MELAWAN SISTEM JAHILIAH A. Sadikin Laporan Khusus Edisi 7 | Mei 2017 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. —————— Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: [email protected]. Seluruh laporan kami bisa didownload di www.syamina.org Daftar Isi Executive Summary _____________________________________________________ 1 Pendahuluan __________________________________________________________ 4 Makna Jahiliah _________________________________________________________ 5 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah ________________________________________ 8 Jahiliah dalam Al-Quran ________________________________________________ 12 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran ________________________________________ 17 Kesimpulan __________________________________________________________ 32 01 Executive Summary Executive Summary Agama sering mengartikulasikan worldview (cara pandang hidup) secara tajam dengan membedakan antara tatanan sosial yang rusak secara moral dengan tatanan yang lebih murni. Dalam tradisi Islam, khususnya Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Nabi Muhammad SAW diutus pada era korupsi terhadap pokok-pokok ajaran agama tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan Allah terakhir (AlQur`an), mengubah tatanan tua paganisme di Jazirah Arab, dan mewujudkan suatu tatanan sosial yang berdasarkan hukum dan syariat Allah SWT. Masa sebelum diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi dan rasul inilah yang disebut era jahiliah. Terma jahiliah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ja-ha-la, yang berarti tidak mengetahui (not knowing) atau tidak memiliki ilmu pengetahuan (not having knowledge). Paling tidak, secara terminologi jahiliah dapat dimaknai dengan dua arti: pertama, jahiliah sebagai suatu periode waktu, dan kedua, jahiliah yang sebagai suatu worldview, karakter, atau sistem. Dalam arti suatu periode waktu, kebanyakan ulama menjelaskan bahwa setelah datangnya Islam, maka tidak boleh berpendapat bahwa ada zaman jahiliah lagi secara mutlak. Sementara dalam arti yang kedua, jahiliah secara singkat dapat diartikan sebagai setiap sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar yang berakibat kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran. Jahiliah yang kedua inilah, selain ada sudah sejak dahulu, juga akan dan terus ada hingga hari akhir kelak. Rupa dan bentuknya bisa saja berbeda, namun semuanya memiliki substansi yang sama. Dalam Al-Quran, kata jahiliah disebutkan SWT sebanyak empat kali. Masingmasing disebutkan dalam arti sebuah keyakinan, sistem hukum, prilaku dan watak. Jahiliah dalam arti suatu keyakinan yaitu zhann al-jahiliyyah (prasangka jahiliah) terdapat dalam QS. Ali ‘Imran 154. Untuk jahiliah dalam arti suatu sistem hukum, hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah), terdapat dalam QS. Al-Maidah 49-50. 02 Executive Summary Sedangkan jahiliah dalam arti suatu perilaku dan gaya hidup (life style) yaitu dalam bentuk tabarruj al-jahiliyyah (bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah) tercantum dalam QS. Al-Ahzab karakter—di antaranya 33. Dan jahiliah dalam arti suatu watak dan dalam rupa hamiyyah al-jahiliyyah (kesombongan jahiliah)—yang biasanya terlihat dalam kehidupan sosial tercantum dalam QS. AlFath 26. Pada era modern, di antara cendikiawan Islam yang menteorikan dan mengkonsepkan tentang jahiliah adalah Al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Muhammad Qutb. Menurut Al-Maududi, jahiliah setiap cara pandang yang tidak sesuai dengan cara pandang Islam, yang dari cara pandang yang tidak islami tersebut lahirlah perbuatan-perbuatan jahiliah. Sayyid Qutb kemudian mempertajam konsep jahiliah yang diutarakan Al-Maududi. Sayyid Qutb menegaskan bahwa jahiliah adalah segala sesuatu yang merenggut dan mengambil hak prerogatif Allah SWT dalam membuat dan menetapkan suatu hukum, aturan, dan undang-undang. Dalam pandangan Sayyid Qutb masyarakat Islam bukanlah sebuah perkumpulan atau kelompok manusia yang menamakan diri mereka 'Muslim' sedangkan syariat Islam tidak dijadikan undang-undang masyarakat tersebut, walaupun mereka patuh melaksanakan shalat, mengerjakan puasa, dan menunaikan haji ke Mekah. Masyarakat Islam juga bukan perkumpulan atau kelompok manusia yang membuat 'Islam' versi mereka sendiri; bukan Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Hampir sama dengan Sayyid Qutb, Muhammad Qutb menekankan bahwa jahiliah adalah menolak untuk menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, dan membuat suatu aturan, adat, tradisi dan undang-undang yang menolak hukum Allah. Ibarat air dan minyak, Islam dan jahiliah tidak akan pernah bisa menyatu dan hidup rukun berdampingan. Islam tetaplah Islam; yang tidak boleh tercampur sedikit pun dengan kejahiliahan. Dan jahiliah tetaplah jahiliah. meski ia diberi label keislaman apa pun yang dilekatkan padanya. Hanya ada satu penyelesaiannya, Islam yang 03 Executive Summary menang dan jahiliah yang tunduk; atau sebaliknya. Tidak ada penyelesaian yang setengah-setengah; setengah Islam dan setengah jahiliah. Pilihan yang ada hanyalah: Islam saja; atau jahiliah. Oleh sebab itu, agar bisa mengarungi hidup secara islami, seorang Muslim—mau tidak mau—dituntut untuk melawan sistem jahiliah yang senantiasa menghalangi kokoh dan kembalinya sistem Islam yang dijunjung tinggi olehnya. 04 Pendahuluan Pendahuluan “Cobalah timbang dengan halus, apakah perbedaan mereka dengan umat dahulu kala yang dinamakan kaum jahiliyyah itu? Perbedaan itu ialah orang yang dinamakan jahiliyyah paham arti tauhid, tetapi tidak mau mengucapkannya, dan orang jahiliyyah sekarang pandai mengucapkan tauhid, tetapi tidak paham apa maksud dan isinya. Inilah yang dinamakan orang pada zaman ini dengan ‘jahiliyyah modern’.” (Buya HAMKA, Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, hlm. 37) Agama sering mengartikulasikan worldview (cara pandang hidup) secara tajam dengan membedakan antara tatanan sosial yang rusak secara moral dengan tatanan yang lebih murni. Dalam tradisi agama samawi, manakala pokok-pokok ajaran agama mengalami korupsi maka akan selalu diiringi dengan waktu ketika seorang rasul atau nabi diutus (atau akan diutus) untuk memimpin manusia memasuki era baru yang terang-benderang dan dipenuhi petunjuk. Dalam tradisi Islam, khususnya Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Nabi Muhammad SAW diutus pada era korupsi terhadap pokok-pokok ajaran agama tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan Allah terakhir (Al-Qur`an), mengubah tatanan tua paganisme di Jazirah Arab, dan mewujudkan suatu tatanan sosial yang berdasarkan hukum dan syariat Allah SWT.1 Masa sebelum diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi dan rasul inilah yang disebut era jahiliah. Sementara cara pandang, tradisi, adat, hukum, aturan, dan undang-undang yang bertentangan dengan hukum dan syariat Allah; atau dengan menolak hukum dan syariat-Nya— yang mungkin terjadi pada era manapun—bisa juga dinamakan jahiliah. 1 Jeffry R. Halverson, dkk, Master Narratives of Islamist Extremism, (New York: Palgrave Macmillan, 2011), hlm. 37. 05 Makna Jahiliah Makna Jahiliah Terma jahiliah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ja-ha-la, yang berarti tidak mengetahui (not knowing) atau tidak memiliki ilmu pengetahuan (not having knowledge).2 Jahiliah merujuk pada masyarakat pra-Islam yang terjadi di Jazirah Arab. Mereka adalah suatu masyarakat yang dikenal tidak taat, menolak petunjuk Allah SWT, tidak memiliki nilai moral, tidak memiliki kebudayaan, tidak bisa membaca atau menulis dan tidak taat terhadap peraturan-peraturan yang Allah SWT tetapkan.3 Selain itu, terma jahiliah juga merangkum keseluruhan makna penyelewengan dalam beribadah, kezaliman dan pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliah terbesar adalah penyembahan kepada selain Allah atau syirik. Ia adalah ciri paling dominan untuk kata jahiliah. Karena itu, masa sebelum pengutusan yang bergelimang kesyirikan disebut zaman jahiliah.4 Jahiliah, sebagai suatu keyakinan atau perbuatan, bukanlah dibatasi pada masa tertentu, ia adalah kondisi yang berulang-ulang setiap kali masyarakat menyeleweng dari jalan Islam, baik di masa lampau, sekarang, atau masa depan a. Jahiliah Sebagai Periode Masa Tertentu Masyarakat Arab yang berkembang di Jazirah Arab pada periode setelah hancurnya Bendungan Ma`rib di Saba sekitar tahun 300 M disebut dengan Arab Jahiliah. Periode jahiliah ini berlangsung sekitar 310 tahun, yaitu sejak selitar tahun 300 M hingga tahun 610 M. Masyarakat jahiliah yang hidup pada periode ini dikenal dengan Arab Jahiliah lantaran mereka tidak mengikuti ajaran dan risalah para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Sulaiman, Ibrahim, Ismail, Musa, Isa AS.5 Menurut para ulama, kondisi tersebut diliputi 2 Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H), vol. XI, hal. 129. Moh Shukri Hanapi, From Jahiliyyah To Islamic Worldview: In A Search of an Islamic Educational Philosophy dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 3, No. 2, Januari 2013, h. 214. 4 Lihat Jahiliyyah dalam Al-Quran, di https://sabilulilmi.wordpress.com/2013/01/17/jahiliyyah-dalam-al-quran/ 5 Ibid. 3 06 Makna Jahiliah kebodohan tentang Allah, Rasul-Nya, syariat agama, berbangga-bangga dengan nasab, kesombongan dan sejumlah penyimpangan lainnya. Periode jahiliah dikenang sebagai periode yang kelam. Saat itu, Arab Jahiliah tidak menyembah Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa. Faktanya, banyak dari mereka yang menyembah berhala-berhala dan berkeyakinan animisme. Masyarakat Arab Jahiliah hidup tanpa aturan disebabkan tidak adanya nabi atau rasul dan kitab suci yang digunakan sebagai pegangan mereka pada saat itu. Tahun Peristiwa yang Terjadi 300 M Hancurnya bendungan Ma’rib di San`a (Yaman) 570 M Kelahiran Nabi Muhammad SAW 610 M Nabi Muhammad Saw pertama kali menerima wahyu Rentang masa periode Arab Jahiliah Dalam arti ini, dengan kedatangan dan sempurnanya agama Islam, periode atau zaman jahiliah telah hilang. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Taimiyyah, “Manusia sebelum diutusnya Rasul SAW dalam kondisi jahiliah…. Demikian pula semua yang menyimpang dari ajaran para rasul, seperti Yahudi, atau Nasrani, maka itu (bisa dinamakan) jahiliah. Itulah jahiliah umum. Namun setelah diutusnya Rasul SAW, kebiasaan jahilliah terkadang ada di sebagian negara dan tidak ada di tempat lain, terkadang ada pada diri seseorang, yang tidak ada di orang lain. … Namun jika disebut secara mutlak, tidak ada lagi jahiliah setelah diutusnya Muhammad SAW. Karena di tengah umat ini akan selalu ada sekelompok orang yang berpegang dengan kebenaran sampai kiamat.”6 6 Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, vol. I, hal. 258. 07 Makna Jahiliah Jahiliah dalam arti inilah, yaitu dalam arti periode waktu, kebanyakan ulama menjelaskan bahwa setelah datangnya Islam, maka tidak boleh berpendapat bahwa ada zaman jahiliah lagi secara mutlak.7 b. Jahiliah Sebagai Suatu Worldview, Karakter dan Sistem Namun jahiliah juga bisa berupa worldview (cara pandang hidup), karakter, dan sifat yang ada pada seseorang yang sudah memeluk Islam. Jahiliah dengan makna ini ditunjukkan seperti pada sabda Rasul SAW yang berbunyi, “Ada empat perkara jahiliah yang tidak ditinggalkan umatku…”8 Juga hadis lain yang Rasulullah SAW ucapkan kepada Abu Dzar, “Sesungguhnya pada dirimu ada sifat jahiliyyah.”9 Intinya, jahiliah adalah kata untuk seluruh perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar yang berakibat kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran. Semuanya dikatakan jahiliah karena seluruh pelanggaran atau perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak mungkin bersumber dari ilmu, melainkan dari kebodohan. Baik pelanggaran itu disebabkan karena ketidaktahuan atau karena dominasi hawa nafsu yang mengalahkan dorongan keimanan. 7 Di antara ulama yang berpandangan seperti ini yaitu Ibnu Taimiyyah, Al-Albani, dan Shalih bin Fauzan Al-Fauzan 8 HR. Muslim, no hadits. 934, dari hadits Abu Malik Al-Asy'ari. 9 HR. Al-Bukhari, no hadits. 6050, dan Muslim, no hadits. 1661., dari hadits Abu Dzar AlGhiffari. 08 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah Worldview Masyarakat Arab Jahiliah Seperti disebutkan sebelumnya, masyarakat Arab Jahiliah tidak mengabdikan dirinya kepada Allah SWT, baik dalam aspek iman, ibadah atau perilaku. Dengan kata lain, hidup mereka tidak didasarkan pada Tauhid (mengesakan Allah SWT). Semua tindakan dan praktik mereka hanya dibentuk oleh pikiran dan keinginan mereka. Dengan worldview seperti itu, karakteristik Arab Jahilliah dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: A. Agama dan Kepercayaan Dalam masyarakat Arab Jahiliah, penolakan terhadap bentuk agama apa pun bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, mereka tidak mempercayai para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah SWT pada periode sebelumnya; Kedua, mereka mengubah isi Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa AS; Ketiga, tidak ada nabi atau rasul khusus dan kitab suci yang dikirim khusus untuk mereka; Keempat, penyebaran berbagai agama di dalam Jazirah Arab. Di Persia tersebar agama orang Majusi, sedangkan orang-orang Romawi memeluk agama Kristen; Dan kelima, ada beberapa orang yang membawa kembali agama-agama eksternal ke Mekah. Cukuplah suatu masyarakat disebut masyarakat jahiliah manakala mereka tidak mau mengikuti aturan, agama dan syariat yang Allah SWT turunkan. Sebagai contoh. ‘Amr bin Luai yang telah pergi ke Syams dan melihat sekte Balqa yang menyembah berhala, lalu kemuian ia membawa kembali agama tersebut ke Mekkah.10 Efeknya adalah bahwa Mekkah menjadi pusat pemujaan berhala saat itu. Sekte agama di sisi lain bisa dikategorikan menjadi 5 bagian yaitu Watsani (penyembah berhala), Kristen, Majusi, Yahudi dan Hanif (berpegang pada agama sebelumnya). Selain itu, sebagian masyarakat Arab Jahiliah mempraktekkan ajaran animisme, 10 Moh Shukri Hanapi, From Jahiliyyah To Islamic Worldview: In A Seacrh Of An Islamic Aducational Philosophy dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 3, No. 2, Januari 2013, h.215. 09 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah seperti kepercayaan pada roh, percaya pada pelindung dan kekuatan tak terlihat, menyembah matahari dan memuja pohon. Ada juga keyakinan yang dianggap tidak masuk akal dan imajinatif seperti peramalan dan pengamatan arah burung terbang (tathayyur). Jika burung terbang ke arah kiri maka merupakan pertanda bahwa perjalanan itu berbahaya dan tidak aman. Sebaliknya jika terbang ke arah kanan berarti pertanda kebaikan dan keberuntungan. B. Sosial Masyarakat Arab Jahiliah pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat Badui dan Hadhari (perkotaan). Orang Badui tinggal di lembah dan dataran tinggi, yang berada di tengah Semenanjung Arab. Masyarakat Hadhari di sisi lain tinggal di sepanjang pantai Semenanjung Arab. Perbedaan mereka dalam cara menyelesaikan suatu persoalan di antara mereka mereka secara tidak langsung memengaruhi berbagai cara hidup dan pencapaian mereka. Selain itu, masyarakat Arab Jahiliah juga terdiri dari berbagai kabilah dan suku. Situasi seperti itu memberikan sejumlah efek negatif. Di antaranya adalah munculnya 'ashabiyyah (fanatisme) dan biasanya mengakibatkan penyebab pemicu perang di masyarakat. Munculnya 'ashabiyah ini karena pendirian yang didasarkan pada kabilah dan suku. Setiap kabilah hidup dengan kelompok mereka dan terikat untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh kabilah tersebut. Hal ini semakin memperkuat rasa kesukuan dalam anggota kabilah tersebut. Mereka siap membalas dendam untuk menjaga harga diri dan kabilah mereka. Selain itu, munculnya ciri sosial semacam itu sangat erat kaitannya dengan keadaan geografis dimana mereka tinggal di tempat yang sangat panas dan kering. Untuk memastikan kelangsungan hidup, setiap individu perlu mengatasi masalah secara kolektif. Pemadatan terhadap perasaan kesukuan telah mengakibatkan kehidupan Arab Jahiliah menjadi kacau dan tidak teratur. Ini biasanya menjadi sumber permusuhan dalam masyarakat Arab Jahiliah. Perang antara kabilah yang berbeda bisa saja terjadi, bahkan dengan alasan sepele. Perang al-Basus antara kabilah Bakr 10 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah dan Rabi’ah menunjukkan sifat masyarakat Arab Jahiliah yang merasa senang berperang satu sama lain. Selain itu, dalam tradisi Arab Jahiliah perempuan tidak diberi status yang layak mereka dapatkan; baik dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka menganggap anak perempuan saat mencapai usia baligh sebagai penyebab masalah sosial dan ekonomi. Karena itu, masyarakat Arab Jahiliah bersedia menguburkan anak perempuan mereka yang masih hidup seperti yang lazim terjadi pada kabilah Tamin dan Asad. Mereka juga menikahi wanita tanpa batas.11 C. Ekonomi Hancurnya bendungan Ma`rib di Yaman telah menyebabkan penurunan ekonomi bagi Arab Jahiliah. Hasil pertanian menurun drastis karena sistem irigasi yang buruk. Sementara bagian utara terdiri dari padang pasir. Karena itu, aktivitas perdagangan dilakukan di Mekah, Hirah dan Ghassan. Namun perdagangan tidak menguntungkan karena pertengkaran di antara kabilah. Quraisy mengeksploitasi perdagangan dan mempraktekkan riba dan penindasan. Mereka menekan orang Badui yang tinggal di padang pasir. Sebagai pembalasan, orang Badui merampok kafilah Quraisy. Sebenarnya aktivitas ekonomi utama Badui adalah membesarkan ternak secara nomaden seperti unta, kambing dan domba. Mereka bermigrasi terus-menerus dalam mencari padang rumput hijau untuk ternak mereka. Aktivitas ekonomi mereka melambangkan kehidupan mereka yang primitif.12 D. Politik Selama periode Arab Jahiliah tidak ada pemerintah yang memiliki pemerintahan yang sistematis dan kuat. Politik terancam akibat kolonialisasi. Bagian utara diperintah oleh kerajaan Romawi dan Persia, sedangkan bagian selatan diperintah oleh pemerintah Habasyah (Euthopia). Mekah sangat terpengaruh oleh penaklukan 11 12 Ibid. Ibid. 11 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah ini. Iklim politik daerah-daerah yang dijajah, seperti: Ghassan, Hirah dan Yaman, sulit diatur. Masyarakat hidup dalam naungan kabilah dan berperang satu sama lain. Meskipun negara ini memiliki pemerintahan sendiri, namun negara tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah pemerintahan yang maju atau beradab karena berada di bawah kekuasaan penjajah. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dilihat bahwa worldview (cara pandang hidup) adalah inti atau cetakan untuk semua aspek kehidupan. Jika worldview dibentuk dengan cara terlarang, maka seluruh aspek kehidupan menjadi kacau. Demikian juga halnya jika sebaliknya. 12 Jahiliah dalam Al-Quran Jahiliah dalam Al-Quran Dalam Al-Quran, kata jahiliah disebutkan sebanyak empat kali. Masing-masing disebutkan dalam arti suatu keyakinan, sistem, prilaku dan watak. A. Keyakinan Jahiliah dalam arti suatu keyakinan terdapat dalam firman Allah SWT, “Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti zhann al-jahiliyyah (prasangka jahiliah). Mereka berkata, “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” 13 Dalam ayat ini, Allah merekam cuplikan peristiwa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW bersama para sahabat paska perang Uhud, perang besar kedua setelah perang Badar Kubra. Pasukan muslim menderita kekalahan dalam perang tersebut. Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa setelah perang Uhud, Allah menganugerahkan ketenangan dan keamanan kepada hamba-hamba-Nya, 13 QS. Ali ‘Imran : 154. 13 Jahiliah dalam Al-Quran yaitu berupa rasa kantuk yang menghinggapi mereka ketika mereka memanggul senjata, pada saat di mana mereka masih bersedih dan berduka. Rasa kantuk dalam kondisi tersebut menciptakan rasa aman.14 Hal ini merupakan kondisi kaum muslimin yang beriman. Adapun orang-orang munafik yang merupkan golongan lainnya 'mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah (zhann al-jahiliyyah)'. Menurut As-Sa’di, zhan al-Jahiliyyah atau prasangka jahiliah yaitu berprasangka buruk kepada Allah, agama, dan nabi-Nya. Mereka menyangka bahwa Allah tidak akan memenangkan rasul-Nya.15 Sementara Ibnu Katsir menyebutkan bahwa zhann al-jahiliyyah adalah keragu-raguan kepada Allah.16 B. Sistem Hukum Jahiliah dalam arti lainnya, yaitu sebagai suatu sistem hukum terdapat dalam firman Allah SWT, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah) yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”17 14 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-'Azhim, (Dar Thayyibah, 1999), vol. II, hlm. 144. Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, (Muassasah Ar-Risalah, 2000), hlm. 151. 16 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-'Azhim, (Dar Thayyibah, 1999), vol. II, hlm. 145. 17 QS. Al-Maidah : 49-50 15 14 Jahiliah dalam Al-Quran Ayat di atas menerangkan perintah Allah dalam menegakkan sistem hukum yang telah Allah turunkan bagi segenap manusia di muka bumi, dan tidak menetapkan suatu aturan, hukum, atau undang-undang yang menyelisihi syariat Allah. Menetapkan suatu aturan, hukum, atau undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah SWT berarti memperturutkan hawa nafsu. Hukum seperti itu juga dapat disebut dengan hukum jahiliah. Menurut Ath-Thabari, hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah) adalah hukum-hukum orang-orang musyrik para penyembah berhala, sementara mereka bisa menemukan hukum-hukum yang ada pada Kitabullah pada persoalan yang mereka tetapkan tersebut.18 Dalam komentarnya terhadap ‘Apakah hukm al-jahiliyyah (hukum Jahiliah) yang mereka kehendaki’ Al-Baidhawi menjelaskan bahwa maksud dari ‘mereka kehendaki’ yaitu mereka condong dan bersikap lunak dan tunduk (mudahanah) dalam persoalan hukum. Sementara yang dimaksud 'jahiliyyah' yaitu agama dan kepercayaan jahiliah yang mengikuti hawa nafsu.19 C. Perilaku Sedangkan jahiliah dalam arti suatu perilaku dalam gaya hidup (life style) tercantum dalam firman Allah SWT, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan melakukan tabarruj al-jahilyyah al-ula (bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah terdahulu) dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”20 18 Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta`wil Al-Quran, (Muassasah Ar-Risalah, 2000), vol. X, hlm. 394. 19 Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil, (Beirut: Dar Ihya' Turats Arabi, 1418 H), vol. II, hlm. 130. 20 QS. Al-Ahzab : 33. 15 Jahiliah dalam Al-Quran Ayat ini melarang para wanita kaum muslimin untuk berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliah. Wanita jahiliah adalah wanita yang tidak mengenal kesopanan dalam berpakaian, bertingkah laku dan bergaul dengan lawan jenis. Karena tingkah laku yang tanpa aturan itu, keburukan dan kemungkaran tersebar di mana-mana. Menurut Al-Qurthubi, tabarruj yaitu menampakkan (perhiasan) dan tampil di muka umum agar dilihat manusia, terkhusus kaum laki-laki.21 Sedang yang dimaksud dengan ‘al-jahilyyah al-ula’ menurut Al-Qurthubi yaitu yaitu era saat Nabi Ibrahim AS dilahirkan. Pada masa tersebut, para wanita memakai perhiasan dari mutiara yang dipasang di dadanya. Selain itu, mereka juga berjalan di tengah jalan umum agar para laki-laki melihat penampilan mereka.22 D. Watak Sedangkan jahiliah dalam arti suatu watak dan karakter yang biasanya terlihat dalam kehidupan sosial tercantum dalam firman Allah SWT, “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) hamiyyah al-jahiliyyah (kesombongan jahiliah) lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”23 Ayat ini turun menanggapi sikap kaum musyrikin Quraisy dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah. Mereka menolak Nabi dan rombongan para sahabat sebanyak tujuhratus orang memasuki Mekkah untuk melaksanakan umrah pada 21 Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Quran, (Kairo: Dar Kutub Mishriyyah, 1964), vol. XII, hlm. 309. 22 Ibid, vol. XIV, hlm. 179. 23 QS. Al-Fath : 26. 16 Jahiliah dalam Al-Quran tahun itu. Yaitu dengan menggambarkan kondisi hati kaum musyrikin yang dipenuhi watak kesombongan dan fanatisme kelompok. Mengomentari ayat di atas, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa orang-orang kafir Quraisy tidak sombong karena memilikivakidah atau manhaj. Tetapi, kesombongan karena congkak, tinggi hati, takabbur,dan merasa tinggi. Kesombongan yang membuat mereka menghalang-halangi Rasulullah SAW dan para sahabatnya untuk beribadah di Masjidil Haram. Kesombongan tersebut berupa penolakan terhadap setiap langkah perdamaian sejak dini. Allah menjadikan kesombongan dalam diri mereka sebagai jahiliah. Karena Dia mengetahui bahwa dalam diri mereka ada kecongkakan dan keengganan atas kebenaran.24 Menurut Ibnu Katsir, orang-orang kafir Quraisy disematkan pad hati mereka 'hamiyyah al-jahiliyyah' yaitu saat mereka menolak untuk mencantukam lafal 'Bismillahirarhmanirrahim' dan 'Muhammad Rasulullah' dalam pembuatan naskah perjanjian Hudaibiyah.25 24 25 Sayyid Qutb, Fi Zhilal Al-Quran, (Kairo: Dar Syuruq, 1412 H), vol. VI, hlm. 3329. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-'Azhim, (Dar Thayyibah, 1999), vol. VII, hlm. 345. 17 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa kata ‘jahiliah’ diperkenalkan oleh alQur`an dan juga digunakan dalam Hadits. Pada umumnya, kata ‘jahiliah’ disematkan untuk setiap sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Makna seperti inilah yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama setelahnya. Pada fase ini, jahiliah belum menjadi suatu teori atau konsep. Namun lantaran runtuhnya kekhilafahan Islam dengan berubahnya Daulah Utsmani menjadi negara sekuler dan dihapusnya sistem kekhilafahan, maka jahiliah pun mulai jadikan suatu teori atau konsep. Di antara cendikiawan Islam yang menteorikan dan mengkonsepkan tentang jahiliah adalah Al-Maududui, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. A. Konsep Jahiliah Al-Maududi Al-Maududi bernama lengkap Sayyid Abul A’la Al-Maududi. Ia seorang ulama berpengaruh di negaranya, Pakistan. Selain itu, ia juga merupakan pendiri dari Masyarakat Islam bukan perkumpulan atau kelompok manusia yang membuat 'Islam' versi mereka sendiri; bukan Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, Jamaah Islamiah di Pakistan. Al-Maududi menerangkan tentang teori dan konsepnya tentang jahiliah dalam bukunya, al-Islam wa al-Jahiliyyah26 (Islam dan Jahiliah). Menurut Al-Maududi, perilaku individu dan masyarakat dikonstruk dari cara pandang hidupnya (woldview) tentang problem-problem mendasar dalam kehidupan. Oleh sebab itu, penilaian benar-salah yang dilakukan oleh suatu 26 Buku tersebut aslinya ditulis dalam bahasa Urdu. Kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Arab menjadi Al-Islam wa al-Jahiliah. Sementara dalam bahasa Melayu diterjemahkan menjadi Islam dan Jahiliah. Buku berbahasa Melayu dapat diakses pada link https://docs.google.com/viewer?a=v&pid=sites&srcid=ZGVmYXVsdGRvbWFpbnxtZW50b3 Jjb3VuY2lsbGlicmFyeXxneDo2MzA0MDFmMzQ0MTgxZjIx 18 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran individu atau masyarakat sangat tergantung cara pandangnya tersebut. termasuk juga asumsi, persepsi, dan jangkaun panca inderanya.27 Seorang anak kecil sebagai contoh. Ketika ia melihat api dan melalui tinjauan panca inderanya menghasilkan suatu kesimpulan dan tanggapan bahwa api merupakan suatu mainan yang menarik serta berkilauan. Tanggapan ini seterusnya mendorongnya melakukan tindakan mengulurkan tangan untuk menyentuh api itu. Seorang lelaki lain melihat api yang sama dan melalui cara pandang dan persepsinya, ia membuat kesimpulan bahwa api itu memiiki suatu sifat ketuhanan; atau setidaknya ia adalah suatu simbol ketuhanan. Berdasarkan pada cara pandang ini ia membuat kesimpulan dan membuat suatu respon dengan menundukkan kepala menyembah api, sebagai tanda hubungannya dengan api itu. Orang yang ketiga melihat api itu, dan mulai mengkaji keadaan tabiat api itu serta sifat-sifatnya. Melalui ilmu pengetahuan serta kajian ia sampai kepada kesimpulan bahwa api itu bisa digunakan untuk memasak, membakar serta memanaskan benda-benda. Selanjutnya ia membuat kesimpulan bahwa hubungan dengan api itu ibarat hubungan antara tuan dan hambanya. Api, menurut tanggapannya, bukanlah suatu mainan ataupun bersifat ketuhanan. Bahkan api merupakan suatu zat yang dapat digunakan untuk tujuan memasak, membakar atau memanaskan, kapan pun ia diperlukan.28 Jika dibandingkan ketiga sikap yang berbeda itu, maka jelaslah bahwa sikap anak kecil dan si penyembah api itu adalah berdasarkan kejahilan mereka. Pengalaman dan cara pandang yang dimiliki anak kecil tersebut menyebabkan ia berkseimpulan bahwa api adalah mainan. Tanggapan si penyembah api bahwa api adalah tuhan atau simbol ketuhanan adalah berdasarkan cara pandang dan asumsinya saja; bukan atas dasar bukti apa pun dan atas bukti ilmu pengetahuan. Sebaliknya sikap lelaki yang menganggap api sebagai suatu zat yang berguna untuk manusia, yang 27 28 Abu A’la Al-Maududui, Islam dan Jahiliah, (tt, tp), hlm. 5. Ibid, hlm. 5-6. 19 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran jauh berbeda dari kedua tanggapan di atas, adalah suatu sikap saintifik kerana ia didasarkan kepada ilmu pengetahuan.29 Problem-problem mendasar tersebut di antaranya yaitu tentang alam semesta, bumi, langit, jati dirinya, dan hubungannya dengan alam semesta. Pembeda utama antara Islam dan jahiliah adalah pada metodologi yang digunakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisis ini. Al-Maududi mengidentifikasi tiga metodologi dasar yang digunakan manusia untuk menjawab problem-problem ini. Pertama, dengan dengan bergantung kepada persepsi panca indera semata. Cara pandang terhadap setiap hal tersebut dibuat berdasarkan hanya kepada pencapaian dan penglihatan indera. Kedua, yaitu dengan membuat suatu rumusan melalui pencapaian indera yang dibantu dengan spekulasi. Dan alternatif ketiga yaitu dengan jalan kenabian,30 Menurut Al-Maududi, dua yang pertama merupakan cara pandang dan persepsi jahiliah. Sementara yang terakhir, yaitu jalan kenabian adalah latar pemikiran Islam.31 Metodologi Pertama: Jahiliyyah Mahdhah (Jahiliah Tulen) Menurut Al-Maududi, mereka yang menggunakan metodologi pertama akan menyimpulkan bahwa semua sistem yang ada di alam semesta ini terjadi secara kebetulan, dan tidak ada satu pun sebab dan tujuan di balik penciptaannya. Alam tercipta dengan sendirinya. Ia berjalan secara otomatis. Ia akan berakhir tanpa hasil apa pun. Perilaku individu atau masyarakat yang lahir dengan pola pikir di atas akan menganggap diri mereka berkuasa penuh atas alam semesta. Mereka akan menggunakan kekuatan fisik dan akalnya hanya untuk menuruti dan melampiaskan hawa nafsu. Mereka akan cenderung menjadi orang yang tidak bertanggungjawab, zalim, tidak amanah, kejam, dan bengis. Mereka juga akan cenderung menjadi 29 Ibid, hlm. 6. Ibid, hlm. 10. 31 Ibid, hlm. 21 30 20 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran orang egois, materialis, dan mudah hanyut dalam suatu kondisi. Dalam pandangan mereka, suatu dianggap bermanfaat jika ia mendatangkan maslahat bagai dirinya sendiri.32 Ada beberapa ciri menonjol dari individu atau masyarakat yang dibentuk oleh cara pandang seperti itu. Dalam ranah politik mereka akan menganggap bahwa wewenang untuk menentukan sesuatu (sovereignty) bisa diberikan kepada beberapa orang, individu, atau suatu kelompok dan perkumpulan manusia. Setiap peraturan dan undang-undang dibuat hanya menurut nafsu dan pengalaman manusia. Kebenaran dinilai berdasarkan kekuatan, sementara yang lemah senantiasa berada di pihak yang salah. Dalam ranah ekonomi, terkadang kaum buruh akan mendirikan sebuah pemerintahan diktator proletarian melalui cara kekerasan. Keadilan tidak akan pernah menjadi bagian dari sistem ekonomi. Dan setiap individu bisa sebebasnya memanfaatkan sumber-sumber ekonomi meskipun bisa merugikan pihak yang lain. Sementara dalam ranah pendidikan, sistem pendidikannya akan berisi dan mengajarkan nilai, ideologi dan falsafat yang sama. Seluruh program diklat akan dirancang untuk melahirkan individu-individu yang memiliki cara pandang yang sama dalam kehidupan, dan akan disebarkan seluruhnya ke masyarakat. AlMaududi menamakan cara pandang seperti ini dengan Jahiliyyah Mahdhah (Jahiliah Tulen).33 Metodologi Kedua Sementara untuk metodologi yang kedua, Al-Maududi menyebutkan tiga aliran berbeda yang lahir darinya. Tiga aliran tersebut yaitu: syirik (politeisme), ruhbaniyyah (hidup seperti rahib), dan wujudiyyah (keyakinan bahwa apa yang ada merupakan perwujudan tuhan). 32 33 Ibid, hlm. 12-13. Ibid, hlm. 13-14 21 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran Syirik merupakan suatu kepercayaan bahwa di alam ini dikuasai lebih dari satu Tuhan. Ciri utama individu atau masyarakat yang lahir dari cara pandang ini di antaranya yaitu: kehidupan yang penuh dengan carut-marut dan tahayul; upacaraupacara dan ritual-ritual ibadah yang tidak ada akhirnya; penipuan-penipuan yang dilakukan oleh para penipu; serta kehidupan yang penuh dengan kesalahan dan kekeliruan.34 Sedangkan ruhbaniyyah suatu persepsi atau keyakinan bahwa kehidupan dunia adalah tempat penyiksaan fisik. Mereka menganggap bahwa segala kenikmatan di dunia ini pada hakikatnya adalah belenggu-belenggu dan rantai-rantai yang menghalangi menusia dari keberhasilan dan keselamatan, yang hanya bisa diraih dengan meninggalkan semua yang berhubungan dengan kehidupan dam kenikmataan duniawi. Adapun ciri-ciri utama bagi individu atau masyarakat dengan cara pandang seperti ini diantaranya, yaitu: hidup secara menyendiri sebagai ganti hidup kolektif; manusia-manusia yang baik mengasingkan diri; orang-orang zalim akan bebas merajalela; serta terjadi kontradiksi dengan tabiat dan naluri manusia.35 Sementara wujudiyyah menganggap bahwa manusia dan alam ini tidak riil. Inti dari kepercayaan ini adalah setiap benda adalah bayang-bayang kepada suatu Zat (Tuhan). Hanya Zat itu yang wujud; yang lain semuanya berupa khayalan. Doktrin ini menanamkan dalam diri manusia sikap ragu terhadap kebenaran wujudnya sendiri. Ia hilang segala inisiatif. Ia menganggap dirinya hanya sebagai patung yang bertindak atas arahan orang lain.36 Metodologi Ketiga: Islam Menurut Al-Maududi, metode ini yaitu dengan meletakkan keyakinan kita kepada penyelesaian yang telah dibawa oleh Rasul-rasul Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan mengambil contoh seorang lelaki yang sedang berada di suatu tempat 34 Ibid, hlm. 16-18. Ibid, hlm. 18-19. 36 Ibid, hlm. 19-20. 35 22 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran yang asing baginya. Ia tidak mempunyai pengetahuan tentang tempat itu sama sekali. Ia meminta keterangan dari seorang lelaki dan pergi ke berbagai tempat di sana dengan bimbingan lelaki tersebut. Apabila seseorang menghadapi sesuatu masalah seperti ini, usaha pertama yang ia lakukan ialah mencari seorang yang mengaku tahu seluk beluk jalan di sana. Selanjutnya ia akan menaruh keyakinan tentang kemampuan si penunjuk jalan tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dan terakhir, dengan menjadikannya sebagai penunjuk jalan, ia terus memulai penjalanan. Apabila telah terbukti melalui pengalaman bahwa keterangan yang diberikan olehnya tidak menyesatkan, ia akan merasa yakin keterangan yang ia berikan tentang tempat itu adalah benar. Inilah metode yang Al-Maududi sebut saintifik. Dan dalam pandangan Al-Maududi, perumpamaan tempat itu seperti kehidupan di dunia ini.37 Menurut Al-Maududi, Islam melalui metodologi kenabian, dibangun di atas dasardasar berikut. 1. Hak wewenang untuk mentapkan sesuatu terletak di tangan Allah. 2. Manusia adalah subjek bagi perintah Allah. Manusia tidak memiliki hak untuk menetapkan suatu aturan bagi mereka yang bertentangan dengan aturan Allah. Manusia diberikan kebebasan untuk mengikuti atau menolak petunjuk-Nya. 3. Petunjuk-Nya dibawa oleh para nabi. 4. Dengan demikian hidup manusia di dunia adalah dalam rangka ujian. Dan pada akhirnya manusia harus mempertanggungjawabkan kehidupannya pada hari akhirat. 5. Kekuasaan jurisdiksi dan kedaulatan hukum tertinggi (hakimiyah) hanya bagi Allah. 37 Ibid, hlm. 22-23. 23 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran 6. Misi utama nabi adalah menegakkan kedaulatan Allah dalam kehidupan ini.38 Dari keterangan di atas bisa dipahami perbedaan mendasar antara jahiliah dan Islam adalah pada jawaban dan metode terhadap pertanyaan-pertanyaan metafisis yang ada dalam kehidupan manusia. Hal yang selalu ditekankan oleh al Maududi terkait dengan konsepsi Islam adalah pandangan tentang kekuasaan jurisdiksi dan kedaulatan hukum (al hakimiyah) bagi Allah semata. Pandangan ini menjadi titik sentral elaborasi al Maududi terhadap Islam. Ketika menjelaskan pengertian terminologi-terminologi utama dalam al Qur’an (al ilah, ar rabb, al ibadah, dan ad dien) konsep al hakimiyah ini merupakan poros utama. Demikian pula ketika ia menjelaskan tentang teori politik dan pergerakan Islam. Rekonstruksi sejarah kenabian bagi al Maududi adalah rekonstruksi penegakan kedaulatan Allah di muka bumi sebagai misi utama kenabian.39 B. Konsep Jahiliah Sayyid Qutb Sayyid Qutb lahir pada 9 Oktober 1906 di Desa Musya dekat kota Asyut, Mesir. Ayahnya adalah Qutb Ibrahim anggota Hizb al-Wathani. Pada usia 13 tahun ia mampu menghafal al-Quran. Ia pernah mengecap sekolah guru dan mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Darul Ulum, Kairo. Ia kemudian bekerja di Kementrian Pendidikan. Pada tahu 1948 Qutb dikirim pemerintah Mesir ke Amerika dan kembali pada tahun 1951. Pada tahun 1953 Qutb lalu bergabung Ikhwanul Muslimin (IM). Setahun berikutnya, Qutb berselisih dengan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, terkait penjanjian Mesir dengan Inggris yang menyebabkannya dimasukkan ke 38 Ibid, hlm. 24-33. Lihat juga Budiman, Sketsa Pemikiran Abul A’la Al Maududi Tentang Sejarah di https://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abulala-al-maududi-tentang-sejarah/ 39 Budiman, Sketsa Pemikiran Abul A’la Al Maududi Tentang Sejarah di https://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududitentang-sejarah/ 24 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran dalam penjara. Pada tahun 1955, Qutb divonis hukuman 15 tahun penjara. Qutb kemudian dibebaskan pada tahun 1964, lalu kemudian ditangkap kembali pada tahun 1965 dengan tuduhan terorisme. Dan akhirnya Qutb divonis hukuman mati pada 29 Agustus 1966. Menurut Sayyid Qutb, istilah jahiliah tidak hanya merujuk pada periode pra-Islam di Jazirah Arab, sebagaimana yang terjadi pada penulisan sejarah muslim konvensional. Di dalam bukunya “Ma’alim fi al-Thariq”40 ia menegaskan bahwa jahiliah (sebagai suatu keyakinan atau perbuatan) bukanlah dibatasi pada masa tertentu, ia adalah kondisi yang berulang-ulang setiap kali masyarakat menyeleweng dari jalan Islam, baik di masa lampau, sekarang, atau masa depan.41 Dalam tempat lain, ia menegaskan bahwa kata jahiliah bukan merupakan bagian tertentu dalam suatu masa, dalam hal ini masa sebelum Islam, akan tetapi ia adalah keadaan tertentu pada suatu masyarakat tertentu yang mempunyai gambaran tertentu. Mungkin saja keadaan ini dijumpai di setiap waktu dan tempat.42 Menurut Qutb, Islam hanya mengenal dan mengakui dua tipe masyarakat saja, yaitu masyarakat Islam (al-mujtama' al-islami) dan masyarakat jahiliah (al-mujtama' al-jahili). Dalan pandangan Qutb, masyarakat Islam adalah masyarakat yang di dalamnya diaplikasikan ajaran-ajaran Islam, baik dalam persoalan keyakinan (akidah), ibadah, undang-undang, moral, dan cara hidup. Sedangkan masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang ajaran-ajaran Islam tidak diaplikasikan di dalamnya; masyarakat yang di atur bukan oleh ajaran Islam; baik dalam persoalan keyakinan, konsep, nilai, sistem dan undang-undang, moral, dan tata susila.43 Lebih jauh Qutb menegaskan bahwa masyarakat Islam bukanlah sebuah perkumpulan atau kelompok manusia yang menamakan diri mereka 'Muslim' 40 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), hlm. 105-122. Lihat M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hlm. 75. 42 Sayyid Qutb, Fi Zhilal al- Qur’an, (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), vol. II, hal. 904, lihat juga vol. V, hlm. 2861. 43 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), hlm. 105. 41 25 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran sedangkan syariat Islam tidak dijadikan undang-undang masyarakat itu, walaupun mereka patuh melaksanakan shalat, mengerjakan puasa, dan menunaikan haji ke Mekah. Masyarakat Islam juga bukan perkumpulan atau kelompok manusia yang membuat 'Islam' versi mereka sendiri; bukan Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dan meski mereka menamakan diri mereka dengan 'Islam Progresif'.44 Masyarakat jahiliah sendiri, bagi Qutb, tampil dalam beraneka bentuk dan rupa, tapi semua pada prinsipnya sama yaitu mengandung karakter jahiliah. Ia dapat berbentuk masyarakat yang ingkar sama sekali akan keberadaan Allah SWT dan menginterpretasi sejarah hanya secara empiris, dan menganut dan mengaplikasikan suatu sistem yang dinamakan dengan “sosialisme saintifik”. Ia juga bisa berbentuk sebuah masyarakat yang tidak ingkar akan keberadaan Allah SWT, akan tetapi mengebiri kekuasaan Allah SWT hanya dalam urusan yang bersangkutan dengan akhirat saja dan enggan mengakui kekuasaan Allah SWT dalam urusan hidup di dunia. Masyarakat ini tidak ingin menjadikan syariat dan undang-undang Allah sebagai panduan hidup mereka, dan tidak sudi mengambil nilai-nilai Islam sebagai pedoman dalam mengukur sesuatu. Anggota-anggota masyarakat seperti ini dibolehkan beribadat di dalam biara-biara, gereja-gereja dan masjid-masjid, tetapi mereka dilarang menuntut pelaksanaan syariat Allah dalam urusan hidup sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat tersebut pada dasarnya otomatis—baik mereka sadari atau tidak—telah menolak dan melemahkan kekuasaan dan ketuhanan Allah dan seluruh urusan hidup di bumi ini. Sementara Allah SWT sendiri telah menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan dan ketuhananNya meliputi seluruh langit dan bumi. Pada intinya, bagi Qutb, cukuplah suatu masyarakat disebut masyarakat jahiliah manakala mereka tidak mau mengikuti aturan, agama dan syariat yang Allah SWT turunkan. Oleh sebab itulah maka masyarakat tersebut dinamakan masyarakat 44 Ibid. 26 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran jahiliah, walaupun ia mengakui keberadaan Allah SWT dan walaupun ia memberi kebebasan kepada manusia untuk beribadat di biara-biara, gereja-gereja dan masjid-masjid. Atas dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Qutb lalu menyimpulkan bahwa masyarakat Islam yang seperti disebut di atas itulah pada hakikatnya satu-satunya masyarakat yang berbudaya (tamadun), sedangkan masyarakat jahiliah dalam semua bentuk dan rupanya adalah masyarakat tertinggap (primitif).45 Menurut Qutb, pondasi atau pilar utama dari jahiliah adalah merampas kekuasaankekuasaan Allah di atas muka bumi dan merenggut hak istimewa-Nya, yaitu memerintah dan berkuasa. Akibat yang ditimbulkan dari jahiliah ini menyebabkan sebagian manusia menjadi budak bagi sebagian yang lain. Bahkan menurutnya, praktik jahiliah sekarang ini lebih buruk dari jahiliah pada masa-masa sebelumnya lantaran mengakui dan memberikan hak membuat konsep-konsep, nilai-nilai, undang-undang, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan buatan manusia yang menyimpang, tidak sesuai, bahkan bertolak-belakang dengan yang Allah perintahkan.46 Dalam tempat yang lain Qutb juga menjelaskan bahwa jahiliah adalah suatu hukum buatan manusia yang dipaksakan diterapkan untuk manusia (yang menyelisihi hukum dan syariat Allah). Karena ini, baginya, berarti 'ubudiyyah (pengabdian) manusia terhadap manusia yang keluar dari 'ubudiyyah kepada Allah, dan menolak uluhiyyah (ketuhanan) Allah. Kebalikan dari penolakan ini adalah mengakui uluhiyyah sebagian manusia dan hak 'ubudiyyah bagi mereka selain Allah. Ia juga kembali menegaskan bahwa jahiliah bukanlah sekedar suatu masa tertentu, namun jahiliah adalah suatu tatanan, suatu aturan, suatu sistem, yang dapat ditemui 45 46 Ibid, hlm. 105-106. Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Darusy Syuruq, 1979), hlm. 8. 27 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran kemarin, hari ini, atau hari esok. Yang menjadi tolok ukur jahiliah adalah bahwa ia berlawanan dan bertentangan dengan Islam.47 Menurut Qutb, kedatangan Islam tidaklah bertugas untuk berkompromi dengan konsep-konsep jahiliah yang sedang mempengaruhi dunia sekarang, juga dengan realita jahiliah yang sedang merata di mana-mana. Bukan ini yang menjadi tugasnya ketika konsep ini mula lahir, dan bukan itu juga tugasnya sekarang ini dan masa akan datang, kerana jahiliah tetaplah jahiliaah. Ia berarti penyelewengan dari 'ubudiyyah kepada Allah semata-mata, juga penyelewengan dari peraturan Ilahi mengenai kehidupan. Jahiliah juga dapat berarti membuat dan menetapkan segala panduan hidup yang berbentuk peraturan dan undang-undang, adat, tradisi dan nilai-nilai, yang diambil bukan dari sumber Ilahi. Karena Islam tetaplah Islam, yang tugas pokoknya ialah memindahkan umat manusia keluar dari jahiliah kepada Islam! Jahiliah juga bisa berarti pengabdian oleh manusia kepada sesama manusia, dengan makna bahwa sebahagian manusia membuat undang-undang untuk sesama manusia, dengan tidak mendapat izin Allah dalam bentuk apa pun. Sementara Islam pula berarti 'ubudiah (pengabdian) manusia kepada Allah semata-, dengan cara menerima apa saja semua yang Allah SWT syariatkan; baik berupa konsep, akidah, undang-undang dan nilai-nilai dan membebaskan diri sepenuhnya dari setiap bentuk pengabdian kepada sesama hamba Allah.48 Bagi Qutb, setiap usaha untuk menolak realitas dan kedaulatan Tuhan adalah jahili. Di antara manifestasi dari jahiliah adalah; 1) Nasionalisme (yang menganggap negara sebagai nilai tertinggi. 2). Komunisme (yang atheis), 3). Demokrasi (di mana manusia merampas kedaulatan Tuhan). Menurutnya, jahiliah modern, baik di Mesir maupun di Barat jauh lebih buruk daripada jahiliah di masa Nabi, karena sifat itu 47 48 Sayyid Qutb, Fi Zhilal al- Qur’an, (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), vol. II, hal. 904. Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Darusy Syuruq, 1979), hlm. 149 28 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran tidak didasarkan pada “kebodohan” melainkan pada pemberontakan terhadap Tuhan.49 Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW bagi Qutb tetap merupakan teladan orisinil, saat ketika agama dan manusia bersatu dan bertindak bersama-sama. Riwayat ini dalam pengertian yang paling dalam adalah simbol yang menghubungkan masalah keduniaan dengan ketuhanan. Jadi, kehidupan Nabi Muhammad SAW mewakili kehidupan ideal di luar jangkauan sejarah, waktu, dan tempat (a historis). Kehidupannya membekali umat manusia dengan “pertemuan konstan” dengan Realitas Tertinggi (ultimate Reality).50 Lebih jauh, Sayyid Qutb memiliki sikap yang keras soal hegemoni Barat. Ia anti Barat karena Barat menurutnya adalah biang keroknya segala kebobrokan 51 yang menimpa sistem pemerintahan, para pemimpin dan masyarakat Mesir secara keseluruhan. Masyarakat Mesir saat itu ia gambarkan sebagai masyarakat jelmaan dari masyarakat Arab pra-Islam (jahiliah) karena tak Islami dan anti Islam, menggantikan prinsip Tuhan-sentris dalam Islam dengan manusia-sentris52. Dari Barat muncul berbagai hal negatif: antara lain berupa ancaman politis dan religiokultural, sekularisme, atheisme, neokolonialisme, nasionalisme modern, dst.53 Lebih jauh Qutb berupaya mencegah timbulnya pemisahan antara agama dan masyarakat di satu sisi dan atheisme di sisi lain. Selain itu, menurutnya krisis yang menimpa masyarakat Mesir disebabkan oleh adanya imperialisme Eropa dan para pemimpin kaum Muslim yang telah terbaratkan.54 49 M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hal. 75, menukil dari Karen Amstrong, The Battle for God, A History of Fundamentalism, hlm. 241. 50 Ibid, hlm. 76. 51 Solah Abd al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Qutb al-Syahid al-Hayy (Al-Ardan: Maktabah alAqsa, 1980), hal. 129. 52 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, hlm. 128. Menukil dari M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hal. 76-77. 53 Ibid, hlm.133-143. 54 M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hal. 76-77. 29 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran Oleh itu sebagai solusinya, Qutb menawarkan dan berpandangan bahwa Islam adalah dan dapat dijadikan sebagai way of life yang komprehensif. Islam mampu memberikan solusi bagi segala permasalahan yang dihadapi kaum Muslim. Jika kaum Muslim menginginkan kesejahteraan dan keharmonian dengan hukum alam dan fitrah hidup di dunia ini, satu-satunya cara adalah kembali kepada Allah, kembali kepada al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Kesimpulannya, jika ada yang mengambil sumber lain dalam hidupnya, dalam hal ini hukum dan aturan buatan manusia, berarti ia telah melakukan penyimpangan dan berada dalam kejahiliahan.55 Bagi Qutb, dalam konteks pertarungan antar Islam dan jahiliah, tidak ada pintu untuk kompromi antara Islam dan jahiliah. Baik hal itu berdasarkan cara pandang (tashawwur/woldview) maupun dari sisi realita yang dihasilkan dari cara pandang seperti itu. Hanya ada satu penyelesaiannya, woldview Islam yang menang dan jahiliah yang hancur berkecai; atau sebaliknya. Tidak ada penyelesaian yang setengah-setengah; setengah Islam dan setengah jahiliah. Pilihan yang ada hanyalah: Islam saja; atau jahiliah.56 Qutb lalu menyimpulkan bahwa dengan kedatangan Islam, tugasnya adalah menyingkirkan jahiliah dari apa pun perannya dalam memimpin umat manusia, dan mengambil alih peran tersebut.57 C. Konsep Jahiliah Modern Muhammad Qutb Muhammad Qutb bernama lengkap Muhammad Qutb Ibrahim Husein Syadzali. Ia adalah seorang pemikir Muslim dan penulis produktif. Ia lahir di Mesir pada 26 April 1919, dan wafat pada tanggal 4 April 2014 di Arab Saudi dalam usia 94 yahun. 55 Penafsiran Kata Jahiliah Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, hlm. 910. 56 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Darusy Syuruq, 1979), hlm. 149-150 57 Ibid, hlm. 151. 30 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran Spesialisasi Muhammad Qutb adalah dalam bidang pemikiran dan pergerakan Islam.58 Sebagaimana Sayyid Qutb, Muhammad Qutb juga berpendapat bahwa jahiliah tidak terbatas hanya pada suatu masa dalam rentang waktu sejarah manusia, namun jahiliah adalah suatu subtansi tertentu yang memungkinkan untuk tampil dalam beberapa rupa dan bantuk sesuai dengan lingkungan, situasi kondisi, serta waktu dan tempat yang berbeda. Muhammad Qutb juga menilai bahwa jahiliah bukanlah lawan dari terma ilmu, pengetahuan, peradaban, kebudayaan, kemajuan materi, nilai-nilai intelektual, sosial, politik, serta kemanusiaan secara umum. Menurutnya, inti dari jahiliah yaitu suatu kondisi kejiwaan yang menolak untuk menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, dan membuat suatu aturan, adat, tradisi dan undang-undang yang menolak hukum Allah. Jadi lawan dari terma jahiliah yaitu mengenal Allah (ma’rifatullah), menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, dan berhukum dengan hukum Allah59 Atas dasar di atas, Muhammad Qutb menyebut sejarah Eropa (Barat) dipenuhi sejarah jahiliah yang antar satu epsisode ke episode selanjutnya saling bersambung. Oleh karena Eropa lah yang sedang berada di depan pada masa ini, maka peradaban yang dihasilkankan juga dapat disebut dengan jahiliah modern.60 Dalam penilaian Muhammad Qutb, Jahiliah Yunani dan Romawi merupakan akar bagi 'peradaban' Eropa (Barat) Modern. Meski, menurutnya, mereka tentu saja tidak menamainya jahiliah, tetapi menyebut 'peradaban' sebagai ganti jahiliah.61 Dari peradaban Yunani-Romawi, Eropa mendapat atau mengambil semangat rasionalisme, sensualisme (paham keindahan inderawi manusia), paradigma 58 https://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF_%D9%82%D8%B7%D 8%A8 59 Muhammad Qutb, Jahiliyyah al-Qarn al-'Isyrin, (Cet XII, Kairo: Darusy Syuruq, 1992), hlm. 6-7. 60 Ibid, hlm. 22. 61 Ibid. 31 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran mitologis untuk menafsirkan problem-problem metafisis tentang tuhan, alam dan manusia (Qutb menyebutkan mitologi Prometheus sebagai contoh), juga watak imperialisme peradaban. Dari kekristenan sebagaimana terefleksi dalam sejarah Eropa abad pertengahan, jahiliah modern mendapat warisan etika-kekristenan. Peradaban Islam, walaupun banyak yang tidak mengakui, melalui perjumpaan intelektual ataupun perjumpaan politik, menyumbangkan aspek metode ilmiah bagi peradaban Barat.62 Menurut Muhammad Qutb, cara pandang jahiliah Eropa tersebut menyebabkan berbagai distorsi hampir dalam segala bidang penting, seperti dalam pola pikir atau persepsi (tashawwur), perilaku. Politik, ekonomi, etika (akhlak), interaksi antara lawan jenis, seni, dan sebagainya.63 Kerusakan dalam pola persepsi tersebut seperti penyimpangan terkait esensi tentang ketuhanan (ilahiah), dan hubungan manusia dengan Allah; penyimpangan persepsi tentang alam semesta dan kaitannya dengan Allah, hubungan manusia dengan alam semesta, atau sebaliknya; penyimpangan terhadap persepsi kehidupan, hubungannya antara satu dengan lainnya, dan tujuan kehidupan; serta penyimpangan persepsi tentang jiwa manusia, hubungannya antara manusia satu dengan lainnya, baik berupa hubungan pribadi, kelompok, maupun antara lawan jenis.64 Sama dengan Al-Maududi dan Sayyid Qutb, dengan terjadinya berbagai kerusakan hampir dalam semua bidang penting kehidupan tersebut, Muhammad Qutb, kemudian menegaskan bahwa tidak jalan keluar bagi manusia dari sistem jahiliah tersebut kecauli dengan kembali kepada ajaran Islam. Islam lah satu-satu penawar untuk setiap jenis jahiliah di muka bumi ini, terkhusus bagi jahiliah modern.65 62 Budiman, Tafsir Imani Atas Realitas, Telaah Pemikiran Muhammad Qutb, di https://refleksibudi.wordpress.com/2008/12/05/tafsir-imani-atas-realitas-telaah-pemikiranmuhammad-qutb/. Lihat juga Muhammad Qutb, Jahiliyyah al-Qarn al-'Isyrin, hlm. 23-41. 63 Lihat Muhammad Qutb, Jahiliyyah al-Qarn al-'Isyrin, 55-199. 64 Ibid, hlm. 55. 65 Ibid, hlm. 202-203. 32 Kesimpulan Kesimpulan Meski secara etimologi jahiliah berarti bodoh dan merupakan antonim dari ilmu dan pengetahuan, tetapi jahiliah sebagai suatu worldview (cara pandang), konsep, karakter, dan suatu sistem tidaklah identik dengan kebodohan, tidak berilmu dan terbelakang. Pada zaman sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai rasul, sudah ada tatanan nilai yang dianggap baik oleh masyarakat, tetapi tetap dianggap sebagai jahiliah ketika bertentangan dengan Islam atau tidak diakomodasi oleh Syariat. Sebagai contoh positif yang dihargai di dalam Islam adalah hilful fudhul dan ajaran memuliakan tamu. Adapun tokoh pembesar Quraisy Abul Hakam di dalam Islam dianggap sebagai Abu Jahl (Bapak Kebodohan), meskipun sebelumnya dianggap sebagai Bapak Kebijaksanaan dan penasihat di Darun Nadwah (semacam lembaga perwakilan Quraisy), tetapi disifati dengan kejahiliahan ketika lebih berpegang dengan tatanan nilai lama dan menolak tatanan nilai Islam. Oleh sebab itu pula, disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah diutus untuk perbaikan akhlak (yang sudah ada). Mengapa Rasul tetap menyempurnakan atau mengganti tatanan yang sudah ada? Karena setiap yang tidak sejalan dengan Islam berarti jahiliah. Dengan demikian, jahiliah dalam arti ini tidak terbatas hanya pada masa sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai nabi dan rasul, tetapi juga mungkin terjadi kapan pun dan di mana pun; termasuk pada era sekarang dan yang akan datang, karena tabiat pertarungan antara yang hak (Islam) dan yang batil berlangsung hingga akhir zaman. Ibarat air dan minyak, Islam dan jahiliah tidak akan pernah bisa menyatu dan hidup rukun berdampingan. Islam tetaplah Islam; yang tidak boleh tercampur sedikit pun dengan kejahiliahan. Jahiliah tetaplah jahiliah meski ia diberi label keislaman apa pun yang dilekatkan padanya. Hanya ada satu penyelesaiannya, Islam yang menang dan jahiliah yang tunduk; atau sebaliknya. 33 Kesimpulan Tidak ada penyelesaian yang setengah-setengah; setengah Islam dan setengah jahiliah. Pilihan yang ada hanyalah: Islam saja; atau jahiliah. Oleh sebab itu, agar bisa mengarungi kehidupan secara islami, seorang Muslim—mau tidak mau— dituntut untuk melawan sistem jahiliah yang senantiasa menghalangi kokoh dan kembalinya sistem Islam yang dijunjung tinggi olehnya.