Pengaruh electrical stimulation

advertisement
Artikel Penelitian
Pengaruh Electrical Stimulation
terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris
Penderita PPOK Eksaserbasi dan
Pasca Eksaserbasi Akut
Abner Penalemen Barus,* Nury Nusdwinuringtyas,*
Anita Ratnawati,** Indah Suci Widyahening***
*Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
**Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta,
***Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Keluhan yang paling sering dikeluhkan penderita penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) adalah intoleransi latihan. Transcutaneous electrical muscle stimulation (TCEMS)
adalah salah satu tipe Electrical stimulation (ES) untuk menambah kerja otot. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh TCEMS terhadap kekuatan otot Quadriceps femoris
penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ekserbasi dan pasca eksaserbasi akut serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ini merupakan studi pra- dan pascates tanpa
menggunakan kontrol. Seluruh subjek mendapatkan terapi ES pada kedua sisi otot Quadriceps
femoris selama 30 menit. Terapi diberikan selama 4 minggu. Dilakukan pengukuran kekuatan
otot Quadriceps femoris pra- dan pascaperlakuan. Hasil yang didapatkan adalah kekuatan
otot Quadriceps femoris meningkat secara bermakna pada sisi kanan (154,60±34,77 menjadi
206,36±32,47, p<0,05) dan kiri (141,82±48,87 menjadi 201,78±57,94, p<0,05) setelah diberikan
stimulasi ES selama 4 minggu. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis
kelamin, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap peningkatan kekuatan otot Quadriceps
femoris. Stimulasi ES selama 4 minggu dapat meningkatkan kekuatan otot Quadriceps femoris
penderita PPOK eksaserbasi dan pasca eksaserbasi akut. Faktor usia, jenis kelamin, dan IMT
tidak mempengaruhi peningkatan kekuatan otot.
Kata Kunci: PPOK, kekuatan otot Quadriceps femoris, electrical stimulation.
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
273
Pengaruh Electrical Stimulation terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris Penderita PPOK Eksaserbasi
The Effect of Electrical Stimulation (ES) on Strength of
Quadriceps Femoris Muscles in Acute Exacerbation and
Post Acute Exacerbation COPD Patients
Abner Penalemen Barus,* Nury Nusdwinuringtyas,*
Anita Ratnawati,** Indah Suci Widyahening***
*Department of Physical Medical and Rehabilitation, Faculty of Medicine,
University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta,
**Persahabatan Hospital, Jakarta,
***Department of Community Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia/
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: The most common complaint of patient with chronic obstructive pulmonary disease is
exercise intolerance. Transcutaneous electrical muscle stimulation (TCEMS) is a type of Electrical
stimulation (ES) to increase muscle capacity. The purpose of this study is to compare the effect of
TCEMS on quadriceps femoris muscles strength in acute and post acute exacerbation Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) patients. This is a pre and post test study. The ES was
applied for 30 minutes on both sides of quadriceps muscles for 4 weeks. Muscle strength measurement was performed before and after the intervention had been completed. Muscle strength
improved significantly on right side (by 154,60±34,77 to 206,36±32,47, p>0,05) and left side (by
141,82±48,87 to 201,78±57,94, p<0,05) after 4 weeks intervention. There were no significant
correlation between age, sex, Body Mass Index (BMI) and improvement of muscle strength.
Quadriceps muscle strength was improved after 4 weeks stimulation in acute exacerbation and
after exacerbation COPD patients. Age, sex and BMI had no influence in improvement on muscles
strength.
Key Words: COPD, Quadriceps femoris strength, electrical stimulation
Pendahuluan
Angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) semakin meningkat. Di Amerika
Serikat, PPOK menduduki peringkat ke-4 sebagai penyebab
kematian. Angka kematian akibat PPOK berkisar 119 kematian
per 2000 penduduk. Pada laki-laki usia 55-74 tahun PPOK
merupakan penyebab kematian ke-3, sementara pada
perempuan dengan kelompok usia yang sama merupakan
penyebab kematian ke-4. Antara tahun 1980 dan 2000,
didapatkan angka kematian akibat PPOK meningkat 282%
pada perempuan, sementara pada laki-laki 13%.1-3 Penderita
sering datang ke pusat kesehatan jika telah mengalami
kerusakan fungsi paru yang berat. Keluhan yang paling
sering dikeluhkan adalah intoleransi latihan. Penderita sering
merasa depresi, terisolasi karena selalu berusaha untuk
menghindari sesak saat melakukan akitivitas sehari-hari.4-6
Faktor-faktor yang berperan dalam intoleransi latihan pada
penderita PPOK adalah gangguan mekanik pernapasan,
gangguan pertukaran gas, kelainan jantung, disfungsi sistem
274
otot skeletal, dan kelainan pada otot pernapasan. Kecemasan
dan kurangnya motivasi juga berhubungan dengan
intoleransi latihan. Meskipun secara umum kecemasan dan
kurangnya motivasi mempunyai dampak terhadap intoleransi,
namun hubungan langsung keadaan emosi dengan
intoleransi latihan masih menjadi perdebatan. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menilai hal tersebut.6,7 Beberapa faktor
lain yang dapat menyebabkan disfungsi otot skeletal pada
penderita PPOK adalah ketidakseimbangan nutrisi,
penggunaan kortikosteroid sistemik, hipoksemia, inflamasi
sistemik dengan peningkatan faktor proinflamasi sitokin,
gangguan elektrolit, hormon anabolik yang rendah, dan stres
oksidatif.5,8
Latihan fisik adalah modalitas yang penting dalam
pengobatan pasien PPOK. Latihan fisik dapat memperbaiki
daya tahan fisik, kapasitas aerobik, dan kapasitas oksidatif
otot skeletal. Akan tetapi, pada beberapa penderita PPOK
berat mungkin mendapat kesulitan dalam melaksanakan
latihan fisik (khususnya latihan dengan intensitas tinggi)
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
Pengaruh Electrical Stimulation terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris Penderita PPOK Eksaserbasi
akibat gangguan sistem kardiovaskular. keterbatasan dalam
latihan fisik sering menyebabkan perburukan secara
perlahan-lahan terhadap kapasitas latihan dan kekuatan
otot. 9 Transcutaneous electrical muscle stimulation
(TCEMS) adalah salah satu metode untuk menambah kerja
otot. Teknik tersebut dapat meningkatkan rasio pembuluh
kapiler/serabut, massa otot serta jumlah serabut tipe I dan II
pada manusia. TCEMS juga memperbaiki potensial oksidatif
a
otot. Penelitian klinis pada manusia juga menunjukkan bahwa
electrical stimulation memperbaiki kekuatan dan kerja otot
pada pasien dengan cedera ligamen utama, pada orang yang
imobilisasi setelah pembedahan, merangsang pertumbuhan
otot pada pasien paraplegia, dan memperbaiki kerja otot yang
iskemik pada pasien dengan penyakit gangguan pembuluh
darah perifer.9
Beberapa penelitian klinis tentang efek electrical stimub otot
lation (ES) dalam mempertahankan massa dan kekuatan
skeletal penderita PPOK berat, telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan.9-13 Di Indonesia penelitian terhadap terapi ES
pada penderita PPOK belum pernah dilakukan, sehingga
dibutuhkan data apakah terapi ES memberikan hasil yang
sama dengan penelitian sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
manfaat terapi electrical stimulation bagi penderita PPOK
dan faktor-faktor lain yang berpengaruh.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain studi kuasi
eksperimen (pre- dan posttest). Penelitian dilakukan di
Departemen Rehabilitasi Medik FKUI RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Ruang Rawat IPD RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Poliklinik Rehabilitasi Medik RSU
Persahabatan dan Ruang Rawat Pulmonologi RSU
Persahabatan, Jakarta. Populasi terjangkau pada penelitian
ini adalah penderita PPOK yang berobat ke poliklinik
pulmonologi, rehabilitasi medik, atau dirawat di ruang rawat
inap IPD RSUPN Cipto Mangukusumo dan pulmonologi RSU
Persahabatan. Sampel adalah subjek dari populasi terjangkau
yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak termasuk dalam
kriteria penolakan.
Besar sampel dihitung dengan rumus di bawah inni.
Batas kemaknaan (a) yang dipergunakan adalah 0,05 dan
power (b) 80%. Efek size (m1-m0) berupa penambahan
kekuatan otot yang diinginkan tercapai setelah intervensi
pada penelitian ini adalah 2 Newton. Dengan simpangan baku
sebesar 2,2 Newton, maka besar sampel:
N = [ ( (Za - Zb) X s ) / m1-m0 ]2
n = 9,5 » 10 orang
Drop out 20% = 2 orang
Rekrutmen
= 12 orang
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive selama
masa penelitian, hingga jumlah sampel minimal terpenuhi
sesuai kriteria penerimaan dan penolakan yang telah
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
ditentukan.
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah formulir penelitian, timbangan berat badan merek
Soehnle, alat ukur tinggi badan, alat NMES merek Medical
Device® dan hand held dynamometer merek Mecmesin®.
Kriteria penerimaan untuk sampel penelitian adalah
pasien PPOK eksaserbasi dan pasca eksaserbasi yang dirawat
inap, laki-laki maupun perempuan, usia 50-80 tahun, riwayat
disabilitas; kemampuan berjalan atau aktivitas yang terbatas,
sesuai dengan klasifikasi kapasitas fungsional kelas D dan E
dan bersedia mengikuti program penelitian secara sukarela
dengan mengisi formulir persetujuan. Sedangkan kriteria
Penolakan adalah gangguan neuromuskular berupa
gangguan saraf pusat, tepi atau otot, gangguan sistem
kardiovaskular, hepar, dan ginjal serta gangguan intelektual
berupa gangguan memori atau kognitif yang membuat subjek
penelitian sulit/tidak dapat memahami atau mengingat edukasi
maupun penjelasan yang diberikan oleh peneliti.
Pada subjek dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis
untuk mendapatkan data awal berupa berat badan dan tinggi
badan. Kemudian kekuatan otot Quadriceps femoris kiri dan
kanan diukur dengan menggunakan hand held dynamometer. Kemudian pada akhir minggu keempat dilakukan evaluasi
kembali terhadap kekuatan otot Quadriceps femoris kanan
dan kiri.
Data yang diperoleh dicatat untuk kemudian diolah dan
dilakukan analisis untuk melihat ada tidaknya interaksi atau
faktor perancu dari masing-masing variabel bebas. Hubungan
atau perbedaan dianggap bermakna bila menunjukkan nilai p
< 0,05. Variabel tergantung adalah kekuatan otot Quadriceps femoris dalam skala nominal, sedangkan variabel bebas
yang diikutkan pada analisis multivariat adalah seluruh
variabel yang mempunyai nilai p<0,25 pada analisis bivariat.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer
melalui bantuan piranti lunak program Statistical Package
for Social Sciences (SPSS) versi 15.0.
Hasil
Pengumpulan data dimulai sejak 1 Juli 2008 dan berakhir
pada 29 September 2008. Seluruh pasien PPOK eksaserbasi
akut yang datang ke Poliklinik Rehabilitasi RSU Persahabatan
dan RSUPN Cipto Mangunkusumo menjadi populasi
terjangkau namun hanya 10 orang yang memenuhi kriteria
penelitian. Jumlah tersebut lebih kecil dari yang direncanakan
sebelumnya yaitu sebanyak 12 orang, namun masih memenuhi jumlah minimum sampel. Hal itu disebabkan karena
sulitnya peneliti menemukan subjek yang sesuai dengan
kriteria penelitian.
Dari 10 subjek, lima orang adalah pasien yang dirujuk ke
poliklinik Rehabilitasi Medik RSU Persahabatan, dua orang
adalah pasien yang dirawat di ruang rawat Pulmonologi RSU
Persahabatan, dan tiga orang adalah pasien yang dirawat di
ruang rawat Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Seluruh subjek mendapat terapi electrical stimulation
275
Pengaruh Electrical Stimulation terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris Penderita PPOK Eksaserbasi
(ES) selama empat minggu menurut protokol penelitian yang
telah ditetapkan. Terapi dilakukan pertama kali di poliklinik
Rehabilitasi Medik RSU Persahabatan, dan pada hari-hari
berikutnya peneliti melakukan terapi di rumah. Bagi subjek
yang dirawat, pada awalnya terapi dilakukan di ruang
perawatan. Saat subjek kembali ke rumah, peneliti melakukan
terapi lanjutan di rumah. Rata-rata, terapi dimulai dengan
intensitas 10 mA dan dinaikkan sebesar 5-10 mA setiap
minggu, tergantung kenyamanan subyek.
Selama masa penelitian, dua orang subjek mendapat
serangan eksaserbasi berulang, satu orang kembali dirawat
di RSUPN Cipto Mangunkusumo, namun hal tersebut tidak
mengganggu subjek untuk tetap mengikuti penelitian.
Seluruh subjek berhasil mengikuti penelitian sampai selesai,
dan tidak ditemukan adanya keluhan terhadap efek samping
terapi. Selain itu, tiga orang pasien menjalankan ibadah puasa
saat dilakukan penilaian kekuatan otot pasca terapi ES.
pada otot Quadriceps femoris kanan dan kiri.
Hubungan Antara Usia, Jenis Kelamin dan IMT terhadap
Penambahan Peningkatan Kekuatan Otot Pasca Perlakuan
Untuk mengetahui hubungan antara faktor usia, jenis
kelamin dan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap
peningkatan kekuatan otot Quadriceps femoris pra dan pasca
perlakuan, dilakukan uji statistik sebagai berikut:
a. Untuk data bersifat numerik, yaitu usia dan IMT, dilakukan
uji korelasi dan didapatkan hubungan yang tidak
bermakna seperti yang dapat dilihat pada tabel 3
Tabel 3. Hubungan antara Usia dan IMT terhadap Peningkatan
Kekuatan Otot
Faktor yang berpengaruh
R
Usia
IMT
-0,49
0,5
p
0,31*
0,29*
Karakteristik Umum Subjek Penelitian
*p>0,05
Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek
Karakteristik Subjek (n=10)
Usia
BB
TB
IMT
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
b. Untuk faktor jenis kelamin, karena data bersifat kategorik,
dilakukan uji Fisher setelah peningkatan kekuatan otot
terlebih dahulu dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu peningkatan kekuatan otot di atas rerata dan di
bawah rerata. Dari perbandingan dua kelompok tersebut
didapatkan jenis kelamin tidak berhubungan dengan
peningkatan kekuatan otot (tabel 4)
63,10 ± 10,99* tahun
48,05 ± 12,80* kg
1,60 ± 0,06* m
18,76 ± 4,45* kg/m2
8 (80%)
2 (20%)
*Data ditampilkan dalam bentuk Rerata ± Simpang Baku (SB)
Tabel 4. Hubungan Antara Jenis Kelamin Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot
Kekuatan Otot Quadriceps femoris Pra dan Pasca
Perlakuan
Pengukuran kekuatan otot Quadriceps femoris kanan
dan kiri dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum terapi
NMES dan sesudah mendapat terapi selama 4 minggu. Rerata
kekuatan otot Quadriceps femoris kanan dan kiri, sebelum
dan sesudah dilakukan terapi ES, dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Rerata Kekuatan Otot Quadriceps femoris Kanan dan
Kiri Pra dan Pasca Perlakuan
Kekuatan Otot
Sebelum
Rerata ± SB
Sesudah
Rerata ± SB
Quadriceps femoris kanan 154,60±34,77 206,36±32,47
Quadriceps femoris kiri 141,82±48,87 201,78±57,94
p*
0,005
0,005
*p<0,05
Untuk mengetahui perbedaan kekuatan otot pra dan
pasca perlakuan digunakan uji nonparametrik Wilcoxon.
Pemilihan uji tersebut disebabkan karena sebaran yang tidak
normal. Hasil pengujian statistik menunjukkan peningkatan
kekuatan otot yang bermakna pra dan pasca perlakuan baik
276
Jenis Kelamin
Peningkatan Kekuatan Otot
Quadriceps femoris
Di atas
Di bawah
Rerata
Rerata
Laki-laki
Perempuan
5
0
3
2
Jumlah
5
5
p
0,44*
*p>0,05
Diskusi
Karakteristik umum subyek dapat dilihat pada tabel 1
yang menunjukkan bahwa rerata usia subjek adalah 63,10
tahun, dengan usia termuda adalah 51 tahun dan tertua 80
tahun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Talesu (2005)14
didapatkan rerata usia subjek adalah 64,21 tahun, sementara
Gunawan16 menemukan rerata usia subjek adalah 65,05 tahun.
Berdasarkan kepustakaan didapatkan insiden terbanyak
terjadi pada usia 55-74 tahun.1
Subjek penelitian sebagian besar adalah laki-laki, yaitu 8
orang (80%), dan hanya 2 orang perempuan (20%). Hal
tersebut sesuai dengan kecenderungan yang terjadi di kota-
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
Pengaruh Electrical Stimulation terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris Penderita PPOK Eksaserbasi
kota lain di Indonesia. Talesu (2005),15 Jakarta, pada penelitiannya mendapatkan jumlah laki-laki yang menderita PPOK
sebesar 78,57%, sementara Waspodo (2003),17 Bandung,
mendapatkan jumlah laki-laki yang menderita PPOK sebesar
96%.
Dari penilaian Indeks Massa Tubuh (IMT) didapatkan
rerata 18,76 yang berdasarkan kriteria Asia Pasifik masih
dikategorikan sebagai nilai normal. Hasil tersebut tidak jauh
berbeda dengan Neder et al (2002)13 dan Simone et al (2006),16
dan lebih kecil dari yang didapatkan oleh Vivodtzev et al
(2006).15 Sementara Talesu15 mendapatkan nilai rerata IMT
subjek penelitiannya sebesar 21,2. Dari suatu studi didapatkan bahwa insiden malnutrisi pada pasien PPOK
sedang-berat adalah sebesar 24-35%.18 Gray-Donald dkk
(1996)19 menyatakan bahwa IMT memiliki hubungan dengan
risiko kematian bagi pasien PPOK berat.
Kekuatan Otot Quadriceps femoris Pra- dan Pascaperlakuan
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kekuatan otot
Quadriceps femoris kanan dan kiri pra dan pasca perlakuan
dengan menggunakan alat hand held dynamometer, yaitu
suatu alat sederhana yang telah terbukti dapat mengukur
kekuatan kelompok otot secara objektif.14 Didapatkan nilai
kekuatan otot Quadriceps femoris kanan dan kiri pra
perlakuan sebesar 154,60±34,77 dan 141,82±48,87, sementara
untuk nilai kekuatan otot Quadriceps femoris kanan dan kiri
pasca perlakuan sebesar 206,36±32,47 dan 201,78±57,94
seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.
Dari Tabel 2 kita dapat melihat peningkatan kekuatan
otot pasca perlakuan sebesar 40%, yang dengan uji Wilcoxon
mendapatkan hasil yang bermakna (p=0,005). Zanotti et al.
(2003)14 mendapatkan peningkatan kekuatan otot Quadriceps femoris yang bermakna pada pasien PPOK yang dirawat
menggunakan ventilator pasca ES dan latihan lingkup gerak
sendi (LGS) aktif selama 28 hari dibandingkan dengan
kelompok yang hanya mendapat latihan LGS aktif saja.
Vivodtzev et al. (2006)15 melakukan penelitian ES terhadap
pasien PPOK dengan dekondisi berat dan keadaan gizi yang
kurang. Didapatkan peningkatan kekuatan otot Quadriceps
femoris yang bermakna dibandingkan dengan kontrol setelah
terapi ES selama 4 minggu. Beberapa penelitian lainnya,
Bourjeily et al. (2002) dan Neder et al. (2002),12,13 mendapatkan
hasil yang sama setelah melakukan terapi ES yang lebih lama
yaitu selama 6 minggu.
Penggunaan modalitas ES sebagai suatu terapi untuk
mempertahankan kekuatan otot pada pasien dengan riwayat
imobilisasi, seperti pada penderita tumor ganas, telah sering
dilakukan, dan pada beberapa tahun terakhir ini banyak
penelitian yang dilakukan pada pasien PPOK berat. Dalam
rekomendasi American Thoracic Society/European Respiratory Society (ATS/ERS)20 terhadap rehabilitasi pada bidang
pulmonologi, ES dimasukkan sebagai salah satu terapi
tambahan bagi pasien PPOK berat yang mendapat perawatan
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
dengan menggunakan ventilator atau yang mengalami atrofi
otot luas.
Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin dan IMT terhadap
Penambahan Peningkatan Kekuatan Otot Pascaperlakuan
Usia, jenis kelamin dan IMT adalah beberapa faktor yang
diketahui berpengaruh terhadap kekuatan otot. Kekuatan otot
akan menurun dengan bertambahnya usia, sementara
perempuan memilki serabut otot yang lebih kecil dibandingkan
dengan laki-laki sehingga secara umum kekuatan otot
perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki. IMT adalah
suatu skala untuk menilai keadaan status gizi seseorang.
Seseorang yang memiliki status gizi baik akan memiliki
kekuatan otot yang lebih kuat dibandingkan dengan gizi
kurang atau buruk.
Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi antara ketiga
faktor tersebut dengan penambahan kekuatan otot Quadriceps femoris. Didapatkan usia memiliki nilai korelasi negatif
sedang terhadap peningkatan kekuatan otot (r=-0,49), yang
berarti semakin bertambahnya usia maka didapatkan
kecenderungan penambahan kekuatan otot, namun secara
statistik korelasi tersebut tidak bermakna (p=0,31).
Sedangkan untuk faktor IMT didapatkan nilai korelasi
sedang terhadap besarnya perubahan peningkatan kekuatan
otot (r=0,5), yang berarti dengan bertambahnya nilai IMT
didapatkan kecenderungan peningkatan penambahan
kekuatan otot, namun juga secara statistik korelasi tersebut
tidak bermakna (p=0,29). Hal itu berarti bahwa faktor usia
dan IMT tidak mempunyai hubungan terhadap peningkatan
kekuatan otot pasca perlakuan. Faktor jenis kelamin sama
sekali tidak memiliki hubungan terhadap besarnya perubahan
kekuatan otot pasca perlakuan (p=0,44). Selain itu faktor
berpuasa selama pemberian terapi ES juga tidak mempunyai
hubungan terhadap peningkatan kekuatan otot pasca
perlakuan.
Ada beberapa hal yang menjadi keterbatasan pada
penelitian ini, yaitu power penelitian sebesar 80% yang
didasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh peneliti.
Selain itu, penelitian ini menggunakan desain pra- dan
pascates yang tidak ada kelompok kontrol sebagai
pembanding dan memungkinkan timbulnya faktor perancu.
Pada penelitian ini juga tidak dilakukannya penilaian
hubungan peningkatan kekuatan otot kuadriceps femoris
dengan kapasitas fungsional.
Kesimpulan dan Saran
Terapi electrical stimulation dapat meningkatkan
kekuatan otot Quadriceps femoris pasien PPOK eksaserbasi
akut dan pasca eksaserbasi akut. Faktor usia, IMT dan jenis
kelamin tidak mempengaruhi besarnya perubahan
peningkatan otot Quadriceps femoris pasien PPOK
eksaserbasi akut dan pasca eksaserbasi akut.
Disarankan untuk perlunya dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan desain yang lebih baik (randomized control
277
Pengaruh Electrical Stimulation terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris Penderita PPOK Eksaserbasi
trial) untuk menilai efek ES terhadap peningkatan kekuatan
otot Quadriceps femoris pasien PPOK dan penilaian kapasitas
fungsional terhadap peningkatan kekuatan otot Quadriceps
femoris pasca terapi ES.
11.
Daftar Pustaka
12.
1.
Ries AL, Bauldoff GS, Carlin BW, Casaburi R, Emery CF, Mahler
DA, et al. Pulmonary rehabilitation: joint ACCP/AACVPR evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2007;131:4S-42S.
2. Mannino DM, Gagnon RC, Petty TL, Lydick E. Obstructive lung
disease and low lung function in adults in the United States: data
from the National Health and Nutrition Examination Survey,
1988-1994. Arch Intern Med. 2000; 160:1683-1689
3. Petty TL. Scope of the COPD problem in North America: early
studies of prevalence and NHANES III data; basis for early identification and intervention. Chest. 2000;117:326S-31S
4. American Thoracic Society/European Respiratory Society. Skeletal muscle dysfunction in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med.1999;159:S1-S40.
5. Didier S, Francois M. Role of peripheral muscle function in rehabilitation. In: Claudio FD, ed. Pulmonary Rehabilitation. Hodder
Arnold 2005;80-90.
6. Nici L, Donner C, Wouters E, Zuwallack R, Ambrosino N, Bourbeau
J, et al. American Thoracic Society/European Respiratory Society Statement on Pulmonary Rehabilitation. Am J Respir Crit
Care Med. 2006;173:1390-413
7. Ambrosino N, Stambi S. New strategies to improve exercise tolerance in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J.
2004;24:313-22.
8. Troosters T, Casabury R, Gosselink R, Decramer R. Pulmonary
rehabilitation in chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med. 2005;172:19-38.
9. Bourjeily-Habr G, Rochester CL, Palermo F, Snyder P, Mohsenin
V. Randomised controlled trial of transcutaneous electrical muscle
stimulation of the lower extremities in patients with chronic
obstructive pulmonary disease. Thorax. 2002;57:1045-9.
10. Neder JA, Sword D, Ward SA, Mackay E, Cochrane LM, Clark
CJ. Home based neuromuscular electrical stimulation as a new
rehabilitative strategy for severely disabled patients with chronic
278
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
obstructive pulmonary disease (COPD). Thorax. 2002;57:3337.
Zanotti E, Felicetti G, Maini M, Fracchia C. Peripheral muscle
strength training in bed-bound patients with COPD receiving
mechanical ventilation: effect of electrical stimulation. Chest
2003;124:292-6.
Vivodtzev I, Pepin JL, Vottero G, Mayer V, Porsin B, Levy P, et
al. Improvement in quadriceps strength and dyspnea in daily
tasks after 1 month of electrical stimulation in severely deconditioned and malnourished COPD. Chest. 2006;129:1540-8.
Simone DC, Lara N, Carla M, Ana CG, Albuquerque A, Nogueira
C, et al. Skeletal muscle structure and function in response to
electrical stimulation in moderately impaired COPD patients.
Respi Med. 2007;101:1236-43.
Bohannon RW. Muscle strength testing with handheld dynamometer. In: Muscle Strength Testing. Instrumented and non Instrumented Systems. New York; Churchill Livingstone: 1990.hal.89122.
Talesu J. Pengaruh latihan “Hairmyres” terhadap jarak uji jalan
enam menit dan nilai ST. George’s Respiratory Questionnaire
pada penderita penyakit paru obstruksi kronik [tesis]. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.
Gunawan K. Hubungan status kualitas hidup penderita PPOK
menggunakan ST George’s Respiratory Questionnaire dengan status fungsional uji jarak jalan enam menit [tesis]. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
Waspodo S. Pengaruh latihan erobik pada penyakit paru obstruksi
kronik terhadap kualitas hidup dengan menggunakan ST George’s
Respiratory Questionnaire. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.
Harik-Khan RI, Fleg JL, Wise RA. Body mass index and risk of
COPD. Chest.2002;121:370-6.
Gray-Donald K, Gibbson L, Shapiro SH, et al. Nutritional status
and mortality in chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med.1996;153:961-6.
American Thoracic Society Documents. American Thoracic Society/European Respiratory Society Statement on Pulmonary
Rehabilitation. Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:1390-413.
FS
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
Download