manusia dalam perspektif al qur`an

advertisement
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kajian tentang manusia telah banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan dengan
berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, agama dan lain
sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga
sebagai objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu
Pendidikan Islam. Pemahaman terhadap manusia menjadi penting agar proses pendidikan
tersebut dapat beerjalan dengan efektif dan efisien.
Pengetahuan tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan
pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak dalam
menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia
cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah adalah
salah satu hakikat wujud manusia.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an mengungkapkan pendapat Alexis
Carrel tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil
penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa
ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita
tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri
dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita
sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka
yang mempelajari manusia -kepada diri mereka- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.”
Satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada
wahyu Illahi (Al-Qur‟an) dan As-Sunnah (Hadits Rosulullah SAW), agar kita dapat
menemukan jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Qur‟an dan As-Sunnah tentang
hakikat dan fitrah manusia? Makalah ini berusaha mengungkapkan Hakikat dan Fitrah
manusia dalam perspektif Al-Qur‟an.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Apa Hakikat manusia dalam perspektif Al-Qur‟an? Di dalam Al-Qur‟an, manusia
merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul
dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang wajar karena al-Qur‟an memang diyakini oleh kaum muslimin
sebagai firman Allah SWT yang ditujukan kepada dan untuk manusia.
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia, yaitu:
a)
Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins,
nas atau unas.
b)
Menggunakan kata basyar.
c)
Menggunakan kata Bani adam dan Dzuriyat Adam.
Walaupun ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus
memiliki pengertian yang berbeda:
Al-Insân
Al-Insân terbentuk dari kata ‫ينس –نسي‬yang
berarti lupa. Kata insan bila dilihat asal kata
َ
al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut
mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan
penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat
mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan
menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Kata al-insân dinyatakan dalam al-Qur‟an
sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya
digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi,
sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya.. Keistimewaan tersebut karena
manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi
dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk
Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah
SWT di muka bumi. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an mengatakan bahwa
kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Menurutnya
pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur‟an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa
ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu yang berarti (berguncang).
Kata insan, digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya,
jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik,
mental dan kecerdasan. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi
untuk dididik (Abuddin Nata, 1997: 29). Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan
pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi (Jalaluddin, 2003: 23). Jelas
sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa
pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui
kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai
bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan
berperadaban.
Kata al-insân juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam
maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.









    

Artinya:
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim) (QS. Al-Mukminûn: 12-13)
Al-Basyar
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata
basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam,
makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat
pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan (Aisyah Bintu Syati,
1999: 2).
Jalaluddin (2003: 19) mengatakan bahwa berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh
berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat
kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya
dengan makhluk biologis lain, seperti binatang.
Al-Basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Secara sederhana, Quraish Shihab (1996: 279) menyatakan bahwa manusia dinamai
basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang
lain.
Menurut Abdul Mukti Ro’uf (2008: 3) Kata Al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur‟an
sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat. Kata-kata tersebut diungkap dalam
bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan manusia
dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Pemaknaan manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah
makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum,
perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada
seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti nabi dan rasul pun memiliki dimensi AlBasyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat Al-Kahfi
ayat 110:







   





   



  
Artinya
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".
Dengan demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan
dengan makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.
Al-nâs
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24). Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus
mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Kata an-nas digunakan untuk seluruh
manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Penggunaan
kata al-nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding
dengan kata al-insân. Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula
dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi
masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini,
menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling
menjatuhkan.Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.
Kata al-nâs juga dipakai dalam Al-Qur‟an untuk menunjukkan bahwa karakteristik
manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah
SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya,
namun hanya sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian
yang lain tidak, justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang keMahakuasa-an Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu
sebagai makhluk yang mulia dan yang tercela.
Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan
Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya
(Quraish Shihab, 1996: 278). Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7
kali dalam 7ayat(AbdulMuktiRo’uf,2008:39).
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar (2001: 52), penggunaan kata bani Adam
menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang
dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di
antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada
keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada
keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka
ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus
peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya
yang
lain.
Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 27) mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk
menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah
sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang
juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta
mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada
Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13).



   


   
    
    
2.2 Penciptaan manusia dalam alqur’an
Manusia adalah makhluk Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh
Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Ar-Rum ayat 40, yang
berbunyi:












   
    




Artinya:
“Allah-lah
yang
menciptakan
kamu,
kemudian
memberimu
rezki,
kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)” (QS. Ar-Rum : 40)
Unsure Unsur penciptaan Manusia
a. Tanah
firman Allah




     
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan
manusia dari tanah”. (QS. Shâd: 71)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa Al-Qur‟an juga menggunakan kata ath-thin untuk unsur
materiil asal manusia. Salah satunya menggunakan kata sulâlatin min thîn, dalam konteks
kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap menggunakan kata thînin lâzib seperti
yang termuat dalam Al-Qur‟an Surat Ash-Shâffât ayat 11:



     
    
Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh
kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan
mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)
Selain menggunakan kedua kata di atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Qur‟an
juga terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hama‟in masnûn seperti yang
disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26:




    
Artinya:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.




 
Artinya:
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (QS. Ar-Rahmân ; 14)
Dari uraian di atas, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan unsur materiil asal-usul
manusia adalah

Sulâlah artinya bagian yang ditarik dari sesuatu dengan pelan dan tersembunyi. Bagian
yang ditarik tersebut menurut Ath-thabarsyi disebut sebagai sari sesuatu yang dikeluarkan
darinya (shafwatusy-syay‟I al-latî yakhruju minhâ).

Shalshâl yang berarti tanah lempung, berasal dari kata shalshalah yang artinya berbunyi,
tanah lempung disebut dengan shalshalah karena ia mengeluarkan bunyi bila sudah kering
seperti tembikar (al-fakhkhâr) yang mengeluarkan bunyi seperti suara besi bila berantukan.

Lâzib, para mufassir sering mengartikan thînun lâzib dengan thînun lâshiq yang
maksudnya tanah yang lengket.

Hama‟un masnûn, kata hama‟ adalah kata lain yang menunjuk pada jenis tanah asal
manusia. Kata hama‟un pada dasarnya berarti tanah hitam yang berbau busuk. Arti tersebut
tidak jauh berbeda dengan arti yang dikemukakan ath-Thabary sebagai tanah yang berubah
menjadi hitam.
Kata turâb disebutkan sebagai unsur materiil asal manusia yang berarti juga „tanah‟ atau „debu‟.
Semua kata tersebut menjelaskan unsur materiil dari ciptaan manusia yang terdiri dari
bermacam-macam jenis tanah yang boleh jadi melambangkan komponen-komponen kimiawi
pembentuk fisik manusia, dan inti tanah yang berupa tanah lempung dan berbau,
menggambarkan suatu unsur materiil yang amat sederhana dan rendah. Unsur inilah yang
digabungkan dengan unsur yang amat sempurna dan mulia yakni ruh Tuhan.
b. Ruh Illahi
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi
sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
    





    

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa :
85)
Ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam unsur materi manusia itu merupakan ruh
kehidupan yang suci. Ungkapan yang digunakan Al-Qur‟an adalah rûhiy (ruh-Ku)
dan rûhih (ruh-Nya).
    
    
Artinya
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan
kedalamnya
ruh
(ciptaan)-Ku,
Maka
tunduklah
kamu
kepadanya
dengan
bersujud.(QS. Al-Hijr : 29)
Dalam QS. As-Sajdah: 9















 
Artinya
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.(QS. As-Sajdah: 9)
c. Akal
Proses penciptaan manusia seperti yang dimuat pada Al-Qur‟an Surat Ash-Shaad ayat
71-72 dan Al-Mukminûn ayat 12-13 di atas, penggunaan kata al-insân mengandung dua
dimensi, Pertama; dimensi tubuh/materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua; dimensi
spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).
Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam mengatakan bahwa menurut
Harun Nasution ada tujuh kata yang digunakan al-Qur‟an untuk mewakili konsep akal;
yaitu
Pertama; kata nazara.









   
Artinya:
Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana
Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikitpun ? (QS. Qaaf: 6)
Kedua; kata tadabbara



    
 
Artinya:
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu
yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. Al-Nahl : 29)
Keempat; kata faqiha. Kelima; kata tadzakkara. Keenam; kata fahima. dan Ketujuh; kata
aqala. Kata aqala dalam Al-Qur‟an kebanyakan digunakan dalam bentuk fi‟il (kata kerja),
hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda).
Ini menunjukkan bahwa pada akal yang penting ialah berpikir bukan akal sebagai otak
yang berupa benda.
Prapenciptaan
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (Albaqarah: 30)
Malaikat adalah makhluk Allah yang paling patuh terhadap segala perintahNya. Sebelum
manusia pertama atau Adam diciptakan, malaikat sudah diciptakan terlebih dahulu. Suatu ketika
saat Allah memberikan pengumuman berupa rencana akan menciptakan suatu makhluk yang
akan menjadi khalifah di muka bumi. Namun, makhluk yang dipilih Allah itu adalah manusia.
Mengetahui hal ini malaikat sedikit “protes” pada Allah. Kita harus ingat bahwa malaikat itu
makhluk yang paling taat dan patuh pada segala perintah dan keputusanNya. Akan tetapi satu hal
ini yang membuat malaikat “angkat bicara” kepada Allah berkenaan dengan akan adanya
penciptaan manusia ini.
Seperti yang dijelaskan oleh ayat di atas, malaikat tahu bahwa manusia yang akan diciptakan
Allah tersebut akan membuat kerusakan di muka bumi. Padahal Allah menciptakan manusia
dengan tujuan menjadi khalifah di muka bumi.
Allah pun menjawab “protes” para malaikat dengan kalimat “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui” disini kita bisa melihat bahwa Allah lah sang perencana
segalanya, Allah lah sang maha pencipta yang paling mengetahui ciptaannya. Ada sesuatu
dibalik skenario yang dibuat Allah. Pasti ada sejuta hikmah dari jawaban Allah tersebut.
Ayat ini juga mengingatkan pada manusia bahwa tujuan awal kita diciptakan oleh Allah adalah
untuk menjadi khalifah di muka bumi.
a) Proses Kejadian Manusia Pertama (Adam)
Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering
kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh
Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam
firman-Nya :
“Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan
manusia dari tanah”. (QS. As Sajdah (32) : 7)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. (QS. Al Hijr (15) : 26)
Disamping itu Allah juga menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia pertama itu dalah
surat Al Hijr ayat 28 dan 29 .
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. Al Hijr
(15) : 28-29)
Di dalam sebuah Hadits Rasulullah saw bersabda :
“Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah”. (HR.
Bukhari)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Albaqarah:31)
“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana .” (Albaqarah:32)
“Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka
setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi
dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ?” (Albaqarah:33)
“Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan
ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian
kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (Alanam:2)
b) Proses Kejadian Manusia Kedua (Siti Hawa)
Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan
berpasang-pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak menciptakan lawan
jenisnya untuk dijadikan kawan hidup (isteri). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam salah satu
firman-Nya :
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS.
Yaasiin (36) : 36)
Adapun proses kejadian manusia kedua ini oleh Allah dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1
yaitu :
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak…” (QS. An Nisaa’ (4) :1)
Di dalam salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dijelaskan :
“Maka sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk Adam” (HR. Bukhari-Muslim)
Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka secara tak langsung hubungan
manusia laki-laki dan perempuan melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali
tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam bentuk yang lain. Dengan
perkawinan itu maka akan lahirlah keturunan yang akan meneruskan generasinya.
c) Proses Kejadian Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan Hawa)
Kejadian manusia ketiga adalah kejadian semua keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s.
Dalam proses ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits dapat pula ditinjau
secara medis.
Proses biologis Penciptaan Manusia
Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
Prenatal (sebelum lahir)
proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan sel dengan sperma di dalam rahim.




































 
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun
(23) : 12-14).
Kemudian dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda :
“Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya
seorang diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya
(embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan
segumpal darah. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan sepotong daging.
Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya (untuk
menuliskan/menetapkan) empat kalimat (macam) : rezekinya, ajal (umurnya), amalnya, dan
buruk baik (nasibnya).” (HR. Bukhari-Muslim)
Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan “saripati berasal dari tanah” sebagai
substansi dasar kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang kita makan yang
semua berasal dan hidup dari tanah. Yang kemudian melalui proses metabolisme yang ada di
dalam tubuh diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil dari pernikahan
(hubungan seksual), maka terjadilah pembauran antara sperma dan ovum (sel telur wanita) di
dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk manusia yang sempurna.
“ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari air mani yang bercampur”(QS.Addahr:2)
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS 96. Al-’Alaq: 2)
Selanjutnya, fase segumpal darah (`alaqah) berlanjut terus dari hari ke-15 sampi hari ke-24 atau
ke-25 setelah sempurnanya proses pembuahan. Meskipun begitu kecil, namun para ahli
embriologi mengamati proses membanyaknya sel-sel yang begitu cepat dan aktivitasnya dalam
membentuk organ-organ tubuh. Mulailah tampak pertumbuhan syaraf dalam pada ujung tubuh
bagian belakang embrio, terbentuk (sedikit-demi sedikit ) kepingan-kepingan benih, menjelasnya
lipatan kepala; sebagai persiapan perpindahan fase ini (`alaqah kepada fase berikutnya yaitu
mudhgah (mulbry stage)).Mulbry stage adalah kata dari bahasa Latin yang artinya embrio (janin)
yang berwarna murberi (merah tua keungu-unguan). Karena bentuknya pada fase ini menyerupai
biji murberi, karena terdapat berbagai penampakan-penampakan dan lubang-lubang (ronggarongga) di atasnya.
Realitanya, ungkapan Al-Quran lebih mendalam, karena embrio menyerupai sepotong daging
yang dikunyah dengan gigi, sehingga tampaklah tonjolan-tonjolan dan celah (rongga-rongga)
dari bekas kunyahan tersebut. Inilah deskripsi yang dekat dengan kebenaran. Lubang-lubang
itulah yang nantinya akan menjadi organ-organ tubuh dan anggota-anggotanya.
Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa embrio terbagi dua; pertama, sempurna (mukhallaqah) dan
kedua tidak sempurna (ghair mukhallaqah). Penafsiran dari ayat tersebut adalah: Secara ilmiah,
embrio dalam fase perkembangannya seperti tidak sempurna dalam susunan organ tubuhnya.
Sebagian organ (seperti kepala) tampak lebih besar dari tubuhnya dibandingkan dengan organ
tubuh yang lain. Lebih penting dari itu, sebagian anggota tubuh embrio tercipta lebih dulu dari
yang lainnya, bahkan bagian lain belum terbentuk. Contoh, kepala. Ia terbentuk sebelum bagian
tubuh ujung terbentuk, seperti kedua lengan dan kaki. Setelah itu, secara perlahan mulai
tampaklah lengan dan kaki tersebut. Tidak diragukan lagi, ini adalah I’jâz `ilmiy (mukjizat sains)
yang terdapat di dalam Al-Quran. Karena menurut Dr. Ahmad Syauqiy al-Fanjary, kata `alaqah
tidak digunakan kecuali di dalam Al-Quran.
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur. (Assajdah:7-9)”
Post natal (sesudah lahir)
proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS.40:67)
     






   
    









  
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu
dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup
lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).
3.1 Kesimpulan
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia,4 yaitu:
a)
Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau
unas.
b)
Menggunakan kata basyar.
c)
Menggunakan kata Bani adam dan Dzuriyat Adam.
Hakikat manusia menurut unsurnya adalah terdiri atas tiga unsur yaitu:
1. Unsur jasmani dari unsure tanah
2. Unsur ruhani dari ruh ilahi
3. Unsur akal.
Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dari proses Prenatal (sebelum lahir) sampai proses Post
natal (sesudah lahir)
Manusia tercipta dari gabungan beberapa unsur zat yang berjumlah 16, jumlah yang sama
yang menjadi unsur zat yang membentuk tanah (turâb).
3.2 Saran
Alqur’an merupakan wahyu ilahi sebagai pedoman umat dan memiliki rahasia dan
pengetahuan yang amat melimpah di dalamnya, maka Sebagai mahasiswa yang berbasis
agama serta memiliki pengetahuan ilmiyah dan tegnologi sepatutnya kita menggali lebih
dalam lagi tentang alqur’an.
Daftar Pustaka
http://st-30.abatasa.com/post/detail/9767/manusia-dalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=570:penciptaanmanusia-dalam-al-quran&catid=63:mabahese-ghorani&Itemid=144
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/06/hakikat-dan-fitrah-manusia-dalam-al.html
http://www.keajaibanalquran.com/biology_02.html
http://adiwarsito.wordpress.com/2010/11/13/manusia-dalam-pandangan-al-quran/
http://safan.wordpress.com/2012/06/12/penciptaan-manusia-pertama-menurut-alquran/
Download