BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis pada manajemen pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan konflik antara masyarakat Sorowako dengan PT. INCO. Dalam lingkup operasional, implementasi dari praktek strategi tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni: (1) tahapan perekayasaan adat sebagai jalan masuk untuk mengembangkan interaksi yang positif dengan para pemangku kepentingan di Sorowako, (2) tahapan kedua dilakukan dengan mengontrak konsultan manajemen risiko untuk membangun dan mengembangkan instrumen komunikasi perusahaan yang baru dan berbasis pada logika adat, dan (3) tahapan pengembangan dialog antara masyarakat Sorowako dengan PT. INCO. Berkaitan dengan tahapan pengembangan dialog, di tataran implementasi, PT. INCO menerapkan sejumlah praktek strategis, antara lain: (1) sebuah serial dialog yang digunakan untuk memetakan sumber konflik dan ekspresi konflik dan (2) serangkaian pertemuan melalui Meteriso untuk merumuskan solusi praktis dengan mempertimbangkan kapasitas PT. INCO. Melalui serangkain praktek strategi komunikasi tersebut, akhirnya, dapat diketahui sumber konflik berasal dari perbenturan harapan masyarakat Sorowako dengan kapasitas PT. INCO dalam mengelola tiga fenomena dasar, yaitu: fenomena akses tanah sebagai sumber konflik, fenomena kesempatan berusaha sebagai sumber konflik, fenomena afirmasi tenaga kerja lokal sebagai sumber konflik, serta fenomena program pemberdayaan perusahaan sebagai sumber konflik. 109 Konflik pertanahan dipicu oleh empat persoalan dasar, yaitu: pertama, perbedaan persepsi tentang fungsi alamiah tanah, dimana tanah -yang bagi masyarakat Sorowako sebagai lahan untuk menanam padi dan berladang serta memungut hasil hutan (rotan, damar dan kayu)- telah beralih fungsi melalui berbagai praktik unjuk kekuatan, kekerasan, dan kekuasaan oleh perusahaan tambang. Kedua, munculnya perselisihan karena tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak-hak adat masyarakat atas tanah. Hak-hak atas tanah dicabut begitu saja atau dipaksa untuk diserahkan melalui mekanisme jual-beli sepihak, jika lahan-lahan itu diperlukan, baik untuk kegiatan penambangan maupun kebutuhan pembangunan berbagai fasilitas produksi dan non produksi PT. INCO. Ketiga, adanya persoalan perbedaan nilai budaya yang terkandung dalam tanah itu sendiri. Konflik tanah menjadi semacam persoalan budaya dalam arti mikro. Faktor kesempatan berusaha juga menjadi salah satu komponen penyebab lahirnya konflik di wilayah pertambangan ini. Untuk faktor kesempatan berusaha, persoalan dasar yang mereproduksi konflik adalah: pertama, adanya pola praktik subjektif bisnis antara kontraktor lokal dengan PT. INCO yaitu adanya pasar di dalam pasar, perusahaan berpraktik layaknya organisasi sosial. Kedua, munculnya pertarungan antara dua tipe kontraktor, yakni kontraktor yang berperan seolaholah sebagai duta dan juru bicara perusahaan ke kalangan eksternal yang selalu menjadi pemenang tender serta kelompok kontraktor yang memenangkan tender melalui berbagai aksi kekerasan, ancaman, intimidasi, atau berbagai aksi penggalangan massa. Ketiga, kegagalan perusahaan sebagai mitra pemerintah lokal dalam memberikan keadilan ekonomi bagi masyarakat lokal di satu sisi, tetapi di sisi lain sekaligus juga menggambarkan lemahnya kemampuan strategis, teknis serta disiplin kerja kontraktor lokal. Adapun fenomena yang menjadi sumber konflik berikutnya adalah struktur tenaga kerja lokal. Dalam konteks ini, terdapat tiga persoalan dasar, antara lain: pertama, adanya tuntutan afirmasi terhadap tenaga kerja lokal sebagai implikasi otonomi daerah yang berbasis pemberdayaan masyarakat lokal di satu 110 sisi serta keterbatasan kapasitas ketersediaan tenaga kerja di sisi lain. Kedua, munculnya penguatan tuntutan lokalitas dan kurang optimalnya peran pemerintah daerah dalam konflik akses tenaga kerja seperti yang sejatinya merupakan implikasi dari pemekaran daerah, terutama menyangkut rentang kendali (spam of control). Ketiga, adanya sikap perusahaan yang menempatkan aspek lokalisme sebagai batu sandungan dalam upaya mengoptimasi keuntungan, yang dilokalisir sebatas persoalan akses tenaga kerja yang menyangkut kompetensi yang dipersepsikan mudah diatasi hanya dengan cara melakukan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan. Lebih lanjut, penelitian ini juga menemukan satu fenomena lagi yang menyebabkan konflik sosial antara masyarakat lokal Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT. INCO pada kurun waktu tahun 2000-2011, yakni faktor pemberdayaan masyarakat (budaya lokal). Konflik pemberdayaan masyarakat (budaya lokal) yang ditemukan dalam penelitian ini merupakan perluasan dari faktor-faktor struktural. Pada ranah ini, persoalan yang menjadi penyebab kemunculan konflik adalah: pertama, program pemberdayaan masyarakat PT. INCO dalam sepuluh tahun terakhir cenderung sebagai “pemanis” dari eksploitasi pahit sumber daya alam yang dikeruk dari bumi Sorowako. Kedua, inkonsistensi implementasi Fatwa Tata Guna Lahan, seperti pemberian secara cuma-cuma fasilitas pendidikan, kesehatan, air, dan berbagai fasilitas umum lainnya yang pada hakikatnya adalah kewajiban perusahaan, sekaligus juga hak dasar masyarakat. Ketiga, ketidaktepatan program, kooptasi dan perubahan visi atau orientasi manajemen terkait pemberdayaan masyarakat. Hal ini berawal dari pemindahan beban program yang seharusnya dipikul oleh pemerintah dan dialihkan kepada perusahaan, sehingga memunculkan konflik yang relatif akut. Melalui praktek strategi dialog yang dikembangkan dalam komunikasi perusahaan, akhirnya, dirumuskan solusi praktis dalam penyelesaian konflik, meskipun solusi tersebut belum mampu untuk menyelesaikan persoalan pertanahan. Solusi tersebut antara lain: pertama, munculnya kebijakan pengadaan 111 barang dan jasa yang mempertimbangkan kapasitas lokal. Kebijakan ini untuk merespon tuntutan kesempatan berusaha dan afirmasi tenaga kerja lokal. Lebih dari itu, kebijakan ini tidak hanya dilakukan oleh PT. INCO tetapi juga akan dijadikan Peraturan Daerah dari Kabupaten Luwu Timur dengan difasilitasi oleh konsultan manajemen risiko bersama dengan divisi eksternal relation dari PT. INCO. Kedua, proses pengelolaan program pemberdayaan perusahaan dilakukan secara terbuka dengan komposisi sasaran lebih mengutamakan masyarakat asli dan verfikasi kelompok sasaran dilakukan dengan melibatkan para pimpinan perikatan adat. Tidak jauh berbeda dengan kebijakan yang pertama, untuk kebijakan kedua, konsultan manajemen risiko dan divisi external relation dari PT. INCO juga sedang mempersiapkan Peraturan Daerah tentang pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) di Kabupaten Luwu Timur. Pasca dilakukan dialog secara periodik, mulai muncul sebuah kesepahaman sosial antara masyarakat Sorowako dengan PT. INCO melalui adopsi terhadap nilai-nilai budaya dan adat lokal. Selain persoalan adopsi nilai budaya lokal, kesepahaman sosial juga ditandai dengan keterbukaan perusahaan terhadap masyarakat lokal untuk menghindari konflik yang berpotensi muncul di kemudian hari. Untuk mempertemukan kedua budaya yang berbeda tersebut, perusahaan dengan masyarakat lokal selalu berusaha untuk duduk bersama. Ini bukan semata-mata menyangkut aspek material (uang), tapi justru terkait dengan penghormatan atas nilai-nilai masyarakat lokal. Dalam konteks ini, harga diri dipandang menjadi hal yang utama. Sebab, masyarakat juga tahu bahwa perusahaan bukan lembaga sosial, tetapi mencari keuntungan. Lebih lanjut, perusahaan juga memerlukan kenyamanan dan kelancaran dalam beroperasi, sehingga dukungan masyarakat sangat juga sangat dibutuhkan. 112 B. SARAN Merujuk pada paparan hasil dan analisa penelitian, terdapat sejumlah saran yang dapat dirumuskan, yakni: 1. Operasionalisasi kegiatan pertambangan oleh perusahaan pertambangan sudah saatnya tidak hanya berorientasi pada akumulasi kapital, namun juga harus mempertimbangkan dimensi pengembangan masyarakat lokal serta keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, perusahaan pertambangan harus menerima dan mengimplementasikan konsepsi 3P, yaitu: profit, people, and planet. Realitas empiris memberikan fakta bahwa perusahaan yang tidak menerapkan prinsip tersebut acap kali mengalami konflik baik secara vertikal maupun secara horisontal. 2. Operasionalisasi sebuah perusahaan pertambangan harus didukung dengan sistem komunikasi perusahaan yang solid dalam ranah internal dan responsif dalam ranah eksternal. Dengan demikian, untuk mengelola konflik pertambangan di ranah eksternal, dalam sebuah operasi perusahaan pertambangan, komunikasi perusahaan harus didukung oleh sebuah divisi external relation yang mengelola bidang legal affair, bidang government relation, bidang media relations, dan bidang corporate social responsibility. 3. Pengelolaan komunikasi perusahaan juga harus sejalan dengan manajemen risiko yang didesain untuk mengelola segenap risiko yang dimungkinkan muncul dalam sebuah operasi perusahaan pertambangan. Sinergitas antara manajemen komunikasi perusahaan dan manajemen risiko akan mempercepat penyelesaian persoalan baik yang berada dalam ranah internal perusahaan maupun dalam ranah eksternal perusahaan dan melibatkan banyak pemangku kepentingan strategis. 113 C. PENUTUP Pada ranah konseptual, hasil dan analisa penelitian terlihat mengafirmasi segenap teori yang dibangun sebagai preposisi dasar penelitian. Berkaitan dengan konflik pertambangan, temuan penelitian membuktikan teori yang menyatakan bahwa konflik akan muncul manakala terjadi perbenturan antara values of expectation dengan values of capabilities. Pada penelitian ini, konflik dimunculkan sebagai akibat adanya perbenturan antara harapan dari masyarakat Sorowako dan kapabilitas sistemik yang dimiliki oleh PT. INCO. Masyarakat Sorowako merasa kepentingannya menyangkut isu akses tanah, isu kesempatan berusaha, isu afirmasi pada tenaga kerja lokal, dan isu pengelolaan program pemberdayaan perusahaan tidak diakomodasi dan dipenuhi oleh PT. INCO. Sementara itu, perusahaan merasa memiliki limitasi dalam kewenangan politik, kewenangan legal formal, kewenangan teknokratis administratis, kewenangan manajerial, serta kewenangan finansial. Perbenturan kedua hal tersebut berujung pada munculnya konflik pertambangan antara masyarakat Sorowako dengan PT. INCO. Pengelolaan konflik melalui sebuah praktek komunikasi yang berbasis pada manajemen pemangku kepentingan dalam sebuah proses komunikasi perusahaan juga mengafirmasi teori yang dibangun dan dikembangkan oleh Joep Cornelissen. Fakta yang menjadi temuan penelitian memperlihatkan bahwa dialog dilakukan oleh PT. INCO terhadap tiga kelompok pemangku kepentingan yang terdefinisi dalam dua kategori pemangku kepentingan, yakni: kategori Pemangku Kepentingan Definitif (Definitive Stakeholders) dan kategori Pemangku Kepentingan yang Menuntut (Demanding Stakeholders). Untuk kategori definitif, direpresentasikan oleh para pemangku kepentingan dalam kelompok negara dalam level lokal dan kelompok masyarakat adat. Sedangkan, untuk kategori menuntut, direpresentasi oleh para pemangku kepentingan dalam kategori kontraktor lokal. Dialog yang dilakukan, akhirnya, dapat memunculkan pemahaman dan komitmen para pemangku kepentingan untuk merumuskan solusi praktis bersama 114 dengan PT. INCO. Lebih dari itu, dialog juga bermuara pada integrasi sosial antara PT. INCO dengan masyarakat Sorowako. Di tataran konseptual, penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan yang berbasis pada ilmu komunikasi dapat dijadikan sebagai instrumen praksis dalam pengelolaan konflik pertambangan antara masyarakat Sorowako dan PT. INCO. Pada lingkup praksis operasional, pengelolaan konflik, biasanya didekati dengan metode disiplin ilmu sosiologi yang berorientasi pada resolusi konflik secara final dan tidak bisa menawarkan jalan tengah pengelolaan konflik manakala resolusi konflik belum bisa dicapai secara final. Penelitian ini menghadirkan realitas praksis yang berbeda dimana metode dialog yang berbasis pada manajemen pemangku kepentingan dalam sebuah proses komunikasi perusahaan mampu memberikan alternatif pengelolaan konflik ketika resolusi konflik belum tercapai. Berdasarkan pada paparan tersebut, kiranya penelitian ini bisa dianggap sebagai sebuah kajian awal tentang konflik pertambangan yang melibatkan masyarakat Sorowako dengan PT. INCO. Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang pengelolaan konflik dan pengembangan komunikasi perusahaan, terdapat sejumlah agenda penelitian strategis, seperti: pertama, kajian tentang relasi programatik antara manajemen komunikasi perusahaan dengan manajemen risiko. Kajian ini signifikan dilakukan karena sinergitas pengelolaan kedua manajemen tersebut sangat menentukan kecepatan perusahaan untuk menyelesaian persoalan baik dalam ranah internal perusahaan maupun ranah eksternal perusahaan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kedua, kajian tentang strategi komunikasi perusahaan dalam mereproduksi wacana dan melakukan meaning control terhadap persepsi dari para pemangku kepentingan tentang relasi perusahaan dengan para pemangku kepentingan. Kajian ini penting dilakukan untuk memperoleh pemetaan wacana dan mencari sumber konflik antara masyarakat dengan perusahaan. 115