BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales), biasa disebut gulma siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed merupakan gulma padang rumput yang sangat luas penyebarannya di Indonesia (Thamrin et al, 2013: 3). Gulma ini dikenal sebagai salah satu gulma terburuk di daerah tropis karena beracun dan berpotensi tinggi untuk mendegradasi ekosistem (CRC Weed Management, 2003: 1). Jenis ini diduga berasal dari Amerika Selatan dan Tengah, kemudian menyebar ke daerah tropis Asia, Afrika, Pasifik, bahkan sampai Australia (Thamrin et al 2013: 3, Prawiradiputra, 2007: 49). Gulma ini dicirikan sebagai semak berkayu yang dapat berkembang dengan cepat, tumbuh padat, dan dapat menggangggu pertumbuhan jenis tumbuhan lainnya, karena memiliki efek allelopati. Gulma ini juga sangat merugikan karena dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan, menyebabkan keracunan, bahkan mungkin sekali mengakibatkan kematian bagi ternak serta dapat menimbulkan bahaya kebakaran (Thamrin et al 2013: 3). Kini Chromolaena odorata digolongkan pada gulma kelas 1, yaitu gulma yang mendapat prioritas untuk dikendalikan (Prawiradiputra, 2007: 49). Prawiradiputra (2007: 49-50) juga mengemukakan bahwa berbagai upaya baik secara manual, kimiawi dan biologi dilakukan di berbagai negara untuk menekan pertumbuhan gulma ini. 1 Penelitian mengenai Chromolaena odorata semakin berkembang mengingat besarnya dampak ekologi yang ditimbulkan, baik yang merugikan maupun menguntungkan. C. odorata mempunyai prospek untuk dimanfaatkan dalam praktek budidaya pertanian, misalnya dimanfaatkan sebagai insektida nabati untuk pengendalian ulat grayak Spodoptera litura dalam penelitian Thamrin et al (2013) dan pengendalian hama penghisap buah kakao pada penelitian Purnomo et al (2011). Suharjo dan Aeny (2011) juga membuktikan bahwa Chromolaena odorata dapat dimanfaatkan sebagai biofungisida pengendali Phytophthora palmivora yang diisolasi dari buah kakao. Selain itu, penelitian Sudding (2012) menunjukkan bahwa ekstrak air daun C. odorata ternyata mampu mempertahankan kesegaran sayuran wortel dan buah tomat, sehingga ekstrak air daun C. odorata dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pengawetan wortel dan buah tomat. Chromolaena odorata juga dapat berperan positif dalam sistem pertanian pada kondisi dan penanganan yang tepat. Ada beberapa faktor yang memungkinkan petani memutuskan untuk menumbuhkan spesies ini, berdasarkan tanaman panen, tanah atau iklim. Pada masa bera, petani akan memilih tanaman untuk membatasi perkembangan gulma karena akan mengancam penggunaan lahan kembali. C. odorata dapat dianggap sebagai tumbuhan awalan untuk mengisi lahan kosong, dengan pertimbangan dapat memperbaiki struktur tanah dalam masa bera, karena mudah ditumbuhkan, biomassa besar, tingkat dekomposisi cepat, dan dapat menekan pertumbuhan gulma (Koutika dan Rainey, 2010: 135). Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa tumbuhan ini merupakan komponen utama pada 2 suksesi tanaman hutan berkayu di padang rumput subtropis (Goodall dan Zacharias, 2002: 120). Gulma C. odorata diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun 1910-an, dan tidak hanya terdapat di lahan kering atau pegunungan tetapi juga banyak terdapat di lahan rawa dan lahan basah lainnya (Thamrin et al, 2013: 3) Gulma ini juga dapat ditemukan di pinggir jalan, pinggir sungai, daerah hutan budidaya, pekarangan rumah dan lahan kosong. Habitat gulma siam yang cukup luas disebabkan karena gulma ini merupakan salah satu jenis gulma yang mudah tumbuh dan bersifat sangat invasif. Ribuan bijinya yang terbentuk tersebar secara luas oleh angin dan berkecambah segera setelah lingkungan mendukung. Selain itu, gulma ini juga dikenal sebagai “tanaman marginal”, yaitu jenis tanaman yang bisa tetap tumbuh baik di areal yang kurang subur atau areal yang tidak cocok bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, di daerah-daerah dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah, angin yang cukup kuat berhembus, dan tidak ada campur tangan manusia (lahan kosong), populasi gulma siam cukup tinggi (Suharjo dan Aeny, 2011: 204-205). Pada berbagai bentuk lahan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki kondisi geografis yang unik juga dijumpai Chromolaena odorata, termasuk pada lahan dengan karakteristik yang khas yaitu lahan vulkanik, lahan pantai berpasir, dan lahan karst. Bentuk lahan vulkanik adalah bentuk lahan hasil kegiatan gunung berapi baik yang tersusun dari bahan gunung api yang sudah keluar ke permukaan bumi (ekstrusi) maupun yang membeku 3 dalam permukaan bumi (instrusi) (Treman, 2014: 41). Tanah-tanah yang berkembang dari hasil erupsi gunung berapi ini, memperlihatkan ciri khas yang tidak dimiliki oleh tanah-tanah lain yang berkembang dari bahan bukan vulkanik (Sukarman dan Dariah, 2014: 8). Lahan pantai berpasir merupakan lahan marginal. Wilayah ini bersifat dinamis, yaitu terdapat hubungan antara pasokan butir-butir pasir dari hasil abrasi pantai oleh ombak menuju pantai dan dari gisik (beach) yang merupakan hasil erosi angin ke arah daratan, sehingga pasokan pasir terjadi terus-menerus (Harjadi et al. 2014: 1). Daerah karst memiliki karakteristik yang khas, di antaranya memiliki daerah berupa cekungan-cekungan, terdapat bukit-bukit kecil, sungai-sungai di bawah permukaan tanah, adanya endapan sedimen lempung berwarna merah hasil dari pelapukan batu gamping, dan permukaannya yang terbuka nampak kasar, berlubang-lubang dan runcing (Suhendra, 2012: 1) Pertumbuhan Chromolaena odorata tidak lepas dari aktivitas akar. Akar memiliki peran sebagai penguat tanaman serta menyerap nutrisi dari tanah. Selain itu, akar juga mengeluarkan exudate yang mampu menarik organisme tanah untuk berada di sekitar akar tersebut. Akibatnya, akan terjadi suatu lingkungan perakaran (rhizosfer) hasil dari aktivitas akar tanaman (Gregory, 2006: 1-2). Rhizosfer merupakan suatu bentuk ekosistem tanah. Pasokan makanan yang mendukung aktivitas mikrobiologi di rhizosfer jauh lebih besar dari tanah yang jauh dari akar tanaman. Sebagai imbalannya, mikroorganisme memberikan nutrisi bagi tanaman. Semua kegiatan ini membuat rhizosfer menjadi lingkungan yang paling dinamis di dalam tanah (Kelly, 2005: 1). 4 Pentingnya peranan fauna tanah dalam rhizosfer berkorelasi lurus dengan ketersediaan nutrisi bagi tanah yang artinya juga berkorelasi lurus terhadap tingkat kesuburan tanah. Menurut Widyati E (2013: 31) Collembola merupakan salah satu fauna tanah yang paling berpengaruh, berfungsi sebagai pengendali kehidupan yang menentukan populasi bakteri dan fungi patogen di ekosistem. Mereka memangsa bakteri dan fungi sehingga penting untuk mengendalikan populasi patogen. Suhardjono et al (2012: 2-4) juga mengemukakan bahwa sebagai komponen ekosistem, Collembola (ekorpegas) mempunyai peran yang tidak kecil dan beraneka ragam bergantung pada jenis atau kelompoknya. Peran yang dimaksud antara lain sebagai perombak bahan organik, pemakan jamur, penunjuk (indikator) perubahan keadaan tanah, penyeimbang fauna tanah, pemangsa, hama, dan penyerbuk. Peran yang paling menonjol pada kelompok ini adalah sebagai perombak bahan organik. Ini dapat ditunjukkan dengan adanya fraksi-fraksi bahan organik tanah berupa miselium, spora, bagian bangkai hewan, mayat, kotoran, dan bahan lainnya yang sudah terfermentasi di saluran pencernaannya. Collembola juga dapat mengakumulasi ion-ion racun dan logam berat dalam saluran pencernaannya. Peran Collembola sebagai indikator perubahan tanah sudah banyak dimanfaatkan di beberapa negara terutama di Eropa. Salah satu sebabnya adalah karena ekorpegas mampu menempati berbagai macam relung ekologi dalam jumlah banyak dengan keanekaragaman cukup tinggi dan peka terhadap perubahan ekosistem. 5 Secara altitudinal, ekorpegas ini dapat dijumpai mulai dari daerah pantai sampai pegunungan, baik pada lahan pertanian dan perkebunan, maupun padang rumput, hutan tanaman, hutan sekunder dan primer. Di daerah berketinggian >7.000 atau daerah kering, kelompok binatang ini masih dijumpai, bahkan pada zona intertidal yang biasanya bebas dari serangga. Begitu juga pada macam habitat lainnya seperti gua, pantai berpasir, dan air yang menggenang mereka juga mampu hidup. Setiap macam habitat yang berbeda dihuni oleh jenis dan kelompok jenis yang berbeda. Komposisi Collembola yang menghuni padang rumput akan berbeda dengan kelompok jenis penghuni hutan primer atau komposisi jenis penghuni perkebunan (Suhardjono et al, 2012: 2). Berdasarkan latar belakang yang ada maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui struktur komunitas Collembola di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata pada bebagai bentuk lahan yang berbeda, yaitu lahan vulkanik, lahan pantai berpasir, dan lahan karst. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, antara lain: 1. Bagaimana pertumbuhan Chromolaena odorata pada lahan vulkanik, lahan pantai berpasir, dan lahan karst? 2. Bagaimana sifat fisik, kimia, dan biologi tanah pada lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata di lahan vulkanik, lahan pantai berpasir, dan lahan karst? 6 3. Apakah perbedaan bentuk lahan tempat tumbuh Chromolaena odorata akan berpengaruh terhadap perbedaan keragaman jenis fauna tanah yang ada di lingkungan rhizosfernya? 4. Apakah perbedaan kondisi lahan tempat tumbuh Chromolaena odorata akan berpengaruh terhadap struktur komunitas Collembola yang ada di lingkungan rhizosfernya? 5. Bagaimana struktur komunitas Collembola di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata pada lahan vulkanik, lahan pantai berpasir, dan lahan karst? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, dalam penelitian observasi ini dibatasi pada: 1. Struktur komunitas Collembola yang ada di lingkungan rhizosfer gulma siam (Chromolaena odorata). 2. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan variasi bentuk lahan yaitu, lahan vulkanik, pantai berpasir, dan karst. 3. Sifat fisik dan kimia tanah yang diukur dalam penelitian ini adalah sifat yang berpengaruh atau terpengaruh akibat adanya aktivitas di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata. D. Perumusan Masalah 1. Apa saja jenis-jenis Collembola yang terdapat di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata pada lahan vulkanik, pantai berpasir, dan karst? 7 2. Bagaimana keanekaragaman, kemerataan, dan kelimpahan relatif Collembola di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata pada lahan vulkanik, pantai berpasir, dan karst? E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui jenis-jenis Collembola yang terdapat di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata pada lahan vulkanik, pantai berpasir, dan karst. 2. Mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kelimpahan relatif Collembola di lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata pada lahan vulkanik, pantai berpasir, dan karst. F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dalam bidang penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitianpenelitian terkait Collembola di lingkungan rhizosfer tanaman dan peran Chromolaena odorata dalam ekologi. 2. Bagi masyarakat umum Masyarakat diharapkan dapat mengenal organisme yang berperan di dalam tanah, khususnya Collembola, dan pengaruh adanya tumbuhan gulma siam (Chromolaena odorata). 3. Bagi pihak pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat mendukung diambilnya kebijakankebijakan mengenai pemanfaatan Collembola dan tumbuhan gulma siam (Chromolaena odorata). 8 G. Definisi Operasional Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Karakter fisik yang diukur adalah suhu, kelembapan, tekstur tanah, dan ketebalan seresah. Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah kandungan Corganik, N, P, dan pH tanah. Biologi tanah yang diamati adalah struktur komunitas Collembola. 2. Struktur komunitas Collembola dilihat dari jenis, keanekaragaman, kemerataan dan kelimpahan relatif Collembola yang ditemukan. 3. Collembola yang diteliti adalah Collembola terestrial yang terdapat pada permukaan tanah, seresah, maupun dalam tanah di lingkungan rhizosfer gulma siam (Chromolaena odorata). 4. Lingkungan rhizosfer Chromolaena odorata yang dimaksud adalah daerah lapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tumbuhan C. odorata, yang berkaitan erat dengan aktivitas akar, dan merupakan tempat aktivitas fauna yang berperan terhadap ketersediaan nutrisi bagi tumbuhan. 5. Variasi bentuk lahan yang dimaksud adalah lahan vulkanik, lahan pantai berpasir, dan lahan karst di Daerah Istimewa Yogyakarta. 9