1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hama penyakit seperti bakteri, virus, jamur dan parasit (Jawetz et al., 2001). Mikroorganisme patogen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh, salah satunya dalam saluran pernafasan (Pratiwi, 2008). Infeksi saluran pernafasan merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak terjadi di dunia (Purti dan Kiran, 2014). Sebanyak 34,6% dari total 3.941.000 kematian yang terjadi di Asia Tenggara disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan (Khan et al., 2014). Prevalensi kasus yang terjadi sebesar 17,4% dari total kematian disebabkan oleh lima penyakit pernafasan (Gauchen et al., 2006). Banyaknya kasus tersebut disebabkan karena setiap satu menit rata-rata seorang manusia menghirup udara yang setidaknya mengandung delapan mikroorganisme (Prescott, 1999). Infeksi saluran nafas dibagi menjadi dua bagian, yaitu infeksi saluran nafas atas dan infeksi saluran nafas bawah (Khan et al., 2014). Infeksi Saluran Nafas Bawah (ISNB) non tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang bronkhus, bronkhiolus dan paru (Kumala et al., 2010). Infeksi ini merupakan salah satu penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas (Ramana, 2014). Sebesar 20-24% dari total kematian infeksi saluran nafas disebabkan oleh infeksi saluran nafas bawah (Gauchen et al., 2006). Penyakit infeksi ini bukan penyakit tunggal, tetapi terdiri dari beberapa penyakit spesifik yang dibedakan oleh epidemiologi, patogenesis, persentasi dan hasil klinis (Khan et al., 2014). Secara umum yang termasuk dalam penyakit infeksi ini yaitu trakheobronkhitis akut, bronkhitis kronis dengan eksaserbasi akut dan pneumonia (Shrestha, 2013). Penderita ISNB pada anak-anak dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, sedangkan orang dewasa penyebab utamanya adalah bakteri. Kasus ISNB yang disebabkan oleh virus, sebagian disertai oleh infeksi penyerta bakteri (Kumala et al., 2010). Kuman penyebab dari infeksi ini diantaranya Klebsiella 1 2 pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Enterococcus spp (Shrestha et al, 2013), sedangkan penelitian di Jakarta menyebutkan bahwa kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah yang paling banyak ditemukan yaitu Klebsiella pneumoniae (Kumala et al., 2010). Lebih dari 50 tahun terakhir, antibiotik dipercaya dapat mengobati penyakit infeksi dengan membunuh kuman penyebab infeksi yang bekerja secara selektif. Namun, ada kasus yang menyatakan bahwa antibiotik tidak dapat lagi mengobati kuman patogen penyebab infeksi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kuman tersebut telah resisten atau kebal terhadap suatu antibiotik tertentu, sehingga efek terapeutik yang diinginkan tidak akan tercapai (Kuswandi, 2011). National Institute of Health cit Guilfoile (2007) melaporkan bahwa angka kematian di Amerika Serikat mencapai 90.000 orang per tahun akibat infeksi resistensi kuman. Resistensi kuman juga akan mempengaruhi lama pengobatan dan tingginya biaya yang harus ditanggung. Resistensi kuman yang dimaksud dalam hal ini adalah resistensi bakteri. Resistensi kuman dapat terjadi karena kuman mempunyai suatu mekanisme ganda yang dapat merusak antibiotik yaitu dengan memblok, memompa keluar dan mengganggu penempelannya. Kuman dapat dengan mudah mentransfer gennya dari spesies satu dengan spesies lainnya (Southwick, 2003). Penggunaan antibiotik di Amerika 50% diantaranya untuk produksi ternak. Sebanyak 90% sisanya untuk meningkatkan pertanian dan hanya 10% yang digunakan untuk pengobatan (Graves et al., 2011). Inilah salah satu faktor yang dapat menyebabkan transmisi penyakit dari hewan ke manusia, sehingga menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik (Maynard et al., 2003). Mikroorganisme dari waktu ke waktu terus memperbarui diri, maka diperlukan diagnosis klinis serta evaluasi laboratorium ISNB secara berkala dengan memperhatikan prevalensi terjadinya multi drug resisten dan penyebab terjadinya kasus nosokomial ISNB. Faktor yang mempengaruhi kerentanan antibiotik terhadap mikroorganisme berkaitan dengan daerah geografis, sehingga evaluasi secara berkala dapat digunakan untuk pedoman terapi ISNB yang lebih tepat (WHO, 2014). 3 Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian dalam rangka mengatasi, mencegah dan menekan angka resistensi dengan mengetahui pola kuman dan reisistensinya terhadap antibiotik dari spesimen sputum pada penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, antara lain: 1. Bagaimanakah pola kuman pada penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014? 2. Bagaimanakah pola resistensi kuman terhadap antibiotik yang digunakan untuk terapi penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pola kuman pada penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. 2. Mengetahui pola resistensi kuman terhadap antibiotik yang digunakan untuk terapi penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. D. Tinjauan Pustaka 1. Infeksi Saluran Nafas Bawah Saluran pernafasan bawah sangat mudah terkena infeksi oleh bermacammacam mikroorganisme. Hal ini dikarenakan saluran nafas bawah merupakan salah satu sistem organ yang berhubungan langsung dengan lingkungan. Fungsi fisiologisnya yaitu sebagai alat pertukaran gas, sehingga mempunyai tingkat pemaparan yang tinggi terhadap bakteri, jamur, virus dan agen-agen lain yang mempunyai sifat patogen (Shulman et al., 1994). Penyakit ini merupakan salah 4 satu golongan penyakit infeksi yang menyerang bronkhus, bronkhiolus dan paru (Kumala et al., 2010). Beberapa penyakit infeksi saluran nafas bawah non tuberkulosis yang disebabkan infeksi bakteri diantaranya sebagai berikut: a. Bronkhitis akut dan kronis Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu bronkhitis akut dan kronis (Depkes RI, 2005). Bronkhitis akut didefinisikan sebagai peradangan mukosa pernafasan bronkhial yang ditandai dengan batuk produktif kurang dari 2-3 minggu dengan atau tanpa demam. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh infeksi virus, namun ada beberapa bakteri patogen yang ikut terlibat (Scaparrotta et al., 2013). Berbeda dengan bronkhitis akut, penyakit bronkhitis kronis ditandai dengan adanya batuk produktif masing-masing 3 bulan selama 2 tahun berturutturut (Scaparrotta et al., 2013). Penyebab bronkhitis kronis berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronis, merokok, paparan terhadap debu, polusi udara dan infeksi bakteri itu sendiri. Oleh sebab itu, bronkhitis kronis lebih banyak terjadi pada orang dewasa (Depkes RI, 2005). b. Pneumonia Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim dari saluran nafas bawah (Scaparrotta et al., 2013). Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu lobar pneumonia dan bronkhopneumonia. Lobar pneumonia disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan bronkhopneumonia disebabkan oleh bakteri Staphylococcus spp, Streptococcus spp, Haemophilus influenzae dan organisme enterik Gram-negatif (Underwood, 1999). Menurut Depkes RI (2005) yang dilihat dari asal patogennya, pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, antara lain: 1). Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia) Kuman patogen penyebab pneumonia komunitas diperoleh dari luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen yang sering menginfeksi yaitu Streptococcus pneumonia, H. Influenzae dan bakteri atypical. 5 2). Pneumonia nosokomial Pneumonia jenis ini didapat selama pasien di rawat di rumah sakit. Kuman patogen yang sering terlibat merupakan kuman nosokomial yang resisten terhadap antibiotik yang beredar di rumah sakit. Kuman patogen yang biasa dijumpai meliputi golongan bakteri enterik Gram negatif batang (E. coli, Klebsiella spp, Proteus spp). Pada pasien yang sebelumnya sudah mendapat terapi dengan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga, biasanya ditemukan kuman yang lebih kuat, seperti Citrobacter spp, Serratia spp, Enterobacter spp, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. 3). Pneumonia aspirasi Pneumonia jenis ini diakibatkan aspirasi sekret oropharyngeal dan cairan lambung. Kuman patogen yang menginfeksi pada pneumonia aspirasi komunitas meliputi Streptococci anaerob, sedangkan pada pneumonia aspirasi nosokomial kuman yang sering ditemukan yaitu campuran antara Gram negatif batang, Staphylococcus aureus dan kuman anaerob. 2. Sputum Sputum merupakan cairan yang diproduksi dalam alveoli dan bronkhiol, berupa lendir yang disekresi oleh sel-sel epitel pada sistem pernafasan (Gibson, 1996). Sekresi eksudat saluran nafas bawah yang berasal dari bronkhus dan paruparu seringkali diteliti melalui pemeriksaan sputum (Jawetz et al., 2001). Bahan sputum yang digunakan harus benar-benar dari saluran pernafasan bagian bawah dan harus dibedakan secara makroskopik dengan saliva. Organisme penyebab infeksi saluran nafas bawah beserta polimorfonuklir (PMN) dapat ditemukan dengan metode pewarnaan Gram atau metode tahan asam yang berasal dari apusan bintik purulenta atau granular pada sputum (Jawetz et al., 2001). 3. Antibiotik Antibiotik merupakan suatu molekul kecil, diproduksi oleh bakteri maupun jamur yang dapat membunuh bakteri tanpa membahayakan orang atau hewan yang sedang diobati (Guilfoile, 2007). Oleh karena itu, antibiotik idealnya harus menunjukkan toksisitas yang selektif (Jawetz et al., 2005). Obat-obatan membutuhkan fungsi reseptor spesifik untuk melekat atau hambatan biokimia 6 yang bisa terjadi pada organisme tetapi tidak terjadi pada inang. Saat ini antibiotik tidak hanya dapat dihasilkan dari mikroorganisme saja, akan tetapi dapat disintesis secara kimia (Hugo dan Russel, 1998). Antibiotik dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain: a. Antibiotik golongan beta laktam Beta laktam merupakan salah satu golongan antibiotik yang bekerja dengan menonaktifkan enzim pada sintesis dinding sel bakteri. Jika dinding sel bakteri tidak terbentuk, maka bakteri akan terbuka dan kemudian mati. Beberapa antibiotik yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam (Guilfoile, 2007). b. Antibiotik golongan aminoglikosida Aminoglikosida merupakan kelompok antibiotik yang gula aminonya tergabung dalam ikatan glikosida. Antibiotik ini memiliki spektrum luas dan bersifat bakterisidal dengan mekanisme penghambatan pada sintesis protein (Pratiwi, 2008). Protein merupakan faktor terpenting bagi kehidupan bakteri. Jika protein berkurang, maka bakteri dapat mengalami kematian. Bakteri membutuhkan ribosom dalam pembentukan protein. RNA (mRNA), transfer RNA (tRNA) dan asam amino merupakan messenger yang dibutuhkan ribosom dalam proses sintesis protein (Guilfoile, 2007). c. Antibiotik golongan quinolon Antibiotik ini bekerja dengan menghambat sisntesis asam nukleat (DNA dan RNA). Bakteri membelah diri dengan cara menyalin DNA-nya. Golongan antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis DNA. DNA girase dan topoisomerase merupakan enzim yang berperan dalam perputaran dan penguraian selama replikasi DNA berlangsung. Enzim ini dapat memotong dan menempelkan kembali potongan DNA di belakang secara bersamaan. Hal yang sama juga terjadi pada sel manusia, akan tetapi enzim bakteri dan manusia cukup berbeda, sehingga antibiotik ini dapat menargetkan enzim bakteri tanpa mempengaruhi enzim manusia. Ciprofloksasin merupakan salah satu contoh golongan ini. Mekanisme kerjanya dengan memotong DNA tanpa menempelkan kembali potongan tersebut di belakang (Guilfoile, 2007). 7 4. Resistensi Berdasarkan asal mulanya, resistensi antibiotik dapat dibedakan menjadi dua golongan, antara lain: a. Non Genetik Terapi antibiotik yang tidak benar dapat menyebabkan mikroba yang menginfeksi tubuh tidak semuanya terbunuh. Akibatnya mikroba tersebut dapat bertahan hidup dalam tubuh selama beberapa tahun tanpa memperbanyak diri dan kehilangan target spesifik tertentu terhadap antibiotik (Brooks et al., 2007). b. Genetik 1). Resistensi kromosomal Mutasi spontan dapat mengontrol kepekaan antimikroba. Antimikroba bertindak selektif dengan membunuh bakteri yang peka dan membiarkan bakteri yang resisten. Apabila mutasi spontan terjadi pada frekuensi yang tinggi, struktur reseptor obat mengalami perubahan. Akibatnya mutan kromosom seringkali mengalami resistensi. 2). Resistensi ekstra kromosomal Plasmid merupakan elemen genetik ekstra kromosom yang berada di dalam bakteri. Kelompok plasmid tersebut membawa gen resistensi untuk mengontrol pembentukan enzim, sehingga antimikroba dapat dirusak. 3). Resistensi silang Suatu mikroorganisme dapat resisten terhadap obat tertentu atau obat lain dengan mekanisme kerja yang sama. Kemiripan antar antimikroba seperti kedekatan struktur atau ikatan yang sama juga dapat mengakibatkan resistensi. Resistensi silang diduga akan sering terjadi pada obat golongan tertentu yang mempunyai kesamaan inti aktif kimiawinya seperti golongan tetrasiklin (Brooks et al., 2007). E. Keterangan Empiris Memperoleh data ilmiah tentang pola kuman dan resistensinya terhadap antibiotik dari isolat kuman patogen penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014.