Edisi Desember 2015 MEDAN MERDEKA SELATAN M A J A L A H T R I W U L A N S E K R E TA R I AT W A K I L P R E S I D E N Indonesia, Kiblat Pemikiran Islam Liputan Khusus Tokoh Kita PERAN AKTIF INDONESIA WUJUDKAN PERDAMAIAN DUNIA PEMIKIRANNYA WARNAI DUNIA KEISLAMAN INDONESIA Lawatan Wapres Jusuf Kalla ke New York, AS Azyumardi Azra DARI REDAKSI DEWAN REDAKSI Penasehat MOHAMAD OEMAR Kepala Sekretariat Wakil Presiden Penanggung Jawab DEWI FORTUNA ANWAR Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Penanggung Jawab Redaksi RUSMIN NURYADIN Asisten Deputi Komunikasi dan Informasi Publik Redaktur Eksekutif ROMANSEN SUPRIYANTO Redaktur Foto TRI HANDAYANI DOK. SETWAPRES > MOCH. MUCHLIS Akhir-akhir ini, dunia kembali dikejutkan dengan berbagai tindakan radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Mulai dari berkembangnya kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Iraq dan Suriah, Boko Haram di Afrika, hingga tindakan brutal yang terjadi di Perancis. Tidak hanya itu, berbagai konflik juga terjadi di negara-negara Islam seperti di Yaman, Libya, dan Mesir. Hal ini tentu saja menjadi kegelisahan, tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga masyarakat di berbagai penjuru dunia. Mengapa Islam yang hakikinya membawa perdamaian dan kesejukan harus tercoreng dengan berbagai tindakan dan aksi kekerasan yang dilakukan demi kepentingan golongan? Wakil Presiden Jusuf Kalla memandang, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah waktunya bagi Indonesia memainkan peranannya untuk berkontribusi terhadap perdamaian dunia. Salah satunya Indonesia harus mempunyai pusat penelitian, pusat pengembangan pikiran-pikiran agama Islam untuk dunia internasional, meski membutuhkan biaya yang besar. Untuk itu, tema yang diambil dalam edisi Mersela kali ini, Indonesia, Kiblat Pemikiran Islam. Pandangan Wapres tidak hanya menjadi wacana. Dengan komitmen dan semangat yang dimilikinya, Wapres mengajak tokohtokoh Islam di tanah air untuk bersamasama mengimplementasikannya. Visi dan misi Wapres dalam mewujudkan Indonesia menjadi role model pemikiran Islam di dunia tersebut dapat disimak dalam Kiprah Wapres. Misi Wapres ini mendapatkan dukungan tidak hanya dari para cendekiawan Muslim, tetapi juga tokoh non Muslim. Siapa dan bagaimana dukungan tersebut diberikan, dapat diikuti pada Liputan Utama. Untuk rubrik Tokoh Kita, tidak salah kiranya bagi Tim Mersela mengangkat profil Azyumardi Azra. Sebagai orang Indonesia pertama yang menerima gelar Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE), karena dedikasinya memajukan toleransi beragama, ia turut membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia layak jadi kiblat pemikiran Islam. Terkait dengan tema yang diangkat kali ini, Serbaneka juga menampilkan wajah Indonesia yang menyatukan keunikan budaya dengan tradisi Islam. Kampung Sade yang terletak di Lombok Tengah, NTB ini akan membawa pembaca memahami tradisi yang berbaur dengan agama. Dengan segala ciri khas, karakter, dan keunikan yang dimiliki, sudah waktunya negara ini menunjukkan di mata internasional bahwa Indonesia memang layak menjadi barometer bagaimana praktek Islam seharusnya, bagaimana Islam sangat menjunjung toleransi beragama, dan bagaimana Islam menjadi rahmat bagi semesta. Kini, saatnya Indonesia berjaya menjadi kiblat pemikiran Islam di dunia! Editor/Reporter PERY IRAWAN, DARYANTI, SITI KHODIJAH, MEILANI SAECIRIA, GITA SAVITRI, INDRA PUTRA, RAHMADI HIDAYAT, KWINTA MASALIT, DIAN SIANIPAR Fotografer EDY KASRODY, YOHANES LINIANDUS, NOVIA A. RATNASARI, JERI WONGIYANTO Sekretariat MAHDIYONO Disain Layout HENI SOENARDJO Distributor ARIEF HENDRATNO Alamat Redaksi: Sekretariat Wakil Presiden Jl. Kebon Sirih No. 14, Jakarta Pusat 10110 T. [021] 384 2780 ext. 1132 F. [021] 381 1774 Redaksi menerima sumbangan artikel, masukan dan saran. Silakan kirim ke: Sekretariat Redaksi MERSELA, Asdep Komunikasi dan Informasi Publik, Sekretariat Wakil Presiden Keterangan Foto: Wapres menyampaikan ceramah Ramadhan di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Fotografer: Yohanes Liniandus DAFTAR ISI 04 46 32 40 46 SERBANEKA 32 LIPUTAN KHUSUS Lawatan Wapres Jusuf Kalla ke New York, Amerika Serikat 04 KIPRAH WAPRES Indonesia Layak Jadi Kiblat Pemikiran Islam 10 LIPUTAN UTAMA Mencari Ilmu Keislaman yang Moderat, Datanglah ke Indonesia Peran Aktif Indonesia Wujudkan Perdamaian Dunia 40 TOKOH KITA Prof. DR. Azyumardi Azra, MA Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Pemikirannya Warnai Dunia Keislaman Indonesia 45 PENDAPAT MEREKA Kampung Sade Ketika Tradisi Berbaur dengan Agama 48 GALERI FOTO 52 OPINI Peran Indonesia dalam Dunia Islam 56 FORUM DISKUSI Strategi Penguatan Pengelolaan Website dan Media Sosial dalam Mendukung Diseminasi Informasi Publik MERSELA | Edisi Desember 2015 03 KIPRAH WAPRES DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Indonesia Layak Jadi Kiblat Pemikiran Islam Selama ini negara-negara di Timur Tengah dijadikan pusat pemikiran Islam di dunia, tetapi sayangnya, negara-negara tersebut tidak dapat dijadikan gambaran ideal wajah Muslim yang rahmatan lil ’alamin. Mengapa demikian? Karena begitu banyak pertikaian dan pembunuhan yang masih terjadi di sana. Begitu tragis terlihat. Indonesia, negara yang penduduknya beragama Islam terbesar di dunia, menganut Islam yang paling diterima secara internasional karena dianggap paling rasional dan paling moderat. Bangsa Indonesia dengan beragam agama, budaya, suku, dan bahasa hidup berdampingan dan harmonis. Nilai-nilai Islam tersebut tergambar di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, apakah Indonesia dapat menjadi pusat pemikiran Islam di dunia? 04 MERSELA | Edisi Desember 2015 “Islam di Indonesia dan juga negara-negara di kawasan Asia Tenggara disebarkan dengan cara yang damai. Cara penyebaran ini berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang dilakukan dengan pendudukan suatu wilayah. Dengan penyebaran agama Islam yang damai ini, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, bukan hanya besar, tapi juga merupakan negara yang paling harmonis. Tidak ada yang lebih harmonis daripada kita di dunia ini,” ucap Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menutup Musyawarah Kerja DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS Wapres Jusuf Kalla menutup Musyawarah Kerja Nasional PPP I di Hotel Bidakara Jakarta Indonesia adalah contoh dari negara yang berhasil mewujudkan ketenteraman dan kedamaian bagi masyarakatnya, meski memiliki keragaman agama, suku dan budaya Nasional Partai Persatuan Pembangunan (PPP) I di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis 19 Februari 2015. Keharmonisan itu terlihat dari kebhinekaan yang dimiliki Indonesia yang membuat bangsa tetap bersatu, yang dapat menjadi contoh bagi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara Islam di Timur Tengah. “Indonesia adalah contoh dari negara yang berhasil mewujudkan ketenteraman dan kedamaian bagi masyarakatnya, meski memiliki keragaman agama, suku, budaya dan keragaman lainnya. Keberhasilan ini karena Indonesia sangat menjaga keharmonisan secara politik dan ekonomi,” ujar Wapres ketika berbicara dalam Pembukaan Pertemuan Komite Eksekutif Asian Conference of Religions for Peace, dan seminar internasional “Asian Multi-religious Action to Overcome Violent Religious Extremism”, di Gedung Merdeka Bandung, 3 Juni 2015. Contoh konkrit terlihat bagaimana perayaan Hari Raya Waisyak menjadi hari libur nasional. “Padahal umat Budha di Indonesia kurang dari 1 persen, tapi kami menghargai dengan menjadikannya hari libur nasional,” lanjut Wapres. Tidak hanya Waisyak, tapi semua hari raya keagamaan lainnya juga menjadi hari libur nasional, tanpa melihat jumlah pemeluknya. Harmoni pun ditunjukkan oleh anggota Kabinet Kerja. “34 menteri itu, berasal dari berbagai macam latar belakang, profesional, suku dan juga merepresentasikan agama yang ada di Indonesia,” tutur Wapres. Tidak ada negara di dunia ini seperti di Indonesia, di mana semua hari raya keagamaan menjadi hari raya nasional, begitu juga anggota kabinetnya sebagai pemeluk agama yang merepresentasikan agama yang ada di negara tersebut. “Inilah cara menuju kehidupan yang harmonis. Kita menghormati, memberikan saling pengertian, serta menjaga harmoni dan kedamaian,” ucap Wapres. Selain itu pula keharmonian yang perlu dilihat oleh negara-negara di dunia adalah pertemuan lintas agama, yang dilakukan di tempat peribadatan. Mempromosikan Indonesia dengan menampilkan keindahan candi Borobudur dan Bali. Padahal keduanya merupakan tempat ibadah bagi penganut agama Budha dan Hindu. Di Indonesia, Islam diajarkan dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga menimbulkan ketenteraman dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat. “Oleh karena itu, Islam di Indonesia sering disebut orang dengan istilah Islam Indonesia, atau Islam Nusantara, atau Islam Moderat,” ungkap Wapres ketika memberikan sambutan pada acara buka bersama dengan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) pada 8 Juli 2015 di Istana Wapres. Begitu berkebangsaan dan tolerannya kehidupan masyarakat di Indonesia sehingga dapat menjadi referensi pemikiran Islam bagi negara-negara di dunia, oleh karena itu, Wapres Jusuf Kalla ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat MERSELA | Edisi Desember 2015 05 DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS KIPRAH WAPRES pemikiran Islam yang moderat dan menjadi contoh di dunia. “Karena kita berbeda dengan negara-negara lain di dunia, apalagi negara di Timur Tengah,” kata Wapres Jusuf Kalla saat menutup Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan I di Hotel Bidakara Jakarta, 19 Februari 2015. Citra Islam Bila menilik sejenak pada tampilan Islam, Indonesia dinilai layak mewakili citra Islam di dunia meskipun saat ini citra Islam justru didominasi oleh apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah, di mana muncul persepsi buruk bahwa Islam adalah teroris, konflik, dan kekerasan, meskipun hal tersebut menular ke Indonesia, tetapi tidak sampai menjadi tampilan umum. Siapapun tidak dapat menghentikan suatu konflik yang disebabkan oleh perbedaan ideologi atau agama dengan menggunakan senjata. Tetap harus diselesaikan dengan perdamaian. “Ini terjadi di mana pun, kita semua belajar dari konflik dan terorisme antarnegara, karena masyarakat membutuhkan satu hal, yaitu hidup yang lebih baik. Tidak ada yang tidak menginginkan itu,” ucap Wapres Jusuf Kalla. Konflik, terorisme adalah ancaman yang sebenarnya dapat diselesaikan oleh harmoni antar manusia dan harmoni antarnegara. “Dewasa ini umat Islam di dunia sedang mengalami cobaan berat, yakni jutaan dari mereka berhijrah ke negara lain, dan tragisnya, justru meminta perlindungan ke negara non Islam karena di negaranegara Islam sedang mengalami konflik dan kekerasan, sehingga hidup mereka tidak nyaman sebagaimana terjadi di Suriah, Libya, Afghanistan, Yaman, dan di banyak negara Islam lainnya yang selama ini menjadi lambang kebesaran negara Islam,” ujar Wapres Jusuf Kalla ketika meresmikan Pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) IV Tahun 2015 Lembaga Dakwah Islam Hidayatullah di Pondok Pesantren Hidayatullah Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur pada hari Sabtu, 7 November 2015. Saat ini banyak orang membicarakan 06 MERSELA | Edisi Desember 2015 tentang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), di mana kelompok yang dibicarakan sebelumnya adalah Al Qaeda. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan ISIS, yang menganut radikalisme agama, radikalisme politik, dan radikalisme kapital? “ISIS berkembang karena negara-negara itu gagal dalam menjalankan pemerintahannya sehingga sistemnya hancur, begitu timbul ajaran ekstrem, dengan mudah diterima karena pemerintah tidak melindungi umat dan bangsanya. Di saat seperti itu, orang lain datang untuk melindungi mereka dengan membawa ideologi ekstrem atau radikal. ISIS ingin menghancurkan negara itu karena berbagai macam alasan, yakni ekonomi, sosial, dan sumber daya alam yang biasa menjadi isu utama dalam konflik dunia. Oleh karena itu tanpa harmoni, suatu negara mudah dihancurkan dan itulah yang memicu perang. Perang adalah akhir perdamaian sama seperti perdamaian adalah akhir dari peperangan. Namun perdamaian tetap lebih baik dari perang,” tegas Wapres. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, banyak konflik besar yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa lebih dari 1000 orang. Konflik-konflik tersebut diantaranya pemberontakan Madiun, RMS, DI/TII, Permesta, Poso, Aceh, Papua, Maluku, Timor Timur dan lainnya. Dari 15 kasus besar, 10 diantaranya adalah masalah ketidakadilan. “Ketidakadilan di bidang politik, ada ketidakadilan ekonomi dan sosial,” ucap Wapres Jusuf Kalla ketika memberikan kuliah umum kepada 250 Wapres Jusuf Kalla meresmikan Pembukaan MUNAS IV Hidayatullah 2015 Lembaga Dakwah Islam Wapres Jusuf Kalla dalam acara Hijrah Nasional menuju Indonesia Bermartabat yang Berkah perlindungan dan rasa aman. Walaupun relatif aman, konflik tetap harus dihindari yaitu dengan menciptakan keadilan. “Artinya apabila ingin menghindari konflik berarti menjaga keadilan bangsa ini,” jelas Wapres. Lebih lanjut Wapres mengakui bahwa di Indonesia masih terdapat halhal yang cukup menyita perhatian selain masalah-masalah tersebut, seperti insiden pembakaran masjid di Tolikara, Papua, dan yang baru saja terjadi, pembakaran gereja di Aceh Singkil, Aceh. Namun, Wapres meyakini, Indonesia tetap damai, selama masyarakatnya saling menghargai. “Indonesia negara toleransi dan berpedoman pada Pancasila yang menghargai seluruh agama dan masyarakat. Karena itu harus dijaga dengan cara menghargai sesama, menuju pembangunan yang lebih baik. Kita hijrah dari satu kesulitan menjadi kebaikan,” imbau Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya pada acara Hijrah Nasional Menuju Indonesia Bermartabat yang Berkah, di Masjid Istiqlal, 14 Oktober 2015. Indonesia memegang teguh pada DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS Sehingga bila ingin cepat menyelesaikan konflik, lihat dulu akar masalahnya, selesai. peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Tingkat Tinggi (Sespimti) dan Sekolah Staf Pimpinan Menengah (Sespimen) Polri Tahun 2015, di Gedung II Istana Wakil Presiden, 31 Agustus 2015. Banyak masyarakat yang mengira konflik-konflik ini terjadi karena faktor agama, padahal bukan. Konflik di Aceh misalnya, bukan masalah agama tetapi masalah ekonomi. Aceh memiliki sumber daya alam yang banyak, namun tidak dinikmati oleh warganya. Oleh karena itu, yang diselesaikan masalah ekonominya terlebih dahulu. Untuk itu, setiap konflik yang terjadi harus ditelusuri masalahnya. “Sehingga bila ingin cepat menyelesaikan konflik, lihat dulu akar masalahnya, selesai,” tegas Wapres. Kondisi di Indonesia relatif lebih aman dibandingkan dengan negara-negara lain. Wapres membandingkannya dengan negaranegara di Asia lainnya seperti Filipina, Myanmar, dan Thailand, serta negaranegara Timur Tengah, dan Afghanistan. Akibat dari konflik yang berkepanjangan, banyak warga yang mengungsi ke Eropa, bahkan ke Indonesia, untuk mencari MERSELA | Edisi Desember 2015 07 perdamaian dari keberagaman masyarakat yang ada karena perdamaian penting untuk diwujudkan. Dengan perdamaian berarti terwujudnya harmoni sesama manusia, harmoni antarnegara, dan harmoni untuk semua dan pribadi. “Sangatlah mudah berbicara mengenai keselarasan atau harmoni. Namun bagaimana kita menciptakan harmoni saat ini? Karena tanpa harmoni dapat menyebabkan peperangan sehingga dapat mengakibatkan kemiskinan dan ketidakharmonisan. Saya harap kedamaian dan harmoni menjadi tujuan antar sesama,” kata Wapres Jusuf Kalla ketika menjadi pembicara kunci pada Universal Peace Federation World Summit 2015 and Sunhak Peace Prize di Hotel Grand Intercontinental, Seoul Korea Selatan, 28 Agustus 2015. Indonesia harus Memiliki Peran Penting di Dunia Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia harus memiliki peran penting dan kontribusi bagi dunia. “Seyogyanya Indonesia memiliki tanggungjawab yang besar bagi dunia, sebagaimana kebesaran negara itu. Jumlah kita besar, cuma masih kurang menjadi referensi pemikiranpemikiran Islam di dunia,” jelas Wapres saat memberikan sambutan pada Hari Kelahiran NU ke-89 dan Launching Muktamar NU ke-33 di Kantor Pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), 31 Januari 2015. Wapres Jusuf Kalla berharap agar Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim dapat menjadi referensi tentang pemikiran Islam yang moderat, Islam jalan tengah, Islam yang memberikan rahmatan lil ’alamin, pemikiran yang lil ‘alamin. “Bagaimana kita membuat pusat-pusat pemikiran Islam ke depan, pemikiran Islam yang moderat dan berbobot dan mempunyai semangat yang lebih baik ke depan,” lanjut Wapres. Terkait dengan tanggung jawab dan harapan tersebut, lebih jauh Wapres 08 MERSELA | Edisi Desember 2015 DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS KIPRAH WAPRES menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya mempunyai beban berat, namun beban yang baik. Salah satu beban yang baik ialah diantara semua negara Islam, banyak yang ingin mencontoh Indonesia sebagai negara Islam yang toleran. “Memang, ini yang harus kita pertahankan,” tegas Wapres ketika membuka Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia ke-5 di Pondok Pesantren Attauhidiyah Tegal Jawa Tengah, 8 Juni 2015. “Bahwa di lain pihak, yang harus dipertahankan yaitu negara dan juga pemahaman serta kemampuan kita. Kalau melihat negara-negara Islam di dunia, sungguh sedih melihat keadaan ini pada saat kita memperingati hijriah, bagaimana Rosullullah hijrah ke Madinah, tapi yang kita lihat orang Islam hijrah dari Irak, Syria ke Eropa dengan segala pengorbanannya. Zaman Rosullulah Muhammad SAW, mungkin hanya 500-an, ini jutaan. Semua negara Islam, yang stabil cuma satu negara, tidak ada di tempat lain,” ungkap Wapres. Sebuah tanggung jawab yang dapat dan akan dilaksanakan untuk memenuhi harapan Indonesia sebagai kiblat atau pusat pemikiran Islam di dunia dengan mengimplementasikan rencana pemerintah untuk membangun Perguruan Tinggi Islam Negeri bertaraf internasional. Menurut Wapres, negara-negara Timur Tengah seperti Yaman, Mesir, Syria, Libya, Iran dan Iraq yang sebelumnya menjadi tempat belajar bagi umat Islam dari negara lain, kini tidak dapat lagi dijadikan rujukan, Wapres Jusuf Kalla menjadi pembicara kunci pada Universal Peace Federation World Summit 2015 and Sunhak Peace Prize di Seoul, Korea Selatan Keilmuan yang dikembangkan dapat diwujudkan secara spesifik dan khas Indonesia yang damai, rahmatan lil ’alamin, dan moderat karena konflik yang kerap melanda negaranegara tersebut. Pandangan tersebut disampaikan Wapres ketika menerima Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Prof. Dr. H. Fauzul Iman, MA. di Kantor Wakil Presiden, Merdeka Utara, 13 Oktober 2015. Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) yang akan didirikan Pemerintah tersebut, akan dibangun di luar Jakarta, dengan kapasitas 3000 mahasiswa, yang dikhususkan sebagai postgraduate untuk menghasilkan lulusan S2 dan S3 saja. Untuk program S1 akan menjadi konsentrasi dari PTIN yang sudah ada sekarang ini seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN). Untuk tenaga pengajar akan melibatkan banyak guru besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan diundang pula syeikhsyeikh internasional. Pendirian PTIN ini, sama sekali tidak akan mengganggu jalannya program dan kegiatan PTIN yang telah ada, termasuk mengenai anggaran pembiayaannya, sehingga benar-benar murni anggaran tersendiri, yang nantinya akan dibiayai pula dari APBN. Tindak lanjut dari rencana tersebut mendapat dukungan dari berbagai kalangan, mengingat sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, diharapkan dapat mengembangkan Islam yang damai dan rahmatan lil ’alamin, sehingga dapat menjadi model dan rujukan bagi masyarakat dunia dalam mempelajari dan mengembangkan Islam yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia dapat memiliki hal tersebut karena memiliki pengalaman panjang dan cukup berhasil dalam menerapkan nilai-nilai keislaman, meskipun masih terdapat kelemahan dan kekurangan di tengah-tengah kemajemukan. Terkait dengan PTIN tersebut, terlebih dahulu akan dibuat konsepsi yang matang dari sisi akademik. Misalnya disiplin keilmuan seperti apa yang akan dikembangkan, lalu bagaimana hal ikhwal yang terkait dengan akademis. “Jadi itu satu bagian yang harus dipersiapkan,” ucap Wapres ketika menerima Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saefuddin beserta para tokoh agama Islam di Kantor Wakil Presiden, 17 Juni 2015. Selanjutnya yang harus menjadi perhatian pula adalah fisiknya, karena ada berbagai alternatif dengan fisik tersebut, yakni diperlukan lahan sangat luas untuk menunjukkan kebesaran dari perguruan tinggi tersebut, atau tidak perlu terlalu besar, tapi betulbetul efisien, dan betul-betul fungsional namun keilmuan yang dikembangkan dapat diwujudkan secara spesifik dan khas Indonesia yang damai, rahmatan lil ’alamin, dan moderat. “Jadi secara fisik itu juga harus dipikirkan secara matang. Oleh karena itu, pembangunan ini nantinya selain dibiayai dari APBN juga perlu dicarikan sumber lain, sehingga perlu adanya peraturan tersendiri, agar alokasi anggarannya selain dari APBN juga mendapat dukungan dari pihakpihak luar yang mempunyai kepedulian cukup tinggi untuk terwujudnya PTIN ini,” lanjut Wapres. Wapres menekankan bahwa Indonesia lebih beradab dan berahlak dari sisi agama. Untuk itulah Indonesia harus menjelaskan kepada dunia, bahwa Islam yang moderat di Indonesia merupakan jalan tengah. “Kita harus jadi pusat pemikiran dan pengembangan untuk itu. Kita tidak kekurangan para ahli, dan tenaga. Hanya saja kita suka rendah diri,” tutur Wapres. Indonesia dapat menjadi kompas baru Islam moderat. Oleh karena itu, Wapres mengharapkan dalam waktu singkat, akan meminta kepada Gubernur Jawa Barat untuk menyiapkan lahan yang luas untuk mengumpulkan para kyai. “Supaya kita bisa berkiblat pada waktunya. Apabila orang ingin cari ilmu Islam yang moderat, datanglah ke Indonesia,” pungkas Wapres Jusuf Kalla. (BM/SY/TH/SK) MERSELA | Edisi Desember 2015 09 LIPUTAN UTAMA DOK. SETWAPRES > UMAR RAHMAT Mencari Ilmu Keislaman yang Moderat, Datanglah ke Indonesia Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki tanggung jawab yang besar pula bagi dunia. Perannya sebagai kiblat referensi pemikiran-pemikiran Islam di dunia akan dapat terlaksana dengan berbagai dukungan dan kontribusi dari pemerintah, organisasi keagamaan, dan masyarakat. “Peran” itu tidak hanya akan menjadi mimpi, tetapi sebuah perwujudan nyata yang membuat dunia akan melihat bahwa untuk mencari ilmu keislaman yang moderat, maka datanglah ke Indonesia. 10 MERSELA | Edisi Desember 2015 DOK. SETWAPRES > ISTIMEWA Melalui Perguruan Tinggi, Nilai-nilai Islam dapat Disebarluaskan ke Seluruh Dunia dengan Efektif Sebagai sebuah bangsa yang besar dimana bangsa Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, memang sudah semestinya dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi dunia. Menteri Agama Drs. H. Lukman Hakim Syaifuddin menggambarkan bahwa Indonesia juga dapat memberikan contoh atau sebagai model dimana penerapan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan masyarakat ikut membentuk dan mengembangkan peradaban dunia. “Oleh karenanya sebagai bentuk tanggung jawab bangsa Indonesia maka kita merasa sudah waktunya Indonesia memiliki perguruan tinggi berskala dunia. Di mana perguruan tinggi itu juga berfungsi sebagai pusat pengembangan peradaban Islam. Kenapa perguruan tinggi? Karena memang melalui perguruan tinggi, nilai-nilai Islam itu bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia secara lebih efektif,” jelas Lukman. Dengan latar belakang tersebut, perguruan tinggi berskala dunia dipilih dengan harapan mahasiswanya lebih banyak mengakomodasi dari mancanegara, tidak dari dalam negeri meskipun dimungkinkan warga Indonesia untuk ikut di dalamnya, tetapi perguruan tinggi ini lebih didesain untuk konsumsi mahasiswa-mahasiswa internasional. Begitu pula dengan dosen-dosen atau para pengajarnya adalah sejumlah guru besar ternama di dunia. “Selama ini orang belajar mendalami, menggali nilainilai Islam itu dari negara-negara Timur Tengah. Sekarang kita ingin juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu model. Tentu dengan rendah hati kita menawarkan diri bagi dunia yang ingin mendalami ajaran Islam, bisa menjadikan Indonesia sebagai alternatif, sebagai salah satu pilihan opsi model bagaimana nilai-nilai Islam itu diterapkan dalam masyarakat,” lanjut Lukman. Gagasan untuk membangun sebuah perguruan tinggi Islam ini sudah cukup lama berada di benak sebagian akademisi Indonesia, tokoh-tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh Muslim. Bukan hanya gagasan saja yang mereka miliki, tetapi juga tekad yang sangat tinggi. Kemudian ketika Lukman mendapatkan amanah menjadi menteri Agama, Presiden Jokowi - Wapres Drs. H. Lukman Hakim Syaifuddin Menteri Agama Jusuf Kalla juga memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap hal itu. Oleh karena itu gagasan atau ide tersebut dicoba untuk diwujudkan. Kementerian Agama ditunjuk sebagai penanggung jawab kegiatan ini dan melibatkan banyak pihak karena ini terkait dengan program internasional. Selain melibatkan para pakar, para ahli, guru besar Islam, para ulama, juga melibatkan kementerian terkait, misalnya Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Para menterinya dijadikan sebagai pengarah. Menurut Lukman, untuk merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah sebuah tim kerja semacam task force yang terdiri dari beberapa gugus tugas. Tim kerja inilah yang menyiapkan desain perguruan tinggi tersebut, tidak hanya secara fisik, tetapi juga non fisiknya, yaitu naskah akademiknya. Selain itu pula, yang terkait dengan kelengkapan fisiknya, seperti letak area, luas lokasi, dan lain-lain, “Jadi, tim inilah yang di bawah koordinasi Pak Komaruddin Hidayat (Red: Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah 2006-2015), yang sehari-hari menyiapkan desain dari perguruan tinggi ini,” jelas Lukman. Hingga sekarang terdapat beberapa alternatif untuk area perguruan tinggi tersebut. Masih terus mencari lahan yang tepat, idealnya harus minimal sekurangkurangnya 100-200 hektar. Meskipun tentu tidak mudah mencari lahan seperti itu di pulau Jawa, tetapi jika letaknya di luar pulau Jawa, maka terlalu jauh dari pusat pemerintahan, sehingga kendalanya pun tidak sederhana. Hal inilah yang menjadi pertimbangan. Selain itu, di sisi lain, perguruan tinggi yang mau dikembangkan tersebut bukanlah learning university seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN), tetapi lebih kepada research university atau kajian karena memang diperuntukkan bagi postgraduate, S2-S3 MERSELA | Edisi Desember 2015 11 DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS LIPUTAN UTAMA Rapat membahas pembangunan Universitas Islam Internasional saja. Jadi sesungguhnya tidak terlalu memerlukan lahan yang begitu luas. Sejak April 2015, Kementerian Agama sudah menerbitkan Surat Keputusan untuk gugus tugas dalam tim kerja tersebut untuk bekerja, untuk sejak awal dapat memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan merealisasikan gagasan tersebut sambil memfinalisasikan naskah akademik, dan persiapan fisiknya. “Jadi penetapan lokasi lahan yang akan dijadikan tempat bangunan perguruan tinggi saat ini sedang diproses,” jelas Lukman. Bangunan perguruan tinggi ini diharapkan akan terlihat sosoknya pada tahun 2016. Bentuk bangunan perguruan tinggi ini tidak seperti bangunan modern, tetapi lebih merefleksikan keindonesiannya, seperti bangunan rumah Minang, rumah Batak atau rumah Toraja. “Harapannya, mimpinya seperti itu, jadi ini tidak hanya pusat keilmuan keislaman tapi juga pusat peradaban. Islam Indonesia begitu, jadi keindonesiannya juga ingin kita tampilkan,” tegas Lukman. Sementara untuk anggarannya, Lukman menjelaskan bahwa hal itu masih belum dibahas secara mendalam karena lokasinya pun belum ada. Harapan dari pembangunan perguruan tinggi tersebut, yang pertama adalah membuat terobosan dalam pola didik dengan mengedepankan materi-materi keislaman yang moderat, yang sesuai dengan Pancasila, dan yang kedua, ingin melahirkan ilmuwan seperti pakar sains zaman dahulu seperti Ibnu Sina dan dari bidang kedokteran Ibnu Rusyid yang juga seorang filsuf. Harapan tersebut dapat terwujud karena gagasan ini merupakan salah satu model alternatif bagi dunia dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam itu diimplementasikan. 12 MERSELA | Edisi Desember 2015 “Kita ingin menunjukkan pada dunia melalui perguruan tinggi ini bagaimana nilai-nilai Islam itu diterapkan. Islam yang kita maksud adalah Islam yang rahmatan lil ’alamin. Islam yang moderat, Islam yang sejak ratusan tahun yang lalu didakwahkan oleh para juru dakwah kita dengan penuh kearifan. Jargon-jargonnya kalau kita lihat di lapangan, dai-dai kita itu’kan selalu mengatakan kita itu harus merangkul jangan memukul, kita harus mengajak jangan mengejek. Ungkapan-ungkapan kita harus ramah, jangan marah adalah ungkapanungkapan yang banyak sekali disampaikan oleh para dai-dai kita di lapangan, di daerah daerah, di kampungkampung, dan itulah warna corak Islam yang memang rahmatan lil ’alamin, yang memanusiakan manusia. Islam yang dengan rendah hati bisa duduk bersamasama di tengah-tengah keragaman. Bukan Islam yang merasa jumawa dan merasa dirinya yang paling benar lalu memutlakkan kebenaran itu, memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak lain yang berbeda dengan dirinya, harus sama dengan dirinya. Apalagi upaya pemaksaan itu dengan penggunaan cara-cara kekerasan, misalnya seperti yang dilakukan di tempattempat lain,” papar Lukman. Intinya adalah Indonesia ingin memberitahukan kepada dunia bahwa Islam rahmatan lil ’alamin. Islam yang berkembang di Indonesia sejak ratusan tahun lalu adalah Islam yang penuh kedamaian, Islam yang bisa juga kompatibel, cocok dan sesuai dengan tuntutan demokrasi, Islam yang menghormati hakhak asasi manusia, dan Islam yang penuh toleransi hidup di tengah tengah keragaman. Itulah yang ingin ditawarkan kepada dunia. Bila gagasan tersebut telah terlaksana maka anggapan Islam yang identik dengan terorisme dan radikalisme dapat dipatahkan. Pada era globalisasi ini muncul paham-paham yang mengatasnamakan Islam tetapi sesungguhnya ajaran dan paham tersebut bertolak belakang dengan substansi atau esensi Islam itu sendiri. Islam yang rahmatan lil ’alamin, Islam yang sesungguhnya memanusiakan manusia, Islam yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat derajat kemanusiaan, dan bukan sebaliknya, yang justru memunafikan kemanusiaan, menumpahkan darah antar sesama hanya karena perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya tidak terlalu prinsipil. “Terorisme itu perilaku ekstrem, merasa hanya dirinyalah yang paling benar, lalu memutlakkan kebenaran yang ada pada dirinya dan memaksakan orang lain harus ikut dengan dirinya, apalagi dengan Selain membangun sebuah universitas Islam yang bertaraf internasional, persiapan-persiapan yang sedang dilaksanakan Kementerian Agama untuk menjadikan Indonesia siap menjadi pusat Islam moderat di dunia, khususnya ketika negara-negara di Timur Tengah sedang dilanda sejumlah konflik adalah pertama, di jalur pendidikan, terus mengembangkan pesantren-pesantren karena pesantren adalah lembaga pendidikan khas Indonesia yang sangat tua, lalu mengembangkan madrasah-madrasah. Kedua, memperkuat ormas-ormas keagamaan dan memperkuat legislasi, yaitu RUU tentang perlindungan umat beragama sesuai amanah konstitusi pasal 29 ayat 2. Ada jaminan perlindungan, kemerdekaan untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama. “Kita sedang memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap propinsi, dan kabupaten/ kota. Serta melakukan penguatan forum kerukunan umat beragama yang terdiri dari wakil-wakil majelis agama. Merekalah yang kemudian berkomunikasi antar tokoh-tokoh beragama yang ada di suatu daerah untuk bagaimana bisa menjembatani potensi konflik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan persoalan agama,” terang Lukman. Selanjutnya menurut Lukman, yang akan dipromosikan dan dikampanyekan adalah toleransi. Seringkali toleransi ini disalahpahami, dinilai sebagai upaya untuk mencairkan kekakuan sehingga keimanan semakin menjadi lemah, goyah karena menganggap semua agama itu sama. Padahal semestinya toleransi adalah kesediaan diri untuk menghargai dan menghormati perbedaan yang dimiliki pihak lain. (PI) DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI cara-cara kekerasan. Inilah yang harus disikapi karena tindakan ekstrem, praktek-praktek teroris seperti ini yang merusak Islam dan persepsi orang akan Islam, maka munculah Islamophobia. Orang lalu menjadi takut dengan Islam karena Islam yang dibayangkan dan dipersepsikan adalah Islam yang seperti itu, sementara di Indonesia Islam tidak seperti itu. Inilah yang ingin disumbangkan kepada dunia,” ujar Lukman. Keislaman dan Kebangsaan Tidak Dapat Dipisahkan Sebagai orang yang lahir dari lingkungan para tokoh yang Islami, seperti pendiri organisasi Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB), Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain, bagi Gubernur NTB, Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A (Tuan Guru Bajang) konsepsi Islam dapat digambarkan dalam 3 ilustrasi, yaitu: Pertama, Nahdlatul Wathan (NW) terdiri dari 2 (dua) suku kata, nahdlatul: kebangkitan, wathan: tanah air. Perjuangan Islam itu bernuansa kebangsaan dan keislaman. Keislaman di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari kebangsaan. Tidak ada kesulitan bagi kalangan santri dan masyarakat umum untuk memahami pokok ajaran agama, tidak ada pertentangan antara nasionalisme dan Islam. Dengan konsepsi NW tidak ada ketegangan, yang ada adalah upaya membangun masyarakat. Kedua, Tuanku Guru Fasial Syahid yang meninggal dalam era perjuangan, sebagai tokoh Islam pertama yang wafat dengan berjihad dan dimakamkan di Taman Makam Rinjani. Jihad dalam konteks kekinian adalah mencerdaskan masyarakat melalui ilmu. Oleh karena itu nilai Islam itu tidak pernah hampa dari sisi ruang dan waktu, ruang: Indonesia, masa: dulu, Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A Gubernur NTB sekarang dan masa yang akan datang. Ketiga, Karyakarya ulama dan pujangga di saat itu berupa lagu-lagu perjuangan dalam berbagai bahasa, yaitu Indonesia, Arab dan Sasak. Hal ini menunjukkan patriotisme masyarakat NTB sebagai simbol persatuan. Oleh karena itu dari ketiga ilustrasi tersebut dapat digambarkan bahwa keislaman dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan. Bagi masyarakat NTB, konsepsi Islam adalah Islam yang cinta kepada bangsa dan negara, yang menghormati kontrak sosial yang ada. Berdasarkan pengalamannya di tahun 1992 ketika melanjutkan program S1, yang kemudian dilanjutkan MERSELA | Edisi Desember 2015 13 LIPUTAN UTAMA dengan program S2, dan pada tahun 2002 dilanjutkan program S3 di Al Azhar, menurut Zainul Majdi ilmu-ilmu yang diterimanya selama kuliah di sana dalam rangka memperkaya konsepsi Islam secara komprehensif memberinya pengaruh positif. Baginya, tidak dapat dibantah bahwa keterlibatan NW untuk NTB merupakan fardlu ain. Semangat itu pula yang melatarinya menjadi gubernur. “Pengabdian saya sebagai gubenur merupakan ibadah yang sangat besar,” ucap Zainul Majdi. Selain itu pula, baginya, nilai menjadi pondasi. Di Cairo, Al Azhar menjadi kiblat, sebagai tempat pemikiran Islam yang berkembang secara dinamis. Terdapat inklusivitas, ada ruang, sikap, pikiran atau tindakan yang open minded sehingga gagasan radikal sulit berkembang di sana. Sedangkan dalam era globalisasi ini Indonesia tidak dapat menutup diri dari pemikiran dari luar, harus selalu memegang teguh nilai original, dan sikap-sikap nilai ulama tetap menjadi pedoman. Pada tahun 2008, terjadi black campaign ketika Zainul Majdi mencalonkan diri menjadi Gubernur NTB, daerah tersebut akan menjadi Islami, tetapi pada kenyataannya sampai saat ini tidak terbukti. Yang terjadi adalah Islam yang mengayomi, dan sektorsektir ekonomi rakyat saling melengkapi. Sehingga, dalam ajang bergengsi di bidang pariwisata World Halal Travel Summit 2015 yang diselenggarakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Oktober 2015, NTB meraih 2 predikat sekaligus, yaitu World’s Best Halal Honeymoon Destination dan World’s Best Halal Tourism Destination. Ketika menghadiri Konferensi Internasional Dunia Islam yang diselenggarakan oleh World Moslem League di Mekkah, dengan tajuk “Islam dan Penanggulangan Terorisme” tanggal 22-25 Februari 2015, Zainul Majdi ikut ambil bagian. Perannya dalam konferensi tersebut adalah dengan memberi penegasan pada dunia bahwa Islam jauh dari terorisme, menjelaskan kepada pihak dalam dan luar negeri bahwa Islam itu adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Hasil dari konferensi tersebut perlu dibicarakan secara massive tentang peran Islam melawan terorisme, pentingnya dialog lintas agama, serta inward looking berupa koreksi internal dan penanaman nilai-nilai yang diteladani kepada umat Muslim di seluruh dunia. Menurut Zainul Majdi, Indonesia mempunyai tanggungjawab sejarah, Islam Indonesia saatnya menjadi produsen pemikiran untuk ditawarkan kepada 14 MERSELA | Edisi Desember 2015 dunia karena Islam Indonesia Islam Assalam, yaitu hidup dengan damai, Islam yang harmonis, meskipun terdiri dari ratusan pulau, etnis, 6 (enam) agama yang berbeda tetapi dapat hidup secara berdampingan dan harmonis. Saling membunuh di luar negeri tidak perlu ditiru. Kejadian di Timur Tengah tidak semuanya buruk. Untuk mewujudkannya, melalui pendidikan secara kultural dan struktural, Islam yang tasamuh, rahmatan lil ‘alamin. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Menteri Agama menyuplai konsepsi tersebut. Sementara, Kemendikbud menanamkan nilai-nilai modernisasi Islam. Dinamika apa pun, kondisi apa pun penegakan terhadap nilai Islam yang moderat harus terus disuarakan. Toleransi clear hanya untuk hal muamalah, aqidah tidak boleh, tidak ada nego, muamalah harus saling menghormati, melihat non Muslim di-bully harus dibela. ”Toleransi memastikan agar keadilan dan penghormatan terhadap agama lain tanpa harus gadaikan agama kita sendiri,” ucap Zainul Majdi. NTB siap menjadi menara mercusuar untuk menyampaikan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Jalur yang penting adalah transformasi melalui pendidikan. Zainul ber-husnudzon, saat ini proses transformasi melalui jalur pendidikan sedang berjalan melalui majelisnya masing-masing. Salah satu majelis yang cukup signifikan dalam berperan mentransformasi pendidikan, yaitu Majelis Rasulullah di Jakarta. Proses yang sedang berjalan, yang perlu di-massivekan menurut Zainul Majdi adalah kebijakan dari Kementerian Agama yaitu promosi konsepsi dalam pengajaran agama lain pun harusnya berperan sama. Selanjutnya, kiblat pada saat shalat hanya satu tetapi kiblat intelektual Islam ada banyak karena adanya sistem pendidikan yang baik dan solid. “Kita ingin dunia Islam mengakui keunggulan Islam Indonesia, tidak ada jalan lain dengan menunjukkan konsepsi hal-hal baik dalam Islam, nilai strategis untuk Islam, melalui pemikiran dari nilai-nilai Islam yang diterapkan di Indonesia. Di Mesir ada Universitas Al Azhar, dimana para cendekiawan di sana sangat produktif menghasilkan tulisan yang implementatif,” ungkap Zainul. Keinginan pemerintah untuk membangun perguruan tinggi Islam moderat bertaraf internasional, menurutnya sangat baik dan tepat dan umat Islam. Dalam membangun, expertist dari Saudi Arabia, Maroko, Tunisia, Mesir, dan Malaysia hanya sebagai bahan pelengkap. Bahan utama adalah pilar dan pondasi nilai keislaman Indonesia. Zainul Majdi merasa optimis bahwa pendirian perguruan tinggi Islam moderat bertaraf internasional di Indonesia akan menjadi titik tonggak milestone dari upaya terwujudnya Indonesia sebagai kiblat Islam moderat dunia. (PI/GS) DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI untuk membangun sebuah institusi yang excellent untuk pengajaran Islam yang terbaik, dan memberi konstributif bagi peradaban dunia. Perguruan tinggi Islam moderat bertaraf internasional tersebut diharapkan dapat menjadi sebuah wadah untuk mewujudkan konsepsi tersebut. Sedangkan pihak yang diharapkan dapat mengakselerasinya adalah Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, tokoh umat Islam yang baik, cendekiawan, Indonesia Terapkan Model Islam Terbaik Inisiatif pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai kiblat pemikiran Islam mendapat dukungan penuh dari seorang tokoh yang sudah sangat berpengalaman dengan dunia Timur Tengah. Menurut Utusan Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), DR. Alwi Shihab Indonesia dapat mewujudkannya karena negara ini memiliki model Islam terbaik. “Indonesia yang mempunyai penduduk beragama Islam terbesar di dunia dapat menjadi sorotan dunia Islam karena Indonesia menerapkan Islam dengan model yang terbaik, yaitu Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ucap Alwi. Menurut Alwi, gejolak yang saat ini terjadi di dunia Islam tak lepas dari keinginan Barat yang berambisi melemahkan posisi umat Islam karena mereka menyadari betul kekuatan Islam. Hal ini berdasarkan kesimpulan alami dan berbagai realita yang ada. Campur tangan Barat dengan berbagai alasan menyebabkan negara-negara Islam lemah dan kehilangan kedaulatannya. Namun, Alwi mengkritik umat Islam itu sendiri. Mereka membiarkan kelompok radikal menyebar di negara mereka mengatasnamakan agama, mereka tidak berupaya keras memberikan pencerahan dan penyadaran untuk warga mereka sendiri. “Di Indonesia, juga ada kelompok ekstrem, tetapi kita sangat tegas menghadapinya,” ungkap tokoh yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri ini. Selain itu, lanjut Alwi, perbedaan mazhab dan sektarianisme di Timur Tengah masih sangat kental. Masing-masing golongan berupaya menunjukkan siapa yang paling benar, sehingga semua berjalan sendirisendiri tanda ada kesepakatan. Maka yang terjadi adalah mereka berlomba-lomba menjadi penguasa. Seperti DR. Alwi Shihab Utusan Presiden untuk Timur Tengah dan OKI konflik Sunni-Syiah di Yaman, yang menyebabkan perang tak terelakan. Dengan kondisi negara-negara Timur Tengah yang dipenuhi konflik saat ini, maka pemahaman Islam di Indonesia menjadi sangat menarik untuk dijadikan role model. Meskipun banyak penduduk yang beragama Islam, tetapi kebebasan beragama tetap terjamin. “Indonesia sesungguhnya dapat menjadi reklame yang ditonjolkan untuk dunia luar. Dengan keragaman yang dimiliki di Indonesia, negara ini mampu menjaga toleransi beragama, yang belum tentu dimiliki negaranegara lain. Tokoh-tokoh Muslim Indonesia juga harus memainkan peranannya dalam mempertahankan Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ujar Alwi. Selanjutnya Alwi menjelaskan, konsep Islam Al Wasathiyyah tidak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga diterapkan oleh para Syeikh dari Universitas Islam terbesar di Mesir, Universitas Al-Azhar. Universitas ini dianggap sebagai gerbang utama dunia melawan terorisme, melalui pemikiran moderat, sesuai dengan konsep Wasathiyyah. Konsep ini mengedepankan perdamaian dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan Islam. Tidak mudah mengkafirkan golongan MERSELA | Edisi Desember 2015 15 DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS LIPUTAN UTAMA yang bukan bagiannya. Sementara di beberapa negara Timur Tengah, masih banyak terdapat perbedaan antara Sunni-Syiah, perbedaan mazhab, aliran garis keras, pemikiran-pemikiran yang ekstrem, saling membunuh, dan sebagainya. Banyak gerakan radikalisme dan terorisme menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam. Padahal, sesungguhnya Islam adalah agama yang bernapaskan cinta dan damai. Inti dari ajaran Islam adalah cinta dan identik dengan perdamaian. “Sepuluh tahun lalu bangsa Indonesia tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikal, terutama ISIS. Mereka telah mencederai Islam bahkan menjadi ancaman nyata, dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah. Untuk menangkal gerakan mereka, kita tidak boleh tinggal diam,” ucap Alwi. Alwi melihat ISIS memang sebuah realita, tapi itu hanya gejala, bukan penyakitnya. Penyakitnya adalah ideologi. Indonesia dapat mengatasi masalah tersebut karena kehadiran dua kelompok besar Muslim di Indonesia yang saling melengkapi dan mengimbangi, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Alwi mengakui di luar negeri masih ada yang menganggap Islam Indonesia sebagai radikal. Padahal Islam Indonesia adalah cinta dan damai. Citra kekerasan ini harus diubah umat Islam menjadi Islam yang toleran dan damai. Oleh karena itu, ia mengajak umat Muslim di Indonesia untuk bertanggung jawab sebagai Muslim dengan mempromosikan dan mendidik anak-anak mereka untuk memahami Islam yang sebenarnya, Islam yang cinta damai dan tidak mengajarkan aliranaliran radikal. Terkait keinginan pemerintah agar Indonesia dapat memainkan peran penting dalam dunia Islam, menurut Alwi, pemerintah dapat melakukan usaha melalui pendidikan yang benar-benar sesuai dengan apa yang diperlukan. Usaha pemerintah membangun perguruan tinggi Islam bertaraf internasional, merupakan prakarsa yang harus didukung oleh seluruh pihak baik moril maupun materil, terutama oleh umat Muslim di seluruh Indonesia. Walaupun diperlukan persiapan yang matang dalam jangka panjang, Alwi meyakini rencana pembangunan perguruan tinggi tersebut dapat dilaksanakan dengan membuka jaringan seluas-luasnya. Menentukan siapa calon-calon pendidik yang kompeten dan siap ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya. Misalnya, siapa yang bertanggung jawab dalam pembangunan 16 MERSELA | Edisi Desember 2015 fisik, siapa yang bertanggung jawab dalam substansi. Kendala Wapres menyampaikan pembangunan sudah pasti ada sambutan pada karena memerlukan lokasi dan acara Pembukaan waktu yang cukup panjang. International Conference Terrorism “Solusinya dengan menentukan & ISIS, di Jakarta dari awal siapa mengerjakan apa. Langkah-langkah yang harus diambil, baik langkah utama maupun langkah pendukung. Dan pemerintah sangat berkompeten untuk mewujudkan universitas tersebut,” tutur Alwi bersemangat. Menurut Alwi, Ka’bah, Masjidil Haram yang di Mekkah, Masjidil Nabawi yang di Madinah dan Masjidil Aqsa, memang identik sebagai kiblat Islam untuk ibadah, dan juga Universitas Al-Azhar sebagai pusat pemikiran Islam. Namun, kini Indonesia yang berada di kawasan Asia juga bisa menjadi kiblat pemikiran Islam dengan dibangunnya perguruan tinggi bertaraf internasional. Selain itu, dapat didukung dengan berkontribusi secara positif dan aktif mempromosikan Islam yang mencerminkan suasana dan karakter pengikutnya yang baik, terciptanya persaudaraan antar umat, dan saling menghormati. Alwi pun juga akan mendukung mewujudkan Indonesia sebagai kiblat pemikiran Islam. Melalui posisi dan pengalaman yang dimilikinya, Alwi akan berkontribusi dengan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh dari Timur Tengah. “Melalui jaringan yang saya miliki, saya dapat mencari SDM yang diperlukan, misalnya pengajar-pengajar dari Timur Tengah dan luarnya,” pungkas Alwi. (SK) DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Islam Indonesia – Islam Wasathiyyah untuk Rahmatan lil ’Alamin Indonesia dapat menjadi kiblat pemikiran Islam dunia karena Indonesia dihormati negara-negara Islam atau negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang tidak berdasarkan Islam. Hal ini menjadi pandangan Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. Menurutnya, pendapat ini didasari beberapa faktor. Pertama, Indonesia negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Kedua, pemikiran dan praktek tradisi Islam Indonesia adalah Islam moderat sehingga Islam Indonesia disebut sebagai Islam Wasathiyyah, yang dalam bahasa Inggris disebut ‘justly balanced Islam’, Islam jalan tengah yang berimbang, Islam yang umatnya tidak radikal; tetapi Islam yang umatnya itu disebut di dalam al-Quran sebagai umatan wasathan (umat jalan tengah), selalu bersifat tawazun (seimbang atau adil) dan tawasuth (selalu di tengah, tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri). “Dengan karakter Islam yang Wasathiyyah, Indonesia sangat dihormati kaum Muslimin mancanegara, karena sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia aman dan damai. Aman, umat Islamnya tidak ribut, tidak ada sektarianisme yang sangat menyalanyala seperti di banyak negara Muslim Timur Tengah atau Asia Selatan, yang membuat kelompok-kelompok Islam berkelahi terus menerus bahkan berlanjut dengan perang. Jadi dengan Islam Wasathiyyah itu, Indonesia menjadi negara yang stabil secara politik, sehingga dapat melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Meskipun masih banyak warga kita yang miskin, tetapi Indonesia menjadi negara yang sedang bangkit, emerging country. Hasilnya, di Indonesia juga terus bangkit dan tumbuh kelas menengah; kelas menengah Muslim juga makin banyak. Oleh karena itu Indonesia disegani, dihormati negara-negara lain,” ucap Azyumardi. Ketiga, Indonesia itu tidak agresif; tidak mencari musuh. Agresif dalam artian ketika membina hubungan luar negerinya, Indonesia selalu menekankan pada pendekatan yang akomodatif, tepo seliro, dan tenggang rasa. Sekarang ini, dunia membutuhkan Islam Wasathiyyah Indonesia, karena bila melihat negara-negara Islam di Timur Tengah, saat ini terus Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah mengalami instabilitas politik, bertikai, dan berperang. Negara seperti Yaman, Syria, Irak, Mesir, Tunisia, dan Libya, bergejolak terus dan melibatkan pertikaian di antara berbagai kelompok Islam dan pemerintah. Indonesia diharapkan dapat memainkan peran lebih aktif untuk memediasi kelompok-kelompok bertikai tersebut. Eropa dan Amerika pun memerlukan Islam yang Wasathiyyah karena mereka menghadapi masalah dengan segelintir orang Islam atau keturunan orang Islam yang menetap di sana. Seperti anak-anak muda di Inggris keturunan India atau Pakistan, mereka fasih berbahasa Inggris karena British-born, lahir di Inggris, tetapi dengan mudah ikut bergabung ke ISIS. Amerika Serikat dan Kanada juga mencoba mengembangkan dan menerapkan Islam Wasathiyyah, misalnya dengan memperkenalkan berbagai kearifan lokal Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan. Menurut Azyumardi, konsep Islam Wasathiyyah tersebut muncul dari Indonesia. “Saya belum pernah mendengar munculnya secara solid dari Timur Tengah baik dalam konsep maupun praktek. Sesungguhnya konsep Islam Wasathiyyah di Indonesia itu sendiri sudah diperkenalkan Pak Tarmizi Taher (alm) pada 1996 ketika beliau menjabat Menteri Agama. Beliau menulis buku tentang Islam Wasathiyyah Indonesia yang dalam bahasa Inggris berjudul Aspiring for the Middle Path yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Islam Wasathiyyah menemukan momentumnya ketika radikalisasi meningkat di kalangan kaum Muslimin, baik di Asia Selatan dan Timur Tengah setelah peristiwa 11 September 2001 di AS, maupun di Indonesia, setelah peristiwa pemboman Bali tahun 2003. Kemudian, konsep Islam Wasathiyyah itu kembali diingatkan dan didengungkan belakangan ini supaya umat Islam menyadari bahwa kaum Muslimin itu seharusnya memahami dan mempraktekkan Islam MERSELA | Edisi Desember 2015 17 LIPUTAN UTAMA Wasathiyyah. Jadi jangan main bom, main kekerasan; coba selesaikan masalah dan konflik secara damai,” jelas Azyumardi. Azyumardi menekankan, sesungguhnya upaya menanamkan pemahaman dan praktek Islam Wasathiyyah itu harus melibatkan tiga lokus pendidikan. Pertama, dimulai dari keluarga. Ayah dan ibu dalam rumahtangga harus mengajari anakanaknya dengan pemahaman dan pengamalan Islam Wasathiyyah. Islam tidak ekstrem, yang mengarahkan mereka untuk bersikap inklusif, akomodatif, dan toleran terhadap berbagai perbedaan baik sesama Muslim maupun dengan non Muslim. Hal ini bisa dimulai dari hal kecil, misalnya bila nonton TV bersama, jika ada orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam, orangtua harus langsung menjelaskan, mengarahkan anak bahwa tindakan seperti itu bukan tindakan yang diajarkan Islam. Islam itu sendiri artinya damai. Oleh karena itu bila ada perbedaan jangan main hakim sendiri. Halhal seperti itu dapat dimulai dari rumah tangga. Kedua, lingkungan sekolah. Menurut Azyumardi, sekolah lebih sistematis dalam proses pembelajaran karena terdapat kurikulum, guru, fasilitas dan sebagainya. Bila dipandang dari sudut kurikulum dan silabus, sebetulnya Pelajaran Agama Islam (PAI) telah mengajarkan Islam Wasathiyyah; hanya perlu disempurnakan terus menerus. PAI sering terlalu normatif, tidak dikontekstualisasikan dengan Indonesia. “Karena kita perlu memberikan pelajaran pemahaman kepada murid-murid kita di sekolah, misalnya cinta tanah air itu bagian dari iman—hubbul wathan minal iman. Oleh karena itu jangan kita lebih mencintai tanah air yang lain, orang-orang Islam lain di tempat lain. Kita sering sangat terpesona pada orang Islam lain, katakanlah Muslim Arab, sehingga segala sesuatu yang berbau Arab kita anggap itulah Islam paling baik. Padahal tidak begitu. Kita patut juga mengatakan pertama-tama kita lahir sebagai orang Indonesia, lahir sebagai orang Minang, sebagai orang Sunda, atau sebagai orang Jawa. Setelah kita atau anak laki-laki kita diadzankan oleh ayah kita, atau anak perempuan kita setelah diiqamatkan oleh ayah kita, barulah kita secara ‘resmi’ menjadi orang Islam. Hal ini yang tidak dipahami oleh banyak orang, bahwa kita tidak otomatis lahir langsung jadi Islam, walaupun memang keturunan orangtua Muslim,” papar Azyumardi. Di sekolah-sekolah, para pengajar atau guru pun harus diberikan pemahaman yang benar mengenai Islam 18 MERSELA | Edisi Desember 2015 Wasathiyyah, karena ada pula guru-guru yang orientasi ideologisnya lain, misalnya tidak mau menghormati Pancasila, dan bendera merah putih, tidak menerima NKRI dengan sebaliknya menyerukan pembentukan khilafah atau Daulah Islamiyyah. Hal tersebut karena mereka dirasuki faham-faham transnasional dari Timur Tengah atau Asia Selatan atau lainnya. Ketiga, adalah masyarakat. “Masyarakat ini lingkungan mesjid, mushala, ormas, Karang Taruna dan sebagainya. Kita harus memastikan orang yang memberi ceramah atau mengajar di sana itu tidak mengajarkan paham radikal asal Timur Tengah atau orientasinya ke Timur Tengah. Kita harus memastikan penceramah atau khatib itu adalah orang-orang yang paham Islam Wasathiyyah yang bisa mensosialisasikan paham Wasathiyyah, dan sekaligus tahu cara mempraktekan Islam Wasathiyyah,” ucap Azyumardi. Peran Kementerian Pendidikan Kebudayaan serta Kementerian Agama belum ada atau masih belum signifikan dalam memberikan penataran bagi guruguru. Meskipun ada tetapi tidak sistematis. Dari anggaran yang ada mungkin telah dibuat hal seperti itu, tetapi tidak sistematis. Seperti layaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada jenjang pelatihan sebelum naik pangkat guru-guru perlu diberi pelatihan dan perspektif kebangsaan atau keindonesiaan. Untuk itu, terdapat pelatihan mengenai nasionalisme, kebangsaan, dan 4 pilar atau 4 prinsip dasar, Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi semacam UIN, hal tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari, yang diselenggarakan melalui bentuk seminar dan konferensi. Tapi tetap saja dibutuhkan sosialisasi bagi para mahasiwa dan dosen secara keseluruhan. ”Oleh karena itu, mungkin bagi orang-orang Islam yang berpikir secara harfiah, UIN atau IAIN itu dianggap progresif. Atau bahkan ada yang menuduh liberal, karena mengajarkan Islam yang tidak rigid, tidak kaku, tetapi Islam yang ramah, yang visioner, Islam moderat, Islam yang mudah-mudahan rahmatan lil ‘alamin. Cuma di banyak perguruan tinggi umum yang lain belum. Sebetulnya sangat mendesak untuk dilakukan, terutama bagi student leaders, baik di tingkat fakultas maupun jurusan juga harus dilakukan. Anak-anak muda ini dalam pencarian diri. Kalau dalam pencarian diri itu ada orang yang memompa mereka dengan paham radikal, itu mempermudah mereka bisa terekrut. Oleh karena itu, selain guru-guru yang harus ditatar mengenai Islam Wasathiyyah, para dosen juga. Sebagian dosen, terutama dalam ilmu eksakta atau ilmu alam, ada yang berpikir tentang Islam secara hitam putih. Sesuai dengan ilmunya, ilmu-ilmu alam yang sifatnya hitam putih. Padahal agama itu tidak hitam putih. Di dalam Islam tidak hanya ada wajib dan haram tetapi juga mubah boleh dikerjakan atau tidak, makruh dan lain-lain,” tegas Azyumardi. Terhadap rencana pemerintah untuk mendirikan perguruan tinggi negeri Islam bertaraf internasional sebagai implementasi Indonesia menjadi kiblat pemikiran Islam di dunia, menurut Azyumardi rencana tersebut bagus tetapi harus serius dan berkelanjutan meskipun pemerintahan nanti datang silih berganti. “Supaya kalau berganti pemerintahan, pemerintahan yang akan datang empat tahun lagi tetap memiliki komitmen sehingga Universitas Islam Internasional itu tidak hanya ada semangatnya saja sekarang tetapi nanti tidak lagi,” saran Azyumardi. Ia melanjutkan, Indonesia mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membangun universitas seperti itu. SDM Indonesia kini jauh lebih memadai. Masalahnya bila ingin universitas tersebut maju harus diberikan otonomi luas. Tidak dipersulit dalam membuat program study dan mengembangkan kurikulum. Perguruan tinggi di luar negeri dapat maju, selain karena fasilitasnya memadai tetapi juga diberikan kebebasan otonomi. Hal ini harus menjadi perhatian Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Tenaga pengajar di Indonesia melimpah tetapi tetap memerlukan tenaga dari luar agar terjadi pertukaran keilmuan. Mengapa? Pertama, bila terdapat pengajar dari Timur Tengah, dosen di Indonesia hendaknya melakukan pertukaran keilmuan dari ilmu yang dibawanya, begitu pula sebaliknya. Selain itu, juga terjadi pertukaran sosial budaya. Jadi dosen tamu dari Timur Tengah, Amerika, Australia, dan Eropa sangat penting, karena ilmu pengetahuan itu bisa maju kalau terjadi interaksi antara ilmuwan, antara akademisi, antara scholars. “Interaksi semacam itu mempercepat pertumbuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Itu perlu, perlu sekali. Kalau bisa tiap semester selalu ada yang namanya visiting professor. Terutama dari Timur Tengah, seleksilah yang kita cari, profesor atau doktor yang Wasathiyyah bukan yang radikal,” tutur Azyumardi. Kedua, Membuat jaringan. Karena dengan mempunyai jaringan yang luas, perguruan tinggi bisa terangkat ke tingkat yang diakui berkelas dunia. Jadi dosen-dosen tamu, guru besar tamu itu penting dalam rangka membangun jaringan, di mana jaringan itu perlu untuk mengakselerasikan pencapaian perguruan tinggi menjadi bertaraf internasional. Kementerian Keuangan harus mendukung rencana ini. Tidak boleh kaku dalam melakukan pemberian fasilitas misalnya gaji bagi tenaga pengajar ataupun dosen tamu dari luar. Selain itu harus lebih fleksibel dalam hal membiayai, mendanai program-program, termasuk memfasilitasi untuk mendatangkan satu atau dua orang profesor dari luar setiap semester. Kiblat pemikiran itu jauh lebih dinamik. Hanya sayangnya, para sarjana Indonesia tidak menulis dengan bahasa internasional, terutama dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Padahal banyak menulis dengan bahasa internasional membuat dikenal di dunia dan terjadilah internasionalisasi para sarjana kita. Dari sudut kapasitas kemampuan, sarjana Indonesia tidak kalah dengan sarjana luar. Untuk mengubah pola pikir dunia, mereka harus aktif menulis, lebih sering datang ke konferensi di dunia, dan pemerintah pun harus lebih giat mengirim mereka ke luar negeri, menjadi visiting fellow di Eropa ataupun Australia dan sebagainya. “Indonesia harus melangkah lebih jauh lagi mensosialisasikan Islam Wasathiyyah, mempromosikan sarjana-sarjana yang ahli, misalnya kalau yang lulusan Timur Tengah, seperti tamatan Arab Saudi atau Mesir itu bisa dikirim pemerintah Indonesia untuk mengajar 3 bulan atau 2 semester di Al-Azhar atau di perguruan tinggi lain di Timur Tengah,” saran Azyumardi. Pengalaman dalam mengelola universitas, dalam manajemen, dan jaringan yang luas menjadi kontribusi Azyumardi bagi terlaksananya Perguruan Tinggi Islam internasional. Pengalaman mencari dana, mengembangkan kurikulum, merekrut dosen tamu dapat disumbangkannya. Selain itu pula pengalaman keilmuan sebagai akademisi. “Jadi dari sudut itu, pengalaman saya, kemampuan saya, keahlian saya dalam bidang keilmuan, saya kira itu bisa juga menjadi kontribusi untuk mengembangkan perguruan tinggi ini. Tidak hanya Perguruan Tinggi Islam internasional saja tetapi juga Perguruan Tinggi lain,” pungkasnya. (SK) MERSELA | Edisi Desember 2015 19 DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS LIPUTAN UTAMA Saatnya Agama Bekerjasama Membangun Peradaban Islam dan Kristen adalah agama misionaris, yang melewati batas-batas etnis wilayah budaya dan berkembang transnasional bahkan mengglobal. Dua agama tersebut mempunyai sejarah panjang, dan semakin berkembang justru ketika keluar dari tempat kelahirannya, Timur Tengah. Agama Kristen berkembang di Eropa dan Amerika, sedangkan agama Islam berkembang saat keluar dari jazirah Arab, seperti ke Persia, Mesir dan Indonesia, bahkan sekarang ke berbagai belahan dunia. Sehingga, menurut Prof. DR. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah (2006-2015), pengaruhnya dapat dilihat dewasa ini. Pertama, bahwa perjumpaan antar pemeluk agama itu semakin intensif, tidak dapat dielakkan. Hal tersebut akan menimbulkan orang yang tidak siap menghadapi pluralisme perjumpaan, akan menyikapinya dengan curiga, konflik dan kebencian, serta orang yang bersikap inklusif, toleran, dialogis sehingga akan memperkaya wawasan. Kedua, karena umat beragama itu tidak dapat lepas dari pergaulan dengan agama lain. Jadi agama Islam dan Kristen mau tidak mau harus masuk pada pergaulan global yang plural. Ketiga, karena agama itu pemeluknya cukup militan. Berbagai konflik disebabkan karena agama tetapi di sisi lain pemeluknya juga menuntut kontribusi agama pada pembangunan, peradaban bangsa dan negara di dunia ini. “Oleh karena itu sekarang, yang namanya Paus Vatikan pun juga bicara perdamaian, bicara politik. Jadi agama itu mempunyai tanggung jawab moral peradaban pada dunia. Jangan agama itu sibuk konflik dengan dirinya. Itu sudah berlalu. Saatnya sekarang ini kerjasama karena problem manusia ini tidak bisa dipecahkan oleh satu kelompok negara saja, harus kerjasama, sebagaimana tidak bisa diselesaikan oleh satu agama saja,” ucap Komaruddin. Agama hendaknya melakukan kerjasama untuk membangun peradaban, bukannya saling konflik seperti yang terjadi di Timur Tengah. Konflik, radikalisme, terorisme yang selalu terjadi, padahal agama apapun, apalagi Islam, seharusnya memberikan kontribusi peradaban. “Tapi sekarang ini saya sangat sedih, mengapa terjadi konflik antar penguasanya, pimpinannya? Yang menyedihkan lagi, rakyat yang menderita meminta suaka perlindungan ke Eropa itu bukan Muslim. Suasana yang sesungguhnya membuat 20 MERSELA | Edisi Desember 2015 Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2006-2015 malu karena Islam seharusnya perdamaian,” ungkap Komaruddin. menciptakan Bersyukurlah sebagai bangsa Indonesia, meskipun pengaruh-pengaruh tersebut selalu sampai tetapi karena letak Indonesia yang jauh secara geografis dan paham Islamnya yang moderat, maka imbas konflik di Timur Tengah tersebut tidak begitu besar. Namun karena gerakan agama itu transnasional sehingga harus selalu direspon agar tidak bisa membesar pengaruhnya. Untuk mengatasi konflik, Indonesia sudah jauh lebih matang dibanding negara-negara Timur Tengah. Belum lagi dalam mengatasi terorisme keagamaan, Indonesia termasuk berhasil. Oleh karena itu hendaknya umat Islam Indonesia dapat memberikan perhatian, kontribusi, inspirasi pada dunia Islam. “Bahwa Islam itu pro-peradaban, Islam itu damai, dan lebih dari itu Indonesia mempunyai pengalaman yang unik, sehingga dunia Islam harus mengetahuinya, misalnya, Islam dan demokrasi. Ini khas pengalaman Indonesia. Mengapa? Ciri demokrasi adalah partisipasi gerakan masyarakat di luar negara. Di Indonesia dari dulu umat Islam itu bergerak. Pergerakan Muhammadiyah, NU, dan sekian ormas Islam ikut bergerak melawan penjajah untuk mendirikan republik, dan republik pun bukan negara Islam tetapi Pancasila. Ini adalah pengalaman yang khas, yang unik, yang dunia hendaknya tahu. Dunia Islam hendaknya tahu, bagaimana Islam Indonesia mempunyai pengalaman menghadapi keragaman etnis, budaya, agama dan isu-isu gender,” tegas Komaruddin. Pengalaman-pengalaman unik yang dimiliki Indonesia tersebut selama ini lebih banyak menjadi objek riset oleh orang luar, sehingga banyak ilmuwan dunia datang ke Indonesia untuk melakukan riset tentang DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS Wapres Jusuf Kalla mendengarkan penjelasan mengenai site plan pembangunan gedung Pascasarjana dan RS Islam Universitas Islam Malang (UNISMA) Islam Indonesia, sementara ilmuwan luar tesebut menjadi ahli Islam dan ahli tentang Indonesia, orang Indonesia justru belajar ke luar negeri pada ilmuwan asing yang ahli tentang Indonesia. Apakah Indonesia akan terus seperti ini? Tentu saja tidak. Inilah peluang bagi Indonesia untuk tampil mendirikan pusat kajian keislaman yang sekelas dunia, dengan tujuan untuk meningkatkan langit keilmuan perguruan tinggi Islam Indonesia. Adapun caranya dengan mengundang profesor ahli dari luar, dan mengundang mahasiswa dari seluruh dunia, perwakilan berbagai negara untuk mempelajari Islam dan Indonesia. Sehingga biarkan mereka yang belajar di luar negeri menjadi duta perwakilan, juru bicara Indonesia ke dunia. Banyak faktor yang memungkinkan hal ini terjadi. Pertama, Indonesia mempunyai pengalaman yang unik tentang kekayaan kebudayaan, peradaban sejarah, pengalaman politik, ekonomi, dan sejarah, yang selama ini ditulis orang banyak sekali dan belum habis-habisnya. Kedua, banyak profesor dan dosen dari luar yang tertarik ke Indonesia menjadi profesor dan dosen, begitu pula dengan mahasiswa asing yang ingin belajar ke Indonesia. “Jadi kalau dikumpulkan dan diberikan tempat, bahannya ada, mahasiswanya ada, dosennya ada. Ini akan mengangkat karena ilmu itu mempunyai jaringan kemana-mana. Ini kesempatan Indonesia untuk memberikan kontribusi pada dunia, pada dunia Islam, ini loh Islam Indonesia, Islam yang tumbuh di Indonesia yang diperkaya dengan peradaban Indonesia, yang memberikan kontribusi pada Indonesia dan Islam dalam membangun demokrasi, kerukunan, dan ketahanan. Bukan Islam yang memecah belah bangsa tapi keislaman yang di sini mempunyai kekuatan akan binding power, ini harus dijelaskan pada dunia, sebagai kontribusi tanpa mengurangi standar ilmiah akademis,” jelas Komaruddin. Pusat kajian keislaman yang sekelas dunia, yang menjadi keinginan pemerintah sebagai kontribusi Indonesia pada dunia Islam dan dunia akan direalisasikan melalui pembangunan sebuah Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) yang bertaraf Internasional. Perguruan tinggi negeri ini akan difokuskan pada S2 dan S3 karena selama ini peminat yang ingin melanjutkan S2 dan S3 di perguruan tinggi negeri di Indonesia kurang dan bukan perguruan tinggi Islam negeri yang terbaik, sehingga S2 dan S3 kiblatnya bukan lagi ke negeri asing. Yang menjadi standar kajiannya adalah TOEFL, bahasa, profesor, buku-buku, infrastruktur, perpustakaan, dan rasio mahasiswanya, Tim untuk pembangunan perguruan tinggi Islam tersebut sudah dibentuk, dengan Prof. DR. Komaruddin Hidayat sebagai ketuanya, dan dibantu oleh teman-temannya, tetapi nantinya akan melibatkan orang-orang yang mempunyai reputasi, pengalaman peduli membangun perguruan tinggi keilmuan bukan politik. “Nanti bayangan saya harus ada peraturan khusus, ada satu badan, badan pengelola pengawas, pembina. Dikti tidak cukup. Melibatkan Kementerian Agama, Kemenristek, Kementerian Luar Negeri, swasta, dan para ilmuwan. Harus ada badan khusus,” ungkap Komaruddin. Selain mulai dipersiapkan dosen pengajar, juga akan dipersiapkan perpustakaan yang bagus, ruang kuliah, asrama, dan apartemen dosen. Harus dibuat pula regulasi yang standar internasional, regulasi yang khusus karena bila peraturannya menggunakan regulasi yang ada, tidak akan jadi. Karena apa? “Karena dari segi fasilitas saja, dosen kita jauh dibanding dosen luar negeri. Tidak usah Amerika, dibanding Malaysia saja kita kalah. Bagaimana kita mengharapkan kualitas bagus kalau fasilitasnya saja jelek, ini harus bagus berstandar internasional,” tegas Komaruddin. MERSELA | Edisi Desember 2015 21 LIPUTAN UTAMA Sedangkan untuk dana, pemerintah harus berani mengeluarkan dana untuk pembangunan PTIN tersebut karena dampaknya jauh ke dalam untuk meningkatkan kualitas. Untuk targetnya, pada 2016 diharapkan sudah ground breaking. Pada 2017 sudah dapat menerima mahasiswa. Untuk infrastrukturnya, lahan negara di sekitar Jakarta atau sekitar Bogor untuk tempat pembangunannya. Perguruan tinggi negeri Islam ini adalah lembaga independen, yang menjadi ikon kebanggaan Indonesia, seperti Universitas Stanford di Amerika. Oleh karena itu dibutuhkan 150 ha lahan untuk membangun perguruan tinggi negeri Islam tersebut dengan gaya arsitektur khas Indonesia. Akan ada gedung pertemuannya, sehingga bila ormas-ormas, NU, Muhammadiyah akan muktamar dapat dilakukan di situ. PTIN bertaraf internasional yang akan dibangun ini tidak akan mengancam PTIN yang ada. Sesungguhnya akan meningkatkan kualitas yang ada karena kuliah dalam satu lokasi dengan asrama dan dosennya pun didatangkan ke perguruan tinggi tersebut. Harapan Komaruddin dengan dibangunnya PTIN ini, antara lain Pertama, standar naskah akademik harus betulbetul standar dan diakui oleh komunitas jaringan internasional. Itu konsepnya. Kedua, bagaimana konsep tersebut akan dikawal oleh peraturan pemerintah. Ada regulasi khusus yang mengawal. Ketiga, merekrut dosen-dosen dan mahasiswa yang kualitasnya bagus. Keempat, harus ada dukungan dana dari negara. Kelima, ada partisipasi non pemerintah dan beberapa negara sahabat yang ternyata sudah ada yang mau membantu. Regulasi yang perlu diperjuangkan menurut Komaruddin, pertama, otonomi perguruan tinggi tidak boleh dicampur aduk. Dosen tidak boleh merangkap mengajar ke sana kemari. Oleh karena itu fasilitas harus baik seperti apartemen dan gaji yang memadai. Sehingga dosen akan fokus di kampus. Kedua, dimungkinkan partisipasi rakyat. Dana masyarakat tidak boleh masuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), harus luwes tetapi akuntabel, profesional, dan jangan dibuat rumit. Dimungkinkan pengurusnya mencari dana untuk pembangunan kampus. Bila PTIN ini mempunyai tujuan dan regulasi yang jelas maka menurut Komaruddin, optimis para pengusaha akan mendukung karena pembangunan ini untuk bangsa Indonesia dan mereka membutuhkan suasana tenang, aman dan tidak ada radikalisme dalam melakukan usahanya. “Kalau ini melahirkan suatu pusat peradaban untuk mengerem radikalisme, mereka mau saja. Ini bukan kepentingan Islam sematamata tetapi kepentingan bangsa, negara dan martabat. Malu dong kita haji terbesar, masa tidak punya kampus yang sekelas dunia, kalah dengan Mesir, Malaysia. Masa kalah dengan negara non Muslim yang punya kampus Islamic studies. Para pengusaha juga akan membantu, misalnya untuk asrama, perpustakaan. Pemerintah harus mau keluar modal dahulu karena nantinya di luar pemerintah banyak yang akan membantu,” jelasnya. Selanjutnya menurut Komaruddin, kendala yang ditakutkannya adalah menyangkut peraturan dan birokrasi. Bila birokrasinya itu standar berpikirnya lokal, maka akan menghambat. Harus diamankan bahwa hal tersebut untuk kepentingan bangsa, harus dipegang, standard ilmiah, dan tidak memihak politik manapun. 22 MERSELA | Edisi Desember 2015 Perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan perusahaan harus bersinergi. Produk riset yang dilakukan peguruan tinggi akan dimanfaatkan perusahaan dan pemerintah. Pemerintah dan perusahaan yang akan mengeluarkan dana, seperti di Jepang dimana kampus dan perusahaan melakukan kerjasama. Seharusnya Perguruan tinggi negeri itu ‘menciptakan uang’ atau berbisnis karena yang menciptakan uang itu adalah science sehingga kampus-kampus semacam Universitas Indonesia (UI) di dorong science-nya berkembang agar dapat menjadi teknokrat, dan dapat berbisnis. Sedangkan perguruan tinggi negeri Islam tidak, karena masih di bidang sosial. Komaruddin juga menyatakan bahwa dalam jangka pendek akan diusulkan Kepres Pembentukan Panitia, dan Kepres Pembentukan Perguruan Tinggi. “Ini’kan baru namanya pra. Nanti ada Kepres, sudah punya legalitas, menentukan panitia, pembebasan tanah, bangunannya. Akan ada kerjasama antara Kemenristek, Kemenag, Kementerian Agraria, dan Kemenlu. Kalau tim kecil sudah terbentuk, melahirkan naskah. Kemudian dibahas oleh dewan ahli. Oleh dewan ahli disempurnakan lalu diberikan kepada Presiden. Presiden akan membuat Kepres. Nah kalau sudah Kepres, itu sudah punya legalitas bergerak. Membuat agenda yang lebih konkret,” pungkas Komaruddin. (RP/GS) DOK. SETWAPRES > HENDRA Tingkatkan Kualitas Akademik dan Bahasa Demi mewujudkan Indonesia menjadi pusat studi Islam dunia, para pengasuh pesantren ikut mendukung dengan beberapa kondisi yang perlu dipersiapkan dengan serius. Salah satunya adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed., M.Phil. Pimpinan Universitas Darussalam Gontor, yang juga putra pendiri Pondok Modern Gontor. Menurut Hamid untuk sampai kepada cita-cita itu Indonesia perlu melakukan introspeksi sekaligus mengukur potensi diri. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia terbesar di dunia, memiliki 25 ribu pondok pesantren, 600-an perguruan tinggi Islam dan sekolah-sekolah Islam negeri maupun swasta. Karena potensi inilah pemikiran Islam di Indonesia relatif lebih dinamis dibanding Malaysia, Pakistan, Turkey, Bangladesh dan India. Usia lembaga pendidikan Islam di Indonesia juga lebih tua dibanding negara-negara tersebut. Pesantren berdiri sejak abad ke 17, dan perguruan tinggi Islam berdiri sejak awal masa kemerdekaan. Di Turkey lembaga pendidikan Islam dan studi Islam telah lama dibekukan oleh rezim Kemal Attaturk, dan baru 5 tahun lalu Fakultas Agama Islam boleh dibuka di berbagai perguruan tinggi. Namun meski telah cukup tua, perkembangan dunia pendidikan Islam di Indonesia termasuk sangat lambat. Perhatian pemerintah dan masyarakat masih kurang optimal. Di Malaysia, perhatian terhadap sarana prasarana sangat tinggi, perpustakaannya berkembang pesat, dana penelitiannya maksimal. Di Saudi, jurnaljurnal dalam bidang sains lebih banyak yang terakreditasi internasional dibanding jurnal-jurnal di Indonesia. Di Qatar, saat ini terdapat sebuah komplek pendidikan dan riset yang di dalamnya terdapat kampus-kampus universitas dunia, seperti Harvard, Oxford, Cambridge dan juga lembaga-lembaga riset terkenal di dunia. Dengan dana tak terbatas, mereka membiayai risetriset strategis dalam berbagai bidang yang kemudian hasilnya diambil dan dimanfaatkan untuk pembangunan Qatar. Turki juga tidak kalah majunya karena banyak universitas di sana yang sudah menjadi bagian dari Erasmus, dan terakreditasi dengan standar Uni Eropa. Hamid mengingatkan, jika Indonesia ingin menjadi pusat studi Islam dunia maka kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) umat Islam harus ditingkatkan. DR. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil. (Putra Pendiri Ponpes Gontor) Pembantu Rektor Bidang Akademik Univ Darussalam Gontor Kepakaran para intelektualnya harus berkelas internasional sehingga mampu bersaing dengan ilmuwan negara-negara Islam bahkan dengan intelektual negara-negara Barat. Masalahnya, belum banyak ilmuwan Indonesia yang mampu menulis karya-karya monumental berbahasa Arab atau Inggris di negara-negara Arab maupun negara-negara Barat. “Ini fakta yang harus kita akui,” ujar Hamid. Dalam bidang pemikiran Islam, Indonesia belum memiliki cendekiawan sekelas Mohammad Iqbal alMaududi, Abdul Kalam Azad, al-Nadawi, Fazlurrahman, Seyyed Hossein Nasr, Naquib al-Attas, Khursyid Ahmad, dan Umer Chapra. Demikian pula penguasaan ulama Indonesia dalam ilmu-ilmu syariah dan aqidah, serta ilmu-ilmu yang berkaitan seperti tafsir, hadits, fiqih, filsafat Islam, tasawwuf, nahwu, sastra Arab masih belum sekaliber ulama Mesir, Qatar, Syiria, Sudan dll. Umat Islam masih banyak merujuk ulamaulama seperti Yusuf Qaradhowi, Wahbah Zuhaili, alButhi dan sebagainya. Untuk itu, Hamid menyarankan agar ulama dan cendekiawan Muslim meningkatkan kemampuan berbahasa Arab dan Inggris. Kemampuan berbahasa Arab dan Inggris para dosen di Indonesia masih sangat minim. Seminar-seminar studi Islam internasional yang mengggunakan bahasa Arab dan Inggris banyak yang tidak dihadiri oleh ulama atau intelektual Islam Indonesia. Ini artinya, ilmuwan Indonesia belum banyak menghiasi forum-forum internasional. Ilmuwan Indonesia masih kalah dominan dengan para profesor dari Timur Tengah yang menjadi dosen di Leiden, Harvard, New York, serta kalah dengan intelektual India, Pakistan dan Turki yang menguasai bahasa Inggris dan dapat “menjual” pemikiran mereka ke forum-forum internasional. MERSELA | Edisi Desember 2015 23 DOK. SETWAPRES > ISTIMEWA LIPUTAN UTAMA Perguruan tinggi Islam swasta Darussalam University berlokasi di Gontor, Jawa Timur Penguasaan terhadap materi studi Islam juga harus ditingkatkan. Di Indonesia pusat-pusat studi Islam, dimana para pakar serius mengkaji dan meneliti berbagai isu pemikiran Islam seperti tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Jika di Pakistan terdapat Research Academy yang memiliki proyek-proyek penulisan karya besar seperti ensiklopedia Alquran, sejarah, hadith, tafsir, kamus dan lain-lain, di Indonesia masih belum terpikirkan. Jika kondisinya seperti ini maka yang dapat dijual Indonesia ke dunia internasional adalah sistem pendidikan pesantren, yang tidak ada di negara lain. Di pesantren para santri tidak hanya belajar Islam tapi juga menghayati kehidupan dengan nilai-nilai Islami. Tradisi mengkaji kitab-kitab klasik juga sangat menarik untuk ditawarkan kepada dunia, hanya saja perlu pengembangan dari aspek materi dan metodologi. Sebab kini tren di dunia Islam khazanah ilmu pengetahuan Islam (kitab klasik) perlu dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer, sehingga dapat menghasilkan ulama-intelek yang berpikiran luas, terbuka, toleran, maju, progresif serta dapat menjadi rujukan bagi pengkajian sains dan teknologi modern. Kajian fiqih di pesantren misalnya, kini harus dapat menjawab tantangan dari konsepkonsep ekonomi dan manajemen kontemporer agar dapat menghasilkan ekonomi syariah. Dalam masalah politik, kajian Islam harus dapat menghasilkan berbagai fiqih, seperti fiqih politik, fiqih sosial, fiqih teknologi, fiqih ekonomi dan lain lain. Hal ini, menurut Hamid sangat penting untuk meneguhkan identitas lembaga pesantren dan juga menafikan stigma bahwa pendidikan pesantren menghasilkan tamatan-tamatan yang berpikiran 24 MERSELA | Edisi Desember 2015 “radikal”. Pendidikan pesantren sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu (konon berdiri tahun 1780-an). Sejak dulu hingga kini tidak ada perubahan kurikulum. Pesantren berkontribusi mendidik anak-anak bangsa yang terbaik. Disamping itu, menghasilkan pemimpinpemimpin terbaik untuk Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Di tingkat lokal pesantren pun ikut menjaga stabilitas di lingkungannya. Daerah yang ada pesantren, pasti akan lebih baik dan aman. Pesantren dapat hidup dan tumbuh karena kemandirian. Kebiasaan mereka hidup dengan manajemen yang baik, inilah sebenarnya pendidikan. Sehingga begitu keluar dari pesantren, masuk ke dalam bidang bisnis apapun tidak masalah. Tapi mengapa muncul tudingan bahwa pesantren adalah tempat pembiakan teroris (breeding place of terrorism)?” ujar Hamid. Ia menegaskan bahwa dalam bidang akademik, kajian Islam di pondok modern mengintegrasikan sains dan humaniora, juga bisa “dijual” ke dunia Islam. Sistem ini sudah lama diterapkan di Darussalam Gontor, al-Amin Madura, Darunnajah Jakarta, Darul Qalam Gintung, alIslah Bondowoso dan masih banyak lagi, dan terbukti dapat survive bertahun-tahun bahkan semakin besar. “Sistem pendidikan berasrama dengan sistem waqaf, yang didesain secara komprehensif dan integratif itulah yang perlu dijual ke dunia internasional,” jelas Hamid. Bahkan lebih dari itu, tambah Hamid, dalam sistem pondok modern kurikulumnya bersifat holistik dan komprehensif meliputi pendidikan formal, informal dan non formal, mengajarkan toleransi, kemandirian, keikhlasan, kebersamaan, persaudaraan dan lain-lain. Di pesantren anak-anak yang berasal dari berbagai suku harus bisa hidup bersama, toleran terhadap perbedaan, memperlakukan orang-orang yang berbeda suku DOK. SETWAPRES > HENDRA dengan baik. “Inilah benih-benih toleransi dalam diri umat Islam Indonesia yang kemudian menjadikan umat Islam Indonesia paling toleran di dunia. Bandingkan perlakuan Muslim terhadap non Muslim di Indonesia dengan perlakuan non Muslim terhadap Muslim di negara-negara seperti India, Tiongkok, Myanmar, dan Thailand,” tegas Hamid. Di negara-negara Barat event keagamaan tidak boleh dilaksanakan di ruang publik, karena hal itu dianggap pelanggaran terhadap doktrin sekularisme. “Ketika saya berkeliling ke Austria, Australia, Swiss dan beberapa negara lain, saya ceritakan bahwa di Indonesia seorang pendeta bisa ceramah di TV publik, Hari Natal, Hari Waishak, Hari Raya Nyepi, dirayakan di ruang publik yang mayoritas beragama Islam,” kisahnya. “Saya melihat toleransi antar umat beragama di Indonesia bagus sekali. Masalahnya, praktek kehidupan sosial keagamaan yang khas Indonesia ini belum tertuang dalam sebuah karya fiqih yang ditulis secara akademik oleh ulama atau cendekiawan Muslim Indonesia sehingga bisa dibaca oleh masyarakat dunia. Ini tidak bisa kita tawarkan ke dunia, sebab yang akan kita tawarkan adalah studi Islam, bukan praktek Islam. Alangkah bagusnya jika dari pesantren lahir karyakarya fiqih toleransi seperti yang telah dipraktekkan itu. Namun jika nuansa toleransi seperti ini diteorikan menjadi paham pluralisme agama, dimana teologi dan ajaran agama-agama itu disama-samakan kemudian disatukan secara teologis (sehingga menjadi doktrin global theology), maka ini sudah bukan lagi milik bangsa Indonesia, apalagi produk pesantren. Ini adalah paham yang diimpor dari ideologi asing. Jika toleransi menganggap bahwa agama lain itu sama sederajat dengan Islam, pemeluk agama lain juga sama-sama masuk surga, ini bukanlah toleransi yang benar. Sama halnya, tidak mungkin orang Nasrani yakin bahwa orang Islam juga masuk surganya. Kita tetap menghormati umat agama lain, tetapi tidak sampai memasukkan ke surga karena surga itu urusan Tuhan,” papar Hamid. Kembali ke pertanyaan apakah Indonesia dapat menjadi kiblat pemikiran Islam dunia, Hamid memberikan beberapa saran. Pertama, agar pesantren-pesantren di Indonesia dikembangkan menjadi universitasuniversitas yang berkualitas internasional dengan tetap mempertahankan nilai-nilai pesantren yang khas Indonesia. Kedua, ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia yang terbiasa berpikir terbuka dan toleran hendaknya meningkatkan penguasaan Salah satu keterampilan yang diajarkan di Pesantren Gontor untuk bekal mandiri berbagai disiplin ilmu Islam berkaliber internasional. Ketiga, nuansa toleransi umat Islam di Indonesia yang sudah mengakar di masyarakat harus dapat diangkat menjadi teori toleransi atau fiqih toleransi yang bisa menjadi rujukan umat Islam di dunia. Maroko yang fokus dan menonjol dalam kajian “Maqasid Shariah” (tujuan syariah), dapat dijadikan model. Keempat, kemampuan berbicara di dunia internasional harus ditopang oleh 2 bahasa, Arab dan Inggris. Kelima, para ulama dan cendekiawan Muslim tidak hanya dituntut untuk dapat menjalin hubungan harmonis dengan non Muslim, tapi juga mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dengan sains dan teknologi serta ilmu pengetahuan sosial, seperti sosiologi, politik, ekonomi, budaya, komunikasi, psikologi dan lain-lain. “Jika ada pertanyaan apa kontribusi yang sudah dan akan diberikan Pondok Pesantren Gontor dan Universitas Darussalam kepada dunia Islam, saya harus realistis bahwa banyak yang belum, sudah dan perlu kami lakukan,” tukas Hamid. Namun, Gontor dengan pendidikan pesantren dan perguruan tingginya telah menghasilkan alumni yang menjadi ulama, rektor, pimpinan ormas, duta besar, diplomat, pengusaha, pendidik, pekerja sosial dan sebagainya yang memiliki kapasitas, kualitas dan integritas yang diakui masyarakat. Kini setelah perguruan tingginya menjadi Universitas Darussalam, obsesi Gontor adalah meningkatkan kualitas universitasnya menjadi International University of Darussalam, dimana nanti mahasiswanya tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga berasal dari negara-negara Islam, bahkan dari negara-negara Barat. “Di Universitas yang berbasis pesantren ini mereka akan kami ajari bukan hanya ilmu Islam tapi juga perilaku Islam, juga belajar hidup dan kehidupan. Inilah makna rahmatan lil’alamin yang sesungguhnya,” tegas Hamid. (DY/RP) MERSELA | Edisi Desember 2015 25 DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI LIPUTAN UTAMA Islam Indonesia adalah Berakhlak, Berbudaya, dan Berperadaban Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia mempunyai peran penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai kiblat pemikiran Islam di dunia. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengikuti seminar-seminar Islam di dunia dan menjadi nara sumber. “Di Turki saya 4 kali menjadi nara sumber. Qatar 2 kali, Maroko 2 kali, juga di Amerika, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Kenya, India. Insyaallah itu merupakan salah satu contoh upaya bagi Indonesia. Saya selalu menyampaikan dasar negara Pancasila yang tidak ada di negara lain, bicara tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Di Eropa ketuhanan disejajarkan dengan kemanusiaan dan keadilan. Agama sangat individual. Urusan pribadi, bukan urusan sosial,” jelas KH. Said. Upaya lainnya adalah mengirim siswa ke luar negeri atau menerima siswa dari luar negeri untuk belajar mendalami Islam, seperti NU mengirim siswanya ke Maroko 65 orang, Turki 10 orang, Sudan 150 orang, dan Libya 107 orang. Indonesia juga harus bisa menciptakan citra yang baik melalui kegiatan ekonomi, sosial, politik, budaya bagi dunia Islam di tengah keadaan negara-negara Timur Tengah yang sekarang terlihat memilukan. Padahal dulu pusat peradaban pertama di Damaskus Bani Umayya, dan yang kedua di Bahgdad Albasiyya. Kini jutaan orang hijrah mengungsi ke Eropa. Ditambah lagi dengan adanya kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka itu petualang bukan pejuang. “Alhamdulillah di dunia ini masih ada umat Islam besar yang berbudaya, besar tapi tidak mendiskreditkan yang kecil, besar tapi tidak arogan, mayoritas menghormati minoritas, itulah NU,” ungkap KH. Said. Dalam pidatonya di Masjid Istiqlal, Presiden Jokowi mengatakan bahwa NU harus mampu menjembatani Islam dalam peradaban di Nusantara. Sementara Wapres Jusuf Kalla dalam pidatonya di Musyawarah Nasional (Munas) NU mengatakan bahwa sudah saatnya umat Islam Indonesia mempunyai lembaga 26 MERSELA | Edisi Desember 2015 Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama perekonomian, pertanian, pendidikan, dan kebudayaan, yang dibangun dengan kemandirian. “Jadi kita coba membangun kemandirian para petani NU dan himpunan pengusaha NU. Kemandirian adalah faktor utama, contohnya pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak pernah membebani masyarakat dan pemerintah,” jelas KH. Said. Prinsip Islam Indonesia adalah berakhlak, berbudaya, dan berperadaban. Oleh karena itu, semua lembagalembaga ekonomi, pertanian, pendidikan, perguruan tinggi, adalah dalam rangka membawa masyarakat yang berperadaban. Sebagai contoh, Kyai-kyai di dalam naungan NU bila melakukan ceramah di desadesa selalu mengajak masyarakat untuk berakhlak, menghormati perbedaan, tidak main hakim sendiri, menghormati orang tua dan tokoh. Apalagi dengan prinsip NU Tawasuth, Tawazun dan Tasamuh, yaitu moderate, balance dan tolerance. “Itu prinsip. Tidak boleh mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme. Pesannya KH. Hasyim Ashari kepada putranya KH. Wahid Hasyim, Islam saja belum tentu bisa menyatukan umat kalau tidak ada semangat kebangsaan. Nasionalisme saja kering kalau tidak diisi dengan nilai-nilai Islam,” tegas KH. Said. Pada dasarnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama peradaban, agama budaya, agama akhlak, dan agama kemanusiaan. “Oleh karena itu prinsip-prinsip Islam, kalau digali betul baik dari Alquran maupun dari historis, adalah agama yang betul-betul menunjukkan toleransi, moderat, yang memanusiakan manusia,” lanjutnya. Toleransi telah diajarkan Nabi Muhammad sejak 15 abad yang lalu, contohnya ketika beliau hijrah ke kota Yatsrib (Madinah), dimana beliau menjumpai penduduknya yang plural, yaitu Muslim pribumi 2 suku, Aus dan Khazraf, dan non Muslim Yahudi 3 suku; Quraidhah, Qainuqa, dan Nadlir. Nabi bersabda, “penduduk Muslim pendatang, penduduk Muslim kaum Yatsrib dan Yahudi, asalkan satu cita-cita, satu tujuan, satu prinsip jihad, satu prinsip perjuangan, sesungguhnya mereka satu umat”. Itulah yang dikenal dengan piagam Madinah. Nabi telah berhasil membangun sebuah komunitas platform-nya berdasarkan konstitusi yang adalah tamaddun, yaitu civil society. Beliau tidak pernah memproklamirkan negara Islam, tidak pernah mengkonstitusikan agama, tidak pernah memproklamirkan negara Arab, dan tidak pernah mengkonstitusikan etnik. Negara yang di dalamnya hidup bersama, lintas agama, lintas suku, dengan hak dan kewajiban sama. Contoh ketika ada seorang sahabat Nabi membunuh orang Yahudi, Nabi marah besar dan mengeluarkan pernyataan, “Barang siapa membunuh non Muslim berhadapan dengan saya, dan barangsiapa berhadapan dengan saya tidak akan masuk surga”. Artinya apa? “Nabi Muhammad sangat melindungi, memberi jaminan non Muslim hidup bersama di tengah mayoritas Muslim. Tidak boleh ada permusuhan dengan alasan agama, suku, apalagi politik. Hanya satu yang boleh dan harus dianggap musuh adalah yang melanggar hukum, teroris, koruptor, dan pelaku tindak kriminal,” tutur KH. Said. Nabi Muhammad dalam perilakunya dapat menunjukkan contoh yang luar biasa. Ketika Nabi haji dan berpidato di Arafah, beliau bersabda dengan “wahai manusia” – bukan “wahai orang Arab”, bukan “wahai orang Islam” – “Wahai manusia, nyawa kalian mulia dan suci, harta kalian mulia dan suci, harga diri kalian mulia dan suci, seperti mulianya hari ini, bulan haji ini dan kota suci Mekkah.” Jadi barang siapa mengganggu nyawa orang lain, apapun agamanya, apapun etniknya, berarti mencoreng kemuliaan, kesucian haji dan kesucian kota Mekkah. “Sekarang ini, yang utama kita pertahankan Islam seperti ini, yaitu Islam yang tersebar di Nusantara yang dibawa para Wali Songo dan telah berhasil mengislamkan masyarakat tanpa peperangan dan kekerasan,” jelas KH. Said. Metode dakwahnya para Wali Songo adalah Islam yang ramah, santun, dan tidak menghapus budaya, seperti Nabi Muhammad. Peran NU adalah menumbuhkembangkan budaya demokrasi yang jujur dan adil serta mendorong kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Demokrasi merupakan sistem bernegara yang langgeng hingga kiamat dan NU sangat mendukungnya,” tutur KH. Said. Negara besar di manapun memerlukan sebuah kekuatan super besar. Di Indonesia terdapat NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Namun, ketika terdapat konflik politik, masih terdapat organisasi masyarakat (ormas) yang tidak ikut-ikutan. Ketika terdapat krisis nasional, masih terdapat ormas yang utuh dan kokoh. “Sebagai pilar bangsa, ini luar biasa. Apalagi NU yang sudah jelas konsep bernegaranya tidak bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, Undang Undang Dasar (UUD) ’45, dan kebhinekaan. Sejak jaman Abdurahman Wahid (Gusdur) sebagai Ketua Umum, tidak boleh diotak atik, dan secara umum, NU sudah sadar hidup bersama di dalam keberagaman. Jadi istilahnya Gusdur membumikan Islam, Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kalau saya, Islam Nusantara,” jelas KH. Said. Ternyata Islam Nusantara itu luar biasa, ulama-ulama Indonesia yang berkiprah di internasional, seperti Ahmad Khotib Sambas Kalimantan Barat, Arsyad, Banjarmasin, Mahfudz Termas Pacitan, Nawawi Banten yang karyanya masih dibaca, dan dikaji di Universitas, kemudian Abdul Somad Palembang, Yusuf Makassar, hingga kini masih dibaca di Al Azhar Mesir. Selain itu, peran NU pun terlihat dengan banyaknya orang yang belajar di Perguruan Tinggi NU, yang hingga kini berjumlah 24 UNU, di antaranya di Surabaya, Sidoarjo, Tuban, Kediri, Jepara, Cilacap, Kebumen, Cirebon, Indramayu, Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Halmahera, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, dan Sumatera Utara. Banyak pula tamu dari negara lain yang berkunjung, seperti Duta Besar Inggris Moazzam Malik yang berasal dari Pakistan, dan adik ipar mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Lauren Booth. Untuk mempertahankan pemikiran-pemikiran NU di masa mendatang, KH. Said menegaskan bahwa Kyai dan pesantren akan terus selalu menyampaikan Islam yang berakhlak, dan itu merupakan tantangan agar masa mendatang pemikiran-pemikiran NU tersebut menjadi benteng pertahanan budaya Muslim Indonesia. (RN/DY) MERSELA | Edisi Desember 2015 27 DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO LIPUTAN UTAMA Peradaban Islam Dunia Lahir dari Indonesia, Harus Jadi Kenyataan Muslim Indonesia selain besar jumlahnya di dunia, sekitar 213 juta (89,21%) dari 240 juta penduduk Indonesia, pada saat yang sama dipandang dunia sebagai Islam tengahan (moderat) dan memiliki akar masyarakat madaniyah (civil society) yang secara embrional bertumbuh relatif maju. Persepsi pada umumnya negara-negara Barat dan non Muslim dunia cukup positif terhadap Islam di Indonesia, sejumlah pihak bahkan berasumsi dari negeri Muslim terbesar ini akan lahir wajah Islam dunia yang damai, toleran, dan berkemajuan. Tentu saja persepsi normatif dan modal penting ini jangan dibiarkan menggenang seperti danau, harus diubah atau ditransformasikan menjadi kekuatan aktual dan manifes sehingga pada era ke depan benarbenar menjadi kenyataan, bahwa peradaban Islam dunia lahir dari Indonesia. Demikian pendapat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, DR. Haedar Nashir terhadap keinginan pemerintah bahwa Indonesia dapat menjadi barometer kehidupan Islam di dunia. Muhammadiyah sejak awal kelahirannya 18 November 1912 mendobrak kemandekan dan membangun alam pikiran berkemajuan seperti memelopori pelurusan arah kiblat yang berbasis syar’i dan ilmu falaq, pendidikan Islam modern, pelayanan kesehatan dan sosial, mendirikan gerakan perempuan Islam sebagai simbol kesetaraan dengan lahirnya Aisyiyah tahun 1917, merintis penyelenggaraan haji yang terorganisasi tahun 1921, mendirikan poliklinik atau rumah sakit Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO, kini PKU) tahun 1923, mengkritisi kebijakan Ordonansi Guru tahun 1926, dan memelopori tabligh ke ruang publik untuk pencerahan alam pikiran umat Islam dan masyarakat Indonesia. Menurut Soekarno, Muhammadiyah sejatinya melakukan gerak modernisasi Islam untuk masyarakat Indonesia, sehingga dari rahimnya lahir pandangan Islam progresif atau berkemajuan. Kepeloporan ini merupakan pembaruan atau tajdid, yang menurut Nurcholish Madjid disebut break-through atau lompatan, serta menurut banyak ahli dikenal dengan Islam reformis atau modernis. Kini alam pikiran berkemajuan seperti dirintis Muhammadiyah itu tentu sudah menjadi lazim secara umum dan mungkin dianggap kurang progresif, tetapi pada zamannya 28 MERSELA | Edisi Desember 2015 DR. Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan transformasi Islam yang khariq al-’adat atau di luar kelaziman, bahkan oleh Koetzman disebut liberal. “Ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua, kita melakukan reaktualisasi gerakan melalui apa yang kami sebut Gerakan Pencerahan berbasis Islam Berkemajuan untuk menghadirkan perubahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan semesta,” ucap Haedar. Muhammadiyah seperti dijelaskan sejak awal berdirinya, tanpa melabeli diri sebagai gerak Islam rahmatan lil ’alamin, sesungguhnya berbuat amaliah nyata yang terorganisasi untuk menghadirkan Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Islam yang rahmatan lil ’alamin itu bukan dikatakan, tetapi harus dibuktikan di alam nyata bahwa Muslim Indonesia itu berdaya saing tinggi dan unggul ketimbang umat lain, termasuk dalam beramaliahnya di seluruh kehidupan. Sebenarnya kendala bukan datang dari luar, karena yang dari luar itu lebih bersifat tantangan untuk dihadapi dalam semangat dakwah “fastabiq al-khairat” (bersaing dalam kebaikan atau dalam bahasa Wapres Jusuf Kalla “lebih cepat lebih baik”) dan “al-dakwah lil-muwajahah” (dakwah dengan cara menghadapi dengan tawaran alternatif terbaik). Kendala lebih banyak dari internal Islam sendiri yang sebagian masih enggan untuk maju dalam berpikir dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sulit bersatu untuk hal-hal strategis, egoisme kelompok atau ananiyah hizbiyah, dan ketertinggalan di bidang ekonomi alias umat masih dhu’afa-mustadh’afin. Selanjutnya Haedar mengemukakan pandangannya mengenai Islam Al Wasathiyyah. Al-Wasathiyyah itu konsep dasarnya dalam Islam terkait dengan Syuhadaa ‘ala al-nas pada Surat Al-Baqarah 143 dan Khayr alUmmah pada Surat Ali Imran 110. Artinya umat Islam DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS Ketua Umum PP Muhammadiyah diterima Wakil Presiden di kantor Wakil Presiden itu di sebagai golongan umat haruslah berkarakter tengahan (moderat) dan tidak radikal atau ekstrem dalam beragama dan bersikap hidup. Tetapi pada waktu sama umat juga harus menjadi saksi sejarah bagi kehidupan umat manusia semesta (Syuhadaa ‘ala al-nas). Umat tidak cukup sekadar moderat tetapi juga menjadi pelaku sejarah, sehingga dari kedua sifat itu lahirlah umat terbaik. Dengan kata lain jadilah umat moderat berkemajuan, bukan moderat pasif dan tertinggal. Mewujudkannya melalui berbagai gerakan antara lain gerakan moderasi melawan radikalisme dan ekstremisme, gerakan pencerahan melawan kebodohan dan ketertinggalan, serta mengembangkan amal usaha di berbagai bidang termasuk ekonomi untuk membangun kemajuan umat yang konkret sehingga memiliki daya saing tinggi guna menghadapi persaingan dengan pihak lain. Wapres Jusuf Kalla mendorong Muhammadiyah untuk mendukung kemajuan ekonomi bangsa terutama dalam kemakmuran. Menurut Haedar, Apa yang disebutkan Wapres Jusuf Kalla benar sekali tentang tantangan bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya. Umat Islam masih bangga dan membangga-banggakan diri dengan jumlah yang besar, tetapi sesungguhnya secara kualitas masih “fiah qalilah” alias golongan kecil. Muhammadiyah dengan dukungan 178 perguruan tinggi dan ribuan amal usaha yang nyata, sesungguhnya membangun modal umat untuk bangkit dari dhu’afamustadh’afin ke khayr al-ummah atau umat terbaik. “Kita menggerakkan potensi saudagar Muhammadiyah untuk memajukan ekonomi umat dan bangsa. Kita terus perluas usaha-usaha ekonomi mikro, kecil, dan menengah. Sejumlah usaha bisnis kami lakukan di berbagai sektor. Insya Allah sepuluh tahun ke depan gerak ekonomi Muhammadiyah makin kuat, semuanya untuk mengubah nasib umat dan bangsa menuju Indonesia berkemajuan. Mana mungkin umat Islam menjadi rahmatan lil ’alamin jika masih miskin secara ekonomi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek),” ucap Haedar. Indonesia dengan umat Islam terbesar di dunia harus memainkan peran sebagai pemimpin di Organisasi Konferensi Islam (OKI), itulah cara berperan yang taktis dan strategis sehingga menjadi kekuatan politik yang nyata. Atas mandat Presiden, Wapres Jusuf Kalla tepat sekali menempati posisi itu. Wapres memiliki kapasitas dan pengalaman luas. Jika pemerintah ingin mendorong tokoh Islam di luar pemerintahan, tentu terdapat tokoh yang memiliki pengalaman dunia internasional yang luas. Indonesia itu besar, hanya kurang artikulatif di kancah dunia Islam. Di samping lembaga internasional lain, OKI dapat dimainkan secara proaktif dan bergigi, tidak pasif seperti sekarang. Dunia Islam memerlukan kepemimpinan yang kuat dan dapat mengimbangi negara-negara lain secara tegak dan berdaulat. Sebagai negeri Muslim terbesar sungguh dapat dijadikan modal politik dan strategis untuk memainkan politik global. Sejalan dengan keinginan pemerintah agar Indonesia dapat menjadi pusat pemikiran Islam di dunia, menurut Haedar, Muhammadiyah memiliki 178 perguruan tinggi serta para kader lulusan luar negeri maupun dalam negeri MERSELA | Edisi Desember 2015 29 LIPUTAN UTAMA Gagasan mendirikan Perguruan Tinggi Islam Negeri bertaraf internasional sangatlah tepat dan strategis, serta memang sudah saatnya. Pemerintah harus bersungguh-sungguh dan jangan “masuk angin” karena inilah negeri Muslim terbesar. “Kita terlambat dan dulu melepas kesempatan, tetapi tidaklah mengapa kita perlu melangkah ke depan. Pemerintah Indonesia layak mendirikan perguruan tinggi Islam terhebat di tingkat global,” ungkap Haedar. Indonesia memiliki syarat lebih dari cukup, segala aspek sudah dimiliki. “Syaratnya hanya satu, yaitu kelola Perguruan Tinggi Islam Negeri itu secara objektif, profesional, dan menggunakan sistem meritrokasi serta jauhi kepentingan golongan dan hal-hal yang sifatnya sempit. Jika yang mendirikan dan mengelola pemerintah maka bebaskan dari simbol-simbol dan kepentingan golongan apapun, serta jangan jadi rebutan,” saran Haedar. Indonesia perlu mengubah mindset serba Arab atau Timur Tengah itu dengan bukti nyata, yakni Indonesia membangun lembaga-lembaga Islam bertaraf internasional, menerjemahkan buku dan karya pemikiran Islam, dan mendirikan pusat keunggulan yang spektakuler seperti Universitas Islam Internasional tersebut. Selain itu, selama ini dunia Muslim memang mengakui Indonesia negeri Muslim terbesar, tetapi kesannya sekuler dan “berwajah lain”. Kata pepatah, lisan al-hal afshahu min lisan al-maqal, tindakan dan bukti itu lebih terpercaya ketimbang retorika. Kuncinya, tampilkan Islam Indonesia yang unggul, berwawasan global, dan menampilkan standar berkemajuan. (RN/RH) DOK. SETWAPRES > ISTIMEWA yang mencukupi. Kajian pemikiran Islam selama ini juga berkembang, kini bahkan melakukan penerjemahan karya-karya ilmiah dan buku ke bahasa Inggris dan Arab. Modal ini bagi Muhammadiyah dan umat Islam dapat dijadikan embrio potensial untuk berlaga di kancah pengembangan pemikiran Islam yang go-international, melakukan internasionalisasi pemikiran Islam. Berbagai seminar internasional terus dilakukan, demikian pula tukar-menukar karya keilmuan, selain mengirim tenaga pengajar dan pemikir bertaraf internasional ke perguruan tinggi dan lembaga-lembaga lain di luar negeri. Kerjasama dengan berbagai pemerintah dan swasta atau lembaga non pemerintah terus dilakukan secara lebih terprogram untuk pengembangan dan internasionalisasi pemikiran Islam. Islam Indonesia Penting karena Umatnya Terintegrasi dengan Kuat dalam Kebangsaan Indonesia Menyikapi peranan Indonesia sebagai pusat pemikiran Islam di dunia, Budayawan Indonesia Prof. Dr. Franz Magnis Suseno yang biasa disapa Romo Magnis, mempunyai pandangan tersendiri. Sebagai non Muslim yang telah lama tinggal di Indonesia, ia melihat Islam Indonesia tidak hanya penting karena jumlah umat Muslim Indonesia, tetapi karena mereka terintegrasi kuat dalam kebangsaan Indonesia. Selain itu, karena Islam Indonesia mempunyai cendekiawan dan pemikir bermutu dalam jumlah besar yang juga cukup berpengaruh. Di dunia non Muslim internasional, khususnya di antara mereka yang memperhatikan Islam, Islam Indonesia sudah lama mendapat perhatian besar, namun pengaruh Islam internasional terbatas karena sekurang-kurangnya, dua alasan: Pertama adalah bahasa Indonesia. Karena diskursus intelektual Muslim Indonesia berlangsung dalam bahasa Indonesia, dan sangat sedikit yang diterjemahkan ke 30 MERSELA | Edisi Desember 2015 Prof. Dr. Franz Magnis Suseno Budayawan Indonesia dalam bahasa Inggris maupun bahasa Arab, diskursus itu sebagian besar luput dari perhatian dunia Islam. Kedua, di sebagian dunia Islam ada prasangka bahwa Islam Indonesia merupakan “Islam pinggiran” secara geografis memang di pinggir Timur dunia, oleh karena itu diabaikan. Itu justru merugikan dunia Islam. Menurut Romo Magnis, pertimbangan yang menjadi latar belakang rencana membuat Perguruan Tinggi Islam Negeri bertaraf internasional adalah agar dunia di luar Indonesia, khususnya dunia Islam di luar Indonesia, menyadari adanya Islam Indonesia yang secara intelektual bermutu tinggi, dan sebaliknya agar Indonesia dapat belajar dari masukan-masukan cendekiawan Muslim internasional. Hal ini tak ada hubungannya dengan pandangan tentang terorisme. “Pandangan itu cukup primitif! Bahwa Islam identik dengan terorisme dibantah oleh kenyataan, yaitu kenyataan bahwa masyarakat dengan mayoritas Islami adalah masyarakat yang damai, terbuka, toleran dan tetap percaya diri. Para pemimpin Muslim, para ulama, guru agama, cendekiawan, dan kaum intelektual tidak ragu-ragu mengutuk terorisme yang mengatasnamakan Islam,” tegas Romo Magnis. Kelompok teroris sering mengatasnamakan Islam untuk membenarkan perbuatan kejam mereka. Bahkan mereka terlihat seperti Muslim saleh karena sangat rajin melakukan ritual Islam, tetapi mereka tidak menghayati nilai-nilai kemanusiaan. Ini kontradiksi. Selanjutnya Romo Magnis berpendapat, menjadi dosen atau guru besar untuk PTIN tersebut harus betul-betul mempunyai keahlian menurut standar internasional. “Kalau itu diusahakan, saya tidak meragukan bahwa Perguruan Tinggi Islam Internasional akan memberikan sumbangan penting bagi perkembangan intelektual seluruh bangsa Indonesia serta sumbangan terhadap dunia intelektual Islami dan non Islami internasional,” ungkap Romo Magnis. Bangsa Indonesia memiliki toleransi yang tinggi, hal itu berkaitan dengan beberapa faktor. Pertama, Indonesia negara maritim karena itu masyarakat Indonesia termasuk orang sederhana, selalu sudah tahu bahwa di dekatnya ada orang dengan bahasa, adat-istiadat dan orientasi religius yang berbeda, namun termasuk “masyarakat Nusantara”. Maka bagi di Indonesia adanya orang yang berbeda tidak mengejutkan. Berbeda dengan Jerman misalnya, yang monokultural dan susah mengasimilasi orang dari bahasa dan budaya lain. Kedua, budaya Jawa maupun budaya-budaya Indonesia lain yang mirip justru dalam hal Ketuhanan, pertamatama tidak mementingkan ritus dan formalisme agama-agama, melainkan sikap batin, khususnya “rasa”; masyarakat Jawa wajib menghormati “rasa” orang, sedangkan masing-masing agama merupakan “jalan” ke pendalaman rasa itu. Jalan itu penting, tetapi tidak mutlak. Yang penting adalah persatuan dengan Tuhan yang hanya bisa tercapai dalam rasa. Toleransi itu ada batasnya. Terhadap orang atau kelompok yang mengeksklusifkan diri dan tidak mau ikut bersama berdasarkan nilai-nilai atau budaya, toleransi itu akan menipis. Kalau perbedaan menjadi pertentangan yang terlalu besar, kemampuan budaya Indonesia untuk menampungnya ambruk, maka pecahlah kekerasan, yang akhirnya membawa kekerasan mengerikan tanpa batas dan ampun, seperti kisah Baratayudha, para Kurawa harus dihabisi karena tidak ada ampun. Ciri gelap budaya tradisional suka ditutup-tutupi, untuk itu perlu diangkat untuk dijadikan kesadaran agar tidak sampai terjadi lagi. Utuhnya Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena pengalaman ketertindasan dan perjuangan pembebasan bersama rakyat Nusantara. Dalam Sumpah Pemuda mereka sudah menyadari bersatu dalam satu tanah air, sebagai satu bangsa, dengan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Persatuan antara masyarakat yang amat majemuk menjadi mungkin karena rakyat majemuk itu secara resmi menyepakati untuk saling menerima dan mengakui dalam kekhasannya. Kesepakatan itu namanya Pancasila. “Di Indonesia orang tidak perlu meninggalkan adat, budaya, dan orientasi keagamaan – termasuk cara ia berdoa dan beribadat – untuk bisa menjadi orang Indonesia. Kesepakatan Pancasila itu menjadi mungkin karena bangsa yang majemuk itu bersatu dalam nilai-nilai yang terungkap dalam lima sila Pancasila. Maka keutuhan bangsa Indonesia tergantung dari Pancasila, atau kita terus bersedia untuk saling menerima dalam kekhasan dan perbedaan. Karena itu, cukup mengkhawatirkan apabila secara resmi dibedakan antara agamaagama yang diakui dan yang tidak diakui. Pancasila menuntut semua diakui, bahwa masing-masing tidak memaksakan pendapat atau pandangan kepada yang orang lain,” pungkas Romo Magnis. (SK) MERSELA | Edisi Desember 2015 31 LIPUTAN KHUSUS LAWATAN WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA KE NEW YORK, AMERIKA SERIKAT Peran Aktif Indonesia Wujudkan Perdamaian Dunia DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Tugas yang tidak pernah berakhir demi bangsa dan negara selalu dilakoninya dengan ketulusan. Tanggungjawab yang besar selalu dipikulnya dengan pancaran senyum yang dimilikinya. Lawatan kerja ke New York, Amerika Serikat (AS) mewakili Pemerintah, memberikan makna tersendiri bagi citra Indonesia karena di sanalah Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengemukakan pandangannya tentang peran aktif Indonesia mewujudkan perdamaian dunia di hadapan negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi, Menteri Koordinator (Menko) Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dan Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek, Wapres melakukan lawatannya pada 23 September – 4 Oktober 2015. 32 MERSELA | Edisi Desember 2015 Pembukaan Sidang Umum PBB Sidang Umum PBB dimulai dengan Upacara Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan 2015, di General Assembly Hall, Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, tanggal 25 September 2015. Upacara pembukaan ditandai dengan sambutan Paus Fransiskus dan pemenang Nobel Peace Prize, Malala Yousafzai. Penayangan video oleh NASA mengenai Manusia dan Planet, serta penampilan penyanyi Isabel Shakira dan Angelique Kidjo memberi warna pada acara tersebut. Dalam pidatonya, Paus Fransiskus mendesak para pemimpin dunia untuk mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan serta melindungi pengungsi yang melarikan diri untuk menghindari konflik. Paus mengatakan, penyalahgunaan dan penghancuran lingkungan hidup merupakan proses marjinalisasi ekonomi dan sosial terus menerus terhadap masyarakat yang kurang beruntung dan melawan HAM. “Marjinalisasi ekonomi dan sosial merupakan penyangkalan total atas persaudaraan umat manusia serta merupakan pelanggaran berat terhadap HAM dan lingkungan hidup,” kata Paus berbahasa Spanyol. Dalam kesempatan itu Paus juga mendesak para pemimpin negara untuk melakukan upaya konkret dalam melestarikan lingkungan. Selain itu juga mencari solusi dalam berbagai isu sosial seperti perdagangan manusia, penjualan organ dan jaringan tubuh manusia, eksploitasi seksual anak-anak perempuan dan laki-laki, perbudakan, termasuk prostitusi, perdagangan narkoba dan senjata, terorisme, serta kejahatan internasional terorganisir. Pertemuan tentang Perlawanan Global terhadap Gerakan ISIS dan Aksi Radikalisme Pertemuan yang diselenggarakan pada tanggal 28 September ini merupakan inisiatif Presiden AS Barrack Obama. Pertemuan ini menjadi agenda yang sangat penting mengingat ekstremisme garis keras dalam segala bentuknya, termasuk terorisme, telah menjadi ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan internasional. Di hadapan Obama dan para pemimpin dunia lainnya, Wapres menyampaikan, bahwa ideologi radikalisme seringkali berawal dari negara-negara yang kebebasan sipil dan politiknya dibatasi, serta ruang untuk menyampaikan perbedaan pendapat sangat kecil. Benih terorisme juga berkembang ketika terjadi ketidakadilan sosial, marjinalisasi, kemiskinan yang merajalela, dan konflik yang berkepanjangan. Disinilah kelompok-kelompok radikal mulai menyebarkan pemahaman ideologinya. “Melalui penyalahgunaan konsep jihad, ideologi seperti ini sering menjual mimpi akan hidup yang lebih baik di surga karena hidup di dunia penuh keputusasaan dan suram,” ungkap Wapres. Namun, Wapres mengingatkan, ISIS yang pertama kali tumbuh di Irak tak lepas dari pengaruh lanjutan intervensi asing yang bertujuan membawa demokrasi ke wilayah tersebut. Sayangnya, penggulingan para penguasa otoriter secara paksa sering mengakibatkan hilangnya legitimasi politik dan kosongnya kekuasaan di banyak negara yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok ekstremis. “Para pemimpin yang baru terpilih sering kali gagal mewujudkan stabilitas karena mereka tidak mendapat dukungan politik secara luas, sementara struktur pemerintah yang lemah tidak dapat berfungsi secara efektif,” ucap Wapres. Oleh karena itu, Wapres mengajak para pemimpin yang hadir untuk meningkatkan upaya, baik pribadi maupun bersama. Berdasarkan pengalaman Indonesia, upaya-upaya ini harus melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Hal ini penting guna mendukung upaya pemerintah memperkuat suara kelompok moderat dan juga menggaungkan pesan melawan ideologi teroris. “Dukungan terhadap toleransi dan sikap moderat menjadi penting, terutama bagi generasi muda kita guna mencegah mereka agar tidak teradikalisasi,” tegas Wapres. MERSELA | Edisi Desember 2015 33 DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO LIPUTAN KHUSUS Pertemuan Tingkat Tinggi tentang Pemelihara Perdamaian Agenda Wapres lainnya dalam Sidang Umum PBB menghadiri pertemuan pemimpin dunia untuk membahas posisi penting pasukan perdamaian di wilayah-wilayah berkonflik. Dalam ajang Pertemuan Tingkat Tinggi Pemelihara Perdamaian (Leaders Summit on Peacekeeping) yang diselenggarakan tanggal 28 September tersebut, Wapres Jusuf Kalla mendapat kehormatan berpidato dihadapan Presiden Obama dan 50 perwakilan negara yang memiliki pasukan perdamaian. Dalam pidatonya, Wapres memaparkan kinerja pasukan perdamaian dari Indonesia. Indonesia menjadi negara penyumbang pasukan perdamaian paling konsisten yang dimulai dengan misi di Sinai pada 1957 dan di Kongo pada 1960. Wapres juga menyampaikan bahwa Indonesia telah menjadi tuan rumah bagi Pertemuan Regional Asia Pasifik tentang Pemelihara Perdamaian (Asia-Pacific Regional Meeting on Peacekeeping) di Jakarta Juli lalu. “Saya berbangga hati untuk mengatakan bahwa pertemuan tersebut telah mampu mencapai tujuannya,” ucap Wapres. Sejumlah isu penting diangkat pada Pertemuan Jakarta itu, antara lain: Pertama, pertemuan membahas isu utama tentang perhatian bersama untuk berkontribusi dalam penjagaan perdamaian PBB. Kedua, PBB diminta memberikan kejelasan terkait mandat misi, terutama mengenai pembedaan antara penjagaan perdamaian dan penegakan perdamaian. Ketiga, perlu ada konsultasi antara Departemen Operasi Pemelihara Perdamaian PBB (Department of Peacekeeping Operations) dan negara-negara yang ikut dalam seluruh tahap penyusunan mandat. 34 MERSELA | Edisi Desember 2015 Pada kesempatan itu, Wapres menegaskan bahwa Indonesia akan senantiasa berkontribusi dalam penjagaan perdamaian PBB di masa depan. Saat ini, sudah ada 2.730 personil tentara dan polisi Indonesia di 9 misi. Bahkan, Rais Abin, pernah dinobatkan sebagai Komandan Pasukan Peacekeeping Force United Nations. Dengan target 4.000 penjaga perdamaian hingga tahun 2019, baru-baru ini Pemerintah Indonesia mendirikan suatu pusat keamanan dan pemelihara perdamaian untuk melatih para calon pemelihara perdamaian, termasuk peserta dari negara-negara sahabat. “Dalam menghadapi ancaman terkini terhadap keamanan internasional, kita harus bekerja keras untuk meningkatkan kerjasama internasional dan sikap saling percaya antar negara,” tegas Wapres. Namun, lanjut Wapres, yang lebih penting adalah mengedepankan pencegahan konflik di dalam negara itu sendiri. “Secara internal, negara dapat mencegah terjadinya konflik dan munculnya radikalisme antara lain dengan memastikan terwujudnya keadilan sosial, pembangunan ekonomi yang lebih adil, proses politik yang inklusif dan partisipatif, serta tata pemerintahan yang baik,” ujarnya. Kehadiran Wapres Jusuf Kalla dalam KTT tersebut untuk berbagi dengan para pemimpin negara sangatlah tepat, mengingat pengalamannya sebagai “juru damai” sudah diakui dunia. Selain menjadi sosok utama yang berhasil mendamaikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, Wapres juga terlibat dalam sejumlah perundingan damai di tingkat internasional, seperti perundingan damai Moro Islamic Liberation Front dengan Pemerintah Filipina. Pertemuan Tingkat Tinggi Meja Bundar tentang Kerjasama Selatan-Selatan Dalam kesempatan tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa Kerjasama SelatanSelatan (KSS) perlu diselaraskan dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015 dengan tetap berpegang pada prinsip awal yang dimandatkan oleh Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955. Hingga saat ini, Indonesia telah melakukan sekitar 400 program pelatihan pengembangan kapasitas bagi lebih dari 4.000 peserta dari negara-negara di Asia, Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin. “Sungguh kami melihat bahwa KSS terus memegang posisi kunci dalam merangkul berbagai pemangku kepentingan dari belahan bumi selatan untuk membentuk kemitraan global,” ujar Wapres. DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Agenda lain yang diikuti Wapres Jusuf Kalla adalah menghadiri pertemuan Tingkat Tinggi Meja Bundar pada tanggal 26 September 2015. Pertemuan membahas dinamisme baru dalam Kerjasama Selatan-Selatan untuk melaksanakan Agenda Pembangunan Pasca-2015. Pertemuan ini dihadiri oleh 18 (delapan belas) negara dan 9 (sembilan) organisasi yang dipandang aktif mengusung Kerjasama Selatan-Selatan, termasuk Indonesia. Pertemuan ini merupakan inisiatif Presiden Tiongkok Xi Jinping. Sebagai tindak lanjut KAA 2015, Indonesia juga berkomitmen untuk membangun Pusat Asia-Afrika dalam waktu dekat. Pusat ini ditujukan sebagai dukungan institusional untuk menindaklanjuti Kemitraan Strategis Asia-Afrika Baru di berbagai wilayah interaksi, seperti G-to-G (pemerintah dengan pemerintah), B-to-B (bisnis dengan bisnis), dan P-to-P (masyarakat dengan masyarakat). Pertemuan Pemimpin Dunia tentang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Pertemuan tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga menjadi agenda yang turut dihadiri Wapres Jusuf Kalla. Pertemuan yang digelar pada 27 September 2015 ini merupakan pertemuan bersejarah karena untuk pertama kalinya komitmen terhadap perempuan dan anak perempuan dibahas pada tingkat kepala negara dan pemerintahan di PBB. Kita harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara dan inklusif, partisipasi yang lebih besar, berikut kendali dan manfaat yang lebih baik dari semua sektor yang ada,” kata Wapres dalam sambutannya. Untuk mencapai tujuan ini, lanjut Wapres, Indonesia berfokus pada tiga area penting. Pertama, meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, antara lain dengan mendorong lebih banyak perempuan berada dalam posisi kepemimpinan tingkat atas di seluruh sektor pembangunan manusia. Kedua, mengurangi rata-rata kematian ibu melahirkan dengan memperluas akses terhadap layanan kesehatan reproduksi. Ketiga, menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di keluarga dan masyarakat, termasuk kaum pria, untuk memerangi kejahatan ini. MERSELA | Edisi Desember 2015 35 DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO LIPUTAN KHUSUS Debat Tahunan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-70 Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri Debat Tahunan Sidang Umum PBB ke-70 pada tanggal 2 Oktober 2015. Wapres mendapat giliran ke-18 dari 33 kepala negara atau utusan pemerintah negara anggota PBB yang berpidato pada hari tersebut. Wapres menyampaikan soal peran Indonesia dalam pasukan pemelihara perdamaian PBB di berbagai belahan dunia yang sedang dilanda konflik, dengan personil 2.700 prajurit. Wapres menekankan kepeduliannya pada kemajuan kecil yang dicapai oleh Komisi Perlucutan Senjata PBB (The United Nations Disarmament Commission). Masyarakat internasional pun menjadi saksi atas masa-masa kelam migrasi manusia dan para pengungsi. Untuk itu Wapres mengajak pemimpin yang hadir untuk bersama-sama mencegah tersebarnya radikalisme dan terorisme serta mendukung kedaulatan Palestina. “Terkait dengan Palestina, kita harus memastikan lahirnya negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” tegas Wapres. Wapres menambahkan disparitas dan ketimpangan ekonomi juga masih berlangsung, dialami oleh lebih 800 juta penduduk dunia yang menderita karena kekurangan pangan. Di banyak belahan dunia, kaum perempuan, anak-anak, para lanjut usia, kalangan disabilitas, dan kaum minoritas masih termajinalkan. Di bidang perdagangan, belum ada solusi kongkret dari Putaran Perdagangan Doha 36 MERSELA | Edisi Desember 2015 ( The Doha Trade Round) untuk mendukung sistem perdagangan multilateral yang adil. Krisis ebola juga menunjukkan kebutuhan memperbaiki sistem kesehatan dunia. Begitu juga jumlah pengangguran yang masih tinggi. “Kita harus bekerja sama dalam mewujudkan perdamaian dan kemakmuran demi rakyat kita,” ucap Wapres. Wapres menegaskan PBB harus melakukan reformasi menjadi organisasi yang inklusif dan transparan. Berbagai upaya perbaikan antara lain bahwa melalui Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Perancis, harus menghasilkan kesepakatan batas peningkatan temperatur dunia harus di bawah 2°C. Sementara, untuk memperkecil kesenjangan global, Kerjasama SelatanSelatan juga menjadi alat yang sangat penting. Selain itu Wapres juga menyampaikan pembentukan “The Asian Africa Centre” sebagai tindak lanjut Peringatan 60 tahun KTT Asia Afrika di Jakarta dan Bandung. Debat tahunan sidang umum PBB ke-70 yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla kali ini, bertepatan dengan Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober. Dalam pertemuan ini, Wapres pun mengenakan batik biru lengan panjang. Enam tahun lalu, tepatnya 2 Oktober 2009, Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan batik Indonesia sebagai warisan dunia. Pertemuan Bilateral Ditengah lawatannya menghadiri Sidang Umum PBB, Wapres Jusuf Kalla berkesempatan melakukan pertemuan bilateral dengan empat Kepala Negara, yakni dengan Presiden Latvia Raimonds Vejonis, Presiden Kroasia Kolinda Grabar Kitarovic, Perdana Menteri Luksemburg dan Ratu Belanda Queen Maxima. DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Presiden Latvia Raimonds Vejonis adalah Kepala Negara pertama yang diagendakan dalam pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla dan digelar pada 26 September 2015. Dalam pertemuan tersebut dibahas peningkatan kerjasama bidang ekonomi, diantaranya dengan mewujudkan perjanjian layanan udara bagi kedua maskapai penerbangan, Latvia dan Indonesia. Sementara untuk meningkatkan kerjasama kekonsuleran seperti fasilitas bebas visa, Wapres berharap sebaliknya agar warga Indonesia yang akan berkunjung ke negara-negara di kawasan Schengen mendapat kemudahan untuk meningkatkan pariwisata dan perdagangan. Pada kesempatan tersebut juga disepakati akan dibukanya kantor perwakilan (kedutaan besar) kedua negara, serta akan saling mendukung dalam keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pertemuan dengan Presiden Kroasia Kolinda Grabar Kitarovic digelar pada 28 September 2015 dengan agenda pertemuan membahas penanganan pengungsi dan dukungan usulan Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kitarovic adalah perempuan pertama yang menjadi Presiden Kroasia yang menjabat sejak bulan Februari 2015 lalu, sebagai Presiden ke-4 Republik Kroasia. DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Selanjutnya, pada 29 September 2015 Wapres Jusuf Kalla melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Luksemburg Xavier Bettel. Wapres meminta Luksemburg mendukung Indonesia mendapatkan bebas-visa Schengen, sebagaimana Indonesia telah membebaskan visa bagi warga negara Luksemburg untuk mengunjungi Nusantara. Disamping itu dibahas pula kerjasama terkait satelit. Menurut Wapres Luksemburg sangat kuat di bidang manajemen satelit. Mereka memiliki sekitar 80 slot satelit yang nantinya akan dijelajahi Indonesia untuk digunakan, mengingat saat ini Indonesia hanya memiliki empat satelit beroperasi. Usulan Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB juga dibahas dalam pertemuan tersebut. Di hari yang sama, Wapres Jusuf Kalla juga melakukan pertemuan bilateral dengan Ratu Belanda Queen Maxima dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal PBB Advokat khusus untuk Keuangan Inklusif untuk Pembangunan (UN Secretary-General’s Special Advocate for Inclusive Finance for Development). Pertemuan Maxima dengan Wapres untuk memastikan bahwa Indonesia memiliki semua perhatian pada inklusif keuangan untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Queen Maxima adalah juru bicara terkemuka yang memainkan peranan penting dalam jasa keuangan khususnya mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil, dan melanjutkan tujuan pembangunan yang beragam termasuk kelestarian lingkungan, keamanan pangan, air bersih, kesehatan yang baik dan pendidikan universal. Dalam pertemuan Wapres menyampaikan, bahwa Indonesia sudah serius dalam melaksanakan kebijakan inklusif keuangan untuk UKM, sebagaimana terbukti dalam manajemen Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR adalah program yang didukung pemerintah yang bertujuan untuk menyalurkan kredit mikro kepada pemilik usaha kecil di seluruh negeri pada tingkat bunga yang lebih rendah daripada kebanyakan pinjaman mikro lainnya. MERSELA | Edisi Desember 2015 37 DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO LIPUTAN KHUSUS Pertemuan dengan Komunitas Bisnis Amerika Serikat Dalam upaya peningkatan kerjasama bidang ekonomi dan investasi antara Indonesia - Amerika, pada 28 September 2015 Wapres Jusuf Kalla bertemu dengan komunitas bisnis Amerika Serikat (AS) di New York, dari berbagai perusahaan berbadan hukum dan organisasi yang memberikan kontribusi langsung kepada peningkatan hubungan ekonomi Indonesia - AS. Sebagai penyelenggara adalah AmericanIndonesian Chamber of Commerce (AICC) dan USASEAN Business Council (USABC). Wapres Jusuf Kalla selain menyampaikan pokokpokok prioritas kebijakan ekonomi Pemerintahan Indonesia serta berbagai gebrakan baru dalam rangka mengurangi hambatan berinvestasi di Indonesia, deregulasi, dan pentingnya kontribusi investasi, juga menyatakan pentingnya kerjasama ekonomi antar kedua negara. “Kerjasama ekonomi antara kedua negara sangat penting dan saya menyampaikan penghargaan atas investasi dan partisipasi yang telah dilakukan oleh komunitas bisnis Amerika Serikat di Indonesia,” ungkap Wapres. Sementara itu, pihak AS mengapresiasi peran Wapres Jusuf Kalla dalam membantu Presiden Joko Widodo, sehingga terlihat upaya yang sangat serius dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan deregulasi atas berbagai kebijakan yang mempersulit masuknya investasi ke Indonesia serta fokus yang sangat tinggi dalam memperkuat infrastruktur dan pengadaan listrik dalam lima tahun ke depan. 38 MERSELA | Edisi Desember 2015 Wakil-wakil dari komunitas bisnis AS menyampaikan kesiapannya untuk terus memberikan kontribusi dalam pengembangan ekonomi kedua negara khususnya ikut memberikan kontribusi positif terhadap berbagai program ekonomi Pemerintah Indonesia. Selain itu, kunjungan Wakil Presiden RI ini dipandang memiliki makna strategis dan menjadi bagian integral dalam rangka memperkuat momentum peningkatan kerjasama ekonomi kedua negara hingga pada puncaknya ditandai dengan kunjungan Presiden RI ke Washington D.C., pada akhir Oktober 2015. Dalam pertemuan tersebut, beberapa hal yang mengemuka antara lain adalah, Pertama, keinginan Pemerintah Indonesia untuk memperbanyak produk yang dihasilkan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar. Kedua, Pemerintah Indonesia berupaya membatasi ekspor bahan mentah dan meningkatkan nilai tambah bahan yang diekspor. Ketiga, meningkatkan kepastian (assurances) kepada pelaku bisnis agar lebih nyaman melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, serta guna mendorong berbagai paket deregulasi, ekonomi kreatif, dan banyaknya turis yang datang ke Indonesia. Kemungkinan munculnya berbagai kendala dalam hubungan ekonomi dan investasi kedua negara diyakini akan dapat diatasi, karena pelaku bisnis AS mengakui komitmen dan kredibilitas Presiden dan Wakil Presiden RI yang telah memiliki pemahaman dan sangat mengetahui kebutuhan para pelaku bisnis. Silaturahmi dengan Masyarakat Indonesia DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Dalam lawatannya, Wapres Jusuf Kalla tidak lupa bersilaturahmi dan berbicara di depan 100 perwakilan masyarakat Indonesia di Pantai Timur AS di Ruang Pancasila, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), New York pada 24 September 2015. “Pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya dengan bersatu maka Indonesia dapat maju dan menciptakan inovasi-inovasi,” tutur Wapres. Wapres Jusuf Kalla menyampaikan langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan untuk memajukan ekonomi Indonesia. Dalam kesempatan tersebut dilakukan pula dialog dengan perwakilan masyarakat Indonesia, yang dipandu oleh Konsulat Jenderal RI New York. Dialog diikuti dengan penuh antusias oleh semua yang hadir, mulai dari tokoh agama, tokoh kedaerahan, sesepuh, mahasiswa, profesional, juga pengusaha. Di samping itu, dihadiri pula oleh perwakilan instansi pemerintah RI dari KJRI, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI), dan perbankan. Berbagai pertanyaan diajukan kepada Wapres, diantaranya dari perwakilan Perkumpulan Warga Kristiani Indonesia (Perwakrin) New York, Soeko Prasetyo, yang mempertanyakan tentang perkembangan undang-undang dwi kewarganegaraan dan fasilitas kesehatan. Menjawab petanyaan tersebut, menurut Wapres, beberapa kebijakan seperti bebas visa akan disusulkan dengan kebijakan lain dan terdapat beberapa pertimbangan resiprokal yang perlu diperhatikan. Selain itu terdapat pula pertanyaan yang berkaitan dengan perdagangan dan infrastruktur. Wapres menjelaskan bahwa peningkatan infrastruktur di Indonesia harus mempertimbangkan berbagai hal seperti kearifan lokal, Hak Azazi Manusia (HAM), dan demokrasi. Pemerintah telah mengupayakan peningkatan infrastruktur untuk mendorong perekonomian dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sholat Idul Adha bersama 500 Masyarakat Indonesia dan Komunitas Muslim Negara Lain Sebelum menghadiri Sidang Umum PBB, lawatan Wapres Jusuf Kalla ke New York, Amerika Serikat diawali dengan melaksanakan sholat Idul Adha di Masjid Al Hikmah, New York pada 24 September 2015. yang memimpin jalannya sholat, dalam khutbahnya menyampaikan bahwa semua manusia berderajat sama di hadapan Tuhan sehingga diharapkan menjaga kerukunan dan hidup saling tolong-menolong. Didampingi Ibu Mufidah Jusuf Kalla, Menlu Retno LP Marsudi, serta bersama-sama dengan sekitar 500 masyarakat Indonesia dan komunitas Muslim dari negara lain, Wapres melaksanakan shalat bersama dalam suasana khusyuk dan kekeluargaan. Dalam kesempatan tersebut, Imam Shamsi Ali Selepas sholat, Wapres melayani permintaan wawancara dari berbagai awak media Indonesia dan mengungkapkan rasa senangnya dapat beribadah dengan masyarakat Indonesia di New York. Sebelum meninggalkan Masjid Al Hikmah, Wapres dan rombongan menikmati makanan khas lebaran. (SK/TH) MERSELA | Edisi Desember 2015 39 TOKOH KITA DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI PROF. DR. AZYUMARDI AZRA, MA Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Pemikirannya Warnai Dunia Keislaman Indonesia Pria Minangkabau yang senang menulis ini mempunyai lebih dari 15 ribu judul buku yang terdapat dalam koleksi perpustakaan pribadinya di gedung ruko yang ia bangun empat tahun lalu. Tulisantulisannya kini tersebar dalam sekitar 36 buku berbahasa Indonesia, Inggris dan Arab; dan sekitar 30an bab buku suntingan sarjana Amerika atau Eropa yang diterbitkan secara internasional dalam bahasa Inggris. 40 MERSELA | Edisi Desember 2015 “Selalu berikhtiar dan bekerja ikhlas dan maksimal dengan penuh komitmen, konsistensi, pantang menyerah demi hari ini yang lebih baik daripada kemarin dan hari esok yang lebih baik daripada hari ini. Selebihnya percayalah dengan suratan takdir” Subyek tulisannya pun beragam. Tentang sejarah sosialintelektual Islam; kebudayaan dan peradaban Islam, Indonesia, dan Asia Tenggara; pendidikan Islam dan pendidikan nasional Indonesia; politik dan demokrasi; teologi dan dialog intra dan antar-agama, dan seterusnya. Karena karya-karya yang tersebar begitu luas, tidak heran kalau Wobometric/Google Scholars mencatatnya sebagai tokoh yang menduduki rangking ketujuh di antara 10 ilmuwan Indonesia yang paling banyak dikutip selama dua tahun berturut-turut pada 2014 dan 2015. Dari 10 ilmuwan Indonesia yang paling banyak dikutip itu, Azyumardi Azra satu-satunya di bidang ilmu sosial dan humaniora; selebihnya dalam ilmu alam atau ilmu eksakta. Pria berpandangan luas ini telah banyak menimba ilmu baik di dalam maupun di luar negeri. Begitu banyak ilmu yang didapatnya, tetapi menjadi seorang pendidik adalah kebanggaannya. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE, yang senang pula disapa dengan nama Azra, adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia, sejarawan, akademisi dan sekaligus praktisi pendidikan. Nama yang disandangnya memiliki arti ‘permata hijau’ sesuai dengan profilnya sebagai intelektual yang memiliki pandangan dan wawasan luas yang mewarnai khasanah keilmuan di Indonesia namun tetap bersahaja, layaknya sebuah permata. Bagi sementara kalangan ia mungkin lebih dikenal sebagai pengamat politik atau cendekiawan Muslim independen, padahal ia pernah berkecimpung dalam birokrasi lembaga milik negara. Dalam hal ini, ia pernah menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1998-2002), lanjut sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2002-2006)—setelah ia berhasil mengubah Institut ini menjadi Universitas Komprehensif pada 20 Mei 2002. Kini, pria kelahiran 61 tahun yang lalu ini kembali sebagai dosen biasa setelah 16 tahun menjadi PR I (1996-8), Rektor (1998-2006) dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (2006-Maret 2015). Dalam periode terakhir ini, ia juga merangkap jabatan sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden Jusuf Kalla (2007-2009). Wapres memberikan banyak ruang bagi Azra untuk tetap berkiprah di kampus dan menghadiri berbagai konferensi di luar negeri. Pengalaman bekerja di kantor Wapres ini memperkaya pengalaman dan kekayaan rohaninya tentang pemerintahan dalam inner circle kekuasaan puncak negeri ini. Azyumardi adalah orang pertama yang meraih gelar Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE) dari Ratu Elizabeth, Inggris. Gelar yang diterimanya pada tahun 2010 ini karena dedikasinya dalam bidang yang dipandang memiliki jasa besar oleh Kerajaan Inggris, yaitu mendorong pemahaman toleransi beragama dan dialog antar peradaban. Dengan gelar yang didapatnya ini, konon yang mendapat gelar tersebut dapat bebas keluar masuk Inggris tanpa visa, tetapi menurutnya, ia tetap harus menggunakan visa untuk masuk ke Inggris seperti layaknya masuk ke negara lain saja. Selain itu, ia menerima penganugerahan Bintang Mahaputra Utama RI (2005); MIPI Award dan Fukuoka Prize Jepang (2014); ‘Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi’ Harian Kompas, dan Achmad Bakrie Award (2015). Ia menyatakan, tidak pernah mengimpikan memperoleh berbagai penghargaan sangat bergengsi itu baik di tingkat nasional maupun internasional seperti itu. “Allah subhanahu wa ta’ala selalu melimpahi saya dengan rahmat dan rezeki yang tidak terduga—rizqun minAllah min ghayru la yahtasib,” ujarnya. Sepak terjangnya dalam dunia keislaman Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Pandangannya terhadap Islam banyak dipantau dan disimak masyarakat Indonesia. Baginya Islam adalah Islam Wasathiyyah, yaitu Islam jalan tengah, tidak radikal, tidak ekstrem kiri atau ekstrem kanan, tetapi Islam yang umatnya disebut di dalam Al Quran sebagai ummatan wasathan. Islam yang selalu tampil dengan wajah tersenyum (smiling face), toleran, penuh warna, dan akomodatif. Baginya pula, Islam perlu dikembangkan sebagai Islam yang kompatibel dengan modernitas, yang memiliki rasionalitas, demokratis dan toleran terhadap MERSELA | Edisi Desember 2015 41 TOKOH KITA perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Menurutnya, salah satu pengembangan model keislaman tersebut seharusnya dapat melalui lembaga pendidikan Islam. UIN Syarif Hidayatullah yang kompatibel dengan modernitas sebagai contohnya. “Pendidikan agama bukan tanggung jawab lembagalembaga pendidikan saja. Keluarga mempunyai tanggung jawab yang utama. Pendidikan agama pertama kali harus dimulai dari rumah dan masyarakat, sedangkan sekolah hanya sekunder, karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan dalam keluarga. Segala perilaku, cara berpikir baik, dan memberi teladan dalam keluarga merupakan pendidikan agama,” jelas pria yang hobi berjoging dan nonton sepak bola itu. Ilmu Selalu Menyertai Kehidupannya Azyumardi tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang agamis dan lingkungan Islam modernis. Ia lahir pada 4 Maret 1955 dari rahim seorang guru agama yang bernama Ramlah, dan seorang ayah bernama Azikar. Ayahnya adalah seorang tukang kayu, pedagang kopra dan cengkih, yang sangat menekankan pendidikan pada anak-anaknya. Bersama kelima saudaranya, ia berhasil menjadi sarjana. Berbeda dengan orang Minang umumnya, Azyumardi lebih banyak mendapatkan pendidikan agama bukan di surau atau di langgar, melainkan dari ibundanya yang memberikan pelajaran agama langsung padanya di rumah. Kebetulan ibundanya adalah lulusan madrasah Al-Manar, sekolah yang juga didirikan kalangan modernis Sumatera Barat. Tetapi kakeknya dari pihak ibu adalah seorang syaikh tarekat di kampungnya, yang kemudian mengalir dalam dirinya dalam dorongan yang kuat untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan tasawuf. Setelah mengecap pendidikan formal sekolah dasar yang berada di dekat Pasar Lubukalung, Azyumardi kemudian meneruskan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. Setelah tamat dari PGAN pada tahun 1975, Azyumardi memilih kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)—sekarang UIN—Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara ayahnya menginginkan ia melanjutkan sekolah ke IAIN Padang. Kemauannya yang keras tidak dapat menghalangi keinginannya. Akhirnya orang tuanya mengizinkan Azyumardi untuk meneruskan sekolah di Jakarta, tahun 1976. Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, menjadi pilihannya. 42 MERSELA | Edisi Desember 2015 Berbagai organisasi kemahasiswaan banyak diikutinya selama kuliah di Jakarta. Sebagai ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah pernah dilakoninya pada 1979-1982. Bahkan pernah pula menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada 1981-1982. Kesukaannya dalam menulis mengantarnya untuk menjadi wartawan Panji Masyarakat antara 19791985. Ia pun pernah mencoba untuk bekerja di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1982-1985. Tetapi kemudian memutuskan kembali ke almamaternya untuk menjadi dosen sesuai permintaan gurunya yang juga pernah menjadi Rektor, Profesor Harun Nasution. Setelah sempat bertugas sebagai dosen selama setahun, pada awal 1986 Azyumardi memperoleh beasiswa Fulbright dari Pemerintah Amerika Serikat untuk melanjutkan program S2 di Columbia University, New York, AS. Gelar MA diperolehnya pada 1988 dari Departemen Bahasa-bahasa dan Kebudayan Timur Tengah. Setelah menyelesaikan S2, ia tidak berhasrat segera kembali ke tanah air, sebaliknya ia mencari beasiswa S3 ke berbagai lembaga, yang akhirnya ia peroleh dari Rektor Columbia University dalam bentuk Columbia University President Fellowship Departemen Sejarah, dengan gelar MPhil yang diperolehnya pada tahun1990. Sementara, gelar PhD diraihnya dari departemen yang sama pada akhir 1992. Jiwa Azyumardi yang haus akan ilmu yang menjadikannya cendekiawan Muslim yang cukup dikenal tidak hanya di Indonesia tetapi juga internasional, tak lain karena pengaruh pemikiran dan jalan hidup ulama dan budayawan besar Indonesia, Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrulloh atau yang dikenal dengan Buya Hamka. “Buya Hamka menjadi role model saya karena kedalaman dan keluasan ilmunya, kefasihannya bertutur kata, keteguhan integritasnya, ketidaktergodaannya pada politik kekuasaan, dan kepengasihannya kepada anakanak muda,” ungkapnya. Selain itu, Presiden pertama yang juga Proklamator Indonesia Ir Soekarno, menjadi inspirasi Azyumardi untuk terus memperjuangkan pembangunan Indonesia melalui pemikiran-pemikiran intelektualnya. “Saya mengidolakan Soekarno karena kedalaman dan ekletisisme keilmuannya, perjuangannya yang tidak pernah henti membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan, dan kefasihan tutur katanya untuk membangun bangsa memiliki jati diri Indonesia,” ujarnya. Karya ini dipandang banyak kalangan sarjana sebagai terobosan akademik dan landmark kajian Islam Indonesia. Karya yang menggunakan banyak sumber Arab, Indonesia, Belanda, Persia, Prancis dan Jerman ini berhasil menempatkan Indonesia dengan Islamnya yang distingtif dalam kaitannya dengan Islam global. Karena itu, setelah kajian ini, muncul berbagai kajian akademis tentang jaringan lokal dan jaringan global dalam intelektualisme Islam secara keseluruhan. Disertasinya merupakan hasil penelitian di beberapa tempat, antara lain di Mesir, Belanda, dan Arab Saudi. Penelitian tersebut atas biaya Ford Foundation, yang menghabiskan waktu setahun. Karena pengalamanya sebagai wartawan, memudahkan Azyumardi untuk menganalisis data dan menulisnya menjadi sebuah disertasi dengan tebal 600 halaman dalam waktu relatif cepat (September 1991 sampai Juni 1992). Pria pemikir berpenampilan sederhana ini banyak mencurahkan waktunya untuk membuat banyak karya terutama karya-karyanya dalam kehidupan dan pendidikan Islam di Indonesia. Goresan penanya telah banyak dibaca orang. Begitu banyak pendapat orang yang pro dan kontra terhadap pandangannya tentang Islam, tetapi ia tetap memiliki obsesi untuk mengubah pemikiran Islam di Indonesia. Azyumardi tetap semangat untuk menorehkan semua yang ada dalam benaknya tentang Islam melalui bentuk tulisan artikel dan essay yang dimuat di berbagai media massa maupun sejumlah buku yang pernah diterbitkannya. Kemampuannya dalam menulis, khususnya perkembangan Islam dalam kaitan dengan berbagai DOK. SETWAPRES > ISTIMEWA ‘Menulis’ untuk Dunia Keislaman Indonesia Untuk memperoleh gelar PhD, Azyumardi menulis disertasi dengan judul, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, dan juga dalam bahasa Inggris dengan judul The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, dan dalam bahasa Arab dengan judul Shibkah al-‘Ulama’. Buku tersebut setebal 300 halaman dan disponsori penerbitannya oleh Australian Association of Asian Studies (AAAS) yang diterbitkan oleh penerbit komersial Allen dan Unwin Australia, kemudian Hawai University Press dan KITLV Leiden, Belanda. aspek kehidupan lain memang patut diacungi jempol karena ia Azyumardi Azra menerima gelar CBE menulis selalu menggunakan ditemani keluarganya data yang valid. Bahkan seorang di kediaman Taufik Abdullah, sang sejarawan Dubes Inggris untuk Indonesia Indonesia pun memuji bakatnya, Martin Maltfull tetapi Azyumardi menolak untuk disebut sebagai sejarawan. Padahal tulisan sejarahnya tidak hanya sekedar cerita dari tafsir atas setiap kejadian. Dari beberapa bukunya terlihat paparan analisis atas berbagai peristiwa sejarah sehingga apa yang ditulisnya tidak sekedar tulisan biasa tetapi mengandung banyak makna yang dalam. Azyumardi, seorang pria yang menjalani prinsip hidup yang dipilihnya, akan terus menulis bagi dunia keislaman di Indonesia karena baginya menulis adalah sebuah keharusan. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang bahkan pro dan kontra yang diberikan banyak orang terhadap tulisan yang berisi pandangan dan pemikiran tentang Islam yang dimilikinya, dia akan terus menghadirkan karya-karyanya hingga obsesinya tercapai, bahwa Islam Indonesia adalah Islam Al Wasathiyyah. Pemikir dan Praktisi Pendidikan Setelah menyelesaikan program S3, ternyata sebuah kesempatan mendatanginya kembali. Azyumardi mendapat kesempatan untuk mengikuti program postdoctoral di Oxford University dengan berafiliasi pada Oxford Centre for Islamic Studies selama setahun (1994-1995). Bagi Azyumardi, semua yang dialaminya merupakan anugerah yang sudah diatur Allah. Ketika menempuh pendidikan untuk meraih gelar MA dan Ph.D., Azyumardi mendalami Islam bukan dengan pendekatan dogmatis, tetapi historis. Saat itu konsentrasi studinya memang sejarah Islam, lebih khusus lagi mengenai tradisi ulama. Ia sangat tertarik MERSELA | Edisi Desember 2015 43 TOKOH KITA dengan kecenderungan para ulama yang sufistis. Sejak itulah Azyumardi mulai banyak mempelajari ilmu tasawuf. Ia merasakan sesuatu menyegarkan dirinya. Kini, dia merasa lebih dapat mengapresiasi tasawuf beserta amalannya yang sangat berwarna. Bagimya, betapa penting tasawuf itu bagi kehidupan. Ia pernah dua kali dibaiat almarhum Abah Anom ke dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah; dan pernah pula dibaiat Syaikh Hisham al-Kabbani al-Naqsyabandi yang menetap di AS dalam kunjungannya ke Indonesia. Ia memang kelihatan merasa nyaman dalam tradisi Islam tradisional, karena menurutnya, pengalaman keislaman yang lebih intens justru didapatkan setelah ia mempelajari tradisi ulama dengan kecenderungan intelektual sufistik mereka. Pada 1997 Azyumardi menjadi guru besar sejarah pada Fakultas Adab. Selanjutnya ia menjadi birokrat dan praktisi pendidikan sebagai Pembantu Rektor I pada 1996 dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 14 Oktober 1998 menggantikan Quraish Shihab (yang terangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet terakhir Presiden Soeharto). Dalam masa kepemimpinannya, status IAIN Jakarta secara resmi berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berubahnya IAIN menjadi UIN merupakan keberhasilannya yang besar. Perubahan tersebut menurutnya sebagai kelanjutan ide rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Oleh karena itu dalam IAIN muncullah fakultas sains dan teknologi, ekonomi dan bisnis, psikologi, kedokteran dan ilmu kesehatan, dengan berbagai jurusan dan prodi yang membuat UIN Jakarta menjadi satu-satunya eks institut (baik IAIN maupun IKIP) yang oleh kalangan perguruan tinggi Eropa dapat disebut sebagai ‘Comprehensive University’ karena memiliki Prodi Kedokteran. Di antara berbagai kesibukkan yang dijalaninya, Azyumardi pun aktif menjadi Anggota dewan redaksi jurnal Ulumul Qur’an; Islamika; editor-in-chief Studia Islamika dan sejumlah jurnal internasional lain yang diterbitkan di Inggris, Australia, Pakistan dan Malaysia. Ia pernah pula menjabat Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM ) IAIN Jakarta. Ia pun dipercaya menjadi dosen tamu di sejumlah universitas 44 MERSELA | Edisi Desember 2015 seperti University of Philippines, University of Malaya, University of Melbourne, Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Leiden, New York University, Columbia University, Harvard University dan banyak lagi. Azyumardi aktif pula sebagai anggota pada Southeast Asian Studies Regional Exchange Program (SC SEASREP) Toyota Foundation & The Japan Foundation dan sejumlah lembaga donor untuk penelitian di berbagai negara, sejak 1998 sampai sekarang. Selain itu, ia pun termasuk salah seorang pimpinan pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS). Membangun Biduk Keluarga Raushanfikr Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra dan Emily Sakina Azra adalah buah hati hasil pernikahan Azyumardi dengan adik kelasnya di Fakultas Syariah yang aktif di IMM Cabang Ciputat, Ipah Farihah. Pernikahan mereka awalnya terbentur kendala karena adanya perbedaan adat istiadat. Azyumardi sebagai seorang Minang tidak berhak melamar tetapi pihak perempuanlah yag harus melamar laki-laki. Sedangkan Ipah yang berasal dari suku Sunda tidak wajar melamar laki-laki. Mereka tidak patah semangat karena pada akhirnya Ipah dilamar dengan diwakili meskipun keluarga besar Azyumardi sempat gusar tetapi hubungan menjadi terjalin baik kembali dengan keluarga besar Azyumardi setelah mereka mempunyai anak. Menumbuhkan minat baca adalah dorongan dan pembiasaan yang diajarkan pada anak-anaknya karena ia ingin mereka mempunyai wawasan luas selain berprestasi. Hadiah dalam bentuk belanja buku sepuasnya yang diberikan pada anak-anaknya bila ulang tahun dan berprestasi adalah sebuah kebiasaan untuk memberikan motivasi dalam mengejar prestasi. Dengan adanya pengaruh televisi dan lain-lain, ia memberikan kesadaran pada anak-anaknya untuk membatasi dan mengendalikan diri terhadap gaya hidup konsumtif dan materialistik. Baginya fungsi orang tua adalah selalu mendisiplinkan dan mengingatkan mereka karena anak-anak mempunyai kecenderungan untuk tidak teratur. Dengan kedisiplinan akan mengurangi pelanggaran yang berujung pada kebebasan melanggar. “Saya berusaha menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anak saya. Setelah shalat Maghrib, misalnya, biasanya saya dan isteri saya mengajarkan Al Quran pada mereka. Peran keluarga sangat vital untuk membina moral,” tuturnya. (SK) PENDAPAT MEREKA Layakkah Indonesia menjadi Kiblat Pemikiran Islam? Pola Pikir dan Pola Tindak serta Berakhlak Sesuai dengan Ajaran Islam H. Nasir Nawarisa Bauw Ketua MUI Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat Kita tidak usah dulu berpikir Indonesia menjadi pusat pemikiran Islam. Kita hidup di negara yang plural, penduduknya menganut agama yang berbeda-beda, dan sesekali terjadi gesekan antar umat. Belum lagi ditambah dengan perubahan zaman yang dipengaruhi oleh teknologi informasi, acara-acara TV, internet, dll, telah mengakibatkan banyak umat Islam yang perilakunya tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, mari kita menentukan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dengan pola pikir dan pola tindak serta berakhlak sesuai dengan ajaran Islam, untuk menciptakan suasana agar walaupun kita hidup di negara yang plural, tetapi dapat hidup damai. Sehingga Indonesia dapat menjadi pusat pemikiran Islam dari sisi kedamaiannya. (DY) Indonesia sudah Membuktikan dan menjadi Contoh bagi Dunia DR. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M. Konsultan Bank Dunia Konflik di Timur Tengah, terutama yang melibatkan organisasi Islam State of Iraq and Syria (ISIS), menyebabkan pandangan dunia barat terhadap Islam menjadi negatif. Pemboman yang terjadi di Paris memperparah pandangan ini. Hal ini membuat Donald Trump memberikan statement bahwa bila dia terpilih menjadi Presiden, maka dia akan melarang warga Muslim masuk ke Amerika Serikat. Pernyataan ini akhirnya memicu solidaritas dari berbagai negara mengecam pernyataan tersebut, dimana warga Inggris sampai membalasnya dengan melarang Trump datang ke Inggris. Sebelumnya bahkan Trump sempat memberikan statement bahwa dia akan memindahkan Negara Palestina ke Puerto Rico. Syukurlah saat ini Negara Palestina sudah diakui secara resmi keberadaannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun terdapat pandangan negatif dunia Barat terhadap Islam, masih ada solidaritas dari berbagai kalangan yang tidak sepakat dengan pandangan tersebut. Ini menandakan bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki pandanganpandangan seperti itu, dimana Islam sendiri sejatinya adalah rahmatan lil ’alamin, yaitu agama yang membawa perdamaian bagi umat manusia dan tidak membenarkan kekerasan dan terorisme, terutama yang mengatasnamakan agama sebagaimana terjadi belakangan ini. Sampai sekarang Indonesia adalah negara yang sudah membuktikan dan menjadi contoh bagi dunia bahwa Islam dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan agama dan kebudayaan lainnya. Oleh karena itu peluang untuk mewujudkan harapan dalam memperbaiki stigma negatif terhadap Islam ada di tangan Indonesia. Dalam Sustainable Development Goals yang mengedepankan kerjasama internasional, Indonesia memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjembatani dunia Barat dan dunia Islam. Sebagai anggota OKI dan berbagai organisasi kerjasama internasional lainnya, Indonesia paling tepat untuk dijadikan Kiblat Pemikiran Islam. (DY) Wacana Indonesia menjadi kiblat pemikiran Islam dapat langsung dirasakan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa negara kita sangat menghargai perbedaan. Walaupun penduduknya multi etnis, multi kultur, multi agama, dengan penduduk mayoritas beragama Islam, tetapi pemerintah menjamin kehidupan kaum minoritas, termasuk menghargai dan melindungi umat beragama lain untuk tetap menjalankan agamanya. Hal itu sesuai dengan ayat dalam Al Qur’an “lakum dinukum waliadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Dari sisi ini dapat dikatakan kehidupan bermasyarakat di Indonesia sudah sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Islam pembawa rahmat bagi semuanya. Wacana Kiblat Pemikiran Islam dapat Langsung Dirasakan Mohammad Reza Hartono Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Padjajaran Dari sisi pemikiran intelektual, ukurannya adalah pemikir Islam yang berkelas dunia. Untuk saat ini jumlah kaum intelektual Islam kita belum dapat dibandingkan dengan Arab Saudi, Mesir, bahkan India, yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam. Tetapi harapan ke depan tetap ada, dengan adanya rencana Ditjen Pendidikan Islam Kementrian Agama yang merencanakan program 50.000 doktor, 10.000 hafiz, santri berprestasi, dan program-program lainnya. Mudah-mudahan program tersebut dapat terwujud, dan dapat melahirkan kaum intelektual Islam yang mampu berkiprah di tataran Internasional. (DY) MERSELA | Edisi Desember 2015 45 SERBANEKA DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Kampung Sade Ketika Tradisi Berbaur dengan Agama Menelusuri Kampung Sade di Lombok Tengah sungguh merupakan pengalaman yang mengasyikkan, karena disuguhi alam perkampungan yang unik dan selalu menarik perhatian, sehingga Dinas Pariwisata setempat menjadikan Sade sebagai kampung wisata. Sade merupakan kampung tertua yang terletak di Selatan Lombok dan dikenal sebagai kampung yang mempertahankan adat suku Sasak. Keunikan yang sampai saat ini masih sangat terlihat adalah kampung Sade di Rembitan, para penduduk masih berpegang teguh menjaga keaslian kampung. Hingga saat ini, sudah 15 generasi menghuni kampung ini. Sebanyak 700 jiwa dari 150 kepala keluarga, merupakan satu generasi dari satu keturunan karena tinggal di Kampung Sade ini, memiliki budaya menikah antar sepupu dengan alasan untuk menjaga keturunan. Karena itulah tidak ada satupun dari mereka menikah dengan orang di luar kampung mereka. Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok. Meski listrik dan Program Nasional Pemberdayaan 46 MERSELA | Edisi Desember 2015 Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk, Kampung Sade masih menyuguhkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok. Hal itu bisa dilihat dari bangunan rumah yang terkesan sangat tradisional. Dengan atap dari ijuk, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu, dan beralaskan tanah. Orang Sasak Sade menamakan bangunan itu ‘bale’. Ada delapan bale di Kampung Sade yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya. Keunikan kedua dari Kampung Sade lainnya adalah masih terjaganya budaya perpaduan adat Lombok dengan budaya Islam. Dulu, penduduk Kampung Sade banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Salah satu keunikan dari Kampung Sade yaitu masih terjaganya budaya perpaduan adat Lombok dengan budaya Islam. kali sholat dalam sehari), namun sekarang, banyak penduduk Sade sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya. DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Dalam hal membangun keluarga, warga Kampung Sade tidak mengenal pacaran ataupun tunangan, namun tradisi mereka adalah Kawin Colek atau Kawin Lari. Tidak ada istilah lamaran atau tunangan, jika sama-sama mau maka pihak pria membawa lari pihak wanita disimpan di rumah pihak pria, dan keesokan harinya pihak perempuan diminta oleh pihak laki-laki diwakilkan oleh keluarga pria. Warga Kampung Sade memiliki mata pencaharian bertanam kedelai dan padi, yang dipanen setahun sekali. Hasilnya pun hanya untuk dikonsumsi warga sendiri. Untuk menambah penghasilan, kaum wanita menenun benang pintal menjadi kain-kain dan syalsyal dengan pewarna bahan alami seperti kayu, daun kecipir bahkan kelapa. Hasil kain tenun ini dapat dijual kepada para wisatawan yang datang berkunjung. Di antara rumah-rumah tradisonal Kampung Sade, terdapat masjid kecil yang dimanfaatkan untuk solat dan melakukan ibadah lainnya. Dan meskipun menganut agama Islam, budaya Lombok masih dipertahankan, contohnya jika ada perempuan mengandung, maka perempuan yang kandungannya baru sebulan diadakan upacara adat Sedekah Malam yang dilakukan antara sholat Maghrib dan Isya’, kemudian makan bubur tawar pada malam Senin, malam Rabu dan pada DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Keunikan lainnya, warga kampung punya kebiasaan khas yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau, bahkan hingga saat ini meskipun lantainya sudah mengenal plesteran semen. Dulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. Namun sekarang lantai rumah sebagian warga dibuat dengan plester semen terlebih dahulu, baru kemudian diolesi kotoran kerbau. Konon, dengan cara itulah lantai rumah dipercaya lebih hangat dan dijauhi nyamuk. Meskipun kotoran itu tidak dicampur apa pun kecuali sedikit air, namun tak ada bekas bau kotoran kerbau yang tercium. Atas: ‘Bale’, bangunan rumah suku asli Sasak Tengah: Masjid kecil di antara rumahrumah tradisional Kampung Sade Bawah: Salah seorang warga Sade sedang menenun kain khas Lombok waktu Subuh pada Jumat pagi. Upacara ini dipandu dan didoakan oleh Kyai setempat. Begitu juga ketika ada penduduk yang menikah, mereka sekarang sudah melakukan di KUA untuk melakukan akad, yang sebelumnya hanya dilakukan upacara tradisional di rumah masing-masing. (PI/GS) MERSELA | Edisi Desember 2015 47 DOK. SETWAPRES > ABDUL DJALIL GALERI FOTO DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS 29 Oktober 2015 Dari halaman Kantor Pusat Palang Merah Indonesia (PMI) Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla melepas Tim Operasi Kemanusiaan PMI untuk bencana asap. DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS 11 November 2015 Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan pengarahan kepada para calon Duta Besar, bertempat di Kementerian Luar Negeri. DOK. SETWAPRES > MOCH. MUCHLIS 14 November 2015 Usai meresmikan pembukaan konferensi internasional Peringatan 10 Tahun MoU Helsinki di Nangro Aceh Darussalam, Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama dengan sejumlah peserta. 48 DOK. SETWAPRES > MOCH. MUCHLIS 18 November 2015 Wakil Presiden menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation (KTT APEC) 2015 di Manila, Filipina. MERSELA | Edisi Desember 2015 DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS 10 Desember 2015 Wapres Jusuf Kalla membuka acara Bali Democracy Forum (BDF) VIII di Nusa Dua Bali, dengan tema “Democracy and Effective Public Governance”. DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS 12 Desember 2015 Wapres Jusuf Kalla meninjau maket pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Nusa Tenggara Barat, usai meresmikan pembukaan Muktamar VI dan Milad ke-25 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). 26 Desember 2015 Wapres Jusuf Kalla meninjau kesiapan produksi puncak minyak di lapangan Banyu Urip Blok Cepu. DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS 20 Desember 2015 Wapres Jusuf Kalla meninjau pabrik pengolahan Kakao di Ranommeto, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. MERSELA | Edisi Desember 2015 49 DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO GALERI FOTO DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO 11 November 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla meresmikan Pembukaan Festival Teluk Maumere yang pada puncaknya digelar pemecahan Rekor MURI Dunia, 1000 Penenun Sikka NTT menenun secara serentak. DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO 12 November 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla membuka selubung “Kebun Praktek”dalam rangka Pelatihan Kualitas PAUD di Balai Latihan Masyarakat Makassar. 17 Desember 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla menanam mangrove dalam kunjungan kerjanya ke Batam, Kepulauan Riau dalam rangka peringatan Hari Ibu ke-87 dan HUT Dharma Wanita Persatuan ke-1. 50 MERSELA | Edisi Desember 2015 DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO 30 November 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla meninjau Klinik PT. Sritex Solo dalam rangka Program Aksi Inspeksi Visual Asam (IVA) yang merupakan program kerja Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Kerja (OASE). DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO GALERI FOTO - Kegiatan DEKRANAS DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO 5 Agustus 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla memperhatikan salah satu motif batik usai membuka Pameran Kerajinan Motif Baru Dekranasda DKI Jakarta. DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO 25 November 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla mencoba alat tenun tradisional di showroom Dekranasda Provinsi Maluku. DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO 17 Desember 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla meninjau Pameran Dekranasda Provinsi Kepulauan Riau. 20 Desember 2015 Ibu Mufidah Jusuf Kalla berbincang dengan salah satu pengrajin perak saat meninjau Pameran Dekranasda Provinsi Sulawesi Tenggara. MERSELA | Edisi Desember 2015 51 OPINI DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO Peran Indonesia dalam Dunia Islam Melihat kondisi Timur Tengah yang saat ini banyak cobaan dan kendala perang yang tidak kunjung selesai, maka pusat studi Islam seperti Yaman dan Mesir, saat ini belum tentu sangat fokus mengembalikannya seperti kejayaannya pada masa silam. Para pakar mengatakan bahwa Timur Tengah menyimpan “bara api politik” yang tak akan pernah padam karena semakin semerawutnya kepentingan di kawasan ini. DR. IZZUDDIN, M.Pd. Di sinilah Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, dapat memainkan perannya sebagai jembatan dan sekaligus pusat studi Islam. Indonesia merupakan negara kesatuan yang besar, terdiri atas ribuan suku bangsa dengan kekayaan dan keindahan alam yang patut disyukuri dan jaga kelestariannya. Kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah sebuah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Bagi Indonesia, kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang sangat penting. Karena secara politik hubungan baik dengan negara-negara di kawasan ini, seperti Mesir, sudah terbentuk sebelum proklamasi kemerdekaan 1945. 52 MERSELA | Edisi Desember 2015 Kasubdit Wil 2, Direktorat Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri DOK. SETWAPRES > YOHANES LINIANDUS Hubungan antar Indonesia dengan negara-negara di kawasan ini terus berlangsung baik hingga kini dalam berbagai forum kerjasama seperti OPEC, Gerakan Non-Blok, OKI, dan D-8 (Developing Eight). Secara kultural, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah (kebudayaan Arab) sudah terjalin sejak ratusan tahun lampau dan mengakar. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tetapi sebagian besar dari mereka menyadari bahwa pemahaman mereka terhadap ajaran Islam masih sangat kurang. Dalam kehidupan sehari-hari Islam baru digunakan sebatas simbol, padahal telah banyak diakui bahwa Islam memiliki khazanah peradaban hidup yang tinggi yang dapat mempercepat perkembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia. Tampaknya, kurun waktu penjajahan selama lebih dari 3 abad oleh kolonial Barat, telah menghambat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap agamanya, dan sekarang adalah waktunya yang tepat menggali nilai-nilai Islam yang telah lama tak tersentuh oleh sebagian besar pemeluknya di Indonesia. Sesungguhnya Islam dapat dijadikan tuntunan bagi pembangunan peradaban Indonesia di masa depan. Islam, sebagai suatu ajaran agama yang bersumber dari Allah SWT, memberikan kesempatan seluasluasnya kepada para pemeluknya atau kepada siapapun untuk melihat Islam dari sudut pandang berbagai ilmu pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, psikologi, hukum, politik, dan ekonomi. Sebaliknya Islam sebagai sebuah wahyu, juga sangat berkemungkinan mempersoalkan ilmu pengetahuan tersebut berdasarkan sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Hubungan akademik yang timbal balik antara agama Islam dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti dan dipelajari secara simultan oleh masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia umumnya, sehingga tidak ada lagi kesan dualisme antar agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan di pihak lain. Keduaduanya memiliki kontribusi yang sama besarnya bagi kejayaan umat manusia. Apalagi, pada awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu Wakil Presiden Jusuf Kalla upaya untuk menyeret agama, menghadiri acara untuk kemudian diletakkan Syukuran 54 Tahun dalam posisi sub-ordinate Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami, dalam hubungannya dengan Jakarta Selatan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu. Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat. Masyarakat global kian membutuhkan peran Indonesia dalam membantu merajut perdamaian internasional. Sebab, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang meyakini keunggulan sistem demokrasi, Indonesia bisa menjadi wajah baru yang mengubah cara pandang masyarakat luas, terutama Barat, mengenai Islam. Bahwa wajah Islam yang oleh masyarakat dunia telanjur dipersepsikan dalam citra yang kental akan ekstremisme bisa berubah dengan sejumlah kondisi. Di antaranya adalah apabila negara seperti Indonesia mengambil peran lebih besar. Salah satunya ialah menjadi jembatan antara negara penganut demokrasi dan negara Arab. Indonesia sangat mungkin akan berperan besar dalam pergaulan internasional mengingat posisinya sebagai negeri berpenduduk Muslim terbanyak yang kini berada di urutan ke-16 jajaran negara dengan kue ekonomi terbesar di dunia. Terlebih, dalam waktu dekat, banyak ekonom memperkirakan Indonesia MERSELA | Edisi Desember 2015 53 DOK. SETWAPRES > HENDRA OPINI bertengger di posisi sembilan besar. Itu akan membuat dunia memandang wajah Islam di Indonesia, tiada cara yang paling efektif untuk mengambil peran selain membangun kekuatan ekonomi. Kalau bisa negara demokrasi berpenduduk mayoritas Muslim membentuk sebuah forum yang akan menjadi suara baru Islam. Inilah tentunya kita membutuhkan suatu perubahan khususnya dalam pendidikan. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi. Selanjutnya perlu diingat bahwa meskipun hanya ada satu Islam, terdapat beragam budaya yang melekat pada masyarakat Muslim. Dengan demikian, wajah Islam tidak boleh lagi didominasi hanya oleh dunia Arab. Selanjutnya dengan melihat pendidikan Islam seperti pada Pondok pesantren yang memiliki kontribusi terhadap pembinaan nilai-nilai Islam di Indonesia. Karena itu, pondok pesantren mampu memainkan peran signifikan dalam menciptakan tatanan sosial kemasyarakatan yang damai, toleran, dan menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan, maka pondok pesantren mampu mengambil peran untuk menjadikan Indonesia sebagai studi Islam dunia. Namun, untuk kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam, masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi, akibat adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral. Sudah seharusnya hal tersebut ditinjau kembali mengingat kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih baik, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas. Dalam konteks global harapan masyarakat dunia terhadap pendidikan Islam berada di pundak Indonesia. Ini dikarenakan, gejolak sosial politik yang Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional Indonesia harus memainkan perannya dan harus terus membuka dialog antar agama, baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional. Juga sangat penting pula diingat bahwa meskipun Muslim adalah kelompok yang dominan sejak bangsa ini berdiri, Indonesia tak pernah menjadi negara teokrasi atau negara Islam. 54 terjadi di kawasan timur tengah mengakibatkan pusat Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, keislaman menjadi redup. Untuk Jawa Timur itu, lembaga kelembagaan pendidikan Islam memiliki peran dalam mewujudkan hal tersebut. Salah satunya pondok pesantren (ponpes). Setiap tahun jumlah pondok pesantren di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data, tahun 2013 ponpes berjumlah 27.230 dan 2014 menjadi 29.535. Peningkatan jumlah ponpes ini menunjukkan keseriusan semua pihak untuk mencetak anak didik yang memiliki bekal pendidikan keagaman yang tinggi dan mampu menjadi kader ulama. MERSELA | Edisi Desember 2015 dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan sertamerta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir di mana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. Akhir-akhir ini merebak istilah Islam Nusantara, dan ini menarik bagi dunia Islam dalam pandangan perspektif dunia luar. Seperti dua organisasi massa (ormas) Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, bersepakat untuk menyinergikan visi ke-Islam-an masing-masing. NU mempopulerkan visi keislaman melalui jargon Islam Nusantara, sedangkan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan. Menurut Ketua Umum NU, Said Aqil Sirodj, Islam Nusantara ala NU dengan Islam berkemajuan ala Muhammadiyah adalah modal besar bagi masa depan Indonesia yang lebih baik. Bahwa Islam Nusantara bukan mazhab atau aliran baru dalam Islam. Islam Nusantara sesungguhnya hanya penyederhanaan dari tipologi Islam Indonesia hasil perpaduan antara Islam dengan tradisi dan kebudayaan Nusantara. Islam Nusantara, merupakan Islam yang ramah, toleran, berakhlakul karimah dan berkarakter kebangsaan serta berkeadilan sosial. Karakterkarakter itu, menurutnya, tak dimiliki Islam di negaranegara lain, terutama di kawasan Timur Tengah. Sejauh ini, negara-negara Islam di kawasan itu belum mampu menyatupadukan atau menyelaraskan agama Islam dengan nasionalisme. Akibatnya pula, banyak negara Muslim di Timur Tengah yang mengalami konflik berkepanjangan. Islam Nusantara jauh berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Mereka belum selesai memadukan Islam dengan nasionalisme, bahwa komitmen NU pada kebangsaan Indonesia dengan kisah KH Hasyim Asy’ari, ulama yang mendirikan organisasi itu pada 1926. Hasyim Asy’ari dahulu tak pernah berhenti berdoa agar Indonesia segera merdeka dari penjajahan. “Itu artinya NU menyatukan semangat agama dan semangat kebangsaan (nasionalisme),” kata Said. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, menjelaskan tentang visi Islam Berkemajuan. Menurutnya, visi itu ialah citacita menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang mampu mengejar berbagai ketertinggalan, misalnya ketertinggalan pendidikan, ekonomi, hukum, politik, dan lain-lain. Dia menekankan secara khusus sistem politik dan ekonomi Indonesia yang cenderung bercorak liberal. Sistem itu, katanya, cenderung menjauhkan Indonesia dari cita-cita mewujudkan keadilan sosial. Ditambah praktik korupsi yang kian marak. Islam Berkemajuan bisa bersinergi dengan Islam Nusantara. NU dan Muhammadiyah bisa mendesain itu. Itulah transformasi Islam Indonesia untuk kemajuan Indonesia. Demikianlah Indonesia dengan berbagai ragam suku bangsa mempunyai daya tarik sendiri mempelajari studi-studi tentang Islam di Indonesia. Mulai dari sejarah sampai dengan politik yang mempengaruhi peradan dunia, sehingga Indonesia berperan akan menjadikan Islam itu sendiri sebagai institusi pendidikan yang mengembangkan ilmu (science) dan kajian ilmiah (scientific studies) berbasis lintas disiplin (interdisciplinary based) terhadap dunia Islam. Oleh karena itu studi Islam di Indonesia sudah seharusnya berperan dengan komitmen untuk terus mengembangkan kajian keilmuan, menjunjung tinggi etika akademis, inklusif dan terbuka, sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat dunia, dan gilirannya Indonesia menjadikan sebagai pusat studi Islam dunia. [*] MERSELA | Edisi Desember 2015 55 FORUM DISKUSI DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Strategi Penguatan Pengelolaan Website dan Media Sosial dalam Mendukung Diseminasi Informasi Publik Ruang publik nasional saat ini semakin semarak karena perkembangan zaman. Kecepatan arus informasi berjalan seiring dengan berputarnya roda kehidupan manusia. Ini merupakan fenomena globalisasi dimana pengaruh sosial, budaya, politik dan ekonomi tidak lagi terkendala oleh ruang dan waktu. Pemerintah menangkap semangat globalisasi dan borderless itu sebagai sebuah hal yang positif. Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) adalah salah satu wujud nyata kebijakan pemerintah yang mengakomodasi semangat tersebut. Dalam mewujudkan kebijakan pemerintah tersebut, Asisten Deputi Komunikasi dan Informasi Publik (Asdep KIP) Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Strategi Penguatan Pengelolaan Website dan Media Sosial dalam Mendukung Diseminasi Informasi Publik” di Auditorium Istana 56 MERSELA | Edisi Desember 2015 Wapres, 11 November 2015. FGD bertujuan menambah pengetahuan dan wawasan tentang pengelolaan media website dalam diseminasi informasi untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik secara transparan, efektif, efisien, akuntabel dan bertanggung jawab. Di samping itu, untuk meningkatkan pengelolaan dan pelayanan penyediaan informasi di lingkungan Setwapres yang akurat dan tepat waktu. FGD dihadiri oleh peserta yang tidak hanya datang dari Setwapres, tetapi juga Sekretariat Negara, serta Humas yang datang dari K/L dan BUMN, dengan jumlah keseluruhan sekitar 120 orang. Sebagai moderator adalah Direktur Pemberdayaan Informatika DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Kementerian Komunikasi dan Informatika Septriana Tangkary. Sementara menjadi narasumber Pakar Teknologi Informasi Universitas Gunadarma DR. rer. nat I Made Wiryana, Skom, SSi, MappsSc, Praktisi Komunikasi dan Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Junanto Herdiawan, serta Twitter Business Development Southeast Asia Dwi Adriansah. FGD dibuka oleh Deputi yang membawahi Asdep KIP, yaitu Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Dewi Fortuna Anwar. Dalam sambutannya ia menyampaikan tuntutan akan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan adanya akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses terjadinya kebijakan publik. Dewi menambahkan UU KIP menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan mewajibkan badan publik untuk menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat dan tepat waktu, biaya yang murah dan profesional, serta dengan cara yang sederhana. Salah satu media yang paling mutakhir untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah website. Pemanfaatan website di kalangan pemerintah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari hampir seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia telah memiliki website resmi untuk mendukung keterbukaan informasi publik dan diseminasi informasi. Pembuatan website tersebut bertujuan agar setiap kebijakan oleh K/L, serta penggunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan kepemerintahan dan kelembagaan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, kemudian muncul pertanyaan, apakah website tersebut telah dikembangkan sebagai media pendukung penyelenggaraan pemerintahan atau pembuatan website tersebut hanya karena mengikuti tren saja yaitu agar tidak dianggap lembaga yang gagap terhadap perkembangan teknologi? Mencermati fakta yang menunjukkan masih banyaknya website yang tidak dapat diakses, tidak menyediakan informasi yang up to date atau hanya informasi yang kadaluwarsa serta tidak membuka saluran komunikasi dua arah dengan audiensnya, maka tidak berlebihan apabila sebagian besar masyarakat masih meragukan keseriusan pemerintah dalam mengelola websitenya. “Kerapkali ketika kita membuka sebagian website K/L itu yang ada hanya menampilkan informasiinformasi yang sifatnya statis seperti visi, misi, tupoksi dan sebagainya”, ujar Dewi Fortuna. Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan, Dewi Fortuna Anwar, menyampaikan sambutan dan secara resmi membuka acara FGD Dewi menjelaskan Setwapres telah memiliki website resmi yaitu www.wapresri. go.id yang diluncurkan tahun 2010 pada era Wapres Boediono. Tetapi sejak Agustus 2015 website tersebut telah resmi berganti dengan sistem dan tampilan baru yang berisi kegiatan Wapres Jusuf Kalla. Sementara untuk media sosial Setwapres memiliki akun Facebook dan Twitter serta Youtube dengan nama Setwapres. Namun, pada kenyataannya pengelolaan website dan media sosial di K/L termasuk Setwapres belum optimal sehingga komunikasi dua arah antara pemerintah dengan masyarakat belum tercapai dengan baik yang pada akhirnya menghambat diseminasi informasi publik. Salah satu kendalanya adalah tampilan dari konten website atau media sosial belum menarik, terutama untuk kalangan muda yang merupakan pengguna aktif kedua media online tersebut. Disamping itu ketika masyarakat mencoba mengirimkan pertanyaan melalui surat elektronik atau email, seringkali tidak ada respon atau jawaban karena sebagian besar memang belum ada pengelola dari website atau media sosial tersebut. Tantangan lain dari website pemerintah yaitu menyajikan konten yang itu-itu saja sehingga terkesan formal dan kaku sehingga pada akhirnya ditinggal oleh pengunjungnya. Padahal suatu website dikatakan berhasil, apabila ramai dikunjungi. Tidak adanya pengunjung untuk sebuah website, berarti MERSELA | Edisi Desember 2015 57 FORUM DISKUSI Tampilan website Setwapres yang berisi kegiatan Wapres Jusuf Kalla kegagalan besar, apalagi untuk website pemerintah. Lalu bagaimana pemerintah dapat mendiseminasikan informasi dan kebijakan publik kepada masyarakat jika media penyampaian informasi tersebut tidak dikunjungi? Untuk itu, humas pemerintah dituntut untuk selalu memperbaharui dan me-refresh baik konten website maupun tampilan grafisnya. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan up to date-nya website, yaitu membantu mesin pencari untuk menemukan website K/L dengan mudah, menunjukkan kepada pengunjung website K/L tersebut dikelola dengan baik, dapat menarik minat pengunjung untuk datang ke website K/L dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah dwi bahasa. “Karena sekarang ini sebagian besar dari website hanyalah dari kita untuk kita, yaitu hanya dalam bahasa Indonesia saja dan hanya akan menarik bagi kalangan terbatas saja sehingga apabila ada masyarakat di luar Indonesia yang ingin tahu tentang segala sesuatu tentang Indonesia, maka tidak ada informasi yang bisa tersedia dengan baik,” demikian Dewi Fortuna memaparkan. Meskipun demikian, beberapa K/L telah pula menyediakan laman website dengan versi bahasa asing (Inggris), misalnya Kementerian Luar Negeri dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan juga Setwapres. Dalam kesempatan tersebut DR. rer. nat I Made Wiryana, Skom, SSi, MappsSc, mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Situs Pemerintah Suatu Bentuk Pertanggungjawaban Publik”. Terkait website, I Made Wiryana memaparkan, situs pemerintah merupakan 58 MERSELA | Edisi Desember 2015 bagian dari e-government yang diharapkan mendorong perubahan fundamental dari struktur adminstrasi untuk memberikan layanan dan pengurangan biaya operasi yang bermanfaat, antara lain, memungkinkan pertukaran data antar badan publik, sehingga warga negara dan badan publik dapat saling berkomunikasi. Sedangkan permasalahan yang muncul dalam pengelolaan website dan e-government, menurut Wiryana, meliputi: 1) sistem yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna, sistem yang tidak mampu bertukar data, dukungan SDM yang minim, dan beragamnya Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang digunakan, 2) Pelayanan informasi dan komunikasi dua arah belum maksimal karena tidak tersedianya ruang/ forum diskusi dan tanya jawab, 3) Komunikasi dan networking internal Pemerintah dalam pengelolaan website belum efektif dan efisien. Narasumber lain, Junanto Herdiawan yang juga penulis buku dan blog, menyampaikan makalahnya yang berjudul “Lembaga Publik, Individu, dan Era Digital: Komunikasi 3.0”. Dalam makalahnya, Junanto membahas mengenai komunikasi digital pada lembaga publik meliputi website dan media sosial. Website, lanjut Junanto, merupakan media online dimana komunikasinya bersifat satu arah serta memiliki time lag (jeda) penyampaian informasi karena melalui berbagai proses pengeditan. Sedangkan media sosial bersifat interaktif, dapat melibatkan komunikasi 2 arah dengan masyarakat dan dapat memberi feedback secara real time. Lembaga publik memerlukan website karena selain memberi sudut pandang/stance resmi lembaga terkait FORUM DISKUSI berbagai kebijakan/isu, website menyediakan informasi yang akurat dan lengkap mengenai kebijakan/isu tertentu, juga sebagai sumber referensi yang tersedia sewaktu-waktu. “Website yang baik harus sederhana, berisi gambar atau ilustrasi yang mempermudah pemahaman, mudah diakses dari berbagai gadget, dan memiliki search function yang baik”, ujar Junanto. Website dan media sosial memiliki keunggulan karakter, untuk itu K/L perlu menentukan prioritas sasaran dan tujuan dari pengelolaan website, apakah hanya akan fokus pada penyediaan data dan informasi dalam website saja ataukah pelayanan informasi secara total dengan membuka ruang/forum diskusi dan komunikasi dua arah. Pihak pengelola website diharapkan melihat dan mengerti kebutuhan masyarakat secara riil. Mengangkat judul “Live, Public, Conversational, and Contributed”, narasumber dari Twitter Business Development Southeast Asia Dwi Adriansah yang akrab disapa Ade itu mengetengahkan seluk beluk salah satu media sosial yang cukup banyak digunakan masyarakat saat ini, story of twitter, yaitu ilustrasi tentang bagaimana twitter digunakan dalam ruang momen kehidupan (Live, twitter is the moment), publik atau masyarakat global (Public, twitter is open), obrolan tentang berbagai tema (Conversational, twitter is the global town square), dan partisipasi masyarakat yang tersebar di seluruh dunia (Contributed, twitter can live anywhere). Sumber daya manusia dan budaya birokrasi pemerintahan menjadi hambatan utama dalam membangun website yang interaktif. Sebagian besar berita dan informasi yang disajikan oleh website K/L hanya menarik bagi pimpinan instansi tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan Twitter dan Nielsen pada Mei 2014, menunjukkan bahwa pada 2014 sebanyak 4,2 milyar tweet atau kicauan berasal dari Indonesia dengan 76% menggunakan twitter per harinya dan sebanyak 80% mengakses dari telepon genggam. Website K/L perlu mengemas berita dan informasi yang menarik dengan memberikan judul yang simpel agar pengguna tidak cepat jenuh dan beranjak dari laman website. Selain itu, Ade menjelaskan feature atau fasilitas yang dimiliki twitter diyakini Ade mampu mengoptimalkan interaksi dengan audiens atau masyarakat pengguna twitter dan pengunjung akun K/L, seperti video stream with periscope, tweet poll, twitter cards, video inventory recommendations, peta lokasi (map), hash tag dan pothole. Dari paparan para narasumber dapat dirangkum beberapa hal. Karakteristik website dan media sosial sebagai media online tidak terbatas ruang dan waktu; penyajian informasi dapat berbentuk tidak hanya teks, tetapi juga foto, video, audio dan grafis; serta komunikasi interaktif dengan audiens. Sedangkan beberapa kelemahan yang dimiliki oleh website K/L yaitu, minimnya pengguna (user) yang mengakses K/L; pelayanan informasi dan komunikasi dua arah belum maksimal karena tidak tersedianya ruang/ forum diskusi dan tanya jawab serta komunikasi dan networking internal Pemerintah dalam pengelolaan website belum efektif dan efisien. Website resmi pemerintah (Government official website) dan media sosial (facebook, twitter, instagram, path, dll) merupakan sebuah kebutuhan, dan sebaiknya menyediakan data dan informasi yang akurat dan valid karena selalu menjadi rujukan dan referensi bagi pengguna di tengah arus informasi yang semakin deras. Sedangkan untuk mengoptimalkan penggunaan media sosial, K/L diharapkan mendaftarkan akun media sosialnya kepada penyedia layanan agar menjadi verified account. Sebagai kesimpulan akhir dan rekomendasi dari FGD, dapat diuraikan bahwa K/L harus memiliki website yang memadai, sehingga untuk merealisasikannya diperlukan investasi dalam bentuk hardware, software dan brainware. Selain itu, perlu penanganan dan tindak lanjut bersama yang melibatkan lintas K/L terhadap berbagai isu-isu besar terkait kebijakan dan program pemerintah. Diharapkan ada pertemuan rutin dan berkala antar instansi terkait isu tersebut. Pengelola website harus membuka forum interaktif kepada masyarakat, namun dalam hal sharing data atau informasi dibutuhkan prinsip kehati-hatian agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. K/L perlu membuka diri melalui media sosial seluas-luasnya, agar dapat membangun komunikasi aktif dengan berbagai segmentasi masyarakat seperti generasi muda yang gemar dan aktif dalam media sosial. (MS/SK) MERSELA | Edisi Desember 2015 59 DOK. SETWAPRES > NOVIA ANGGI Menara 99 Islamic Center Bangunan Menara 99 yang berlokasi di Islamic Center, Nusa Tenggara Barat