BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Salah satu plasma nuftah negara Indonesia adalah sapi bali (Bibos sondaicus). Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan domestikasi dari banteng liar (Bibos banteng). Banteng merupakan nenek moyang sapi bali yang hidup bebas saat ini hanya ada di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Sapi bali memiliki ukuran tubuh yang sedang, dada dalam, tidak berpunuk dan kaki yang ramping. Sapi betina berwarna merah bata, sapi jantan berwarna hitam ketika dewasa. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekor berwarna hitam. Ciri khas fisik sapi bali adalah di bawah persendian tarsal dan carpal berwarna putih (white stocking), kulit pada pantat dan paha dalam berwarna putih (white mirror) serta bulu pada punggung membentuk garis berwarna hitam (garis belut) dari gumba sampai pangkal ekor (Batan, 2006). Sapi bali di Bali memiliki fungsi sebagai tenaga kerja pertanian, sumber pendapatan, sarana upacara keagamaan dan sebagai hiburan atau obyek pariwisata (Batan, 2006). Karena sistem pemeliharaan sapi bali di Bali yang masih tradisional menyebabkan masyarakat menganggap pekerjaan beternak sapi hanya sebagai sampingan. Hal ini berpengaruh terhadap pemberian pakan yang cenderung seadanya. Padahal pemberian konsentrat sangat penting untuk sapi bali baik untuk peningkatan bobot badan dan sistem kekebalan tubuh. Menurut Batan (2006) bahan pakan sapi bali di Bali umumnya terdiri dari pakan hijauan, konsentrat (penguat) dan tambahan. Pada kenyataannya petani 55 6 tradisional yang memelihara sapi bali memberikan pakan hijauan saja. Pakan yang diberikanpun seadanya sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Menurut Berata et al (2012) pemberian konsentrat pada sapi bali berpengaruh terhadap respon kekebalan seluler. Semakin lama diberikan pakan campuran konsentrat, mengakibatkan terjadi peningkatan respon kekebalan seluler. Selain itu konsentrat berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot badan sapi. Sapi bali membutuhkan mineral. Sistem pemberian pakan yang seadanya menyebabkan sapi bali kekurangan mineral tertentu tergantung tipe lahan dari pemeliharaan. Pemberian mineral pada sapi terbukti dapat meningkatkan bobot badan sampai 370 g/hari dibandingkan dengan tanpa diberikan mineral yang meningkat 203 g/hari (Darmono, 2007). 2.2. Tipe Lahan Pemeliharaan Sapi Bali Pemeliharaan sapi bali di Bali dilakukan pada empat tipe lahan yakni lahan sawah, kebun, tegalan dan hutan. Kandungan mineral pada empat tipe lahan tersebut sangat bervariasi. Sawah merupakan lahan yang umum digunakan untuk penyediaan pakan sapi bali. Secara turun – temurun masyarakat Bali menggunakan sawah sebagai sumber pencaharian. Sapi bali digunakan untuk membajak sawah pertanian, sehingga tidak heran di persawahan ada peternak yang memelihara sapi bali. Di lahan sawah rumput yang umum yang diberikan ke sapi adalah rumput gajah dan rumput raja. Unsur mineral yang banyak dijumpai di tanah yaitu Mg, Ca, Fe, K dan Na. Lahan tegalan memiliki pH cenderung asam sehingga akan berpengaruh terhadap penyerapan mineral. Tegalan adalah daerah yang bergantung pada air 7 hujan, daerah ini belum memiliki sistem irigasi ataupun tidak memungkinkan adanya irigasi. Pada lahan ini tanah dapat kering ataupun basah tergantung curah hujan yang turun. Sumber pakan dapat tumbuh pada lahan tegalan yaitu ketela pohon dan ketela rambat. Perkebunan memiliki pH tanah dari alkalis hingga asam. Penyerapan mineral tergantung jenis tumbuhan dan keadaan tanah. Tanaman perkebunan ada dua jenis yaitu tanaman semusim contohnya tebu dan tembakau serta tanaman tahunan yaitu kelapa sawit, cengkeh dan kopi. Lahan hutan merupakan ekosistem alam hayati yang didominasi oleh pepohonan, misalnya pohon pinus. Hutan jenis monsum (hutan musim) merupakan kategori hutan yang ada di Bali 2.3. Mineral Mineral merupakan unsur anorganik yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses metabolisme. Mineral yang terdapat dalam tubuh hewan atau tumbuhan tidak lebih dari 50 mg/kg dalam bentuk kompartemen (McDonald et al., 2010). Fungsi mineral bagi ruminansia adalah sebagai katalitik dalam sel, baik makro maupun mikro mineral. Mineral Fe, Cu, Zn, Mn, Mo dan Se terikat pada protein suatu enzim dan memiliki fungsi tertentu pada enzim tersebut. Beberapa mineral dapat berbentuk chelate, yaitu senyawa yang dibentuk oleh unsur organik dan ion logam. Contoh chelate adalah hemoglobin dan vitamin B12 (McDonald et al., 2010). Unsur besi (Fe) berfungsi sebagai pembentuk hemoglobin dan mioglobulin, tembaga (Cu) sangat penting dalam proses metabolisme energi dalam sel dan sangat berperan pada sistem saraf, kardiovaskuler serta imun (Darmono, 2007). Untuk menjalankan fungsi dengan baik sistem kekebalan tubuh 8 memerlukan mineral, baik imunitas spesifik maupun nonspesifik. Mineral yang berfungsi dalam sistem imun adalah Cu, Se dan Zn (Arthington, 2006; Ahola et al., 2010). Penyakit defisiensi mineral merupakan keadaan dimana ternak kekurangan asupan mineral, sehingga dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Menurut Darmono (2007) penyakit ini dapat menyebabkan penurunan bobot badan, kekurusan, penurunan daya tahan tubuh, serta daya produksi dan reproduksi. Defisiensi mineral pada sapi dikarenakan faktor kondisi tanah (dipupuk atau tidak), jenis tanah dan jenis tanaman yang tumbuh di kondisi tanah tertentu. Mineral dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kebutuhan tubuh, yaitu mineral esensial dan nonesensial. Mineral esensial merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan kerja enzim dan perbaikan organ. Mineral esensial dibagi menjadi mineral makro dan mikro. Mineral makro merupakan mineral yang banyak dibutuhkan dan terdapat dalam tubuh, digunakan untuk membentuk komponen organ. Jumlah mineral mikro di dalam tubuh sedikit, karena diperlukan sedikit pula, memiliki fungsi sebagai pembantu kerja enzim. Unsur makro mineral yang diperlukan oleh hewan yaitu : kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na), kalium (K), klorin (Cl), sulfur (S), dan magnesium (Mg). Sedangkan unsur mikro mineral esensial yaitu : besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), molibdenum (Mo), selenium (Se), iodin (I), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (McDonald et al., 2010; Darmono, 2007). 9 2.3.1. Makro Mineral Esensial Tahun 1950 unsur Ca, P, Na, K, Cl, S dan Mg telah ditetapkan sebagai makro mineral esensial. Unsur makro mineral yang esensial memiliki berbagai fungsi fisiologis dan jika defisiensi dapat mengakibatkan penyakit. Mineral natrium (Na), kalium (K) dan klorin (Cl) memiliki fungsi sebagai pemelihara keseimbangan asam dan basa, permeabilitas membran sel dan sebagai kontrol osmotik air. Untuk membentuk struktur tubuh diperlukan mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P). Unsur sulfur (S) memilki peranan dalam sintesis struktur protein, sedangkan magnesium (Mg) memiliki fungsi sebagai katalis dan elektrokimia. Kalsium (Ca) merupakan unsur mineral yang melimpah dalam tubuh ternak, ditemukan pada tulang dan gigi. Sebanyak 99% kalsium yang ada dalam tubuh digunakan untuk menyusun tulang dan gigi. Setiap satu kilogram tulang mengandung 360 g kalsium, 170 g fosfor dan 10 g magnesium. Plasma mamalia mengandung kalsium sebanyak 80 – 120 mg/L yang terlibat dalam pembekuan darah. Kalsium diperoleh secara alami dari susu, rumput, kacang – kacangan dan leguminosa (McDonald et al., 2010 ). Menurut Arifin et al (1999) defisiensi kalsium dapat menyebabkan milk fever pada sapi yang baru saja melahirkan. Pada sapi usia muda dapat terkena penyakit rachitis karena kekurangan asupan kalsium saat fetus, sedangkan sapi usia tua dapat terserang penyakit osteomalacia. Gejala defisiensi kalsium dapat berupa kecacatan tulang, kepincangan, pembesaran sendi, kelumpuhan dan kerapuhan tulang. Fosfor (P) terdapat di setiap sel yang berperan dalam proses metabolisme, buffer cairan tubuh serta sebagai komponen tulang, gigi, adenosine triphosphate (ATP) dan asam nukleat. Penyerapan fosfor dibantu oleh vitamin D. (Soetan et 10 al., 2010). Fosfor yang ada dalam tubuh sebanyak 80 – 85% terdapat pada tulang dari total fosfor yang ada di tubuh. Ternak ruminansia menggunakan fosfor sebagai komponen air liur untuk membantu dalam mengunyah makanan. Penyakit defisiensi fosfor terjadi di daerah tropis dan subtropis. Sama halnya dengan kalsium, kekurangan asupan fosfor menyebabkan rakhitis dan osteomalacia. Dalam sistem reproduksi, defisiensi fosfor dapat menyebabkan fertilitas yang buruk, ketidakteraturan estrus, ovarium mengalami penyumbatan dan penurunan produksi susu. Telah terbukti defisiensi fosfor menyebabkan pica, yaitu sapi akan memakan benda yang tidak seharusnya dimakan yaitu kayu, kain dan benda lainnnya (McDonald et al., 2010 ). Kalium (K) merupakan mineral yang berperan dalam pengatur osmotik cairan dalam tubuh dan keseimbangan asam basa. Kalium berfungsi sebagai kation sel. Kalium berperan pada saraf, otot, terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan kofaktor pada sintesis protein. Defisiensi kalium jarang terjadi karena rumput hijau telah banyak mengandung mineral ini. Gejala defisiensi mineral ini pada sapi berupa kelumpuhan yang parah (McDonald et al., 2010 ; Soetan et al., 2010). Natrium (Na) banyak terdapat pada jaringan lunak dan cairan tubuh. Sama halnya dengan kalium, natrium berperan sebagai pengatur osmotik cairan dalam tubuh dan keseimbangan asam basa. Selain itu, natrium berperan sebagai kation plasma darah, berperan pada transmisi impuls saraf dan penyerapan asam amino (McDonald et al., 2010 ; Soetan et al., 2010). Gejala kekurangan natrium berupa 11 penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi dehidrasi dan penurunan daya cerna asam amino yang menyebabkan pertumbuhan sapi menjadi buruk. Klorin (Cl) adalah anion utama dalam cairan ekstraseluler. Berperan dalam regulasi osmotik, keseimbangan cairan dan berperan dalam keseimbangan asam basa. Klorin memiliki fungsi penting dalam sekresi lambung. Klorin yang berlebih akan dikeluarkan melalui urin dan keringat. Gejala defisiensi klorin adalah alkalosis (peningkatan alkali darah) dikarenakan kekurangan klorin dikompensasi dengan bikarbonat sehingga suasana dalam darah menjadi alkali (McDonald et al., 2010). Menurut Soetan et al (2010) gejala lain dari defisiensi klorin pada hewan adalah muntah, diuretik, gangguan dan penyakit ginjal. Sulfur (S) dalam tubuh sebagian besar merupakan bagian dari asam amino cystine, cysteine dan methionine. Tulang rawan, tulang, tendon dan dinding pembuluh darah salah satu pembentuknya yaitu kondroitin sulfat. Vitamin biotin dan thiamin, hormon insulin serta coenzim-A salah satu komponennya adalah sulfur (McDonald et al., 2010). kekurangan protein. Defisiensi sulfur dapat mengakibatkan Ruminansia yang tergantung dengan sumber nitrogen nonprotein seperti urea, biuret atau amonium fosfat sangat memerlukan pasokan sulfur anorganik tambahan yang digunakan sebagai sintesis protein oleh mikroba rumen. Dalam air liur mengandung sulfur berupa senyawa cyanate (SCN) (Soetan et al., 2010). Sekitar 70% dari total magnesium (Mg) ditemukan di tubuh merupakan komponen tulang dan gigi. Mineral ini berkaitan dengan kalsium dan fosfor dalam pembentuk tulang. Magnesium memiliki fungsi sebagai aktivator enzim 12 misalnya enzim fosfat transferase, piruvat karboksilase dan piruvat oksidase. Dalam respirasi seluler dan pembentukan AMP siklik memerlukan magnesium. Penyerapan magnesium pada ruminansia sangat rendah, salah satu penyebabnya karena dihambat oleh kalium. Defiseinsi kalsium pada anak sapi dapat menyebabkan magnesium dalam darah rendah, tulang kekurangan magnesium, tetani dan kematian. Sedangkan pada sapi dewasa dapat menyebabkan grass tetani yang ditandai dengan penurunan kadar magnesium yang sangat cepat. Kehilangan magnesium dari dalam tubuh dapat disebabkan oleh muntah yang berlebihan dan diare (McDonald et al., 2010; Soetan et al., 2010) 2.3.2. Mikro Mineral Esensial Mikro mineral merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit yaitu 100 mg/hari. Jika berlebihan dapat mengakibatkan keracunan. Sebagian besar mineral ini sudah terdapat pada pakan hijauan sapi bali, namun beberapa kandungan mineral rendah dalam tanah dikarenakan faktor geologis dan jenis tanah. Suwiti et al (2010) menyatakan bahwa lahan di Bali dan Nusa Tenggara Barat kandungan mineral Fe, Cu, Zn dan Co sangat rendah. Darmono (2007) menyatakan bahwa rumput di lima provinsi di Indonesia kadar Cu dan Na rendah. Makanan yang cukup Zn, Mn dan Cu telah meningkatkan kinerja sapi perah melalui peningkatan kesuburan dan kejadian penyakit. Peningkatan kesuburan dikarenakan kebutuhan untuk metabolisme tercukupi (Gentile, 2008). Zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral yang berperan dalam pembentukan eritrosit. Senyawa yang dibentuk oleh mineral Fe adalah senyawa 13 heme (hemoglobin dan mioglobin) dan poliporfirin (tranferin, ferritin dan hemosiderin). Lebih dari 90% Fe berikatan dengan protein. Kandungan Fe dalam hemoglobin sebesar 3,4 g/kg. Fe memiliki sifat yang kurang stabil dapat berubah menjadi bentuk ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Zat besi disimpan di dalam hati, limpa dan sumsum tulang (Arifin, 2008; McDonald et al., 2010). Penyakit defisiensi besi dicirikan dengan gejala anemia, kelemahan, nafsu makan menurun dan diare. Anemia akibat defisiensi Fe pada sapi tidak umum terjadi. Kebanyakan anemia ini terjadi pada anak babi, sehingga perlu penyuntikan Fe dari luar tubuh untuk penanggulangan (Darmono, 2007). Sejak tahun 1927 diketahui bahwa tembaga (Cu) diperlukan oleh hewan. Tembaga diperlukan dalam sintesis besi untuk membantu pembentukan hemoglobin. Gejala penyakit defisiensi tembaga adalah anemia, pertumbuhan yang buruk, gangguan tulang, infertilitas, depigmentasi rambut, gangguan pencernaan dan lesi pada otak serta spinal cord (McDonald et al., 2010). Ahola et al (2010) menyatakan, tembaga juga berperan dalam sistem imun yang dibuktikan dengan metabolisme tembaga mempengaruhi pembentukan antibodi dan berperan dalam sistem enzimatis untuk mengeliminasi racun radikal bebas. Menurut Arthington (2006), enzim yang dibentuk dari tembaga yaitu tembaga/seng superoxide dismutase dan ceruplasmin. Enzim tersebut memiliki peranan dalam sistem imun. Asupan tembaga yang rendah dapat mengurangi kapasitas neutrofil dalam proses fagositosis. Pada sapi defisiensi Cu dapat menyebabkan neutropenia serta mempengaruhi sistem inflamasi. Menurut Gentile (2008) bahwa defisiensi tembaga dapat menekan cell-mediated dan respon imun humoral. Dalam 14 penelitian kepekaan terhadap resistensi Staphylococcus aureus, pengurangan mineral Cu mengurangi kapasitasi neutrofi, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap bakteri. Defisiensi tembaga mengakibatkan penurunan limfosit perifer. Selenium (Se) pada tahun 1930-an dianggap sebagai unsur yang beracun. Pada tahun 1950 selenium dilaporkan bermanfaat bagi ternak yang terbukti dapat mencegah kejadian nekrosis hati dan distrofi otot pada babi. Selenium berkaitan erat dengan vitamin E yang berfungsi melindungi membran dari proses degenerasi. Kekurangan selenium pada ruminansia dapat menyebabkan penyakit otot putih yang merupakan degenerasi otot lurik. Penyakit ini ditandai dengan kelemahan, kekakuan dan kerusakan otot yang mengakibatkan hewan sulit berdiri. Dalam sistem reproduksi, kekurangan selenium menyebabkan retensi plasenta (Peterson dan Engle, 2005). Arthington (2006) menyatakan fungsi neutrofil meningkat karena tercukupinya kebutuhan selenium dan vitamin E. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya peningkatan respon eliminasi agen asing oleh sel inflamasi. Selenium dan vitamin E berperan pada fungsi neutrofil secara nonspesifik. Kandungan vitamin E pada kolostrum cenderung rendah, dengan penambahan suplemen vitamin E pada susu telah terbukti dapat membantu fungsi neutrofil dan menurunkan infeksi kuman pada susu. Fungsi lainya dari selenium adalah berperan dalam pembentukan antibodi, proliferasi limfosit B dan T dalam respon terhadap mitogen dan penghancuran sel oleh sel limfosit dan sel natural killer. Seng (Zn) merupakan mineral yang berfungsi dalam sintesis hormon insulin dan glukagon, berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, berperan dalam 15 keseimbangan asam basa serta metabolisme vitamin A. Kebutuhan Zn pada sapi potong untuk pertumbuhan dan finishing berkisar 20 – 30 ppm. Pakan yang diberi Zn 18 – 23 mg/kg masih mengalami defisiensi. Rendahnya Zn diakibatkan karena tanah yang alkalis dengan pH 8. Peran Zn pada sistem kekebalan tubuh sebagai mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perkembangan sel imun juga dipengaruhi oleh Zn, sel – sel tersebut seperti neutrofil, makrofag, sel limfosit B dan T serta sel natural killer (NK) (Widhyari, 2012). Ensim DNA dan RNA polimerase salah satu kofaktor dan konstituenya adalah mineral Zn. Peran utama Zn dalam sel adalah pada proses replikasi sel, ekspresi gen, metabolisme asam nukleat dan asam amino (Soetan et al., 2010). Ahola et al (2010) menyatakan mineral Zn berfungsi dalam pembentukan antibodi dan berfungsi pada jaringan limfoid untuk memproduksi sel. Peningkatan respon imun termediasi sel terjadi dikarenakan penambahan suplemen mineral Zn. Menurut Gentile (2008), efek defisiensi terhadap sistem imun dapat mengurangi respon imun dan ketahanan terhadap penyakit. Dampak negatif kekurangan Zn pada ruminansia yaitu penurunan proliferasi limfosit dan neutrofil, atrofi jaringan limfoid (timus) dan penurunan kemampuan fagositosis. McDonald et al (2010) menyatakan gejala defisiensi Zn pada ruminansia terjadi sangat cepat dan dramatis. Gejala tersebut berupa pertumbuhan abnormal, nafsu makan tertekan, konversi makanan buruk, parakeratosis dan pada sapi perah banyak ditemukan sel somatik pada sekresi susu. Mangan (Mn) lebih difungsikan ke dalam sistem enzim. Mangan berfungsi sebagai kofaktor dari enzim hidrolase, dekarboksilase, phosphohydrolase, 16 phosphotransferase dan transferase (Soetan et al., 2010). Organ yang memiliki konsentrasi mangan tinggi yaitu tulang, hati, ginjal, pankreas dan glandula pitutuary. Pada ruminansia dilaporkan bahwa kekurangan asupan mangan dapat menyebabkan kelainan bentuk tulang, pertumbuhan terhambat, ataksia pada anak baru lahir dan kegagalan reproduksi. Gentile (2008) menyatakan defisiensi mangan berakibat pada sistem reproduksi. Kerugian yang diakibatkan berupa penekanan estrus, penurunan conception rates, peningkatan kejadian aborsi dan berat lahir yang rendah. Hewan percobaan yang diberi diet kekurangan mangan terbukti sekresi dan sintesis antibodi yang dihasilkan sangat rendah. Mineral iodin (I) penting dalam proses pembentukan hormon tiroksin pada kelenjar tiroid. Setiap molekul tiroksin terbentuk oleh empat atom iodin. Penyerapan iodin dilakukan di usus halus kemudian diedarkan ke kelenjar tiroid, sebagian kecil berada di darah (Arifin, 2008). McDonald et al (2010) menyatakan penyakit defisiensi iodin dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) dan gangguan sistem reproduksi. Anak yang dilahirkan dengan kekurangan iodin akan lemah, perkembangan otak terganggu dan mati muda. Selain itu estrus terganggu dan menurunnya kesuburan pejantan. Kobalt (Co) berfungsi sebagai bagian dari vitami B12. Kobalt yang masuk ke dalam tubuh ruminansia akan dikonversi oleh bakteri rumen menjadi vitamin B12. Vitamin yang telah dihasilkan akan diedarkan ke seluruh jaringan di tubuh (Arifin, 2008). Vitamin B12 diperlukan untuk pembentukan methylating kolin dan thamine, sintesis DNA, serta mengatur pembelahan sel dan pertumbuhan. Defisiensi kobalt pada ruminansia dimanifestasikan oleh gejala anoreksia, 17 gangguan otot, hati berlemak, haemosiderosis limpa dan anemia (Soetan et al., 2010). Molybdenum (Mo) merupakan komponen dari beberapa metaloenzim seperti xantin oksidase, aldehida oksidase, nitrat reduktase dan hydrogenase. Ensim ini berperan dalam pengikatan mineral besi (Fe) untuk metabolisme sel dalam transport elektron. Molybdenum merupakan kofaktor untuk enzim yang diperlukan dalam metabolisme asam amino yang mengandung sulfur dan senyawa yang mengandung nitrogen seperti DNA dan RNA, produksi asam urat, serta oksidasi dan detoksifikasi berbagai senyawa. Pada sapi dan domba, asupan Mo yang tinggi dapat menghambat penyerapan mineral tembaga (Cu), sedangkan bila hewan mengalami defisiensi Mo dapat menyebabkan gout dan merupakan predisposisi batu ginjal xanthine (Soetan et al., 2010). 2.4. Sel Darah Putih (Leukosit) Sel darah putih (leukosit) berasal dari bahasa Yunani dari kata leuco yang berarti putih dan cyte yang berarti sel. Untuk menjalankan fungsi, leukosit mampu bergerak keluar dari pembuluh darah. Pembuluh darah merupakan tempat transportasi bagi leukosit. Jumlah leukosit pada setiap spesies bervariasi dan dipengaruhi oleh keadaan tubuh individu tersebut (Gartner and Hiatt, 2014; Dharmawan, 2002). Jumlah leukosit pada sapi berkisar 8000/µL. Neutrofil dan limfosit merupakan leukosit dominan pada hewan dalam keadaan normal. Jumlah monosit, eosinofil dan basofil yang rendah merupakan normal pada mamalia. Pada sapi yang baru lahir rasio neutrofil dengan limfosit jauh diatas 1,0, seminggu 18 kemudian neutrofil menurun dan limfosit akan meningkat, sehingga jumlahnya menjadi sama. Namun setelah sapi berumur tiga minggu, jumlah limfosit telah melebihi jumlah neutrofil (Harvey, 2012). Total dan sebaran diferensial leukosit pada sapi disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Nilai Normal Hematologi Leukosit pada Sapi Total Leukosit/µL Neutrofil (band) Neutrofil (dewasa) Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Kisaran 4.000 - 12.000 0-120 600 - 4.000 2.500 - 7.500 25 - 840 0 - 2.400 0 - 200 Rata - rata 8.000 20 2.000 4.500 400 700 50 Persentase distribusi Neutrofil (band) Neutrofil (dewasa) Limfosit Monosit Eosinofil Basofil 0-2 15 - 45 45 - 75 2-7 0 - 20 0-2 0,5 28 58 4 9 0,5 Sumber : Dharmawan (2002). Sel darah putih diklasifikasikan berdasarkan inti yaitu inti bersegmen (polimorfonuklear) dan tidak bersegmen (mononuklear). Dilihat dari sitoplasma, leukosit diklasifikasikan menjadi granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit) (Harvey, 2012). 2.4.1. Leukosit Granulosit Granulosit digolongkan menjadi tiga tipe sel berdasarkan sifatnya terhadap zat warna tertentu. Granul basofil bersifat basofil (ungu), eosinofil bersifat asidofil, sedangkan neutrofil tidak bersifat asidofil ataupun basofil. 19 Gambar 2.1. Neutrofil, Eosinofil dan Basofil Berturut – Turut dari Kiri Ke Kanan (Harvey, 2012) Neutrofil dalam peredaran darah memiliki waktu 5 – 10 jam dan pada jaringan hingga beberapa hari kemudian akan diapoptosis oleh makrofag dalam limpa dan hati (Harvey, 2012). Neutrofil dewasa berdiameter 10 – 12 µm. Neutrofil memiliki granul halus pada sitoplasma dan inti yang bergelambir. Inti kromatin terlihat pekat dan bergerombol. Pada ruminansia memiliki benang kromatin antar gelambir. Neutrofil tua memiliki gelambir lebih banyak dan lebih jelas dari pada neutrofil muda. Bentuk dari neutrofil muda (band cell) berbentuk seperti huruf U, V atau S (Dharmawan, 2002). Permukaan sel neutrofil memiliki pseudopodia kecil yang dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Pseudopodia berguna untuk meningkatkan luas permukaan neutrofil dalam rangka proses fagositosis (Weiss dan Wardrop, 2010). Ada tiga jenis granul (butir) yang dimiliki oleh neutrofil dan memiliki fungsi tertentu yaitu granul spesifik, granul azurofilik dan granul tersier. Granul spesifik mengandung agen fagositosis. Granul azurofilik merupakan lisosom. Granul tersier mengandung glikoprotein yang terdapat di membran sel (Gartner dan Hiatt, 2014; Weiss dan Wardrop, 2010). 20 Fungsi neutrofil adalah sebagai garis pertahanan pertama (first line of defense) terhadap serangan mikroorganisme, trauma jaringan atau pemicu sinyal inflamasi lainnya. Peningkatan neutrofil muda mencerminkan infeksi yang terjadi masih baru (akut), disebut dengan istilah shift to the left (bergeser kekiri). Peningkatan neutrofil tua yang abnormal dan hiperpigementasi mencerminkan adanya infeksi kronis atau stress, disebut dengan istilah shift to the right (bergeser ke kanan) (Dharmawan, 2002). Eosinofil memiliki diameter 10 – 15 µm. Inti eosinofil bergelambir dua dikelilingi oleh granul asidofil yang berukuran 0,5 – 1,0 µm. Eosinofil dapat hidup tiga samapai lima hari (Dharmawan, 2002). Eosinofil diberi nama demikian karena terkait dengan eosin (pewarna merah pada pemeriksaan darah rutin). Ukuran bentuk dan jumlah granul eosinofil berbeda tiap spesies. Pada sapi dan babi eosinofil lebih kecil dibandingkan spesies lainnya. Inti eosinofil mirip dengan inti neutrofil, perbedaanya inti eosinofil memiliki dua lobus. Lobus tersebut biasanya tertutup oleh granul (Harvey, 2012). Eosinofil memiliki tiga jenis granul yaitu granul spesifik, granul primer dan granul padat kecil (dense). Granul spesifik mengandung protein sitotoksik kuat yang merupakan granul mayoritas. Granul eosinofil pada ruminansia berwarna orange cerah (Weiss dan Wardrop, 2010). Eosinofil berperan dalam pertahanan terhadap cacing dan bertanggung jawab terhadap proses alergi hipersensitivitas tipe I (Harvey, 2012). Enzim histaminase dihasilkan oleh eosinofil untuk mengaktifkan histamin dan 21 melepaskan serotonin. Eosinofil melepasakan mineral Zn yang menghasilkan agregasi trombosit dan migrasi makrofag (Dharmawan, 2002). Basofil adalah leukosit yang jumlahnya paling sedikit yaitu 0,5 – 1,5%, dengan diameter 10 – 12µm. Inti terdiri atas dua gelambir dengan bentuk tidak beraturan. Granul pada sitoplasma berwarna biru tua atau ungu agak cerah dan menutupi inti (Dharmawan, 2002). Granul basofil bersifat asam mengakibatkan ketertarikan terhadap warna biru pada pewarnaan darah rutin. Pada ruminansia granul basofil banyak terlihat. Sitoplasma basofil berwarna biru pucat, segmentasi inti lebih sedikit dari neutrofil (Harvey, 2012). Basofil memiliki fungsi utama pada akhir fase dari respon hipersensitivitas tipe I serta pada fase awal dari respon hipersensitivitas delayed (tertunda). Basofil berperan sebagai stimulus dalam menghasilkan respon sel T helper 2 (Weiss dan Wardrop, 2010). 2.4.2. Leukosit Agranulosit Sel darah putih yang digolongkan ke dalam agranulosit tidak memiliki granul sitoplasma spesifik, namun kadang mengandung granul azurofil yang tidak begitu spesifik. Ciri dari leukosit agranulosit memiliki inti lonjong, bulat dengan lekukan pada inti yang khas (Dharmawan, 2002). Limfosit besar berdiameter 12 – 15 µm, sedangkan yang kecil 6 - 9µm. Limfosit besar merupakan bentuk yang belum dewasa (prolymphocytes). Sapi memiliki limfosit besar dan kecil. Limfosit kecil sapi mirip dengan limfosit hewan lainnya, tetapi limfosit besar inti ditengah dan lekuk inti mirip kacang. Sitoplasma pucat memiliki vakuola, butir azurofil besar dan berbentuk batang (Dharmawan, 2002). Limfosit memiliki proporsi inti yang lebih banyak daripada 22 sitoplasma. Inti berbentuk bulat, oval, atau sedikit menjorok. Kromatin pada inti bervariasi mulai dari agak kental dengan warna cerah dan gelap. Limfosit ruminansia memiliki pola kromatin seperti mengelompok seperti inti yang dibingungkan dengan inti. Pada ruminansia sulit membedakan limfosit dengan monosit, namun dari segi persentase limfosit lebih banyak dari pada monosit (Harvey, 2012). Gambar 2.2. Limfosit Kecil, Limfosit Besar dan Monosit Berturut – Turut dari Kiri ke Kanan (Harvey, 2012) Sifat limfosit cenderung lentur dan mampu mengubah bentuk dan ukuran sehingga dengan mudah dapat menerobos jaringan. Limfosit di aliran darah ada tiga tipe, yaitu sel T, sel B dan sel null. Pada ketiga jenis sel tersebut ada perbedaan (surface marker) yang dapat dibedakan dengan teknik sitokimia. Sel T berperan dalam imunitas seluler dengan proporsi 70 – 75%. Sel B berperan dalam imunitas humoral dengan proporsi 10 – 20%, sedangkan limfosit null 10 - 15% (Dharmawan, 2002). Ada beberapa jenis sel T dan memiliki fungsi tertentu yaitu sel T memori, sel T helper, sel T regulator dan sel T natural killer. Sel B akan bermanifestasi 23 menjadi sel plasma dan sel B memori. Sel plasma akan membentuk antibodi untuk respon imun humoral. Sel limfosit null diklasifikasikan menjadi pluripotential hemopoietic sterm cells (PHSCs) dan sel natural killer (NK). PHSCs berperan dalam pembentukan elemen yang terbentuk dari darah. Sel NK bertanggung jawab terhadap sitotoksisitas nonspesifik terhadap sel yang terinfeksi oleh virus dan tumor serta sebagai antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity. (Gartner dan Hiatt, 2014). Monosit merupakan limfosit terbesar dengan diameter 15 – 20 µm. Pada ulas darah sapi sangat sulit membedakan monosit dengan bentuk transisi dari limfosit kecil dan besar karena terdapat kemiripan satu sama lain. Butir azurofil monosit sering ditemukan pada sapi (Dharmawan, 2002). Monosit dapat dibedakan dari limfosit dari segi bentuk inti yang bervariasi, selain itu jumlah sitoplasma monosit lebih sedikit dari limfosit serta sitoplasma limfosit lebih basofilik daripada monosit. Inti monosit dapat berbentuk bundar, berbentuk ginjal, band-shape atau berbelit – belit (ameboid) dengan kromatin yang longgar atau sedikit mengelompok. Monosit memiliki satu sampai tiga inti, tetapi tidak tampak pada sediaan ulas darah. Sitoplasma berwarna biru abu – abu dan sering berisi vakuola dengan variasi ukuran (Harvey, 2010). Monosit berkembang menjadi makrofag setelah mencapai jaringan. Dalam peredaran darah, monosit tidak akan pernah menjadi dewasa. Jaringan yang ditempati oleh makrofag adalah sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru – paru dan jaringan limfoid (Dharmawan, 2002). Fungsi utama dari monosit adalah untuk mengeliminasi mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Peran lainnya 24 sebagai pengatur respon imun melalui presentasi antigen pada sistem kekebalan tubuh, inisiasi peradangan, produksi sitokin dan kemokin, menghilangkan jaringan rusak dan mati, serta interaksi dengan sel – sel tumor (Weiss dan Wardrop, 2010). 2.5. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Leukosit Faktor yang berpengaruh terhadap leukosit meliputi faktor internal (fisiologis) dan faktor eksternal. Faktor fisiologis yang mempengaruhi meliputi umur, spesies, bangsa, kebuntingan, estrus dan digesti. Pada anak sapi jumlah leukosit lebih tinggi daripada umur sapi dewasa. Jumlah limfosit sapi umur tua lebih banyak daripada umur muda. Pada sapi, jumlah limfosit lebih dominan daripada neutrofil, sedangkan anjing sebaliknya. Sapi yang bunting dan estrus jumlah leukosit cenderung mengalami peningkatan. Jumlah leukosit pada ruminansia cenderung tidak berubah setelah ataupun sebelum diberikan pakan (Dharmawan, 2002). Faktor eksternal yang mempengaruhi sering dikaitkan dengan kelainan atau patologis. Leukositosis yaitu gambaran darah berupa peningkatan absolut dari leukosit yang disebabkan oleh infeksi (umum atau lokal), keracunan, tumor, pendarahan, leukemia dan trauma. Leukopenia merupakan gamabaran darah berupa penurunan absolut leukosit yang disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang, infeksi virus, bakteri, kaheksia karena kekurangan nutrisi, agen fisik (zat radioaktif), agen kimiawi (antibiotika dan analgesik), gangguan hematopoietik, shock anaphylaxis dan stres (Dharmawan, 2002). 25 Defisiensi mineral dapat menyebabkan leukopenia. Contohnya defisiensi mineral Cu dapat menyebabkan neutropenia, mengurang kapasitasi neutrofil dan mengurangi jumlah limfosit perifer. Menurut Widhyari (2012) defisiensi mineral Zn dapat menyebabkan limfopenia dan berdiferensiasi dan berproliferasi. menurunkan kemampuan sel T