BAB V KESIMPULAN Keterlibatan perusahaan tambang asing, yaitu Jepang dan China, dalam pembangunan smelter bauksit di Indonesia dihasilkan oleh peran diplomasi komersial yang berupa promosi investasi smelter bauksit. Promosi investasi smelter bauksit dapat terwujud karena pemerintah dan perusahaan tambang lokal sama-sama memiliki kepentingan terhadap realisasi pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Kepentingan mereka seakan menjadi roda penggerak bagi promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan ke Jepang dan China untuk mengembangkan industri smelter bauksit di Indonesia. Perbedaan kapasitas di antara kedua aktor ini mengakibatkan promosi investasi smelter bauksit dilakukan dengan membagi aktivitas promosi investasi ke dalam dua bentuk, yaitu aktivitas utama dan aktivitas dukungan. Aktivitas utama adalah promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh perusahaan tambang lokal ke perusahaan tambang asing. Sedangkan, pemerintah melakukan aktivitas dukungan melalui sarana diplomatik yang dimilikinya untuk membantu mencapai tujuan dari aktivitas utama tersebut. Indonesia menerapkan pola yang berbeda dalam setiap perwujudan diplomasi komersialnya. Promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia ke Jepang menunjukkan pola perwujudan diplomasi komersial yang berupa networking and public relations, intelligence, contract negotiator of implementation, promotion 126 of FDI, dan problem-solving. Sementara itu, promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia ke China menunjukkan pola perwujudan diplomasi komersial yang berupa networking and public relations, intelligence, promotion of FDI, dan problem-solving. Perbedaan pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia ini menunjukkan bahwa ternyata kerangka diplomasi komersial Potter tidak selalu dapat merefleksikan aktivitas diplomasi komersial yang dilakukan dalam upaya pengembangan industri smelter bauksit di Indonesia. Di satu sisi, kerangka Potter dapat merefleksikan secara sempurna aktivitas diplomasi komersial dalam konteks promosi investasi smelter bauksit ke Jepang. Realisasi dari aktivitas utama yang berupa promotion of FDI, maupun aktivitas dukungan oleh pemerintah yang berupa intelligence, networking and public relations, contract negotiator of implementation, dan problem solving, seluruhnya dapat ditemukan dalam konteks promosi investasi smelter bauksit ke Jepang. Sementara di sisi lain, kerangka diplomasi komersial yang dikembangkan oleh Potter tidak dapat merefleksikan secara sempurna aktivitas diplomasi komersial dalam konteks promosi investasi smelter bauksit ke China. Sama halnya dengan dalam konteks Jepang, dalam konteks China ini pun, realisasi dari aktivitas utama yang berupa promotion of FDI juga dapat ditemukan, karena aktivitas promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh perusahaan tambang lokal memang merupakan inti dari promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan ke Jepang maupun China. Namun, realisasi dari aktivitas dukungan yang dapat ditemukan dalam konteks China hanya tiga dari empat aktivitas dukungan, yaitu intelligence, 127 networking and public relations, dan problem solving, tanpa adanya realisasi dari aktivitas dukungan yang berupa contract negotiator of implementation. Meskipun demikian, ketiadaan contract negotiator of implementation sebagai bentuk dukungan dari pemerintah terhadap perusahaan tambang lokal tersebut tidak berpengaruh terhadap efektivitas aktivitas diplomasi komersial, karena promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia dalam konteks China pada kenyataannya tetap dapat menarik keterlibatan perusahaan tambang China dalam pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Padahal, ketika merujuk pada kerangka Potter, realisasi dari aktivitas utama seharusnya turut diiringi dengan realisasi dari keempat aktivitas dukungan yang menyertainya. Ketiadaan salah satu aktivitas dukungan yang demikian mengindikasikan bahwa aktivitas diplomasi komersial ternyata tidak harus selalu diwujudkan dengan pola yang tetap sebagaimana kerangka diplomasi komersial Potter. Kerangka diplomasi komersial Potter sebenarnya cukup komprehensif dalam menggambarkan aktivitas diplomasi komersial, karena sebagian besar aktivitas promosi investasi dalam konteks promosi investasi smelter bauksit ke Jepang dan China adalah realisasi dari kerangka Potter. Akan tetapi, dengan terungkapnya kondisi ketika promosi investasi smelter bauksit ke China tetap dapat membuahkan hasil tanpa harus menyertakan salah satu aktivitas dukungan dalam kerangka Potter, maka hal ini berarti bahwa kerangka diplomasi komersial Potter tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mewujudkan diplomasi komersial maupun sebagai rujukan untuk mengidentifikasi perwujudan diplomasi komersial. 128 Perbedaan juga dapat ditemukan dalam strategi promosi investasi smelter bauksit ke Jepang dan China. Indonesia menerapkan strategi yang berbeda antara promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan ke Jepang dengan China. Jika strategi promosi investasi yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Wells dan Wint, maka perbedaan strategi antara konteks Jepang dengan China terletak pada kombinasi pendekatan yang diterapkan dalam masingmasing konteks tersebut. Pendekatan yang dikombinasikan dalam konteks Jepang adalah investment-generation dengan investment-services. Sedangkan dalam konteks China, pendekatan yang dikombinasikan adalah pendekatan image-building, investment-generation, dan investment-services. Meskipun Wells dan Wint berpendapat bahwa kombinasi pendekatan image-building dan investment-services adalah strategi yang paling tepat, namun mereka tidak menetapkan suatu kombinasi tertentu yang harus diterapkan sebagai strategi promosi investasi. Kebebasan untuk memilih kombinasi pendekatan promosi investasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Wells dan Wint, adalah indikasi bahwa tidak ada pola yang tetap untuk strategi promosi investasi, sebagaimana yang terrefleksi dalam konteks promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia ke Jepang dan China. 129