bab i pendahuluan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu parameter untuk mengukur kualitas demokrasi adalah sirkulasi
kepemimpinan politik yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan
yang melembaga. Kontestasi politik pada sistem demokrasi semestinya dikawal
oleh ketersediaan jalur-jalur kaderisasi kepemimpinan yang mampu memunculkan
kader-kader pemimpin politik yang handal. Reformasi di tingkat kelembagaan dan
prosedural yang telah digulirkan selama hampir satu dasawarsa di Negeri ini
nyaris tidak disertai dengan perbaikan yang signifikan pada jalur kaderisasi
kepemimpinan politik. Publik seolah masih dipaksa untuk memberikan ruang
dipanggung politik bagi aktor-aktor lama. Ironisnya sebagian besar survey yang
dilakukan menunjukan adanya kerinduan publik atas tampilnya figur pemimpin
alternatif. “Tidak adanya pendidikan politik yang sistematis dan rendahnya
penguasaan pengalaman dalam mengatasi masalah sosial (volunteerism) dan
keterlibatan dalam asosiasi sukarela menjadi kendala utama kaderisasi
kepemimpinan politik di Indonesia. Keadaan ini diperparah oleh pola rekrutmen
dan nominasi kandidat yang tidak melibatkan anggota partai secara luas. Kandidat
muncul tiba-tiba, dan terlahir dari restu elit partai bukan melalui konvensi partai”
(Suryadi, 2009:205).
2
Dalam struktur dan sistem politik, organisasi politiklah yang paling
bertanggung jawab melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Partai politik
yang oleh Gramsci (Simon, 1999: 68) dikategorikan sebagai salah satu organisasi
masyarakat sipil, diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai Instrumen of
Political Education dengan baik dan benar, sesuai amanat yang tertuang dalam
Pasal 11 huruf a UU No. 2 Tahun 2008, tentang partai politik. Partai politik
sebagai suatu organisasi politik sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang
berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya
berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakilinya. Ketika jadi
pemimpin nasional maka otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini
tidak lahir dengan sendirinya. Sejarah mencatat dengan tinta emas kiprah-kiprah
pemimpin transformasional seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, dan
Martin Luther King. Penting untuk disadari bahwa tampilnya para pemimpin
dengan kualitas seperti itu kepanggung utama bukanlah melalui proses secara
instan, namun melalui titian karir secara berjenjang dan melalui proses yang
berliku. Dibutuhkan suatu proses pendidikan politik baik yang bersifat formal
maupun non formal yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin.
Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu
dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi dan kaderisasi politik. Sistem rekrutmen
merupakan langkah awal untuk mendapatkan sumber daya yang baik. Sistem ini
nantinya akan dapat menyeleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan
sistem nilai dan ideologi partai politiknya. Tentunya orang-orang yang
mempunyai sistem nilai dan ideologi sama serta memiliki potensi untuk
3
dikembangkanlah yang perlu direkrut. Persaingan dengan partai politik lain juga
terjadi untuk memperebutkan orang-orang terbaik
yang nantinya akan
memperkuat dan mengembangkan partai politiknya. Selain merekrut dalam tubuh
organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem kaderisasi yang baik. Sistem
kaderisasi perlu disertai dengan sistem yang transparan yang memberikan jaminan
akses kepada semua kader yang memiliki potensi. Namun kondisi internal partai
politik yang ada saat ini belum mampu memberikan dukungan dalam bentuk
karakter kader yang kuat dan berkarakter idealis. Berkaitan dengan hal tersebut,
berdasarkan penelitian Firman Noor tahun 2009 mengenai pelaksanaan pemilihan
Legislatif 2009, ”hal ini berhubungan dengan persoalan internal, yaitu sistem
rekrutmen yang cenderung dimudahkan dan karenanya menjadi tidak disiplin’.
Perekrutan partai sedemikian memunculkan kader-kader partai yang kurang teruji
dalam memahami aspek ideologis serta komitmen-komitmen dasar yang menjadi
karakter dan fokus perjuangan sebuah partai. Kondisi ini kemudian diperburuk
dengan kaderisasi yang tidak berjalan baik. Kaderisasi biasanya tidak berlangsung
secara berkala dan pada umumnya seringkali harus mengalah pada kepentingan
politik instan yang disepakati secara eksklusif oleh pimpinan partai. Kerap
ditemui pula popularitas sebagai pertimbangan utama dalam menentukan jenjang
karier seseorang dalam partai politik. Dua hal ini pada gilirannya menyebabkan
munculnya kegamangan dan ketidakmatangan kader ketika menjadi wakil rakyat
dalam memaknai agenda perjuangan, pengidentifikasian diri pada keberpihakan
tertentu pada khususnya dan memberikan pandangan rasional-ideologis atas
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa pada umumnya.
4
Kepragramatisan dunia politik membuat prinsip serba instan dan cepat
menjadi prinsip utama partai politik dalam mencetak kader partai. Pimpinan partai
politik berlomba-lomba
lomba menjadikan para pengusaha sebagai ujung tombak untuk
meraih hati rakyat melalui pencalonan mereka di Legislatif. Alhasil terjadi
terjad
prosentase peningkatan politisi partai yang berlatarbelakang pengusaha terpilih
menjadi anggota legislatif. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan
oleh Bima Arya tahun 2006 mengenai latar belakang anggota dewan dari tiga
partai yakni Partai
tai Golkar, PDIP dan PAN. Dari Studi tersebut didapat data
sebagai berikut:
Diagram 1.1
Latar Belakang Anggota Legislatif 1997-2004
1997
70
60
50
40
30
20
10
0
1999
GOLKAR
Business
HMI
Business
GMNI
Muhammadiyah
Sumber: Bima Arya, 2006
PNI
Business
Bureaucracy
TNI
2004
PDIP
PAN
Party Members Background
Tabel tersebut menunjukan bahwa dalam tiga kali pemilu, yaitu tahun 1997,
1999, dan 2004, politisi yang berlatar belakang pengusaha yang terpilih menjadi
anggota DPR dari Golkar, PDIP dan PAN jumlahnya
jumlahnya terus meningkat. Jumlah
prosentase
sentase pengusaha pada PAN dan PDIP relatif sama, dengan prosentase
p
5
peningkatan terbesar ada di PAN. Jika pada partai Golkar kenaikan jumlah
pengusaha diiringi olah penurunan prosentase dari politisi berlatar belakang
birokrat dan militer, maka pada PDIP dan PAN meningkatnya jumlah prosentase
pengusaha terjadi sejalan dengan penurunan prosentase politisi dengan latar
belakang aktivis dari ormas atau orsospol pendukung partai tersebut. Peningkatan
prosestase jumlah politisi berlatar belakang pengusaha ini terjadi karena sengaja
direkrut oleh ketua umum partai untuk mengendalikan partai. Hal yang menjadi
kontradiktif dengan tujuan dari pendirian ormas, orsospol atau badan otonom
pendukung partai yang bersangkutan yaitu sebagai wadah mencetak calon-calon
kader partai yang disiapkan untuk menjalankan roda organisasi partai di masa
depan. Selain itu langkah instan lain adalah dengan mengorbitkan calon-calon
untuk menjadi cepat terkenal dan populer dikalangan masyarakat dan media masa.
Popularitas dijadikan tolak ukur utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas
tetapi tidak dalam lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya mereka
yang berada dalam posisi pusat perhatian media seperti penyanyi, pelawak, artis
sinetron, pengamat, menjadi rebutan partai-partai politik. Semakin besar jumlah
penggemar, semakin tinggi nilai jual selebritis bersangkutan. Kenyataan ini
membuat dunia politik menjadi sepi ideologi dan rame dengan hura-hura para
tokoh selebritis. Sulit ditemukan kaderisasi yang terpadu dan terencana di dalam
dunia politik di Indonesia masa kini. Ini menyebabkan pemimpin pemerintahan
maupun anggota dewan yang dicetak oleh partai politik hanya menciptakan
kekecewaan bagi kebanyakan masyarakat Indonesia berkaitan dengan kinerja
mereka.
6
Menurut hasil penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Jawa Barat
pada minggu kedua dan ketiga Desember 2007. Data dijaring dari 320 orang
responden yang tersebar di Kota dan Kabupaten Bandung, Cirebon, Garut, dan
Bogor. Hasilnya diketahui bahwa “85% responden tidak puas dengan kinerja
parpol dan para politisinya” (Suryadi, 2008: 147). Citra buruk perihal kinerja
wakil rakyat dimasyarakat memang tidak mengada-ngada, hal ini tidak terlepas
dari bahan baku yang dipersiapkan oleh partai politik sebelum mereka menjadi
anggota dewan. Asal comot itulah faktor utama kegagalan parpol dalam
mempersiapkan utusannya di Legislatif maupun di Eksekutif. Setelah itu
diperparah dengan hanya menjadikan partai sebagai media pemberi tuntunan dasar
(guidance) mengenai soal-soal yang bersifat teknis kepada politisinya sebelum
mereka berlaga dalam kontes pemilu. Dalam soal teknis ini partai hanya
memberikan masukan dan saran sejalan dengan aturan kampanye yang telah
ditetapkan oleh KPU. Bentuk pembekalan, latihan singkat dan seminar khususpun
hanya mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kampanye. Proses tersebut
tidak cukup untuk menjadi bekal bagi mereka dalam melaksanakan tugas dan
fungsi mereka setelah menjadi wakil rakyat. Mereka mempunyai tugas berat yaitu
merekam keinginan rakyat dan memformulasikannya ke dalam pelaksanaan
fungsi wakil rakyat, baik fungsi legislasi, anggaran, maupun fungsi pengawasan.
Pada akhirnya mereka akan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. Kemampuan yang dimiliki oleh para pengambil kebijakan ini
tidak sebanding dengan tugas dan fungsi mereka yang sangat urgen bagi
kemajuan bangsa dan Negara.
7
Pendidikan politik ini sangat penting mengingat perlu adanya transfer
pengetahuan (knowledge) politik, tidak hanya yang terkait dengan sejarah, visi,
misi dan strategi partai politik saja, tetapi lebih dari itu terkait juga dengan
permasalahan bangsa dan negara. Dalam sistem pendidikan politik juga dapat
dilakukan transfer keterampilan dan keahlian berpolitik. “Pendidikan politik tidak
akan memadai jika hanya dipandang sebagai dampak pengiring (nurturant effect)
keterlibatan kader dalam aktivitas rutin partai” (Budimansyah dan Suryadi,
2006:160). Melihat kondisi itu maka Pendidikan Kewarganegaraan memegang
peranan penting dalam menumbuhkan kesadaran politik, yang salah satunya dapat
dilakukan melalui pendidikan politik, bukan hanya dalam jalur persekolahan
tetapi juga di dalam masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan Kewarganegaraan
diluar jalur pendidikan formal dapat pula diartikan sebagai pendidikan politik
terhadap masyarakat secara luas, karena pada dasarnya “tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan itu sendiri adalah menciptakan partisipasi yang bermutu dan
bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat, baik ditingkat lokal
maupun nasional” (Branson, 1999:7).
Pendidikan
Kewarganegaraan
merupakan
pendidikan
untuk
mengembangkan dan memperkuat pemerintahan otonom (self Goverment).
Pemerintahan otonom yang dimaksudkan berarti bahwa warga negara aktif dalam
pemerintahannya sendiri. Mereka tidak hanya menerima dikte dari orang lain atau
memenuhi tuntutan orang lain. Seperti dikatakan Aristoteles (Branson, 1999:4),
bahwa:
Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana menurut pendapat sebagian
orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi maka kebebasan dan
8
kesamaan itu akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil
bagian sepenuhnya dalam pemerintahan. Demokrasi dapat diwujudkan
dengan sesungguhnya apabila setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam
pemerintahannya.
Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif adalah suatu keharusan karena
“kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berfikir secara
kritis dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati
yang memungkinkan kita mendengar dan karenanya mengakomodasi pihak lain,
semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai” (Barber, 1992: 41). Lebih
lanjut dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan harus menyentuh persoalanpersoalan utama dalam kehidupan politik. Untuk menumbuhkan dan atau
meningkatkan kesadaran politik yang otonom dari setiap warga negara, maka
pelaksanaan pendidikan politik yang baik dan benar mutlak diperlukan.
Pelaksanaan pendidikan politik ini, selain dapat dilakukan oleh pemerintah
melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, juga bisa dilaksanakan
secara non-formal oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam hal ini salah
satunya adalah partai politik.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah idealnya suatu partai
politik melaksanakan pendidikan politik dalam rangka menumbuhkan dan atau
meningkatkan kesadaran politik yang otonom bagi warga negaranya, terlebih lagi
bagi para kadernya yang nanti akan berperan sebagai pengemban tugas untuk
menentukan masa depan bangsa dan masa depan partainya sendiri. Selama ini
partai politik tidak pernah maksimal menjalankan perannya dalam melakukan
pendidikan politik dengan baik kepada masyarakat secara luas apalagi kepada
kadernya sendiri, sehingga yang terjadi adalah kader partai yang dilahirkan dari
9
partai politik tersebut selalu melakukan menyimpangan atau penipuan publik
dalam praktek-praktek politik yang dilakukan, baik terhadap masyarakat maupun
partai politik itu sendiri. Partai politik dianggap dan dipakai sebagai kendaraan
politik saja oleh para kader partai untuk meraih kekuasaan. Partai politik yang
tadinya menjadi tumpuan harapan besar untuk mencetak pemimpin-pemimpin
bangsa berkualitas telah berubah menjadi arena oportunis kalangan eksternal yang
menunggu untuk dipinang dan dicalonkan menjadi legislatif atau eksekutif. Tidak
heran kalau karenanya image partai politik dimata publik menjadi negatif.
Tak kunjung terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal kesadaran
politik para politisi kita padahal dengan tegas diakui bahwa secara berkala partai
politik di Indonesia tidak pernah ketinggalan untuk selalu melaksanakan proses
pendidikan politik bagi kadernya sendiri. Hal ini menjadi tanda diperlukannya
suatu model pendidikan politik yang tidak hanya bertugas memberikan
pengetahuan politik saja namun pendidikan politik yang ada harus didesain bagi
peningkatan keterampilan dan karakter politik para kader partai.
B. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini mencapai sasaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan,
maka penulis merasa perlu untuk merumuskan apa yang menjadi fokus masalah
dalam penelitian ini. Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka yang
menjadi fokus masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana pengembangan
model Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan politik bagi kader
partai dalam meningkatkan kesadaran politik.
10
Untuk mempermudah penelitian ini maka dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana realitas pendidikan politik yang dilaksanakan oleh partai
politik terhadap para kadernya dalam meningkatkan kesadaran politik
kader partai?
2. Bagaimana proses pendidikan politik yang dilaksanakan oleh partai politik
terhadap
para
kadernya
dipahami
dalam
konteks
Pendidikan
Kewarganegaraan?
3. Bagaimana pola pendidikan politik yang dibutuhkan bagi peningkatan
kesadaran politik kader partai?
C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian berisi uraian tentang rumusan hasil yang akan dicapai oleh
mahasiswa selaku peneliti yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan
mengapa penelitian dilakukan. Tujuan berkaitan erat dengan pokok permasalahan
penelitian. Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk memperoleh gambaran secara faktual mengenai pelaksanaan pendidikan
politik oleh partai politik dan implikasinya terhadap kesadaran politik kader
partai.
Sementara itu secara khusus tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan
teoritik-konseptual mengenai realitas pendidikan politik yang dilaksanakan
11
oleh partai politik terhadap para kadernya dalam meningkatkan kesadaran
politik kader partai.
2. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan
teoritik-konseptual mengenai proses pendidikan politik yang dilaksanakan
oleh partai politik dipahami dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan.
3. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan
teoritik-konseptual mengenai pola pendidikan politik yang dibutuhkan
bagi peningkatan kesadaran politik kader partai?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara keilmuan
(teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik penelitian ini akan
menggali, mengkaji, dan mengembangkan model Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai media Pendidikan Politik dan implikasinya terhadap peningkatan
kesadaran politik.
Dari temuuan-temuan ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat
praktis kepada berbagai pihak sebagaimana diuraikan berikut ini:
1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang
Pendidikan
Kewarganegaraan
sebagai
bahan
kontribusi
ke
arah
pengembangan kesadaran politik.
2. Para pengambil kebijakan khususnya yang terkait dengan program
pendidikan politik.
12
3. Memberikan gambaran kepada partai politik dalam rangka pengembangan
pola kaderisasi yang baik.
E. Definisi Konsep
Dalam
penelitian
ini
terdapat
konsep
utama
yaitu
Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan Politik, Kader, Partai Politik, dan Kesadaran
Politik.
1.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian citizenship education oleh
Cogan (Winataputra dan Budimansyah, 2007:10) dipandang sebagai:
…the more inclusive term and encompasses both these in-school
experiences as well as out-of-school or ‘non-formal/informal’ learning which
takes place in the family, the religious organization, community
organizations, the media. Artinya, citizenship education atau education for
citizenship merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di
sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga,
dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam
media.
Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
Pendidikan
Kewarganegaraan
yang didasarkan
pada pengertian
sebagai
citizenship education.
2.
Pendidikan Politik
Surbakti (2010: 150) memberikan pengertiannya mengenai pendidikan
politik, yakni:
Merupakan suatu proses dialogis diantara pemberi dan penerima pesan.
Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-
13
nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak
dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti
sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka
pemahaman, penghayatan, dan mengamalan nilai, norma dan simbol politik
yang dianggap ideal dan baik. Melalui kegiatan kursus, latihan
kepemimpinan, diskusi, dan keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan,
partai politik dalam sistem politik demokrasi dapat melaksanakan fungsi
pendidikan politik.
Pendidikan politik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan
politik yang dilakukan oleh partai politik terhadap kader-kadernya.
3.
Kader
Kader adalah warga negara atau anggota suatu lembaga yang telah melalui
jenjang karier dan pembinaan sehingga memiliki integritas dan kecakapan yang
dapat dipertanggung jawabkan (Dananjaya, 2002:18).
4.
Partai Politik
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, tujuannya
untuk memperoleh kekuasaan politik dengan cara konstitutional untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Putra, 2003:9)
5.
Kesadaran Politik
Dalam studi ini kesadaran politik berarti pandangan yang integral terhadap
segala yang dicakup oleh politik, berupa pengetahuan perpolitikan dengan segala
tingkatannya, yang memungkinkan seseorang untuk memahami berbagai
persoalan politik ditengah masyarakatnya, menganalisanya, menempatkan posisi
14
diri darinya, serta mendorong diri untuk bergerak demi perubahan dan
perkembangannya (Ruslan, 2000:46). Lebih lanjut menurut sumber yang sama,
kesadaran politik dapat dicapai melalui cara berikut:
a. Arahan politik secara langsung, baik melalui jalur formal maupun non
formal, melalui penjelasan-penjelasan politik, usaha-usaha bimbingan, dan
pengajaran politik langsung, yang dilakukan oleh para pemikir dan
pemimpin-pemimpin politik.
b. Pengalaman politik yang didapatkan melalui partisipasi politik
c. Kesadaran yang muncul dari belajar secara mandiri. Misalnya membaca
Koran dan buku-buku politik, serta mengikuti berbagai peristiwa dan
perkembangan politik.
d. Kesadaran yang lahir dari dialog-dialog kritis, sebagaimana yang
ditekankan oleh Ferayiri yang berpendapat bahwa ini adalah metode
mendasar pertemuan antar tokoh, untuk membicarakan dunia dan realitas
hidup mereka, yang dengan itu mereka dapat mengubah dunianya.
e. Ditambah dengan kesadaran politik yang merupakan hasil dari dua metode
yaitu apparenticeship dan generalisasi, maka seluruh metode ini
mengantarkan seseorang untuk mendapatkan kesadaran politik.
F. Asumsi Penelitian
1.
Pendidikan politik yang dilakukan secara sadar, terarah dan terencana
harus terus ditingkatkan. Hal ini disebabkan karena pendidikan politik
berperan penting dalam meningkatkan kesadaran politik, kesadaran
politik yang tinggi berpengaruh terhadap tingginya tingkat partisipasi
politik, dan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam
kehidupan politik merupakan tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan
(Branson, 1999:7).
2.
Kompetensi kewarganegaraan merupakan pengetahuan, nilai, dan sikap,
serta keterampilan siswa yang mendukung untuk menjadikan warga
negara yang partisipatif dan bertanggung jawab dalam kehidupan
15
bermasyarakat dan bernegara. Pelaksanaan pendidikan politik terhadap
kader partai akan lebih maksimal jika pola pendidikan yang dilakukan
memuat
konsep-konsep
didalamnya
pengetahuan
adalah
Pendidikan
kompetensi
kewarganegaraan
Kewarganegaraan
kewarganegaraan
(civic
yang
knowledge),
termasuk
meliputi
kecakapan
kewarganegaraan (civic skills), dan watak-watak kewarganegaraan (civic
dispositions).
Download