PENATALAKSANAAN ADENOKARSINOMA IN SITU SERVIKS PADA KEHAMILAN Ketut Suwiyoga, I Gde Sastra Winata, Kade Yudi Saspriyana Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK Adenokarsinoma in situ merupakan salah satu lesi premaligna serviks dan insidennya pada kehamilan cenderung meningkat dalam satu dekade terakhir. Tata laksana adenokarsinoma in situ (AIS) serviks pada kehamilan belum banyak dijelaskan secara terinci pada kepustakaan yang ada saat ini. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui bagaimana perjalanan progresifitas AIS dan tata laksana yang sesuai, agar memberikan luaran yang optimal, baik untuk ibu maupun bayi. Tata laksana adenokarsinoma in situ serviks pada kehamilan terbagi atas tata laksana konservatif dan tata laksana invasif. Tata laksana konservatif dikerjakan dengan pengawasan secara berkelanjutan dan dijadwalkan pap smear atau kolposkopi serial. Sedangkan tata laksana invasif dikerjakan dengan melakukan konisasi. Kedua bentuk tata laksana ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah didapatkan perburukan atau tidak. Selanjutnya, AIS pada kehamilan yang ditata laksana secara konservatif, terapi definitifnya dikerjakan setelah persalinan. Setiap pilihan terapi yang dikerjakan akan memberikan dampak pada ibu maupun bayi. Oleh karenanya, penting untuk mendiskusikan dengan pasien setiap pilihan tata laksana yang akan dikerjakan. Kata kunci: adenokarsinoma in situ serviks, kehamilan 1 MANAGEMENT OF ADENOCARCINOMA IN SITU CERVIX IN PREGNANCY Ketut Suwiyoga, I Gde Sastra Winata, Kade Yudi Saspriyana Oncology Gynecology Division, Obstetric and Gynecology Department, Medical Faculty Of Udayana University/Sanglah Hospital ABSTRACT Adenocarcinoma in situ is one of cervical premaligna and the incidence in pregnancy likely to rise in the last decade. Management adenocarcinoma in situ (AIS) cervix in pregnancy not much explained in detail in the related literature. Therefore, it is important to know how about AIS progressivity and the appropriate management, in order to provide an optimal outcome, for both mother and baby. Adenocarcinoma in situ of the cervix in pregnancy management is divided into conservative and invasive management. Conservative management done with observation and scheduled pap smear or serial colposcopy. While the invasive management carried out by doing conization. The aim of this management to evaluate whether obtained worsening or not. Furthermore, the AIS in pregnancy that is management conservatively, definitive management does after childbirth. Each choice of management would give an impact on mothers and babies. Therefore, it is important to discuss with the patient every option that will be carried out. Keywords: adenocarcinoma in situ cervix, pregnancy 2 PENDAHULUAN Insiden kanker serviks dalam kehamilan cenderung mengalami peningkatan pada satu dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh cakupan deteksi dini kanker serviks yang semakin meningkat serta makin baiknya fasilitas kesehatan yang ada. Angka insiden yang dilaporkan juga beragam dari berbagai pusat pendidikan di seluruh dunia, yakni antara 1 sampai dengan 13 kasus per 10.000 wanita hamil. Secara histopatologis terdapat dua jenis utama lesi prakanker serviks yaitu Skuamouskarsinoma in situ (SIS) dan Adenokarsinoma in situ (AIS). Sekitar 80% dari lesi prakanker serviks adalah SIS, di mana karsinogenesisnya bermula pada daerah skuamokolumner yang progresivitasnya mengarah pada ektoserviks sehingga secara mikroskopis terdiri atas sel skuamousa. Sedangkan AIS berkembang pada daerah endoserviks, khusunya pada sel kelenjar yang menghasilkan mukus. AIS pertama kali dijelaskan oleh Hepler dan kawan-kawan pada tahun 1952 ketika melaksanakan review adenokarcinoma invasif serviks. Satu tahun kemudian, Friedell dan McKay melaporkan dua kasus lesi skuamous serviks dengan kemungkinan AIS serviks. Prevalensi penyakit diperkirakan antara 1/8000 dan 1/475000 pada beberapa kepustakaan yang berbeda.1,2 Beberapa sumber menyebutkan bahwa AIS adalah lesi yang belum terdiagnosis dengan tepat. Hal ini berdasarkan fakta bahwa rasio adenokarsinoma invasif serviks dibandingkan AIS adalah 10:1. Karena terdapat kesulitan dalam membedakan AIS dari adenokarsinoma invasif, AIS mungkin terdiagnosa sebagai adenokarsinoma invasif.2 Hasil evaluasi patologi berupa AIS membutuhkan evaluasi lebih lanjut dengan konisasi (eksisional biopsi) hingga ke daerah kanalis servikalis untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan adenokarsinoma invasif. Namun terapi untuk tepi endoserviks yang hasilnya positif masih kontroversial. Temuan tepi negatif dan hasil negatif pada eksisi biopsi, dilanjutkan dengan manajemen konservatif berupa pengawasan ketat (dilakukan pap smear dan kuretase endoserviks ulang tiap 3-6 bulan untuk setidaknya 1-2 tahun). Tata laksana AIS pada kehamilan telah dilaporkan pada beberapa penelitian sebelumnya. Jumlah kasus AIS pada kehamilan yang dilaporkan adalah 11 kasus dan tata laksananya hanya direview pada 4 kasus. Data saat ini menunjukkan bahwa jika karsinoma invasif dapat dieksklusi, terapi definitif dapat ditunda setelah persalinan. 2 3 ADENOKARSINOMA IN SITU SERVIKS Lesi prakanker serviks merupakan tahap awal dari karsinogenesis kanker serviks yang disebabkan oleh adanya infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Infeksi HPV terdeteksi pada 99,7% kanker serviks, sehingga infeksi HPV merupakan infeksi yang sangat penting pada jalur karsinogenesis kanker serviks. Menjelaskan keganasan akibat infeksi HPV, diperlukan pemahaman tentang genom dari HPV. Bangun HPV terdiri atas 3 sub bagian, yakni: Upstein Regulatory Region (URR), Early Region (ER), dan Late Region (LR). Upstein Regulatory Region adalah bagian non kode yang berperan penting pada pengaturan pembentukan dan transkripsi pada rangkaian ER. Early Region dan LR mengandung cetakan bacaan yang terbuka (Open Reading Frame = ORFs), yaitu bagian genom yang memiliki kemampuan untuk membaca jenis protein. Early Region terbentuk pertama kali pada siklus hidup virus dan mengkode protein yang sangat berperan pada pembentukan virus, sedangkan LR dibentuk kemudian untuk mengkode struktur protein virus. Secara histopatologi kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang sering dijumpai adalah skuamous sel karsinoma dan adenokarsinoma. Skuamous sel karsinoma merupakan invasif karsinoma yang melewati membrana basalis yang tersusun atas sel-sel epitel skuamus dengan derajat diferensiasi yang bervariasi. Gambaran morfologi secara makroskopis dapat berupa eksofitik atau fungating, ulserasi dan infiltratif. Berdasarkan gambaran mikroskopisnya/histopatologi, skuamous sel karsinoma diklasifikasikan menjadi keratinizing, non keratinzing, basaloid, verrucous, warty, papillary, lymphoepithelioma like, squamotransitional cell. Adenokarsinoma in situ biasanya didapatkan pada wanita muda usia 29-46 tahun, dengan rata-rata umur 35,8 tahun. Diagnosis dini AIS merupakan tantangan bagi klinisi. Mengingat temuan klinis yang tidak khas, acapkali AIS diinterpretasikan sebagai lesi skuamosa maupun temuan kolposkopi yang tidak dapat diinterpretasikan dengan pasti. 3 Adenokarsinoma merupakan sub tipe kanker serviks yang banyak didapatkan setelah tipe skuamosa. Adenokarsinoma serviks berasal dari kelenjar yang terdapat pada kelenjar endoserviks. Temuan kolposkopi yang diduga sebagai adenokarsinoma in situ adalah sebagai berikut: terdapat lesi yang mengalami elevasi dengan permukaan yang irregular, berada di atas epitel kolumnar, lesi dengan kelenjar yang terbuka dengan berbagai temuan 4 abnormal kolposkopi lainnya, terdapat sekresi mukus yang berlebihan, lesi menyerupai papiler, epitelial budding, lesi dengan permukaan berwarna merah dan putih, pembentukan pembuluh darah atipik, dan dua atau lebih lesi skuamosa yang dipisahkan oleh kelenjar glandular menyerupai epitel. 4 Infeksi primer dari HPV terjadi pada sel lapisan basal dan parabasal. Setelah terjadi penetrasi dari virus maka partikel virus yang terdiri dari L1 dan L2 berinteraksi dengan molekul di permukaan sel target sehingga mempermudah masuknya DNA virus ke sel target. Protein E1 dan E2 masing-masing mengkode DNA binding protein yang berfungsi untuk menjaga stabilitas virus. Protein E1 berperan pada proses inisiasi dan elongasi dan pembentukan DNA, sedangkan E2 berperan dalam regulasi positif dan negatif gen melalui interaksi dengan early promotor. Protein E6 dan E7 berperan dalam proliferasi melalui mekanisme gangguan sistem kontrol siklus sel target dan aktivasi sintesis DNA. Pada epitel sel yang terinfeksi HPV tersebut, virus akan terintegrasi pada kromosom penjamu dan mengekspresikan protein E6 dan E7 yang akan mengikat protein p53 dan Rb. Hambatan kedua TSG (p53 dan pRb) menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. Protein E6 di dalam nukleus dalam bentuk ikatan kompleks E6-E6I yang stabil. Bila ikatan ini pecah, maka protein E6 dan E6I masing-masing akan masuk ke dalam sitoplasma berikatan dengan protein target. Protein E6 akan berikatan dengan p53, ikatan ini menyebabkan hilangnya fungsi p53. Fungsi p53 adalah sebagai tumor suppressor gene (TSG) yang bekerja pada fase G1, dan p53 pada siklus sel berfungsi menghentikan siklus sel pada fase G1. Hilangnya fungsi p53 mengakibatkan penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, dan sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. 5 ADAPTASI FISIOLOGIS PADA KEHAMILAN Kehamilan merupakan suatu proses fisiologis yang ditandai dengan munculnya berbagai adaptasi terhadap kehamilan itu sendiri. Adaptasi ini merupakan suatu respon rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh plasenta. Berbagai adaptasi fisiologis pada kehamilan antara lain adalah sebagai berikut: a. Perubahan serviks pada kehamilan Selama kehamilan terjadi proliferasi kelenjar serviks, perluasan atau eversi dari kelenjar endoserviks kolumnar ke arah ektoserviks dan bahkan dapat mencapai forniks vagina. Selain itu, sel basal pada daerah skuamokolumner juga ikut mengalami peningkatan ukuran, bentuk, dan perluasan. Perubahan proliferasi kelenjar pada serviks diduga terjadi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron yang meningkat selama kehamilan. Sel kelenjar tersebut selanjutnya akan menghasilkan sekret mukus yang banyak mengandung sitokin dan imunoglobulin A (IgA) yang berperan sebagai barrier imunologis lokal pada serviks terhadap paparan infeksi dari daerah vagina. Adanya hiperpasia kelenjar endoseriks yang berlebih dan hipersekresi kelenjar yang dikenal sebgai reaksi Arias Stella dapat mengakibatkan kesulitan untuk mengidentifikasi sel kelenjar atipia pada hapusan objek pap smear pada wanita hamil.5 b. Perubahan hormonal pada kehamilan Pada kehamilan terdapat berbagai perubahan sistem hormonal. Berbagai perubahan yang terjadi pada kehamilan antara lain: 1. Hipofisis anterior memproduksi hormon prolaktin yang meningkat sampai aterm, sedangkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone (LH) diproduksi dalam jumlah yang sangat rendah selama kehamilan, 2. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroksin yang meningkat pada kehamilan trimester I, kemudian perlahan-lahan menurun pada trimester ke II dan III, 3. Kelenjar adrenal menghasilkan hormon kortisol yang meningkat sampai kehamilan aterm, 4. Korpus luteum dan plasenta akan menghasilkan hormon progesteron dan estrogen yang cenderung meningkat sampai kehamilan aterm.6 Hormon kehamilan yang utama, yaitu estrogen dan progesteron mempunyai fungsi fisiologis yang penting dalam mempersiapkan endometrium untuk kehamilan. Hormon estrogen dan progesteron secara umum memiliki efek 6 immunosupresif untuk memudahkan proses implantasi, nidasi, dan kontinuitas kelangsungan janin selama kehamilan.5 c. Perubahan enzimatis pada kehamilan Secara umum terjadi peningkatan sistem enzimatis yang terlibat dalam berbagai metabolisme tubuh selama kehamilan. Peningkatan sistem enzimatis ini merupakan respon tubuh akibat meningkatnya kebutuhan janin dan plasenta. Pada kehamilan terutama trimester akhir terjadi peningkatan laju metabolik basal bahkan mencapai 20% dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak pada kehamilan relatif meningkat, dimana terjadi peningkatan asam amino, konsentrasi lipoprotein, apolipoprotein, asam lemak, dan glukosa pasca makan, serta penurunan glukosa selama puasa. Pada trimester awal kehamilan, tubuh secara aktif akan menyimpan lemak dan meningkatkan sensitivitas insulin. Sedangkan pada trimester akhir kehamilan, tubuh cenderung menjadi lebih resisten terhadap insulin, yang akan mengakibatkan pemecahan cadangan nutrisi untuk meningkatkan asam lemak dan glukosa dalam tubuh.5 d. Perubahan imunologis pada kehamilan Kehamilan secara umum berkaitan dengan penekanan berbagai sistem imunologis baik humoral maupun seluler, baik non spesifik maupun spesifik. Salah satu contoh mekanisme yang ditemukan dalam kehamilan adalah penekanan atau supresi sel T helper dan sitotoksik yang mengakibatkan penurunan sekresi berbagai sitokin seperti Interleukin-2 (IL-2), Interferon-γ (IFN-γ), dan Tumor Nekrosis Faktor-β (TNF-β). Selain itu, kehamilan sendiri cenderung terjadi pada kondisi yang antiinflamatorik dimana terjadi perubahan keseimbangan rasio sel T helper-1 dengan sel T helper-2 ke arah sel T helper-2 atau anti-inflamasi. Peningkatan sel T helper-2 selanjutnya akan menghasilkan mediator sitokin anti-inflamasi seperti IL-4, IL-6, dan IL-13. Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa tidak semua sistem imunologis dalam kehamilan mengalami supresi, pada mukus serviks ternyata terdapat peningkatan kadar IgG, IgA, dan IL-1β yang bermakna dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.5 e. Perubahan prilaku seksual dan psikologis pada kehamilan Pada trimester I secara psikologis sebagian besar wanita bingung tentang 7 kehamilannya, merasa tidak sehat dan benci akan kehamilannya, selalu memperhatikan setiap perubahan yang terjadi pada tubuhnya, mencari tanda-tanda untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya sedang hamil, mengalami gairah seks yang lebih tinggi namun libido menurun, kecemasan kehilangan bentuk tubuh, dan ketidakstabilan emosi serta suasana hati. Pada trimester II secara umum wanita hamil merasa lebih baik dan mulai terbebas dari ketidaknyamanan kehamilan, mulai memahami dan menerima perubahan akibat kehamilan. Pada trimester ini terjadi peningkatan sensitifitas dari labia dan klitoris, serta peningkatan lubrikasi vaginal sebagai hasil dari vasokongesti pembuluh darah pelvis. Selain itu, mual dan muntah juga sudah tidak begitu dirasakan. Hal tersebut menyebabkan timbul peningkatan energi yang akan meningkatkan keinginan seksual. Orgasme terjadi dengan frekuensi yang lebih banyak dan dengan intensitas yang lebih besar selama kehamilan akibat perubahanperubahan di atas. Meskipun orgasme akan menyebabkan kontraksi uterus sementara, namun hal itu tidak akan mengganggu kehamilan. Trimester III sering disebut sebagai periode penantian, menanti kehadiran bayi sebagai bagian dari dirinya. Pada trimester merupakan waktu untuk mempersiapkan kelahiran dan kedudukan sebagai orang tua dan ini dapat menimbulkan perasaan khawatir. Gairah seksual saat ini tidak seperti pada trimester II, hal ini dipengaruhi oleh perubahan bentuk perut yang semakin membesar dan adanya perasaan khawatir apabila terjadi sesuatu terhadap bayinya. Wanita akan kembali merasakan ketidaknyamanan fisik yang semakin kuat menjelang akhir kehamilan.5 PROGRESIFITAS ADENOKARSINOMA IN SITU SERVIKS PADA KEHAMILAN Salah satu adaptasi kehamilan yang penting terkait dengan progresifitas adenokarsinoma in situ serviks dalam kehamilan adalah perubahan anatomi serviks, hormonal, dan imunologis. Adaptasi anatomi serviks, hormonal, dan imunologis pada kehamilan terhadap progresifitas adenokarsinoma in situ serviks sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Secara anatomis, pada serviks terjadi perubahan proliferasi kelenjar akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron yang meningkat selama kehamilan. Selama kehamilan 8 terjadi proliferasi kelenjar serviks, perluasan atau eversi dari kelenjar endoserviks kolumnar ke arah ektoserviks dan bahkan dapat mencapai forniks vagina. Selain itu, sel basal pada daerah skuamokolumner juga ikut mengalami peningkatan ukuran, bentuk, dan perluasan. Sehingga secara keseluruhan akibat adanya perubahan anatomis pada serviks tersebut memudahkan serviks, khususnya daerah skuamokolumner untuk terpapar atau infeksi HPV.5 Hormon kehamilan yang utama, yaitu estrogen dan progesteron mempunyai fungsi fisiologis yang penting dalam mempersiapkan endometrium untuk kehamilan. Hormon estrogen dan progesteron secara umum memiliki efek immunosupresif untuk memudahkan proses implantasi, nidasi, dan kontinuitas kelangsungan janin selama kehamilan. Efek tersebut dipercaya oleh karena ditemukannya reseptor estrogen dan progesteron hanya pada sel Natural Killer (NK) dan limfosit T CD8 wanita hamil. Selain itu, hormon tersebut dapat mengubah keseimbangan rasio sel T helper-1 dengan sel T helper-2 ke arah sel T helper-2 atau anti-inflamasi. Hanya saja fungsi immuosupresif tersebut lebih mempunyai efek lokal pada uterus daripada efek secara sistemik.5,6 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hormon kehamilan, terutama estrogen ternyata dapat meningkatkan proses transkripsi E6 dan E7 dari HPV tipe 16 bahkan sampai delapan kali sehingga dapat meningkatkan ekspresi onkoprotein HPV. Hormon progesteron juga disebutkan dapat meningkatkan efisiensi dari serviks yang terinfeksi HPV tipe 16 melalui peningkatan ekspresi gen HPV pada serviks. Berbagai penelitian yang menghubungkan hormon estrogen dan progesteron dalam meningkatkan progresifitas karsinogenesis lesi prakanker dapat dilihat pada tabel 1a dan 1b.5,6,7 9 Tabel 1a. Penelitian Estrogen terhadap Progresifitas Infeksi HPV6 Tabel 1b. Penelitian Estrogen dan Progesteron terhadap Progresifitas Infeksi HPV6 Berdasarkan berbagai penelitian tersebut di atas, pengaruh hormon kehamilan estrogen dan progesteron dalam meningkatkan progresifitas infeksi HPV dapat terjadi melalui tiga hipotesis, yaitu a. meningkatkan akusisi dan deposisi dari infeksi HPV, b. memodulasi respon imunitas terhadap infeksi HPV melalui peningkatan berbagai mediator anti10 inflamasi, dan c. meningkatkan perubahan lesi prakanker menjadi kanker invasif melalui peningkatan ekspresi E6 dan E7 dari HPV (gambar 1).5,6 Gambar 1. Mekanisme Estrogen dan Progesteron pada Progresifitas Infeksi HPV6 Sehingga secara teoritis, mengacu pada ketiga mekanisme di atas, yaitu adaptasi anatomi serviks, hormonal, dan imunologis secara lokal pada serviks menjelaskan bahwa kehamilan sendiri dapat mempermudah progresifitas dari adenokarsinoma in situ serviks. Progresifitas adenokarsinoma in situ dari lesi prakanker kemudian berkembang menjadi invasif secara teoritis telah dapat dipahami. Terbatasnya kasus adenokarsinoma in situ yang dievaluasi pada kehamilan mengakibatkan hal ini sulit untuk dibuktikan secara empiris dalam rangka memperjelas perjalanan alamiah dari lesi prakanker serviks yang terjadi pada kehamilan. Pada penelitian yang dilakukan untuk menilai progresifitas lesi prakanker pada kehamilan diperoleh hasil bahwa dari 78 sampel wanita hamil yang menjalani kolposkopi biopsi dan diperoleh CIN II, III sebanyak 36 sampel (46.2%) dan CIN I sebanyak 42 11 sampel (53.8%). Kemudian setelah diamati perjalanannya selama sisa kehamilan sampai paska partum diperoleh hasil bahwa pada wanita dengan CIN II, III tidak ditemukan adanya kanker invasif, sebanyak 19 sampel (52,7%) persisten CIN II, III dan 17 sampel (47,3%) mengalami regresi. Pada wanita dengan CIN I diperoleh sebesar 9 sampel (14,3%) mengalami progresi menjadi CIN II, III, 7 sampel (16,6%) persisten, dan 29 sampel (69%) mengalami regresi (tabel 2).7 Tabel 2. Perjalanan Lesi Prakanker Serviks pada Kehamilan7 Regresi Persisten Progres CIN Kanker Invasif CIN I 69 % 16,6 % 14,3 % - CIN II-III 47 % 52,7 % - - Penelitian lainnya yang juga mengevaluasi perjalanan lesi prakanker serviks selama kehamilan dan paska partum memperoleh bahwa pada CIN I sebesar 25% mengalami regresi, 47% mengalami persisten, dan 28 % progress menjadi CIN III. Pada CIN II sebesar 70% mengalami regresi, 25% persisten, sedangkan pada CIN III sebesar 68% mengalami regresi, 30% persisten, dan 6,6% dapat mengalami invasif atau menjadi kanker invasif.7 Berdasarkan beberapa kasus di atas, progresifitas adenokarsinoma in situ untuk berlanjut menjadi invasif sangat kecil. Walaupun telah dijelaskan sebelumnya, bahwa secara teoritis terjadi perubahan pada sistem imunologis ibu hamil yang menunjang progresifitas tersebut, tampaknya terjadi suatu mekanisme lain sebagai penyeimbang yang mencegah progresifitas lesi prakanker. Salah satunya adalah melalui sistem imunologis yang bekerja lokal pada mukus serviks, di mana kadar puncak immunoglobulin A dan G (IgA dan IgG) ditemukan lebih tinggi saat kehamilan. Demikian pula dengan kadar interleukin-1β yang terdapat di mukus serviks selama kehamilan adalah sekitar sepuluh kali lebih besar daripada wanita tidak hamil. Hal ini diduga dapat menekan progresifitas dari adenokarsinoma in situ serviks pada kehamilan.5,7 12 PENATALAKSANAAN ADENOKARSINOMA IN SITU SERVIKS PADA KEHAMILAN Hasil pemeriksaan patologi anatomi yang menunjukkan AIS membutuhkan evaluasi lebih lanjut dengan biopsi konisasi yang eksisinya cukup dalam hingga ke kanalis serviks. Konisasi cold knife, konisasi laser, eksisi loop elektroda (LEEP), dan eksisi loop zona transformasi (LETZ) merupakan metode yang dapat digunakan untuk melakukan biopsi pada serviks. Perbandingan konisasi cold knife dengan LEEP pada 4 penelitian menunjukkan bahwa cold knife memiliki nilai diagnostik dan nilai terapi lebih baik untuk AIS dan memiliki kejadian tepi positif lebih rendah setelah tindakan. 2 Hubungan antara tepi biopsi konisasi dan residual atau rekurensi dari penyakit ini dikatakan berbeda untuk AIS serviks dibandingkan CIS skuamosa. Meski kondisi residual setelah konisasi telah dilaporkan, seluruh peneliti menyatakan angka kejadian residual lebih tinggi pada LEEP dibandingkan metode cold knife. 2,6 Berdasarkan penelitian yang telah dikerjakan, kejadian residual lebih tinggi secara signifikan pada tepi endoserviks dan ektoserviks yang sebelumnya positif. Seluruh peneliti menyarankan konisasi cold knife atau histerektomi sebagai terapi tambahan untuk pasien dengan tepi positif. Berulangnya kasus persisten setelah konisasi tepi negatif dapat dijelaskan dengan keadaan multifokal dari lesi berupa skip lesion atau hasil pemeriksaan histopatologi yang kurang cermat.8 Histerektomi merupakan terapi yang paling sesuai dari AIS serviks, kecuali ada pertimbangan kuat untuk mempertahankan fertilitas. Sesuai Referensi pada tabel 2, yang menunjukkan ringkasan dari 14 penelitian, operasi lanjutan dilakukan pada 27 dari 297 pasien (9%), dengan rekurensi penyakit yang ditemukan pada tiap penelitian berkisar dari 0%-46%.2,9 13 Tabel 2. Kejadian Rekurensi pada Tata Laksana Konservatif 2 Penelitian oleh Shin dan kawan-kawan, terhadap 95 pasien dengan terapi konservatif selama 6 hingga 137 bulan. Ostor dan kawan-kawan meneliti 53 pasien yang memilih terapi konservatif dan diikuti perjalanan penyakitnya hingga 1-16 tahun, dan tidak didapatkan rekurensi. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan sebagai berikut: 2,8 1. Pasien yang menginginkan kehamilannya dipertahankan dengan terapi konservatif, memiliki hasil yang baik jika hasil biopsi konisasi dengan tepi negatif. 2. Pasien dengan tepi positif harus melakukan prosedur biopsi kedua untuk mengeksklusi residual dan atau adenokarsinoma invasif karena memiliki risiko lebih tinggi terjadi residual AIS. 3. Pasien yang menjalankan terapi konservatif harus dilakukan follow up untuk mencegah rekurensi. Griffin dan kawan-kawan melaporkan 3 pasien dengan AIS serviks saat kehamilan. Mereka melakukan konisasi cold knife pada saat hamil dan histerektomi paska partum pada 2 pasien. Pada pasien ketiga, karena umur kehamilan lanjut, dipilih manajemen konservatif. Tidak terdapat progresi dan residual yang dilaporkan.2,5,8 Penelitian yang dilakukan oleh Boardman, dimana pada wanita hamil yang dilakukan papsmear serviks, diperoleh hasil sitologi ASCUS atau LSIL yang lebih dominan dibandingkan dengan hasil sitologi HSIL. Selanjutnya diperoleh hasil histopatologi serviks paska partum berupa CIN I dan II. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna tingkat keparahan lesi prakanker serviks yang terjadi selama 14 kehamilan dibandingkan kondisi tidak hamil, sehingga pemantauan lesi prakanker paska partum dapat terus dilanjutkan.8,9 Deteksi dini lesi prakanker serviks pada kehamilan dapat dikerjakan sama seperti kondisi tidak hamil. Apabila ditemukan adanya lesi prakanker pada kehamilan maka dapat dilakukan terapi ablatif atau apabila terdapat keraguan pada diagnosis maka penundaan terapi lesi prakanker sampai kehamilan aterm atau bahkan paska partum tidak akan memperburuk lesi. Lesi prakanker pada kehamilan dapat menetap atau persisten, sebesar 38,4%, namun dapat pula mengalami regresi menjadi CIN I, dan kecil kemungkinan menjadi kanker invasif. Adanya lesi prakanker derajat tinggi atau high grade, dimana secara histopatologis adalah CIN II dan atau CIN III, harus dikonfirmasi dengan penunjang diagnostik yang tepat. Sehingga pada hasil sitologi high grade dianjurkan untuk dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi. Kolposkopi pada kehamilan bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya kanker invasif. Penatalaksanaan terapi ablasi lokal pada serviks atau terapi eksisi sebagai terapi konservatif pada lesi prakanker derajat tinggi haruslah mencapai kedalaman minimal 7 mm.8,9 Kolposkopi yang dikerjakan bersamaan dengan biopsi langsung adalah aman dan memiliki nilai sensitivitas serta nilai spesifitas yang baik untuk mengevaluasi kehamilan dengan sel glandular atipikal (AGC). Namun kuretase kanalis endoservikal tidak dapat dikerjakan pada kehamilan. Alternatifnya adalah dengan menggunakan cytobrush. Apabila hasil kolposkopi dengan biopsi langsung adalah negatif dan dengan pembacaan pap smear yang menyatakan hasil tidak spesifik, papsmear harus diulang setiap 4 sampai 6 bulan dan persalinan dilakukan secara normal. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan berkala setelah persalinan. Jika dalam pemantauan ini terdapat AIS maka tindakan konisasi harus dikerjakan.5,8 Hasil kolposkopi negatif dan pap smear awal menunjukkan adanya lesi prakanker serviks, maka konisasi dilakukan untuk menyingkirkan kanker serviks. Konisasi dilakukan dengan membuat eksisi jaringan yang dalam pada seluruh kanalis endoservikal, yaitu sekitar 2 sampai 2,5 cm. Tindakan ini harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah trauma pada endometrium ataupun selaput ketuban janin. Tindakan konisasi dapat dikerjakan di bawah anastesi spinal ataupun umum. Pemberian tokolitik dapat digunakan untuk mencegah komplikasi tindakan tersebut. Adapun risiko yang dapat terjadi setelah 15 dilakukan konisasi adalah persalinan preterm, keguguran, perdarahan, ketuban pecah dini, dan korioamnionitis. Pada biopsi yang luas dapat menghasilkan stenosis serviks maupun inkompeten serviks.8 Tata laksana adenokarsinoma in situ serviks yang didapatkan pada konisasi adalah pemantauan atau pemeriksaan ulangan dengan papsmear secara teratur untuk sisa usia kehamilannya. Kemudian dilanjutkan setelah persalinan setiap 4 sampai 6 bulan untuk 2 tahun dan setiap tahun satu kali setelahnya. Untuk pasien dengan tepi positif, tidak terdapat bukti yang menyebutkan bahwa pengulangan konisasi selama kehamilan menguntungkan dalam mencapai tepi yang bersih. Walaupun diperoleh tepi yang negatif pada wanita muda yang tidak berpotensi keganasan dan margin bersih 10 mm dapat dicapai, tidak menjamin bebas dari lesi prakanker. Demikian pula, tepi yang positif tidak secara umum mengindikasikan adanya residual atau sisa AIS (gambar 2).8,9 Gambar 2. Penatalaksannaan Lesi Prakanker Serviks Pada Kehamilan8 Secara prinsip adenokarsinoma in situ serviks pada kehamilan dapat dilakukan tata laksana konservatif jika terdiagnosis setelah trimester kedua kehamilan. Berdasarkan penelitian yang telah dikerjakan, tidak terdapat bukti adanya progresifitas. Penundaan 16 terapi pada periode paska partum tidak memperburuk luaran penyakit. Penting untuk mendiskusikan lebih lanjut dan mendetail tentang risiko dan keuntungan bagi pasien untuk dikerjakannya konisasi serviks apabila ada bukti mengarah invasif. Karena karakter invasif dari penyakit ini, konisasi cold knife pada serviks merupakan prosedur pilihan utama saat paska partum.2,5 Histerektomi merupakan pilihan terapi terbaik untuk pasien yang tidak ingin mempertahankan fungsi reproduksinya paska partum. Sebaliknya, tata laksana konservatif pada pasien yang masih ingin fungsi reproduksinya dengan tepi negatif masih dapat diterima. Pilihan tata laksana ini tentunya diikuti dengan pengawasan ketat dan dijadwalkan pap smear teratur setiap 3 bulan untuk kurun waktu setidaknya 1 tahun.2,8,9 Penatalaksanaan adenokarsinoma in situ serviks pada kehamilan secara sistematik adalah sebagai berikut (gambar 3):7,8,9 Wanita Hamil Pap smear Mencurigakan/ Low Grade/High Grade Normal KolposkopiBiopsi Negatif Skuamous Sel Karsinoma Microinvasif Sebelum UK 24 minggu In Situ Setelah UK 24 minggu Trimester II dan III Trimester I Konisasi Radikal Histerektomi (baik dengan janin di dalam atau dilakukan terminasi kehamilan dahulu) Ca Invasif Adenokarsinoma Positif Observasi Terminasi Kehamilan Negatif Pematangan paru janin, dilanjutkan dengan SC dan radikal Histerektomi Gambar 3. Penatalaksanaan Adenokarsinoma Serviks pada Kehamilan 17 KESIMPULAN Adenokarsinoma in situ serviks pada kehamilan ditata laksana secara konservatif dan invasif. Pilihan modalitas terapi menyesuaikan dengan umur kehamilan. Diskusi dengan pasien tentang berbagai pilihan terapi yang ada merupakan kunci dalam tata laksana adenokarsinoma in situ serviks. Tidak terdapat bukti adanya progresifitas adenokarsinoma serviks in situ menjadi invasif pada kehamilan. Dengan demikian, setiap tindakan invasif yang dikerjakan pada adenokarsinoma in situ serviks harus mempertimbangkan manfaat bagi ibu dan bayi. DAFTAR PUSTAKA 1. Singer, A., Monaghan, J., Chong Quek, S., Deery, A.. 2000. Management of Cervical Cancer. In: Singer, A., editors. Lower Genital Tract Precancer: Colposcopy, Pathology, and Treatment . 2nd. Ed. United Kingdom: Blackwell Science Ltd. p. 197-201. 2. Abidi, A., Hamraz, A., Azodi, M. 2007. Management of Adenocarcinoma In Situ of Cervix in Pregnancy. Journal of Family and Reproductive Health. (serial online), October, [cited 2014 May. 5]. Available from: URL: http://journals.turns.ac.ir/ 3. Wells M., Ostor A.G., Crum C.P., Franceschi S., Tommasino M. 2003. Epithelial tumours. In: Tavassoli F.A., Devilee P., editors. WHO: Pathology and genetics tumours of the breast and female genital organ. Lyon: IARC. p. 262-64. 4. College of Americans Pathologiest. 2009. Cervical Adenocarcinoma. Journal CAP. (serial online), May, [cited 2014 May. 6]. Available from: URL: http:// http://www.cap.org/apps/docs/reference/myBiopsy/cervicaladenocarcinoma.pdf 5. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., Spong C.Y. 2010. Maternal Physiology. In: Twickler, D., Wendell, G., editors. Williams Obstetrics. 23rd. Ed. United States of America: McGraw-Hill. p. 107-135. 6. Mark, M.A., Klein, S.L., Gravitt, P.E. 2011. Hormonal Contraception and HPV: A Tale of Differing and Overlapping Mechanisms. (serial online), Nov, [cited 2014 July.15]. Available from: URL: http://www.dovepress.com/hormonal-contraception-and-hpv-atale-of-differing-and-overlapping-mec-peer-reviewed-article-OAJC-recommendation1 7. Karrberg, C. 2012. Cervical Dyspasia and Cervical Cancer in Pregnancy: Diagnosis and Outcome. Institute of Clinical Sciences at Sahlgrenska Academy Sweden: Gothenburg. 8. Dubuc-Lissor, J., Ehlen, T., Heywood, M., Plante, M. 1999. Guidelines on Adenocarcinoma in situ of the Cervix: Clinical Features and Review of Management. Journal SOGC. (serial online), June, [cited 2014 May. 5]. Available from: URL: http:// http://sogc.org/wp-content/uploads/2013/12/gui77EPS9906.pdf 9. Sopracordevole, F., Rossi, D., Di Giuseppe, J., Angelini, M., Boschian-Bailo, P., Buttignol, M., Ciavattini, A. 2014. Conservative Treatment of Stage IA1 Adenocarcinoma of the Uterine Cervix during Pregnancy: Case Report and Review of The Literature. Hindawi Publishing Corporation. (serial online), March, [cited 2014 May. 5]. Available from: URL: http://dx.doi.org/10.1155/2014/296253 18