bab 2 tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Hepatitis B
2.1.1. Pengertian
Hepatitis merupakan suatu proses peradangan (infeksi) pada jaringan hati
yang memberikan gambaran klinis yang khas, dan dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, obat beracun, dan alkohol (Lopa et al., 2007).
Hepatitis B akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati
yang disebabkan oleh virus hepatitis B (Sanityoso, 2010).
Hepatitis B kronis menggambarkan spektrum penyakit akibat infeksi virus
hepatitis B (HBV) lebih dari 6 bulan (Sarri et al., 2013).
2.1.2. Penyebab
Penyebab hepatitis B adalah virus hepatitis B (HBV) manusia (human
HBV) yang termasuk golongan hepadna virus tipe 1 dan merupakan virus hepadna
yang pertama kali ditemukan. Hepadna virus juga ditemukan pada marmot, tupai,
dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular
pada manusia. Selain manusia, human HBV juga dapat menginfeksi simpanse.
Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang
terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42nm dan terdiri dari 4 gen. HBV
dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu pertikel lengkap berdiameter 42 nm,
partikel bulat berdiameter 22 nm, dan patikel panjang dengan lebar 22 nm dengan
panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah
bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang
membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam
dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen
(HBcAg) yang membungkus DNA, DNA polymerase, transcriptase, dan protein
kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah
hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi
Universitas Sumatera Utara
6
virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati (Arief,
2012).
2.1.3. Cara Penularan
Penyakit hepatitis B dapat ditularkan pada semua orang dan semua
kelompok umur. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung virus hepatitis
B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya cara penularan dari HBV
adalah parenteral. Semula penularan HBV diasosiasikan dengan transfusi darah
atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari
HBV semakin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini
disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan
dari tubuh penderita, misalnya melalui: darah, air liur, air seni, keringat, sperma,
air susu ibu, cairan vagina, air mata, dan lain-lain (Hadi, 2002).
Transmisi melalui suntikan intravena hanya terjadi pada pemberian obat
atau ilegal yaitu menyuntikkan narkoba, penggunaan jarum suntik berulang juga
mempunyai faktor penyebab untuk terjadinya hepatitis B. Dalam kehidupan
sehari-hari, luka kecil di daerah permukaan tubuh dan kontak hubungan seksual
dapat memungkinkan penularan dari orang yang sangat viremic kepada orang lain
(Gerlich, 2013).
Cara penularan horizontal yang dikenal ialah : transfusi darah yang
terkontaminasi oleh HBV, pasien yang sering mendapat hemodialisa. Selain dari
pada itu, HBV dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka atau lecet pada kulit dan
selaput lendir misalnya tertusuk jarum atau luka benda tajam, menindik telinga,
pembuatan tattoo, akupuntur, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan
jarum suntik yang tidak steril, penggunaan alat-alat kedokteran dan alat-alat
perawatan gigi yang kurang steril sehingga dapat menularkan HBV (Hadi, 2002).
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari
seorang ibu yang pengidap atau terinfeksi HBV (HBsAg positif) kepada bayinya
selama masa perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50%-60% dan
bervariasi antar negara satu dengan negara lain dan berkaitan dengan suku
(Siregar, 2003).
Universitas Sumatera Utara
7
Penularan dapat juga terjadi melalui penggunaan alat cukur yang
digunakan bersama, benda tajam yang telah digunakan pada orang yang sudah
terinfeksi virus hepatitis B. Cara penularan ini biasanya sering disebut dengan
penularan perkutan. Sedangkan cara penularan yang non-perkutan diantaranya
ialah: melalui semen, cairan vagina yaitu kontak seksual dengan orang yang
menderita hepatitis B, atau melalui saliva (Hadi, 2002).
2.1.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya infeksi virus hepatitis B dapat dilihat dari gambar
berikut:
Gambar 2.1. Patogenesis Hepatitis B (Ganem dan Prince., 2004)
Menurut Soemohardjo Soewignjo dan Stephanus Gunawan (2010), bila
proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi HBV dapat di akhiri,
sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadilah infeksi HBV yang
menetap. Proses eliminasi HBV oleh respon imun yang tidak efisien dapat
disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor penjamu.
Universitas Sumatera Utara
8
a. Faktor virus : terjadinya imunotoleransi terhadap produk HBV, hambatan
terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya
mutan HBV yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom HBV
dalam genom sel hati.
b. Faktor penjamu: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons
antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.
2.1.5. Faktor-faktor Penyebab
Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang dapat
terinfeksi virus hepatitis B adalah:
Menerima transfusi darah dari orang yang sudah terinfeksi HBV, pemakaian
jarum suntik berulang yang tidak steril, bayi yang dilahirkan dengan riwayat ibu
menderita hepatitis B, riwayat penggunaan atau peminum alkohol, melakukan
hubungan seks bebas, riwayat penggunaan atau menjalani tattoo, riwayat operasi
dan lain-lain.
2.1.6. Gejala Klinis
Hepatitis
B
menunjukkan
gejala
klinis
yang
bervariasi
mulai
dari asimtomatik, gagal hati fulminan, dan menjadi kronis. Sering berkembang
menjadi hepatitis kronis, sirosis hati, dan karsinoma. Gejala klinis ini dapat
bervariasi tergantung pada usia mereka pada saat terinfeksi virus hepatitis B.
Gejala klinis muncul kurang dari 10% pada anak-anak di bawah usia 5 tahun,
sementara pada orang dewasa sekitar 50%-60% (Kwon dan Chang, 2011).
Hepatitis B Akut : Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan.
Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang
lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul seperti flu
dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus,
dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST sebelum timbulnya
gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat
Universitas Sumatera Utara
9
didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi pada kulit
(urtikaria, purpura, macula, dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25%
penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung
selama 4 minggu (Arief, 2012).
Hepatitis B Kronik adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase
atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Pada banyak kasus tidak
didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal.
Pada sebagian lagi di dapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau
tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema Palmaris dan spider
nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kenaikan konsentrasi ALT
walaupun hal itu tidak selalu di dapatkan. Pada umunya didapatkan konsentrasi
bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal
kecuali pada kasus-kasus yang parah. Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B
kronik sangat penting terutama untuk pasien dengan HBeAg positif dengan
konsentrasi ALT 2 x nilai normal tertinggi atau lebih (Soemohardjo dan
Stephanus, 2010).
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis hepatitis B dilakukan melalui gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Perlu dipertimbangkan riwayat penyakit sebelumnya, usia, faktor
risiko dan hasil tes sebelumnya (Yogarajah, 2013).
Tabel 2.1. Marker Diagnostik Hepatitis B Akut (Scot, B., 2006)
Marker
Infeksi Akut
Infeksi Kronis
Daya Lindung
HBsAg +
+
-
Anti HBs
-
-
HBeAg +
±
-
Anti HBe
+/-
±
+
Anti HBc IgM
+
-
-
Anti HBc total
+/-
+
+
+
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel 2.2. Definisi dan Kriteria Diagnostik Pasien dengan Infeksi Hepatitis B
(Cahyono, J.B. Suharjo B, 2014)
Keadaan
Hepatitis B akut
Kriteria Diagnostik
1. HBsAg (+)
2. IgM anti HBc (+)
3. Kadar SGPT dan SGOT meningkat
sampai puluhan kali
Hepatitis B kronis
1. HBsAg (+) lebih dari 6 bulan
2. DNA HBV serum lebih dari 20.000
IU/ml (
copies/ml)
3. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT
secara berkala/persisten
4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis
kronis dengan nekroinflamasi sedang
sampai berat.
Hepatitis B carrier inaktif
1. HBsAg (+)
2. HBeAg (-), anti HBe (+)
3. DNA HBV lebih dari 2.000 IU/ml
4. Kadar SGPT dan SGOT normal
5. Biopsi hati tidak menunjukkan
adanya hepatitis yang signifikan
Sembuh dari hepatitis
1. Ada riwayat hepatitis akut atau
kronik atau anti HBc ± anti HBs
2. HBsAg (-)
3. DNA HBV tidak terdeteksi
4. Kadar SGPT dan SGOT normal
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.8. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk infeksi virus hepatitis B ditargetkan agar berkurang
replikasi dari virus hepatitis B, untuk mengurangi peradangan hati dan bahkan
untuk mencegah terjadinya fibrosis (Ocama et al., 2005).
Penatalaksanaan Hepatitis B dibagi menjadi 2:
Hepatitis B Akut : Penderita hepatitis B akut dianjurkan untuk tirah baring
sampai gejala ikterus hilang.
Bila penderita masih muda dan sehat, bisa
diterapkan aturan yang lebih ringan, misalnya mereka bisa bangun bila badan
terasa enak, tanpa melihat derajat ikterus. Setiap habis makan, pasien dianjurkan
untuk beristirahat, demikian pula bila gejala penyakit muncul lagi. Masa
penyembuhan mulai bila sudah tidak ada gejala, tidak ada rasa nyeri di daerah
hepar dan bila kadar bilirubin serum <1,5 mg%. lama waktu penyembuhan
diperkirakan dua kali dari periode tirah baring. Kebanyakan penderita tidak perlu
dirawat di rumah sakit, kecuali pada kasus yang berat. Demikian pula, tidak
diperlukan tirah baring total yang berkepanjangan. Bila dirawat di rumah sakit,
penderita bisa dipulangkan bila gejala membaik, kadar transaminase dan kadar
bilirubin serum sudah cenderung turun,dan nilai waktu protrombin normal. Untuk
terapi antiviral belum terbukti bermanfaat atau merungubah hasil akhir
pengobatan hepatitis B akut (Soemohardjo dan Stephanus, 2008).
Hepatitis B Kronik : Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk
hepatitis B kronik, yaitu:
1. Kelompok imunodulasi
-
Interferon
-
Thymosin alfa 1
-
Vaksinasi Terapi
2. Kelompok Terapi Antiviral
-
Lamivudin
-
Adefovir Dipivoxil
-
Entecavir
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan
perkembangan kerusakan hati dengan cara menekan replikasi virus atau
Universitas Sumatera Utara
12
menghilangkan infeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang
sering di pakai adalah hilangnya pertanda replikasi virus yang aktif secara
menetap (HBeAg dan DNA-HBV). Pada umumnya , serokonversi dari HBeAg
menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA HBV dalam serum dan
meredanya penyakit hati. Namun pada kelompok pasien hepatitis B kronik
HBeAg negatif serokonversi HBeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi
dan respons terapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA HBV.
Terapi Dengan Imunomodulator:
a. Interferon (IFN)
IFN adalah kelompok protein intraseluler yang normal ada di dalam tubuh
dan diproduksi oleh berbagai macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit
B; IFN beta diproduksi oleh monosit fibroepitelial; dan IFN gamma
diproduksi oleh sel limfosit T. produksi IFN dirangsang oleh berbagai
macam stimulasi, terutama infeksi virus.
Beberapa
khasiat
IFN adalah khasiat
antiviral,
imunomudulator,
antiproliferatif, dan antifibrotik. IFN tidak memiliki khasiat antiviral
langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor
yang mempunyai khasiat antiviral.
Khasiat IFN pada Hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh khasiat
imunomodulator. Penelitian menunjukkan bahwa, pada penderita hepatitis
B kronik, sering didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu
akibatnya, terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada
membrana hepatosit yang sangat diperlukan, agar sel T sitotoksik dapat
mengenali sel-sel hepatosit yang terkena infeksi HBV. Sel-sel tersebut
menampilkan antigen sasaran HBV pada membrana hepatosit.
IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang, yang
belum menyebabkan sirosis.
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif
adalah 5-10 MU, 3x seminggu, selama 16-24 minggu. Penelitian
Universitas Sumatera Utara
13
menunjukkan bahwa terapi ini sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12
bulan.
Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau
riwayat depresi diwaktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung yang
berat.
b. Thymosin Alfa 1
Thymosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dalam keadaan alami ada
dalam ekstrak timus. Thymosin alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit.
Keunggulan obat ini tidak mempunyai efek samping seperti IFN. Dengan
kombinasi IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN.
c. Vaksinasi Terapi
Salah satu dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan
vaksin yang menyertakan epitop, yang mampu merangsang sel T sitotoksik
yang bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)-restricted. Diharapkan sel
sitotoksik tersebut mampu menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi
HBV. Salah satu strategi adalah penggunaan vaksin yang mengandung
protein pre-S. Strategi kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang
spesifik untuk sel limfosit T sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah
vaksin DNA (Soemohardjo dan Stephanus, 2008).
Terapi Antiviral :
a. Lamivudin
Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas antiviral yang
kuat. Jika diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan
menurunkan kadar DNA HBV sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1
minggu. Khasiat lamivudin salah satunya untuk menghambat fibrosis dan
dapat mencegah terjadinya karsinoma hepatoselular.
b. Adefovir Dipivoxil
Adefovir Dipivoxil adalah suatu analog nukleotida oral yang merupakan
analog
adenosine
monofosfat
yang
menghambat
enzim
reverse
transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir hampir sama dengan lamivudin.
Universitas Sumatera Utara
14
Dosis yang di anjurkan adalah 10 mg tiap hari. Salah satu hambatan utama
adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering di jumpai pada dosis 30
mg atau lebih.
c. Entecavir
Entecavir adalah suatu analog nukleosida guanosine yang berkhasiat
menghambat ketiga langkah transkripsi balik pregenom RNA oleh enzim
DNA polymerase, yaitu priming, sintesis untai DNA negatif dan positif.
Entecavir menghambat DNA polymerase HBV pada seluruhnya 3 langkah
dari replikasi HBV yaitu hambatan terhadap 3 langkah penting
dari
transkripsi balik pregenom RNA tersebut dapat menerangkan besarnya
khasiat penekanan replikasi HBV. Entecavir telah terbukti efektif untuk
hepatitis B kronik baik pad HBeAg positif maupun HBeAg negatif serta
penderita yang terbukti mengalami kekebalan terhadap lamivudin. Dosis
entecavir yang dianjurkan pada penderita dewasa baru adalah 0,5 mg
sehari. Sedang untuk penderita yang pernah mendapatkan lamivudin, tetapi
tetap mengalami viremia selama minum obat, atau yang memang telah
terbukti mengalami kekebalan terhadap lamuvudin, dosisnya adaalah 1 mg
setiap hari (Soemohardjo dan Stephanus, 2008).
d. Telbivudine
Telbivudine adalah suatu analog nukleosida thymidine yang berfungsi
menghambat enzyme DNA Polymerase. Pemberian telbivudine dianjurkan
hanya untk dewasa yang terinfeksi hepatitis B kronik dengan kontraindikas
reaksi hipersensitivitas (Dienstag, 2008).
e. Tenofovir
Tenofovir merupakan nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
dengan mekanisme kerja menghentikan pembentukan rantai DNA virus
(Louisa dan Setiabudy, 2012).
Universitas Sumatera Utara
15
Cara kerja antiviral terhadap virus hepatitis B, dapat dilihat dari gambar di
bawah ini:
Gambar 2.2. Cara Kerja Antiviral Terhadap Virus Hepatitis B (Dienstag,
2008)
2.1.9. Pencegahan
Menurut Siregar (2003), untuk pencegahan hepatitis B dapat menghindari
faktor penyebab dan immunisasi hepatitis B. Immunisasi hepatitis B dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Immunisasi Aktif
Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi
yang lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah
immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai risiko besar tertular. Vaksin
hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan
perlindungan selama 2 tahun.
Universitas Sumatera Utara
16
Program pemberian sebagai berikut:

Dewasa:Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis awal,
kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.

Anak :Diberikan dengan dosis 10 μg IM sebagai dosis awal , kemudian
diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
2. Immunisasi Pasif
Pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan immunisasi
pasif dimana daya lindung HBIG diperkirakan dapat menetralkan virus yang
infeksius dengan menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan
terhadap post exposure maupun pre exposure. Pada bayi yang lahir dari ibu yang
HBsAg positif diberikan HBIG 0,5 ml intra muskular segera setelah lahir (jangan
lebih dari 24 jam). Pemberian ulangan pada bulan ke-3 dan ke-5. Pada orang yang
terkontaminasi dengan HBsAg positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg BB diberikan
dalam 24 jam post exposure dan diulang setelah 1 bulan.
2.2. Hubungan Penyebab Dengan Hepatitis B
Menurut Lubis (2009), terdapat hubungan antara hubungan seksual dengan
terjadinya hepatitis B, karena melalui hubungan seksual cairan tubuh seperti
cairan vagina, semen, dan air liur, dapat terjadi kontak dengan kulit atau membran
mukosa yang rusak seperti mulut, organ genital, ataupun rektum. Penularan ini
dapat terjadi pada kontak seksual pada homoseksual maupun heteroseksual.
A. Homoseksual
Beberapa faktor penyebab tingginya risiko homoseksual mendapatkan
infeksi virus hepatitis B yaitu:
1. Jumlah dari pasangan seksual.
2. Melakukan hubungan seksual melalui anus. Tindakan ini dapat merusak
membran mukosa anus dan memudahkan terjadinya penularan HBV.
3. Dijumpai
HBsAg
positif
disertai
dengan
HBeAg
positif
pada
pasangannya.
Universitas Sumatera Utara
17
B. Heteroseksual
Beberapa faktor risiko dengan terjadinya penularan virus hepatitis B secara
heteroseksual yaitu:
1. Mempunyai banyak pasangan seksual yang lebih dari 1 pasangan dalam
periode waktu 6 bulan.
2. Mempunyai riwayat penyakit seksual sebelumnya.
Transfusi darah dan penggunaan tattoo menggunakan jarum untuk
melakukannya, dan jarum merupakan alat yang diperlukan untuk menembus kulit
atau merusak membran mukosa sehingga membran mukosa yang telah rusak jika
terdapat kontak dengan HBV akan terjadi infeksi virus hepatitis B tersebut, jadi
haruslah diperhatikan bahwa jarum yang digunakan adalah jarum yang steril dan
tidak terkontaminasi dengan HBV (Yulastri, 2010).
Ibu dengan riwayat terinfeksi virus hepatitis B selama kehamilan ataupun
terjadi pada masa proses kelahiran dengan terjadinya hepatitis B pada bayinya
sangat berhubungan dikarenakan bayi yang dikandungnya akan menerima aliran
darah dari ibunya yang terinfeksi virus hepatitis B (Syazwani, 2012).
Setelah terjadi infeksi virus hepatitis B apabila tidak dilakukan pengobatan
akan berlanjut menjadi sirosis hati, dan ada hubungan kausal yang erat antara
sirosis hati dengan infeksi virus hepatitis B dengan terjadinya kanker hati primer
(Wibowo et al, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Download