Judu : GLOBALISASI DAN PEMANFAATAN SDA (PERKEBUNAN

advertisement
Kategori : Article
Judu : GLOBALISASI DAN PEMANFAATAN SDA (PERKEBUNAN) - Bag.3
Tanggal Posting : 16 Februari 2010
sambungan dari (bagian2)
RUH DAN INSTITUSI EKONOMI BARU: Ruh Pengembangan Agribisnis
Pengalaman selama hampir 200 tahun sebagaimana dikemukakan Jeff Sachs (2001) dan Petras harus
dijadikan pelajaran bagi pembangunan perkebunan pada masa mendatang. Berbagai ketegangan dunia
akan muncul kembali apabila ketimpangan antar bangsa makin meningkat. Demikian pula dalam konteks
nasional, kesenjangan antardaerah yang makin lebar akan menambah ketegangan nasional, yang mungkin
sekali menimbulkan berbagai gejolak yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara.
Asumsi yang sering digunakan dalam analisis yang mendasari proses ekonomi adalah bahwa perusahaan
tujuannya mencari keuntungan. Adapun ruh yang mendasari keputusan konsumen adalah untuk
"memaksimumkan kepuasan". Pandangan itulah yang berlaku pada masyarakat selama ini. Hasilnya
adalah memang telah meningkatkan kemakmuran agregat dunia, tetapi telah meningkatkan kesenjangan
dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam kaitan yang terakhir ini Herman Daly (1996)1 menyatakan bahwa
apabila standar konsumsi masyarakat Barat digunakan menjadi standar kemakmuran dunia maka dalam
waktu yang tidak lama kehidupan di muka bumi ini akan hancur mengingat alam tidak akan mampu
memenuhi standar tersebut.
Kalau situasinya seperti itu, apa yang harus dilakukan? Keuntungan jelas merupakan suatu hal yang harus
dicapai untuk keberlanjutan suatu usaha. Yang menjadi persoalan adalah cara memperoleh keuntungan
tersebut dan cara menggunakan keuntungan tersebut setelah diperoleh. Pada masa lalu keuntungan
diperoleh dengan cara-cara eksploitatif, baik secara sosial maupun lingkungan. Artinya adalah masyarakat
adalah masyarakat miskin mensubsidi masyarakat kaya dan generasi masa mendatang mensubsidi
generasi masa kini. Jelas pola ini menyebabkan melebarnya kesenjangan dan meningkatkan kemiskinan,
serta meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah. Secara sederhana pandangan ini harus diubah
menjadi perusahaan bertanggung jawab juga terhadap aspek sosial dan lingkungan hidup.
Ruh yang memungkinkan hal ini terwujud adalah ruh kebersamaan, baik antargenerasi yang hidup
sekarang maupun antara generasi yang hidup sekarang dengan generasi yang akan hidup pada masa
mendatang. Kebersamaan yang dimaksud di sini adalah membangun moral dan etika usaha yang
memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan orang lain, termasuk generasi mendatang, yang sejak awal
sudah didesain dalam suatu struktur/institusi yang memberi jaminan yang dapat ditegakkan bukan hanya
sekedar secara hukum yang biasanya prosesnya mahal, tetapi sudah menjadi persenyawaan norma atau
nilai yang harus diikuti. Jadi ini berarti terbentuknya budaya baru the way of thinking, feeling and
believing bare. Dengan demikian membangun agribisnis perkebunan adalah membangun masyarakat
dengan komoditas dan usaha perkebunan sebagai instrumennya saja. Dikatakan sebagai suatu masyarakat
apabila usaha tersebut menghasilkan suatu wujud persenyawaan antarindividu atau antarkelompok yang
memiliki suatu ikatan perasaan yang sama, senasib dan sepenanggungan. Jadi, ukurannya bukan suatu
formalitas berupa sumbangan materi atau sejenisnya, tetapi semangat; perasaan dan aspek psikologis
semacam itu (sense of community).
Dengan hidupnya ruh tersebut maka struktur usaha dan sistem agribisnis perkebunan akan berubah
menjadi sebuah usaha yang bukan hanya menghasilkan keuntungan dan memberikan lapangan pekerjaan,
tetapi juga akan mengasilkan kedamaian dan kebersamaan. Untuk Indonesia yang masih dicirikan oleh
jumlah penduduknya yang miskin dan tertinggal, khususnya yang berada di pedalaman, maka struktur
yang harus dikembangkan adalah struktur ekonomi yang sesuai dengan taraf perkembangan sosial-budaya
page 1 / 3
masyarakat tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan, persoalan struktural yang mendasar adalah masih melembaganya struktur
ekonomi dualistik dimana jumlah petani kecil dan tradisional sangat dominan. Kondisi ini sangat berbeda
dengan kondisi di negara maju yang pada umumnya di kawasan temperate. Ruh kapitalisme memang
telah membuktikan sebagai ruh yang membawa kemajuan bangsa-bangsa di kawasan temperate, tetapi
kemajuan tersebut merupakan pengorbanan bagi negara-negara tropis. Selain itu, ruh tersebut tidak cocok
dengan kondisi rakyat di negara tropis seperti Indonesia. Hal ini terbukti setelah ratusan tahun ekonomi di
daerah tropis diisi oleh ruh kapitalisme,kondisi perekonomian juga tidak berubah, atau bahkan dapat
dikatakan menjadi semakin tertinggal (lihat Sachs, 2001). Perlu diingat bahwa ruh kapitalisme yang
mendasari bekerjanya pasar adalah kepemilikan (ownership). Ownership ini memang penting untuk
berkembangnya suatu ekonomi, tetapi struktur ownership yang bagaimana yang perlu dikembangkan
dalam suatu masyarakat adalah struktur ownership yang harus merefleksikan asas keadilan sosial.
Keadilan sosial ini sifatnya dinamik sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Salah satu hal yang paling penting yang menyentuh rasa keadilan ini adalah derajat kelangkaan (scarcity)
dari suatu sumberdaya yang dibicarakan. Semakin timpang struktur ownership dari sumber daya yang
langka, maka akan terasa semakin berkembang perasaan ketidakadilan. Sumber daya lahan menjadi
sumber daya yang semakin langka, apalagi pada masa mendatang. Oleh karena itu, kita tidak dapat
mengandalkan ruh kapitalisme akan mendatangkan kedamaian dan keadilan bagi masyarakat kita dengan
struktur di atas.
Bung Hatta jauh sebelum merdeka sudah dengan serius memikirkan masalah ini sehingga lahirlah
formulasi normatif perekonomian Indonesia sebagai diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Ruh ini
harus dibangkitkan kembali dan dijadikan dasar membangun sistem dan usaha agribisnis perkebunan
pada masa sekarang dan masa mendatang. Dalam kaitan ini membangun koperasi yang benar, sebagai
manifestasi ekonomi gotong royong, adalah suatu keharusan. Dalam kaitan ini kita secara kebetulan
beruntung mengingat ruh kapitalisme sekarang ini dipandang sudah usang juga dengan munculnya ruh
hypercapitalism, yang lebih menekankan pada pentingnya akses daripada kepemilikan (ownership).
Koperasi pada dasarnya adalah membangun akses bagi orang, khususnya orang "miskin" mengingat
"rules of representation" tidak didasarkan atas "one share one vote" tetapi "one man one vote". Oleh
karena itu rakyat menjadi "share holders". Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang
tersedia dewasa ini dan dengan kecenderungannya makin murah dan mudah, maka penataan koperasi
secara benar dengan rakyat menjadi "shareholders", merupakan harapan yang sangat memungkinkan
terwujud. Upaya membangun hal ini sangat sejalan dengan pemikiran otonomi daerah sebagaimana
dikemukakan di atas.
PENUTUP
Perjalanan sejarah panjang umat manusia telah menjadi sumber pelajaran untuk mencani format institusi
baru yang lebih memberikan harapan bagi keberlanjutan umat manusia pada era mendatang. Institusi
ekonomi dunia yang telah berkembang selama memberikan pelajaran penting untuk mencari
penyempurnaannya bagi kehidupan mendatang. Kelemahan dari institusi ekonomi yang berlaku saat ini
adalah tidak mampunya sistem yang ada untuk memecahkan persoalan keterbelakangan, kemiskinan,
ketimpangan dan kerusakan lingkungan hidup, khususnya yang terjadi di negara berkembang.
Perkebunan sebagai kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya alam termasuk dalam kategori
ini.
Pemanfaatan sumber daya alam, khususnya lahan untuk agribisnis perkebunan perlu dikembangkan
dalam kerangka global, nasional dan daerah. Globalisasi dengan fenomena liberalisasi dan perusahaan
page 2 / 3
multinasional sebagai operatonnya, merupakan hal yang tidak terelakan. Bersamaan dengan itu, otonomi
daerah juga merupakan keharusan dan kebutuhan kedepan. Agar fenomena globalisasi yang tak terelakan
itu dapat memberikan manfaat "win-win", maka pengembangan agribisnis perkebunan harus dalam
kerangka nasional-networking-sharing sebagimana diuraikan di atas. Perusahaan multinasional dan
perusahaan benar harus mampu mengganti ruhnya dengan melihat potensi yang ada tidak secara
eksploitatif, apabila keinginan dunia untuk mencapai tatanan yang lebih harmonis menjadi kehendak
bersama. Selanjutnya, masyarakat petani dan agribisnis Indonesia juga harus mampu mengembangkan
kapabilitasnya secara cepat melalui peningkatan daya adaptasi terhadap perubahan dunia. Unsur
terpenting dari daya adaptasi tersebut adalah membangun ekonomi nasional berdasarkan amanah Pasal 33
UUD 1945. Dengan kerangka yang telah diuraikan diharapkan terjadi kebangkitan ekonomi nasional
lebih cepat, antara lain dalam bidang perkebunan, sehingga tujuan kemerdekaan Indonesia lebih cepat
terwujud.
-- Habis -___________________________________________________________
1
Daly, H. 1996. Beyond Growtrh. The economics of sustainable development. Beacon Press, Boston.
page 3 / 3
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download