Selingkuhan Baru Bernama Cybersex Indah S. Hutauruk Intisari edisi khusus: Healthy Sexual LIfe Seperti kantung ajaib Doraemon, internet menyediakan banyak hal kebutuhan umat manusia. Salah satunya kebutuhan birahi. Jangan beranggapan, karena bersifat virtual, itu akan aman-aman saja. Memang tidak akan terkena penyakit menular seksual misalnya, tapi tetap saja dapat menganggu keharmonisan sebuah rumah tangga. “kami telah menikmati kehidupan perkawinan yang bahagia selama 10 tahun. Namun, sejak kami membeli komputer, saya mulai tidur sendirian. Sementara suami saya asyik berbicara dengan semua tipe wanita di chat room. Kami berada di ambang perceraian. Salahkah saya bila kemudian cemburu dengan komputer”. Begitulah keluh kesah seorang istri di sebuah situs cybersex di internet tentang akibat hadirnya teknologi informasi maya itu dalam kehidupan keluarganya. Wanita itu tidak sendirian. Ada banyak korban seperti dia yang berada dia ambang kehancuran rumah tangga, bahkan akhirnya bercerai. Yang jadi korban biasanya wanita. Secara kelakar, mereka diolok-olok sebagai cyber widow, janda siber (Intisari, Januari 2000). Kasus di atas terjadi di negara tetangga, tapi bukan berarti di Indonesia tidak ada. Keranjingan situs sex tidak hanya menyerang suami, tapi juga istri, termasuk mengoleksi klip-klip video hot buat pemanasan menjelang berhubungan intim. Tapi selama tidak menganggu keharmonisan hubungan suami istri, hal itu tidak menjadi masalah. Jika sudah sampai tahap seperti cerita ilustrasi di atas, itu persoalan. Tak bisa dipungkiri, internet telah berkembang dengan pesat sejak pertama kali digunakan dalam bisnis maupun kepentingan pribadi sebagai sarana untuk mencari ataupun bertukar informasi. Saat ini rasanya sulit sekali untuk menyebutkan hal-hal yang tidak bias diakses lewat internet. Mulai dari mengirim surat, membeli barang atau jasa, melakukan transaksi perbankan, hingga hal-hal yang bersifat pribadi seperti berkenalan dengan teman baru, mencari jodoh, dan lain-lain. Tinggal klak-klik dan sorot sana-sorot sini semuanya beres. Akan tetapi tidak semua orang berinternet untuk berinteraksi social. Ada yang hanya menggunakannya demi urusan kantor. Kalau kita membicarakan fungsi internet secara umum, bias tersusun sebuah buku yang tebal. Karena itu, tulisan ini hanya akan melihat fenomena interaksi interpersonal melalui internet secara umum dan interaksi seksual khususnya . Cinta dan seks merupakan dua hal penting dalam kehidupan manusia. Karenanya, isu soal cinta dan seks akan selalu muncul dalam problem kehidupan manusia. Pun begitu, ada perbedaan mencolok setiap individu dalam menyikapi dua hal itu. Umumnya, individu lebih terbuka mengenai kehidupan asmara mereka dibandingkan dengan detail kehidupan seksualnya. Karena itu, pemahaman kita tentang seksualitas manusia lebih terbatas dibandingkan dengan hubungan interpersonal. Seksualitas tetap agak tertutup, bahkan pada beberapa kalangan masih penuh dengan stigma ataupun hal yang tabu. Namun karena seks adalah salah satu kebutuhand asar manusia selain makan dan minum, maka individu akan tetap mencari saluran untuk pemuasan kebutuhan itu. Revolusi seksual yang baru telah mulai dengan perkembangan teknologi elektronik sekarang ini,s eperti misalnya komputer. Terutama ekspansi yang cempat melalui internet. Perkembangan teknologi yang pesat itu memberikan jalan bagi orang-orang untuk saling berhuubngan dan berkomunikasi tanpa harus bertatap muka langsung. Perkembangan penggunaan internet, menurut beberapa studi diperkirakan sekitar 25% setiap tiga bulan. Sepuuh tahun yang lalu, sebagian besar orang tidak dapat membayangkan konsep online chatting ataupun berbelanja lewat internet. Hal itu memberikan gambaran seberapa cepat individu beradaptasi dan mempergunakan yang dulunya dianggap sebagai science fiction. Satu hal yang juga diketahui berkaitan dengan internet adalah bahwa seks merupakan factor utama dalam perkembangan, aktivitas, dan minat terhadap internet. Mengapa seks bias merupakan factor utama? Hal itu tidak lepas dari karakteristik berhubungan lewat internet. Seperti sudah disinggung sebelumnya, individu kurang terbuka mengenai kehidupan seksualnya. Bahkan termasuk ekspresi seksual terhadap pasangannya sendiri. Biasanya hambatan itu disebabkan oleh rasa malu ataupun sungka melihat reaksi pasangan terhadap apa yang kita katakana atau kita lakukan. Dengan berinteraksi lewat internet, kita merasa lebih bebas dan tidak perlu merasa malu atas reaksi orang lain. Kita dapat bebas mengekspresikan perasaan, emosi, maupun seksualitas kita tanpa harus membuka jati diri kita yang sebenarnya. Perasaan bebas dari rasa malu itu membuat orang merasa lebih nyaman untuk menekspresikan seksualitas ataupun imajinasi seksualnya. Tidak perlu ada rasa malu atau takut karena sifat internet yang anonim. Orang dapat menyembunyikan jati diri atau bahkan membentuk jati diri baru lewat internet. Yang selama ini tersimpan atau dikontrol oleh norma-norma social ataupun agama yang ada, dapat tersalurkan melalui dunia internet. Misalnya, melakukan komunikasi atau berbincang-bincang dalam chat-room yang memiliki topik sesuai dengan minat seseorang. Untuk mengetahui dan mengenali lebih lanjut tentang fenomena ini, kita perlu menggunakan istilah seragam. Cybersex itu sendiri sebenarnya bagian atau subkategori dari Online Sexual Activity (OSA). Definisi dari OSA itu sendiri adalah penggunaan internet untuk berbagai jenis aktivitas (termasuk di dalamnya dokumen berbentuk teks, audio, maupun grafis) yang melibatkan seksualitas dengan tujuan untuk rekreasi, hiburan, eksplorasi, dukungan, pendidikan, usaha untuk mendapatkan dan mempertahankan pasangan seksual ataupun romantik, dan sebagainya. Definisi cybersex adalah penggunaan media internet untuk menjalin aktivitas yang memuaskan secara seksual, seperti melihat gambar, berpartisipasi dalam ruang chat seksual, bertukar gambar-gambar ataupun e-mail sensual, berbagi fantasi melalui internet yang melibatkan aktivitas seksual bersamaan seperti misalnya bermasturbasi dan masih banyak lagi. Kata kunci dari definisi cybersex itu ialah adanya kepuasan seksual yang didapat dengan melakukan aktivitas tersebut. OSA juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang berkaitan dengan OSA disebut dengan Online Sexual Problems (OSP). Masalah-masalah yang masuk dalam kategori OSP meliputi masalah finansial akibat biaya akses internet yang berlebihan, masalah hokum, pekerjaan, dan hubungan. Masalah-masalah itu juga dapat berkisar antara satu peristiwa sampai suatu pola pelibatan yang eksesif. Konsekuensinya dapat melibatkan perasaan bersalah, kehilangan pekerjaan, putusnya hubungan, dan lain-lain. Salah satu yang termasuk OSP adalah Online Sexual Compulsivity (OSC), sebuah perlaku OSA yang eksesif atau berlebihan yang mempengaruhi pekerjaan, kehidupan social, dan/atau dimensi rekreasional dari kehidupan seseorang. Selain itu, ada juga indikasi hilangnya kemampuan untuk mengontrol perilaku mereka untuk melaukan aktivitas OSA dan/atau meminimalisasi konsekuensi yang mungkin timbul (Cooper, 1998). Berangkat dari sifat komunikasi lewat internet yang anonim dan relatif aman, OSA semakin banyak dilakukan. Orang asing salin “bertemu: dan mengembangkan hubungan seksual online. Internet menyediakan ruangan chat kelompok maupun individu, situs untuk kencan, dan teknologi hubungan audio-visual yang menantang konsep pendekatan interpersonal yang tradisional. Kesempatan untuk berinteraksi onleine secara romantis, menggoda, dan seksual menciptakan norma social yang baru. Budaya yang baru mulai muncul. Ketika seksualitas digabungkan dengan kebebasan komunikasi berbasis teknologi dalam bentuk baru, Anda akan merasakan bahwa perasaan itu bahkan lebih menyenangkan daripada pengalaman seksualitas pada masa lalu. Tidak dibatasi dengan perbedaant empat, bahasa, budaya, agama, sosial, atau apa yang dikenal dengan perbedaan umum, percumbuan online dapat berkembang cepat menjadi ketidaksetiaan cyber. Beberapa orang meluangkan banyak energi ketika online sehingga terkadang merasakan bahwa mereka hidup dalam dua dunia, online dan offline. Mereka mungkin saja memiliki pasangan dalam kedua dunia itu. Karena itu, muncul fenomena baru, yaitu perselingkuhan melalui internet. Beberapa pasangan mempertanyakan ataupun ada juga yang berusaha mencari pembenaran atas perilaku itu. Bagi si pelaku, pertanyaan yang muncul adalah “Apakah ini termasuk perselingkuhan? Saya ‘kan tidak melakukan apa-apa, hanya chatting. Bahkan saya tidak memberikan jati diri saya yang sebenarnya.” Sementara pasangannya mungkin akan mengatakan, “Tentu saja itu perselingkuhan karena sudah mengganggu hubungan yang nyata dengan pasangan yang nyata.” Seperti yang sudah disebut sebelumnya, perilaku OSA sudah sangat menganggu dan sudah dapat dikatakan OSP jika sudah ada perilaku eksesif dan menganggu aspek kehidupan lainnya. Misalnya keuangan, pekerjaan atau sekolah, dan relasi dengan oran glain. Mungkin perilaku eksessif itu sendiri bila sudah parah dapat digolongkan dalam kategori kecanduan. Perselingkuhan itu sendiri merupaka isu yang umum kita dengan, baik dalam hubungan pernikahan maupun pacaran. Menurut suatu penelitian di Amerika Serikat, dalam 50% pernikahan pernah terhadi perselingkuhan. Bagi mereka yang tidak melakukan perselingkuhan, alas an yang mungkin muncul yaitu perasaan bersalah, takut diketahui orang lain, takut tertangkap basah, dan lainnya. Berbagai risiko itu akhirnya dapat diatasi dengan munculnya perselingkuhan lewat internet. Dengan akses yang bersifat pribadi, mudah didapat dan cepat, maka dengan mudah pula individu berinteraksi seksual dengan orang lain walaupun bukan dalam dunia nyata. Alasan-alasan yang muncul untuk melakukan perselingkuhan akhirnya menjadi sama, baik itu perselingkuhan di dunia nyata maupun dunia maya. Sebab, yang direduksi dari cybersex itu sendiri justru risiko-risiko yang dialami jika seseorang melakukan perselingkuhan. Yaitu sulit untuk diketahui oleh orang lain, tidak ada hubungan seksual secara langsung, tidak akan terjangkit penyakit menular seksual, tidak akan terjadi kehamilan yang tidak diharapkan, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, rasanya pembatasan penggunaat internet tidak hanya berlaku pada anak-anak, tetapi juga oran gdewasa. Tetapi apakah pembatasan pengguaan internet akan mengatasi masalah? Rasanya pembatasan itu tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Ada baiknya kita kembali kepada tujuan dari suatuhubungan. Apa yang diinginkan dalam hubungan dan jika itu menyangkut seks, tentunya perlu dibicarakan. Budaya Indonesia yang masih sangat canggung untuk membicarakan seks tampaknya juga merupakan salah satu factor mengapa orang cenderung untuk mencari informasi atau mengekspresikan seksualitasnya secara rahasia. Padahal, seks itu kebutuhan dasar dan perlu kiranya kita belajar untuk dapat berkomunikasi secara nyaman tentang kebutuhan seksual kita. Dengan begitu, rasanya kesenjangan kebutuhan seksual dengan pasangan dunia nyata dapat diatasi dan tidak perlu mencari pemuasan melalui dunia maya. Namun, jika hal itu tetap terjadi,t ampaknya perlu dicari permasalahan apa yang terdapat di dalm hubungan kita. Jangan Sampai ada “WIL” atau “PIL” di abad internet.