9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Menopause 2.1.1 Definisi Menopause Menopause dikatakan terjadi apabila selama 12 bulan haid tidak datang lagi, maka ditetapkan menopause sebenarnya. Sebelum menghadapi masa menopause secara alamiah, seseorang akan dihadapkan pada masa premenopause yang terjadi 3 – 5 tahun sebelum menopause sebenarnya. Pada tahap ini keluhan klimakterium mulai berkembang. Selanjutnya diikuti pada tahap menopause sampai akhirnya postmenopause yaitu tahap awal setelah 12 bulan tidak haid. Tahap postmenopause akan dihadapi semua wanita menopause baik yang alamiah maupun menopause dini karena insidensi tertentu. Gabungan premenopause dan postmenopause disebut masa perimenopause. Pada masa inilah terjadi keluhan yang memuncak (Reid, 2014). Klimakterium merupakan suatu masa peralihan dari kehidupan seorang wanita yang berawal sejak fungsi indung telur berkurang hingga beberapa waktu sampai berhentinya haid. Masa klimakterium ini biasa terjadi pada usia 45 – 60 tahun. Kondisi yang demikian jika terjadi pada rentang usia dibawah 45 tahun termasuk pada kondisi menopause dini (Baziad, 2003b). 2.1.2 Tahapan Menopause Tahap-tahap menopause dibagi menjadi empat yaitu tahap pramenopause, perimenopause, menopause dan post menopause. Menurut Baziad (2003b), tahap pramenopause adalah fase dimulainya menopause yang terjadi sekitar usia 40 10 tahun. Saat ini menstruasi mulai tidak teratur yang sering ditandai dengan siklus menstruasi yang memanjang, jumlah darah relatif banyak dan sering disertai dengan nyeri haid. Fase peralihan antara pramenopause dan pasca menopause disebut dengan tahap perimenopause. Gejala yang dialami pada masa perimenopause hampir sama dengan fase pramenopause. Rata-rata lama masa perimenopause adalah 4 – 5 tahun, namun kadang-kadang bisa bervariasi antara beberapa bulan hingga mencapai 10 tahun (Mayer et al., 2005; Curran, 2009). Masa perimenopause berakhir dalam waktu 1 tahun setelah dimulainya menopause (Curran, 2009). Gambar 2.1 Tahapan Menopause (Dikutip dari Stöppler, 2014) Menopause merupakan masa berakhirnya menstruasi, dimana seorang wanita tidak mengalami menstruasi selama 1 tahun (12 bulan) penuh, dengan syarat masih memiliki uterus, tidak sedang hamil, ataupun menyusui. Fase setelah menopause disebut dengan pasca menopause. Pada fase ini ovarium sudah tidak 11 berfungsi sama sekali karena folikel-folikel yang mengalami atresia. Hal ini akan menyebabkan penurunan kadar hormon estrogen, progesteron, dan testosteron yang berdampak pada munculnya keluhan-keluhan post menopause (Reid, 2014). 2.1.3 Etiologi Menopause Berdasarkan penyebabnya, ada dua tipe menopause yaitu menopause fisiologis dan artifisial menopause (DeCherney dan Nathan, 2003). a. Menopause Fisiologis Menopause secara alami terjadi karena penurunan aktivitas ovarium yang diikuti dengan penurunan produksi hormon reproduksi. Pada saat lahir, bayi perempuan memiliki 1 – 2 juta oosit, dan pada saat pubertas jumlah ini berkurang menjadi 300.000 sampai 500.000 (DeCherney dan Nathan, 2003). Penurunan jumlah folikel terus berlanjut sampai akhirnya folikel-folikel ovarium mengalami atresia yang berakibat pada terhentinya siklus menstruasi. b. Artifisial Menopause 1) Menopause karena operasi. Ini terjadi akibat proses pembedahan, diantaranya operasi rahim (histerektomi) dan pengangkatan kedua indung telur (oophorectomy bilateral). Kondisi ini sering disingkat dengan istilah TAHA/BSO. Bila rahim diangkat dan dinding telur tetap dipertahankan maka masa haid berhenti namun gejala menopause tetap berlangsung ketika wanita tersebut mencapai usia menopause alami. Itu artinya wanita tersebut akan tetap mengeluhkan rasa ketidaknyamanan seperti keringat berlebih, panas yang 12 dirasakan ditubuh dan kesulitan tidur pada dirinya saat usianya mencapai masa klimaterium atau pada kisaran usia 40 tahun ke atas. 2) Menopause karena kondisi medis. Kemoterapi karena menderita kanker seringkali berakibat pada kondisi menopause dini sementara ataupun permanen. Obat – obatan anti kanker dinilai mempengaruhi produksi hormon yang diproduksi oleh indung telur. Tidak hanya itu, perilaku dan kebiasaan mengkonsumsi obat – obatan anti hipertensi, reumatik dan jantung akan mempercepat datangnya masa menopause. Obat – obatan ini diduga akan memberikan efek penekanan produksi hormon – hormon reproduksi (Nirmala, 2003). 2.1.4 Patofisiologi Menopause Menopause secara alami terjadi karena penurunan aktivitas ovarium yang diikuti dengan penurunan produksi hormon reproduksi. Ini terjadi secara alamiah. Seorang wanita secara spontan telah memiliki folikel atau indung telur dari sejak lahir. Namun, folikel – folikel ini matang dan bekerja untuk menghasilkan sel telur pada saat memasuki usia pubertas yang ditandai dengan proses menstruasi. Seiring dengan hal tersebut, granulose secara otomatis menghasilkan estrogen yang merupakan salah satu hormon reproduksi wanita. Estrogen tadi akan memaksa folikel untuk mengeluarkan sel telur, keluarnya sel telur dari korpus luteum ini akan meningkatkan produksi estrogen dan progesteron. Progesteron sendiri menyiapkan tempat pembuahan dengan menebalkan dinding endometrium. Setiap bulannya jika sel telur tidak jadi dibuahi, akan membuat dinding endometrium yang menebal tadi luruh. Luruhnya dinding endometrium 13 dibuktikan dengan keluarnya darah melalui lubang vagina dan inilah yang disebut menstruasi. Ketika ovarium tidak lagi produktif, folikel yang dihasilkan berkurang maka rangsangan produksi hormon estrogen dan progesteron pun berangsur – angsur menurun. Kondisi ini yang semakin lama mencapai titik pada masa klimakterium dengan keadaan menopause (Nirmala, 2003). 2.1.5 Tanda dan Gejala Klinis Menopause Menopause ternyata memberi pengaruh ketidaknyamanan. Gejala menopause dapat dikelompokkan menjadi gejala vasomotor, gejala urogenital, dan gejala psikologis. Berikut dikemukakan beberapa gejala yang sering muncul pada kondisi menopause, antara lain: 1) Hot flashes Hot flashes yaitu perasaan panas, gerah bahkan rasa seperti terbakar pada area wajah, lengan, leher, dan tubuh bagian atas serta munculnya keringat berlebih khususnya pada malam hari. Kondisi ini adalah kondisi yang paling sering dikeluhkan dan menjadi pemberat utama dalam menghadapi masa klimakterium (Reid, 2014). 2) Kesulitan Tidur Kesulitan tidur sepanjang malam dengan atau tanpa gangguan keringat. Kesulitan tidur ini bisa terjadi karena kegelisahan akibat perubahan faal tubuh atau mungkin keinginan BAK yang datang lebih sering dari biasanya. Kesulitan tidur yang dialami wanita akan berakibat buruk pada status kesehatannya, dimana wanita tersebut akan tampak lemah dan pucat (Elisabeth, 2005). 14 3) Nafsu Makan Bertambah Nafsu makan bertambah, sehingga wanita tersebut kelihatan lebih gemuk ditambah lagi pelebaran pada bagian pinggul, pinggang dan paha. Belum disadari benar mengapa keinginan makan pada wanita perimenopause meningkat. Diduga, lemak tubuh akan diolah untuk terus menghasilkan estrogen sehingga keinginan makan akan bertambah untuk mensubtitusi pemecahan lemak tubuh tadi (Reid, 2014). 4) Kerontokan Rambut Kerontokan rambut membuat menipisnya rambut di kepala, kemaluan dan seluruh tubuh. Namun bulu – bulu pada area wajah meningkat. Hal ini sejalan dengan berkurangnya produksi kelenjar dan lapisan lemak pada kulit (Elisabeth, 2005). 5) Vagina Kering Vagina kering akibatnya sakit saat melakukan hubungan seks. Keringnya vagina dapat terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen yang secara berangsur – angsur meminimalkan pengeluaran cairan vagina. Selain itu otot – otot vagina juga semakin kendur dan daya kontraksinya lebih rendah. Hal ini secara tidak langsung nantinya berdampak pada menurunnya libido (Reid, 2014). 6) Inkontenensia Inkontenensia yaitu sulitnya menahan BAK terutama dalam kondisi bersin, tertawa, dan terkejut. Ini mengindentifikasikan hilangnya kelenturan otot halus. Kondisi seperti ini lebih memberatkan saat malam hari karena mengganggu aktivitas istirahat dan tidur (Reid, 2014). 15 7) Gangguan pada Kulit dan Ekstremitas Gangguan pada kulit dan ekstremitas adanya gelenyar – gelenyar pada kaki dan tangan yang diakibatkan kurangnya vitamin B12, perubahan kelenturan pembuluh darah dan menipisnya kadar potassium dan kalsium. Juga kondisi kulit kering dan pecah – pecah (Nugroho, 2000). Selain gejala fisik seperti yang dikemukakan di atas, terdapat pula gejala psikis yang menonjol pada wanita menopause seperti : mudah tersinggung, susah tidur, kecemasan, gangguan daya ingat, stress, depresi, tertekan, gugup dan kesepian. Ada juga wanita yang kehilangan harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka merasa tidak dibutuhkan suami dan keluarga. Semua tanda dan gejala diatas mulai datang pada waktu yang lebih awal yaitu sekitar 3 – 5 tahun sebelum menopause atau sebanding dengan usia 40 – 45 tahun (Reid, 2014). 2.2 Atrofi Vagina 2.2.1 Struktur dan Anatomi Vagina Vagina merupakan struktur jaringan fibromuskular yang menghubungkan genetalia eksternal dan uterus. Vagina dilapisi oleh epitel skuamosa yang tidak mengalami keratinisasi dan panjangnya sekitar 8 – 12 cm. Vagina memproteksi organ genetalia internal dari infeksi asending, membentuk bagian dari jalan lahir, dan menerima penis saat kopulasi (Ginger dan Yang, 2011). Sepertiga bagian proksimal vagina terdapat pada bagian lateral forniks vagina, sepertiga bagian tengah terletak pada dasar vesika urinaria, dan sepertiga bagian bawah terletak dekat dengan uretra. Jaringan epitelium skuamosa vagina 16 sangat rentan terhadap efek hormonal. Jaringan epitelium terdiri dari 30 lapisan sel pada wanita usia reproduktif, tapi pada masa anak-anak dan menopause, jaringan epitelium hanya terdiri dari beberapa lapis sel. Vaskularisasi vagina disuplai oleh cabang arteri uterina dan juga cabang dari arteri rektal, vesikal dan pudendal. Limfe dialirkan dari vagina menuju iliaka, sakrum, dan nodus paraaortik dari dua pertiga bagian atas vagina; dan menuju nodus inguinal dan anorektal dari sepertiga bagian bawah vagina dan vestibulum (Ginger dan Yang, 2011). 2.2.2 Definisi Atrofi Vagina Atrofi urogenital merupakan kondisi medis yang kronik dan progresif yang berhubungan dengan kerusakan dan keringnya jaringan, yang berkontribusi pada atrofi vaginitis, dan mungkin menyebabkan keluhan seksual. Atrofi vaginitis disebabkan oleh penurunan estrogen, yang menghasilkan baik keluhan vaginal maupun saluran urinaria. Saluran genetalia dan traktus urinaria wanita berasal dari sinus urogenital, dan disana terdapat reseptor progesteron maupun estrogen dalam jumlah banyak, baik di daerah vagina, uretra, kandung kemih, otot pubococcygeal, dan otot dasar panggul lainnya (Zaspel dan Hamm, 2007). 2.2.3 Etiologi Atrofi Vagina Penyebab umum defisiensi estrogen adalah menopause alamiah, pembedahan atau bahan kimia yang menginduksi menopause dini dan premature ovarian failure. Wanita muda mungkin mengalami atrofi vagina sekunder akibat dari anoreksia, bulimia, amenorhea yang berhubungan dengan olahraga yang berlebihan, laktasi, kemoterapi atau radiasi (Krychmann, 2006). 17 Atrofi vagina dialami oleh lebih dari 75% wanita menopause. Walaupun prevalensi atrofi vagina sangat tinggi, namun hanya sedikit wanita menopause yang melakukan pengobatan karena merasa malu, budaya yang masih tabu, atau kepercayaan bahwa keluhan tersebut merupakan hal yang wajar terjadi akibat proses penuaan (Krychmann, 2006). 2.2.4 Patofisiologi Atrofi Vagina pada Menopause Reseptor estrogen telah diidentifikasi di dalam vagina, kandung kemih, uretra, otot dasar panggul, dan fasia endopelvik. Struktur-struktur ini memiliki respon hormonal yang sama, termasuk kerentanan terhadap pemberian regimen estrogen yang diberikan saat menopause (Johnston, 2004). Atrofi urogenital melibatkan penurunan ukuran uterus, ovarium, kanal vaginal, dan vulva. Atrofi vagina merupakan salah satu perubahan yang terjadi akibat dari menopause. Komponen jaringan ikat dinding vagina, termasuk kolagen, elastin, dan otot polos, semuanya mengalami degenerasi. Epitelium vagina menjadi lebih tipis dan produksi glikogen menurun. Aliran darah menuju vagina berkurang dan berkaitan dengan penurunan transudasi selama sexual arousal dan peningkatan kerentanan terhadap trauma dan nyeri. Jumlah Lactobacilli menurun dan pH vagina meningkat, menyebabkan lingkungan vagina lebih rentan terhadap kolonisasi bakteri patogen. Panjang dan diameter vagina berkurang, forniks dan lipatan-lipatan (ruggae) vagina menghilang. Perubahanperubahan ini menyebabkan keluhan yang bervariasi, yang merupakan konsekuensi dari penurunan kadar estrogen saat menopause (Johnston, 2004). 18 2.2.5 Tanda dan Gejala Klinis Atrofi Vagina Gejala atrofi vaginal dibedakan menjadi dua yaitu gejala urinaria dan gejala vaginal. Gejala urinaria terdiri dari meningkatnya frekuensi, urgensi, inkontinensia dan infeksi. Gejala vaginal berupa vagina kering, dispareunia, perdarahan bercak atau spotting, pruritus, nyeri, atau adanya discharge yang berbau tak sedap. Gejala-gejala ini bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan gairah seksual (Johnston, 2004). Pada pemeriksaan genital akan didapatkan hasil berupa jaringan epitelium yang pucat, halus, dan tipis yang sangat rapuh; dan kemungkinan akan berdarah saat disentuh dengan keras. Lubrikasi vagina akan menurun, dan sering terdapat petekiae. Mukosa vagina akan terlihat datar dan pucat, karena tidak adanya rugae normal, lipatan, atau lekukan vagina. Jaringan vagina akan kehilangan kelenturannya, elastisitas, dan kemampuan untuk memanjang. Beberapa pasien mengeluhkan berkurangnya ukuran vagina, khususnya jika pasien menderita prolaps organ pelvik. Genetalia eksternal kemungkinan juga mengalami perubahan, adanya rambut pubis yang jarang, penyusutan klitoris, stenosis introitus, dan penyatuan labia minora atau labia mayora (Krychmann, 2006). 2.2.6 Penanganan Atrofi Vagina Penatalaksanaan atrofi vaginal tergantung dari keluhan spesifik yang dialami oleh pasien. Saat wanita mengalami gejala atrofi vagina, pilihan penatalaksanaan terdiri dari perubahan gaya hidup, terapi non hormonal (lubrikan atau pelembab vagina), dan terapi hormonal baik lokal maupun sistemik (Johnston, 2004). 19 a. Modifikasi Gaya Hidup Sejak penurunan kadar estrogen merupakan penyebab primer atrofi vulvovagina, faktor gaya hidup yang mempercepat penurunan estrogen harus dihindari. Merokok menyebabkan peningkatan metabolisasi estrogen dan berhubungan dengan tingginya kejadian osteoporosis dan juga atrofi vagina. Aktivitas seksual ( koitus ) yang teratur dan reguler akan mencegah terjadinya atrofi urogenital, karena adanya peningkatan aliran darah ke organ pelvik. Masturbasi juga menunjukkan peningkatan aliran darah genital pada wanita menopause dan dapat membantu mempertahankan kesehatan urogenital (Johnston, 2004). b. Terapi Non Hormonal Pelembab atau pelumas vagina yang diaplikasikan secara reguler memiliki efektifitas yang sama dengan terapi sulih hormon dalam menurunkan gejala urogenital seperti rasa gatal, iritasi, dan dispareunia; dan dapat digunakan oleh wanita yang tidak boleh menggunakan terapi sulih hormon (Johnston, 2004). c. Terapi Hormonal Wanita yang mengalami atrofi vagina dapat dianjurkan untuk menggunakan terapi sulih hormon berupa vaginal estrogen seperti krim estrogen, intravaginal estradiol ring, atau tablet estrogen dosis rendah (Johnston, 2004). 2.3 Terapi Sulih Hormon Menopause merupakan peristiwa normal dan alamiah yang pasti dialami setiap wanita dan kejadiannya tidak dapat dicegah sama sekali, dan pemberian terapi sulih hormon tidak ditujukan untuk mencegah terjadinya menopause, 20 melainkan hanya ditujukan untuk mencegah dampak kesehatan akibat menopause tersebut, baik keluhan jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah kesehatan yang timbul pada wanita menopause atau pasca-menopause disebabkan kekurangan hormon estrogen, maka pengobatannya pun adalah dengan pemberian hormon pengganti estrogen yang dikenal dengan istilah Terapi Pengganti Estrogen atau Estrogen Replacement Therapy (ERT). Pemberian estrogen ini biasanya dikombinasikan dengan pemberian hormon progesteron, maka dikenal istilah Terapi Pengganti Hormon (TPH) atau Terapi Sulih Hormon (TSH) atau Hormone Replacement Therapy (HRT) (Simon,2010). 2.3.1 Hormon Estrogen 2.3.1.1 Struktur, Sintesis, dan Sekresi Estrogen Hormon estrogen dihasilkan oleh ovarium. Ada banyak jenis hormon estrogen tapi jenis estrogen yang paling banyak diproduksi dan yang paling aktif adalah estradiol (Reid, 2014). Estrogen dikenal sebagai hormon kewanitaan yang utama bersama dengan progesteron karena memiliki peranan penting dalam perkembangan seks sekunder wanita, reproduksi, dan juga berperan dalam fungsi organ non genetalia seperti tulang, jantung, pertumbuhan rambut, dan lainnya. Estrogen merupakan hormon steroid dengan 10 atom karbon (C) dan dibentuk terutama dari 17-ketosteroid androstendion. Estrogen alami yang terpenting adalah estradiol (E2), estron (E1), dan estriol (E3). Secara biologis, estradiol adalah jenis hormon estrogen yang paling aktif dan potensial. Perbandingan potensial biologis ketiga jenis hormon estrogen yaitu estradiol, estron, kemudian estriol (Speroff et al., 2005). 21 Estrogen disekresikan pada awal siklus menstruasi karena respon dari LH dan FSH. Sintesis estrogen terjadi saat perkembangan folikel ovarium, baik pada sel teka maupun sel granulosa. Luteinizing Hormone (LH) akan merangsang selsel teka agar mengubah kolesterol menjadi androgen yang kemudian berdifusi ke dalam sel-sel granulosa melalui membran dasar. Sel-sel granulosa yang dirangsang oleh FSH akan mengaktifkan enzim aromatase untuk mengubah androgen menjadi estrogen. Sebagian estrogen akan tetap berada di folikel ovarium untuk pembentukan antrum, dan sebagian lainnya akan disekresikan ke dalam darah yang nantinya akan berikatan dengan protein albumin atau SHBG menuju sel target (Speroff et al., 2005). Gambar 2.2 Sintesis Hormon Estrogen (Dikutip dari Pepe et al., 2015) Selain di ovarium, estrogen juga disintesis oleh kelenjar adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak dan susunan saraf pusat dalam jumlah yang relatif kecil. Menurunnya fungsi ovarium pada wanita menopause akan menyebabkan 22 penurunan kadar hormon estrogen yang drastis di dalam darah karena ovarium adalah organ utama pembentuk estrogen (Speroff et al., 2005). Vagina merupakan salah satu organ wanita yang sangat tergantung estrogen sampai usia dewasa. Penurunan kadar estrogen pada masa menopause akan mempengaruhi integritas struktural vagina yang berdampak pada hilangnya lubrikasi (sexual arousal) (Pessina et al., 2006). 2.3.1.2 Penurunan Kadar Hormon Estrogen Menopause merupakan keadaan yang identik dengan penurunan produksi estradiol ovarium. Walaupun beberapa produksi estrogen perifer yang merupakan konversi dari androstenedione menjadi estron terjadi di jaringan adiposa, namun penurunan kadar estrogen terjadi dengan cepat selama masa transisi menopause. Estrogen sangat berperan dalam struktur dan fungsi genital normal, dimana aksinya dimediasi oleh reseptor estrogen yang terdapat di sel epitelium, sel endotelial, dan sel otot polos genetalia. Reseptor estrogen dalam jumlah banyak ditemukan pada daerah vagina, vulva, vestibulum, labia, dan uretra yang mengindikasikan pemeliharaan bahwa fungsi dan genetalia tersebut strukturnya. memerlukan Penurunan kadar estrogen estrogen untuk akan menyebabkan jaringan genetalia tersebut menjadi rentan mengalami atrofi. Perubahan atrofi dapat diidentifikasi setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen (Goldstein dan Alexander, 2005). Atrofi vagina sekunder karena penurunan kadar estrogen berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi seksual. Salah satu konsekuensi atrofi vagina adalah 23 perubahan keasaman pH vagina yang memicu pertumbuhan bakteri patogen. Pada lingkungan yang kaya estrogen, flora normal vagina menghidrolisis glikogen dari sel epitelium yang mengelupas menjadi glukosa, yang kemudian dimetabolisme menjadi asam laktat. Pada wanita post menopause, penipisan jaringan epitel menyebabkan penurunan ketersediaan glikogen untuk proses ini. Penurunan produksi glikogen akan berdampak pada perubahan pH vagina ke arah netral atau basa sehingga terjadi perubahan flora vagina dan peningkatan discharge vagina yang berbau tak sedap (Goldstein dan Alexander, 2005). Jaringan epitelium, vaskular, muskular, dan jaringan ikat vagina yang mengalami atrofi menyebabkan vagina menjadi pucat, dengan hilangnya lipatanlipatan (rugae) yang biasanya ditemukan pada vagina yang terpapar estrogen. Atrofi pada lamina propia pembuluh darah akan mengurangi aliran darah ke jaringan, dan hal ini akan menyebabkan penurunan lubrikasi dan vagina kering; tingkat kekeringan vagina menjadi semakin berat seiring dengan semakin lamanya wanita tersebut menopause. Penipisan lapisan jaringan epitel meningkatkan kerapuhan dan penurunan elastisitas jaringan vagina. Ketika aktivitas koitus terjadi saat kondisi defisiensi estrogen, maka vagina akan menjadi memendek dan menyempit, terlebih lagi terjadi penurunan lubrikasi dan elastisitas, akan menyebabkan aktivitas seksual menjadi menyakitkan, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan (Freedman, 2002 ; Kovalevsky, 2004). Defisiensi estrogen juga menyebabkan penurunan sensasi vestibular terhadap stimulus getaran, panas, dan dingin. Penurunan sensasi vestibular mungkin juga berkontribusi terhadap penurunan intensitas orgasme. Defisiensi 24 estrogen yang persisten juga akan menyebabkan penurunan aliran darah yang berdampak kurang baik pada jaringan urogenital lainnya. Tudung klitoris akan menjadi phimotic, dan klitoris menjadi atrofi. Perubahan lainnya termasuk penipisan rambut pubis, atrofi dan penyusutan labia mayora dan minora dengan penurunan jaringan lemak subkutaneus dan elastisitas kulit; yang umum dirasakan oleh wanita yang mengalami gatal karena atrofi jaringan. Jaringan endoserviks memproduksi mukus dalam jumlah yang sedikit, yang berkontribusi pada keringnya vagina. Defisiensi juga berdampak kurang baik pada kandung kemih; wanita sering mengeluhkan disuria, peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, inkontinensia, dan infeksi traktus urinaria post coital (Goldstein dan Alexander, 2005). Terdapat hubungan yang kuat antara kadar estradiol, atrofi vagina, dan dispareunia. Dibandingkan dengan wanita yang memiliki kadar estradiol serum diatas 50 pg/mL, secara signifikan lebih banyak wanita dengan kadar estradiol dibawah 50 pg/mL melaporkan vagina kering, dispareunia, dan nyeri selama aktivitas seksual. Terlebih lagi, penurunan aktivitas koitus berhubungan dengan kadar estradiol dibawah 35 pg/mL (Goldstein dan Alexander, 2005). Perkembangan atrofi vagina, vagina kering, dan dispareunia sering menyebabkan keengganan untuk melakukan seksual intercourse karena takut merasakan nyeri saat hubungan seksual. Defisiensi estrogen akan memperpanjang waktu untuk mencapai vasokongesti vagina, dimana hal ini akan menyebabkan lubrikasi vagina yang inadekuat serta penurunan intensitas dan frekuensi kontraksi uterus dan vagina selama orgasme. Rendahnya aktivitas seksual akan 25 memperberat atrofi vagina, dispareunia, dan memicu keengganan, kecemasan, dan penurunan gairah seksual (Goldstein dan Alexander, 2005). 2.3.1.3 Peran Hormon Estrogen terhadap Integritas Struktural Vagina Jaringan penyusun vagina dibedakan menjadi jaringan epitelium, jaringan muskularis, jaringan vaskular, dan jaringan ikat (Ginger dan Yang, 2011). Dalam menjalankan fungsinya untuk mempertahankan keasaman pH vaginal, lubrikasi, pemanjangan dan pelebaran saat intercourse, serta kontraksi ritmik saat sensasi orgasme; jaringan epitelium, vaskular, dan muskular harus bersinergi dengan baik. Hormon estrogen sangat berperan dalam pemeliharaan fungsi dan struktur jaringan vagina (Pessina et al., 2006). Pemberian terapi sulih hormon estrogen memberikan perubahan yang besar pada morfologi jaringan vagina hewan coba yang diovarektomi. Lebih menarik lagi, dosis estradiol subfisiologis memberikan efek yang lebih baik pada beberapa parameter dibandingkan dengan kelompok kontrol. Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kim et al. (2004) menunjukkan bahwa reseptor estrogen mengalami peningkatan regulasi pada vagina hewan coba yang diovarektomi dan peningkatan ekspresi reseptor estrogen merupakan suatu mekanisme kompensasi yang dipertahankan pada hewan coba yang diovarektomi agar dapat mengikat estradiol dosis subfisiologis. Peningkatan ekspresi reseptor dengan pemberian hormon eksogen mungkin bertanggung jawab terhadap peningkatan efek proliferasi estradiol. Ketika estradiol dosis fisiologis atau suprafisiologis diberikan pada hewan yang diovarektomi, jaringan vagina tampak sama dengan kelompok kontrol yang mengindikasikan efek estradiol pada vagina tergantung 26 dosis. Data ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Forsberg (1995) bahwa estrogen dosis rendah lebih efektif pada vagina, dimana dosis estrogen yang lebih tinggi akan memiliki efek yang lebih kuat pada uterus. Hewan coba yang diovarektomi yang diterapi dengan estrogen dosis subfisiologis menunjukkan peningkatan aliran darah yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Pessina et al., 2006). Serat otot polos dikemas menjadi bundel, yang dipisahkan satu sama lain oleh septum jaringan ikat halus. Bundel otot polos ditemukan paling banyak di bagian atas vagina, sedangkan pada bagian bawah vagina, bundel otot polos lebih kecil. Empat minggu setelah ovarektomi, terdapat penurunan area muskularis, dan terdapat jaringan ikat halus yang lebih banyak diantara bundel otot. Pada hewan coba yang diberikan estrogen dosis subfisiologis ditemukan adanya peningkatan area muskularis yang signifikan, dimana serat otot lebih besar dan lebih sedikit jaringan ikat diantara bundel otot dibandingkan dengan kelompok kontrol (Pessina et al., 2006). Pembuluh darah merupakan struktur yang komplek, dengan dinding yang mengandung sel otot polos dan sel endotelial. Sel otot polos dan endotelial vaskular mengikat estrogen dengan afinitas yang tinggi, dan reseptor estrogen α telah diidentifikasi terdapat pada pembuluh darah baik wanita maupun pria, dan juga pada sel myokardium. Estrogen meningkatkan vasodilatasi dan menghambat respon pembuluh darah terhadap jejas atau aterosklerosis. Efek ini dimediasi oleh aksi langsung pada sel endotelial vaskuler dan sel otot polos. Efek jangka pendek estrogen pada pembuluh darah dipercaya terjadi tanpa perubahan apapun pada 27 ekspresi gen (efek non genomik), dan efek jangka panjang estrogen melibatkan perubahan eskpresi gen (efek genomik) yang dimediasi oleh reseptor estrogen (Novella et al., 2012). Smooth muscle cells Endotelial cels Estrogen OH OH Long term effects : Decreased of athreosclerosis vascular injury, & smooth muscle cell growth Increased endothelial cell growth Rapid effects : Vasodilatasi Nitric oxide Gambar 2.3 Efek langsung hormon estrogen pada pembuluh darah (Dikutip dari Epstein et al., 1999). Estrogen mengubah konsentrasi serum lipid, sistem koagulasi dan fibrinolitik, sistem antioksidan, dan produksi molekul vasoaktif seperti nitric oxide (NO) dan prostaglandin, dimana semua hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan gangguan vaskular. Pada pembuluh darah yang normal, endotelium melepaskan NO sebagai respon terhadap berbagai stimulus yang menyebabkan vasodilatasi dan relaksasi otot polos vaskular. Pada pembuluh darah yang rusak dengan disfungsi endotelium dimana pelepasan NO berkurang, stimulus akan menyebabkan kontraksi otot polos. Pemberian estrogen dapat menyebabkan vasodilatasi jangka pendek melalui jalur endothelium-dependent maupun jalur endothelium-independent (Novella et al., 2012) . 28 Efek jangka panjang estrogen yaitu, estrogen meningkatkan ekspresi gen yang berperan penting sebagai enzim vasodilatori seperti prostasiklin sintase dan nitric oxide synthase. Selain itu, estrogen mampu mempercepat pertumbuhan sel endotelial baik secara in vivo maupun in vitro. Estrogen juga menghambat apoptosis pada kultur sel endotelial manusia. Restorasi integritas endotelial oleh estrogen berkontribusi pada penurunan respon terhadap jejas vaskular melalui peningkatan ketersediaan nitric oxide, yang secara langsung dapat menghambat proliferasi sel otot polos (Novella et al., 2012). 2.3.2 Hormon Progesteron 2.3.2.1 Struktur, Sintesis, dan Sekresi Progesteron Penelitian yang mempelajari tentang efek fisiologis hormon korpus luteum dimulai pada awal dekade abad ke-20. Beberapa kelompok penelitian mengisolasi sebuah hormon steroid dari ekstrak korpus luteum yang disebut dengan progestin di Amerika Serikat dan luteosterone di Eropa. Setelah dilakukan pertemuan, maka disepakati untuk menggunakan nama progesteron (Ruan dan Mueck, 2014). Gambar 2.4 Struktur Kimia Progesteron (Dikutip dari Ruan dan Mueck, 2014) Konsentrasi progesteron yang tinggi pada darah ditemukan pada wanita saat fase luteal dari siklus menstruasi dan pada saat kehamilan. Pada wanita yang tidak hamil dan awal kehamilan, progesteron diproduksi di dalam korpus luteum, 29 dan pada masa akhir kehamilan diproduksi oleh plasenta. Progesteron akan menginduksi transformasi sekretori endometrium dari fase proliferatif yang diinduksi estrogen (Ruan dan Mueck, 2014). Progesteron sangat diperlukan untuk implantasi embryo dan mempertahankan kehamilan, sebagai contohnya untuk pembentukan desidua dan relaksasi uterus. Progesteron merupakan komponen esensial dari regulasi sistem reproduksi wanita yang tidak hanya berfungsi pada uterus dan ovarium, tapi juga pada payudara dan sistem saraf pusat, yang dimana efeknya dimediasi melalui ikatan dengan reseptor yang spesifik. Reseptor progesteron terdapat dimana-mana, dan terdiri dari dua jenis isoform yaitu PR-A dan PR-B. Kedua reseptor progesteron ini dikode oleh gen yang sama dan memiliki sekuens yang identik kecuali pada bagian N-terminus, dimana PR-A lebih pendek 168 asam amino dibandingkan dengan PR-B (Ruan dan Mueck, 2014). Peran fisiologis utama dari progesteron yaitu : 1) pada uterus dan ovarium : pelepasan oosit yang matur, memfasilitasi implantasi embryo, dan mempertahankan kehamilan melalui pertumbuhan uterus dan mensupresi kontraksi miometrium; 2) pada kelenjar mammae : perkembangan lobus alveolar sebagai persiapan untuk sekresi susu dan mensupresi sintesis protein susu sebelum persalinan; dan 3) pada otak : memediasi sinyal yang diperlukan untuk respon seksual. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa progesteron mempunyai peran pendukung dalam memodulasi massa tulang (Ruen dan Mueck, 2014). 30 2.3.2.2 Penurunan Kadar Progesteron Progesteron merupakan hormon yang penting untuk reproduksi normal dan menstruasi, selain itu juga mempengaruhi kesehatan tulang, pembuluh darah, jantung, otak, kulit, serta jaringan maupun organ lainnya. Sebagai sebuah prekursor, progesteron digunakan oleh tubuh untuk membentuk hormon steroid lain seperti DHEA, kortisol, estrogen, dan testosteron. Terlebih lagi, progesteron berperan penting dalam pengaturan mood, keseimbangan gula darah, libido, fungsi tiroid, dan juga kesehatan kelenjar adrenal. Progesteron diproduksi secara primer pada ovarium pada wanita premenopause, dan korteks adrenal pada wanita post menopause. Pada wanita, rendahnya kadar hormon progesteron berkaitan erat dengan dysfunctional uterine bleeding (DUB) dan penurunan fungsi neurologi. Defisiensi progesteron lebih lanjut akan menyebabkan disglisemia, alopesia, jerawat, dan breast tenderness (Reid, 2014). 2.3.2.3 Peran Hormon Progesteron terhadap Integritas Struktural Vagina Pengukuran kuantitatif ketebalan jaringan epitelium hewan coba yang diovariectomy dan diterapi dengan progesteron tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, jaringan epitelium pada hewan coba yang diberikan progesteron menunjukkan stratifikasi secara parsial dibandingkan dengan hewan coba pada kelompok kontrol. Stratifikasi parsial pada jaringan epitelium menunjukkan bahwa progesteron berperan dalam mempertahankan integritas epitel. Testosteron atau progesteron yang diberikan dengan estrogen akan mengurangi proliferasi yang diinduksi estrogen. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa testosteron dan progesteron memiliki kemampuan 31 antagonis terhadap estrogen. Progesteron dan estradiol diketahui memiliki efek yang berlawanan pada uterus, dan hubungan antagonis yang serupa antara estrogen dan testosteron juga dilaporkan terjadi pada sistem organ yang lain, seperti resorpsi tulang pada pria dan ekspresi gen aromatase pada testis tikus (Pessina, et al., 2006). Gambar 2.5 Perbedaan struktur jaringan muskularis pada tikus yang diovarektomi setelah diberikan estradiol (E5), testosteron (T), dan progesteron (P) (Dikutip dari Pessina et al., 2006). 2.3.3 Hormon Testosteron 2.3.3.1 Struktur, Sintesis, dan Sekresi Testosteron Androgen merupakan hormon seks yang diproduksi baik oleh ovarium dan kelenjar adrenal pada wanita, dan oleh testis pada pria. Androgen utama pada wanita adalah hormon testosteron dan androgen adrenal. Pada wanita 50% testosteron diproduksi oleh ovarium dan kelenjar adrenal, kemudian dilepaskan secara langsung ke dalam aliran darah. Pada wanita muda, testosteron dibuat secara primer bersama dengan hormon estrogen dan progesteron oleh ovarium. Testosteron juga diproduksi pada jaringan tubuh lainnya seperti lemak tubuh dan kulit dengan mengkonversi hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang disebut dehydroepiandrosterone (DHEA) dan DHEA sulfat (DHEAS), serta androstenedione dari ovarium (Davis et al., 2012). 32 Gambar 2.6 Produksi androgen pada wanita selama usia reproduksi (Dikutip dari Monash medicine, 2015) Ovarium membentuk estrogen dengan mengkonversi testosteron menjadi estrogen. Setelah menopause, saat ovarium tidak mampu untuk melakukan fungsinya, jaringan lemak merupakan sumber utama estrogen yang dibuat dengan mengkonversi androgen adrenal menjadi jenis hormon estrogen yang lebih lemah. Testosteron dan hormon lain yang terkait seperti DHEA dan DHEAS memiliki peran fisiologis yang penting pada wanita (Davis et al., 2012). 2.3.3.2 Penurunan Kadar Testosteron Androgen sangat berperan penting dalam mempertahankan struktur dan fungsi jaringan genetalia wanita. Androgen juga berkontribusi pada fungsi fisiologis seksual dan non-seksual seperti gairah seksual dan respon orgasme, metabolisme tulang dan otot rangka, kognitif, kesejahteraan, dan suasana hati. Kadar androgen yang rendah sering menyebabkan keluhan klasik seperti penurunan libido dan fungsi seksual, dan juga menginduksi penurunan massa otot, 33 osteoporosis, hilangnya energi, perubahan mood dan depresi (Goldstein dan Alexander, 2005). Androgen disintesis di dalam ovarium dan zona retikularis kelenjar adrenal dari kolesterol dan dehydroepiandrosterone pada jaringan perifer. Kadar dehydroepiandrosterone, androstenedione, testosteron total dan testosteron bebas mulai menurun pada wanita usia 40-an dan terus menurun seiring dengan bertambahnya usia. Selama masa pre- dan perimenopause, penurunan kadar androgen ini adalah hasil dari penurunan sintesis adrenal, walaupun produksi adrenal terus menurun, sebagian besar penurunan kadar androgen pada wanita post menopause disebabkan oleh ovarian failure. Terlebih lagi, kadar sex hormone-binding globulin (SHBG), yang mengurangi ketersediaan testosteron bebas karena memiliki afinitas yang sangat tinggi terhadap testosteron, meningkat pada wanita postmenopause. Kombinasi antara penurunan sintesis androgen dan peningkatan SHBG menghasilkan penurunan testosteron bebas (Goldstein dan Alexander, 2005). 2.3.3.3 Peran Hormon Testosteron terhadap Integritas Struktural Vagina Pemberian testosteron dosis fisiologis pada hewan coba yang diovarektomi tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan pada area jaringan epitelium dan muskularis vagina. Testosteron atau progesteron yang diberikan bersama dengan estrogen berperan dalam menurunkan kemampuan estrogen untuk menginduksi proliferasi sel (Pessina et al., 2006). Namun, apabila testosteron diberikan dalam jumlah yang signifikan, testosteron akan mengalami aromatisasi secara lokal pada 34 vagina. Androgen juga berperan dalam memfasilitasi relaksasi otot polos vagina (Kim et al., 2004). Beberapa studi menunjukkan bahwa testosteron menginduksi relaksasi vaskular. Secara umum, banyak studi menyatakan bahwa relaksasi yang diinduksi oleh testosteron melibatkan mekanisme endothelium-independent, potassium channel-opening actions, dan efek antagonistik kalsium. Testosteron dan juga hormon seks steroid lainnya (misalnya estrogen) memodulasi pelepasan NO. Konsentrasi fisiologis testosteron dan DHT telah menunjukkan peningkatan sintesis NO endotelial melalui aktivasi kaskade extracellular-signal-regulatedkinase (ERK) dan phospatidylinositol 3-OH kinase (PI3K) (Lopes et al., 2012). Testosteron juga secara signifikan meningkatkan sintesis DNA yang mengindikasikan bahwa androgen memodulasi pertumbuhan sel endotelial vaskular. Sel endotel yang terpapar testosteron khususnya DHT akan memproduksi vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu faktor kunci yang berperan dalam angiogenesis (Sieveking et al., 2010). Terlebih lagi, testosteron pada kadar fisiologis dan melalui aktivasi reseptor androgen dapat menginduksi aktivitas proliferasi, migrasi, dan koloni ECPs yang dapat memodulasi fungsi endotelial. Selain itu testosteron juga berperan dalam mempertahankan tekanan arterial dan respon terhadap angiotensin II (Song et al., 2010). 35 Gambar 2.7 Mekanisme yang terlibat dalam regulasi fungsi vaskular oleh testosteron (Dikutip dari Lopes et al., 2012). Pada sel otot polos, relaksasi diinduksi oleh testosteron yang tergantung pada besarnya konduktans Ca2+ dan aktivasi kanal K+ (BKCa). Menopause akan menyebabkan penurunan ekspresi BKCa yang bisa dilihat dari penurunan respon vasodilatasi terhadap testosteron. Testosteron menginduksi NADPH oxidasedependent ROS generation, kemudian NO akan bereaksi dengan anion superoksida membentuk peroksinitrit. Hal ini akan menyebabkan penurunan ketersediaan NO dan respon vasodilator. Testosteron juga menstimulasi jalur COX-1 / COX-2 dan ET-1. Pada sel endotelial, melalui aktivasi enzim P450 aromatase, testosteron bisa dikonversi menjadi estrogen. Aktivasi estrogen dan reseptor androgen memodulasi fungsi endotelial melalui mekanisme yang melibatkan pelepasan NO oleh NO sintase (Lopes et al., 2012). 36 Penurunan vasorelaksasi akibat penurunan hormon testosteron dan estrogen pada wanita menopause akan berdampak pada buruknya lubrikasi vagina. Lubrikasi vagina yang inadekuat akan menyebabkan aktivitas seksual menjadi menyakitkan, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kualitas hidup wanita menopause (Goldstein dan Alexander, 2005). Penelitian menunjukkan bahwa pemberian testosteron secara lokal pada vagina wanita post menopause dengan dosis 300 μg/hari dapat mengurangi dispareunia tanpa meningkatkan kadar testosteron dalam darah (Davis et al., 2012). 2.4 Hewan Coba 2.4.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Penelitian ini menggunakan tikus putih betina dewasa sebagai hewan percobaan karena tikus putih betina dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil dan dikontrol secara ketat. Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak bersifat photophobia seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitas tikus putih tidak terganggu oleh adanya manusia disekitarnya. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit (Estina, 2010). Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut : Filum : Chordata 37 Subfilum : Vertebrae Classis : Mamalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Gambar 2.8 Rattus norvegicus (Dikutip dari Estina, 2010) 2.4.2 Kriteria Tikus Putih Post Ovarektomi Pada percobaan ini, tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa dibuat menjadi menopause dini dengan tindakan ovarektomi. Ovarektomi merupakan adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan, dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen. Hilangnya ovarium akan menyebabkan penurunan kadar hormon seks steroid yaitu hormon estrogen, progesteron, dan testosteron. Kadar normal hormon seks steroid pada tikus betina dewasa yaitu, estradiol 36,8 ± 5,9 pg/ml ; testosteron 139,2 ± 26,2 pg/ml. Sedangkan pada tikus betina yang diovarektomi kadar hormonnya menurun menjadi, estrogen 13,4 ± 1,3 pg/ml dan testosteron 31,3 ± 14,3 pg/ml (Pessina et al., 2006).