#!'!$$ '!#!%%" Pengaruh globalisasi sangat terasa dalam dunia kesenian Indonesia. Hal itu minimal tampak dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi sehingga menyebabkan karya-karya seni seniman suatu bangsa dapat menembus dan dinikmati secara langsung oleh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Hasil karya seni tidak dapat lagi dipisahkan dengan tegas dari sistem-sistem, seperti produksi, informasi, perdagangan, hukum dan telekomunikasi. Karya seni anak bangsa Indonesia mau tidak mau harus mampu bersaing dengan karya-karya seni hasil world intertainment industry, seperti film produksi Hollywood, Cina, India maupun telenovela dari Mexico, Brasil dan negara-negara lain. Terlepas dari semua itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa kemungkinan peningkatan apresiasi seni masyarakat dan memberi peluang bagi karya seni Indonesia untuk “go international” ke dalam industri kesenian dunia. Pendahuluan TULISAN ini sebagai penuangan hasil pengamatan yang penulis lakukan dari beberapa kejadian yang banyak dialami atau dilakukan oleh beberapa organisasi seni pertunjukan, baik yang menamakan dirinya kelompok kesenian tradisional maupun yang menyebut dirinya kelompok kesenian modern atau yang enggan menyebutkan dirinya dari salah satu tadi. Tulisan ini bukanlah suatu bentuk pemikiran yang sistematis untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok seni pertunjukan, melainkan merupakan tawaran ide atau ajakan dari gagas-an penulis terutama dalam kaitan- nya dengan wilayah studi kesenian tentang pengelolaan organisasi seni pertunjukan. Hal yang lebih menarik sebagai sebuah studi seni, terutama keterkaitannya tentang adanya pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pihak yang mengatasnamakan seniman, yang menganggap bahwa seni itu mempunyai wilayah otonomi sendiri, dia memiliki otoritas yang bebas dari tekanan eksternal, seni harus dibebaskan dari segala macam kepentingan di luar seni sendiri. Sementara realitas yang terjadi di lapangan, banyak contoh kasus bahwa kesenian tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan hal-hal di luar kesenian. Hubungannya dengan pengelolaan, sudah barang tentu banyak hal yang terkait seperli sistem organi- sasi, ekonomi/keuangan, hubungan sosial dan elemen-elemen lain di luar seni. Dalam prakteknya kesenian sering melibatkan elemen penonton sebagai penerima dari apa yang hendak disampaikan oleh seniman lewat penunjukannya. Dilihat dari satu sisi yakni keterlibatan para penonton dengan sebuah karya seni maka dengan sendirinya atau secara tidak langsung membawa dampak kepada elemen-elemen lain untuk terlibat. Bila kita pahami, karya seni yang dipertunjukkan memiliki orientasi apa, siapa saja penonton yang datang dan seterusnya, maka jawabannya akan sangat luas artinya kita berhadapan dengan masalah-masalah yang kompleks. Tanpa ingin menciptakan permasalahan yang semakin melebar, n penulis ingin mengajak kembali ke permasalahan awal, dengan ini penulis memberanikan diri membuat tawaran untuk mengelompokkan menjadi permasalahan seni di satu sisi dan permasalahan non seni di sisi lain. Ditarik ke lingkup yang lebih sempit lagi dalam sistem produksi seni pertunjukan, komponen komponen pendukung dan penunjang produksi terdiri dari urusan artistik dan non artistik. Pendukung urusan artistik adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang seni meliputi: pemain, pemusik, penata pentas, teknisi cahaya, teknisi sound system dan lain-lain. Pendukung non artistik adalah orangorang yang bekerja di luar bidang seni seperti sekretaris, humas, transportasi, akomodasi, perlengkapan dan lain-lain (Jazuli, 1999). Dengan hal tersebut bisa terarah dalam pemahaman kita untuk membahas satu sisi dari masalah kesenian, yaitu tentang pengelolaan sebagai permasalahan disisi non seni (non artistik). Kesenian adalah produk kreativitas masyarakat. Kesenian ditopang beragam faktor tidak hanya intrinsik tetapi sekaligus juga yang ekstrinsik. Hal senada, Umar Ka-yam mengisyaratkan bahwa dalam kerangka pemikiran yang lebih luas membicarakan keberadaan suatu kesenian tidak bisa tidak harus juga melibatkan unsur yang diluar kesenian. Kehadiran dan perkembangannya ditentukan oleh adanya faktor yang disebut penyangga budaya, salah satunya adalah masyarakat dari tempat di mana kesenian itu berada, baik dalam arti kolektif atau komunitas maupun atas nama individu atau pribadi. Perlunva Sistem Pengelolaan Seni Pertunjukan Dari sedikit uraian di atas penulis memberi penafsiran bahwa keberadaan suatu kesenian selalu membutuhkan komponen-komponen lain yang melingkari di sekelilingnya dan saling kait mengkait. Dengan demikian, untuk dapat mempertahankan atau menciptakan suatu bentuk kesenian (seni pertunjukan) dalam prosesnya sangat dibutuhkan adanya kerja pengelolaan, dalam istilah sekarang yang banyak beredar adalah “Manajemen Produksi Pergelaran”. Sadar atau tidak sebenarmya kerja manajemen sudah terjadi atau dilakukan dalam suatu pengelolaan kegiatan, baik indivi- du atau kelompok produksi seni. Tetapi untuk lebih meningkatkan hal ini menjadi berdaya guna dan berhasil guna, maka perlu adanya pendekatan secara teoritis konseptual yang harus dilakukan dengan sengaja. Banyak contoh peristiwa yang terjadi, pengelolaan seni pertunjukan baik yang bermula dari seorang seniman maupun oleh kelompok-kelompok atau yang diwadahi dalam suatu organisasi seni yang mapan, proses produksi se-buah karya seni pertunjukan atau pengelolaan secara menyeluruh pada umumnya berjalan dengan sendirinya, seperti menjalani rutinitas dalam kehidupan berkesenian. Kalau demikian adanya sewaktu-wak- tu akan berhadapan dengan masa-lahmasalah yang sulit dipecahkan, sehingga dengan latah hal ini dianggap suatu yang biasa. Padahal kalau sejak awal dilakukan pengelolaan secara sistimatik maka permasalahannya dapat diantisipasi antara lebih dan kurangnya. Sebagai ilustrasi kepada kita, suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, seorang seniman atau seorang yang memiliki kemampuan di bidang seni, bila masuk ke dunia profesional, semestinya harus sadar akan dirinya terhadap lingkungan di sekitarnya. Artinya, seniman, kar- ya seni, penikmat, adalah tiga kutup yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ketiga hal ini apabila tidak terkoordinasi dengan baik niscaya tidak akan menghasilkan apa-apa, bisa jadi kegagalan yang didapatkan, sehingga manajemen sangat diperlukan baik skala kecil atau besar. Mengambil contoh dari kematian Nike Ardilla, dia memiliki kemampuan vokal yang bagus, selanjutnya masuk ke dunia industri rekaman, dia memiliki penggemar atau pasar yang luar biasa, cerita singkatnya kehidupan pribadi dan kariernya diakhiri dengan kematian yang tragis (kecelakaan). Bermunculan komentar dan pendapat tentang latar belakang peristiwa itu dengan berbagi versi. Lepas dari ini semua, yang menarik bagi penulis, beberapa bulan kemudian salah satu media masa cetak mengangkat beritanya kaitannya dengan peristiwa itu tentang perlunya manajer bagi orang sekapasitas Nike Ardilla. Mengapa demikian. karena keberadaan manajer akan membantu segala aktivitas dalam kehidupan profesional. Kejadian yang menimpa Nike Ardilla menjadi justifikasi atas lemahnya manajer. Peristiwa keterpurukan lebih besar lagi bisa terjadi yang disebabkan oleh lemahnya manajemen, apalagi untuk suatu organisasi seni nampaknya manajemen memegang peranan penting. Manajemen Seni Pertunjukan Menjadi Pola yang Efektif Kesadaran akan perlunya manajemen kaitannya dengan dunia seni pertunjukan mulai terasa setelah kesenian semakin banyak bersinggungan dengan sistem ekonomi. Ini terjadi karena mungkin keberadaan seni pertunjukan apalagi yang bersifat tradisional mulai terhimpit dan tertekan dalam kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sehingga mau tidak mau harus memperhitungkan juga sistem ekonomi yang sedang terjadi, karena persaingan-persaingan faktor kehidupan di luar kesenian semakin tajam. Manajemen adalah upaya bersama untuk mendapatkan hasil yang diingini dengan tenaga dan biaya sedikit mungkin. Manajemen modern menekankan adanya efisiensi dan efektivitas untuk mencapai sasaran produksi yang optimal. Dalam hal hubungannya dengan manajemen atau pengelolaan seni pertunjukan di Indonesia. Sal Murgiyanto (1993: 3) menyebutkan ada tiga kelemahan dalam manajemen teater tradisi kita, yaitu : 1. Rapuhnya sistem organisasi pertunjukan. 2. Tidak adanya jaminan sosial dan upah yang memadahi. 3. Tidak adanya organisasi pro- fesi yang melindungi seniman seni pertunjukan Dari kejadian-kejadian semacam itulah maka dewasa ini pengelolaan seni pertunjukan dengan manajemen modern mulai dilakukan, untuk memberikan keseimbangan dalam keludupan di masyarakat dan terhadap tuntutan yang semakin kompleks. Hemat kita sekarang bagaimana menangani produksi pergelaran seni pertunjukan atau yang lebih besar lagi mengelola organisasi seni budaya agar tidak terjadi keterpurukan seperti yang dialami oleh organisasi seni tradisi kita: grup Wayang Orang, Group Kethoprak dan grup-grup kesenian lain yang senasib. Permasalahan ini pula yang diangkat oleh Sal Murgiyanto dalam tulisan makalah seminar tentang manajemen modern dan pengelolaan teater, mengalakan bahwa: Menyelenggarakan sebuah pertunjukan pada dasarnya adalah sebuah team work, kerjasama yang bergantung pada kreativitas sutradara, para administrator, pekerja panggung, aktor dan petugas-petugas lainnya. Kerja sama akan berjalan baik jika tanggung jawab di bagi dan jalur komunikasi terbuka dan langsung. Hasil yang baik akan tercapai jika keahlian diberbagai bidang dapat dipadukan. Manajemen Modern lahir karena tuntulan kebutuhan akan pengelolaan usaha yang terus berkembang, perkembangan tersebut terjadi karena kebutuhan dan keinginan manusia yang juga cepat berkembang. Berdasarkan itu semua, organisasi usaha juga semakin kreatif bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pasar, tetapi juga kreatif dalam menciptakan kebutuhan dan keinginan pasar. Seni Pertunjukan sudah saatnya dikelola secara profesional. Esthu (1993) berpendapat bahwa dalam pengelolaan organisasi seni sudah saatnya untuk mengubah pola, artinya perlu perubahan budaya organisasi dari “product in concept” ke “market in concept”. Ini bukan berarti produk karya seni harus tunduk pada kehendak pasar, melainkan harus jeli melihat kebutuhan dan keinginan pasar dan sekaligus menciptakan pasar. Banyak sekali pendekatan yang dapat diciptakan untuk digunakan sebagai pola maupun sistem yang secara operasional bisa dijadikan kerangka acuan untuk mengelola teater, seperti: bagaimana meru- muskan tujuan, menetapkan sasaran, menemukan strategi dan menjabarkan dalam rencana tindakan. Hal senada di katakan oleh Riantiarno seperti yang diterapkan pada pengelolaan teater Koma. Menejemen kesenian hanyalah semacam alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Itulah menejemen yang ideal bagi kesenian, ia harus sanggup membantu seniman untuk sampai kepada pencapaian mutu artistiknya. Dan ia tidak berhak untuk menjadi penghambat. Maka seharusnya ia bukan suatu yang “market oriented” melainkan “product oriented”. Produk karya seni (konsep artistik) adalah sumber dan sekaligus muaranya, untuk itu pasar harus diciptakan. Penutup Demikian kiranya maka langkah pertama yang perlu dijalankan untuk menemukan pola pendekatan pengelolaan seni pertunjukan secara modern adalah dengan cara melakukan perencanaan strategis (lihat bagan). Perencanaan tersebut meliputi juga mengidentifikasi jurang pemisah antara budaya lama organisasi dengan budaya baru yang dikehendaki. Lebih penting lagi yang harus ditekankan adalah kesadaran kolektif dan yang terlibat pengelolaan seni pertunjukan, di antaranya seniman pencipta, tim artistik dan tim produksi pendukung non artistik. Kesadaran kolektif yang dimaksud adalah bagi seniman pencipta harus menyadari perlunya prinsip manajemen atau kerja tim non anistik dan demikian juga bagi lim non artistik dalam keterlibatannya pengelolaan sebuah proses pro- duksi harus memahami keperluankeperluan dari si seniman pencipta. Dengan demikian akan terjadi keselarasan kerja dalam satu tim yang selaras dan kompak selama proses dilakukan. PERENCANAAN STRATEGIS PERENCANAAN SASARAN Sumber Daya: Kekuatan Kelemahan SMART: Peluang Ancaman KRITERIA MENETAPKAN SASARAN: - Spesific - Measurable - Attainable - Realistik - Time Oriented KEPUSTAKAAN Aton Rustandi M, 1999. “Menimbang Keberadaan Non Artis” dalam Makalah Studi Kesenian. Surakarta: STSI. Kayam Umar, 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Jazuli M, 1995. Manajemen Produksi Seni Pertunjukan. Surakarta: Yayasan Resi Tujuh Satu. Jazuli. M, 1999. Dalang Pertunjukan Wayang Kulit. Surabaya: Universitas Airlangga. Riantiarno, 1993. Makalah “Perjalanan Teater Pasar Harus Diciptakan. Surakarta: TBJT. Murgiyanto, Sal. 1993. Makalah “Manajemen Moderen dan Pengelolaan Teater”. Surakarta: TBJT. Soedarsono, Esthu. 1993. Makalah “Manajemen Moderen dan Pengelolaan Teater”. Surakarta: TBJ. Suratno, 1999. makalah “Menyimak Manajemen Beberapa Dalang ‘Laris’ Di Surakarta”. Surakarta: STSI. LPPM, 1999. Makalah “Manaje- men Organisasi Budaya”. Jakarta: Kelola Project.