rtepresentasi Politili Perempuan diantara Dcmokrasi dan

advertisement
rtepresentasiPolitili Perempuandiantara Dcmokrasi dan RefurmasiEkoncmil
Sri Lesta.iWairyuningrcemPendahuluan
Dalam kajian tentang transisi demokrasi yang berkembangbeberapadekade
terakhir, reformasi ekonomi dan reformasi politik dernokratismerupakandua hal yang
dinilai berkontribusiterhadaptransisidari rejim otoritarianmenujrrdernokrasidi sebuah
negara. Persoalan peningkatan kehidupan pe:empuan di negara-negaraberffansisi ini
kemudian seringkali secaradikotomis ditempatkan datam dua wilayah ini. Tidak heran
jika kernudianada pertanyaan:manakahyang lebih penting bagi perempuan:reformasi
ekonomi berbasispadapasarbebasatau reformasipolitik demokratis?Atau, secaralebih
sederhana.lebrh penting kapitalisme atau demokrasi untuk perempuan?
Michael D. Stroup (2008) mencoba menguji pertanyaan tersebut dengan
mengukurbeberi.paindikator sepertikesehatan,pendidikan,pekerjaan,dan kesejahteraan
perempuan beberapa negara di dunia. Dengan menggunakan indikator kebebasan
ekgnomi dari FraserInstitute'sEconomir,FreedornIndex (EFI) di lebih dari 120 negara
<iidunia sejaktahun 1975,sertaindekshak-hakpolitrk dari FreedomHortse(PRI), Stroup
men-fimpuikan bahu'a refonnasi institusionalyang mengarahkanpcrekotiomiln ke arah
kapitalisme rnemiliki pengaruh pos''if terhaciapkesejahteraanDerel;,puandariptr,a
patisipasi pcrer}lpuandi pcsis i)en-qaffoilan
ie{brnlasi i;olitil< yang meningkatKi.i.i
iieputusan.Atau, kapitaiisne lelrih baik untuk perempuandanpadademokrasi.
'perernp.-rn
Apakah kesirnpulantersebut relevan dengan kajian-kajian tentang
cian transisi derrokrasi'? Untuk konteks Indonesia,apakah kesimpuiantersebutsecara
signifikan dapat ditemui dan diamini? Untuk kontekstransisi dan refbrrnasiriangteladi
di Indonesia,bagairnanakahsebetulnyawacana perempuanberelasi terhadap transisi
dernokrasi itu sendiri? Ketika gerakan perempuanberikut berbagai komponen vang
mendukung pada akhirnya berhasil memasukkan ketentuan rninimal kuota dalam
kebi_jakanfonnal, apakah ini memiliki arti bagi pencapaiankehidupan vang lebih baik
bagi perempuan?Ataukah sebetulnyareformasi sektor ekonomi di Indonesia yarrg
mengarahpada kebebasanekonomi dan pasarsudahmemberikan peluangemansipasidan
perempuan?
peningkatankesejahteraan
Paper ini mencobamelihat di titik paling awal untuk mencobarnengeksplorasi
beberapaanalisis atas sejumlah pertanyaandi atas. Dikatakan titik awal, karena selama
ini belurn ada kajian yang secara signifikan berkontribusi terhadap wacana besar
demokratisasidi Indonesiayang memberikanruang cukup bagi analisistentanginteraksi
antara perempuan dan institusi politik dan ekonomi, terutama menyoroti seiauh tnana
outcome atau capaianyang dicapai dalam sepuluh tahun reformasi terhadappeningkatan
kehidupanperemplun.
Perempuan dan Transisi I)emokrasi dalam Kajian llmu Politik
Studi-studi tentang transisi dan demokratisasiyang ditujukan untuk menganalisis
berakhimya rejim otoritarian yang memunculkan periode transisi dalam suatu negara
berkembangpesatdalam ilmu politik. Yang paling kontemporer yangberkembang di era
70-an hingga awal 80'an adalahstudi-studi tentang konsolidasi demokrasi. Meski tidak
t
Paperuntuk dipresentasikanpada Konferensi Demokrasi dan Tirani Modal, FISIP UI, r Agustus 2008
'Pengajar Ilmu
Politik IJI
ada konsensustentang definisi konsoli.lasi, uniumnya kelompok transitologis lebih
tertarik menganalisissisternpolitik sepertiapa yang bisa,dikt nsoliiiasi dan apayang bisa,
dilakukan untuk mendorongterjadinya konsolidasi. Fokirsnya terutama pada potensipotensi yang menghambatkonsolidasi, serta peran-peranstrategisyang bisa dilakukan
oleh partaipolitik dan masyarakatsipil. Yangjuga terkait dalamhal ini adalahbagairnana
hubunganinta:a refonnasi ekonomi dan proses serta refbrmasi politik.' Namun kdtik
utama yang ditujukan paCastudi-siudi ini antara lain adalah fokusny'ayang terlalu besar
pada proses dan keputusan-keputusanyaeg diarnbil di tingkatan elit, dan kt,rangnya
analisis atas hasil (outcomes) yang muncul sebagai pengaruh institusi dan struktur
(politik) yang ada.
Kritik lain yang ditujukan bagi studi-studiini adalah hilangnya dimensi gender
dalarn analisis-analisistentang demokratisasi, konsolidasi demokrasi dan reformasi
politik, maupun reiormasi ekonomi. Tidak jarang isu-isu /arrg mcnlentuh persoalan
dan masyarakatsipil juga abai terhadapaspekini. Belakangan,
inklusivitas,representasi,
'perempuan
da.ntransisidemokrasi'
literatur dan studi-studirnulai dilakukanterhadapisu
untuk mengkoreksi kebutaan gender (gender blindness) yang ter.iadi dalam analisisanalisismainstreampolitik (Way:len.1998;Alvarez,l99T;.tacq:iette,1914).Sebaliknya.
.lalarn kajian-kajian dan literat'rr 'perempuandan transisi demokrasi' yar.g adr, fokus
analisislebih seringdiarahkanprrdaoerangerakanperempuandan rnobiiisas;percnrouan.
Sedikit sekali fokus yaiig diber:ikan untuk mengarahkan pada kondisi yarg
memungkinkankonsolidasidari interaksi antaraperempuandan institusi ekonomi dan
politik (Waylen, 1996). Ini tampak sekali dalam konteks Indonesia.Keban.vakanstricli
tentang demokratisasidan konsolidasi dernokrasitidak terlalu menaruh perhatianpacia
a.spekgender.Selain karena ihnu poirtik yang mainstreamsudah terinstittisiouaitsasi
secaramapan baik dalarn hal pendekatanmaupun praksis,juga karena kajran gender
berkembangpesat secaraeksklusif dari studi-studipolitik. Sementaraitu, kajian-kajian
tentang peran perempuan dalam dernokrasi lebih banyak terpusat pada peran gerakeir
perempuan,terutamadi level masyarakatsipil, sertaaktivitasmobilisasiperempuan.
Beberapa p:ngalaman di banyak negara yang be:transisi menunjukkan bahrva
perempuanmemiliki siginifikansi besardalam prcsesreformasiekonomi dan politik. Di
negara-negarabekas komunis di Eropa Tengah dan Timur, transisi dan konsolidasi
demokrasi masih menyisakansejumlah pertanyaantentang kesetaraandan keadilan bagi
perempuan.Bukan saja perempuandihadapkan pada kemunculan nasionalisme sempit,
tetapi juga dihadapkanpada persoalanglobalisasi dan liberalisasi. Transisi memunculkan
bentuk demokrasi maskulin ataumasculine democracy (lihat misalnya Ruth Rosen, 1990
dan Zlllah Eisenstein, 1993) dimana system dan ke'ijakan yang dilahirkan tetap
meninggalkan perempuandi lini terbelakangdari denrokrasi.Yang te{adi adalahtransisi
dari rejim paternalistik kepada rejim baru yang bentuknya patriarkal. Di negara-negara
ini, aksesperempu;l terhadapkebijakan politik terbukfi sangatterbatas.Beberapastudi
yang dilakukan di kawasan ini menunjukkan, pada Pemilu demokratis yang pertama
setelah keruntuhan komunisme, angka keterwakilan perempuan di parlemen menurun
drastis dari sekitar 30%.menjadi rata-rata l0%o, dan bahkan di beberapanegara seperti
3 Kebanyak n kelompok transitolog memberi analisis serupaseperti yang dilakukan dalam oleh Guillermo
O'Donnel C n Philip Schmitter dalam buku klasik mereka Transitionfrom Authoritarian Rule: Tentative
Conclusion abaout Uncertain Democracies, 1986. Buku ini banyak menjadi rujukan dalam kajian-kajian
tentang demokratisasidi negara-negarabertransisi di dunia.
Rumania, Ukraina dan Macedoniakurang dari 5% (Richard Matland, 2003). Beberapa
ir'dikator kesejahteraanmemperlihatkan kc.rdisi perempuan yang semakin terpuruk
karena pilihan-oilihan reformasi politik dari ekonomi yang tidak berpihak pada
perempuan. Daiam hal kutenaga kerjaan, saat ini terJadi kecenderungansemakin
men'runnya jumlah tenaga kerja perempuandi sektor publik seperti yang terjadi di
Rusia. Tingginya angka perceraianmengakibatkanperempuanharus menjadi orang tua
tunggal dan rnembatasiaksesnyaterhadappekerjaankarela negaratidak memberi bentuk
dukungan atau subsidi terhadappengasuhananak dan keluarga seperti yang dilakukan di
(lihat laporanILO, 2003)..Bidang-bidangyang di masalalu
masasosialisme/kor,runisme
didominasi oleh tenagakerja perempuanditurunkan nilainya dalam rnasyarakatsehingga
terjadi ferninisasi bidang pekerjaan tertentu dan rendahnya gaji perempuan dibanding
perempuanlebih tinggi daripadatnerekayang bekerja.
laki-laki. Juralahpengangguran
Refonnasi ekonomi juga membawa perubahanyaag tidak menguntungkanbagi
perempuan.Bidang-bidangindustri yang dulunya didominasi p€rempuan,sepertitekstil,
tidak lagi rnenjadi andalan bagi pemerintah saat ini. Banyak industri yang ditutup atau
diprivatisasi. Di bawah kebrlakan liberalisasi pasar, pemilik modal umumnya lebih
perempuandengansegala
cenderungrnernilihtenagakerja laki-laki karenapertirnbarrgan
baik da"i
kondisi yang ada aka.nmenghambatproduktivitas.Dengan segalr keterbatasan
untuk
dapat
terlibat
perempuan
harus
benrpaya
kcras
ekstra
sisi penciidikandan keahlian,
dalarn sector ini. Barbara Einhorr-rmenganalogikannyasebagai Cinderc:lla goe,\ to
mrtrket; han\,a saja ceritanya tidak happy entling sebagaimanadongeng kanak-kanak
tentangtokoh Cinderella(Einhom, 1993).
Potret buram di atas diperparah lagi dengan obyektivasi tubuh perempuan.
Seksualitas dijadikan komoditas pasar, rnuiai dari pelacuran, p.-'rnografi, hingga
perdaganganperempuan.Tidak heranjika perempuanrentan denganberbagaipenyakit
kelamin, tennasuk AIDS. Tidak hanya itu, politisasi reproduksi dan tubuh perelnpuan
juga terjadi di harnpir seluruhnegaraeks komunis. Di negara-negara
bekas Yugoslavia,
mengakibatkanperempuansebagaikorbanperkosaanmassal.
konflik berkepanjangan
juga terjadi
Sementaraitu di Argentina,Chile, dan P:ru, beberapakecenderungan
seperti disebutkandi atas.Namun gerakanperempuanmemiliki peran yang signifikan.
Dengan memisahkandua rvilayah reformasi institusional,yakni ekonomi dan politik,
Georina Way'lenmenunjukkan peran gerakanperempuandalam transisi merupakansalah
satu faktor paling dominan dalam memberikan akibat atau impact terhadap outcome
demokratisasi(Waylen, 1998).Dalam hal refonnasi politik kepadasistemelekloralyang
kompetitif, sistem kepartaian yang terinsitusi memberikan peluang yang besar bagi
aktivis perempuanuntuk melakukan tekanan-t^lianansecaraformal agar kebijakan yang
sensitif gender dapat dilaksanakan. Dalam hal ekonomi, gerakan perempuan juga
memiliki peran signifikan dalam memberikan pengaruh baik jangka pendek maupun
jangka ^:i',rjang.
Perempuan dalam Reformasi Ekonomi di Indonesia
Apakah kapitalisme membebaskanatau menindasperempuan?
Pertanyaan ini kerap kali muncul dalam berbagai wacana atau literatur feminisme.
Mereka yang menjawab kapitalisme sebagai pembebasan,umumnya sangat optimis
bahwa kapitalisme dan industrialisasi memberikan kesempatanpada perempuan untuk
keluar dari wilayah domestiknya untuk terutama bekerja dan mendapat upah atas
kerjanya. ini yang kemudian menjadikan perempuanmenjadi lebih independendan tidak
lagi terger'tungpada suami atau pesangannya.Disisi lain, kelompok pesirn: selalu
rnenaruh curiga terhadap praktek-praktek capitalisme. Kapitalisme sebagaisebuahkerja
menggantikan fungsi produksi rumah tangga atau keluarga nenjadi fungsi reproduksi
sematadan tidak dihargai sebagaimanakerja di dunia kapital. Sistem ini kernudian yang
memperkenalkan konsep breadwinner bagi laki-laki, yakni mereka yang bekerja dan
menafkahi keluarga sementaraperempuan didefinisikan sebagaicare-giver. Perempuan,
kalaupun pada akhirnya dibutuhkan untuk mengisi tenaga kerja, dibayar dengan sangat
murah di bawah upah kerja laki-laki. Beban ganda kernudian dilakoni perempuaq yaki
fungsinya sebagai caregiver di wilayah dornestik serta perannya yang lebih otonom di
wilayah publik. Kelompok ortodoks boleh saja berpikir bahwa kemunculanperjuangan
eman:ipasi hak-hak berhasil melumerkan patriarki karena memungkin perempuanjuga
ikut bkerja dan rneniadi independen, tapi di saat yang lain patriarki melakukar
penyesuaiandan mengoraganisirulang (atau 'reorganizing' dalam istilah Cyster Holter,
2003)
Teniu saja, literatur-literatur paling awal tentang isu ini dibangun dalam sebuah
konteks sangat spesifik di ;regara-negaruindustri yang saat ini sudah mapan. Kontesnya
menjadi sangat berbeda dalarn konteks negara yang bertransisiataupun negara dunia
'Pembangunan
kctiga.Di negara-negara
ini, kapitalismehadir dalamkonteksglobalisasi.
di negaraini merubahfungsi reproduksimelalui ekonomi non rnonetersepertimengganti
fungsi pertanian dengan perusahaan tani, impor pangan murah, ataupun deforestasi.
Tuntutan penyesuaianstruktural yang diajukan International Monetary Fund dan World
Bank meinaksa negara untuk mengurangi perlindungan sosial negara kesejahieraan
sekaligusmeningkatkankemiskinandan kelidak setaraan(Marchanddan Runyan,70A2;
Stiglitz2002,Sparr,1994)).
Di Indonesia,sepertijuga di negara iain di dunia ketiga, krisis ekononii vang
melanda meuraksakebijakan penyesuaianstruktural atau structural adlu,stmentpolicv
(SAP) dernikian untuk diberlakukan. Rasioanl dibalik kebijakan ini adalah bahrva
persoalanekonomi yang umumnya dihadapi negara dunia ketiga seperti inflasi dan
defisit, disebabkanoleh ketidak seimbanganstruktural. Dibutuhkan'penyeimbangan',
'distorsi' perlu
sehingga
dihilangkan dengan liberalisasiekonomi, membebaskanpasar
ekonomi, mengurangiperan negaramelalui privatisasi,dan meminimalkan subsidi dan
yang te4adi sejak reformasi dimulai sepuluh tahun
deregulasi.Penyesuaian-penyesuaian
lebih yang lalu di seklor ekonomi temyata menghasilkankesenjanganyangsernakinlebar
antara masyarakatmenengahdan rniskin, meingkatnya kemiskinan, menurunnyastandar
hidup masyarakatdi Indonesia.
'buta
Kebijakan penyesuaiantersebut selama ini memperlihatkan karakteistik
gender' atau gender blind'. Ekonomi reproduktif atau perempuan sebagaitenaga kerja
yang tidak dibayar sama sekali tidak irpertimbangkan dalam kebijakan tersebut.
Disamping itu, pengambil kebijakan yang tidak membedakanpembagian kerja seksual
berasumsi adanya mobilitas pekerja, misalnya pekerjaan industrial yang umumnya
dikerjakan oleh lakiJaki menjadi pekerjaan jasa yang umumnya dilakukan perempuan
(Elson, 1995). Pemotongan jasa kesejahteraan memberikan dampak signifikan bagi
perempuan sebagai penyedia dar konsumen jasa kesehatan dan sosial mengakibatkan
hilangnya peke{aan dan kesejah eraan perempuan yang bekerja di bidang ini seperti
guru, perempuan, yang merupakan mayoritas pekerja. Tidak hanya itu, dampak tingginya
tingrat penganggurandan kemiskinan mengakibatkan perempuandalam rumah tangga
harus berpikir lebih keras untuk merrdapatkanstrategi can soiusi pertahananhidup.
termasuk melakukan peke{aan di sertor non formal. Perempuankepala rumah tangga,
atau janda, menjadi semakin miskin, dan anak perempuanterpaksa banyak yang harus
putus sekolah. Yang terjadi berikutnya adalah tingginya tingkat trafficking tnanusia,
umumnya perempuan, dan meningkatnya tingkat kekerasandan pelanggaranhak asasi
perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan yang tercatat tahun 2402 adalah
5,163 kasus,meningkat dari sebelumnya3.169 pada tahun 2001. Tahun 200-l sebanyak
53% insiden kekerasanterhadapperempuanteqadi di lingkungan komunitas termasuk di
daerah konflik di Aceh dan 460/otefadi di lingkungan keluarga (Kornnas Perempuan,
2004). Perempuan harus bertahan dengan bekerja di luar wilayah reproduksi,
mengakibatkanbebangandakarena pada saatyang samaia juga harusmenjalankanperan
genderyang terbangunsecarasosio kultural dalam pengasuhananak dan keluarga.
Liberalisasi ekonomi lewat program-program reiormasi berbasis pasar bebas
(baca:kapitalisrne), dalam konteks transisi di Indonesia, terbukti meruntuhkan tesis
bahwa kapitalisme bisa memberdayakanperempuan dan membawa kesejahteraanbagi
Derempuan.
Perempuandan ReforrnasiPolitik di Indonesia
Situasiperempuantidak lebih baik dalarnhal politik dan lronsolidasidemokrasidi
Indonesia.Konsolidasijelas sekali tidak menyertakanperempuandi dalamnya,seperti
ditunjukkan dengan dua hal: minirnnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan
keputusandan minimnya isu perempuandalamberbagaikeputusan
dan kebijakanpolitik.
l)alarn poin yang pertama,terjadi peningkatanyang tidak signifikan dalarn hal
-iumlah keterrvakilanperempuan di DPR dari 9o/opada periode 1999-2004 menjadi
i 1 090,'0pada periode 2004-2009. Ri":t Demos rnengindikasikanperkembangan,vang
baik dalarnhal kualitaske{a, hak dan institusiy'angterkait dengankesetaraangenderdan
partisipasi serta akses perempuanpada kehidupan publik.u Sementaraitu, untuk poin
kedua dituniulikan dengan keenggananpartai-partai politik mengakomodir persoaian
perempuandi dalam rebljakannya serta mengadopsikesetaraangender dalam program
ataupun platfom partainya. Hingga saat ini, baru PKB yang secaraformal menyertakan
ketentuanminimal 3002representasiperempuandi kepengurusannya.
Ketika kita bicara dalam konteks konsolidasi demokrasi dan keterlibatan
perempuan dalam transisi, maka tidak dapat disangkal bahwa partai politik memiliki
peran yang signifikan. Dalam Pemilu, partai politik bukan hanya berperan sebagaiaktor
tetapi sekaligus merupakan penjaga gawang yang paling utama dalam memutuskan
pengisian pos-pos representasi.Hal ini karena partai politik memiliki peran kontrol
terhadap valon-calon kandidat yang akan dinominasikan. Hubungan antara jumlah
keterwakilan peremprrandi legislatif dan partai politik dalam konteks Pemilu menjadi
sangatrelevan.
Untuk melihat bagaimana partai politik dapat berperan meningkatkan
keterwakilan perempuan ada empat aspek yang dapat dijadikan indikator sekaligus
motivator. Yang pertama adalah keorganisasian partai politik dengan melihat pada
struktur dan model pengambilankeputusan.Partai politik dengansentralitaspengambilan
keputusan pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) biasanya akan lebih mudah m rngontrol
'Demos:
di Indonesiq2003
fusetPutaranI mengenaiMasalah-masalah
danPilihan-pilihanDemokratisasi
caloi-calon kandidat ),ang akan dinominasikan.Bagi Partai polrtik yang punya komitmen
tinggi terhadap peningkatarr keterwakilan perempuan model seperti ini akan sangat
efektif utk melaksanakanfungsi dan kornitmennya. Jika ternyata partai politik gagal
menjalankan komitmennya, maka anggota dan pengurus yang lain dapat m;minta
pertanggungjawabanlangsung pada DPP dan Ketua Umumnya. Di sisi lain, model
jika partai politik tidak punya komitmen untuk
sentralistis demikian akan sangat 141s1
keterwakilan perempuan.Inilah yang terjadi dalam partai-politik Ci Indonesia saat pada
Pemilu-pemilu lalu, dimana DPP dapat dengan semena-menamengganti kandidat yang
sudahpasti menangatau memindahkannyake daerahpemilihan lain secarasepihak.
Sayangnya, wajah partai politik di Indonesia masih menunjukkan
maskulinitasnya. Ini terlihat dalam klaim-klaim netral gender dalam kebijakan dan
aktivitas politik. Politik, dalam hal ini, dianggap tidak bisa berpihak pada persoalan
genderkarena prinsip kesamaan(bukan kesetaraan)antaralaki-laki dan perempuanyang
dianggap menjadi nilai demoxrasi. Tidak heran resistensi menolak pengaplikasian
affirmativa actiorr untuk perempuanyang dimunculkan kelompok masayrakatsipil sejak
tahun 2000 ditolak, dan baru tahun ini akhirnya dipenuhi dalam revisi Undang-undang
politik. Padahal, irnplikasi yang paling nyaia dari klaim-klaim netral gender adalah
bahwaproduk polirik padaakhirnyamenjadi bias genderkarenatidak mampu mengenali
a4anyakelompok-keiompokvang tidak terlibat dalam prosesdan pengambilankeputusan
politik. Ini misalnyasaja tarnpakpada Pemilu 2004 lalu, dimana caleg perempuanyang
memperoleh suara terbanyak terpaksa harus memberikan suaranya pada caleg dengan
nomor urut diatasnya,yang umumnya adalahlaki-laki, karenarnekanismeintemal partai
dalampenyusunan
nomor unit cale-e.5
TiCak hanya persoalan internal partai rnenjadi penghambat, keterbatasan
perempuanterhadapaksesfinansialjuga merupakanmasalahutamayang dihadapi para
calon kanc:Jat perempuan (Azza Karam, 2003). Hal ini diakui banyak kandidat
perernpuan,baik untuk legislatif maupun eksekutif. Seorangkandidat perempuanuntuk
rvakil rvalikotadi Aceh mengakuibahrvadia diuntungkandenganaksesyang sangatbaik
terhadap sumber finansial dari keluarganya.Ini berarti, pnlitik menjadi dunia yang
terbatashanyauntuk perempuandenganaksesekonomi yang baik.
Dalam konteks ini, Holter pernah berargumentasi bahwa tingginya tingkat
partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik di negara-negara Nordik
(Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark, dan islandia) tidak lepas dari terserapnya
banyak tenaga kerja perempuan sehingga memungkinkan mereka menjadi independen
secaraekonomi dan merasa berkepentinganuntuk terlibat dalam politik (Holter, 2003).
Di Indonesia, belum ada studi yang coba menelusuri kondisi demikian sampai saat ini,
tapi secaraumum bisa dikatakan bahwa kemampuan finansisal seorangkandidat sangat
menentukan bisa tidaknya seseorangmasuk ke dalam daftar kandidat. Tidak banyak
perempuan di lndonesia yang memiliki situasi demikian, d.:: mereka yang mendapat
kesempatan demikian harus memikul tidak saja beban ganda tetapi beban triple antara
peran merekadalam rumah tanggadan pengasuhan,ekonomi, dan politik.
Keterwakilan Politik Perempuan: sebuah Harapan?
Ketika kuota minimal untuk perempuan dilegalka r dalam revisi UU Politik 2008,
banyakpihak menganggap ini sebagai sebuah kemeni ngan dalam wacana perempuan dan
5
Dalam Debbie Prabawati, paper 'Quo Vadis Perempuandalam Politik?", tidak diterbitkan.
demokratisasi Ci Indonesia. Tentu saja kuota adalah salah satu cara, disamping banyak
lagi cara lain untuk memastikan konsolidasi demokrasi juga melibatkan porempuan
secarasignifikan dalam demokrasi.
Agaknya penyebutan hal ini sebagai sebuah kemenanganterlalu terburu-buru. Kuota
merupakansebuahtitik start, bukan pencapaian.Kuota akan menghadapitantanganyang
sama dengan banyak analisis yang menyimpulkan bahwa ekonomi kaprtalisme akarr
membawakssetaraandan pemberdayaanbagi perempuan.
Kuota sebagai sebuah mekanisme juga layaknya menjadi kajian bagi konsolidasi
dernokrasiyang lebih bersifat menganalisissecarastructural dan kondisi bagi terjadinya
perubahankea rah demokrasi yang lebih baik. Perubahanyang diharapkan, tidak haya
dengan diimplementasikannyakuota, tetapi juga dengan meningkatnya jumlah efeldif
keterwakilanperempuan,paling tidak mencakupempat hal (Lovenduski,200C),yakni.
(1) perubahan institusional dan procedural yang lebih memungkinkan inklusivitas
kepentingandan perwakilan kelompok minoritas, (2) pembahanimpact ata:odampak dan
outcome dari prosesdemokrasi,(3) perubahanrepresentasi,yang memungkinkan adanya
bentuk representasi politik yang lebih mencerminkan wajah demokrasi, dan (4)
perubahandiskursus,terutamasekali di level structi;ral, cultural dan ideologis.
Download