Pelayanan Kesehatan Reproduksi untuk Penduduk Dewasa Muda

advertisement
The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Study
Policy Brief No. 5
Pelayanan Kesehatan Reproduksi untuk Penduduk Dewasa Muda Lajang
Iwu Dwisetyani Utomo, Peter McDonald Anna Reimondos, Terence Hull, dan Ariane Utomo
Berlawanan dengan pendapat masyarakat umum dan kalangan pejabat pemerintah,
hubungan seks dan kehamilan sebelum nikah terjadi di seluruh daerah dan pada semua kelas sosial dan
latar belakang etnis. Dengan meningkatnya pendidikan dan modernisasi sejak lebih dari setengah abad,
rata-rata usia menikah telah meningkat tajam. Hal ini berdampak pada masa lajang yang lebih lama
yang dijalani baik oleh perempuan atau laki-laki pada usia subur mereka. Disayangkan bahwa masa
lajang yang lebih panjang ini tidak didukung oleh pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang
memadai, apalagi akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. Padahal kedua hal ini sangat
penting dan dapat membantu mereka untuk terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan dan
penyakit menular seksual. Dengan demikian, bila pemerintah ingin memperbaiki status kesehatan
warga negaranya yang berusia dewasa, maka pemerintah mempunyai kesemapatan yang unik dalam
mengembangkan kebijakan pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi penduduk dewasa
lajang. Bila pelayanan kesehatan reproduksi bagi penduduk lajang disepakati, kebijakan ini perlu
disosialisasikan juga tercapainya kesepakatan dalam menghargai hak-hak reproduksi dan kesehatan
seseorang. Tanpa adanya perubahan besar yang mendasari kebijakan kesehatan reproduksi, beriburibu wanita Indonesia akan terus mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dipaksa untuk menikah
karena kehamilannya, atau beresiko untuk mengakhiri kehamilannya dengan cara yang tidak aman.
Di Indonesia, seorang gadis berusia 16 tahun yang
sudah menikah dapat berhubungan seksual, dan
mempunyai akses pada pelayanan kesehatan
reproduksi serta dipandang sebagai seorang dewasa
yang bertanggung jawab dan calon ibu yang baik. Sisi
lain, seorang gadis berusia 17 tahun (pada usia yang
disahkan secara hukum untuk dapat memilih) yang
masih lajang dan hamil dianggap sebagai seorang
pendosa dan tidak dihargai. Dia dapat dikeluarkan
dari sekolah, mendapatkan cap negatif dan terkucilkan
dari teman-teman dan keluarganya.
Dampak
pengucilan seorang gadis yang hamil di luar nikah juga
berdampak
pada
keluarganya,
khususnya
orangtuanya, yang dipandang sebagai orangtua yang
tidak dapat membesarkan putrinya dengan baik. Gadis
tersebut akan berusaha untuk menyembunyikan
kehamilannya dari orangtuanya dan menghindari
pergi ke klinik kesehatan untuk berkonsultasi
mengenai kehamilannya. Dalam keputusasaannya,
dia mungkin akan pergi ke dukun tradisional untuk
aborsi yang dapat membahayakan jiwanya. Pacar
yang menghamilinya, dengan mudah dapat terhindar
dari kecaman pandangan negatif dan pengucilan.
Keluarga besar dan teman-teman gadis ini dan bahkan
pemerintah akan meninggalkannya sendiri tanpa
adanya dukungan (Utomo dan McDonald, 2009: 140).
Kutipan di atas mengingatkan kita bahwa banyak
wanita muda yang mengalami kehamilan di luar
nikah terisolasi secara sosial. Keadaan politik yang
kontraversial menghindari diskusi atau adanya
kebijakan tentang pendidikan dan pelayanan
kesehatan reproduksi bagi penduduk dewasa lajang,
walau dalam perkembangannya yang mengarah
pada kedua kebijakan tersebut tidak seluruhnya
terhambat. Karena kuatnya norma-norma agama
dan sosial yang mementingkan pernikahan,
terbentuknya keluarga dan mempunyai anak
sebagai nilai-nilai universal, promosi pelayanan
kesehatan reproduksi untuk para penduduk dewasa
lajang secara umum tidak didukung, berlawanan
dengan komitmen internasional pemerintah untuk
mendukung hak-hak reproduksi dan seksual untuk
semua warga negaranya.
Bahkan pendidikan
kesehatan reproduksi sekalipun dipandang sebagai
hal yang “sensitif”.
Sebagai contoh, sebuah PUSKESMAS di Lombok
Timur dengan dana yang tersedia hanya sebesar Rp
50.000,00 (kurang dari AUD$7) mulai menyediakan
pelayanan untuk penduduk muda yang lajang.
Karena dedikasi dan pengabdian dari kepala
PUSKESMAS
tersebut
yang
berpendapat
tersediannya layanan tersebut adalah sangat
penting, rencana tersebut dilaksanakan dengan
mengecat ruangan yang secara khusus dimodifikasi
untuk mengakomodir pelayanan tersebut.
Dalam
perkembangan
tentang
pentingnya
diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi dan
pengetahuan tentang praktik seks yang aman di
sekolah, terdapat ketidak setujuan yang terus
berlanjut..
Buku-buku sekolah, khususnya
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (PENJASKES),
Biologi dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial dan pada derajat tertentu
Agama Islam memasukkan informasi tentang
masalah kesehatan reproduksi dan HIV dan AIDS
(Utomo et al., 2011). Namun, tidak semua orangtua
atau pemuka agama menyetujui diberikannya
pendidikan tersebut di sekolah.
Contoh inovatif dan progresif lainnya adalah klinik
di Sekolah Menengah Atas di Ogan Komering Ilir
(OKI), Sumatera Selatan yang menyediakan
pelayanan kesehatan reproduksi untuk para pelajar.
Dalam kasus ini, keputusan kepala sekolah
menggambarkan
komitmen
beliau
untuk
menyediakan pendidikan kesehatan reproduksi,
konseling, Pendidikan Informasi Konseling (PIK)
bagi remaja, dan pelayanan untuk para pelajarnya.
Contoh–contoh tersebut dapat terlaksana di
Lombok Timur dan OKI karena kedua Kecamatan
tersebut berlokasi di salah satu dari sembilan
Kecamatan yang didukung oleh proyek percontohan
kesehatan reproduksi remaja UNFPA.
Studi internasional dan juga penelitian di Indonesia
telah menunjukkan bahwa diberikannya pendidikan
kesehatan reproduksi di sekolah akan menghasilkan
kehidupan perilaku seksual yang lebih bertanggung
jawab dan perilaku seks yang aman (Diarsvitri et.al.
2011; Kirby,2002; Kirby et al.2007; Utomo,1997).
Sayangnya, banyak orang di Indonesia percaya
bahwa pendidikan kesehatan reproduksi akan
meningkatkan kegiatan seksual pelajar, sebenarnya
pendapat ini sangat tidak benar.
Penelitian
menunjukkan bahwa ketidak pedulian tentang
diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi
bukanlah suatu kebijakan yang baik yang dapat
mencegah seks sebelum menikah, tetapi seringkali
bahwa anak yang tidak mendapatkan pendidikan
tersebut justru dapat menjadi korban kehamilan
yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual
yang berbahaya. Informasi tentang pendidikan
kesehatan reproduksi, di lain pihak , akan dapat
berfungsi sebagai perlindungan bagi anak tersebut.
Namun demikian, sebagian besar PUSKESMAS
sangat bergantung pada alokasi ketersediaan dana
yang diputuskan oleh kebijakan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, adopsi model pelayanan kesehatan
reproduksi bagi penduduk dewasa lajang sangat
bergantung pada inisiatif dan komitmen dari kepala
PUSKESMAS dan pimpinan daerah. Jika mereka
melihat bahwa pelayanan tersebut penting dan
mendesak, maka mereka akan cenderung
menyediakan dana untuk tujuan tersebut.
Dukungan sangatlah diperlukan untuk 520
kecamatan lainnya di seluruh pelosok Indonesia,
sehingga para pengambil kebijakan dan kepalakepala PUNSKESMAS dapat juga menjadi pionir
yang akan merubah kebijakan lokal dan berusaha
untuk menyediakan layanan kesehatan reproduksi
bagi penduduk dewasa lajang.
Dengan meningkatnya kasus penyebaran HIV dan
AIDS pada penduduk muda di semua provinsi,
bahkan pada provinsi yang memegang teguh nilainilai keagamaan seperti Aceh, Sumatera Barat, dan
Nusa Tenggara Barat, tersedianya pendidikan dan
pelayanan kesehatan reproduksi adalah suatu
keharusan. Konsekuensi dari absennya kebijakan
kesehatan reproduksi bagi penduduk dewasa lajang
adalah banyaknya mereka yang akan menjadi
penduduk beresiko tinggi terhadap penyakit
menular seksual, termasuk HIV dan AIDS dan juga
kehamilan serta aborsi sebelum nikah. Peningkatan
Berdasarkan
peraturan
(Undang-undang
Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga Nomor
52 tahun 2009), pelayanan keluarga berencana dan
kesehatan reproduksi dari pemerintah hanya
disediakan untuk mereka yang secara legal sudah
menikah. Walau, Kementerian Kesehatan telah
merintis untuk menyediakan pelayanan serupa bagi
penduduk dewasa lajang pada proyek percontohan
di sebagian kecil PUSKESMAS.
2
usia menikah menyebabkan banyak penduduk
muda lajang yang harus dapat mengatasi kebutuhan
seksual mereka dalam waktu yang lebih panjang
dibandingkan waktu lajang orangtua mereka
(Situmorang, 2011). Orangtua mereka menikah
pada usia yang jauh lebih muda dan dapat mulai
berhubungan seksual dalam status menikah
semenjak usia remaja untuk para ibu dan awal usia
duapuluhan bagi para ayah. Tidaklah demikian
keadaan saat ini dimana penduduk dewasa lajang
harus dapat mengatasi kebutuhan sesksualnya
dalam jangka waktu yang lebih panjang sebelum
mereka menikah.
menyediakan akses untuk metode pencegahan
seperti kondom bagi laki-laki dan perempuan,
sarana untuk test HIV sukarela, konseling dan tindak
lanjut. Sebagaimana Indonesia telah menyetujui
perjanjian-perjanjian di atas, dalam kenyataannya,
Indonesia harus bertanggung jawab untuk
menerapkan prinsip-prinsip tersebut (Wardhani,
2009). Tetapi sampai saat ini, pelayanan kesehatan
reproduksi bagi penduduk dewasa lajang masih
absen dari pembahasan dan agenda kebijakan.
Seks dan Perilaku Seksual Sebelum Nikah
Bukti temuan dari survey The Greater Jakarta
Transition to Adulthood Survey pada tahun 2010
menunjukkan bahwa 11 persen dari para responden
yang tidak pernah menikah dan sekitar 10 persen
dari responden yang telah menikah telah
melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Diantara mereka yang tidak pernah menikah, hanya
5 persen dari para perempuan yang dilaporkan
telah melakukan hubungan seksual dibandingkan 16
persen laki-laki.
Penulis berspekulasi bahwa
kejadian seks sebelum nikah diantara para
responden tidak terungkap sepenuhnya.
Data dari survei The Greater Jakarta Transition to
Adulthood pada tahun 2010 untuk responden usia
20-34 tahun (N=3006) menunjukkan bahwa 14
persen laki-laki dan 7 persen perempuan yang saat
ini sedang berkencan, melakukan hubungan seksual
dengan pasangan mereka. Hasil survey ini
menunjukkan bahwa 15 persen dari laki-laki yang
berkencan dengan calon istri mereka lebih dari 12
bulan telah melakukan hubungan seksual
dibandingkan dengan 8 persen laki-laki yang
berkencan atau bertunangan kurang dari 6 bulan
lamanya. Jadi banyak penduduk muda lajang
berusia 20-34 tahun yang berhubungan seks
sebelum menikah. Oleh karena itu untuk
menghindari dampak buruk pada kesehatan dan
masa depan mereka akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi sangat dibutuhkan.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kejadian
hubungan seksual pra nikah pertama kali secara
signifikan lebih tinggi terjadi pada pria. Pada
pembahasan mengenai usia responden berdasarkan
kohort, analisa menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan mereka yang berusia 25-29 tahun dan 20-24
tahun mempunyai tingkat melakukan hubungan
seksual pertama kali yang lebih tinggi yang
mengindikasikan
adanya
kenaikan
seiring
berjalannya waktu. Berkaitan dengan pendidikan
orangtua, hasil analisa menunjukkan bahwa para
responden yang dibesarkan di keluarga yang
orangtuanya berpendidikan lebih baik akan
cenderung untuk melakukan hubungan seksual
pertama mereka sebelum menikah..
Masalah-masalah terkait dengan akses pada
pelayanan kesehatan reproduksi bagi penduduk
lajang tidak diprioritaskan oleh pemerintah
meskipun Indonesia telah menyetujui perjanjian
kesehatan dan
hak-hak reproduksi yang
dilaksanakan pada CEDAW (1979), ICPD Program of
Actions (1994), Beijing Platform for Action (1995),
Millenium Development Goals (MDG), dan bahkan
yang paling mendasar, Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia pada tahun 1948 tentang hak asasi,
termasuk hak kesehatan reproduksi. Tujuan MDG
termasuk sasaran “untuk mencapai akses universal
bagi kesehatan reproduksi di tahun 2015, target
baru ini membuat tugas yang tak terelakkan bagi
pemerintah dan sistem kesehatan” (WHO, 2011:1).
Program aksi ICPD tahun 1994 menekankan
pentingnya informasi dan pelayanan kesehatan
reproduksi bagi mereka yang berusia 14-24 tahun
termasuk akses pada informasi, pendidikan dan
pelayanan yang diperlukan untuk meningkatkan
ketrampilan hidup yang dibutuhkan untuk
mengurangi kerentanan mereka terhadap infeksi
HIV.
Disarankan bahwa pelayanan ini dapat
Pada semua responden yang telah berhubungan
seksual ditanyakan apakah mereka menikah dengan
pasangan seksual mereka ketika mereka
berhubungan seksual untuk pertama kalinya. Secara
keseluruhan 16 persen belum menikah pada saat
pertama kali melakukan hubungan seks, tetapi ada
perbedaan yang signifikan menurut jenis kelamin,
usia dan status hubungan. Sebagai contoh, sekitar
sepertiga dari laki-laki tidak menikah dengan
pasangan seksual mereka pertama kalinya mereka
berhubungan seks dibandingkan dengan di bawah
10 persen pada wanita. Mereka dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi secara signifikan lebih
mungkin untuk melakukan hubungan seks pra
3
nikah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
mereka akan menikah lebih lambat karena mereka
sedang belajar.
yang dapat digunakan untuk perhitungan waktu
konsepsi kehamilan. Tanggal konsepsi didefinisikan
sebagai tanggal kelahiran dikurangi sembilan bulan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa 10 persen dari
kelahiran adalah konsepsi pranikah dan 5 persen
adalah kelahiran pranikah. Persentase konsepsi dan
kelahiran pranikah lebih tinggi bagi mereka yang
telah mengandung di usia muda.
Kondom dan Kontrasepsi yang Digunakan di antara
Para Penduduk Dewasa Lajang
Hasil survei menunjukkan bahwa responden lajang
yang aktif secara seksual, 34 persen menggunakan
kontrasepsi dengan mayoritas menggunakan
kondom (32%) pada saat pertama kali melakukan
hubungan seksual. Bukti ini menunjukkan bahwa
sepertiga dari para responden lajang yang aktif
secara seksual menyadari praktik seks aman,
sementara dua pertiga lainnya tidak melindungi diri
mereka.
Pada saat melakukan hubungan seksual pertama,
semakin tinggi tingkat pendidikan responden dan
semakin tua usia responden, maka mereka
cenderung memiliki pengetahuan yang lebih tinggi
tentang praktik seks yang aman. Mereka dengan
pendidikan tinggi dua kali lebih mungkin untuk
memiliki pengetahuan tentang seks yang aman dan
kontrasepsi dibandingkan dengan mereka yang
berpendidikan SMA.
Dalam analisa lebih lanjut, kami membandingkan
pola konsepsi pranikah dari data The Greater
Jakarta Transition to Adulthood Survey pada tahun
2010 dengan enam data dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan selama
dua dekade 1987-2007 (Figur 2). Semua survei
menunjukkan hasil serupa mengenai proporsi
konsepsi pranikah.
Proporsi yang relatif tinggi pada mereka yang telah
hamil pada saat pernikahan dapat merupakan bukti
bahwa mereka melakukan pernikahan karena
kehamilan. Bukti internasional menunjukkan bahwa
pernikahan yang 'dipaksa', misalnya karena
kehamilan pranikah memiliki kemungkinan tingkat
perceraian yang lebih tinggi. Dengan demikian, para
lajang muda tidak hanya beresiko terhadap
penyakit menular seksual, kehamilan atau aborsi
Hal menarik yang perlu diungkapkan, ada beberapa
bukti analisa bahwa dibandingkan dengan individu
yang religius, mereka yang lebih religius memiliki
pengetahuan yang lebih baik tentang kontrasepsi
dan praktik seks aman, tetapi efek dari religiusitas
adalah signifikan hanya untuk perempuan.
Konsepsi Pranikah dan Kelahiran dalam
Perkawinan
Dari semua responden, 1.386 responden setidaknya
memiliki satu anak dan telah menikah setidaknya
satu kali. Dari jumlah tersebut, 1.382 memiliki
informasi yang cukup tentang tanggal perkawinan
4
jika pendidikan dan pelayanan kesehatan
reproduksi mereka tidak terpenuhi, tetapi mereka
juga beresiko dipaksa menikah yang tidak
direncanakan dan bertentangan dengan keiginan
mereka.
Perhatian yang sangat meningkat sekarang
untuk dana pengobatan HIV adalah sangat luar
biasa dibandingkan dengan sepuluh tahun yang
lalu namun hal tersebut sudah terlalu lama
tertunda. Selain itu, komunitas keluarga
berencana masih belum mau mengakui bahwa
bila sejak dulu mereka telah memperluas
jangkauan mereka kepada penduduk muda dan
pada mereka yang paling rentan terhadap
infeksi HIV dan telah bersedia untuk
mempromosikan kondom dari awal, wajah
epidemi HIV saat ini mungkin akan sangat
berbeda. Sudah saatnya mereka juga mulai
mempromosikan penggunaan kondom secara
luas, tidak hanya sebagai bentuk pencegahan
terhadap IMS/pencegahan HIV tetapi juga
untuk kontrasepsi. . . dengan back-up
kontrasepsi darurat dan aborsi yang aman.
(Berer, 2005: 8).
Diskusi Kebijakan dan Prioritas
Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian
internasional untuk pelayanan dan hak-hak
kesehatan reproduksi seksual. Para pimpinan politik
dan sosial telah berbicara untuk mendukung upaya
untuk meningkatkan kesehatan reproduksi di
masyarakat dan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas ibu. Baik Kementrian Kesehatan dan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional memiliki wewenang dan berkomitmen
untuk promosi layanan kesehatan reproduksi yang
lebih baik dan mereka memiliki anggaran yang
besar untuk mencapai tujuan-tujuan ini.
Meskipun demikian, data dari Survei “The Greater
Jakarta Transition to Adulthood” pada tahun 2010
menunjukkan bahwa banyak penduduk muda lajang
yang melakukan hubungan seksual pranikah tanpa
menggunakan kondom untuk pencegahan penyakit
atau bentuk lain dari KB untuk menghindari
kehamilan. Konsepsi dan kelahiran pranikah telah
umum terjadi pada saat ini dan dimasa lampau.
Analisis juga menunjukkan bahwa mereka yang
melakukan aktivitas seksual pada usia lebih dewasa
dan mereka yang memiliki pendidikan tinggi
mempersepsikan diri mereka sendiri sebagai
seorang yang memiliki pengetahuan yang lebih baik
mengenai kontrasepsi dan praktik seks yang aman.
Tetapi hampir setengah dari sampel, berpendidikan
SMA, dan banyak responden yang telah mulai
hubungan seksual pada usia muda. Kelompok
penduduk muda inilah yang sangat membutuhkan
pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi yang
sulit didapat.
Survei “The Greater Jakarta Transition to
Adulthood” pada tahun 2010 menunjukkan bahwa,
di komunitas yang paling kosmopolitan di Indonesia
sekalipun, penduduk muda lajang tetap tidak
mempunayai informasi yang cukup dan kurang
mendapat layanan serta dengan pilihan yang sangat
terbatas bila mereka dihadapkan pada masalah
kesehatan reproduksi dan seksual. Maka dapat
diasumsikan bahwa situasi rekan-rekan sebaya
mereka di daerah pedesaan dan terpencil dapat
lebih buruk.
Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas
informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan
seksual perlu untuk berkolaborasi secara lebih
efektif untuk merumuskan intervensi yang realistis
dan efektif untuk memastikan bahwa penyakit
menular seksual dapat dicegah, kehamilan yang
tidak diinginkan dieliminasi, dan mengurangi
terjadinya tekanan psikologis pada penduduk
dewasa lajang yang mungkin mengalami masalah di
atas. Dalam hal ini berarti bahwa kita harus berani
menghadapi
pandangan
konservatif
dan
memperjuangkan hak-hak dasar dari semua
penduduk dewasa untuk memiliki akses pada
layanan kesehatan reproduksi dan seksual, terlepas
dari status perkawinan mereka. Kecuali bila hal ini
dilaksanakan segera, situasi timpang yang terlihat
saat ini akan terus ada dan para wanita khususnya
akan terus dihadapkan dan menderita karena
masalah kesehatan dan psikologis yang ditimbulkan
walau sebenarnya
masalah-masalah teresebut
dapat secara total dicegah.
Agenda kebijakan perlu terfokus pada penyediaan
baik pendidikan dan layanan kesehatan seksual dan
reproduksi untuk semua penduduk dewasa lajang
untuk memastikan bahwa mereka akan mampu
mengatasi secara efektif segala risiko yang terkait
dari dampak yang dapat ditimbulkan dari hubungan
seksual. Di Indonesia tanggung jawab ini terletak
terutama pada Kementrian Pendidikan dan
Kesehatan, dan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana. Marge Berer (2005), editor senior dari
jurnal
Reproductive
Health Matters, telah
meminta lembaga-lembaga tersebut
untuk
mengatasi perilaku seksual penduduk muda dengan
sikap yang lebih realistis:
5
Referensi
Berer, M., 2005. ‘Implementing ICPD: What's
Happening in Countries’, Reproductive Health
Matters Vol. 13, No. 25, May, pp. 6-10.
Utomo, I.D., McDonald, P., and Hull. T., 2011.
Meningkatan Pendidikan Kesehatan Reproduksi
dalam Kurikulum Nasional Indonesia (Improving
Reproductive Health Education in the Indonesian
National Curriculum). Policy Brief No. 2. Gender and
Reproductive Health Study. Australian Demographic
and Social Research Institute, Australian National
University. Canberra.
http://adsri.anu.edu.au/sites/default/files/
research/gender-in schools/Bhs_Ind_Improving_
RH_Policy_Brief_No_2.pdf
Diarsvitri, W., I. D. Utomo, T. Neeman & A.
Oktavian, 2011. Beyond sexual desire and curiosity:
sexuality among senior high school students in
Papua and West Papua Provinces (Indonesia) and
implications for HIV prevention. Culture, Health &
Sexuality,
DOI:10.1080/13691058.2011.599862.
Untuk mengakses artikel ini:
http://dx.doi.org/10.1080/13691058.2011.599862
Kirby, D. 2002. Do abstinence-only program delay
the initiation of sex among young people and
reduce teen pregnancy? Washington, DC. National
Campaign to Prevent Teen Pregnancy.
Wardhani, L.K., 2009. The intricacies of
implementing international gender-related policies
to promote sexual health and rights in Indonesia.
Paper presented at the 19th WAS World Congress
for Sexual Health & Rights, Guttenberg, Sweden,
June 21-25.
Kirby, D., B.A. Laris and L. A. Rolleri, 2007. ‘Sex and
HIV education programs: Their impact on sex
bahaviours of young people throughout the world,’
Journal of Adolescent Health vol. 40/p.206-217.
World Health Organization, 2011. Quality of care in
the provision of sexual and reproductive health
services: Evidence from a WHO research initiative.
ISBN 978 92 4 150189 7
Situmorang, A., 2011, ‘Delayed Marriage among
lower socio-economic groups in an Indonesian
industrial city’ Chapter 7, pp. 83-98, in G.W. Jones,
T.H. Hull and M. Mohamad (eds), Changing
Marriage Patterns in Southeast Asia: Economic and
socio-cultural dimensions. London: Routledge.
_____________
Judul naskah asli: “Reproductive health services for
single young adults”, diterjemahkan oleh Anindita
Dyah Sekarpuri dan Iwu Dwisetyani Utomo.
Utomo, I.D., 1997. ‘Sexual attitudes and behaviour
of middle-class young people in Jakarta’, PhD Thesis,
Demography Program, Research School of Social
Sciences, The Australian National University.
Utomo, I.D. and P.F. McDonald, 2009. ‘Adolescent
Reproductive Health in Indonesia: Contested Values
and Policy Inaction’. Studies in Family Planning, 40
(2): 133-146.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1728
-4465.2009.00196.x/abstract
6
Tim Peneliti
Australian Demographic and Social Research InstituteAustralian National University (ADSRI-ANU):
 Dr. Iwu Dwisetyani Utomo (Kepala/Peneliti Utama I)
 Prof. Peter McDonald (Peneliti Utama II)
 Prof. Terence Hull (Peneliti Utama III)
 Anna Reimondos
 Dr. Ariane Utomo
tersebut. Dari setiap RT yang terpilih, dipilih 11
responden dengan menggunakan sampel acak
sederhana (simple random sampling). Dengan
menerapkan metode sampling tersebut terpilih
sebanyak 3.006 responden.
Dua daftar pertanyaan digunakan dalam penelitian ini.
Daftar pertanyaan pertama ditanyakan pada responden
dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
yang dilakukan oleh pewawancara yang sudah dilatih.
Daftar pertanyaan pertama meliputi pertanyaanpertanyaan tentang keadaan demografik dari responden
dan juga tentang latar belakang orangtua responden dan
suami/istri bagi responden yang sudah menikah. Dalam
daftar pertanyaan yang pertama ini ditanyakan tentang:
sejarah pendidikan, pekerjaan dan migrasi; pendapatan
dan keadaan ekonomi; kondisi pekerjaan; tempat
tinggal; hubungan dengan lawan jenis dan pernikahan,
jumlah anak, KB dan aborsi; kesehatan fisik dan mental
serta kebahagiaan; tingkah laku merokok dan mimum
minuman keras; keimanan, serta afiliasi pada organisasi
keagamaan dan organisasi politik; norma-norma tentang
gender, nilai anak dan pandangan-pandangan terhadap
keadaan dunia.
Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia:
 Dr. Sabarinah Prasetyo
 Prof. Budi Utomo
 Heru Suparno
 Dadun
 Yelda Fitria
Asian Research Institute-National University of
Singapore (ARI-NUS):
 Prof. Gavin Jones
Bila ada pertanyaan tentang policy brief ini dapat
ditanyakan melalui e-mail pada:
[email protected] atau
[email protected]
Untuk menjaga kerahasiaan responden, daftar
pertanyaan kedua yang berisi pertanyaan-pertanyaan
yang lebih sensitif, diisi sendiri oleh responden. Daftar
pertanyaan ini diberikan pada responden dalam amplop
dan dikembalikan pada interviewer setelah responden
selesai menuliskan jawabannya. Untuk daftar
pertanyaan yang kedua ini pertanyaan-pertanyaan yang
ditanyakan meliputi perilaku seksual, praktek-praktek
seks yang aman, pengetahuan tentang STDs/HIV/AIDS,
akses pada pelayanan kesehatan reproduksi, dan
pegunaan narkoba. Setelah survei selesai dilakukan, 100
responden dipilih secara random dan kemudian
dilakukan wawancara yang mendalam terhadap
responden yang terpilih tersebut.
Deskripsi Studi dan Survei Transisi Penduduk Usia
Muda 2010 di JATABEK
Penelitian tentang transisi penduduk usia muda (20-34
tahun) ini dilakukan di JATABEK. Penelitian yang dibiayai
oleh Australian Research Council, WHO, ADSRI-ANU dan
ARI-NUS, merupakan penelitian yang pertama kali
dilakukan di Indonesia. Penarikan sampel dilakukan
dalam dua tahap dengan metode gugus (cluster) dan
dengan memakai metode probabilitas proporsional
(probability proportional to size-PPS). Pada tahap
pertama, ditarik 60 kelurahan dengan menggunakan
PPS. Pada tahapan kedua, dari setiap kelurahan yang
sudah dipilih, 5 Rukun Tetangga dipilih dengan
menggunakan sampel acak sistematis (systematic
random sampling). Dari 300 RT yang terpilih kemudian
dilakukan sensus dan pemetaan. Sensus rumah tangga
tersebut dilakukan untuk mengumpulkan informasi
tentang umur, jenis kelamin, status pernikahan dan
hubungan dengan kepala rumah tangga. Sensus ini
dilakukan untuk semua anggota keluarga. Dari hasil
sensus ini diperoleh daftar dari semua calon responden
yang berusia antara 20-34 tahun yang tinggal di RT
Berdasarkan hasil analisa peneltian ini akan dihasilkan
sejumlah policy brief dan bila mendapatkan dana maka
survei ini akan diulang setiap 3 tahun sekali selama 10
tahun dengan mewawancarai responden yang sama
untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi
pada responden sehubungan dengan transisi
kehidupannya dalam bidang karakteristik demografi
responden, pendidikan dan karirnya.
Acknowledgement: Policy brief ini didanai oleh Australian Research Council, ADSRI-ANU, Ford Foundation,
WHO, National University of Singapore, dan BAPPENAS. Jakarta, 11 Januari 2012.
Australian Demographic and Social Research Institute
The Australian National University
Canberra ACT 0200, AUSTRALIA
http://adsri.anu.edu.au Enquiries: +61 2 6125 3629
7
Download