BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu) bagi kalangan yang
awam politik mungkin hanya dianggap sebagai kegiatan menggunakan hak pilih
(seperti mencoblos). Bahkan mungkin pernah kita jumpai bahwa adapula beberapa
pihak yang menganggap menggunakan hak pilih dalam Pemilu tidak terlalu
penting, sehingga mereka menyia-nyiakannya dengan berbagai macam alasan.
Tapi di Pemilu tahun 2014 ini terlihat bahwa euforia para pemilih termasuk
pemilih pemula/muda cukup tinggi dibandingkan sebelumnya.
Berdasarkan data dari Komisi Pemiihan Umum (KPU), jumlah pemilih
pemula/muda mencapai porsi tertinggi dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya,
yaitu Pemilu tahun 2004 dan 2009. Berdasarkan catatan KPU, jumlah pemilih
pemula pada Pemilu 2014 mencapai 11% dari total 186 juta jiwa pemilih.1 Porsi
pemilih pemula yang bisa dibilang tinggi inilah yang menyebabkan suara mereka
menjadi signifikan untuk menentukan siapa yang menang di Pemilu ini. Hal ini
disebabkan pemilih pemula dikategorikan sebagai swing voters, yaitu kelompok
pemilih yang belum pasti menentukan siapa kandidat yang akan mereka vote di
Pemilu nantinya karena memiliki kecenderungan berubah atau berpindah pilihan
partai atau calon dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya.2
Selain itu euforia/antusiasme para pemilih di Pemilu 2014 terlihat dari
persentase golput yang justru menurun di tahun 2014 setelah sebelumnya
mengalami tren kenaikan dari Pemilu tahun 1999 hingga 2004. Angka Golput
pada Pemilu tahun 1999 sebesar 6,70%, tahun 2004 naik menjadi 15,93%, tahun
2009 juga naik menjadi 29,01%. Sedangkan di tahun 2014 justru mengalami
1
Laksono Hari Wiwoho (ed.). 2014. “Antusiasme Pemilih Muda”. Diakses pada 13 Oktober 2014.
Terarsip di: http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/Antusiasme.Pemilih.Muda
2
“Kecenderungan Swing Voters Menjelang Pemilu 2014”. 2012. Diakses pada 6 Agustus 2015.
Terarsip di: http://www.saifulmujani.com/blog/2012/10/14/kecenderungan-swing-votersmenjelang-pemilu-2014#.VcJCYPOqqko
1
penurunan yaitu mencapai 24,89%.3 Di sisi lain, salah satu hasil survei Litbang
Kompas juga merangkum antusiasme pemilih pemula. Mayoritas responden
(92,8%) yang merupakan pemilih pemula menyatakan ingin memberikan suaranya
pada 9 April 2014.4 Dikarenakan euforia serta antusiasme masyarakat Indonesia
yang tinggi menjadikan hingar-bingar Pemilu 2014 ini memang berbeda dari
Pemilu-pemilu sebelumnya. Selain itu juga dikarenakan sebagian besar kaum
muda yang merupakan mayoritas pengguna media sosial, menjadikan euforia dan
antusiasme ini terasa dan terlihat juga di dunia maya.
Di media sosial, euforia masyarakat di Pemilu 2014 ini khususnya
kalangan muda terlihat dengan ramainya mereka untuk saling menunjukkan
dengan tegas di mana pilihan mereka berlabuh. Mungkin karena masyarakat
dihadapkan dengan hanya dua pilihan kandidat di Pemilu 2014 ini yaitu untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), sehingga masyarakat seakan
seperti “ditantang” untuk menentukan kubu mana yang mereka pilih. Apakah
kubu “kiri” atau kubu yang “kanan”.
Euforia dan semangat masyarakat untuk saling menunjukkan dengan tegas
di mana pilihan mereka berlabuh di Pilpres tahun 2014 ini terlihat dengan
munculnya beberapa tren di media sosial. Salah satunya seperti tren memajang
angka “2” dan kalimat “I STAND ON THE RIGHT SIDE” di bagian kanan profil
picture (avatar) pada twitter atau facebook. Dan tren ini dilakukan bagi mereka
yang mendukung/memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor
urut dua, yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Selain itu jargon “Salam 2 Jari” juga
sering disebarluaskan oleh para pendukung pasangan calon ini, termasuk di media
sosial.
Tidak kalah para pendukung calon presiden dan wakil presiden nomor urut
satu, yaitu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa juga memiliki trademark tersendiri
3
Dhani Irawan. 2014. “Dibanding Tahun 2009, Angka Golput Pemilu 2014 Lebih Rendah”.
Diakses pada 30 Oktober 2014. Terarsip di:
http://news.detik.com/read/2014/05/10/074125/2578828/1562
4
Laksono Hari Wiwoho (ed.). 2014. “Antusiasme Pemilih Muda”. Diakses pada 13 Oktober 2014.
Terarsip di: http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/Antusiasme.Pemilih.Muda
2
di dunia maya. Orang yang mendukung/memilih calon pasangan ini biasa
menaruh logo garuda merah di samping kanan avatar mereka di media sosial.
Selain fenomena di atas, fenomena lain yang juga tidak kalah menarik juga
terjadi di salah satu media sosial, yaitu Youtube. Sebagai situs media sosial yang
berbasis pada video sebagai kontennya, tentu saja menjadikan wujud euforia-nya
berbeda. Euforia Pilpres 2014 terlihat dengan munculnya kreasi-kreasi video oleh
para pegiat Youtube, atau yang biasa disebut Youtuber.
Berbeda dengan orang yang hanya iseng mengunggah (upload) video di
channel mereka secara asal-asalan tanpa makna dan konsep yang jelas. Youtuber
ini (yang pastinya juga pada umumnya merupakan kalangan muda) merupakan
orang yang sengaja mengunggah video di channel mereka dengan konsep tertentu.
Selain itu video-video mereka juga biasanya diproduksi dan diedit sedemikian
rupa agar hasilnya menarik dan sesuai dengan konsep yang mereka inginkan.
Dari beberapa Youtuber di Indonesia yang peneliti temukan, rata-rata
memang video-video yang mereka unggah cenderung disajikan dengan ringan,
fresh, dan juga menghibur. Akan tetapi tetap ada maksud atau pesan yang ingin
disampaikan melalui video tersebut.
Salah satu channel youtube yang akan diteliti video-videonya yaitu
“CameoProject”. Bergabung di Youtube sejak 12 Agustus 2012. Memiliki 30.126
subscribers. Video-videonya sudah ditonton sebanyak 9.429.087 kali (data
statistik didapatkan per 7 Januari 2015). Jika melihat video-video yang
diunggahnya terlihat bahwa channel ini intens mengangkat isu-isu keIndonesiaan/nasionalisme termasuk Pemilu 2014. Beberapa videonya juga
mengkritik beberapa kebijakan pemerintah. Video-video yang mereka kerjakan
pun tidak main-main dengan memperhatikan aspek sinematografis pada
umumnya.
Selain CameoProject, peneliti juga akan meneliti video-video di channel
Youtube bernama “PROJECT SLINGSHOT”. Bergabung di Youtube sejak 24
September 2013. Memiliki 1.219 subscribers. Video-videonya sudah ditonton
sebanyak 258.500 kali (data statistik didapatkan per 7 Januari 2015). Meskipun
subscribers di channel ini tidak sebanyak di channel “CameoProject”, peneliti
3
memilihnya sebagai objek penelitian karena channel ini juga cukup intens
mengunggah video-video bertemakan Pemilu 2014. Seperti halnya channel
“CameoProject”, “PROJECT SLINGSHOT” pun mengerjakan video-video yang
mereka unggah dengan memperhatikan aspek sinematografis, dimana hal ini
menjadikan kedua channel ini menarik untuk diteliti.
Mengikuti arus euforia Pemilu 2014 yang ada, para Youtuber ini seakanakan serentak mengunggah video yang bertemakan politik yaitu Pemilu 2014.
Seperti dua channel/akun Youtube yang disebutkan diatas, dua akun ini termasuk
yang intens mengkampanyekan pentingnya menggunakan hak pilih. Dan
fenomena ini dapat diklasifikasikan sebagai bentuk upaya masyarakat secara
umum untuk ikut mensosialisasikan pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu.
Kembali lagi, mengingat pemilih pemula dalam Pemilu 2014 ini cukup
tinggi, maka pendidikan politik atau sosialisasi mengenai konsep ideal partisipasi
politik warga negara dalam Pemilu menjadi sangat penting bagi pemilih pemula
secara khusus dan bagi pemilih lainnya secara umum. Sebagai pemilih pemula,
Pemilu 2014 ini merupakan pengalaman pertama mereka dalam berpartisipasi
secara politik melalui penggunaan hak pilih mereka dan tentunya informasi dan
pemahaman tentang konsep partisipasi politik yang benar/ideal sangat diperlukan.
Dan sebenarnya pendidikan politik atau sosialisasi mengenai ini juga seharusnya
tidak terbatas pada pemilih pemula saja tetapi juga seluruh masyarakat secara
umum. Karena tidak menutup kemungkinan masyarakat yang tidak tergolong
sebagai pemilih pemula pun bisa saja belum memahami benar konsep ideal
mengenai partisipasi politik seorang warga negara dalam Pemilu. Dalam hal ini,
peran media massa pada umumnya (seperti televisi, surat kabar, dan radio)
diperlukan untuk menyebarluaskan informasi mengenai pendidikan politik dan
sosialisasi tentang Pemilu ini. Alternatif lain yaitu media baru berbasis internet
berupa media sosial seperti twitter, facebook, dan juga Youtube penting juga untuk
didorong peranannya.
Alternatif pendidikan politik dan sosialisasi tentang Pemilu melalui media
sosial inilah yang dipraktikkan oleh pemilik akun “CameoProject” dan
“PROJECT SLINGSHOT” di Youtube. Mereka menyampaikannya melalui video-
4
video yang mereka unggah di Youtube dengan tema Pemilu 2014. Intinya mereka
mengajak masyarakat untuk memahami mengenai konsep berpartisipasi politik
oleh warga negara seperti penggunaan hak pilih dalam Pemilu.
Seperti kita ketahui penyampaian informasi berupa ide, pendapat, atau
gagasan dengan cara mainstream yang sudah sering dilakukan oleh kebanyakan
orang seperti berdemo, berorasi, atau kampanye dengan turun ke jalan
menimbulkan anggapan bahwa itu satu-satunya jalan. Yang bukan tidak mungkin
melalui cara baru dalam penyampaian informasi ini melalui Youtube dapat lebih
berdampak kepada audiens, dikarenakan caranya yang lebih ringan, menarik, dan
menghibur.
Selain itu banyak yang menyebutkan bahwa rakyat Indonesia merupakan
masyarakat dengan budaya menonton. Dimana budaya kolektif masyarakat kita
masih “kental” dengan budaya menonton, terbukti dengan konsumsi televisi yang
masih cukup tinggi (meskipun kualitas tayangan televisi kita dewasa ini juga
masih jauh dari kata berkualitas). Maka, dengan pesan yang para Youtuber
sampaikan dalam format video menjadikannya sebagai “sarana” menyampaikan
pendapat yang potensial. Selain itu, format video mereka yang sifatnya menghibur
juga menjadikannya daya tarik tersendiri bagi audiens (pengakses Youtube)
walaupun dengan tema politik yang secara umum dianggap sebagai tema yang
berat.
Dan yang menjadi masalah atau menarik untuk diteliti, penyampaian ide
ataupun gagasan mengenai konsep partisipasi politik warga negara dalam Pemilu
seperti yang disampaikan oleh “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT”
melalui Youtube pastinya tidak lepas dari representasi dan proses konstruksi
makna di dalamnya. Terjadinya proses representasi dan konstruksi makna inilah
yang memungkinkan ide/gagasan mengenai konsep partisipasi politik dalam
Pemilu yang disosialisasikan dua akun Youtube ini belum tentu sudah tepat atau
seluruhnya tersampaikan jika dibandingkan konsep secara keseluruhan yang
benar-benar ideal dari partisipasi politik warga negara dalam Pemilu.
5
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat diambil fokus permasalahan yang akan
diteliti, yaitu mengenai “bagaimanakah representasi partisipasi politik warga
negara dalam Pemilu melalui video-video dari akun Youtube “CameoProject” dan
“PROJECT SLINGSHOT” dengan tema Pemilu 2014?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui bagaimana video-video dari akun “CameoProject”
dan “PROJECT SLINGSHOT” merepresentasikan partisipasi politik
warga negara dalam Pemilu.
2.
Untuk mengetahui bagaimana sistem tanda dalam video-video dari
akun “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” bekerja dalam
merepresentasikan partisipasi politik warga negara dalam Pemilu.
3.
Untuk mengetahui perbandingan representasi yang terjadi diantara
video-video dari “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT”.
D. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini mencakup beberapa video yang diunggah oleh
Youtuber di Indonesia di situs Youtube. Sesuai judul penelitian, peneliti
mengambil video-video bertemakan Pemilu 2014 dari dua akun Youtube yaitu
“CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT”. Dua akun Youtube yang diambil
tersebut dengan mempertimbangkan intensitas mereka dalam mengunggah video
dengan tema Pemilu 2014 serta keseriusan mereka dalam hal konsep dan konten
di
video-video
yang
mereka
produksi.
Alasan
lainnya
juga
dengan
mempertimbangkan kepopuleran mereka di Youtube—dengan melihat jumlah
subscribers/pelanggan akun mereka, seperti di akun “CameoProject”. Selain itu,
hasil analisis antara video-video yang akan diteliti di dua akun ini dapat dijadikan
sebagai bahan perbandingan antara satu dengan yang lainnya.
6
Populasi dari penelitian ini sendiri yaitu seluruh video-video dari akun
Youtube “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” yang bertemakan
Pemilu 2014. Populasi video dari akun “CameoProject” yaitu sebanyak sembilan
video, dan dari akun “PROJECT SLINGSHOT” sebanyak dua belas video. Untuk
teknik pemilihan sampel sendiri peneliti memilih untuk melakukannya dengan
teknik nonprobability sampling. Nonprobability sampling merupakan pemilihan
sampel yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan peneliti, sehingga
dengan teknik ini membuat semua anggota populasi tidak mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel.5 Lebih spesifik lagi peneliti
mengambil teknik purposive sampling (termasuk dalam kelompok adalah teknik
nonprobability sampling), yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan
karakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang disesuaikan
dengan tujuan atau masalah penelitian.6 Selain itu teknik sampling ini juga
memungkinkan peneliti mengambil sampel dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Dari populasi video yang sudah dijabarkan di atas, dengan teknik
purposive
sampling
peneliti
melakukan
pengambilan
sampel
dengan
pertimbangan-pertimbangan sesuai tujuan penelitian ini yaitu mengungkap
representasi partisipasi politik warga negara dalam Pemilu. Maka dari itu, sampel
yang diambil adalah video-video yang kontennya cukup memiliki muatan spesifik
representasi tersebut. Selain itu sampel yang diambil juga mempertimbangkan
konten video dengan tema Pemilu 2014 yang sifatnya “netral”, dalam artian
konten video tidak “menjurus” pada keberpihakan ke salah satu kandidat dalam
Pemilu 2014.
Setelah dilakukan penarikan sampel (dengan teknik purposive sampling)
dengan pertimbangan-pertimbangan seperti yang sudah dijelaskan di atas, peneliti
pada akhirnya mengambil masing-masing dua video dari akun “CameoProject”
dan “PROJECT SLINGSHOT” sebagai sampel sekaligus objek yang akan diteliti.
5
Try Wahyu Syaputra. 2013. "Populasi dan Sampel dalam Penelitian Kualitatif". Diakses pada 10
Agustus 2015. Terarsip di: http://palontjongi.blogspot.com/2013/08/populasi-dan-sampel-dalampenelitian.html
6
Ibid
7
Berikut penjabaran objek yang akan diteliti (informasi statistik channel Youtube
dan video-videonya di bawah ini didapatkan per 7 Januari 2015):
a.
“CameoProject”
“CameoProject” bergabung di Youtube sejak 12 Agustus 2012.
Mereka memiliki sekitar 33.626 subscribers, dan 52 video telah
mereka unggah di Youtube. Video-video yang mereka unggah sudah
ditonton sebanyak 9.798.101 kali. “CameoProject” sendiri telah
mengunggah sembilan video yang bertemakan Pemilu 2014
(populasi). Setelah dilakukan penarikan sampel, telah terpilih dua
video dari akun ini sebagai sampel sekaligus objek penelitian.
Video pertama yang dipilih dari akun “CameoProject” yaitu
video yang berjudul “Pemilu WTF?!”.7 Video ini diunggah tanggal 2
April 2014 dan berdurasi sekitar 3 menit 53 detik. Video ini sendiri
memiliki catatan statistik berupa: 62.792 views; 682 likes; 14 dislikes;
133 comments.
Video kedua yang dipilih dari akun ini yaitu video yang
berjudul “Pemilu WTF: Selamat Memilih”,8 yang juga merupakan
kelanjutan dari video pertama yang dipilih peneliti seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya. Video ini diunggah tanggal 7 April 2014 dan
berdurasi sekitar 2 menit 53 detik. Video ini sendiri memiliki catatan
statistik berupa: 39.456 views; 406 likes; 5 dislikes; 52 comments.
b.
“PROJECT SLINGSHOT”
“PROJECT SLINGSHOT” bergabung di Youtube sejak 24
September 2013. Mereka memiliki sekitar 1.462 subscribers, dan 28
video telah mereka unggah di Youtube. Video-video yang mereka
unggah
sudah
ditonton
sebanyak
301.844
kali.
“PROJECT
SLINGSHOT” sendiri telah mengunggah dua belas video yang
bertemakan Pemilu 2014 (populasi). Setelah dilakukan penarikan
7
Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat:
https://www.youtube.com/watch?v=RM3g3aT3WRo
8
Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat:
https://www.youtube.com/watch?v=Hef-4wFKR-8
8
sampel, telah terpilih dua video dari akun ini sebagai sampel sekaligus
objek penelitian.
Video
pertama
yang
dipilih
dari
akun
“PROJECT
SLINGSHOT” yaitu video yang berjudul “MANA JARIMU #2 DEMO”.9 Video ini sendiri merupakan salah satu dari ketujuh seri
video “MANA JARIMU”, dimana setiap seri videonya mengambil
setting tempat yang berbeda-beda. Video “MANA JARIMU #2 DEMO” sendiri mengambil setting tempat di jalanan dimana sedang
terjadi demonstrasi. Alasan peneliti hanya mengambil seri versi
“DEMO” karena peneliti menganggap video seri ini yang paling
menarik dan cocok untuk diteliti secara semiotik dibandingkan videovideo lainnya di seri “MANA JARIMU”. Selain itu, sebenarnya
secara garis besar video-video di seri “MANA JARIMU” ini memiliki
konsep/maksud yang hampir sama dan seri satu dan yang lainnya
ceritanya terpisah atau tidak saling berhubungan/berkelanjutan. Video
“MANA JARIMU #2 - DEMO” sendiri diunggah tanggal 13 Juni
2014 dan berdurasi sekitar 1 menit 39 detik. Video ini memiliki
catatan statistik berupa: 4.464 views; 21 likes; 2 dislikes; 3 comments.
Video kedua yang dipilih dari akun ini yaitu video yang
berjudul “PRESIDEN IMPIAN - Saykoji Feat. Umbu Kaborang”.10
Video ini sendiri memiliki konsep berupa video musik. Video ini
diunggah tanggal 16 Juni 2014 dan berdurasi sekitar 4 menit 12 detik.
Video ini memiliki catatan statistik berupa: 104.616 views; 1.663
likes; 15 dislikes; 177 comments.
9
Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat:
https://www.youtube.com/watch?v=jG09X8fkEeA
10
Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat:
https://www.youtube.com/watch?v=s5624FbhHqY
9
E. Kerangka Pemikiran
E.1. Representasi, Konstruksi Makna, dan Bahasa
Pada perkembangan kajian ilmu komunikasi, komunikasi tidak hanya
dipahami sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan
semata. John Fiske dalam bukunya Introduction to Communication Studies,
memberikan beberapa asumsi tentang studi komunikasi, yang menurutnya sudah
tidak murni lagi sebagai subjek karena dibelakangnya terdapat berbagai macam
studi, termasuk studi kajian kultural (budaya). Menurut Fiske, meluasnya kajian
komunikasi ini dalam perkembangannya setidaknya melahirkan dua aliran dalam
studi komunikasi, yaitu:11
1.
Pandangan yang melihat komunikasi sebagai proses transmisi pesan,
yang oleh Fiske disebut sebagai aliran proses (the process school).
2.
Pandangan bahwa komunikasi sebagai proses produksi pesan dan
pertukaran makna, yang oleh Fiske disebut sebagai aliran semiotik
(the semiotic school).
Perbedaan pandangan dari dua aliran yang dikemukakan oleh Fiske
tersebut lebih lanjut lagi setidaknya dapat digambarkan dalam tabel perbandingan
perbedaan pandangan diantara kedua aliran tersebut, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.A
Perbedaan Pandangan antara Dua Aliran dalam Studi Komunikasi menurut
John Fiske
Komunikasi: Transmisi Pesan (The
Process School)
 Konsentrasi
pada
bagaimana
pengirim dan penerima melakukan
encoding dan decoding, dan
bagaimana transmiter menggunakan
channel dan media komunikasi.
 Menggunakan terminologi efisiensi
Komunikasi: Produksi dan
Pertukaran Makna (The Semiotic
School)
 Konsentrasi bagaimana pesan atau
teks berinteraksi dengan manusia
dengan
maksud
untuk
memproduksi
makna,
juga
berhubungan dengan peranan teks
dalam kultur kita.
 Menggunakan terminologi seperti
11
John Fiske. 1990. Introduction to Communication Studies (Second Edition). London: Routledge.
Hal. 2
10
dan akurasi, juga memandang
apabila hasil dari komunikasi tidak
sesuai yang diharapkan oleh
pengirim, maka, perlu mencari
dimana letak kegagalan yang terjadi.
signifikasi dan tidak mengakui
misunderstanding sebagai sesuatu
yang dianggap sebagai kegagalan
komunikasi, namun hanya hasil dari
perbedaan budaya antara pengirim
dan penerima.
 Melihat komunikasi sebagai proses  Studi komunikasi adalah studi
dimana seseorang mempengaruhi
tentang teks dan kultur.
sikap dan state of mind seseorang.
 Mendefinikasikan interaksi sosial  Mendefinisikan interaksi sosial
sebagai proses individu satu dan
sebagai sesuatu yang memandang
yang lainnya satu sama lain saling
individu sebagai anggota budaya
berhubungan untuk mempengaruhi
tertentu dalam masyarakat.
sikap, state of mind, atau respon
emosional
orang
lain,
dan
sebaliknya.
 Pesan
adalah
apa
yang  Pesan adalah sebuah konstruksi
ditransmisikan
oleh
proses
tanda yang—melalui interaksi
komunikasi. Pesan adalah apa yang
dengan penerima—menghasilkan
pengirim “letakkan” ke dalamnya
makna. Pengirim diartikan sebagai
dengan makna apapun juga.
transmiter pesan, dan membaca
pesan adalah proses penemuan
makna yang terjadi ketika pembaca
berinteraksi dengan teks.
Sumber: John Fiske (1990:2-3)
Terlihat bahwa aliran pertama melihat komunikasi hanya sebatas proses
transmisi pesan tanpa memperhatikan aspek-aspek di luarnya. Sedangkan aliran
yang kedua memiliki cakupan yang lebih luas. Aliran yang kedua memandang
aspek di luar proses komunikasi itu sendiri seperti aspek kultur (budaya). Selain
itu aliran kedua juga menyoroti arti penting interaksi, terutama interaksi antara
penerima pesan dan pesan itu sendiri. Proses komunikasi dipandang sebagai
proses penyampaian pesan yang merupakan konstruksi berupa tanda dan dapat
menghasilkan makna sesuai interaksi yang terjadi antara penerima pesan dan
pesan itu sendiri. Aspek kultural antara pengirim dan penerima pesan inilah yang
menentukan bagaimana suatu pesan dikonstruksikan/direpresentasikan dan
dimaknai. Aliran yang kedua inilah (the semiotic school) yang cocok menjadi
dasar pemikiran dalam penelitian ini (semiotik), dimana dalam proses komunikasi
11
terdapat aspek-aspek penting seperti tanda, makna, serta representasi/konstruksi
makna.
Jika studi tentang komunikasi tidak terlepas dari studi budaya (kultur),
maka studi mengenai budaya tidak terlepas dari studi mengenai linguistik atau
bahasa. Dimana bahasa itu sendiri merupakan elemen penting dari proses
komunikasi yang terjadi antarindividu atau antarkelompok. Studi komunikasi
salah satunya berusaha mengungkapkan bagaimana bahasa digunakan untuk
mengkonstruksikan
atau
merepresentasikan
makna
dalam
suatu
proses
komunikasi dan bagaimana makna itu disebarkan melalui media-media yang ada
melalui bahasa itu sendiri.
Seorang ilmuwan Ferdinand de Saussure memiliki pandangan lain
terhadap studi bahasa. Dimana, pada abad ke-19 dulu studi tentang bahasa hanya
berkutat soal sisi historisnya dan perilaku linguistik yang nyata saja. Pada
awalnya, studi mengenai bahasa hanya menelurusi seputar perkembangan katakata dan ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh
seperti geografi, perpindahan penduduk, dan faktor lain yang mempengaruhi
perilaku linguistik manusia. Saussure justru menggunakan pendekatan anti
historis dalam studi bahasa. Dia memandang bahasa sebagai sebuah sistem yang
utuh dan harmonis secara internal, yang kemudian oleh Saussure dimunculkan
teori strukturalisme untuk menggantikan pendekatan historis dari para
pendahulunya. Menurutnya bahasa adalah sistem tanda yang mengekspresikan
gagasan.12 Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik (simfoni)
dan bila kita ingin memahaminya kita harus memperhatikan keutuhan karya
musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap
pemain musik. Dari pandangan ini jelaslah bahwa bahasa sebenarnya tidak hanya
dipahami sebagai aspek linguistik tetapi juga lebih mendasar lagi sebagai sebuah
sistem tanda yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan yang bermuatan
makna tertentu.
Dalam proses penyampaian pesan melalui bahasa terdapat proses
representasi di dalamnya. Representasi merupakan sebuah upaya untuk
12
Ferdinand de Saussure. 1966. Course in General Linguistic. McGraw Hill. Hal. 16
12
menggambarkan atau menceritakan atau menghadirkan kembali ingatan dengan
mendeskripsikan, mengimajinasikan konsep dalam benak (mind) tentang
sesuatu.13
Inti dari sebuah proses representasi adalah menyampaikan sebuah makna.
Hall memiliki tiga pendekatan untuk menjelaskan proses pembentukan suatu
makna melalui bahasa. Ketiga pendekatan itu diantaranya:14

Pendekatan reflektif, melihat bahasa sebagai sebuah cermin yang
merefleksikan makna yang sebenarnya dari realitas dimana relasi
antara tanda dengan apa yang direferensikannya adalah secara
langsung dan transparan.

Pendekatan
intensional,
melihat
bahasa
digunakan
untuk
menyampaikan sesuatu sesuai dengan cara pandang subjek terhadap
sesuatu itu sehingga makna tergantung pada maksud si penyampai
pesan.

Pendekatan konstruksionis, melihat adanya proses konstruksi makna
melalui bahasa yang digunakan dimana konstruksi makna melalui
fungsi bahasa terikat oleh konteks sosial dan historis dimana ia
dipergunakan.
Mengacu pada pendekatan ketiga tentang proses pembentukan makna
melalui bahasa oleh Hall, maka suatu proses pembentukan makna atau
representasi terdapat pula proses konstruksi makna di dalamnya. Hal tersebut yang
menyebabkan representasi berbeda/tidak sama persis dengan refleksi realitas yang
ada karena adanya proses konstruksi makna di dalamnya.
Bahasa di sini sebagai suatu alat untuk menyampaikan pesan sekaligus
makna berperan penting dalam proses konstruksi makna itu sendiri. Ibnu Ahmad
menjelaskan bahwa struktur bahasa, mulai dari pemilihan kata hingga
penyampaiannya ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang
13
Stuart Hall. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London:
Sage Publication. Hal. 21
14
Ibid. Hal. 35
13
timbul darinya. Lebih dari itu, bahasa kemudian tidak hanya mampu menjadi
representasi realitas, tetapi dapat pula membentuk realitas.15
E.2. Youtube sebagai Media Baru (Media Sosial)
Istilah media baru atau bisa disebut new media pada dasarnya lahir seiring
dengan masuknya era digital pada teknologi informasi dan komunikasi di akhir
abad ke-20.16 Era digital ditandai juga dengan munculnya teknologi internet.
Karena media baru muncul setelah era/teknologi digital ditemukan, maka media
baru itu sendiri
dapat
dikatakan sebagai
media digital.
Terry Flew
mengklasifikasikan media digital sebagai media yang kontennya berbentuk
gabungan data, teks, suara, dan berbagai jenis gambar yang disimpan dalam
format digital dan disebarluakan melalui jaringan berbaris kabel optik broadband,
satelit, dan sistem transmisi gelombang mikro.17
Lievrouw dan Livingstone memberikan pemaparan bahwa sebuah media
dapat disebut sebagai media baru, maka media tersebut harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:18

Computing and Information Technology
Sebuah media baru harus memiliki unsur information, communication,
dan technology di dalamnya, tidak bisa hanya salah satunya saja.

Communication Network
Media baru harus memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah
jaringan komunikasi antar penggunanya.

Digitalized Media and Content
Untuk disebut sebagai media baru, maka sebuah media harus mampu
menyajikan sebuah medium dan konten yang sifatnya digital.
15
Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hal. 13
Januar Rizki. 2012. “Definisi dan Contoh New Media”. Diakses pada 13 Oktober 2014. Terarsip
di: http://januar2527.blogspot.com/2012/10/definisi-dan-contoh-new-media.html
17
Terry Flew. 2008. New Media: An Introduction (3rd Edition). South Melbourne: Oxford
University Press. Hal. 2-3
18
A. Leah Lievrouw & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of new Media: Updated Student
Edition. London: Sage Publication
16
14

Convergence
Media baru harus mampu berintegrasi dengan media-media lain (baik
tradisional maupun modern), karena inti dari konvergensi adalah
integrasi antara media yang satu dengan media yang lain.
Terminologi media baru (new media) jika dikaitkan dengan media lama
(old media) tentunya memiliki perbedaan-perbedaan. Denis McQuail memberikan
ciri-ciri utama media baru yang membedakannya dengan media lama. Ciri-ciri
tersebut adalah:19
a.
Desentralisasi
Pengadaan dan pemilihan konten suatu media baru tidak lagi
sepenuhnya berada di tangan pemasok komunikasi.
b.
Kemampuan Tinggi
Pengantaran (transmisi) melalui kabel dan satelit mengatasi hambatan
komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya.
c.
Komunikasi Timbal-balik (Interactivity)
Penerima (komunikan) dapat memilih, menjawab kembali, menukar
informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung.
d.
Kelenturan (Fleksibilitas)
Kelenturan atau fleksibilitas yang dimaksud menyangkut karakteristik
bentuk, isi, dan penggunaan suatu media baru.
Media baru yang berbasis internet juga melahirkan terminologi media baru
sebagai media sosial (Facebook, Twitter, dan juga Youtube). Seperti yang telah
dijelaskan diatas mengenai karakteristik dan ciri media baru, terdapat beberapa
karakteristik maupun ciri dari media baru yang menjadikannya terklasifikasi ke
dalam terminologi media sosial, seperti karakteristik media baru berupa
communication network. Karakteristik tersebut menjadikan media baru dapat
menjadi sarana sebagai media sosial karena media baru harus memiliki
kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antar penggunanya,
jaringan komunikasi disini mendukung adanya interaksi sosial antara pengguna
19
Denis McQuail. 1996. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Terjemahan Agus Dharma
& Aminudin Ram). Jakarta: Erlangga. Hal. 17-18
15
internet/media baru. Selain itu—seperti yang telah dijabarkan di atas—media baru
juga memiliki ciri berupa komunikasi timbal-balik (interactivity). Penerima
(komunikan) dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan
dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung. Komunikasi timbal-balik
ini dapat semakin memperluas dan meningkatkan kualitas serta kuantitas
komunikasi itu sendiri. Hubungan timbal-balik menjadikan komunikasi tidak
hanya cenderung satu arah—seperti di media massa konvensional, tetapi dapat
dua arah dan dinamis dalam sebuah jaringan komunikasi. Ciri media baru ini
tentunya juga semakin mendukung interaksi sosial diantara penggunanya. Hal ini
sekali lagi yang mendukung media baru cocok dengan terminologi media sosial.
Dengan adanya internet sebagai teknologi penyokong media baru/media
sosial menjadikan publik bisa lebih aktif dan leluasa dalam berkomunikasi atau
bertukar pesan serta lebih mudah mengakses informasi antara satu dan yang
lainnya. Seperti halnya Youtube, partisipasi publik semakin terbuka untuk
berkomunikasi secara aktif, menyampaikan opini/gagasan ke khalayak ramai.
Lebih lagi fitur Youtube yang merupakan media sosial dengan konsep berbagi
video (Broadcast Yourself), menjadikannya sarana yang dinamis untuk
menyampaikan pesan/informasi. Maka Youtube sebagai media sosial menjadikan
penggunanya memiliki otoritas untuk menentukan konten, tren, dan lain
sebagainya.
Jean Burgess dan Joshua Green dalam bukunya “Youtube: Digital Media
and Society Series” mendefinisikan Youtube sebagai site of participatory culture.
Lebih lanjut lagi mereka memaparkan definisi participatory culture menurut
Henry Jenkins, yaitu:20
“Participatory culture is one in which fans and other consumers are
invited to actively participate in the creation and circulation of new
content.”
20
Henry Jenkins dalam Jean Burgess & Joshua Green. 2009. Youtube: Digital Media and Society
Series. Cambridge: Polity Press. Hal. 10
16
Participatory culture di sini menjelaskan karakteristik Youtube sebagai
media baru mendorong secara aktif partisipasi penggunanya sendiri di dalamnya
untuk menentukan konten dan sirkulasinya.
Jika kita melihat media konvensional seperti televisi, radio, maupun surat
kabar, partisipasi publik bisa dibilang masih mendapatkan porsi yang sedikit.
Informasi/konten
yang
dipublikasikannya
masih
bergantung
kuat
oleh
kepentingan internal media itu. Kepentingan yang dimaksud dapat berupa
kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Partisipasi langsung publik
masih terbatas pada rubrik media yang menyediakan konten untuk opini publik.
Ini pun masih bisa dipolitisasi oleh media dengan cara seleksi. Mereka dapat
menentukan opini publik mana yang akan dipublikasikan tergantung kebijakan
maupun agenda redaksional dan kepentingan lain yang mempengaruhi media
tersebut. Maka dari itu otoritas publik—dalam hal ini pengguna/pengakses situs
Youtube—menjadikan media Youtube memiliki karakteristik unik dibandingkan
media konvensional lainnya (televisi, radio, surat kabar, dan lain sebagainya).
Individu-individu
pengguna
Youtube
memiliki
kesempatan
secara
aktif
berpartisipasi sekaligus memiliki otoritas di dalamnya untuk menentukan konten
dan sirkulasinya.
E.3. Representasi Pesan dalam Media Sosial (Youtube)
Sebagian
besar
literatur
maupun
penelitian
memang
sering
membahas/meneliti representasi pesan (kajian semiotik misalnya) dalam proses
komunikasi di media massa kovensional seperti surat kabar, televisi, hingga film.
Mungkin masih sedikit penelitian/literatur yang membahas/meneliti perihal
representasi pesan (dalam cakupan kajian semiotik) melalui media sosial seperti
Youtube. Tidak seperti media massa konvensional pada umumnya dimana seperti
kegiatan transmisi pesan dan kebijakan penentuan konten umumnya menjadi
otoritas dari beberapa kelompok (redaksional) dari suatu media massa. Maka,
berbeda dengan di media sosial seperti Youtube, transmisi pesan dan penentuan
konten tergantung dari keinginan masing-masing kelompok bahkan individuindividu yang memiliki akses ke media sosial (akses internet). Dalam Youtube
17
misalnya, setiap pemiliki akun di situs Youtube memiliki kesempatan yang sama
untuk posting atau mengunggah video dengan konten/pesan sesuai keinginan
mereka.
Jika representasi dimaknai sebagai proses penyampaian kembali gambaran
atau konsep mengenai sesuatu untuk menghasilkan makna tertentu dalam sebuah
proses komunikasi, maka, representasi dalam media sosial seperti Youtube pun
bisa saja terjadi. Makna yang ingin disampaikan dalam representasi pesan dalam
media baru sesuai dengan latar belakang kultur, ideologi, serta tujuan dari
individu-indivdu maupun kelompok-kelompok yang mengakses media sosial dan
mentransmisikan
pesan
kepada
orang
lain/khalayak
ramai
(pengguna
internet/media sosial).
Pada dasarnya sama saja seperti di media sosial (Youtube) reperesentasi
pesan (sekaligus konstruksi makna) yang terjadi di media massa (surat kabar,
televisi) otoritasnya juga terletak pada individu di dalamnya seperti pemilik modal
maupun kepala redaksi, selain itu juga pada kesepakatan komunal (redaksional)
yang pada dasarnya juga terdiri dari pemikiran-pemikiran tiap-tiap individu di
dalam suatu institusi media massa.
Reperesentasi pesan melalui media pada umumnya pada dasarnya
menimbulkan suatu makna tertentu yang memiliki peluang untuk berbeda atau
tidak sama persis dengan realitas yang ada. Hal itu bisa dikarenakan karena
sebenarnya segala realitas yang ada di dunia ini sungguh luas, sedangkan
penyampaian pesan terbatas dalam penyampaiannya melalui bahasa (yang
merupakan sistem tanda untuk menyampaikan pesan sekaligus makna seperti yang
telah disinggung sebelumnya) adalah terbatas dan tidak bisa merepresentasikan
keseluruhan realitas yang ada di dunia ini secara sama persis. Dalam hal ini
melalui representasi, pesan dan makna dapat tereduksi dari realitasnya.
Selain karena keterbatasan sistem bahasa dalam merepresentasikan pesan
dan makna, media pada umumnya juga kadang memiliki maksud dan tujuan
tertentu untuk melakukan representasi (bisa karena motif ekonomi, politik,
ideologi, dan lain sebagainya). Croteau dan Hoynes menjelaskan bahwa
representasi melalui media merupakan hasil seleksi dari realitas dimana beberapa
18
realitas diangkat dan dibesar-besarkan sedang beberapa yang lain tertutupi bahkan
dihilangkan.21
Sebagaimana film, video-video di Youtube pun memiliki elemen-elemen
dalam kontennya—berupa audio visual—yang merupakan aspek penting sebagai
sistem proses representasi sekaligus konstruksi makna. Aspek audio maupun
visual dalam video Youtube merupakan sistem bahasa tersendiri yang menentukan
makna apa yang sebenarnya direpresentasikan sekaligus dikonstruksikan
melaluinya. Aspek audio yang dimaksud seperti dialog, gaya bicara tokoh/sosok
yang ada di dalam video, jingle/musik pengiring, dan lain sebagainya. Sedangkan
aspek visual seperti pencahayaan, teknik pengambilan gambar/pengaturan kamera,
dan lain sebagainya.
F. Kerangka Konsep
F.1. Konsep Partisipasi Politik
Partisipasi sendiri secara harafiah dapat dimaknai sebagai keikutsertaan.22
Dalam konteks politik, maka partisipasi politik dapat berarti kekutsertaan warga
dalam berbagai proses politik. Sastroatmodjo sendiri mengartikan partisipasi
politik sebagai kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan yang dilakukan pemerintah.23 Sastroatmodjo mengklasifikasikan
partisipasi politik masih dalam ranah yang sempit, yaitu kegiatan warga negara
dalam mempengaruhi kebijakan (policy) pemerintah, dalam hal ini lebih spesifik
yaitu pengambilan keputusan.
Pawito dalam bukunya juga menjelaskan penjabaran lain dari konsep
partisipasi politik, yaitu partisipasi politik secara singkat biasanya dipahami
sebagai keikutsertaan warga negara dalam proses-proses politik secara sukarela.24
Kata warga negara di sini merujuk pada individu atau mungkin kelompok21
David Croteau & William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, and Audiences.
California: Pine Forge Press. Hal. 134
22
Yandianto. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit M2S. Hal. 412
23
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal. 67
24
Pawito. 2009. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta:
Jalasutra Hal. 222
19
kelompok dalam masyarakat yang bukan orang-orang yang duduk dalam
lembaga-lembaga resmi seperti parlemen, jaksa, atau hakim. Dalam konsep ini
penekanan terdapat pada aspek “sukarela”, artinya konsep ini mengklasifikasikan
kegiatan partisipasi politik sebagai kegatan yang sifatnya sukarela oleh individuindividu/kelompok-kelompok warga negara/masyarakat.
Konsep kesukarelaan dalam partisipasi politik di atas juga sama halnya
dengan yang dikemukakan oleh Herbert McClosky. Herbert menjelaskan konsep
partisipasi politik sebagai berikut:25
“The term political participation will refer to those voluntary activities by
which members of society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy.”
(Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam
proses pembentukan kebijakan umum).
Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak
partisipasi masyarakat dalam politik maka akan lebih baik kualitas demokrasi
(proses politik) di negara tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah
umumnya dianggap kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga
tidak menaruh perhatian pada masalah kenegaraan. Selain itu juga dikhawatirkan
juga kualitas proses politik/penyelenggaraan negara akan rendah karena
kurangnya aspirasi masyarakat yang diterima pemerintah akibat dari kurangnya
partisipasi politik dari warga negaranya.
Negara demokrasi juga umumnya menganggap partisipasi politik yang
sifatnya sukarela/tanpa paksaan sangatlah penting bagi kemajuan demokrasi.
Dikarenakan partisipasi politik yang sukarela/tanpa paksaan merupakan cerminan
sikap/aspirasi murni dari warga negaranya. Hal ini tentunya sejalan dengan
konsep demokrasi. Seperti kita ketahui bersama, aspirasi, ide, gagasan, maupun
partisipasi yang nyata dan benar-benar datang dari keinginan diri setiap individu
25
Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 367
20
warga negara yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun adalah hal
yang penting dalam suatu negara demokrasi. Selain itu demokrasi juga menjamin
hak-hak setiap warganya untuk menyampaikan ide, gagasan, partisipasi mereka
secara pribadi dalam proses penyelenggaraan negara (proses politik) tanpa
dipengaruhi/diintervensi oleh pihak lain. Walaupun demikian, dalam negara
demokrasi, aktifitas partisipasi politik secara tidak sukarela/dengan paksaan tetap
mungkin saja terjadi tetapi mungkin secara terselubung/tersembunyi. Di negaranegara dengan sistem non-demokrasi seperti komunis ataupun sistem kenegaraan
yang sifatnya tradisional (kerajaan/monarki), praktik partisipasi politik secara
tidak sukarela/dengan paksaan memiliki peluang yang lebih besar untuk terjadi
dibandingkan di negara dengan sistem demokrasi. Partisipasi politik secara tidak
sukarela/dengan paksaan bisa saja terjadi karena dipaksakan oleh suatu kelompok
atau bahkan oleh penguasa/pemimpinnya sendiri di suatu negara.
Maka dari itu, Huntington dan Nelson memiliki konsep tersendiri untuk
mengklasifikasikan jenis partisipasi politik. Mereka berpendapat bahwa partisipasi
politik seseorang/kelompok ada yang sifatnya otonom (autonomous participation)
dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized
participation).26
Sedangkan menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba:27
“By political participation we refer to those legal activities by private
citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection
of governmental personnel and/or the actions they take.”
(Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang
sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabatpejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka).
Berbeda lagi dengan konsep-konsep sebelumnya, Konsep menurut
Norman dan Sidney di atas memasukkan aspek khusus. Menurut mereka,
partisipasi politik dipersempit ke dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya legal.
26
Huntington & Nelson dalam Miriam Budiarjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: PT.
Gramedia. Hal. 370
27
Norman H. Nie & Sidney Verba dalam Ibid. Hal. 2
21
Lain lagi dengan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, mereka
memberikan penafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit
tindakan ilegal dan kekerasan, sebagai berikut:28
“By political participation we mean activity by private citizens designed to
influence government decision making. Participation may be individual or
collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or
violent, legal or illegal, effective or ineffective.”
(Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir
atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan,
legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif).
Lebih lanjut, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mencoba
merangkum dan mengklasifikasikan jenis-jenis perilaku partisipasi politik dari
kebanyakan riset yang sudah ada. Klasifikasi yang mereka kemukakan mencakup
tindakan yang sifatnya legal maupun ilegal. Mereka mengklasifikasikannya ke
dalam beberapa jenis, yaitu berupa:29
a.
Kegiatan Pemilihan
Hal ini mencakup kegiatan-kegiatan dalam pemilihan umum, seperti
menggunakan hak pilih, bekerja (berpartisipasi aktif) dalam proses
pemilihan umum, hingga berkontribusi dalam kampanye dan mencari
dukungan bagi seorang calon/kandidat dalam Pemilu, serta setiap
tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
Sebagai contoh bentuk tindakan yang ilegal seperti money politic,
intimidasi, pemalsuan hasil-hasil pemilihan umum, dan lain
sebagainya.
b.
Lobbying
Mencakup
upaya-upaya
perorangan
atau
kelompok
untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka
28
Samuel P. Huntington & Joan M. Nelson dalam Miriam Budiarjo. Op.Cit. Hal. 368
Samuel P. Huntington & Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal. 16
29
22
mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar
orang. Yang termasuk dalam kegiatan lobbying salah satunya seperti
kegiatan demonstrasi.
c.
Kegiatan Organisasi
Hal ini menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam
suatu organisasi yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
d.
Mencari Koneksi (Contacting)
Merupakan
tindakan
yang
ditujukan
kepada
pejabat-pejabat
pemerintah untuk mencari koneksi dengannya dengan maksud untuk
menyampaikan tujuan tertentu serta untuk mempengaruhi suatu
kebijakan pemerintah. Klasifikasi ini dapat berwujud legal maupun
ilegal. Secara ilegal seperti praktik penyuapan terhadap pejabat
negara.
e.
Tindak Kekerasan (Violence)
Tindak kekerasan juga dapat diklasifikasikan ke dalam jenis perilaku
partisipasi politik—yang secara umum merupakan tindakan ilegal.
Tindakan ini pada umumnya tetap bertujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan
kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda untuk menekan
pihak pemerintah. Oleh karena itu, penggunaan kekerasan biasanya
mencerminkan motivasi-motivasi yang cukup kuat seperti untuk
mengubah pimpinan politik (kudeta), mempengaruhi kebijakan
pemerintah (pemberontakan), hingga untuk mengubah sistem politik
yang ada (revolusi).
Sedangkan berdasarkan bentuknya, Abramson dan Hardwick membagi
partisipasi politik menjadi dua jenis, yaitu:30
1.
Partisipasi Politik Konvensional
Bentuk partisipasi politik konvensional dapat berupa menggunakan
hak suara dalam pemilihan umum, ikut ambil bagian dalam kegiatan-
30
Abramson & Hardwick dalam Pawito. Op.Cit. Hal.223
23
kegiatan
kampanye,
bergabung
dalam
kelompok
kepentingan
tertentu/organisasi, melakukan lobi-lobi politik untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, serta menjadi kandidat politik.
2.
Partisipasi Politik Non-konvensional
Partisipasi politik non-konvensional mencakup berbagai kegiatan yang
cenderung melibatkan banyak orang dalam suatu bentuk kelompok
massa (seperti demonstrasi) dan kadang disertai dengan pelanggaran
tertib hukum dan kekerasan. Partisipasi politik non-konvensional
dapat diterima secara luas apabila tidak disertai aksi perusakan atau
kekerasan, seperti misalnya aksi demonstrasi dengan cara berpawai
sambil membawa spanduk dan poster yang berisi tentang berbagai
tuntutan, mengkoordinasikan aksi pemogokan di kalangan buruh atau
menuntut kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan peningkatan
jamisan sosial, serta lain sebagainya.
Sedangkan berdasarkan sifatnya, Sastroatmodjo membagi partisipasi
politik menjadi dua jenis, yaitu:31
1.
Partisipasi Aktif
Partisipasi aktif dapat berupa warga negara mengajukan usul
kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan
kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah, mengajukan tuntutan.
2.
Partisipasi Pasif
Partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati peraturan pemerintah serta
menerima dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah yang sudah
ada dan ditentukan.
Dengan demikian, partisipasi aktif merupakan kegiatan warga negara yang
lebih bersifat aktif dan inovatif untuk mencapai sebuah perubahan atau
terwujudnya hal baru dalam hal kebijakan pemerintah maupun dalam hal
prosesnya. Sedangkan partisipasi pasif lebih menekankan pada kegiatan yang
31
Sastroatmodjo dalam Heni Ainul Faridah. 2013. “Makalah Partisipasi Politik”. Diakses pada 3
November 2014. Terarsip di: http://henisuperwoman.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-falsefalse-in-x-none-x_11.html
24
sifatnya
mempertahankan
stabilitas
jalannya
kebijakan
pemerintah
(peraturan/perundangan negara) yang sudah ada.
Melihat banyaknya versi-versi konsep partisipasi politik seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya, maka secara umum partisipasi politik dapat dipahami
secara luas. Partisipasi politik dapat dimaknai secara luas sebagai kegiatan
individu/kelompok warga negara/masyarakat baik secara sukarela (autonomous
participation) atau tidak (mobilized participation), legal atau ilegal dalam prosesproses politik di suatu negara. Proses-proses politik yang dimaksud dapat berupa
partisipasi dalam proses seleksi pejabat/pemimpin negara ataupun kegiatan
lainnya seperti kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah, atau kegiatan
mempengaruhi pemerintah dalam mengambil kebijakan dan lain sebagainya baik
secara sukarela/tidak maupun legal/ilegal.
Pandangan
lainnya
datang
dari
Rush
dan
Althoff.
Mereka
mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi politik ke dalam suatu hirarki.
Hirarki tertinggi dari bentuk partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah
menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan bentuk partisipasi politik
yang menempati posisi terendah dalam hirarki tersebut adalah apati secara total,
yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total.
Konsep hirarki partisipasi politik oleh Rush dan Althoff dapat
digambarkan ke dalam gambar sebagai berikut:32
32
Michael Rush & Philip Althoff dalam Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Hal. 185
25
Gambar 1.A
Hirarki Partisipasi Politik










Menduduki jabatan politik atau
administratif
Mencari jabatan politik atau
administratif
Menjadi anggota aktif dalam
suatu organisasi politik
Menjadi anggota pasif dalam
suatu organisasi politik
Menjadi anggota aktif dalam
suatu organisasi semi politik
Menjadi anggota pasif dalam
suatu organisasi semi politik
Partisipasi dalam rapat umum,
demonstrasi dan sebagainya
Partisipasi dalam diskusi politik
informal
Partisipasi dalam pemungutan
suara (voting), seperti dalam
Pemilu
Apati total
Sumber: Michael Rush dan Philip Althoff dalam Damsar (2010:185)
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa garis vertikal dari segitiga di
atas menunjukkan tingkatan kedudukan (level) partisipasi politik. Sehingga
semakin tinggi kedudukan suatu bentuk partisipasi politik dalam gambar tersebut,
maka semakin tinggi pula kedudukan partisipasi tersebut dalam hirarki yang ada.
Sedangkan garis horisontal dari segitiga di atas menunjukkan tingkatan kuantitas
(jumlah) individu-individu dalam bentuk tertentu dari suatu partisipasi politik.
Semakin panjang garis horisontal, maka semakin tinggi kuantitas individuindividu dalam suatu partisipasi politik. Dengan kata lain, jika merujuk pada
gambar di atas, maka, menurut Rush dan Althoff semakin tinggi tingkat
26
kedudukan suatu bentuk partisipasi politik dalam hirarki tersebut, maka, semakin
sedikit tingkatan kuantitas individu-individu yang ada di dalamnya (pelakunya).
Pandangan mereka ini setidaknya sesuai dengan realitas yang ada. Dimana
bentuk-bentuk partisipasi politik yang cenderung menduduki peringkat bawah
dalam hirarki tersebut kenyataannya memang merupakan bentuk partisipasi
politik yang cenderung dapat dilaksanakan oleh banyak orang atau masyarakat
pada umumnya. Dalam hirarki di atas contohnya seperti bentuk partisipasi politik
berupa partisipasi dalam pemungutan suara (voting), seperti dalam Pemilu.
Sebaliknya, bentuk-bentuk partisipasi politik yang cenderung menduduki
peringkat atas dalam hirarki tersebut kenyataannya memang merupakan bentuk
partisipasi politik yang cenderung hanya individu-individu tertentu yang dapat
melaksanakannya. Dengan kata lain hanya memberikan peluang yang sedikit bagi
jumlah masyarakat yang dapat ikut berpartisipasi dalam bentuk partisipasi yang
cenderung menduduki peringkat atas. Dalam hirarki di atas contohnya seperti
bentuk partisipasi politik berupa menduduki jabatan politik atau administratif.
Seperti kita ketahui bahwa jabatan politik atau administratif kuantitasnya terbatas,
sehingga tidak semua masyarakat dapat mendudukinya dan ikut berpartisipasi di
dalamnya.
F.2. Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pemilihan Umum
Jika berbicara mengenai apa saja bentuk partisipasi politik yang dapat
dilakukan warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), maka mungkin
kebanyakan orang akan memberikan jawaban yaitu kegiatan untuk menggunakan
hak pilih. Hak memilih warga negara Indonesia sebagai salah satu bentuk
partisipasi politik dalam Pemilu tercantum dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, pasal 27, ayat (1). Bunyi yang sama juga terdapat dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, pasal 19 ayat (1). Ayat
tersebut berbunyi:
27
“Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.”
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat
dapat memilih pemimpin politik secara langsung.33 Pada dasarnya pelaksanaan
Pemilu merupakan perwujudan prinsip bahwa kedaulatan negara berada di tangan
rakyat. Artinya setiap warga negara memiliki kedaulatan (wewenang) untuk
menentukan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu (seperti eksekutif dan
legislatif) dan akan memimpin/mewakili aspirasi serta kepentingan mereka
sebagai warga negara. Mengingat proses Pemilu ini merupakan perwujudan
kedaulatan setiap warga negara, maka partisipasi aktif warga negara diperlukan di
dalamnya untuk suksesnya Pemilu.
Sebenarnya partisipasi politik warga negara dalam Pemilu tidak hanya
sekadar menggunakan hak pilih saja. Ada hal lain yang dapat dilakukan oleh
warga negara sebagai perwujudan partisipasi politik dalam Pemilu. Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 23 Tahun 2013 tentang Partisipasi
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjabarkan Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilu melalui konsep Hak dan Kewajiban Masyarakat.
Dalam Peraturan KPU tersebut, pasal 6 mengatur hak-hak masyarakat
dalam penyelenggaraan partisipasi mereka dalam Pemilu. Hak-hak itu meliputi:
a.
memperoleh informasi publik terkait dengan Pemilu sesuai peraturan
perundang-undangan;
b.
menyampaikan dan menyebarluaskan informasi publik terkait dengan
Pemilu;
c.
berpendapat, menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan;
d.
ikut serta dalam proses penyusunan kebijakan atau peraturan Pemilu;
e.
ikut serta dalam setiap tahapan Pemilu;
f.
ikut serta dalam evaluasi dan pengawasan penyelenggaraan Pemilu;
33
Abdul Hafiz Anshari. 2010. Modul I: Pemilu untuk Pemula. Diakses pada 9 November 2014.
Terarsip di: http://kpu.go.id/dmdocuments/modul_1b.pdf. Hal. 1
28
g.
melakukan konfirmasi berdasarkan hasil pengawasan atau pemantauan
penyelenggaraan Pemilu; dan
h.
memberi usulan tindak lanjut atas hasil pengawasan atau pemantauan
penyelenggaraan Pemilu.
Sementara itu di pasal 7 menjelaskan mengenai kewajiban masyarakat
dalam penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Kewajiban yang
dimaksud berupa:
a.
menghormati hak orang lain;
b.
bertanggung
jawab
atas
pendapat
dan
tindakannya
dalam
berpartisipasi;
c.
menjaga prinsip-prinsip dalam partisipasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;34 dan
d.
menjaga etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat.
Selain itu, dalam Peraturan KPU tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk
partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Hal itu dijelaskan dalam pasal 8 ayat (1)
yang berbunyi:
“Partisipasi masyarakat pada Pemilu dapat dilakukan dalam bentuk: a)
keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu; b) sosialisasi
Pemilu; c) pendidikan politik bagi Pemilih; d) survei atau jajak pendapat;
e) penghitungan cepat hasil Pemilu; dan f) pemantauan Pemilu.”
Sedangkan pada ayat (2) sendiri menyebutkan bahwa Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh perseorangan maupun organisasi/kelompok masyarakat pada setiap tahapan
Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
34
Prinsip-prinsip dalam partisipasi di pasal 2 berupa: a) kesukarelaan; b) transparan; c) akuntabel;
d) kredibel; e) kepastian hukum; f) kepentingan umum; g) proporsionalitas; h) profesionalitas; i)
anti kekerasan; j) efisien; k) tidak memihak; l) efektif.
29
F.3. Pentingnya Partisipasi Politik demi Terciptanya Pemilu yang
Berkualitas
Wujud-wujud partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu juga dijabarkan
secara lebih rinci dalam buku berjudul Seri Pendidikan Politik: Menjadi Pemilih
yang Baik dalam Pemilu 2004.35 Di dalam buku tersebut dijelaskan apa yang
seharusnya dilakukan (wujud partisipasi politik) oleh masyarakat secara umum
atau warga negara demi terciptanya Pemilu yang berkualitas dan berjalan dengan
kompetisi yang adil. Wujud partisipasi politik masyarakat/warga negara dalam
Pemilu yang dimaksud dalam buku tersebut dapat dijabarkan kurang lebih sebagai
berikut:
a.
Warga negara perlu memahami dan memperjuangkan bahwa hak
pilih merupakan hak setiap warga negara yang telah memenuhi
persyaratan yang ada tanpa tekanan dan paksaan dari pihak
manapun.
Agar terjamin hak pilihnya, warga negara perlu untuk
memastikan bahwa namanya telah terdaftar sebagai pemilih sebelum
hari pelaksanaan Pemilu tiba. Jika memang belum, maka, warga
negara tersebut perlu melaporkannya ke petugas pendaftaran pemilih
Pemilu untuk segera ditindaklanjuti dan namanya dapat terdaftar
sebagai pemilih dalam Pemilu.
Selain itu setiap warga negara juga perlu mewaspadai jika ada
kejanggalan atau kecurangan dalam proses pendaftaran pemilih
maupun dalam daftar pemilih yang sudah ada. Selain dalam proses
pendaftaran ini, setiap warga negara juga perlu mengerti dan
memahami tata cara penggunaan hak pilih di hari pelaksanaan Pemilu,
supaya hak pilihnya tidak terbuang sia-sia karena dianggap tidak sah.
Penggunaan hak pilih untuk memilih partai/kandidat dalam
Pemilu ini juga perlu diperjuangkan oleh setiap warga negara agar
35
Buku Seri Pendidikan Politik: Menjadi Pemilih yang Baik dalam Pemilu 2004 diprakarsai oleh
Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah Program Studi Ilmu Politik, PPs UGM
bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2003. Disusun oleh
Riswandha Imawan, dkk.
30
benar-benar sesuai hati nurani/kepentingan setiap individu warga
negara. Maka dari itu setiap warga negara perlu menghindari/menolak
pemaksaan penggunaan hak pilih pada salah satu partai/kandidat
tertentu oleh pihak lain. Praktik-praktik kecurangan mengenai hal ini
yang perlu diwaspadai dalam Pemilu berupa praktik money politic,
ancaman/intimidasi, hingga kecurangan dalam proses pemungutan dan
perhitungan suara.
b.
Warga negara perlu memahami bahwa pembentukan partai politik
atau masuk dalam partai politik tertentu merupakan hak setiap warga
negara.
Tanpa partai politik sebagai peserta pemilu, maka tidak
mungkin Pemilu dapat dilaksanakan. Mungkin hak yang satu ini
sering tidak disadari oleh masyarakat luas bahwa setiap warga
negara—dengan persyaratan yang ada—memilikinya. Hak untuk
membentuk atau masuk ke partai politik tertentu juga sesuai dengan
konsep dalam Undang-undang Dasar (UUD) yang menjamin
kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran—yang juga merupakan hak azasi manusia.
Maka dari itu, setiap warga negara yang ingin bergabung ke
dalam
suatu
partai
misalnya,
maka
sebelumnya
ia
wajib
memperhatikan latar belakang, ideologi, track record ataupun
program kerjanya. Apakah partai politik tersebut berkualitas atau tidak
dan apakah sesuai dengan kriteria individu yang akan bergabung ke
dalamnya atau tidak. Selain itu perlu diwaspadai pula praktik oligarkhi
maupun elitisme dalam sistem kerja partai karena tidak sesuai dengan
prinsip demokrasi yang dianut negara kita.
c.
Warga negara perlu memperjuangkan kebebasan informasi mengenai
partai/kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu.
Kebebasan informasi yang dimaksud adalah adanya publikasi
yang mendalam dan mudah terakses oleh masyarakat secara luas
terhadap informasi mengenai partai/kandidat yang berkompetisi dalam
31
Pemilu. Informasi yang dimaksud berupa track record, latar belakang,
visi-misi, hingga transparansi pendanaan (seperti dana untuk
kampanye) partai/kandidat peserta Pemilu. Dalam hal ini selain peran
media massa secara umum, warga negara secara umum juga dapat ikut
berpartisipasi dalam kegiatan publikasi. Warga negara/masyarakat
dapat ikut berpartisipasi melalui kampanye langsung dengan turun ke
jalan atau melalui media sosial. Kebebasan informasi ini penting agar
setiap warga negara dapat benar-benar dapat mempertimbangkan
kandidat mana yang akan mereka pilih dalam Pemilu. Selain itu
mereka juga dapat lebih objektif dalam memilih.
d.
Warga negara perlu melakukan pengawasan terhadap proses Pemilu
Warga negara perlu berpartisipasi dalam pengawasan proses
Pemilu baik dari tingkat daerah hingga nasional. Pengawasan perlu
dilakukan mulai dari kinerja badan-badan penyelenggara pemilu
seperti Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) maupun Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) baik di tingkat bawah hingga pusat.
Warga negara perlu memastikan setiap lembaga negara tersebut
melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga tercipta Pemilu yang
berkualitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan-pengawasan
terhadap pihak-pihak lain yang berpotensi melakukan kecurangan
seperti partai/kandidat peserta Pemilu, pejabat publik, dan lain
sebagainya.
G. Metodologi Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
deskriptif
dengan
menggunakan metode semiotik. Semiotik secara sederhana dapat dipahami
sebagai studi tentang tanda. Tanda yang dipelajari dalam semiotik merupakan
kesatuan dari sistem tanda baik berupa bahasa verbal berupa kata, gambar/visual,
bahasa tubuh, bunyi/suara, serta objek lainnya yang dapat diklasifikasikan sebagai
tanda.
32
Di dalam studi semiotik tanda merupakan konteks penting yang harus
dipahami. Setidaknya tanda dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Penanda (Signifier)
Penanda (Signifier) merupakan aspek material yang bisa dirasakan
oleh panca indera dari sebuah simbol/tanda.

Petanda (Signified)
Sedangkan petanda (signified) merupakan gambaran mental, pikiran,
atau konsep dari sebuah simbol/tanda.
Kedua unsur di atas tidak dapat dipisahkan untuk dapat memperoleh
makna yang diinginkan. Sedangkan hubungan di antara keduanya disebut sebagai
signifikasi (signification).
Unsur teks atau verbal yang diteliti dalam penelitian ini tidak hanya
sebagai bahasa atau aspek linguistik, namun dapat dipahami lebih luas sebagai
aspek yang terkodifikasi dalam sebuah sistem. Jadi, aspek teks/verbal dalam
penelitian ini juga merupakan aspek yang diteliti dengan memperhatikan
unsur/atau sistem yang mengikatnya, dalam hal ini berupa unsur visualisasi
(konsep film/sinematografi) dan juga sound.
Roland Barthes memiliki konsep dalam menganalisis makna dari tandatanda. Dia memiliki konsep signifikasi dua tahap (two order of signification).36
Lewat konsep ini, Barthes menjelaskan bahwa signifikasi terdiri dari dua tahap.
Tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda di dalam sebuah
tanda terhadap realitas eksternal. Tahap inilah yang disebut Barthes sebagai
denotasi, yaitu makna yang paling nyata dari tanda. Lalu pada tahap kedua tanda
yang dihasilkan dari tahap pertama tadi bertemu dengan perasaan atau emosi dari
seseorang serta nilai-nilai dari kebudayannya yang pada akhirnya membentuk
tanda/pemaknaan baru yang disebut dengan konotasi (tahapan kedua).
36
Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2011. SEMIOTIKA KOMUNIKASI: Aplikasi Praktis bagi
Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Hal. 16
33
Gambar 1.B
Sistem Semiotik Dua Tahap menurut Roland Barthes
Denotasi
1. Penanda
2. Petanda
(Signifier)
(Signified)
3. Tanda (Sign)
I. PENANDA (SIGNIFIER)
II. PETANDA
(SIGNIFIED)
Konotasi
III. TANDA (SIGN)
Sumber: Roland Barthes dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo (2011:17)
Konotasi memiliki makna yang subjektif atau bisa juga intersubjektif.
Dengan kata lain denotasi (tahap pertama) adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya.
G.2. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan bersumber dari dua jenis
sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
a.
Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah materi video-video
berupa data digital dari akun Youtube “CameoProject” dan
“PROJECT SLINGSHOT” yang sudah dilakukan penarikan sampel.
Penjelasan mengenai teknik sampling yang digunakan serta sampel
yang diambil sebagai objek penelitian dapat dilihat pada bab I (sub
bab “Objek Penelitian”).
b.
Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil
dari buku/pustaka, artikel/referensi dari internet, dan sumber data
lainnya yang memungkinkan dijadikan data untuk mendukung
penelitian ini.
34
G.3. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini yang berkaitan dengan isi pesan dalam
video tentunya berkaitan dengan apa dan bagaimana konsep partisipasi politik
warga negara dalam Pemilu yang coba disampaikan maupun direpresentasikan
melalui video tersebut. Maka dari itu peneliti mencoba untuk merangkum
konsep/bentuk-bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh warga negara
secara umum dalam Pemilu sesuai dengan apa yang sudah dijabarkan sebelumnya
di kerangka konsep.
Dari penjabaran di bagian kerangka konsep, dapat dirumuskan secara garis
besar bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan warga negara secara umum
dalam Pemilu dapat berupa:
a.
Menggunakan hak pilih itu sendiri yang merupakan esensi dasar dari
partisipasi politik dalam Pemilu.
b.
Sosialisasi kepada masyarakat mengenai hal yang sifatnya teknis
mengenai Pemilu. Seperti cara mencoblos, informasi hari pemungutan
suara, atau seperti cara untuk mencoblos di tempat lain, dan lain
sebagainya.
c.
Mengkampanyekan atau memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat mengenai konsep partisipasi politik dalam Pemilu seperti
pentingnya menggunakan hak pilih.
d.
Melakukan pengawasan terhadap keseluruhan proses Pemilu.
e.
Masuk ke dalam partai politik atau membentuk partai politik sebagai
perwujudan dari kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pikiran. Dengan kata lain mencalonkan diri sebagai
kandidat (seperti calon presiden/wakil presiden dan calon anggota
legislatif) yang berkompetisi dalam Pemilu pun merupakan hak setiap
warga negara jika memenuhi persyaratan yang ditentukan, dan
merupakan bentuk partisipasi politik dalam Pemilu.
f.
Ikut mendukung kebebasan informasi mengenai partai/kandidat yang
berkompetisi dalam Pemilu. Ini penting agar masyarakat benar-benar
objektif dalam menentukan pilihannya.
35
g.
Ikut serta dalam kampanye politik partai/kandidat yang berkompetisi
dalam Pemilu.
Agar tidak menyulitkan penelitian, diperlukan instrumen penelitian
sebagai berikut:
Tabel 1.B
Instrumen Penelitian
Unit Terteliti
Unsur
a. Teks/announcement
b. Dialog antar tokoh
1. Naskah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
2. Visualisasi
a. Lirik lagu
b. Jenis musik
3. Musik/jingle
Setiap
instrumen
Warna
Objek
Komposisi objek
Gerak objek
Ekspresi objek
Setting (tempat,waktu, dan situasi)
Teknik pengambilan gambar dan
editing
penelitian
berperan
penting
dalam
membantu
menganalisis representasi makna dalam materi video yang diteliti. Selain itu, salah
satu unsur dalam instrumen penelitian di atas yaitu teknik pengambilan gambar
sendiri memiliki penjabaran lebih terperinci untuk mengetahui makna dibaliknya.
Berger memiliki konsep untuk mengetahui arti/makna dibalik teknik pengambilan
gambar (kamera). Konsep tersebut dijabarkan seperti di bawah ini:
Tabel 1.C
Camera Shot, Definisi, dan Maknanya menurut Berger
Camera Shot (Penanda)
Definisi
Extreme Close Up (ECU)
Sedekat mungkin dengan
objek (misalnya hanya
mengambil bagian dari
Makna (Petanda)
Kedekatan hubungan
dengan cerita dan atau
pesan.
36
Close Up (CU)
wajah)
Wajah keseluruhan
sebagai objek
Medium Shot (MS)
Setengah badan
Long Shot ( LS)
Setting dan karakter
Full Shot (FS)
Low Angle (LA)
Seluruh badan objek
Posisi kamera lebih
rendah dari objek
High Angle (HA)
Posisi kamera lebih
tinggi dari objek
Keintiman, tetapi tidak
sangat dekat. Bisa juga
menandakan bahwa
objek sebagai inti
cerita.
Hubungan personal
antar tokoh dan
menggambarkan
kompromi yang baik.
Konteks, skop, dan
jarak publik.
Hubungan sosial.
Menunjukkan
kekuasaan atau
kekuatan dari objek.
Menunjukkan
kelemahan atau
ketidakberdayaan dari
objek.
Sumber: Arthur Asa Berger (1983)
Selain itu Berger juga memiliki konsep untuk mengetahui arti/makna
dibalik teknik editing dan gerakan kamera. Konsep tersebut dijabarkan seperti di
bawah ini:
Tabel 1.D
Teknik Editing/Gerakan Kamera, Definisi, dan Maknanya menurut Berger
Teknik Editing/gerakan
Kamera (Penanda)
Pan down
Pan up
Zoom in/out
Fade in/out
Cut
Definisi
Makna (Petanda)
Kamera bergerak dari
bawah ke atas
Kamera bergerak dari
atas ke bawah
Kamera bergerak ke
dalam/ke luar,
mendekati/menjauhi
objek
Image muncul dari gelap
ke terang dan sebaliknya
Perpindahan dari gambar
Menunjukkan kekuasan
dan otoritas.
Kekerdilan, kelemahan
objek.
Menunjukkan
kedalaman pengamatan
terhadap objek.
Permulaan dan akhr
cerita.
Simultan, kegairahan.
37
satu ke gambar lain
Seluruh bingkai gambar
Flipframe
seakan-akan terbalik dan
muncul adegan baru
Perpaduan bertahap dari
akhir sebuah shot ke
Dissolve
dalam awal shot
berikutnya dengan
mendempetkan adegan
Gambar “terhapus” dari
Wipe
layar
Sumber: Arthur Asa Berger (1983)
Pembaharuan,
perubahan.
Pemunculan image
baru.
Kesimpulan akhir dari
seluruh adegan.
Makna yang ditimbulkan dari aspek teknis sinematografis menurut Berger
di atas tidak semuanya dapat diaplikasikan ke dalam setiap shot atau scene dalam
konten video. Hal ini tergantung kebutuhan naratif, kontekstual cerita, maupun
estetis dalam suatu konten video. Dengan demikian peneliti akan mengaplikasikan
unit analisis berupa teknik sinematografi ini sesuai dengan yang ada di dalam
konten video yang diteliti.
Agar mempermudah dalam menganalisis, peneliti akan mengurai videovideo yang menjadi objek dalam penelitian ini ke dalam unsur yang terkecil dari
sebuah materi audio visual—secara sinematografis—yaitu berupa shot per shot
beserta unsur lain yang menyertainya (bisa dilihat di bagian lampiran). Unsur lain
itu berupa visual (bisa berupa teks), teknik pengambilan gambar/editing, dan juga
audio (naskah, dialog, atau musik).
Peneliti menyadari bahwa tidak semua shot-shot atau unsur-unsur dalam
video-video yang diteliti memiliki signifikasi berupa makna representasi sesuai
dengan topik penelitian ini. Maka dari itu, setelah setiap shot dan unsur yang
menyertainya dijabarkan dalam lampiran, maka akan dipilih manakah shot-shot
atau unsur-unsur dalam video yang memiliki signifikasi berupa makna
representasi sesuai dengan topik penelitian ini. Shot-shot atau unsur-unsur dalam
video yang terpilih akan dibahas dan dianalisis dengan metode analisis semiotik.
38
Download