Kebangkitan Cina dan Kepentingan Indonesia

advertisement
Kebangkitan Cina dan Kepentingan Indonesia
Dikirim oleh prasetya1 pada 28 Juli 2008 | Komentar : 0 | Dilihat : 5708
diskusi cina
Dengan semakin kuatnya posisi RRC sebagai salah satu negara besar di dunia, RI berkepentingan untuk
memanfaatkan hubungan baiknya, khususnya kemitraan strategis dengan RRC untuk kepentingan pembangunan
nasionalnya. Mempertimbangkan kekuatan RRC tersebut, politik luar negeri RI terhadap RRC haruslah
proporsional mengingat hubungan dengan RRC terlalu penting untuk diabaikan dan terlalu critical to misread.
Demikian disampaikan Rosi Ferona, Kepala Seksi Asia Timur Pasifik (Astimpas) Direktorat Astimpas, Dirjen
ASPASAF Departemen Luar Negeri RI dalam diskusi terbatas terbatas bertajuk ?Hegemoni RRC dan Peluang
Kemanfaatannya untuk Indonesia?. Acara ini diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial pada Senin (28/7) di Hotel
Tugu, Malang.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa bagi Indonesia, peran RRC di kawasan Asia Tenggara hendaknya bukan
dipandang sebagai ancaman melainkan kesempatan atau peluang yang perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk
pembangunan nasional. Dipaparkannya, hubungan RI-Cina sempat mengalami pasang surut, dimana hubungan
diplomatik dimulai pada Juni 1950 melalui pembukaan kedutaannya. Pada 1955, China sempat mengikuti
Konferensi Asia Afrika dan sempat membentuk poros Jakarta-Beijing-Pyongyang pada masa orde lama. Hubungan
diplomatik tersebut, menurut Rosi sempat dibekukan pada 1967 karena dugaan keterlibatan Cina pada G 30 S PKI.
Dalam kerjasama bilateral, menurutnya bidang kerjasama yang mungkin dijalin adalah melalui polhukam, ekonomi
dan pembangunan, investasi, iptek dan sosial budaya. Sementara untuk stabilitas kawasan, dipaparkannya, Cina
memandang RI sebagai negara penting yang kaya sumber daya alam disamping pemimpin ASEAN dan gerakan
non blok yang memiliki letak geostrategis. Bagi Indonesia, potensi Cina sebagai anggota tetap dewan keamanan
PBB dianggap dapat membantu kepentingan politik selain sebagai alternatif alih teknologi militer/strategis.
Soft Power China
Melalui propaganda Peaceful Rise, Cina selalu menekankan bahwa kebangkitannya tidak bernuansa hegemonik
yang bernuansa negatif. Bagi Cina, terminologi hegemoni memiliki konotasi negative tentang perilaku tertentu
yang justru tidak menggambarkan secara obyektif mengenai distribusi kekuatan internasional. Melalui propaganda
teori ini, Cina selalu menegaskan bahwa sekalipun peningkatan kekuatan militer dan ekonomi yang oleh barat
selalu disebut hegemoni, ia tidak akan menggunakan kekuatan tersebut dengan cara-cara yang agresif dan
diktatorial. Hal ini disebutkan Bantarto Bandoro, dosen pasca sarjana FISIP UI dalam presentasinya.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa poin propaganda teori peaceful of rise menawarkan peluang win-win, yang
dalam konteks ini Cina menekankan pentingnya hubungan ekonomi dan perdagangan. Aspek inilah menurutnya
yang menjadi media bagi China untuk memperluas jangkauan kepentingan dan kehadirannya di setiap belahan
dunia dengan memanfaatkan China perantauan. Dalam konteks ini, Bantarto melihat potensi kekuatan Cina untuk
bersaing dengan kekuatan ekonomi global lainnya dan membangun kemitraan strategis dengan menciptakan
wilayah perdagangan bebas dengan negara di kawasan lainnya di dunia.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa Indonesia dan Asia Tenggara telah sejak lama menjadi bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari kepentingan dan strategi panjang Cina. "Kawasan Asia Tenggara adalah salah satu target diplomasi
senyum atau ofensif cantik Cina. Alat yang dipakai adalah ekonomi, perdagangan, bantuan dan investasi untuk
tujuan-tujuan politik Cina yang merupakan bagian dari kekuatan lunak Cina", ujarnya. Kekuatan lunak Cina ini,
menurut Bantarto merupakan bagian dari upaya Cina untuk menghidupkan kembali middle kingdom Cina yaitu
mendominasi Asia. Dalam hal ini, Indonesia percaya bahwa militer Cina tidak akan melakukan sesuatu yang
melewati perbatasan internasional tetapi Beijing akan mencoba membangun pengaruh politik, ekonomi dan
diplomatik dimana setiap keputusan utama yang diambil oleh negara-negara Asia memerlukan persetujuan dari
Cina. "Soft power Cina memiliki impact yang lebih besar daripada hard power-nya", kata dia.
Turut hadir pula dalam diskusi terbatas ini adalah Prof Anak Agung Banyu Perwita PhD, guru besar Ilmu
Hubungan Internasional FISIP Universitas Parahyangan yang memaparkan "Kebangkitan Cina dan Implikasinya
terhadap Kawasan".
Acara ini diikuti oleh akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum. Hasil diskusi ini akan direkomendasikan
kepada sekretariat Wakil Presiden RI. [nok]
Artikel terkait
Pertemuan Forum Pimpinan Pascasarjana di UB
Politic Festival 2011 : Saatnya Menyuarakan Perubahan Untuk Indonesia
Kuliah SOI: Optimalisasi Manajemen
UB Kukuhkan Dua Guru Besar Hari Ini
Pengukuhan Tiga Guru Besar UB
Download