalah fermentasi karbohidrat oleh bakteri asam laktat secara anaerob. Bakteri asam laktat akan menggunakan karbohidrat yang terlarut dalam air (water soluble carbohydrate, WSC) dan menghasilkan asam laktat, asam laktat ini akan berperan dalam penurunan pH silase (Ennahar et al., 2003). Weinberg et al., (2004) menyatakan silase pakan ternak dapat meningkatkan produksi susu dan pertambahan berat badan pada sapi. Agar diperoleh silase yang baik, dapat ditambahkan bahan tambahan sumber karbohidrat diantaranya adalah bekatul, onggok, dan tetes (molasses).Fungsi bahan tambahan yang mengandung karbohidrat fermentable adalah sebagai bahan bagi terbentuknya asam laktat, sehingga dapat mempercepat terbentuknya suasana asam dengan derajat keasaman optimal. Tetes adalah bahan aditif berupa sumber karbohidrat yang berfungsi sebagai bahan dengan pembentukan asam laktat pada proses ensilase yang sempurna (Bolsen et al. 1995). Fungsi lain untuk mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi yang cepat tersedia dalam bakteri (Sumarsih, dkk., 2009). Untuk menjamin berlangsungnya fermentasi asam laktat bahan pengawet biasanya ditambahkan untuk mencukupi karbohidrat mudah larut yang berguna dalam fermentasi, terutama untuk menurunkan pH silase (Matsuhima, 1979). Bakteri asam laktat diperlukan dalam proses pembuatan silase hijauan segar karena BAL diperlukan untuk mempercepat terbentuknya asam laktat pada pembuatan silase, sehingga silase yang dihasilkan kualitasnya baik. Semakin banyak penambahan BAL dalam pembuatan silase maka semakin cepat proses ensilase. Katul merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi menjadi beras. Penggunaan dedak padi sebagai bahan pakan dibatasi oleh adanya ketidakstabilan dedak selama penyimpanan.Ketidakstabilan ini terutama disebabkan oleh adanya enzim lipase yang terdapat dalam dedak.Selain itu didalam dedak padi juga terdapat enzim peroksidase yang dapat menyebabkan kerusakan atau ketengikan oksidatif pada komponen minyak yang ada dalam dedak (Champagne, 2004). Onggok merupakan limbah dari industri tapioka.Onggok adalah hasil ikutan pengolahan dari ubi kayu menjadi tapioka (Kolopita dan Sutardi, 1997). Suharyono (1982) menyatakan bahwa komposisi nutrisi onggok adalah 89.38 % bahan kering (BK), 87.60 % bahan organik (BO), 1.60 % protein kasar (PK) dan kecernaan bahan keringnya sebesar 82.0 %. berfungsi untuk mempercepat tercapainya kondisi asam,memacu terbentuknya asam laktat dan asetat, mendapatkan karbohidrat mudah terfermentasikan sebagai sumber energi bagi bakteri yang berperan dalam fermentasi, menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri lain dan jamur yang tidak dikehendaki, mengurangi oksigen yang ada baik secara langsung maupun tidak langsung, mengurangi produksi air dan menyerap beberapa asam yang tidak diinginkan. 836 Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 METODE Lokasi Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanaman Pakan dan Ilmu Bahan Pakan Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebanyak 36 kg, 240 ml tetes, bekatul 1,2 kg, onggok 1,2 kg dan 540 ml BAL (L. mesenteroides). Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Eksperimental dengan Rancangan Acak Kelompok (Randomized Complete Block Design).Conover (1971). Rancangan Penelitian Rancangan percobaandigunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (Randomized Complete Block Design) dengan enam perlakuan dan setiap perlakuan diulang tiga kali. Ulangan sebagai blok yaitu panelis yang ditunjuk untuk menilai hasil penelitian. Adapun perlakuannya adalah : R1= Rumput gajah 2 kg + tetes 40 ml + bakteri asam laktat 20 ml R2 = Rumput gajah 2 kg + tetes 40 ml + bakteri asam laktat 40 ml R3 = Rumput gajah 2 kg + bekatul 200 g + bakteri asam laktat 20 ml R4 = Rumput gajah 2 kg + bekatul 200 g + bakteri asam laktat 40 ml R5 = Rumput gajah 2 kg + onggok 200 g + bakteri asam laktat 20 ml R6 = Rumput gajah 2 kg + onggok 200 g + bakteri asam laktat 40 ml Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = µ+ ρi + τj+ εij Keterangan: Yij µ ρi τj εij = variabel respon (nilai yang diukur, terdiri dari warna, bau dan tekstur) karakteristik fisik silase dengan taraf perlakuan ke-j ulangan ke-i =Nilai tengah respon (pengaruh rata-rata sebenarnya) = Pengaruh panelis ke i (blok) (i=1,2,3,4) = Pengaruh perlakuan ke j (j=1,2,3,4,5,6) = Galat percobaan Uji non parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi panelis adalah uji Friedman.(Conover, 1971). HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian karakteristik silase berdasarkan pengamatan fisik yang mencakup : warna, tekstur, dan bau selengkapnya disajikan pada Tabel 2. 837 Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 Tabel 2. Karakteristik Fisik Silase (warna, bau, dan tekstur) hasil penelitian Warna Bau Tekstur Perlakuan Simpang Simpang Simpang Rata-rata Rata-rata Rata-rata baku baku baku R1 2,50a R2 2,50 a R3 2,50 a R4 2,50 a R5 2,75 a R6 2,75 a Keterangan : Superskrip yang (P<0,05) 0,58 3,00a 0,00 2,67a 0,58 0,58 3,00a 0,00 2,67a 0,58 a a 0,58 2,50 0,58 3,00 0,00 a a 0,58 2,50 0,58 3,00 0,00 a a 0,50 2,50 0,58 3,00 0,00 0,50 2,50a 0,58 3,00a 0,00 berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata Warna Silase Tabel 2.menunjukkan bahwa hasil penelitian terhadap warna silase diperoleh rata-rata skor berkisar antara 2,50–2,75, hal ini berarti bahwa silase berwarna hijau alami dan sedikit kekuningan, dan skor warna tertinggi pada perlakuan dengan penambahan aditif onggok. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lamid dkk. (2010) bahwa warna silase hasil penelitian yang diperoleh berkisar antara 2,00-3,00 dengan dosis bakteri Lactobacillus plantarum sampai level 0,5%. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna silase, hal tersebut berarti penambahan bahan aditif berupa tetes, dedak, dan onggok serta bakteri bakteri asam laktat sampai dengan level yang diterapkan dalam penelitian belum berpengaruh terhadap warna silase. Menurut Siregar (1996) bahwa, secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu warna masih hijau atau kecoklatan. Reksohadiprodjo (1998) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami proses ensilase disebabkan oleh proses respirasi aerobic yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai gula tanaman habis. Gula akan teroksidasi menjadi CO2 dan air, panas juga dihasilkan pada proses ini sehingga temperature naik. Temperature yang tidak dapat terkendali akan menyebabkan silase berwarna coklat tua sampai hitam. Hal ini menyebabkan turunnya nilai kandungan nutrisi pakan, karena banyak sumber karbohidrat yang hilang dan kecernaaan protein turun. Keadaan ini terjadi pada tempreratur 55°C. Kualitas silase yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh tiga faktor dalam pembuatan silase antara lain: hijauan yang digunakan, zat aditif (aditif digunakan untuk meningkatkan kadar protein dan karbohidrat pada material pakan) dan kadar air di dalam hijauan tersebut karena kadar air yang tinggi mendorong pertumbuhan jamur dan menghasilkan asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan suhu di dalam silo lebih tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap terjadinya kebakaran (Pioner Development Foundation, 1991). Kualitas silase dapat dilihat dari karakteristik fisik (Ferreira and Mertens, 2005) setelah silase dibuka, meliputi warna, bau, tekstur dan adanya mikroba pembusuk (Haustein, 2003). Secara umum silase yang baik akan berwarna hijau kecoklatan. Proporsi warna coklat yang lebih banyak pada silase yang ditambah pollard menyebabkan warnanya lebih gelap dibandingkan yang ditambah gaplek dan jagung. Semakin gelap silase yang dihasilkan, maka kualitas silase semakin rendah. Ciri-ciri silase yang baik meliputi :Berbau harum agak kemanis-manisan, Tidak berjamur, Tidak menggumpal, Berwarna 838 Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 kehijau-hijauan, pH antara 4 sampai 4.5. Indikator keberhasilan silase dapat dilihat dari kualitas silase yang dihasilkan.Hal itu dapat dilihat dari karakteristik fisik silase yang dihasilkan yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase (Bolsen dan Sapienza, 1993). Bau Silase Hasil penelitian terhadap bau silase diperoleh rata-rata skor berkisar antara 2,50 – 3,00, hal ini menunjukkan bahwa silase berbau agak asam dan tidak busuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lamid dkk. (2010) bahwa bau silase hasil penelitian yang diperoleh berkisar antara 2,80-3,00 dengan dosis bakteri Lactobacillus plantarum sampai level 0,5%. Menurut Ensminger dan Olentine (1978), karakteristik silase yang baik adalah baunya lebih asam. Hal ini juga didukung oleh pendapat Siregar (1996) yang menyatakan bahwa, secara umum silase ynag baik mempunyai ciri-ciri yaitu rasa dan bau asam, tetapi segar dan enak. Bau asam yang dihasikan oleh silase disebabkan dalam proses pembuatan silase bakteri anaerob aktif bekerja menghasilkan asam organik. Proses ensilase terjadi apabila oksigen telah habis dipakai, pernapasan tanaman akan berhenti dan suasana menjadi anaerob. Keadaan demikian jamur tidak dapt tumbuh dan hanya bakteri anaerob saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam (Susetyo dkk, 1969). Dalam penelitian ini semua perlakuan mempunyai bau asam yang segar dan enak, sehingga secara keseluruhan silase yang dihasilkan temasuk silase yang baik dari segi bau. Sesuai dengan pendapat beberapa ahli yaitu : Bau silase merupakan salah satu indikator baik atau tidaknya silase.Menurut Ensminger dan Olentine (1978) bahwa, karakteristik silase yang baik adalah baunya bersih lebih berbau asam, baunya disenangi dibandingkan dengan silase yang jelek. Demikian pula pendapat Siregar (1996) bahwa, secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu rasa dan bau asam, tetapi segar dan enak. Bau asam yang dihasilkan oleh silase disebabkan dalam proses pembuatan silase bakteri anaerob aktif bekerja menghasilkan asam organik. Akibat keaktifan bakteri inilah maka terjadi asam (Anonim, 1990). Demikian pula pendapat Susetyo dkk., (1969) bahwa, dalam proses ensilase apabila oksigen telah habis dipakai, pernapasan akan berhenti, dan suasana menjadi anaerob. Dalam keadaan demikian jamur tidak dapat tumbuh dan hanya bakteri saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam. Dengan demikian, bau asam dapat dijadikan sebagai indikator untuk melihat keberhasilan proses ensilase, sebab untuk keberhasilan proses ensilase harus dalam suasana asam. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bau silase, hal tersebut berarti penggunaan bahan aditif belum mampu berfungsi sebagai peningkat nutrient bahan maupun sebagai penyedia nutrient bagi bakteri asam laktat, sehingga silase yang dihasilkan belum menyebabkan perbedaan bau silase. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena dedak merupakan karbohidrat yang lebih fermentable (bahan yang siap digunakan) untuk pertumbuhan bakteri asam laktat, sedangkan onggok mempunyai kandungan serat kasar (polisarida komplek) yang lebih tinggi dibandingkan dedak, sehingga lebih sulit mikroba untuk langsung menggunakannya sebagai sumber nutrien.Bahan pengawet biasanya ditambahkan untuk mencukupi karbohidrat mudah larut yang berguna dalam fermentasi, terutama untuk menurunkan pH silase (Matsuhima, 1979). 839 Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 Tekstur Silase Rata-rataskortekstur silase yang dihasilkan akibat penggunaan berbagai bahan aditif dan bakteri asam laktat berkisar antara 2,67-3,00 (Tabel 2), hal ini berarti bahwa tektur silase yang dihasilkan agak padat dan tidak lembek. Menurut Siregar (1996) bahwa, secara umum sialse yang baik mempunyai cirri-ciri yaitu tekstur masih jelas jelas seperti alamnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lamid dkk. (2010) bahwa tekstur silase hasil penelitian yang diperoleh berkisar antara 2,60-3,00 dengan dosis bakteri Lactobacillus plantarum sampai level 0,5%. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tekstur silase. Hal ini disebabkan karena bekatul dan onggok mempunyai kandungan nutrien yang hampir sama yaitu tingginya kandungan serat kasar bahan, sedangkan molasses merupakan karbohidrat dengan kandungan serat kasar yang rendah. Molase kaya akan kandungan berbagai asam amino seperti aspartat, glutamat, lisin dan alanin. Kandungan protein kasar yang dimiliki molase dapat mencapai 2,5 % - 4,5 % dan hampir separuhnya merupakan protein yang dapat dicerna ( Somatmadja 1981, diacu dalam Saputra 2003 ). Molase merupakan gula tetes yang kental yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen substrat sehingga dapat digunakan sebagai media untuk pertumbuhan bakteri.Di dalam molase terkandung senyawa-senyawa seperti polisakarida, asam amino, dan abu sulfat.Abu sulfat ini berasal dari pupuk tanaman tebu yang terserap pada batangnya yaitu ZA, yang komponen utamanya mengandung belerang atau sulfur. Komponen mineral dalam molase antara lain kalium, nitrogen, kalsium, alumunium, magnesium ( bentuk anion ), sulfat, sulfit, fosfat, klorida dan silikat ( bentuk kation ) (Tohorisman dan Hutasoit 1993, diacu dalam Holilah 2005 ). Molase merupakan sumber energi yang murah karena mengandung gula ± 50 %, baik dalam bentuk sukrosa 20 – 30 % atau dalam bentuk gula pereduksi 10 – 30 %. Gula pereduksi tersebut sangat mudah dicerna dan dapat langsung diserap oleh darah, digunakan untuk keperluan energi ( Winarno 1981 ). Tingginya kandungan gula dan mineral pada molase merupakan suatu potensi untuk dimanfaatkan sebagai substrat fermentasi oleh mikroorganisme (Wirioatmodjo 1984 ). SIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa Penggunaan beberapa aditif (2%, katul 10 %, dan onggok 10 %) dan bakteri asam laktat (1 %, 2 %) belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna, bau dan tekstur silase. Namun demikian bahwa kualitas silase masih tergolong berkualitas cukup baik di tinjau dari warna, bau dan tekstur. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat .Nur Hidayat, MPselaku ketua proyek penilitian yang telah memberikan kesempatan terlibat dalam penelitian ini.Ir. Nur Hidayat, MP dan Ir. Suwarno, MSc, Ph.Dpembimbing dalam pelaksanaan penelitian dan teman yang kerjasama dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bolsen, K.K., G. Ashbell, and J.M. Wilkinnson. 1995. Silage additives in biotechnology. In: Wallace, R.J., and A. Chesson (eds.). Animal Feeds and Animal Feeding. Weinheim: VCH. 840 Ganjar Subekti dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 835–841, September 2013 Conover, W. J. 1971. Practical Nonparametric statistics.John Wiley & Sons, Inc. New York. Chichester. Brisbane. Toronto. Ennahar.S., Y. Cai., and Y. Fujita. 2003. Phylogenetic diversity of lactic acid bacteria associated with paddy rice silage as determined by 16S ribosomal DNA analysis. Applied and Environmental Microbiology 69 (1): 444-451. Ensminger and C. G. Olentine. 1978. Feeds and Nutrition Complete. The Ensminger Publishing Company, Clovis, California, U.S.A. Ferreira, G. & D. R. Mertens. 2005. Chemical and physical characteristics of corn silages and their eff ects on in vitro dissappearance. Journal of Dairy Science 88: 4414 – 4425. Haustein, S. 2003. Evaluating Silage Quality.h� p://www1. agric.gov.ab.ca. [12 Maret 2009]. Matsuhima, J.K. 1979. Feeding Beef Cattle.Sprenger Verlag, Berlin Heidelberg, New York. Pioner Development Foundation. 1991. Silage Technology. A. Trainers Manual. Pioner Development Foundation for Asia and The Pacific Inc., 15 – 24. Reksohadiprodjo, S. 1988. Pakan ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta. Siregar, S.B. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. Sugiri, J., M.S. Siahaan dan N.M. Thalib. 1981. Ransum Praktis Untuk Ternak Potong. Direktorat Bina Produksi. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Sumarsih, S., C. I. Sutrisno., B. Sulistiyanto.2009. Kajian Penambahan Tetes Sebagai Aditif Terhadap Kualitas Organoleptik dan Nutrisi Silase Kulit Pisang.Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang. Susetyo, S., I. Kismono., D. Soewardi. 1969. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Weinberg, Z.G., R.E. Muck, P.J. Weimer, Y. Chen, and M. Gamburg. 2004.Lactic acid bacteria used in inoculants for silage as probiotics for ruminants. Applied Biochemistry and Biotechnology 118: 1-10. Winarno FG. 1981. Teknologi dan Pemanfaatan Limbah Pengolahan Gula Tebu. Bogor : Pusbangtepa / FTDC. Institut Pertanian Bogor. Wirioatmodjo BK, Adi S, Soerjapoetra R. 1984. Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. 841