TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kerbau Menurut Bhattacharya (1993), semua kerbau domestik diduga berevolusi dari arni (Bubalus arnee) yaitu kerbau liar dari India yang masih dijumpai di hutan-hutan di daerah Assam. Domestikasi kerbau sudah terjadi sejak lama dan tidak diketahui pasti kapan terjadinya. Namun, penemuan-penemuan arkeologis di India menyatakan bahwa kerbau didomestikasi sekitar 4500 tahun yang lalu. Berdasarkan tipe habitatnya, kerbau dibedakan menjadi kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau lumpur (swamp buffalo). Kerbau sungai lebih menyukai berada di air yang bersih dan mengalir, sedangkan kerbau lumpur lebih suka berada di lumpur, rawa-rawa, dan air yang menggenang (Bhattacharya 1993). Kedua kerbau ini merupakan kerbau Asia yang didomestikasi dan memiliki jumlah kromosom yang berbeda, yaitu 48 kromosom untuk kerbau lumpur dan 50 kromosom untuk kerbau sungai (Bahri & Talib 2008). Kerbau tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, mulai dari populasi terbanyak sampai terendah secara berturut-turut yaitu di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua (Ditjennak 2010). Penyebaran populasi ini merupakan dampak dari adanya zona ideal bagi kerbau untuk dapat hidup dan beradaptasi. Berdasarkan data statistik Direktorat Jendral Peternakan, populasi kerbau lebih banyak terdapat di daerah pulau Sumatera yang relatif memiliki musim panas lebih singkat dan berudara relatif lembab. Kondisi demikianlah yang menjadi kemungkinan populasi kerbau lebih banyak terdapat di daerah Indonesia bagian barat dari pada di Indonesia bagian timur (Bamualim & Muhammad 2008). Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) terdistribusi di negara-negara Asia Tenggara seperti Burma, Laos, Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia, bahkan meluas hingga ke Cina dan Assam. Kerbau lumpur merupakan sebutan untuk semua jenis kerbau lokal yang terdapat di Asia tenggara. Penggunaan nama kerbau lumpur ini dikarenakan di Malaysia bagian barat, habitat alami kerbau ini adalah di lumpur. Klasifikasi dari kerbau lumpur ini (Roth 2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus bubalis Secara fenotip, kerbau memiliki tulang yang besar, agak kompak dengan badan yang tergantung rendah pada kaki yang kuat dan kuku yang besar. Kerbau tidak mempunyai glambir maupun punuk. Kerbau mempunyai tanduk yang lebih padat dibandingkan dengan sapi, bahkan beberapa jenis dapat dibedakan melalui bentuk tanduk yang khas (Bhattacharya 1993). Ketika lahir, kulit kerbau berwarna abu-abu. Tanduk, kaki, dan rambut secara normal memiliki warna yang sama dengan kulit, tetapi cenderung sedikit gelap. Pada kerbau sungai, warna rambut biasanya hitam. Kerbau lumpur biasanya memiliki kaki yang berwarna putih atau abu-abu terang dan garis putih atau abu-abu terang menyerupai kalung di bawah dagu dan leher (Robbani 2009). Tanduk pada kerbau muda tumbuh secara lateral dan horizontal, sedangkan pada kerbau dewasa melengkung bulat membentuk setengah lingkaran. Tanduk kerbau memiliki ciri-ciri umum melingkar, lebih padat dari tanduk sapi, terdapat gelang-gelang tanduk dan warna hitam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robbani (2009), terdapat dua bentuk tanduk kerbau yang dapat ditemukan di daerah Kabupaten Bogor, yaitu melingkar ke belakang dan melingkar ke bawah. Bentuk tanduk yang dominan di daerah tersebut adalah melingkar ke belakang. Namun, di daerah Tapanuli Selatan dominan ditemukan tanduk melingkar ke atas. Selain tanduk, ciri yang khas pada kerbau adalah unyeng-unyeng (whorls). Unyeng-unyeng merupakan garis tanda pada rambut kerbau yang umumnya berbentuk melingkar-lingkar dan semakin terpusat. Unyeng-unyeng dapat ditemukan di bagian kepala, dada, pinggul dan perut (Robbani 2009). Kerbau merupakan hewan tropik yang memiliki daya tahan rendah terhadap panas. Oleh karena itu, kerbau lebih suka berkubang dan sebaiknya berada di daerah dengan suhu relatif rendah. Hasil penelitian menyatakan bahwa zona paling ideal bagi kerbau untuk bermukim yakni pada kisaran suhu 16 o-24oC, dengan batas toleransi 27,6oC. Suhu tubuh kerbau dalam kisaran normal 37,4o37,8oC, pulsus jantung 38,6-44,7 kali/menit, dan respirasi 25,6-29,4 kali/menit (Bamualim & Muhammad 2008). Adaptasi kerbau lumpur terhadap panas lebih rendah dibandingkan dengan kerbau sungai. Kerbau lumpur membutuhkan air yang lebih banyak dan tidak terbatas untuk mempertahankan agar dirinya tetap sejuk. Kerbau memiliki kulit yang gelap dan rambut yang jarang, sehingga absorbsi panas pada tubuhnya akan lebih besar. Kemampuan evaporasi pendinginan dari tubuh kerbau kurang efisien dikarenakan kemampuan berkeringat yang rendah. Oleh karena itu, kerbau yang dipekerjakan di bawah sinar matahari langsung akan menunjukkan tanda-tanda sakit. Jika dibandingkan dengan sapi, kemampuan adaptasi kerbau terhadap panas memang lebih baik, namun pada kondisi dingin sapi mampu beradaptasi lebih baik (Bhattacharya 1993). Perbedaan yang cukup mencolok antara kerbau dan sapi dapat dilihat dari tingkat efisiensi pakan. Kerbau dapat bertahan hidup dengan kondisi pakan yang berkualitas rendah. Kelebihan ini dapat menjadi keuntungan bagi peternak karena dengan input yang rendah dapat menghasilkan output yang tinggi. Kerbau juga memiliki daya adaptasi yang besar, misalnya pada kondisi dimana terdapat banyak jerami atau rumput air yang tidak dimakan oleh sapi, maka kerbau akan tetap memakan pakan tersebut. Pada kondisi seperti ini, sapi akan memburuk kondisinya, sedangkan kerbau dapat terus bertahan (Bhattacharya 1993). Darah Darah merupakan elemen paling penting bagi makhluk hidup tingkat tinggi. Darah terdiri atas cairan dan padatan dengan perbandingan 55% cairan dan 45% padatan. Bentuk cairan disebut plasma yang terdiri atas air, protein, elektrolit, gas terlarut, zat makanan (nutrien), hormon, dan produk sisa (waste product). Bentuk padatan terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit (platelet). Bentuk cairan dan padatan ini dapat dipisahkan melalui sentrifugasi. Bentuk cairan lebih ringan dibandingkan dengan bentuk padatan, oleh karena itu pada tabung sentrifugasi (centrifuge tube) plasma terletak dibagian atas dari bentuk padatan (Cunningham & Klein 2007). Sebagian besar sel-sel darah beredar di pembuluh darah. Eritrosit dan trombosit tidak dapat menembus pembuluh darah, sedangkan leukosit dapat bermigrasi ke jaringan dengan cara menembus pembuluh darah untuk melakukan pertahanan terhadap infeksi. Leukosit merupakan sel darah yang istimewa karena merupakan satu-satunya sel darah mamalia yang bernukleus dan memiliki organel. Leukosit tidak mengandung hemoglobin (Hb). Meskipun jumlahnya hanya 1% dari volume darah, namun leukosit adalah komponen yang sangat penting dalam sistem imun (Akers & Denbow 2008). Leukosit, terutama neutrofil, dapat meninggalkan sistem sirkulasi dan keluar dari pembuluh darah melalui proses yang disebut emigrasi. Menurut Akers & Denbow (2008) proses emigrasi ini terdiri atas beberapa tahap yaitu: 1. Di dekat daerah peradangan atau inflamasi, sel-sel endotel kapiler mengeluarkan molekul adhesi yang dinamakan selektin pada permukaannya. Neutrofil juga memiliki molekul adhesi yang dinamakan integrin pada permukaannya yang dapat mengenali selektin. Hal ini akan menyebabkan leukosit berbaris pada permukaan dalam kapiler di dekat daerah peradangan. Proses ini disebut marginasi. 2. Leukosit dapat bergerak keluar kapiler melalui proses yang disebut diapedesis. 3. Setelah meninggalkan aliran darah, leukosit bermigrasi secara amoeboid mengikuti sinyal kimia yang dihasilkan oleh jaringan yang rusak. Proses demikian disebut kemotaksis positif. 4. Neutrofil dan makrofag akan menjadi fagosit dan mencerna bakteri dan selsel yang mati. Leukosit dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit adalah sel yang memiliki segmen atau lobus pada inti sel dan granul pada sitoplasma, terdiri atas neutrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit adalah sel yang tidak memiliki segmen atau lobus pada inti dan tidak ada granul pada sitoplasma, terdiri atas monosit dan limfosit (Samuelson 2007). Karakteristik jenis-jenis sel darah putih secara singkat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Jenis-Jenis Sel Darah Putih Latar belakang sitoplasma Bentuk dewasa tidak berwarna Granul Lama hidup Granul primer muda berwarna merah-ungu; granul sekunder sedikit asidofilik 4-6 jam (kuda); 714 jam (hewan lain) Memakan, menghancurkan, dan mencerna bakteri Sedikit bercak warna biru Besar, bulat, eosinofilik 30 menit (anjing) Menghancurkan, mencerna, dan mengontrol parasit; memakan kompleks antigen-antibodi; berkontribusi dalam respon alergi dan peradangan akut. Memiliki segmen yang paling sedikit diantara granuosit yang lain Bercak biru muda sampai ungu Basofilik, ukuran, jumlah, dan karakteristik bervariasi tergantung jenis hewan Dapat dibanding kan dengan neutrofil Media respon peradangan; respon reaksi hipersensitifitas melalui sekresi mediator vasoaktif (degranulasi) Monosit Tidak bersegmen, bentuk bervariasi (bulat, seperti ginjal) Bercak birukeabuan dengan variasi ukuran vakuola Berwarna pink sampai merahkeunguan 2-3 hari Prekursor makrofag; memakan antigen Limfosit Tidak bersegmen, bulat sampai oval, ukuran bervariasi. Bersih atau bercak biru muda, tetapi dapat menjadi biru tua pada sel yang reaktif Tanpa granul,tetapi beberapa sel memiliki bercak granul merahkeunguan, ukuran medium sampai besar. Long-lived (bulan sampai tahun); short lived (beberapa jam sampai 5 hari) Respon imun berperantara sel (sel T); respon imun humoral (sel B). Tipe sel Inti sel Neutrofil Bersegmen atau berlobus; Eosinofil Lobulasi jelas tetapi jumlah lobus lebih sedikit dibandingkan neutrofil Basofil Sumber: Samuelson (2007) Peran Neutrofil Neutrofil merupakan komponen terbanyak dari leukosit. Jumlah neutrofil bervariasi pada setiap spesies hewan. Jumlah neutrofil pada hewan dapat mencapai 40% hingga 70% Pada anjing dan kucing, neutrofil adalah jenis leukosit yang paling banyak, sedangkan jumlah neutrofil pada kuda sedikit melampaui jumlah limfosit (Dellmann & Eurell 1998). Nama neutrofil berasal dari bahasa Latin (neuter=neither) dan bahasa Yunani (Philein=to love) yang berarti bahwa granul neutrofil tidak bersifat asidofilik mapun basofilik. Jika dilihat pada preparat ulas darah, inti sel neutrofil bersifat heterokromatik, banyak segmen (2-5 segmen), lobulasi jelas yang dipisahkan oleh benang kromatin tipis dan nukleoplasma. Neutrofil memiliki diameter 9-15 m, lebih kecil dari eosinofil dan hampir sama dengan basofil (Samuelson 2007). Gambar 1 Neutrofil (Hoffbrand 2006) Sitoplasma neutrofil berisi granul-granul kecil berukuran 0,3-0,8 m. Granul pada neutrofil ada dua jenis yaitu granul primer atau azurofilik dan granul sekunder atau spesifik. Granul primer mengandung enzim lisosom dan peroksidase, sedangkan granul sekunder yang berukuran lebih kecil mengandung alkalin fosfatase dan zat-zat bakterisidal (protein kationik) yang dinamakan fagositin. Granul pada neutrofil secara umum pucat, tetapi pada kambing dan domba sedikit eosinofilik. Selain granul-granul pada sitoplasma, neutrofil juga memiliki organel sel. Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen (Akers & Denbow 2008). Neutrofil diproduksi di sumsum tulang. Neutrofil yang keluar dari sumsum tulang akan bersirkulasi dalam pembuluh darah selama 6 sampai 14 jam sebelum bermigrasi ke jaringan untuk melakukan tugasnya selama periode tertentu. Dalam keadaan sehat, hanya neutrofil dewasa yang bersirkulasi dalam sirkulasi. Neutrofil yang belum matang secara normal berada di dalam sumsum tulang, tetapi dapat dilepaskan ke sirkulasi selama respon granulositik terhadap suatu penyakit (Dellmann & Eurell 1998). Neutrofil merupakan garis pertahanan utama terhadap adanya benda asing yang masuk ke jaringan tubuh. Kemampuan neutrofil untuk menuju ke jaringan tubuh dipengaruhi oleh agen kemotakrik (Samuelson 2007). Pada daerah yang terinfeksi, neutrofil akan memfagosit benda asing secara aktif dan mencernanya dengan bantuan enzim lisosom. Kemampuan neutrofil untuk memfagosit benda asing terbatas, sehingga ada saatnya neutrofil menghancurkan diri melalui autolisis. Neutrofil terdestruksi dan mengeluarkan zat-zat hasil degradasi ke dalam jaringan yang kemudian akan diangkut oleh limfe (Frandson 1992). Neutrofil memiliki metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob dan anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Efendi 2003). Jumlah neutrofil meningkat pada kejadian infeksi, peradangan atau pun stres. Contoh adanya peningkatan jumlah neutrofil yaitu pada domba priangan yang mengalami stres transportasi. Peningkatan jumlah neutrofil terjadi pada jam ke-8 sampai dengan ke-12 dan mencapai puncak stres pada jam ke-12 setelah transportasi (Satyaningtijas et al. 2010). Di sisi lain, neutrofil pun dapat berkurang jumlahnya akibat infeksi yang mengganggu atau menyebabkan destruksi leukosit secara umum, seperti pada kasus theileriosis (Mahmmod et al. 2011). Eosinofil Jumlah eosinofil berkisar antara 3 sampai 9% dari jumlah total leukosit. Inti sel memilki 2 sampai 3 segmen. Eosinofil memiliki granul yang bersifat eosinofilik sehingga ciri ini masih menjadi karakter morfologi untuk membedakan eosinofil dengan jenis leukosit yang lain. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat beberapa variasi granul antar jenis hewan. Hewan ruminansia dan babi memiliki granul dominan berwarna orange terang daripada merah, sedangkan granul pada eosinofil anjing berwarna pinkish atau orange muda (Dellmann & Eurell 1998). Sama halnya seperti neutrofil, eosinofil juga memiliki dua tipe granul yaitu granul azurofilik dan granul spesifik. Granul azurofilik lebih banyak terdapat pada saat proses perkembangan sel di sumsum tulang. Setelah dewasa, granul azurofilik akan digantikan oleh granul spesifik. Granul spesifik berbentuk bulat atau persegi panjang tergantung jenis hewan. Selain granul, sitoplasma eosinofil juga terdiri atas polisom, retikulum endoplasma kasar, mitokondria yang menyebar, dan apparatus Golgi (Samuelson 2007). Gambar 2 Eosinofil (Hoffbrand 2006) Eosinofil merupakan sel fagositik lain yang aktif dan tergantung pada respirasi anaerob untuk memperoleh energi. Target fagositosis eosinofil berbeda dengan neutrofil. Eosinofil berperan dalam memakan kompleks antigen-antibodi, tetapi tidak memakan dan menghancurkan mikroorganisme. Eosinofil tidak mempunyai lisosom yang cukup, seperti yang dimiliki granul neutrofil, untuk membunuh bakteri. Namun, granul eosinofil memiliki protein kationik yang dapat membunuh parasit cacing secara efektif (Samuelson 2007; Akers & Denbow 2008). Membran sel eosinofil dapat berikatan dengan leukotrin, histamin, dan eosinophil chemotactic factor (ECF), yang dapat membawa eosinofil menuju ke lokasi peradangan, invasi cacing, atau reaksi alergi. Ketika sampai ke lokasi, eosinofil akan melepaskan protein kationik yang akan membunuh cacing, atau memakan kompleks antigen-antibodi dan melepaskan substansi yang dapat mengontrol respon peradangan (Samuelson 2007). Jadi, keadaan peningkatan jumlah eosinofil (eosinofilia) terjadi jika terdapat parasit cacing, peradangan, atau alergi. Sebaliknya, penurunan jumlah eosinofil dapat terjadi jika terdapat parasit darah sepert Theileria annulata. Berdasarkan penelitian Mahmmod et al. (2011), infeksi Theileria annulata pada kerbau sungai menyebabkan jumlah eosinofil atau leukosit secara umum akan menurun karena destruksi leukosit yang terdapat pada kelenjar limfoid dan organ lainnya. Basofil Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit ditemukan di dalam darah, yaitu sekitar 0 sampai 3% dari jumlah total leukosit. Basofil memiliki nukleus yang bervariasi, misalnya pada satu contoh memiliki segmen yang jelas namun pada contoh lain memiliki dua lobus yang sederhana. Pada hewan, misalnya kuda, nukleus tertutupi oleh granul sehingga sulit untuk melihat bentuk nukleus (Samuelson 2007). Basofil memiliki granul yang berwarna biru jika diberi pewarnaan Giemsa. Sama halnya seperti neutrofil dan eosinofil, basofil juga memiliki granul azurofilik dan granul spesifik. Granul yang paling banyak adalah granul spesifik yang terletak di sitoplasma, bersama dengan organel sel lain seperti retikulum endoplasma kasar, mitokondria, dan aparatus Golgi. Basofil juga mengandung substansi yang terdapat pada sel mast, seperti heparin, histamin, dan eosinophilic chemotactic factor (ECF). Ukuran granul bervariasi tergantung jenis hewan. Anjing memiliki jumlah basofil yang sedikit dan ukuran lebih besar dibandingkan pada hewan lain, khususnya kuda dan sapi (Samuelson 2007). Gambar 3 Basofil (Hoffbrand 2006) Fagositosis oleh basofil sangat terbatas. Basofil muncul utamanya pada aktivitas peradangan langsung dengan mekanisme yang hampir sama seperti yang dilakukan oleh sel mast. Mekanisme terjadinya ikatan antara imunoglobulin E (IgE) pada membran sel basofil membentuk ikatan Fc reseptor sel permukaan yang mirip dengan terjadinya pada sel mast. Ikatan reseptor tersebut akan berikatan dengan antigen sehingga dapat menyebabkan pelepasan isi granul (Samuelson 2007). Monosit Monosit adalah leukosit terbesar diantara jenis leukosit lainnya. Monosit berdiameter 15 sampai 20 m dan berjumlah 3 sampai 9% dari total leukosit. Monosit memiliki nukleus yang berbentuk lonjong, seperti ginjal atau tapal kuda. Monosit menjadi sulit dibedakan dengan adanya transisi antara limfosit kecil dan besar, karena terdapat kemiripan pada bentuk nucleus, terutama pada ulas darah sapi (Dellmann & Brown 1992). Nukleus monosit memiliki warna yang lebih pucat dari limfosit, sitoplasma lebih banyak dari limfosit dan berwarna biru abuabu pucat. Butir azurofilik yang halus seperti debu juga sering ditemukan. Secara ultrastruktur, sitoplasma mengandung banyak lisosom dengan berbagai stadium aktivitas (lisosom primer dan sekunder), retikulum endoplasma kasar, polisom, mitokondria, dan glikogen. Gambar 4 Monosit (Handayani 2008) Peran monosit hampir sama dengan neutrofil, yaitu sebagai fagositik yang berkemampuan memakan antigen, seperti bakteri. Perbedaan monosit dengan neutrofil adalah neutrofil bekerja untuk mengatasi infeksi yang akut, sedangkan monosit mulai bekerja pada infeksi yang tidak terlalu akut seperti tuberkulosis (Frandson 1992). Monosit dalam darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke jaringan menjadi makrofag (Aspinall & O’Reilly 2004) dan menetap di jaringan, seperti pada sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru, dan jaringan limfoid. Selain sebagai makrofag, monosit juga berperan dalam sistem imun. Kontak yang dekat antara permukaan limfosit dan monosit diperlukan untuk respon imunologis yang maksimal (Dellmann & Brown 1992). Monosit berada di dalam darah hanya beberapa hari, tetapi saat meninggalkan pembuluh darah dan memasuki jaringan akan bertahan sampai berbulan-bulan (Samuelson 2007). Limfosit Limfosit adalah jenis leukosit yang juga memiliki jumlah bervariasi pada spesies hewan. Limfosit memiliki jumlah yang dominan pada total leukosit ruminansia, tikus, dan mencit, yaitu mencapai 60-70%. Pada anjing, kucing, dan kuda, jumlah limfosit berkisar antara 40 sampai 60% (Dellmann & Eurell 1998). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid, meskipun berasal dari sel batang primordial di sumsum tulang (Aspinall & O’Reilly 2004). Limfosit memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi. Limfosit memiliki nukleus yang relatif besar, berbentuk bulat atau sedikit berlekuk, yang dikelilingi oleh sitoplasma. Pada sediaan ulas darah yang telah diwarnai dapat terlihat adanya limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit kecil berdiameter 6 sampai 9 m, memiliki nukleus yang besar yang kuat mengambil warna, sitoplasma sedikit dan berwarna biru pucat. Limfosit besar berdiameter 12 sampai 15 m, nukleus lebih besar dan sedikit pucat jika dibandingkan dengan limfosit kecil, sitoplasma lebih banyak. Limfosit besar memiliki apparatus Golgi yang lebih jelas, sitoplasma dan mitokondria yang lebih besar, serta poliribosom yang lebih banyak dibandingkan dengan limfosit kecil (Dellmann & Brown 1992). Fungsi utama limfosit yaitu sebagai respon terhadap adanya antigen dengan cara membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson 1992). Limfosit bertanggung jawab dalam respon imun spesifik dan terdiri atas dua tipe sel yaitu sel B dan sel T. Sel B memproduksi antibodi dan berperan dalam humoral immunity, sedangkan sel T berperan dalam cellular immune response (Aspinall & O’Reilly 2004). Samuelson (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan fungsi dasar, limfosit dapat dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu sel yaitu sel T, sel B, dan sel natural killer (NK). Ketiga tipe sel tersebut tidak dapat dibedakan hanya dengan mikroskop cahaya. Untuk membedakan ketiga sel tersebut, maka dapat digunakan metode imunohistokimia yang dapat menunjukkan perbedaan dari reseptor permukaan sel tersebut (Samuelson 2007). Gambar 5 Limfosit (Hoffbrand 2006) Sel T merupakan sel yang paling banyak yaitu sekitar 60-70% dari total limfosit darah dan berperan dalam imunitas seluler. Sel B memiliki jumlah yang sedikit yaitu 10-12% dari total limfosit darah dan beberapa diantaranya tumbuh menjadi sel plasma yang berperan dalam pembentukan antibodi (Dellmann & Brown 1992). Sel NK yang hanya sejumlah kecil dapat menghancurkan benda asing secara langsung (tanpa pengaruh dari sel T atau sel B) melalui cell-mediated cytotoxicity. Stres Stres adalah kondisi tubuh sebagai respon terhadap suatu ancaman tertentu sehingga tubuh melakukan penyesuaian terhadap kondisi tersebut. Selama proses penyesuaian terhadap kondisi stres terjadi perubahan fisiologis dan tingkah laku hewan sampai proses adaptasi tercapai. Stres dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu stres akut dan stres kronis. Stres akut adalah stres yang muncul cukup kuat, tetapi dapat menghilang dengan cepat, terutama jika penyebab stres dihilangkan. Stres kronis adalah stres yang tidak terlalu kuat, tetapi dapat bertahan lama sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan (NSC 2004). Stres (misalnya akibat trauma, infeksi, peradangan atau kerusakan jaringan) akan memicu impuls saraf ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan hormon pelepas kortikotropin (corticotropin-releasing hormone) yang melewati sistem portal hipotalamus-hipofisis menuju kelenjar pituitari anterior (adenohipofise). Kelenjar pituitari anterior akan dirangsang untuk melepaskan adrenocorticotropin hormone (ACTH). ACTH akan bersirkulasi di dalam darah menuju kelenjar adrenal yang berfungsi untuk mensekresikan glukokortikoid. Zona fasikulata dan zona retikularis lebih sensitif terhadap ACTH untuk menghasilkan glukokortikoid dibandingkan dengan zona glomerulosa yang menghasilkan mineralokortikoid. Glukokortikoid inilah yang mengakibatkan peningkatan persediaan asam amino, lemak, dan glukosa dalam darah untuk membantu memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh stres dan menstabilkan membran lisosom untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (Frandson 1992). Stres pada hewan dapat diukur melalui rasio neutrofil/limfosit (N/L). Kannan et al. (2000) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit pada kambing yang mengalami stres akibat transportasi. Rasio N/L lebih tinggi setelah proses transportasi dibandingkan sebelum proses transportasi. Rasio N/L normal pada kambing adalah 1,5 namun pada kambing yang mengalami stres akibat transportasi dapat mencapai 2,7. Penelitian yang dilakukan oleh Ambore et al. (2009) menunjukkan adanya peningkatan neutrofil pada kambing setelah proses transportasi dan terjadi eosinopenia. Hal ini diduga merupakan respon dari kortisol di dalam darah. Kannan et al. (2000) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan adanya penurunan jumlah eosinofil dan monosit selama transportasi. Perubahan rasio N/L tidak hanya terjadi pada hewan yang mengalami stres transportasi, tetapi juga pada hewan yang dikandangkan di tempat penangkaran. Penelitian yang dilakukan oleh Maheshwari (2008) terhadap Owa Jawa di tempat penangkaran menunjukkan adanya gambaran rasio N/L yang relatif tinggi. Hal ini diduga bahwa Owa Jawa tersebut berada dalam keadaan tercekam, kemungkinan karena perlakuan pada saat penangkapan atau pembiusan.