PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIKA PADA PASIEN FARINGITIS DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI Oleh: YULIA RAHMAWATI K100 110 109 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2015 2 PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIKA PADA PASIEN FARINGITIS DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 MICROBIAL MAPS AND ANTIBIOTIC RESISTANCE TO PHARYINGITIS PATIENTS IN Dr. MOEWARDI HOSPITAL PERIOD 2014 Yulia Rahmawati*, M Kuswandi **, EM Sutrisna* *Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta ** Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Faringitis adalah salah satu infeksi saluran pernafasan atas yang mempunyai angka kejadian yang tinggi serta memerlukan penangan yang baik karena dampak komplikasi yang membahayakan. Resistensi terhadap antibiotika merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotika pada pasien faringitis di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian non eksperimental secara deskriptif dengan mengolah 10 isolat pada Agustus 2014 yang diuji menggunakan metode disk diffusion. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi dan Laboratorium Mikrobiologi Farmasi UMS. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, kuman Acinetobacter baumannii mengalami resistensi terhadap antibiotika amoxycillin 25%, cefazoline 75%, ceftriaxone 75%, dan cefotaxime 100%, Klebsiella pneumonia mengalami resistensi terhadap cefotaxime 100% dan amoxycillin 100%, Enterobacter cloacae mengalami resistensi terhadap amoxycillin 100%, cefazoline 50%, ceftriaxone 100%, dan cefotaxime 100%, dan bakteri Staphylococcus aureus mengalami resistensi terhadap antibiotika ciprofloxacin 50%, cefotaxime 100%, amoxycillin 100%, dan gentamicin 50%. Kata kunci : Antibiotika, Resistensi bakteri, Faringitis, RSUD Dr. Moewardi ABSTRACT Pharyngitis is one’s of the upper respiratory tract infection that have high prevalence and requires a good handling as a complication of being dangerous. Resistance to antibiotics is a common problem throughout the world, include Indonesia. Therefore, this study aimed to determine the maps of bacteria and resistance to antibiotics to pharyngitis patients in Dr. Moewardi hospital. This research conducted was a non experimental research with processing 10 isolate with sensitivity test using disc diffusion method on Mueller Hinton agar at August 2014. The study was conducted at the Clinical Microbiology Laboratory of Hospital Dr. Moewardi and Microbiology Laboratory of Pharmacy UMS. The results of this research demonstrated consisting Acinetobacter baumannii resistant to antibiotic amoxycillin 25%, cefazoline 75%, ceftriaxone 75%, and cefotaxime 100%, Klebsiella pneumonia mengalami resistensi terhadap cefotaxime 100% dan amoxycillin 100%, Enterobacter cloacae resistant to antibiotic amoxycillin 100%, cefazoline 50%, ceftriaxone 100%, and cefotaxime 100%, and bacteri Staphylococcus aureus resistant to antibiotic ciprofloxacin 50%, cefotaxime 100%, amoxycillin 100%, and gentamicin 50%. 1 Key words: Antibiotics, Resistance of bacteria, Pharyngitis, RSUD Dr. Moewardi PENDAHULUAN Penyakit infeksi merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas dan morbiditas di dunia. Angka mortalitas yang terjadi pada negara berkembang mencapai 39,5 juta dan lebih dari 25% disebabkan oleh penyakit infeksi (Dwiprahasto, 2005). Secara umum, penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit (Jawetz et al., 2005). Angka kejadian penyakit infeksi saluran nafas di Indonesia mencapai 25 %. Infeksi saluran nafas ini mendominasi infeksi lainnya seperti infeksi saluran cerna, infeksi saluran kemih, kulit bahkan infeksi sistemik (Kemenkes RI, 2013). Faringitis merupakan salah satu infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi (Depkes RI, 2005). Kasus faringitis disebabkan oleh infeksi langsung pada faring akibat virus atau bakteri (Vincent et al., 2004). Agen penyebab dari infeksi bakteri ini diantaranya Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci grup A hemolitik (Wessels, 2011). Selain itu, beberapa kuman yang juga pernah diisolasi dari hasil usap tenggorokan pada pasien faringitis diantaranya adalah bakteri Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginusa, Escherichia coli, Acinetobacter baumanniii (Isnawati et al., 2002). Salah satu penatalaksanaan penderita infeksi karena bakteri adalah pengobatan dengan antibiotik (Mardiastuti, 2007). Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan. Penggunaan antibiotik secara rasional penting dilakukan karena mengakibatkan munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika (Sutrisna, 2012). Masa kejayaan antibiotika kini mulai hilang setelah dilaporkan bahwa antibiotik tidak mampu mengatasi beberapa bakteri patogen, karena bakteri mulai resisten terhadap antibiotik (Kuswandi, 2011). Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat disebabkan karena secara alamiah bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, penghentian antibiotik sebelum penyakit sembuh, dan pemberian antibiotik tidak tepat dosis (Jawetz et al., 2005). Uji laboratorium dilakukan untuk memastikan bakteri penyebab infeksi faringitis. Mesin Vitek merupakan alat yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis bakteri dan menguji kepekaannya terhadap antibiotik dengan waktu yang relatif cepat (Dubois, 2012). Interpretasi hasil data beberapa uji biokimia juga dihasilkan dengan menggunakan alat vitek. Vitex 2 compact digunakan RSUD Dr. Moewardi untuk mengetahui peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotik dari berbagai spesimen (Chudlori, 2013). 2 Berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik RSUD Dr. Moewardi tahun 2011, organisme penyebab faringitis yaitu bakteri Streptococcus grup A. Rekomendasi terapi antibiotik yaitu penicillin oral, clindamycin, makrolida, dan aminopenicillin yang dikombinasi inhibitor β-laktamase, sedangkan alternatif terapi yang digunakan yaitu antibiotika Cefalosporin oral, cefotaxime, dan ciprofloxacin (RSUD Dr. Moewardi, 2011). Penggunaan antibiotik ini perlu suatu program untuk pengawasan terhadap bakteri yang resisten, mengontrol infeksi, mengawasi penggunaan antibiotik di rumah sakit, membuat suatu pedoman yang baru secara berkesinambungan untuk pemakaian antibiotik dan profilaksis, serta memonitor penggunaan antibiotik di rumah sakit sehingga dapat meningkatkan penggunaan antibiotik yang rasional. Rumah sakit juga memonitor pola resistensi dengan mencatat data laboratorium uji resistensi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui antibiotik yang masih poten, tepat, aman dan efektif serta menghasilkan luaran klinik yang baik (Refdanita et al., 2004). Oleh karena itu, maka perlu melakukan suatu usaha untuk mencegah atau mengatasi munculnya resistensi bakteri dengan cara memonitor pemakaian antibiotik sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotika pada pasien faringitis di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat-alat gelas (Pyrex), neraca analitik (Ohaus), penangas air (Memmert), oven, autoklaf (All American), inkubator shaker (New Brunswick Scientific), LAF (Laminar Air Flow), mesin vitex (Vitex 2 compact), inkubator (Memmert), dan mikropipet (Socorex). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: bakteri yang diisolasi dari spesimen sekret tenggorok pada pasien faringitis bulan Agustus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 berupa koloni tunggal bakteri Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, Staphylococus aureus, Enterobacter cloacae, standar Mc Farland 1,5 x 108 CFU/mL, alkohol, aquadest, larutan salin (NaCl 0,9%), NA (Nutrient Agar) miring, media Mac Conkey, media Mueller Hinton, media cair BHI (Brain Heart Infusion), disk antibiotika (amoxycillin, cefotaxime, ceftriaxone, cefazoline dan ciprofloxacin, gentamicin, meropenem, dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Jalannya penelitian Spesimen sekret pada pasien faringitis sebanyak 10 sampel pada bulan Agustus 2014 dengan menggunakan metode disk diffusion yang diperoleh dari Laboratorium 3 Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi. Sampel yang akan diteliti merupakan koloni tunggal, karena telah diisolasi, diidentifikasi (pewarnaan gram), dan dilakukan pemurnian. Skema jalannya penelitian dengan menggunakan metode disk diffusion dalam penetapan resistensi bakteri pada faringitis terhadap antibiotik ditunjukan pada gambar 1. Analisis data Berdasarkan hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotika berdasarkan pengukuran diameter zona hambat pada masing-masing disk antibiotika kemudian dibandingkan dengan standard pengukuran yang telah ditetapkan oleh Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Hasil uji kepekaan yang diperoleh meliputi kuman sensitif (S) atau resisten (R) terhadap antibiotika. Dari data yang diperoleh dibuat persentase resistensi, yaitu perbandingan hasil uji resistensi yang didapat dengan total isolat yang digunakan dikalikan seratus persen. Sterilisasi alat dan bahan Oven (160o-180oC selama 1-2 jam) = alat – alat gelas. o Autoklaf (121 C selama 20 menit) = alat dan bahan yang tidak tahan dengan pemanasan tinggi. Api Bunsen = ose. Pembiakan bakteri Kuman atau bakteri koloni tunggal dibiakkan dengan media NA (Nutrient Agar) miring yang selanjutnya dibawa ke tempat uji. (Disimpan pada suhu 4 oC sebagai stok bakteri). Diambil bakteri dari stok bakteri menggunakan ose steril untuk dibiakan. Digoreskan pada media agar Muller Hinton kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Pembuatan suspensi bakteri 1. Masukkan 5 ml media BHI ke dalam tabung 2. Ambil beberapa koloni bakteri, suspensikan dalam media BHI 3. Shaker selama 2 jam pada suhu 37oC dengan kecepatan 200 rpm 4. Diambil 100µL masukan dalam tabung, bandingkan dengan standar Mc Farland (1,5x108 CFU/mL) , samakan kekeruhannya. Jika belum keruh, tambahkan NaCl 0.9% sampai sama dengan standar Mc Farland. Uji sensitifitas bakteri terhadap antibiotik (metode difusi cakram) Dibuat media MH dalam cawan petri (± 17mL), tunggu memadat dan dingin. 2. Diambil 200 µL suspensi bakteri, dimasukan dalam cawan, ratakan dengan speader glass, tunggu kering (posisi cawan ditutup). 3. Taruh/tempelkan antibiotika pada media yang sudah diberi suspensi bakteri. 4. Inkubasi 18-24 jam pada suhu 37oC. 5. Dilihat zona hambatnya. 1. Dilakukan analisis data Intrepetasi hasil mengacu pada CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute) Gambar 1. Skema jalannya penelitian dengan menggunakan metode disk diffusion 4 HASIL PEMBAHASAN 1. Peta Kuman Pada Pasien Faringitis Penelitian ini menggunakan 10 hasil isolat pasien faringitis yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi bulan Agustus 2014 yaitu 4 isolat Acinetobacter baumanniii, dan masing-masing 2 isolat pada kuman Klebsiella pneumoniae, Enterobacter cloacae, dan Staphylococcus aureus. Hasil isolasi kuman dari sekret tenggorok pasien faringitis pada bulan Januari hingga Maret 2014 di RSUD Dr. Moewardi menunjukan terdapat 70 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap antibiotika. Tabel 1. Peta kuman yang diisolasi dari sekret tenggorok pada pasien faringitis bulan Januari-Maret 2014 di RSUD Dr. Moewardi Nama bakteri Gram positif : 1. Katalase positif a. Streptococcus mitis b. Streptococcus sanguinis 2. Katalase positif a. Staphylococcus aureus b. Staphylococcus haemolyticus Gram negatif : 1. Enterobacteriaceae : a. Klebsiella pneumoniae b. Enterobacter cloacae c. Escherichia coli d. Enterobacter aerogenes e. Citrobacter freundii 2. Non-Enterobacteriaceae : a. Pseudomonas aeruginosa b. Acinetobacter baumannii c. Sphingomonas paucimobilis Jumlah Jumlah 15 Persentase (%) 4 2 5,71% 2,86% 6 3 55 8,57% 4,28% 22 9 6 1 1 31,43% 12,86% 8,57% 1,43% 1,43% 9 5 2 12,86% 7,14% 2,86% 70 100 (Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014) Hasil isolat sekret tenggorok pada pasien faringitis sebanyak 10 isolat yang digunakan dalam penelitian ini, menunjukan bahwa kuman Gram negatif (8 isolat) lebih banyak ditemukan pada pasien faringitis pada bulan Agustus 2014 di RSUD Dr. Moewardi. Hal ini juga ditunjukan pada peta kuman pasien faringitis yang terjadi pada bulan Januari hingga Maret 2014, yaitu kuman Gram negatif sebanyak 55 isolat dan kuman Gram positif sebanyak 15 isolat (Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Anuradha di Apollo Institute of Medical Sciences and Research, Jubilee Hills, Hyderabad, India juga menunjukkan kuman Gram negatif (57,59%) mendominasi penyebab faringitis (Mokkapati & Yalamanchili, 2013). Adanya perubahan dalam virulensi atau transmisibilitas suatu patogen menyebabkan beberapa kuman dapat muncul dan menggantikan organisme dari spesies yang sama atau berbeda karena memiliki sifat yang lebih virulen atau lebih mudah 5 ditransmisikan (Gillespie & Bamford, 2009). Angka kejadian infeksi di Amerika Serikat yang berasal dari rumah sakit (nosocomial infection) sebesar 30%. Bakteri Gram negatif yang sering menyebabkan infeksi adalah Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, Enterobacteria dan Escherichia coli (Bela, 2011). Acinetobacter baumannii ditemukan paling banyak diantara 10 isolat yang didapatkan, yaitu terdapat 4 isolat sekret tenggorok pasien faringitis. Acinetobacter baumannii merupakan bakteri Gram negatif aerobik yang tersebar luas di tanah dan air, yang berperan sebagai patogen oportunistik pada pasien yang mengalami luka bakar atau penurunan daya tahan tubuh sehingga dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Acinetobacter baumannii ini dapat dibiakkan dari kulit, selaput lendir, sekret, dan lingkungan rumah sakit. (Jawetz, 2005). Acinetobacter baumannii di Inggris menjadi penyebab wabah infeksi di rumah sakit (Gillespie & Bamford, 2009). Faringitis yang disebabkan karena Acinetobacter baumannii di India sebesar 1,49% (Mokkapati & Yalamanchili, 2013) dan di Jakarta Pusat, Indonesia sebesar 1,53% (Isnawati, 2002). Hasil isolasi dari pemeriksaan usap tenggorok pada penderita tonsilo-faringitis yang dilakukan di puskesmas di daerah Jakarta Pusat menunjukkan kuman terbanyak yang dapat diisolasi yaitu Streptococcus viridans (54,2%) (Isnawati, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Anuradha di Apollo Institute of Medical Sciences and Research, Jubilee Hills, Hyderaba, India menunjukkan 3 kuman terbanyak yang diisolasi dari pasien faringitis yaitu Staphylococcus aureus (34,32%), Streptococcus pyogenes (25,37%), dan Klebsiella pneumoniae (23,88%) (Mokkapati & Yalamanchili, 2013). Di Amerika Serikat ditemukan kasus terbanyak penyebab faringitis adalah Streptococcus pyogenes (30%) (Anjos et al., 2014). Perbedaan kondisi sosiodemografik (negara berkembang atau negara maju), tingkat kepadatan penduduk, sosio-ekonomi, dan banyaknya jumlah perokok adalah hal yang dapat mempengaruhi perbedaan peta kuman penderita faringitis di setiap negara (Irwanti, 2010). 2. Peta Resistensi Kuman Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode disk diffusion (Kirby-Bauer) karena hasil yang didapatkan cepat, lebih sederhana, dan murah. Penggunaan disk yang mengandung antibiotik diletakan di atas media MH padat yang sudah ditanami organisme uji dan kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kuman ini diujikan dengan berbagai macam antibiotik, dengan tujuan untuk mengetahui bakteri masih sensitif atau sudah resisten. Antibiotik yang digunakan dalam 6 penelitian ini yaitu amoxycillin, ceftriaxone, cefazoline, meropenem, gentamicin, cefotaxime, ciprofloxacin, dan trimethoprim. Pemilihan penggunaan antibiotika ini berdasarkan pola peresepan terbanyak yang diberikan pada pasien faringitis melalui pembacaan rekam medik, dan hasil uji resistensi dari mesin Vitek yaitu antibiotika amoxycillin, berdasarkan alternatif terapi pada pedoman penggunaan antibiotik RSUD Dr. Moewardi tahun 2011, pola peresepan pada pasien faringitis melalui pembacaan rekam medik, dan hasil uji resistensi dari mesin Vitek yaitu antibiotika cefotaxime, ceftriaxone, cefazoline dan ciprofloxacin, serta antibiotika gentamicin, meropenem, dan trimethoprimsulfamethoxazole berdasarkan hasil uji resistensi dari mesin Vitek. Penelitian ini menggunakan hasil isolat kuman Gram positif dari sekret tenggorok pasien faringitis bulan Agustus 2014 RSUD Dr. Moewardi yaitu Staphylococcus aureus sebanyak 2 isolat yang menunjukkan adanya resistensi terhadap antibiotik sebesar 100% pada antibiotik cefotaxime dan amoksisilin serta ciprofloxacin dan gentamicin sebesar 50%. Berdasarkan uji kepekaan pada sekret tenggorok pasien faringitis bulan Januari hingga Maret tahun 2014 di RSUD Dr. Moewardi terdapat 4 kuman Gram positif yang berhasil diisolasi Streptococcus yaitu mitis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus haemolyticus, dan Streptococcus sanguinis. Staphylococcus aureus juga menunjukkan adanya resistensi terhadap antibiotika amoxycillin sebesar 100%. Peta resistensi kuman Gram positif sekret tenggorok pasien faringitis bulan Januari-Maret 2014 terhadap beberapa antibiotika ditunjukkan pada tabel 2 (Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014). Berdasarkan peta resistensi kuman Gram negatif terhadap beberapa antibiotika pada pasien faringitis di RSUD Dr. Moewardi periode Januari-Maret 2014 menunjukkan Klebsiella pneumoniae merupakan kuman yang paling banyak ditemukan pada pasien faringitis bulan Januari hingga Maret 2014 dan mengalami resistensi terhadap antibiotik golongan penicillin yaitu ampicillin sebesar 100% (Tabel 3) (Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014). Pada penelitian ini kuman Klebsiella pneumoniae juga menunjukkan resistensinya terhadap antibiotika golongan penicillin yaitu amoxycillin sebesar 100% (Tabel 4). 7 Tabel 2. Peta resistensi kuman Gram positif terhadap beberapa antibiotika pada pasien faringitis di RSUD Dr. Moewardi periode Januari-Maret 2014 Persentase resistensi bakteri terhadap antibiotik (%) Antibiotik Staphylococcus haemolyticus n= 3 67 Staphylococcus aureus n= 6 Ceftazidime 0 Streptococcus mitis n=4 25 Streptococcus sanguinis n=2 50 Ceftriaxone 0 67 25 0 Cefepime 0 67 75 100 Ertapenem 0 67 0 50 Meropenem 0 67 50 0 Gentamicin 0 33 50 50 Ciprofloxacin Levofloxacin Trimethoprim Piperacilin 0 0 0 0 67 67 33 67 25 0 50 25 50 0 100 0 Benzypenicilin Amoxycillin Oxacilin 100 100 0 100 100 67 0 - 0 - Cefadroxil 0 67 - - Cefuroxime 0 67 - - Cefotaxime 0 67 0 50 Ceftizoxime 0 67 - - Doripenem 0 67 - - Imipenem 0 67 25 0 Moxifloxacin Eritromysin 0 0 67 33 - - Clindamysin 0 33 - - Quinupristin 0 0 - - Vankomysin Tetrasiklin 0 33 0 33 50 50 50 100 50 25 50 50 50 0 0 50 25 0 25 0 0 0 100 50 0 0 0 50 0 17 Nitrofurantoin Norfloxacin Amikacin Amoxycillin clavulanic Sulbactam cefoperazon Netilmicin Cefoperazon Ampicillin Ampicillin sulbactam Kloramfenikol Keterangan : n menyatakan jumlah isolat, - menyatakan tidak dilakukan uji (Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014) Tabel 4. Hasil uji kepekaan kuman pada 10 isolat pasien faringitis bulan Agustus 2014 dengan menggunakan metode disk diffusion Presentase resistensi bakteri terhadap antibiotik (%) Bakteri Uji N SXT KZ CIP MEM CRO CTX AML CN 0 0 0 0 100 100 0 Klebsiella pneumoniae 2 0 Enterobacter cloacae 2 0 50 0 0 100 100 100 0 Acinetobacter baumanniii 4 0 75 0 0 75 100 25 0 Staphylococcus aureus 2 0 0 50 0 0 100 100 50 Keterangan: n menyatakan jumlah isolat bakteri, SXT = trimethoprim, KZ = cefazoline, CIP = ciprofloxacin, MEM = meropenem, CRO = ceftriaxone, CTX = cefotaxime, AML = amoxycillin, CN = gentamicin 8 Tabel 3. Peta resistensi kuman Gram negatif terhadap beberapa antibiotika pada pasien faringitis di RSUD Dr. Moewardi periode Januari-Maret 2014 Persentase resistensi bakteri terhadap antibiotik (%) Antibiotik Ampicilin Ampicilin sulbactam Cefazoline Cefmetazole Ceftazidime Ceftriaxone Cefepime Aztreonam Ertapenem Meropenem Amikacin Gentamicin Ciprofloxacin Levofloxacin Tigecycline Trimethoprim Piperacilin Escherichia coli n=6 83,33 Enterobacter cloacae n=9 100 Enterobacter aerogenes n=1 100 Acinetobacter baumannii n=5 100 Sphingomonas paucimobilis n=2 0 Pseudomonas aeruginosa n=9 100 Citrobacter Klebsiella freundii pneumonie n= 1 n = 22 100 100 83,33 100 100 0 0 100 100 18,18 66,67 0 50 50 50 50 0 0 0 16,67 50 50 0 66,67 - 88,89 88,89 22,22 22,22 11,11 22,22 0 0 0 11,11 11,11 0 0 22,22 11,11 100 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 0 80 0 100 0 0 0 0 0 0 0 0 100 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 11,11 100 11,11 55,55 11,11 0 11,11 22,22 44,45 100 100 - 100 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 27,27 9,09 27,27 27,27 27,27 18,18 0 0 0 4,55 0 0 0 13,64 - Keterangan: - menyatakan tidak dilakukan uji, n menyatakan jumlah isolat, SXT = trimethoprim, KZ = cefazoline, CIP = ciprofloxacin, MEM = meropenem, CRO = ceftriaxone, CTX = cefotaxime, AML = amoxycillin, CN = gentamicin (Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014) 9 9 Zona hambat akan terbentuk apabila disk antibiotik berdifusi ke dalam media 6 1 secara efektif. Zona hambat yang terbentuk dibagi menjadi dua yaitu zona radikal yaitu 2 4 apabila daerah di sekitar disk tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri (bening) dan zona iradikal yaitu daerah di sekitar disk yang menunjukkan bakteri dihambat oleh antibiotika tetapi tidak dimatikan. Hasil zona hambat pada penelitian ini dapat dilihat pada 1 gambar 2. Umumnya semakin besar zona7 hambat maka semakin sensitif organisme uji 2 artinya antibiotika tersebut masih poten untuk terapi pengobatan. Zona radikal yang 3 diperoleh dari hasil uji kemudian diinterpretasikan sesuai standar pengukuran yang telah ditetapkan CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institude), untuk menentukan bakteri tersebut sensitif (S), intermediet (I), atau resisten (R) (Tortora et al., 2010). Enterobacter cloacae merupakan kuman Gram negatif yang mempunyai standar pengukuran zona hambat yang sama dengan Klebsiella pneumonia karena masih dalam satu keluarga Enterobacteriaceae. Tabel 5 menunjukkan diameter zona hambat dari 10 isolat kuman pasien faringitis mengalami resistensi terbesar terhadap antibiotik cefotaxime (100%) dan amoxycillin (70%). Tabel 5. Diameter zona hambat pada 10 isolat kuman pasien faringitis bulan Agustus 2014 dengan menggunakan metode disk diffusion Bakteri Uji Kode Bakteri Klebsiella pneumonia 539 ST Enterobacter cloacae 548 ST Klebsiella pneumonia 588 ST Enterobacter cloacae 598 ST Acinetobacter baumannii 634 ST Diameter Zona Hambat (mm) SXT 24,67 (S) 23 (S) 27,33 (S) 18 (S) 26,33 (S) KZ 23,33 (S) 24,67 (S) 25 (S) 16,5 (R) CIP 27,67 (S) 23 (S) 28,33 (S) 23 (S) 26,33 (S) MEM 29,17 (S) 24,67 (S) 29 (S) 23,3 (S) 26,33 (S) CRO 24,17 (S) 17,33 (R) 23,33 (S) 20,33 (R) 16,3 (R) CTX 25,33 (R) 22 (R) 16,33 (R) 18,67 (R) 16 (R) AML 9,67 (R) 10 (R) 15,83 (R) 13 (R) 11,33 (R) CN 17,67 (S) 16 (S) 17 (S) 16 (S) 20,33 (S) 24,17 10 26,5 26,83 18,67 18,5 15,17 20,33 (S) (R) (S) (S) (R) (R) (S) (R) Staphylococcus aureus 671 ST 24,83 23,67 23 31 23,67 22 12,33 9,67 (S) (S) (S) (S) (S) (R) (R) (R) Staphylococcus aureus 726 ST 28 26 18,67 30,67 22 22,33 15,67 15,67 (S) (S) (R) (S) (S) (R) (R) (S) Acinetobacter baumannii 846 ST 21,67 28 21,67 30,67 23,33 22 16,5 17,67 (S) (S) (S) (S) (S) (R) (S) (S) Acinetobacter baumannii 17 ST 22,33 12 28 30,3 20,33 18 19,67 17,67 (S) (R) (S) (S) (S) (R) (S) (S) Keterangan: - menyatakan tidak ada zona hambat, S = sensitif, R = resisten, SXT = trimethoprim, KZ = cefazoline, CIP = ciprofloxacin, MEM = meropenem, CRO = ceftriaxone, CTX = cefotaxime, AML = amoxycillin, CN = gentamicin Acinetobacter baumannii 659 ST Resistensi yang terjadi pada Staphylococcus aureus terhadap golongan penicillin erat kaitannya dengan kejadian potensi epidemik MRSA (Meticillin-resistant Staphylococcus aureus) (Gillespie & Bamford, 2009). Kejadian resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicilin juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh den Heijer et al., (2013) yang menunjukkan terjadi resistensi terhadap penicillin sebesar 73,2%. 10 539 ST 4 7 2 1 8 3 6 5 598 ST 4 6 2 3 5 7 8 1 17 ST 2 5 4 6 3 8 1 7 671 ST 4 8 1 5 3 6 7 2 Gambar 2. Uji kepekaan isolat pasien faringitis bulan Agustus 2014 terhadap beberapa antibiotika 1. Amoxycillin, 2. Ciprofloxacin, 3. Ceftriaxone, 4. Meropenem, 5. Cefazoline, 6. Gentamicin, 7. Cefotaxime, dan 8. Trimethoprim dengan metode disk diffusion 11 Pada penelitian ini Staphylococcus aureus juga mengalami resistensi terhadap antibiotik ciprofloxacin dan gentamicin. Ciprofloxacin termasuk dalam golongan kuinolon bekerja dengan cara menghambat enzim girase pada replikasi DNA, sedangkan gentamicin mempunyai mekanisme aksi yaitu penghambatan pada sintesis protein (Pratiwi, 2008). Resistensi Staphylococcus aureus terhadap antibiotik ciprofloxacin mencapai 37% di Asia (Mardiastuti, 2007). Berdasarkan tabel 4 kuman Acinetobacter baumannii mengalami resistensi terhadap antibiotik cefalosporin yaitu cefazoline, cefotaxime, dan ceftriaxone. Hal yang berbeda ditunjukan pada penelitian yang dilakukan oleh Peleg & Hooper (2010) di Amerika Serikat, Acinetobacter baumannii mengalami resistensi yang tinggi terhadap antibiotika golongan carbapenem sebesar 36,8%. Mekanisme aksi penicillin terhadap kuman Gram positif adalah dengan mencegah ikatan silang peptidoglikan pada tahap akhir sintesis dinding sel. Cara yang dilakukan yaitu dengan menghambat protein PBP (penicillin binding protein). PBP merupakan enzim dalam membran plasma sel bakteri yang secara normal terlibat dalam penambahan asam amino yang berikatan silang dengan peptidoglikan dinding sel bakteri, dan mengeblok aktivitas enzim transpeptidase sehingga dinding sel bakteri menjadi rapuh dan mudah lisis (Pratiwi, 2008). Kuman Gram negatif mempunyai membran luar dan lipid bilayer yang tidak dimiliki oleh kuman Gram positif. Kuman Gram negatif yang mempunyai enzim beta laktamase, jika berada di ruang periplasmik atau pada permukaan membran luar sitoplasma, kuman dapat merusak antibiotik beta laktam dengan cara menembus membran luar (Katzung, 2007). Cefalosporin dan penicilin termasuk dalam golongan beta laktam. Selain adanya enzim beta laktamase, yang membuka cincin beta laktam penicillin dan mengakibatkan inaktivasi antimikroba pada Staphylococcus aureus. Penyebaran jenis yang berbeda dari beta laktamase dengan spektrum yang diperluas (ESBL) seperti CTXm dan AmpC menyebabkan resistensi terhadap golongan penicillin dan cefalosporin (Gillespie & Bamford, 2009). Di Amerika Serikat resistensi Klebsiella pneumoniae terhadap golongan ketiga cefalosporin menunjukan 27,1 % (Peleg & Hooper, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention, Atlanta, Georgia menunjukan bahwa Klebsiella pneumoniae mengalami resistensi terhadap antibiotik cefalosporin dengan angka kejadian resistensi yang lebih tinggi daripada antibiotik meropenem (McDonald, 2006). 12 Klebsiella pneumoniae dan Enterobacter cloacae termasuk dalam keluarga enterobactericeae. Enterobactericeae mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi karena organisme ini hampir ditemukan pada banyak tempat, seperti pada flora normal hewan dan manusia, lingkungan air, dan tanah. Enterobacteriaceae dapat memperoleh DNA secara cepat dari organisme lain melalui transposon, integron, atau plasmid yang menyebabkan adanya gen resistensi untuk menyebar dari satu spesies ke spesies lain (Gillespie & Bamford, 2009). 3. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan menggunakan metode disk diffusion, pilihan antibiotik yang diuji tidak seluruhnya menggunakan antibiotika yang digunakan berdasarkan pedoman penggunaan antibiotika RSUD Dr. Moewardi tahun 2011. Sekiranya antibiotik yang digunakan bisa menjadi masukan atau saran apabila pedoman penggunaan antibiotika yang digunakan bakterinya masih sensitif ataupun sudah resisten. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotik yaitu kuman Acinetobacter baumannii mengalami resistensi terhadap antibiotika amoxycillin 25%, cefazolinee 75%, ceftriaxone 75%, dan cefotaxime 100%, Klebsiella pneumoniae mengalami resistensi terhadap cefotaxime 100% dan amoxycillin 100%, Enterobacter cloacae mengalami resistensi terhadap amoxycillin 100%, cefazoline 50%, ceftriaxone 100%, dan cefotaxime 100%, dan bakteri Staphylococcus aureus mengalami resistensi terhadap ciprofloxacin 50%, cefotaxime 100%, amoxycillin 100%, dan gentamicin 50%. SARAN Pemantauan peta kuman dan resistensinya terhadap antibiotika perlu dilakukan secara berkala, sebagai pedoman dalam pemberian antibiotika dan penatalaksanaan pada penderita infeksi. Suatu strategi efektif perlu dikembangkan guna membatasi resistensi dengan menyertakan edukasi dan konseling pada masyarakat awam dan klinisi kesehatan dalam penggunaan antibiotika. 13 DAFTAR PUSTAKA Anjos, L. M. M., Marcondes, M. B., Lima, M. F., Mondelli, A.L.& & Okoshi, M.P., 2014, Streptococcal Acute Pharyngitis, Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical, 47(May), pp.409–413 Bela, B., 2011, Microbial and Susceptibility Pattern of Gram Negative Infection: Infection Diseases New Challenges New Solutions, Proceeding 12th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2011, Jakarta Chudlori, B., 2013, Pola Kuman dan Resistensinya Terhadap Antibiotika dari Spesimen Pus di RSUD Dr. Moewardi Tahun 2012, Skripsi, Surakarta, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Den Heijer, C. D. J., van Bijnen, E. M. E., Paget, W. J., Pringle, M., Goossens, H., Bruggeman, C, A. et al., 2013, Prevalence and resistance of commensal Staphylococcus aureus, including meticillin-resistant S aureus, in nine European countries: a cross-sectional study. The Lancet. Infectious diseases, 13(5), pp.409–15 Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Pernapasan, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 18-22 Dubois, Damien., et al., 2012, Performance of the Vitex MS Matrix-Assisted Laser Desorption Ionization-Time of Flight Mass Spectrometry System for Rapid Identification of Bacteria in Routine Clinical Microbiology, Journal Dwiprahasto, I., 2005, Evidance Based Medicine sebagai Dasar Penggunaan Antibiotik yang Rasional, seminar nasional “Progress in Antibiotic Research, Regulating, and Clinical Application Perspective”, Yogyakarta 17-18 September 2005 Esposito, S., Blasi, F., Bosis, S., Droghetti, R., Faelli, N., Lastrico, A. et al., 2004, Aetiology of Acute Pharyngitis : The Role of Atypical Bacteria, Journal of Medical Microbiology, 53, 645–651 Gibson, J. M., 1996, Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Perawat, diterjemahkan oleh bagian IKG Soma Persada, Jakarta, Penerbit Kedokteran EGC, 1-11 Gillespie, S. & Bamford, K., 2009, At a Glance Mikrobiologi Medis Dan Infeksi Edisi Ketiga, A. Astikawati, R. & Safitri (ed.), Jakarta, Erlangga,12-51 Irwanti, G., 2010, Faktor Risiko Kolonisasi Enterobacteraceae Pada Nasofaring Anak, Skripsi, Semarang, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Isnawati, A., Gitawati, R., Herman, M.J., 2002, Pola Sensitifitas Kuman Dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilo-Faringitis Akut Terhadap Beberapa Antimikroba Di Puskesmas Jakarta Pusat, Bul. Penel. Kesehatan, Vol. 30 14 Jawetz, E., Melnick, J. L. & Adelberg, E.A., 2005, Mikrobiologi Kedokteran Edisi pertama, diterjemahkan oleh bagian M. F. K. UNAIR, Surabaya, Salemba Medika, 206-380 Katzung, B. G., 2007, Basic & Clinical Pharmacology Tenth edit., New York, McGrawHill Companies Kementerian Kesehatan RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 8 Kementrian Kesehatan RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 12-20 Kuswandi, M., 2011, Strategi Mengatasi Bakteri yang Resisten terhadap Antibiotika, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pp. 10–12 Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi, 2014, Peta Resistensi Kuman Gram positif dan Kuman Gram Negatif Terhadap Beberapa Antibiotika Pada Pasien Faringitis di RSUD Dr. Moewardi Periode Januari-Maret 2014, Laporan Penelitian, Surakarta Mardiastuti, H. W., Kurniawati, A., Kiranasari, A., Ikaningsing, & Kadarsih, R., 2007, Emerging Resistence Pathogen : Situasi terkini di Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Indonesia, Majalah Kedokteran Indonesia, 57,3 McDonald, L.C., 2006, Trends in Antimicrobial Resistance in Health Care Associated Pathogens and Effect on Treatment, J Clinical Infectious Diseases, 42, pp.65–71 Mokkapati, A. & Yalamanchili, M., 2013, Bacterial Isolates Causing Pharyngitis, 3(1), International Journal of Biological & Medical Research, pp.3118–3120 Peleg, A. Y., & Hooper, D.C., 2010, Hospital-Acquired Infections Due to Gram-Negative Bacteria, The New England Journal of Medicine Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 154-160, Jakarta, Erlangga, 154-185 Refdanita, Maksum. R., Nurgani & Endang, P., 2004, Di Ruang Rawat Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002. Makara Kesehatan, 8(2), pp.41–48 RSUD Dr. Moewardi, 2011, Pedoman Penggunaan Antibiotik Periode 2011-2012, Surakarta Sari, D., Efendi, S.& T., 2014, Uji Diagnostik Skoring Centor Modifikasi pada Penderita Faringitis Akut Streptokokus Hemolitikus Grup A, Majalah Kedokteran Sriwijaya, Palembang, p. 39 Sutrisna, E. M., 2012, Penggunaan Antibiotika Secara Rasional, Pidato dalam Seminar Hari Bakti Dokter, Purwodadi 15 Tortora, G. J., Funke, B. R. & Case, C. L., 2010, Microbiology an introduction 10th edition, Pearson edition, Inc., Publishing as Pearson Benjamins Cummings, San Francisco, 1301 Sansome Vincent, M. T., Celestin, N. & Hussain, A. N., 2004, Pharyngitis, The American Family Physician, 69 : 1465-70 Wessels, M. R., 2011, Streptococcal Pharyngitis, The New England Journal of Medicine, (364), pp.648–655 16