pengkajian kebijakan perdagangan dan investasi

advertisement
PENGKAJIAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI DI INDONESIA
Tulus Tambunan
Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti
I. PENDAHULUAN
Kebijakan di suatu sektor bertujuan untuk meningkatkan kinerja dari sektor tersebut. Namun demikian, karena di
dalam suatu ekonomi, sektor-sektor ekonomi saling terkait satu dengan lainnya, langsung dan tidak langsung
(misalnya kemampuan Indonesia dalam ekspor sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan investasi), maka efektivitas
dari suatu kebijakan terhadap kinerja dari sektor bersangkutan sangat ditentukan oleh (selain faktor-faktor lain)
kebijakan-kebijakan lain di sektor-sektor lainnya. Misalnya, efektivitas dari kebijakan perdagangan luar negeri
sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan investasi, industri, perburuhan, dll. Dalam kata lain, koordinasi antar
departemen atau keharmonisan antar kebijakan sangat membantu meningkatkan efektivitas dari suatu kebijakan.
Berdasarkan pemikiran di atas tersebut, maka kajian kebijakan perdagangan luar negeri ini tidak untuk
menginventaris kebijakan-kebijakan perdagangan luar negeri itu sendiri: apa saja yang sudah dikeluarkan atau
yang sedang dalam proses implementasinya. Kajian yang dilakukan di sini fokus pada dua hal dari kedua sektor
tersebut, yakni: (a) kinerja dari sektor tesebut dalam tahun-tahun terakhir ini, dilihat dari perspektif regional dan
global (untuk menilai apakah kinerjanya baik atau tidak), dan (b) masalah-masalah utama yang masih dihadapi
oleh sektor tersebut. Kedua penekanan tersebut mencerminkan secara tidak langsung, tingkat efektivitas dari
kebijakan di sektor tersebut dan juga sekaligus menunjukkan ada tidaknya masalah harmonisasi antara kebijakan
perdagangan luar negeri dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Kajian ini juga bisa menjawab pertanyaan:
kebijakan-kebijakan lain apa yang diperlukan untuk mendukung kebijakan perdagangan luar negeri di Indonesia?
II. PERDAGANGAN LUAR NEGERI
II.1. Perkembangan Ekspor dan Daya Saing Global Indonesia
Walaupun setiap tahun nilai ekspor non-migas Indonesia, termasuk produk-produk tradisional dan padat karya
seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, meubel dan produk-produk lainnya dari kayu, menunjukkan pertumbuhan
positif, namun laju pertumbuhannya cenderung melemah dalam beberapa tahun belakangan ini. Tahun 2007,
pertumbuhan ekspor dari produk-produk kimia, mesin dan peralatan transportasi, dan barang-barang manufaktur
lainnya tercatat 9,9%, dibandingkan 15.8% tahun 2001..
Dilihat dari nilai totalnya, berdasarkan data WTO 2007, Indonesia tidak termasuk 10 besar di dunia (Tabel 1).
Sedangkan dilihat dari persentasenya terhadap produk domestik bruto (atau GDP), posisi Indonesia juga relatif
kecil jika dibandingkan, misalnya, dengan beberapa negara ASEAN lainnya (Tabel 2).
Sementara itu, menurut penelitian dari McKinsey Global Institute (2005), ekspor industri Indonesia masih
terpusatkan di industri-industri yang pertumbuhannya relatif rendah. Misalnya hasil studinya menunjukkan untuk
1
periode 2000-2004 lebih dari 50% dari ekspor produk industri Indonesia adalah di pengolahan makanan, alas kaki,
dan tekstil; sedangkan untuk mesin, alat-alat produksi, dan produk-produk dari elektronik hanya sekitar 7%
Tabel 1: Ekspor Barang: Negara-negara Kunci (miliar dollar AS), 2006
Keterangan: a: estimasi sekretariat; d: termasuk ekspor kembali dalam jumlah yang signifikan atau impor untuk diekspor kembali.
Sumber: WTO (2007).
Namun demikian, menurut analisis dari Thiono (2008), ekspor manufaktur Indonesia masih cukup baik,
termasuk di dua pasar penting yakni Jepang dan Amerika Serikat. Pangsa ekspor manufaktur Indonesia di Jepang
masih relatif stabil, yaitu 1% dan di AS sekitar 0,4%-0,5% terhadap total nilai impor dari masing-masing negara
tersebut. Di Jepang, ekspor manufaktur Indonesia pada tahun 2003 tumbuh 6,3% dan meningkat menjadi 11,1%
tahun 2006. Sedangkan di AS pertumbuhannya mencapai 15,4% tahun 2004 namun turun menjadi 9,9% tahun
2006.
2
Tabel 2: Beberapa Indikator Penting Ekonomi ASEAN*
Kemungkinan besar penyebab relatif lemahnya perkembangan ekspor (non-migas), khususnya manufaktur,
Indonesia tersebut disebabkan salah satunya oleh persaingan internasional yang semakin tajam yang dihadapi
produk-produk Indonesia tersebut. China dan Vietnam merupakan pesaing yang kuat bagi Indonesia karena
mereka bersaing dalam ekspor hasil-hasil industri padat karya yang sama dengan Indonesia, seperti tekstil, garmen
dan alas kaki, yang justru bertumbuh lebih pesat ketimbang ekspor Indonesia. Oleh karena ini Indonesia akhirakhir ini kehilangan pangsa pasar dalam 30 ekspor non-migas, termasuk hasil-hasil industri, yang diraih oleh
China dan Vietnam, misalnya dalam tekstil dan alas kaki dan barang-barang padat karya lainnya (Pangestu, 2005).
Ini artinya, dalam beberapa tahun belakangan ini, laju pertumbuhan ekspor Indonesia untuk produk-produk
tersebut lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan ekspor China dan Vietnam untuk produk-produk yang sama
tersebut.
Hal ini menimbulkan kekuatiran bahwa sebenarnya produk-produk tardisional Indonesia tersebut dalam
beberapa tahun belakangan ini sedang mengalami kemerosotan dalam tingkat daya saing globalnya. International
Trade Center (ITC), sebuah lembaga dari UNCTAD dan WTO, rutin mengukur daya saing dari produk-produk
ekspor dari negara-negara di dunia dalam Indeks Kinerja Perdagangan (IKP), yang didasarkan pada penghitungan
atas sejumlah indikator yang dikelompokan kedalam tiga kelompok sbb.: kinerja saat ini (indikator-indikatornya
dipakai untuk menghitung indeks komposisi), profil umum, dan dekomposisi dari perubahan dalam pangsa pasar
dunia sejak 2001. Dari kelompok pertama itu, indikator-indikatornya adalah sbb.: nilai dari ekspor neto (P1),
ekspor per kapita (P2), pangsa di pasar dunia (P3), diversifikasi dan konsentrasi produk (P4a dan P4b), dan
3
diversifikasi dan konsentrasi pasar (P5a dan P5b). Dari kelompok kedua tersebut: nilai ekspor (G1), tren
pertumbuhan ekspor sejak 2001 (G2), pangsa dalam jumlah ekspor nasional (G3), pangsa dalam jumlah impor
nasional (G4), pertumbuhan ekspor per kapita sejak 2001 (G5), tingkat dalam nilai-nilai unit relatif (G6),
kecocokan dengan dinamika permintaan dunia sejak 2001 (G7), dan perubahan dari pangsa pasar dunia dalam
poin-poin persentase. Sedangkan indikator-indikator dari kelompok ketiga tersebut adalah: perubahan relatif dari
pangsa pasar dunia (C1) yang didekomposisikan kedalam: efek kompetitif (C1a), spesialisasi geografi asal (C1b),
spesialisasi produk asal (C1c), dan efek penyesuaian (C1d).
Sebagai ilustrasi empiris, Gambar 1 menunjukkan hasil penghitungan IKP dari produk-produk utama ekspor
Indonesia. Posisi 1 menandakan kinerja terbaik dari 189 negara yang disurvei. Dapat dilihat bahwa diantara
barang-barang manufaktur ekspor utama Indonesia tersebut, daya saing dari produk-produk dari kayu paling
tinggi. Sedangkan tekstil menduduki peringkat kedua..
Gambar 1: IKP Ekspor Indonesia, 2006
Sumber: ITC
Khusus untuk tekstil, Tabel 3 memperlihatkan perkembangan IKP-nya. Pasar ekspor utama tekstil (baik
setengah jadi maupun pakaian jadi) Indonesia masih AS. Pangsanya selama ini mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Pada tahun 2000 produk garmen memiliki pangsa pasar 3%, dan pada tahun 2006 menjadi 4,3%.
4
Tercatat pada tahun 2007 nilai ekspor garmen pabrikan (SITC kode 8411) dan aksesori garmen (SITC kode 8414)
masing-masing mencapai 16% dan 11% dari total ekspor Indonesia ke AS.
Tabel 3: IKP Tekstil Indonesia, 2002 dan 2006
Nilai
Profil Umum
N*
G1 (ribu dollar AS)
G2 (%/tahun)
G3 (%)
G4 (%)
G5 (%)
G6 (rata-rata dunia =1)
Posisi tahun ini untuk
P1 (ribu dollar AS)
P2 (dollar AS/orang)
indeks berlaku saat ini
P3 (%)
P4a (jumlah produk yang serupa)
P4b (penyebaran)
P5a (jumlah pasar yang serupa)
P5b (penyebaran)
Perubahan 1998-2002
C1 (%/tahun)
C1a (%/tahun)
dan 2002-2006 untuk
C1b (%/tahun)
indeks perubahan
C1c (%/tahun)
C1d (%/tahun)
C2
Keterangan: *) Jumlah negara pengekspor untuk peringkat di dalam sektor
Sumber: ITC.
Peringkat
2002
2006
125
2.892.485
5
5
2
54
0,8
2.016.809
13,7
1,95
38
126
3.610.995
6
3
1
66
1,0
2.883.267
16,2
1,72
43
27
25
0,0402
0,0088
-0,0008
-0,0013
0,00335
-0,0176
-0,0154
0,0083
-0,0089
-0,0016
2002
2006
33
68
9
56
15
24
20
1
1
8
54
16
14
17
2
6
40
72
57
27
71
68
50
79
63
15
Lembaga dunia lainnya yang juga rutin menganalsisi daya saing global negara-negara di dunia dengan Indeks
Daya Saing Global (GCI) adalah World Economic Forum (WEF) Hanya saja, bedanya GCI dengan IKP dari ITC
tersebut di atas adalah bahwa GCI buka suatu indeks daya saing dari produk ekspor secara individu melainkan
suatu indeks daya saing dari sebuah ekonomi/negara. Jadi GCI ini bagus untuk digunakan bukan saja untuk
mengkaji daya saing global dari ekspor dari sebuah negara tetapi daya saing dari negara tersebut untuk menarik
investor asing.
Untuk tahun 2007-2008, The Global Competitiveness Report 2007-2008 dari WEF menunjukkan bahwa
tingkat daya saing Indonesia berada pada peringkat ke 54 dari 131 negara yang masuk di dalam sampel survei,
dibandingkan peringkat ke 50 dari 125 negara yang disurvei untuk periode sebelumnya (2006-2007) (Tabel 4). 1
Metodologi yang digunakan oleh WEF untuk menentukan daya saing global sebuah negara adalah suatu
kombinasi antara analisis data sekunder dan data primer yang meliputi sejumlah aspek (lihat pembahasan di
bawah) yang secara teoritis dianggap sangat berpengaruh terhadap tingkat daya saing suatu negara/ekonomi, dan
dalam penghitungan dengan rumus-rumus tertentu masing-masing aspek/faktor tersebut diberi bobot-bobot
tertentu yang besarannya didasarkan pada `signifikansi dari pengaruh dari aspek bersangkutan. Data sekunder
1
Dalam melakukan survei, WEF bermitra dengan sebuah lembaga di masing-masing negara, dan di Indonesia bermitra dengan Kadin
Indonesia sejak 1996 yang kegiatan surveinya dilakukan oleh Tulus Tambunan hingga saat ini. Untuk laporan 2007-2008 ini, survei di
Indonesia dilakukan pada tahun 2007 dan yang disurvei adalah pengusaha/pimpinan perusahaan/manajer/ceo lebih dari 200 perusahaan
dari semua skala usaha di semua sektor ekonomi di hampir semua propinsi di tanah air.
5
diambil dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber lainnya, sedangkan data primer adalah hasil survei dari
pengusaha-pengusaha seperti yang telah dijelaskan di atas, disebut Executive Opinion Survey.
Tabel 4: Peringkat GCI Indonesia
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2007-2008
Amerika Serikat
Swiss
Denmark
Sweden
Jerman
Finlandia
Singapura
Jepang
Inggris
Belanda
2006-2007
Swiss
Finlandia
Sweden
Denmark
Singapura
Amerika Serikat
Jepang
Jerman
Belanda
Inggris
2005-2006
Amerika Serikat
Finlandia
Denmark
Swiss
Singapura
Jerman
Sweden
Taiwan, China
Inggris
Jepang
Indonesia (54)
Indonesia (50)
Indonesia (69)
Sumber: WEF (2007, 2006, 2005)
Ada tiga kolompok faktor yang menentukan tingkat daya saing sebuah negara (Gambar 2). Pertama,
persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi makro dan tingkat pendidikan
serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses/pertumbuhan
ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang bisa meningkatkan efisiensi (atau produktivitas) ekonomi seperti
pendidikan tinggi dan pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan
teknologi di tingkat nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor inovasi
dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu
negara.
Gambar 2: Tiga Kelompok Faktor Utama Penentu Daya Saing Negara versi M. Porter
Sumber: WEF (2007)
6
Tabel 5 menunjukkan posisi Indonesia untuk ketiga kelompok faktor tersebut. Untuk persyaratan-persyaratan
dasar yang merupakan faktor-faktor kunci penggerak ekonomi, posisi Indonesia relatif memburuk dari 68 (20062007) menjadi 82 (2007-2008). Untuk faktor-faktor kunci peningkatan efisiensi, peringkat Indonesia 37
dibandingkan 50 setahun yang lalu. Sedangkan untuk faktor-faktor yang menentukan kemampuan suatu negara
membuat inovasi, Indonesia juga sedikit lebih baik, di 34 dibandingkan 41 untuk periode 2006-2007.
Tabel 5: Tiga Sub-indeks dari GCI Indonesia
Periode
Persyaratan dasar
2006-007
68
2007-008
82
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Efisiensi
50
37
Inovasi
41
34
Dari kelompok faktor-faktor persyaratan dasar, posisi Indonesia tidak bagus, karena berada di luar 50%
pertama dari jumlah negara yang disurvei. Untuk kualitas kelembagaan, jumlah dan kualitas infrastruktur,
stabilitas ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan primer masyarakat, peringkat Indonesia memburuk tahun
ini dibandingkan periode sebelumnya (Tabel 6).
Tabel 6: Empat Sub-indeks dari Persyaratan Dasar, Indonesia
Periode Kelembagaan
2006-007
52
2007-008
63
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Infrastruktur
89
91
Stabilitas ekonomi makro
57
89
Kesehatan & pendidikan primer
72
78
Dari kelompok faktor-faktor penggerak efisiensi, posisi Indonesia tidak tidak tambah bagus, terkecuali untuk
luas pasar karena jumlah penduduk Indonesia sangat besar maka dengan sendirinya skornya termasuk bagus.
Tentu untuk luas pasar, Indonesia tidak bisa dengan sendirinya berada pada peringkat pertama, atau kedua, atau
lebih baik daripada 15, karena pendapatan per kapita juga merupakan faktor penting penentu pasar, yang mana
Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan misalnya Singapura, Malaysia dan Thailand (Tabel 7).
Tabel 7: Empat Sub-indeks dari Penggerak Efisiensi, Indonesia
Periode
2006-007
2007-008
Pendidikan tinggi & pelatihan
53
65
Efisiensi pasar
27
-pasar barang: 23
-pasar buruh: 31
-pasar keuangan: 50
(kecanggihan)
Kesiapan teknologi
72
75
Luas pasar
15
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Untuk inovasi dan kecanggihan bisnis, posisi Indonesia memang masih di dalam 50% pertama dari jumlah
negara yang disurvei (Tabel 8). Namun demikian, keadaan Indonesia masih termasuk buruk. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar dengan potensi sumber daya manusia (SDM)
yang sangat besar, yang berarti seharusnya Indonesia harus lebih unggul dibandingkan misalnya Singapura dalam
kemampuan membuat berbagai inovasi.
Tabel 8: Dua Sub-indeks dari Inovasi, Indonesia
Periode
2006-007
2007-008
Sumber: (WEF, 2006, 2007).
Kecanggihan Bisnis
42
33
Inovasi
37
41
7
Lebih jelasnya, Indonesia berada di posisi ke 51 dibandingkan misalnya Malasyia pada peringkat 22 atau
Singapura pada peringkat 23 dalam hal kemampuan melakukan sendiri inovasi. Peringkat pertama dipegang oleh
Jerman. Di dalam kelompok ASEAN, Malaysia, Singapura dan Vietnam lebih baik dibandingkan Indonesia
(Gambar 3). Hasil survei ini tentu sangat memprihatinkan, karena kemampuan inovasi merupakan salah satu atau
mungkin faktor kunci terpenting dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk bisa unggul di dalam
persaingan di pasar global saat ini, dan terlebih lagi di masa depan. 2
Gambar 3: Kapasitas untuk Inovasi
Kambodia
113
60
Filipina
Thailand
56
Indonesia
51
41
Vietnam
Singapura
23
Malaysia
22
Jerman
1
0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Untuk kualitas dari lembaga-lembaga R&D dan besarnya pengeluaran perusahaan untuk membiayai kegiatan
R&D di dalam perusahaan, dan di dalam kelompok ASEAN, posisi Indonesia dibawah Malaysia dan Singapura
dan peringkat pertama dipegang oleh Swiss (Gambar 4 dan Gambar 5). Sedangkan untuk kerjasama antara dunia
usaha dan akademis, posisi Indonesia lebih buruk dan di dalam kelompok ASEAN berada di bawah selain dua
negara anggota yang sama tersebut juga dibawah Thailand. Salah satu contoh dari kerjasama dalam kegiatan R&D
yang erat antara dunia akademis dan dunia usaha yang sangat dikenal di dunia adalah di Amerika Serikat (AS),
dan memang dalam laporan WEF ini, AS berada pada posisi pertama (Gambar 6).
Dua isu lainnya yang juga menjadi perhatian besar dari survei WEF yang juga sangat erat kaitannya dengan
kemampuan negara atau perusahaan melakukan inovasi adalah kemampuan perusahaan menyerap teknologi dan
ketersediaan teknologi baru di dalam negeri. Untuk isu pertama itu, posisi Indonesia di dalam kelompok ASEAN
sangat buruk, hanya di atas Kambodia (Gambar 7). Sedangkan untuk isu kedua tersebut, di dalam kelompok
ASEAN, Indonesia dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand (Gambar 8)..
2
Kemampuan suatu negara melakukan inovasi tercerminkan oleh kemampuan melakukan inovasi dari perusahaan-perusahaan dan
lembaga-lembaga penelitian dan universitas di negara itu. Kemampuan suatu perusahaan melakukan sendiri inovasi, baik produk maupun
proses, ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk besarnya pengeluaran atau anggaran yang khusus disiapkan perusahaan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan pengembangan dan penelitian (atau R&D) di dalam perusahaan. Sedangkan kemampuan lembaga-lembaga
R&D melakukan inovasi mencerminkan kualitas dari lembaga-lembaga tersebut. Hipotesisnya sangat sederhana: semakin banyak inovasi
bisa dihasilkan oleh sebuah lembaga R&D berarti semakin bagus kualitasnya; atau, kebalikannya, semakin bagus kualitas dari suatu
universitas semakin banyak inovasi yang dihasilkannya. Selain itu, hubungan yang erat atau kerjasama yang baik antara lembagalembaga R&D (atau universitas) dan dunia usaha, di satu sisi, dan kualitas yang tinggi dari lembaga-lembaga R&D, di sisi lain, membuat
semakin besar kemampuan perusahaan-perusahaan melakukan inovasi.
8
Gambar 4: Kualitas dari Lembaga R&D
118
Kambodia
94
Vietnam
85
Filipina
45
Thailand
28
Indonesia
17
Malaysia
13
Singapura
1
Swiss
0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 5: Pengeluaran Perusahaan untuk R&D
66
Kambodia
57
Vietnam
53
Filipina
43
Thailand
27
Indonesia
11
Malaysia
10
Singapura
1
Swiss
0
10
20
30
40
50
70
60
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 6: Kerjasama antara Universitas dan Perusahaan
93
Kambodia
78
Vietnam
67
Filipina
64
Indonesia
28
Thailand
16
Malaysia
7
Singapura
1
AS
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Menurut pengamatan Samhadi (2007), daya saing dunia usaha di Indonesia, terutama usaha besar yang
terutama pada masa Soeharo dibangun dengan berbagai fasilitas dan kemudahan dalam pola patron-klien, ternyata
keropos. Struktur industri nasional yang dangkal dan tidak adanya peningkatan dalam penguasaan teknologi
9
membuat Indonesia kalah bersaing dengan pemain-pemain baru di pasar global seperti China dan Vietnam dan
industri nasional lebih terfokus pada industri-industri bernilai tambah rendah. Juga industri nasional selama ini
sangat tergantung pada impor barang-barang modal dan pembantu yang mencapai di atas 50%. Ini menandakan
bahwa Indonesia masih lemah dalam pembangunan industri pendukung, dan ini sangat mempengaruhi daya saing
global dari industri nasional.
Gambar 7: Kemampuan perusahaan menyerap teknologi
102
Kambodia
67
Indonesia
52
Filipina
46
Vietnam
44
Thailand
15
Malaysia
9
Singapura
1
Iceland
0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 8: Ketersediaan teknologi baru
104
Kambodia
84
Vietnam
58
Filipina
51
Indonesia
41
Thailand
22
Malaysia
12
Singapura
1
Sweden
0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Dalam hal kebijakan perdagangan luar negeri, dapat dikatakan bahwa regim perdagangan Indonesia termasuk
yang paling liberal di kawasan Asia Tenggara, khususnya setelah krisis ekonomi 1997/98. 3 Namun demikian, hal
ini tidak menjamin daya saing global dari produk-produk Indonesia jika kebijakan liberalisasi perdagangan tidak
didukung oleh langkah-langkah konkrit lainnya. Oleh kesadaran ini, maka dalam rapat kerja Departemen
Perdagangan RI pada tanggal 26 – 28 Juli 2006 lalu di Jakarta, Menteri Perdagangan menjelaskan beberapa hal
pokok yang perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan daya saing Indonesia, yang dijabarkan dalam empat misi
utama. Keempat misi tersebut adalah 1) meningkatkan kelancaran distribusi, penggunaan produk dalam negeri,
3
Pembahasan lebih luas mengenai kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia dapat dilihat antara lain di Vanzetti dkk. (2005),
Chowdhury (2002), DFAT (2000), Feridhanusetyawan (2001), Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003), James (2001), James dkk.
(2003), Kim (2004), McGuire (2004), dan Thee (2003).
10
perlindungan konsumen dan pengamanan perdagangan; 2) memaksimumkan keuntungan daya saing bangsa
Indonesia dalam persaingan global; 3) mewujudkan pelayanan publik dan good governance; 4) meningkatkan
peran penelitian dan pengembangan, dan proses konsultasi publik dalam pengambilan keputusan di sektor
perdagangan. Guna mencapai misi tersebut, Departemen Perdagangan menggunakan metode Balanced Score
Card sebagai alat untuk menjembatani rencana strategis dengan operasional agar pencapaiannya dapat terwujud
dan terukur, secara merata di seluruh penjuru Indonesia. Selain hal-hal di atas Departemen Perdagangan juga
menyadari pentingnya arti sinergi antara pusat dan daerah sehingga seluruh kebijakan dan implementasinya dapat
terkordinasikan dan dijalankan dengan baik.
Menteri Perdagangan mengatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri, upaya yang
dilakukan Departemen Perdagangan antara lain menurunkan ekonomi biaya tinggi, memperlancar arus barang dan
jasa, serta meningkatkan daya saing komoditi ekspor. Implementasinya dengan menyederhanakan prosedur
perizinan, mengurangi hambatan distribusi (perda dan retribusi); transparansi kebijakan dan memfasilitasi
infrastruktur perdagangan dalam negeri.
Agar keempat misi tersebut dapat dilakukan secara optimal, diperlukan adanya pemahaman bersama dari
semua takeholders dalam mendukung peningkatan daya saing produk Indonesia. Untuk itu, Departemen
Perdagangan telah menyusun Road Map Daya Saing Peningkatan Produk Indonesia dengan target pada tahun
2010 akan tercipta 200 merk yang mempunyai daya saing di pasar domestik dan internasional. Ke-200 merk
tersebut akan menjadi good design products made in Indonesia dengan dukungan 3 kekuatan (branding,
packaging, product design); yang dilindungi dengan HKI. Sementara itu, peranserta daerah dalam hal ini dapat
diwujudkan melalui pemetaan produk unggulan yang bermerk yang siap bersaing di pasar Internasional.
Di bidang perdagangan luar negeri, dalam rangka mengoptimalkan daya saing Indonesia secara global,
diupayakan perwujudan Economic Partnership Agreement (EPA) dengan mitra dagang potensial seperti Jepang,
Uni Eropa, India dan Pakistan; percepatan integrasi Ekonomi ASEAN dari 2020 menjadi 2015; dialog FTA
ASEAN dengan Korea, China, Jepang, India, New Zealand, USA; Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia –
Singapura; penguatan posisi Indonesia di WTO; pembentukan National dan ASEAN Single Window;
pemberdayaan optimal ATDAG (Atase Perdagangan/ITPC (Indonesia Trade Promotion Center/KDEI Taipe);
pengembangan Indonesian Brand Image; serta penyempurnaan fasilitasi perdagangan melalui harmonisasi tarif
bea masuk dan mempercepat restitusi pajak.
II.2 Kinerja Perdagangan Indonesia dalam ASEAN
Walaupun Indonesia merupakan negara anggota ASEAN terbesar dan terkaya dalam sumber daya produksi
(termasuk sumber daya alam), hingga saat ini Indonesia belum merupakan negara kunci dalam perdagangan di
kawasan ASEAN. Tabel 9 menunjukkan total perdagangan Indonesia masih rendah dibandingkan Malaysia dan
Thailand. Sementara dalam hal perdagangan antar sesama negara-negara ASEAN, yang sebenarnya ini adalah
11
tujuan utama dari pembentukan atau mempertahankan eksistensi ASEAN dan harus merupakan manfaat utama,
Tabel 10 memperlihatkan bahwa posisi Indonesia juga bukan yang dominan. Lemahnya perdagangan Indonesia
dalam intra ASEAN juga bisa mencerminkan bahwa Indonesia memang masih lemah dalam memproduksi barangbarang modal, perantara dan komponen. Misalnya, kandungan bahan baku dan komponen lokal pada produksi
elektronika di Indonesia hanya berkisar 40% (per Agustus 2007). Selebihnya komponen bernilai tambah tinggi
dan bahan baku utama masih diimpor. Untuk cetakan, sekitar 70% didatangkan dari luar negeri. 4
Ada sejumlah studi telah dilakukan untuk menganalisis prestasi atau kemampuan Indonesia dalam menghadapi
peluang yang muncul dari integrasi ASEAN yang cenderung semakin menguat dalam beberapa tahun belakangan
ini. Salah satu studinya adalah dari Bank Indonesia (BI, 2008), yang menemukan bahwa Indonesia tertinggal
dibandingkan beberapa negara anggota lainnya, terutama Singapura, Malaysia dan Thailand dalam banyak hal,
khususnya kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi dan stok kapital. Kekurangan faktor produksi yang
terakhir ini disebabkan terutama oleh buruknya kondisi infrastruktur, kelembagaan dan SDM di Indonesia.
Berdasarkan itu semua, studi ini menyimpulkan sebagai berikut: ….. apabila menggunakan patokan kondisi relatif
faktor-faktor produksi, nampaknya manfaat terbesar dari integrasi ASEAN hanya akan dinikmati oleh beberapa
negara tertentu, dalam hal ini adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara itu, peluang Indonesia
untuk turut menikmati kue ekonomi pascaintegrasi tentu saja masih sangat terbuka, yaitu apabila dalam periode
7-8 tahun ini Indonesia mampu melakukan perubahan substansial dalam hal perbaikan SDM maupun fisik
(human and physical capital) (halaman 35).
Sebagai garis besar, ASEAN sedang dalam proses menuju suatu pasar tunggal. Saat ini AFTA (ASEAN Free
Trade Area) sudah hampir seluruhnya diimplementasikan. Dalam perjanjian perdagangan bebas ASEAN tersebut,
tarif impor barang antarnegara ASEAN secara bertahap telah dikurangi. Hingga akhir 2006, tarif impor lebih dari
99% dari barang-barang yang termasuk dalam daftar Common Effective Preferential Tariff (CEPT) di negaranegara ASEAN-6, yakni Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, telah diturunkan menjadi
5% hingga 0% (Sadewa, 2006). Sedangkan pada tahun 2007, rata-rata tarif bea masuk CEPT Indonesia tercatat
sebesar 2,7% (dibandingkan 4,3% pada tahun 2002). Pada tahun itu, 65.5% dari total pos tarif di Indonesia telah
menjadi 0%. Namun Indonesia belum mampu memanfaatkan kesempatan yang muncul dari pasar tunggal ASEAN
4
Kompas, “Sektor Unggulan Fokuskan pada Industri Komponen”, Fokus Kemitraan Indonesia-Jepang, Sabtu, 25 Agustus : 37. Sejumlah
studi yang dikutip oleh Hidayati (2008) menunjukkan bahwa kontribusi ekspor komponen terhadap total ekspor Indonesia pada tahun
2003-2004 hanya 9,1%. Pada periode yang sama, ekspor komponen Malaysia terhadap total ekspor negara itu mencapai 36,3%, Filipina
59,6%, sedangkan Singapura 45,2%. Ia melanjutkan bahwa pengembangan industri komponen mensyaratkan adanya pengembangan
cetakan komponen (mold dan die). Menurutnya, saat ini sekitar 90% cetakan komponen di Indonesia masih diimpor. Sebaliknya, sebagai
suatu perbandingan, di China dan Korea Selatan, misalnya, pembangunan struktur industri diawali dengan pengembangan mold dan die
melalui bantuan teknologi dan modal dari Jepang. Penelitian yang dilakukan oleh Prema-chandra Athukorala dari Australian National
University (dikutip dari Samhadi, 2007) menunjukkan bahwa produk-produk primer seperti makanan, minuman, tembakau, produk
mentah pertanian dan produk mineral terus mendominasi ekspor non-migas Indonesia, sedangkan pangsa dari barang-barang modal dan
pembantu dan komponen tetap kecil. Untuk produk manufaktur seperti barang-barang elektronik konsumen, Indonesia sangat tertinggal
dibandingkan Malaysia dan Thailand
12
tersebut. Tantangannya yang dihadapi Indonesia saat ini adalah: mampukah Indonesia menjadi negara kunci dalam
ASEAN-intra (ekspor)?
Tabel 9: Perdagangan ASEAN (juta dollar AS; perubahan dalam %), per Agustus 2007
2005
Negara
Ekspor
2006
Total
perdagangan
Impor
Ekspor
Total
perdagangan
Impor
Perubahan tahun ke tahun
Total
Ekspor
Impor
Perdagangan
Brunei
Darussalam
6.369,3
1.503,1
7.872,4
7.619,4
1.488,9
9.108,3
19,6
(0,9)
Cambodia
3.091,5
2.824,8
5.916,2
3.514,4
2.923,0
6.437,4
13,7
3,5
Indonesia
85.660,0
57.700,9
143.360,8
100.798,6
61.065,5
161.864,1
17,7
5,8
Lao, PDR
174,1
701,9
875,9
402,7
587,5
990,2
131,3
(16,3)
Malaysia
140.470,5
114.213,1
254.683,6
157.226,9
128.316,1
285.543,0
11,9
12,3
Myanmar
The
Philippines
3.123,8
1.632,9
4.756,7
3.514,8
2.115,5
5.630,2
12,5
29,6
41.254,7
47.418,2
88.672,9
47.410,1
51.773,7
99.183,8
14,9
9,2
Singapore
229.804,1
200.162,8
429.966,9
271.607,9
238.482,0
510.089,9
18,2
19,1
Thailand
109.622,6
117.990,9
227.613,5
121.579,5
127.108,8
248.688,3
10,9
7,7
Viet Nam
28.576,5
32.593,9
61.170,4
37.033,7
40.236,8
77.270,5
29,6
23,4
648.147,0
576.742,4
1.224.889,4
750.707,8
654.097,8
1.404.805,7
15,8
13,4
ASEAN
15,7
8,8
12,9
13,0
12,1
18,4
11,9
18,6
9,3
26,3
14,7
Sumber: ASEAN Secretariat
Tabel 10: Perdagangan ASEAN-Intra dan Ekstra (juta dollar AS; perubahan dalam %), per Agustus 2007
Ekspor
Impor
ASEAN-Intra
Pangsa
terhadap
Nilai
total
negara
ASEAN-Ekstra
Pangsa
terhadap
Nilai
total
negara
1.887,3
24,8
5.732,0
75,2
745,8
50,1
743,1
49,9
2.633,2
28,9
6.475,1
71,1
Cambodia
235,4
6,7
3.279,1
93,3
991,2
33,9
1.931,8
66,1
1.226,5
19,1
5.210,9
80,9
Indonesia
18.483,1
18,3
82.315,5
81,7
19.379,2
31,7
41.686,3
68,3
37.862,3
23,4
124.001,8
76,6
Lao, PDR
289,8
72,0
112,8
28,0
500,7
85,2
86,8
14,8
790,5
79,8
199,7
20,2
Malaysia
40.979,6
26,1
116.247,3
73,9
32.290,7
25,2
96.025,5
74,8
73.270,2
25,7
212.272,7
74,3
Myanmar
The
Philippines
2.149,7
61,2
1.365,0
38,8
1.174,7
55,5
940,8
44,5
3.324,4
59,0
2.305,9
41,0
8.192,2
17,3
39.217,9
82,7
10.218,3
19,7
41.555,3
80,3
18.410,5
18,6
80.773,3
81,4
Singapore
83.801,6
30,9
187.806,3
69,1
62.300,4
26,1
176.181,6
73,9
146.102,0
28,6
363.987,9
71,4
Thailand
26.944,2
22,2
94.635,3
77,8
23.539,8
18,5
103.569,0
81,5
50.484,0
20,3
198.204,3
79,7
Viet Nam
6.214,0
16,8
30.819,7
83,2
12.453,7
31,0
27.783,1
69,0
18.667,7
24,2
58.602,8
75,8
189.176,8
25,2
561.531,0
74,8
163.594,5
25,0
490.503,3
75,0
352.771,4
25,1
1.052.034,3
74,9
Negara
Brunei
Darussalam
ASEAN
ASEAN-Intra
Pangsa
terhadap
Nilai
total
negara
Total Perdagangan
ASEAN-Ekstra
Pangsa
terhadap
Nilai
total
negara
ASEAN-Intra
Pangsa
terhadap
Nilai
total
negara
ASEAN-Ekstra
Pangsa
terhadap
Nilai
total
negara
Sumber: ASEAN Secretariat
II.3. Economic Partnership Agreement Jepang-Indonesia
Economic Partnership Agreement (EPA) ditandatangani oleh pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia pada
tanggal 25 Januari 2006 lalu di Tokyo, Jepang. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk meningkatkan
13
perdagangan antar kedua negara, dan untuk mewujudkannya ada tiga pilar penting, yakni kerja sama peningkatan
kapasitas produksi antara kedua pemerintah yang dilakukan melalui pusat pengembangan industri manufaktur
yang akan difasilitasi Jepang, fasilitas perdagangan, serta liberalisasi yang menghapus sebagian besar tarif bea
masuk ke kedua negara. Dalam peningkatan kapasitas produksi, selain elektronika dan otomotif, tekstil dan
produk tekstil (TPT) juga merupakan salah satu industri yang difokuskan dalam kerja sama tersebut. Ini semua
tentu memberi kesempatan besar bagi pengusaha-pengusaha Indonesia untuk bisa mengekspor atau meningkatkan
ekspor produk-produk mereka ke Jepang. 5 . .
Namun apakah Indonesia bisa memanfaatkan sepenuhnya kesempatan dari EPA tersebut (atau kesempatan
yang muncul dari kesepakatan-kesepakatan ASEAN Plus lainnya) masih sangat diragukan, karena alasan-alasan
klasik: kualitas SDM masih rendah sehingga tidak mampu menyerap transfer teknologi, birokrasi yang tidak
efisien, penjabaran kebijakan pemerintah lintas sektoral maupun lintas wilayah (kebijakan perdagangan, kebijakan
industri, kebijakan pertanian, kebijakan fiskal, dll) yang tidak seirama, buruknya infrastruktur, prosedur pabean
yang kurang terprediksi (dari sudut pandang pengusaha asing), langkah-langkah yang diambil instansi-instansi
pemerintah yang kebanyakan bersifat ad hoc yang tidak memberi kepastian jangka menengah (apalagi jangka
panjang) kepada pelaku usaha atau calon investor, 6 implementasi kebijakan di lapangan yang sering tidak efektif
(tidak ada kepemimpinan yang kuat dan fokus untuk get things done dari pelaksana, misalnya pemerintah daerah
atau menteri), 7 sistem-sistem perburuhan dan perpajakan yang dirasakan merugikan dunia usaha, tidak
harmonisnya tariff, ekonomi biaya tinggi yang masih marak (yang membuat profit usaha menurun sehingga terjadi
demotivasi dari para pelaku usaha/investor), dan ketidaksanggupan pemerintah mencegah penyelundupan dan
5
Dengan pengesahan EPA ini, selambat-lambatnya Maret 2007, Jepang akan menurunkan bea masuk TPT Indonesia dari rata-rata 6,7%
menjadi 0%. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Sutrisno, harga TPT Indonesia dapat berselisih 7% hingga
10% dibandingkan TPT China. Namun agar TPT Indonesia bisa memanfaatkan peluang tersebut, industri TPT Indonesia perlu segera
dibenahi dengan antara lain bantuan teknis, pendidikan pertekstilan, dan restrukturisasi mesin tekstil (dikutip dari Kompas, “Siapkah Kita
Rebut?”, Teropong Ekonomi, Jumat, 1 Desember 2006: 34)
6
Banyak sekali contoh yang dapat diberikan disini, seperti kebijakan pemakaian smart card atau rencana PLN menerapkan tarif listrik
non-subsidi dalam respons pemerintah terhadap kenaikan harga BBM, atau pemekaran wilayah yang berlebihan yang justru
memperpanjang rantai perizinan dan ekonomi biaya tinggi. Menurut Direktur Utama PT Sumber Alam Sutera Babay Chalimi (2007)
yang dikutip oleh Prabowo dan Hamzirwan (2007), rendahnya minat investor menanamkan modal di Indonesia (khususnya di bidang
pertanian) salah satunya karena tidak ada konsistensi kebijakan pemerintah. Investor kerap ragu mengambil keputusan sebab kebijakan
pemerintah kerap berubah sewaktu-waktu. Contoh lainnya, pada tahun 2006 pemerintah Indonesia dan pemerintah Singapura
menandatangani persetujuan kerangka kerja sama ekonomi yang dimaksud untuk meningkatkan investasi di Indonesia, khususnya di
Batam, Bintan, dan Karimun. Akan tetapi, baru setahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perpu) No.1/2007 tentang perubahan atas UU No.36/2000 tentang Penetapan Perpu No.1/2000 tentang kawasan perdagangan
bebas (KPB) dan pelabuhan bebas (PB). Perpu ini ditetapkan 4 Juni 2007. Ketentuan UU No 36/2000 ini adalah ketetapan bahwa KPB
dan PB alias kawasan ekonomi khusus (KEK) dapat dibentuk cukup dengan peraturan pemerintah (PP), bukan dengan UU. Berikutnya,
daerah mana yang ditetapkan sebagai KEK akan ditetapkan dengan PP terpisah. Sampai akhir 2007 belum jelas kapan PP penetapan
Batam, Bintan dan Karimum akan dirampungkan pemerintah (Kompas, “Kawasan Ekonomi Khusus. Sudah Terlalu Lama
Diambangkan”, Bisnis & Keuangan, Jumat, 13 Juli: 21). Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Kadin Batam Nada Faza Soraya, pelaku
usaha tidak minta banyak. Kami butuh kepastian. Jangan satu kebijakan dikeluarkan, nanti diubah lagi (Kompas yang sama, halaman
21).
7
Misalnya, dalam hal ini, Samhadi (2007b) menanyakan: bagaimana investasi dari luar negeri (misalnya Jepang dalam kasus EPA) bisa
digenjot kalau pembebasan lahan selalu bermasalah dan pelabuhan Tanjung Priok justru semakin menjadi sarang mafia, kendati sudah
dilakukan reformasi kepabeanan.
14
pemalsuan sejumlah produk termasuk produk-produk elektronik, 8 yang semua ini ditambah lagi dengan masalah
kepastian hukum dan keamanan, dll.membuat iklim investasi di tanah air tidak kondusif.
Bahkan Hidayati (2008) menegaskan bahwa untuk memanfaatkan peluang EPA, para pelaku industri menilai
sebagian besar pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan merupakan porsi pemerintah. Tanpa strategi
pengembangan industri yang jelas, dukungan kebijakan yang konsisten, serta iklim investasi yang ditawarkan,
peluang yang ditawarkan EPA pun akan terbuang (halaman 10).
Menurut Chief Executive Officer Garudafood (tahun 2006) Sudhamek Agoeng WS, 9 hambatan utama yang
dihadapi pengusaha Indonesia dalam menjalin hubungan perdagangan, terutama dengan Jepang, adalah masalah
standar kualitas. Selama ini barang-barang Indonesia tidak mudah masuk ke pasar Jepang karena negara tersebut
sangat luar biasa menerapkan standar kualitas. Sedangkan, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik
Indonesia (tahun 2006) Achmad Widjaya mengatakan bahwa daya saing industri nasional di pasar global,
termasuk di pasar Jepang, masih lemah karena lemahnya SDM dan teknologi dan ini semua disebabkan Indonesia
belum memiliki visi industri: mau kemana industri nasional dikembangkan, atau industri apa yang akan dijadikan
industri kunci dan bagaimana mengembangkannya. 10
Atau seperti yang dinyatakan oleh Samhadi (2007b) berdasarkan pengamatannya selama itu terhadap
kebijakan industri nasional sebagai berikut: ….kebijakan industri sejak tahun 2000 dapat dikatakan hanya tambal
sulam. Tidak ada implementasi kebijakan yang fokus dan komprehensif mengenai industri mana yang aka
didorong, prasarana dan fasilitas apa yang akan diberikan, keterkaitan industri apa yang akan dibangun atau
daerah mana yang akan dijadikan basis industri apa. Kebijakan industri yang ada hanya bersifat responsive.
Para menteri hanya membuat kebijakan berdasarkan surat permohonan dari pelaku industri tertentu,
sebagaimana halnya dengan insentif perpajakan (halama 33). Ia berpendapat bahwa dengan kondisi seperti ini,
sangat sulit mengharapkan Indonesia bisa diuntungkan dengan EPA tersebut.
Satu contoh konkrit, industri elektronik Indonesia hingga saat masih sangat tergantung pada impor komponen
dan bahan baku utama. Ironisnya, bea masuk (BMM) impor bahan baku dan komponen ke Indonesia selama ini
berkisar 5% hingga 20%, sedangkan impor produk jadi elektronik dikenai BMM 0%. Selain itu, industri elektronik
nasional juga dihadapi oleh pemberlakuan pajak penjualan atas barang mewah (PPn-BM) untuk sejumlah
klasifikasi pendingin udara (AC), televise, lemari es, dan mesin cuci. Untuk klasifikasi produk yang sama,
Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand tidak memberlakukan PPnBM. 11
Salah satu contoh aktual yang menunjukkan sulitnya produk Indonesia diterima oleh pasar Jepang adalah
ekspor komponen otomotif. Sampai saat ini Indonesia masih belum bisa menembus langsung pasar komponen
8
Menurut data perkiraan terakhir, sekitar 40% dari produk elektronik yang beredar di Indonesia diperkirakan ilegal, yakni barang
selundupan atau produk palsu. (Kompas, Kompas, “Sektor Unggulan Fokuskan pada Industri Komponen”, Fokus Kemitraan IndonesiaJepang, Sabtu, 25 Agustus : 37).
9
Sumber: lihat catatan kaki no.8.
10
Sumber: lihat catatan kaki no.8.
11
Kompas, “Sektor Unggulan Fokuskan pada Industri Komponen”, Fokus Kemitraan Indonesia-Jepang, Sabtu, 25 Agustus : 37.
15
Jepang karena soal kepercayaan, dan ini menyangkut langsung soal kemampuan Indonesia memenuhi standar
kualitas yang diminta Jepang. Selama ini, industri nasional menjalin kerja sama dengan principal Jepang sebagai
penjamin produk. Seluruh produk komponen buatan Indonesia dites terlebih dahulu oleh principal sebelum
dipasok ke industri otomotif di Jepang. Misalnya, produk klep sepeda motor yang diekspor ke Jepang setelah
melalui pengembangan atau dua kali pengawasan mutu. 12
Bahkan untuk produk-produk tradisional yang mana sebenarnya Indonesia mempunyai keunggulan komparatif
seperti alas kaki dan TPT bukan primadona ekspor Indonesia ke Jepang. Selain karena kalah bersaing dengan
produk-produk dari China (hingga saat ini sekitar 81% pasar Jepang untuk TPT dikuasai China) dan Vietnam, juga
banyak hambatan nontarif. Oleh karena itu, satu-satunya peluang bagi pelaku-pelaku industri TPT dan alas kaki di
Indonesia untuk bisa masuk atau meningkatkan ekspor mereka ke pasar Jepang adalah berburu mitra strategis dari
Jepang agar menanamkan investasi di Indonesia, dan bersama mereka menembus pasar Jepang (Hidayati dan
Astono, 2007).
Data dari ASEAN-Japan Center 2005 menunjukkan bahwa dari total ekspor ASEAN ke Jepang, porsi
Indonesia untuk hampir semua produk jauh lebih kecil. Bahkan untuk komoditas pertanian, yang mana Indonesia
merupakan negara agraris terbesar di ASEAN, ternyata ekspornya seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan lainnya
jauh dibawah, misalnya, Thailand. Juga untuk produk-produk manufaktur tertentu, posisi Indonesia paling lemah
(Tabel 11).
Tabel 11: Ekspor ASEAN ke Jepang, 2005 (juta yen).
Negara
anggota
Buahbuahan
Sayursayuran
Filipina
71.352
2.213
Thailand
10.055
13.926
Vietnam
2.752
Indonesia
1.479
1.555
Malaysia
Singapura
Brunei
Sumber: database ASEAN-Japan Center.
Sereal
17.272
4.558
1.084
1.531
2.103
-
Daging
574
54.501
16
18
-
Ikan
108.021
85.934
80.760
-
Manufaktur
177.854
288.208
148.100
-
Bahan
bakar
mineral
1.182.520
537.051
252.402
Mesin
nonlistrik
128.689
272.204
63.250
126.508
204.410
-
Mesin
listrik
393.187
429.881
134.380
459.066
147.031
-
Bahan
baku
65.692
112.961
353.660
91.172
-
Menanggapi lemahnya ekspor pertanian Indonesia ke Jepang tersebut, Saragih (2007) menegaskan bahwa hal
ini terkait erat dengan lemahnya Indonesia dalam kualitas, dan oleh karena itu, salah satu langkah yang harus
segera diambil adalah perbaikan sertifikasi produk, selain tentu hal-hal lain seperti peningkatan kualitas SDM dan
teknologi merupakan prasyarat yang mutlak.
12
Biasanya suatu produk bisa diterima di pasar Jepang jika industri komponen memiliki sertifikat ISO-TS 16949, tentang pelatihan
manajemen dan proses produksi. Sumber: lihat catatan kaki no.8.
16
II.4. Beberapa Permasalahan Penting
Infrastruktur yang Buruk
Bukan lagi rahasia umum bahwa infrastruktur di dalam negeri sangat buruk, terutama sejak krisis ekonomi
1997/98. Laporan tahunan dari WEF menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada di peringkat rendah, bahkan
terendah di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 9, Indonesia berada di posisi 102, satu
poin lebih rendah daripada Filipina. Padahal, salah satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat
bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas adalah jumlah infrastruktur yang mencukupi dengan
kualitas yang baik. Buruknya infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya
menurunkan daya saing harga dengan konsukwensi ekspor menurun. Konsukwensi lainnya adalah menurunnya
niat investor asing, terutama penanaman modal asing, untuk membuka usaha di dalam negeri, dan ini pasti akan
berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor di dalam negeri.
Gambar 9: Kualitas Infrastruktur
102
Indonesia
101
Filipina
90
Vietnam
83
Kambodia
28
Thailand
18
Malaysia
3
Singapura
1
Swiss
0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Penemuan tersebut diatas juga didukung dengan hasil studi dari Bank Indonesia (BI, 2008). Dengan
menggunakan data dari International Telecommunication Union 2007, studi tersebut menemukan bahwa walaupun
Indonesia adalah negara terbesar di kawasan ASEAN, namun dalam hal infrastruktur, khususnya jaringan telepon
dan pemakaian listrik yang merupakan dua basis elemen dari infrastruktur untuk pertumbuhan bisnis posisi
Indonesia relatif buruk (Tabel 12).
Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam infrastruktur adalah antara lain: (a) dalam waktu singkat
apakah Indonesia bisa memperbaiki semua infrastruktur yang rusak, seperti jalan-jalan raya yang belobang dan
bergelombang dan yang sebagian hancur karena tanah longsor; (b) apakah dalam beberapa tahun ini Indonesia
bisa membangun jalan tol atau jalan kereta api ke pelabuhan, dan memperluas kapasitas pelabuhan seperti Tanjung
Priok dan lainnya yang selama ini menjadi pintu keluar masuk barang; (c) apakah akselerasi listrik bisa
ditingkatkan dalam dua tahun ke depan, dan banyak lagi.
17
Tabel 12: Kondisi Infrastruktur ASEAN
Sumber: ITU 2007 (diambil dari Tabel 3.13 di BI, 2008).
Logistik merupakan bagian terpenting dari infrastruktur dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi atau
urat nadi perdagangan pada khususnya. Terutama dalam hal pusat produksi regional, logistik, seperti pelabuhan
dan jalan raya dari pabrik ke pelabuhan atau sebaliknya atau dari pelabuhan ke pusat pemasaran, sangat penting,
Tanpa kelancaran logistik, proses produksi dan perdagangan dapat terganggu. Inflasipun akan dapat menjadi lebih
tinggi akibat terjadinya ketersendatan di jalan raya dan di pelabuhan. Yang jelas, daya saing juga sangat
ditentukan oleh kecepatan barang masuk dan keluar.
Saking pentingnya logistik membuat sektor ini menjadi yang pertama yang akan diintegrasikan.di dalam
proses pelaksanaan ASEAN economic community. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi Indonesia sekarang
adalah kesiapan sektor logistik Indonesia dalam menghadapi upaya integrasi ASEAN tersebut. Pemerintah
memang sudah berupaya untuk menekan pungutan-pungutan yang terkait dengan tingginya biaya logistik, namun
permasalahan di sektor logistik bukan hanya menyangkut pengurangan ongkos angkut. Perkembangan logistik
yang baik harus selalu dikaitkan dalam mata rantai suplai dan arus barang/jasa. Ketentuan hukum yang jelas pun
dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian dalam menjalankan usaha logistik. Perlu dipertegas kewenangan
instansi untuk menangani sektor logistik yang penting ini, karena selama ini telah terjadi perebutan kewenangan
antara departemen perdagangan, departemen perhubungan dan kementerian komunikasi dan informasi.
Pertanyaannya sekarang adalah antara lain: apakah pemerintah bisa meningkatkan efisiensi di pelabuhanpelabuhan yang akan diunggulkan dengan cara antara lain membasmi kekuasaan mafia di pelabuhan-pelabuhan
tersebut dan menerapkan kebijakan national single window secara optimal? 13
Pengadaan listrik juga merupakan komponen yang sangat krusial dari infrastruktur bagi kelancaran kegiatan
bisnis (termasuk perdagangan dan investasi). Belakangan ini kelangkahan energi (gas maupun listrik) atau
biayanya yang cenderung meningkat terus (terutama sejak PLN berlakukan tarif nonsubsidi) menjadi kendala
13
Indonesia menargetkan kebijakan ini akan jalan sepenuhnya pada akhir tahun 2007. Target ini dikaitkan dengan implementasi
penyederhanaan prosedur ekspor, impor, dan proses kepabeanan di ASEAN atau yang dikenal dengan ASEAN Single Window (Hidayati,
2007).
18
dominan bagi para pelaku di industri manufaktur. Industri-industri nasional yang sangat terpukul dengan masalah
pasokan energi adalah TPT, sepatu dan makanan; padahal produk-produk ini termasuk yang selama ini diandalkan
Indonesia untuk ekspor. Industri TPT, misalnya, jika ingin menjalankan mesin produksi selama 24 jam untuk
mencapai skala ekonomi yang tinggi, justru berisiko tinggi. Industri ini bukan mendapatkan dukungan insentif
dalam bentuk penurunan biaya energi, tetapi justru dikenai penalti. Bukan hanya industri TPT tetapi banyak
industri lainnya yang biasa bekerja sampai 24 jam untuk mencapai skala ekonomis. Selain itu, banyak industriindustri lain yang kelabakan karena tekanan gas yang masuk ke pabrik-pabrik mereka terlalu rendah, berkisar 0,3
sampai 0,7 bar, padahal kebutuhan mereka untuk bisa berproduksi optimal mencapai antara 0,1 bar sampai 1,5 bar,
dan pada saat yang sama kondisi pasokan listrik pun mengalami defisit (Astono, 2007).
Banyak kasus yang sudah diceritakan di banyak media masa mengenai masalah energi di Indonesia yang
merugikan pengusaha. Misalnya yang diceriterakan oleh Astuti dan Astono (2007) di dalam tulisan mereka
sebagai berikut .....pelaku usaha di Jawa Timur tak henti-hentinya mengeluhkan tentang tingginya tarif untuk
pemasangan listrik baru dan penambahan daya yang ditetapkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara. .......dampak
dari tingginya tarif listrik tidak hanya melemahkan daya saing produk yang dihasilkan, tetapi juga menutup
peluang bagi masuknya investor ke Jatim. Calon investor akan semakin enggan masuk ke Jatim karena ....dikenai
beban tarif listrik yang mahal.........Di pabriknya, PT Inter World Steel Mills Indonesia, yang merupakan industri
baja, dibutuhkan daya listrik 50 kilovolt ampere. Kemudian dilakukan negosiasi dengan PLN untuk pengenaan
tarif multiguna. Dengan demikian, biaya beban akan dikenakan pada beban riil yang digunakan industri. Namun,
.....kebijakan negosiasi .......ini kemudian dicabut. Alat khusus yang mengatur tarif multiguna itu dilepas dan
dikembalikan pada alat meter semula. Pada saat pengembalian itulah perusahaannya dikenai tarif biaya sambung
yang nilainya mencapai miliaran rupiah karena daya yang digunakan sangat besar. Padahal, alat yang
digunakan adalah meter lama dan bukan sambungan baru (halaman 21).
Bahkan kawasan-kawasan Free Trade Zone (FTZ) mengalami krisis listrik. FTZ Batam, Bintan, dan
Karimum, misalnya, dalam beberapa bulan terakhir ini mengalami krisis listrik yang dapat menjadi hambatan
serius bagi investasi yang selanjutnya bisa mengakibatkan kegagalan pelaksanaan FTZ tersebut. Sejak akhir April
2008, PT PLN Batam mulai melakukan pemadaman listrik bergilir. Alasannya, pasokan gas dari Perusahaan Gas
Negara (PGN) untuk pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menyusut sampai 50%. Ini membuat hampir 50% daya
listrik di Batam yang disuplai PLN anjlok (Santoso, 2008).
Struktur Insentif yang Timpang
Selama ini, khususnya setelah krisis ekonomi 1997/98, insentif lebih diberikan kepada sektor-sektor non-tradable
seperti telekomunikasi, properti, dan jasa-jasa lainnya. Sementara sektor-sektor tradable yang seharusnya menjadi
basis bagi pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan (pertanian dan industri manufaktur) agak
terbengkalai. Hal ini terlihat jelas dalam pertumbuhan sektoral PDB (Produk Domestik Bruto), di mana sektor
19
pertanian hanya bertumbuh sebesar 2% - 3% dan sektor industri manufaktur hanya tumbuh sebesar 4% - 5% saja.
Kecenderungan ini juga terlihat dari relatif rendahnya laju pertumbuhan kredit perbankan ke sektor pertanian dan
industri manufaktur. Harga saham di Bursa Efek Jakarta juga mencerminkan sistem insentif yang kurang sesuai
ini, yang mana saham-saham perusahaan yang bergerak di sektor industri manufaktur dan juga pertanian
(nonperkebunan) praktis tidak terlalu meningkat secepat peningkatan harga saham sektor pertambangan, properti,
dan telekomunikasi.
Memang pemerintah telah menyusun roadmap industri nasional dengan memberikan fokus sejumlah industri,
termasuk industri-industri tekstil dan produk-produknya (TPT), alas kaki, otomotif, dan elektronika. Demikian
juga presiden telah mencanangkan revitalisasi pertanian. Namun demikian, langkah-langkah konkrit yang bersifat
kebijakan jangka panjang terhadap dua sektor tersebut belum jelas. Pertanyaan-pertanyaan masih seputar: industriindustri apa yang akan dijadikan industri-industri kunci dan bagaimana mencapainya? Demikian juga, bagaimana
caranya untuk membuat Indonesia unggul dalam perdagangan global untuk pertanian?
Khusus untuk sektor pertanian, daya dukung sektor ini yang diinginkan dari pemerintah meliputi infrastruktur,
pengembangan industri off farm (industri agro), akses pembiayaan yang berpihak kepada petani, jaminan pasar,
kebijakan hukum yang memberi kepastian investasi jangka panjang, 14 dan ketersediaan sarana produksi. Namun,
semua ini belum terrealisasi hingga saat ini, walaupun pemerintah telah mencanangkan revitalisasi pertanian.
Kondisi Tenaga Kerja/Perburuhan yang Buruk
Tidak diragukan bahwa salah satu penyebab rendahnya daya saing global Indonesia adalah karena masalah
ketenagakerjaan yang tidak kondusif, khususnya terkait tiga hal yang semakin menyolot sejak era reformasi, yakni
sikap buruh Indonesia yang semakin militan yang semakin memperbesar industrial unrest, biaya tenaga kerja
meningkat terus, dan tingkat produktivitas yang rendah. Yang terakhir ini terutama disebabkan oleh tingkat
pendidikan tenaga kerja di Indonesia yang rata-ratanya rendah (Sumantyo, 2004). Menurut penelitian Bank Dunia
(2004), biaya satuan pekerja di Indonesia lebih tinggi sekarang ini dibandingkan pada masa sebelum krisis
1997/98, dan merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing biaya dari produksi di Indonesia.
Data ILO menunjukkan dengan jelas besarnya kesenjangan kualitas tenaga kerja dalam bentuk disparitas
angka produktivitas tenaga kerja yang cukup besar antara Indonesia dengan beberapa negara ASEAN lainnya,
khususnya Singapura. Di Singapura, tingkat produktivitas tenaga kerja mencapai hampir 17 kali Kamboja, 10,6
kal Myanmar, dan 10 kalinya Vietnam (Tabel 13).
14
Rendahnya minta investor melirik sektor pertanian (terkecuali beberapa subsektor perkebunan) selama ini karena dua alasan. Pertama,
pengembalian investasi lambat. Kedua, investasi di sektor ini memiliki risiko yang tinggi karena amat bergantung pada kondisi musim
(Prabowo dan Hamzirwan, 2007).
20
Tabel 13: Produktivitas Tenaga Kerja di ASEAN
Sumber: ILO (2007).
Mengutip kajian Bank Dunia, Hidayati (2007) menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan suatu pekerjaan,
pekerja Indonesia membutuhkan waktu 12 jam, sedangkan tenaga kerja di Thailand untuk pekerjaan yang sama
hanya butuh 2 jam 40 menit, dan di Singapura lebih sedikit lagi, yakni hanya dalam waktu 45 menit.
Laporan tahunan dari UNDP mengenai pembangunan manusia juga menunjukan data Indonesia yang
konsisten dengan kenyataan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Dalam kawasan ASEAN,
Indonesia walaupun merupakan negara anggota terbesar dari sisi jumlah penduduk atau angkatan kerja (potensi
SDM), namun demikian Indonesia bukan yang terbesar dalam kualitas dan upaya pengembangan SDM (Tabel 14).
Tabel 14: Pengembangan Manusia di ASEAN
Sumber: UNDP (diambil dari Tabel 3.11 di BI, 2008).
Masalah-masalah perburuan tersebut di atas diperparah lagi dengan Undang-Undang Perburuan, yang sering
disebut oleh pengusaha nasiona sebagai salah satu penghambat dan penyebab sistem perdagangan yang tidak
efisien. Lebih khusus lagi pada klausul pesangon dan outsourcing. Tenaga kontrak hampir tidak mungkin
ditampung di industri-industri yang membuat barang-barang yang daya saingnya sangat ditentukan oleh kualitas
karena persaingan yang sangat ketat seperti misalnya sepatu, pakaian jadi dan elektronika (Kuntari, dkk., 2007).
21
Pungutan Liar
Daya saing biaya di Indonesia yang cenderung merosot terus pada era pasca krisis 1997/98 bukan saja disebabkan
oleh apresiasi rupiah dan inflasi yang lebih tinggi ketimbang inflasi di mitra perdagangannya yang paling penting,
tetapi juga oleh biaya transaksi domestik yang besar di Indonesia, yang antara lain disebabkan oleh banyaknya
pungutan, termasuk pungutan liar (pungli). Hal ini juga didukung oleh hasil WEF (2006) yang menunjukkan
Indonesia berada pada posisi buruk untuk berbagai kategori pungutan (Tabel 15).
Tabel 15: Posisi Indonesia untuk Beberapa Kategori Pungutan dalam WEF 2006-2007
Negara peringkat teratas
(paling bagus)
Iceland
Jenis Pungutan
Iceland
Pembayaran yang tidak jelas/pungli dalam
pemakaian fasilitas ublic
122
Selandia Baru
Pembayaran yang tidak jelas/pungli dalam
pengurusan pajak
117
Iceland
Pembayaran yang tidak jelas/pungli dalam
kontrak pemerintah
124
Iceland
Pembayaran yang tidak jelas/pungli dalam
keputusan-keputusan judisial
121
Pembayaran yang tidak jelas/pungli dalam
mengurus ekspor dan impor
Posisi Indonesia
122
Sumber: WEF (2006)
Sekarang ini dengan naiknya harga BBM (Mei 2008), masih maraknya pungli membuat ekonomi biaya tinggi
semakin tambah besar. Besarnya pengaruh kenaikan harga BBM terhadap harga di Indonesia selama ini bisa
dilihat dari beberapa studi. Misalnya James, Ray dan Minor (2003) menunjukkan bahwa selama periode 2001-02
tingkat harga umum di Indonesia telah meningkat dengan 24%, yang disebabkan oleh kenaikan tarif listrik
(102%), bahan bakar minyak/BBM (52%) , minyak diesel (159%), air (27%) dan transport (32%). Sedangkan,
Thee (2006) menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM pada paruh kedua 2005 telah mengakibatkan kenaikan
tajam dalam laju inflasi sebesar dua digit. Maka jelas bahwa kenaikkan harga BBM sekarang ini (Mei 2008)
ditambah lagi dengan banyaknya pungli akan dengan sendirinya menambah tekana terhadap daya saing harga dari
produk-produk Indonesia.
Dua survei memberi dukungan bahwa prosedur Bea dan Cukai di Indonesia punya masalah serius. Pertama,
hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk isu ini (Tabel 16). Kedua, hasil survei
tahun 2005 dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) bekerja sama
dengan Bank Dunia memperkirakan bahwa pungli yang harus dibayar pengusaha kepada aparat Bea dan Cukai
mencapai 800 juta dollar AS atau Rp 7 triliun (pada kurs yang berlaku saat itu). Menurut laporan tersebut, nilai ini
setara 2,3% dari total nilai impor Indonesia pada tahun 2004. Pengusaha menyebut setoran itu sebagai dana
informal. Dibayar kadang-kadang atau rutin. Pada bulan September, LPEM UI kembali melakukan survei atas 589
22
perusahaan pengguna jasa kepelabuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa pungli memang menjadi sedikit, tetapi
berubah menjadi suap menyuap (Basuki, 2008)..
Tabel 16: Peringkat Indonesia mengenai Prosedure Bea Cukai versi WEF 2007
Peringkat
Negara
Skor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Singapura
Hong Kong SAR
Sweden
Korea Selatan
Denmark
Finlandia
UAE
Selandia Baru
Austria
Cili
6,4
6,1
6,1
5,9
5,8
5,7
5,6
5,5
5,5
5,5
101
Indonesia
3,0
131
Sumber: WEF (2007).
Chad
2,0
Sebenarnya sejak 2007 pemerintah telah mengumumkan penerapan sistem layanan elektronis terpadu secara
online untuk mengurus prosedur perizinan ekspor-impor atau dikenal dengan sebutan National Single Windows
(NSW). Tujuan utamanya untuk melumpuhkan ”raksasa” pungli di Ditjen Bea dan Cukai (Basuki, 2008). Namun
masih terlalu dini untuk melihat dampak positifnya terhadap kelancaran ekspor-impor dan penurunan ekonomi
biaya tinggi.
Fasilitas Perdagangan yang Kurang
Berbagai hambatan di pelabuhan dan prasarana fisik merupakan salah satu faktor pokok yang menambah biaya
ekspor. Meskipun tarif penggunaan pelabuhan Indonesia relatif rendah, namun hampir semua ekspor Indonesia
dalam kontainer disalurkan (transshipped) melalui Singapura atau Malaysia karena efisiensi pelabuhan Indonesia
begitu rendah. Menurut suatu kajian mengenai efisiensi pelabuhan Indonesia, Terminal Container Internasional di
Jakarta (Jakarta International Container Terminal, JICT), yang merupakan terminal utama di Tanjung Priok,
pelabuhan Indonesia terbesar, adalah terminal yang paling tidak efisien di Asia Tenggara. Baik ditinjau dari
produktivitas (jumlah contasiner yasng bisa diangkat dalam satu jam) masupun biaya satuan (biaya mengangkat
satu container berisi berukuran 40 foot, JICT di Tanjung Priok adalah paling tidak efisien dibanding dengan
pelabuhan-pelabuhan lain di Asia Tenggara, misalnya Singapura, Port Klang di Malaysia (Ray 2003).
Kurang Agresif dalam Memanfaatkan Forum/Fasilitas/Jalur Perdagangan Regional/Dunia
Banyak forum, fasilitas atau jalur perdagangan dunia atau regional yang kurang dimanfaatkan selama ini oleh
(pemerintah) Indonesia. Misalnya jalur kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTA – Bilateral Free Trade
Agreement) yang belakangan ini semakin marak dalam sistem perdagangan internasional. Sejauh ini Indonesia
23
memang telah terlibat dalam BFTA dengan China, dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEANChina, melaksanakan perundingan dengan Jepang guna mendorong terciptanya Kesepakatan Kemitraan Ekonomi
Jepang-Indonesia (JIEPA – Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement), dan telah menerima sejumlah
tawaran untuk melakukan BFTA dengan beberapa mitra dagang utamanya, termasuk dari Amerika Serikat (AS)
dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA – European Free Trade Association). Selain itu, sebagai salah satu
negara anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia mulai terlibat dalam perundinganperundingan BFTA dengan Korea Selatan, yang kesepakatannya telah ditandatangani oleh kedua belah pihak
bulan Juni 2006. Lebih dari itu, India dan negara-negara anggota Hubungan Ekonomi yang Lebih Dekat (CER –
Closer Economic Relations), termasuk Australia dan Selandia Baru, juga sudah mengemukakan ketertarikannya
untuk membicarakan BFTA dengan pihak ASEAN.
Namun demikian, menurut Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Dr. Mari Elka Pangestu, dalam Seminar
Forum WTO Indonesia, 29-Agustus-2006 di Jakarta, 15:43:57 Indonesia perlu lebih serius memanfaatkan BFTA
sehingga produk-produk domestik yang diekspor ke luar negeri tidak mengalami diskriminasi (hal ini disebabkan
barang-barang dari Indonesia tidak diberikan konsesi khusus di, misalnya, Jepang, selayaknya barang-barang yang
masuk dari Singapura di Jepang). Juga apabila Indonesia tidak aktif terlibat dalam BFTA, maka Indonesia akan
mengalami dampak diversi perdagangan di negara-negara mitranya. Sebagai ilustrasi ia memberikan gambaran
BFTA antara Thailand dan AS. Indonesia merupakan pengekspor besar ke AS, namun apabila Thailand memiliki
BFTA dengan negara Paman Sam tersebut, maka produk-produk Indonesia akan mengalami diskriminasi.
Contoh lainnya adalah di sektor perikanan. Jepang masih mengembargo ikan tuna sirip biru yang ditangkap
kapal ikan dari Indonesia karena Indonesia belum menjadi anggota Commission for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna (CCSBT), walau tuna sirip biru hidup di Samudera Hindia dan hanya bertelur di wilayah perairan
selatan Bali dna selatan Lombok. Padahal, tiap tahun kapal tuna Indonesia menangkap tidak kurang 1.500 ton tuna
jenis ini dari kuota 700 ton per tahun, tetapi ditolak Jepang dengan alasan ditangkap secara ilegal (Damardono,
2007)..
Kesulitan Memenuhi Berbagai Standarisasi
Satu hal yang pasti dalam era perdagangan bebas sekarang ini dan dikemudian hari adalah bahwa, di satu sisi
semua hambatan perdagangan perdagangan dalam bentuk tarif atau bea masuk impor (BMM) akan hilang, namun,
di sisi lain, hambatan nontarif (NTB) akan semakin banyak. NTB ini dibungkus dalam isu-isu seperti standar
kesehatan, standar keamanan, standar lingkungan atau kelestarian (alam maupun binatang), standar hak asasi
manusia (HAM), standar perburuhan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), standar kualitas, dll..
Dalam hal HAKI, misalnya, sekarang ini semua kesepakatan perdagangan baik pada tingkat dunia (dalam
konteks WTO) maupun pada tingkat regional atau bilateral semakin ketat melibatkan HAKI. Termasuk BFTA
yang juga melibatkan perluasan peraturan HAKI yang sangat ketat bagi negara-negara pesertanya. Perlindungan
24
yang besar terhadap HAKI kerap kali menimbulkan kontroversi besar di negara-negara berkembang. Secara
umum, HAKI adalah hak yang diberikan oleh masyarakat kepada individu ataupun organisasi atas karya kreatif
seperti karya invensi, sastra dan seni, serta simbol, nama, citra, dan rancangan-rancangan / desain yang digunakan
dalam perdagangan. HAKI merupakan alat untuk meningkatkan kreativitas dan penciptaan, karena dianggap
penting pada tingkat internasional.
Walaupun di WTO sudah adanya kesepakatan yang namanya Hal-Hal Perdagangan yang Berhubungan
Dengan Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS – Trade-Related Intellectual Property Rights), banyak BFTA yang
menganut pendekatan TRIPS-plus. Kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan bilateral biasanya
menghapus fleksibilitas-fleksibilitas yang diberikan kepada negara-negara berkembang di TRIPS, dan tentunya
membebani negara-negara berkembang. AS, misalnya, seringkali memaksakan ketentuan-ketentuan TRIPS-plus
dalam inisiatif-inisiatif BFTAnya.
BFTA biasanya melemahkan atau menghapus pelaksanaan fleksibilitas, terutama dalam hal: (1) paten dan
akses pada obat; (2) perlindungan HAKI atas varietas tanaman dalam hal sistim sui generis, dan hak petani; (3)
pilihan untuk melarang paten atas mahluk hidup (lihat artikel Hira Jhamtani dalam GJU edisi ini).
Selain itu, ketentuan HAKI dalam BFTA tidak hanya terletak dalam bab HAKI, tetapi juga dalam banyak bab
lainnya yang dirundingkan dalam BFTA (seperti penanaman modal, penyelesaian sengketa, dsb.). Dengan
demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan seksama apakah perlu untuk merundingkan HAKI dalam
BFTA-BFTAnya apabila sudah ada berbagai peraturan yang ketat dalam WTO dan Organisasi Hak Kekayaan
Intelektual Dunia (WIPO – World Intellectual Property Organisation). Sekalipun pemerintah sepakat untuk
memasukkan bab HAKI dalam BFTAnya, maka perlu ditegaskan bahwa Indonesia tidak membutuhkan peraturan
haki yang bersifat TRIPS-plus.
Survei WEF juga memberi gambaran mengenai posisi Indonesia dalam hal: (a) hak kekayaan (apakah
didefinisikan secara baik dan dilindungi oleh undang-undang), dan (b) perlindungan kekayaan intelektual (apakah
perlindungannya kuat dan dijalankan sepenuhnya (Gambar 10 dan Gambar 11).
Gambar 10: Hak Kekayaan
115
Indonesia
111
Kambodia
79
Vietnam
75
Filipina
50
Thailand
23
Malaysia
5
Singapura
1
Jerman
0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
25
Gambar 11: Perlindungan Kekayaan Intelektual
112
Kambodia
101
Vietnam
90
Filipina
87
Indonesia
Thailand
44
Malaysia
25
Singapura
5
Jerman
1
0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Pada tanggal 25 Agustus 2006 AS dan ASEAN telah menandatangani perjanjian yang diberi nama Pengaturan
Kerangka Perdagangan dan Investasi (TIFA). Isinya antara lain mengizinkan produk ASEAN memasuki pasar AS
dengan relatif lebih mudah. Meski demikian, AS juga menuntut agar ASEAN memperketat perlindungan hak cipta
atas produk-produk AS. Ini merupakan lagi tantangan bagi Indonesia agar produk-produk Indonesia bisa lebih
mudah masuk ke pasar AS.
Dalam masalah lingkungan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa isu ini menjadi salah satu bagian
penting dalam setiap kesepakatan perdagangan, baik dalam bentuk bilateral atau multilateral, maupun pada tingkat
regional maupun global. Sudah banyak kasus, khususnya untuk ekspor komoditas-komoditas pertanian, yang
menunjukan kesulitan yang dihadapi oleh Indonesia untuk memenuhi standar yang diminta oleh pihak pembeli;
misalnya kasus udang ke pasar Eropa.
Juga Indonesia sering mengalami kesulitan dalam mengekspor produk-produk industri karena isu lingkungan.
Misalnya dalam hal industri kertas dan pulp. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki keunggulan komparatif
dalam memproduksi bahan baku kertas (pulp). Namun tidak mudah bagi Indonesia untuk megekspornya. Sering
praktik pembalakan liar dipakai oleh negara-negara maju untuk menekan industri pulp dan kertas nasional.
Tekanan tersebut bertambah berat karena Indonesia juga sering dituduh melalukan dumping dengan dalih
memproduksi pulp atau kertas menggunakan bahan baku berbiaya murah (Hamzirwan, 2008).
Yang jelas, Indonesia tidak ada pilihan lain, selain harus menerapkan tata kelola manajemen yang taat asas,
ramah lingkungan, dan memakmurkan masyarakat di sekitarnya dalam arti yang utuh. Tanpa memperhatikan
syarat ini, Indonesia akan semakin tergeser dari pasar dunia untuk pulp dan kertas (Hamzirwan, 2008).
Dalam masalah standar kualitas, ironis sekali bahwa, di satu sisi, disadari bahwa kualitas sangat penting untuk
bisa unggul di pasar dunia, atau dalam hal ini untuk bisa menembus pasar Jepang, sedangkan, di sisi lain,
Indonesia sampai saat ini masih punya masalah serius untuk memenuhi persyaratan tersebut. Hingga Agustus
2007, pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200 standar nasional industri (SNI), tetapi baru 215 SNI produk
26
yang diwajibkan. SNI yang diwajibkan itu pun sebagian besar masih berlaku sukarela karena baru 34 SNI produk
yang dinotifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tanpa notifikasi, tidak ada mekanisme pengawasan
dan sanksi yang dapat diterapkan.
Di tingkat ASEAN, hingga tahun 2007 sudah 140 jenis standar produk yang diharmonisasi, dan ditargetkan
mencapai 189 produk pada tahun 2011. Sementara, Indonesia hingga saat ini baru mengikutkan 19 standar produk
dalam harmonisasi ASEAN (Hidayati, 2008). Artinya, walaupun pasar ASEAN semakin terbuka, banyak produk
Indonesia yang tidak akan bisa masuk pasar ASEAN karena belum punya standar produknya (Hidayati, 2007).
Hal ini mencerminkan lemahnya pengembangan standar dan lembaga akreditasi di Indonesia. Padahal,
penguatan standar, lembaga akreditasi, dan kelengkapan fasilitas laboratorium penguji tidak bisa diabaikan.
Dalam persaingan di pasar global, hambatan nontarif, baik yang bersifat teknis, seperti standar keamanan
produk, maupun nonteknis, seperti ketentuan label, menjadi perkara serius (Hidayati, 2008, 10).
27
Daftar Pustaka,
APEC (1997), “The Impact of Trade Liberalization in APEC”, Economic Committee of APEC, Singapore: APEC
Secretary
APEC (1999), “ The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region”, Report by the
Network for Economic Development Management, Human Resource Development Working Group,
Singapore: APEC Secretary.
Arlini, Silvia Mila (2006), ”Arah Pengembangan Industri Manufaktur Indonesia”, makalah dalam Kongres ISEI
ke-X, Menado, 18-20 Juni.
Astono, Banu (2007), “Sektor Manufaktur Tumbuh, tetapi Masih Tetap Merana”, Kompas, 10 Tahun Krisis Multi
Dimensi, 16 Agustus: 36.
Astuti, Runik Sri dan Banu Astono (2007), “Kinerja Ekspor Kuncinya di Tangan Pemerintah”, Kompas, Bisnis &
Keuangan, Jumat, 27 April: 21.
Aswicahyono, H. dan Feridhanusetyawan, T. (2003), “Indonesia’s strategy for industrial upgrading”, makalah
dipresentasikan pada sebuah lokakarya mengenai “Why Trade and Industry Policy Matters”, 14-15 January,
Jakarta: UNSFIR.
Aswicahyono, Haryo; Raymond Atje & Thee Kian Wie (2005), “Indonesia’s Industrial Competitiveness – A
Study of the Garment, Auto Parts, and Electronics Industries”, Report for the Development Economics
Research Group, The World Bank, Jakarta, March.
Basuki, Orin (2008), ”Iklim Investasi. NSW, Upaya Menundukkan Raksasa Pungli”, Kompas, Bisnis & Keuangan,
Sabtu, 12 Januari: 19.
BI (2008), ”Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012. Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian
Nasional”, Januari, Jakarta: Bank Indonesia.
Chowdhury, A. (2002), ”Indonesia 2020: Long-term issues and prioritas”, discussion paper, Jakarta: BAPPENAS/
UNSFIR.
Damardono, Haryo (2007), “Ekspor ada cela di sektor perikanan”, Kompas, Fokus Kemitraan Indonesia-Jepang,
Sabtu, 25 Agustus: 38.
Damayanti, Doty (2008), “Investasi Migas. Produksi Tersandera Birokrasi”, Kompas, Fokus. Bisnis BBM, Jumat,
30 Mei: 47.
DFAT (2000), Indonesia: Facing the Challenge, DFAT East Asia Analytical Unit, Camberra: Australian
Department of Foreign Affairs and Trade (www.dfat.gov.au).
Dhanani, Shafiq (2000), “Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness”, Vol. II. Main Report,
UNDP/UNIDO Project no. NC/INS/99/004, Jakarta, November.
Feridhanusetyawan, T. (2001), “Indonesia’s trade policy and performance”, working paper, Jakarta: Center for
Strategic and International Studies.
Feridhanusetyawan, T. dan Pangestu, M. (2003), “Indonesian textile liberalization: Estimating the gains”, Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 39(1):51-74.
Hamzirwan (2008), “Investasi Pulp. Asing, Ancaman atau Peluang?”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 15
Mei: 21.
Hidayati, Nur (2007), ”ASEAN 2015 Jangan Sampai Jadi Pecundang”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 2
Juni: 21.
Hidayati, Nur (2008), ”EPA Jepang-Indonesia Bakal Percuma jika Tanpa Kejelasan Strategi”, Kompas,
Internasional, Rabu, 23 Januari: 10.
Hidayati, Nur dan Banu Astono (2007), “TPT dan Alas Kaki Pilih Mitranya, Baru Tembus Pasarnya”, Kompas,
Fokus Kemitraan Indonesia-Jepang, Sabtu, 25 Agustus: 36.
ILO (2007), Labour and Social Trends in ASEAN 2007: Integration, Challenges, and Opportunities, Geneva:
International Labour Organization.
International Country Risk Guide, berbagai tahun, Published Monthly by The PRS Group Inc., NY, USA.
28
ISWA (2006), ”Revitalisasi Industri Kayu Olahan Menuju Industri Yang Kompetitif”, Kadin Roadmap Industri,
27 Juni, Kadin Indonesia.
James, William (2001), “Implications for Indonesia’s International Economic Policy in the 21st Century”, makalah
disampaikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I., Jakarta: Partnership for Economic Growth
(www.pegasus.or.id).
James, William E; David J. Ray & Peter J. Minor (2003), “Indonesia’s Textiles and Apparel: The Challenges
Ahead, Bulletin of Indonesian Economic Studies,39(1): 93-103.
Kim, C. (2004), “Industrial development strategy for Indonesia: Lessons from the Korean experience”, makalah
dipresentasikan pada sebuah lokakarya mengenai “Why Trade and Industry Policy Matters”, 14-15 January,
Jakarta: UNSFIR.
Kuntari, Rien, Soelastri S., dan Khairina (2007), “Sepatu dan Tekstil. Sektor Riil yang Berjuang Sendirian”,
Kompas, 10 Tahun Krisis Multi Dimensi, 16 Agustus: 37.
Lall, Sanjaya & Kishore Rao (1995), “Indonesia: Sustaining Manufactured Export Growth”, Report submitted to
Bappenas, Jakarta, August.
Liu, Raymond (2006), “Outlook for Pulp & Paper Market”, Kadin Roadmap Industri, 27 Juni, Kadin Indonesia.
LPEM-FEUI (2001), “Construction of Regional Index of Doing Business”, Laporan Akhir, Jakarta.
McGuire, G. (2004), “A Future Trade Policy for Indonesia: Which Road to Take? UNSFIR Working Paper Series
No. 04/02, Jakarta: UNSFIR.
McKinsey Global Institute (2005), “Improving Indonesian Competitiveness”, makalah dipresentasikan dalam
Indonesian Investment Climate Conference, 17 November, Jakarta.
Pangestu, Mari, 2005, “Developing the Trade Sector: Challenges and Strategy Towards Strengthening Industreial
Competitiveness”, Ceramah di Symposium “Reinventing Indonesia’s Industrial Competitiveness”, Jakarta, 1
Maret.
Porter, M.E. (1980), Competitive Strategy, New York: Free Press.
Porter, M.E. (1998a), The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction, New York: The Free
Press.
Porter, M.E. (1998b), On Competition, Boston: Harvard Business School Press.WEF (2004), The Global
Competitiveness Report 2004-2005, Oxford University Press.
Prabowo, Hermas E. dan Hamzirwan (2007), “Sektor agroindustri. Potensi Besar, Dukungan Kurang”, Kompas,
Bisnis & Keuangan, Selasa, 15 Mei: 21.
Purwanto, Antonius (2006), “Pengurusan Izin Rumit dan Mahal”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 21
Februari: 21.
Rustiani, Frida (2008), ”Perizinan Usaha dan Investasi”, Kompas, Opini Ekonomi, Jumat, 16 Mei:52.
Sadewa, Purbaya Yudhi (2006), “Indonesia Harus Memanfaatkan AFTA”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Senin, 20
November: 21.
Samhadi, Sri Hartati (2007a), “Indonesia dan Globalisasi”, Kompas, Fokus Nasionalisme, Sabtu, 18 Agustus:34.
Samhadi, Sri Hartati (2007b), ”Menggantungkan harapan pada EPA”, Kompas, FOKUS, Sabtu, 25 Agustus:33
Santoso, Ferry (2008), ”Kerja sama Ekonomi. Kawasan FTZ Pun Krisis Listrik”, Kompas, Teropong, Nusantara,
Senin, 19 Mei: 46.
Saragih, Simon (2007), “RI-Jepang Hubungan Timpang”, Kompas, Internasional, Minggu, 19 Agustus: 5.
Sumantyo, Riwi (2004), “Beberapa Tantangan Kebijakan Makro Ekonomi Pemerintahan Baru”, Suara Merdeka,
Kamis, 4 November
Swasembada (2004), “Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah”, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April.
Tambunan, Tulus T.H. (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus T.H. (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis, Jakarta: P>T.
Quantum Pustaka.
Tambunan, Tulus T.H. (2007), “Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing”, makalah dipresentasikan
dalam seminar Bank Indonesia, Rabu 19 Desember, Jakarta.
Thee Kian Wie (2003), “Competition policy in Indonesia and the new anti-monopoly and fair competition law”,
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(3): 331-342
29
Thee Kian Wie (2006), “Apakah Landasan Pembangunan Industri di Indonesia sudah tepat?”, makalah dalam
Kongres ISEI ke-X, Menado, 18-20 Juni.
Thiono, Handri (2008), “Industri Indonesia Masih Berdaya Saing”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Senin, 28 April,
halaman 21.
UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on Trade
and Investment
UNCTAD (2007a), World Investment Prospect Survey 2007-2009, New York dan Geneva: United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD).
UNCTAD (2007b), Transnational Corporations, Extractive Industries and Development, World Investment
Report, New York dan Geneva: United Nations Conference on Trade and Development.
UNCTAD (2007c), World Investment Report 2007, New York & Geneva: United Nations Conference on Trade
and Development.
WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum.
WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic Forum.
WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum.
World Bank (2004), Doing Business in 2005: Removing Obstacles to Growth, Washington, D.C.
World Bank (2005a), Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Setiap Orang, Laporan Pembangunan Dunia 2005, The
World Bank, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
World Bank (2005b), “Averting an Infrastructure Crisis”, Infrastructure Policy Brief, January, Jakarta
World Bank (2008), Doing Business 2008. Indonesia, Washington, DC.
30
Download