BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sejak tahun 1990 dalam seri laporan tahunan yang diberi judul “Human Development Report” (BPS.2015:4). Indeks ini disusun sebagai salah satu dari indikator alternatif untuk menilai keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu Negara selain pendapatan per kapita. UNDP mendefinisikan IPM sebagai “a process of enlarging people’s choice” atau suatu proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. Terdapat tiga indikator penting yang dijadikan tolak ukur untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia. Pertama, usia panjang yang diukur dengan rata-rata lama hidup penduduk atau angka harapan hidup di suatu Negara. Kedua, pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang bisa membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga). Ketiga, penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan daya belinya untuk tiap-tiap Negara. Jika ketiga indikator tersebut menunjukkan kemajuan yang berarti maka bisa dikatakan bahwa SDM yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang sejalan dengan perkembangan indeks tersebut. Secara spesifik, UNDP menetapkan empat elemen utama dalam pembangunan manusia, yaitu produktivitas (productivity), pemerataan (equity), pemberdayaan (empowerment) dan kesinambungan (sustainability). UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan penuh bagi masing-masing daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan sedikit mungkin intervensi pemerintah pusat. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Otonomi Daerah. Dengan adanya desentralisasi atau otonomi daerah, diharapkan pembangunan lebih berhasil, sehingga salah satu indikator pembangunan, yaitu Indeks Pembangunan Manusia dihipotesiskan akan meningkat pula (Fisman dan Gatti, 2002:83). Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan tersebut. Dengan kata lain, pemerintah pusat berkewajiban untuk menjamin sumber keuangan atas pendelegasian tugas dan wewenang dari pusat ke daerah. Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah. Dana perimbangan yang dimaksud terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil. Dana perimbangan tersebut bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Sumber pembiayaan lainnya adalah Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi, laba perusahaan/BUMD dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Besaran PAD dapat dijadikan tolak ukur seberapa besar kemandirian suatu daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya. Penerimaan daerah yang bersumber dari PAD diharapkan dapat meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah selain untuk mendanai belanja rutin, sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik. Peningkatan pelayanan publik tentunya akan berdampak pada semakin sejahteranya masyarakat dan akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus merupakan dana perimbangan yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelengggaraan urusan pemerintah (UU No.33 Tahun 2004). Dana Alokasi Umum yang bersumber dari pemerintah pusat (APBN) merupakan dana yang dialokasikan untuk tujuan pembiayaan pengeluaran dan kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Hal ini berarti terjadi transfer dari pemerintah pusat kepada daerah, dan pemerintah daerah dapat menggunakan dana ini guna memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, sehingga meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan standar kehidupan masyarakat, dan menciptakan hidup yang sehat dan harapan hidup yang lebih panjang (Harahap,2010:3). Selain Dana Alokasi Umum, terdapat juga Dana Alokasi Khusus (DAK) yang memainkan peran penting dalam dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah. DAK menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pengalokasian DAK memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran DAK tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Pemanfaatan dan penggunaan DAK menjadi faktor penting dalam program pembangunan daerah. Jika DAK dapat dikelola dengan baik, maka dapat memperbaiki mutu pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan, dan mengurangi kerusakan infrastruktur yang mengarah pada Indeks Pembangunan Manusia. Hingga saat ini Provinsi Nusa Tenggara Timur masih dihadapkan pada permasalahan pembangunan manusia. Tabel 1.1 memperlihatkan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota yang ada di Nusa Tenggara Timur tahun 2010-2014. Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur Tahun 2010-2014 Tahun Wilayah Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai timur Sabu Raijua Malaka Kota Kupang Nusa Tenggara Timur Sumber: www.bps.go.id 2012 59.98 60.89 60.34 57.94 59.04 57.58 56.47 59.51 58.93 60.12 63.93 63.57 58.92 56.56 58.13 56.66 58.22 61.6 55.28 50.3 76.38 60.81 2013 60.55 61.44 61.07 58.76 59.56 59.12 57.52 60.56 59.8 60.84 64.64 64.43 59.49 57.28 59.02 57.25 59.26 62.24 55.74 51.55 56.14 77.24 61.68 2014 60.69 62.04 61.68 59.41 60.41 59.72 58,00 61.45 60.42 61.36 65.25 64.64 60.08 57.82 59.64 57.60 59.90 62.71 56.58 52.51 56.94 77.58 62.26 Tabel 1.1 menunjukkan angka Indeks Pembangunan Manusia yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih tergolong rendah. Terdapat 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang termasuk dalam kategori rendah, yaitu Kabupaten/Kota dengan angka IPM kurang dari 60 dan 11 Kabupaten yang termasuk dalam kategori sedang dengan angka IPM kurang dari 70. Kota Kupang menjadi satu-satunya daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan angka Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi dan yang tertinggi pada tahun 2014, yaitu sebesar 77,58, sedangkan Indeks Pembangunan Manusia terendah berada di Kabupaten Sabu Raijua. Secara keseluruhan IPM di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih tergolong rendah. Gambar 1.1 Diagram PAD, DAU dan DAK di Provinsi NTT Tahun 2012-2014 Gambar 1.1 menunjukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dari tahun 2012-2014 selalu mengalami kenaikan. Dana Alokasi Khusus yang besarannya tidak dapat dipastikan, mengalami kenaikan dari tahtetapi tidak begitu besar bila dibandingkan dengan kenaikan dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kenyataan ini sedikit mencoreng kinerja perekonomian Nusa Tenggara Timur karena dapat dilihat dari tahun 2012-2014 yang mengalami peningkatan, tetapi di sisi lain nilai Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Nusa Tenggara Timur masih di bawah Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan pemerintah daerah dalam menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kepentingan peningkatan kualitas pembangunan manusia Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka penelitian ini berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012-2014”. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah pengaruh PAD, DAU dan DAK terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran tentang PAD, DAU dan DAK dan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 2. Apakah PAD, DAU, dan DAKsecara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 3. Apakah PAD, DAU, dan DAK secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran tentang Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Untuk memberikan bukti empiris Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3. Untuk memberikan bukti empiris Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan untuk pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 2. Sebagai bahan masukan untuk peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema sejenis.