1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu parameter untuk mengukur kualitas demokrasi adalah sirkulasi kepemimpinan politik yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan yang melembaga. Kontestasi politik pada sistem demokrasi semestinya dikawal oleh ketersediaan jalur-jalur kaderisasi kepemimpinan yang mampu memunculkan kader-kader pemimpin politik yang handal. Reformasi di tingkat kelembagaan dan prosedural yang telah digulirkan selama hampir satu dasawarsa di Negeri ini nyaris tidak disertai dengan perbaikan yang signifikan pada jalur kaderisasi kepemimpinan politik. Publik seolah masih dipaksa untuk memberikan ruang dipanggung politik bagi aktor-aktor lama. Ironisnya sebagian besar survey yang dilakukan menunjukan adanya kerinduan publik atas tampilnya figur pemimpin alternatif. “Tidak adanya pendidikan politik yang sistematis dan rendahnya penguasaan pengalaman dalam mengatasi masalah sosial (volunteerism) dan keterlibatan dalam asosiasi sukarela menjadi kendala utama kaderisasi kepemimpinan politik di Indonesia. Keadaan ini diperparah oleh pola rekrutmen dan nominasi kandidat yang tidak melibatkan anggota partai secara luas. Kandidat muncul tiba-tiba, dan terlahir dari restu elit partai bukan melalui konvensi partai” (Suryadi, 2009:205). 2 Dalam struktur dan sistem politik, organisasi politiklah yang paling bertanggung jawab melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Partai politik yang oleh Gramsci (Simon, 1999: 68) dikategorikan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil, diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai Instrumen of Political Education dengan baik dan benar, sesuai amanat yang tertuang dalam Pasal 11 huruf a UU No. 2 Tahun 2008, tentang partai politik. Partai politik sebagai suatu organisasi politik sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakilinya. Ketika jadi pemimpin nasional maka otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak lahir dengan sendirinya. Sejarah mencatat dengan tinta emas kiprah-kiprah pemimpin transformasional seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, dan Martin Luther King. Penting untuk disadari bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu kepanggung utama bukanlah melalui proses secara instan, namun melalui titian karir secara berjenjang dan melalui proses yang berliku. Dibutuhkan suatu proses pendidikan politik baik yang bersifat formal maupun non formal yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin. Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi dan kaderisasi politik. Sistem rekrutmen merupakan langkah awal untuk mendapatkan sumber daya yang baik. Sistem ini nantinya akan dapat menyeleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan sistem nilai dan ideologi partai politiknya. Tentunya orang-orang yang mempunyai sistem nilai dan ideologi sama serta memiliki potensi untuk 3 dikembangkanlah yang perlu direkrut. Persaingan dengan partai politik lain juga terjadi untuk memperebutkan orang-orang terbaik yang nantinya akan memperkuat dan mengembangkan partai politiknya. Selain merekrut dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem kaderisasi yang baik. Sistem kaderisasi perlu disertai dengan sistem yang transparan yang memberikan jaminan akses kepada semua kader yang memiliki potensi. Namun kondisi internal partai politik yang ada saat ini belum mampu memberikan dukungan dalam bentuk karakter kader yang kuat dan berkarakter idealis. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan penelitian Firman Noor tahun 2009 mengenai pelaksanaan pemilihan Legislatif 2009, ”hal ini berhubungan dengan persoalan internal, yaitu sistem rekrutmen yang cenderung dimudahkan dan karenanya menjadi tidak disiplin’. Perekrutan partai sedemikian memunculkan kader-kader partai yang kurang teruji dalam memahami aspek ideologis serta komitmen-komitmen dasar yang menjadi karakter dan fokus perjuangan sebuah partai. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan kaderisasi yang tidak berjalan baik. Kaderisasi biasanya tidak berlangsung secara berkala dan pada umumnya seringkali harus mengalah pada kepentingan politik instan yang disepakati secara eksklusif oleh pimpinan partai. Kerap ditemui pula popularitas sebagai pertimbangan utama dalam menentukan jenjang karier seseorang dalam partai politik. Dua hal ini pada gilirannya menyebabkan munculnya kegamangan dan ketidakmatangan kader ketika menjadi wakil rakyat dalam memaknai agenda perjuangan, pengidentifikasian diri pada keberpihakan tertentu pada khususnya dan memberikan pandangan rasional-ideologis atas persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa pada umumnya. 4 Kepragramatisan dunia politik membuat prinsip serba instan dan cepat menjadi prinsip utama partai politik dalam mencetak kader partai. Pimpinan partai politik berlomba-lomba lomba menjadikan para pengusaha sebagai ujung tombak untuk meraih hati rakyat melalui pencalonan mereka di Legislatif. Alhasil terjadi terjad prosentase peningkatan politisi partai yang berlatarbelakang pengusaha terpilih menjadi anggota legislatif. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Bima Arya tahun 2006 mengenai latar belakang anggota dewan dari tiga partai yakni Partai tai Golkar, PDIP dan PAN. Dari Studi tersebut didapat data sebagai berikut: Diagram 1.1 Latar Belakang Anggota Legislatif 1997-2004 1997 70 60 50 40 30 20 10 0 1999 GOLKAR Business HMI Business GMNI Muhammadiyah Sumber: Bima Arya, 2006 PNI Business Bureaucracy TNI 2004 PDIP PAN Party Members Background Tabel tersebut menunjukan bahwa dalam tiga kali pemilu, yaitu tahun 1997, 1999, dan 2004, politisi yang berlatar belakang pengusaha yang terpilih menjadi anggota DPR dari Golkar, PDIP dan PAN jumlahnya jumlahnya terus meningkat. Jumlah prosentase sentase pengusaha pada PAN dan PDIP relatif sama, dengan prosentase p 5 peningkatan terbesar ada di PAN. Jika pada partai Golkar kenaikan jumlah pengusaha diiringi olah penurunan prosentase dari politisi berlatar belakang birokrat dan militer, maka pada PDIP dan PAN meningkatnya jumlah prosentase pengusaha terjadi sejalan dengan penurunan prosentase politisi dengan latar belakang aktivis dari ormas atau orsospol pendukung partai tersebut. Peningkatan prosestase jumlah politisi berlatar belakang pengusaha ini terjadi karena sengaja direkrut oleh ketua umum partai untuk mengendalikan partai. Hal yang menjadi kontradiktif dengan tujuan dari pendirian ormas, orsospol atau badan otonom pendukung partai yang bersangkutan yaitu sebagai wadah mencetak calon-calon kader partai yang disiapkan untuk menjalankan roda organisasi partai di masa depan. Selain itu langkah instan lain adalah dengan mengorbitkan calon-calon untuk menjadi cepat terkenal dan populer dikalangan masyarakat dan media masa. Popularitas dijadikan tolak ukur utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas tetapi tidak dalam lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya mereka yang berada dalam posisi pusat perhatian media seperti penyanyi, pelawak, artis sinetron, pengamat, menjadi rebutan partai-partai politik. Semakin besar jumlah penggemar, semakin tinggi nilai jual selebritis bersangkutan. Kenyataan ini membuat dunia politik menjadi sepi ideologi dan rame dengan hura-hura para tokoh selebritis. Sulit ditemukan kaderisasi yang terpadu dan terencana di dalam dunia politik di Indonesia masa kini. Ini menyebabkan pemimpin pemerintahan maupun anggota dewan yang dicetak oleh partai politik hanya menciptakan kekecewaan bagi kebanyakan masyarakat Indonesia berkaitan dengan kinerja mereka. 6 Menurut hasil penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Jawa Barat pada minggu kedua dan ketiga Desember 2007. Data dijaring dari 320 orang responden yang tersebar di Kota dan Kabupaten Bandung, Cirebon, Garut, dan Bogor. Hasilnya diketahui bahwa “85% responden tidak puas dengan kinerja parpol dan para politisinya” (Suryadi, 2008: 147). Citra buruk perihal kinerja wakil rakyat dimasyarakat memang tidak mengada-ngada, hal ini tidak terlepas dari bahan baku yang dipersiapkan oleh partai politik sebelum mereka menjadi anggota dewan. Asal comot itulah faktor utama kegagalan parpol dalam mempersiapkan utusannya di Legislatif maupun di Eksekutif. Setelah itu diperparah dengan hanya menjadikan partai sebagai media pemberi tuntunan dasar (guidance) mengenai soal-soal yang bersifat teknis kepada politisinya sebelum mereka berlaga dalam kontes pemilu. Dalam soal teknis ini partai hanya memberikan masukan dan saran sejalan dengan aturan kampanye yang telah ditetapkan oleh KPU. Bentuk pembekalan, latihan singkat dan seminar khususpun hanya mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kampanye. Proses tersebut tidak cukup untuk menjadi bekal bagi mereka dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka setelah menjadi wakil rakyat. Mereka mempunyai tugas berat yaitu merekam keinginan rakyat dan memformulasikannya ke dalam pelaksanaan fungsi wakil rakyat, baik fungsi legislasi, anggaran, maupun fungsi pengawasan. Pada akhirnya mereka akan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kemampuan yang dimiliki oleh para pengambil kebijakan ini tidak sebanding dengan tugas dan fungsi mereka yang sangat urgen bagi kemajuan bangsa dan Negara. 7 Pendidikan politik ini sangat penting mengingat perlu adanya transfer pengetahuan (knowledge) politik, tidak hanya yang terkait dengan sejarah, visi, misi dan strategi partai politik saja, tetapi lebih dari itu terkait juga dengan permasalahan bangsa dan negara. Dalam sistem pendidikan politik juga dapat dilakukan transfer keterampilan dan keahlian berpolitik. “Pendidikan politik tidak akan memadai jika hanya dipandang sebagai dampak pengiring (nurturant effect) keterlibatan kader dalam aktivitas rutin partai” (Budimansyah dan Suryadi, 2006:160). Melihat kondisi itu maka Pendidikan Kewarganegaraan memegang peranan penting dalam menumbuhkan kesadaran politik, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan politik, bukan hanya dalam jalur persekolahan tetapi juga di dalam masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan Kewarganegaraan diluar jalur pendidikan formal dapat pula diartikan sebagai pendidikan politik terhadap masyarakat secara luas, karena pada dasarnya “tujuan Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri adalah menciptakan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat, baik ditingkat lokal maupun nasional” (Branson, 1999:7). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintahan otonom (self Goverment). Pemerintahan otonom yang dimaksudkan berarti bahwa warga negara aktif dalam pemerintahannya sendiri. Mereka tidak hanya menerima dikte dari orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain. Seperti dikatakan Aristoteles (Branson, 1999:4), bahwa: Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana menurut pendapat sebagian orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi maka kebebasan dan 8 kesamaan itu akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian sepenuhnya dalam pemerintahan. Demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya apabila setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya. Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif adalah suatu keharusan karena “kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berfikir secara kritis dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai” (Barber, 1992: 41). Lebih lanjut dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan harus menyentuh persoalanpersoalan utama dalam kehidupan politik. Untuk menumbuhkan dan atau meningkatkan kesadaran politik yang otonom dari setiap warga negara, maka pelaksanaan pendidikan politik yang baik dan benar mutlak diperlukan. Pelaksanaan pendidikan politik ini, selain dapat dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, juga bisa dilaksanakan secara non-formal oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam hal ini salah satunya adalah partai politik. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah idealnya suatu partai politik melaksanakan pendidikan politik dalam rangka menumbuhkan dan atau meningkatkan kesadaran politik yang otonom bagi warga negaranya, terlebih lagi bagi para kadernya yang nanti akan berperan sebagai pengemban tugas untuk menentukan masa depan bangsa dan masa depan partainya sendiri. Selama ini partai politik tidak pernah maksimal menjalankan perannya dalam melakukan pendidikan politik dengan baik kepada masyarakat secara luas apalagi kepada kadernya sendiri, sehingga yang terjadi adalah kader partai yang dilahirkan dari 9 partai politik tersebut selalu melakukan menyimpangan atau penipuan publik dalam praktek-praktek politik yang dilakukan, baik terhadap masyarakat maupun partai politik itu sendiri. Partai politik dianggap dan dipakai sebagai kendaraan politik saja oleh para kader partai untuk meraih kekuasaan. Partai politik yang tadinya menjadi tumpuan harapan besar untuk mencetak pemimpin-pemimpin bangsa berkualitas telah berubah menjadi arena oportunis kalangan eksternal yang menunggu untuk dipinang dan dicalonkan menjadi legislatif atau eksekutif. Tidak heran kalau karenanya image partai politik dimata publik menjadi negatif. Tak kunjung terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal kesadaran politik para politisi kita padahal dengan tegas diakui bahwa secara berkala partai politik di Indonesia tidak pernah ketinggalan untuk selalu melaksanakan proses pendidikan politik bagi kadernya sendiri. Hal ini menjadi tanda diperlukannya suatu model pendidikan politik yang tidak hanya bertugas memberikan pengetahuan politik saja namun pendidikan politik yang ada harus didesain bagi peningkatan keterampilan dan karakter politik para kader partai. B. Rumusan Masalah Agar penelitian ini mencapai sasaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka penulis merasa perlu untuk merumuskan apa yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini. Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka yang menjadi fokus masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana pengembangan model Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan politik bagi kader partai dalam meningkatkan kesadaran politik. 10 Untuk mempermudah penelitian ini maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana realitas pendidikan politik yang dilaksanakan oleh partai politik terhadap para kadernya dalam meningkatkan kesadaran politik kader partai? 2. Bagaimana proses pendidikan politik yang dilaksanakan oleh partai politik terhadap para kadernya dipahami dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan? 3. Bagaimana pola pendidikan politik yang dibutuhkan bagi peningkatan kesadaran politik kader partai? C. Tujuan penelitian Tujuan penelitian berisi uraian tentang rumusan hasil yang akan dicapai oleh mahasiswa selaku peneliti yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengapa penelitian dilakukan. Tujuan berkaitan erat dengan pokok permasalahan penelitian. Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara faktual mengenai pelaksanaan pendidikan politik oleh partai politik dan implikasinya terhadap kesadaran politik kader partai. Sementara itu secara khusus tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan teoritik-konseptual mengenai realitas pendidikan politik yang dilaksanakan 11 oleh partai politik terhadap para kadernya dalam meningkatkan kesadaran politik kader partai. 2. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan teoritik-konseptual mengenai proses pendidikan politik yang dilaksanakan oleh partai politik dipahami dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan. 3. Menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif dan teoritik-konseptual mengenai pola pendidikan politik yang dibutuhkan bagi peningkatan kesadaran politik kader partai? D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik penelitian ini akan menggali, mengkaji, dan mengembangkan model Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media Pendidikan Politik dan implikasinya terhadap peningkatan kesadaran politik. Dari temuuan-temuan ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat praktis kepada berbagai pihak sebagaimana diuraikan berikut ini: 1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kontribusi ke arah pengembangan kesadaran politik. 2. Para pengambil kebijakan khususnya yang terkait dengan program pendidikan politik. 12 3. Memberikan gambaran kepada partai politik dalam rangka pengembangan pola kaderisasi yang baik. E. Definisi Konsep Dalam penelitian ini terdapat konsep utama yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Politik, Kader, Partai Politik, dan Kesadaran Politik. 1. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian citizenship education oleh Cogan (Winataputra dan Budimansyah, 2007:10) dipandang sebagai: …the more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as out-of-school or ‘non-formal/informal’ learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media. Artinya, citizenship education atau education for citizenship merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pendidikan Kewarganegaraan yang didasarkan pada pengertian sebagai citizenship education. 2. Pendidikan Politik Surbakti (2010: 150) memberikan pengertiannya mengenai pendidikan politik, yakni: Merupakan suatu proses dialogis diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai- 13 nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan mengamalan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. Melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi, dan keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan, partai politik dalam sistem politik demokrasi dapat melaksanakan fungsi pendidikan politik. Pendidikan politik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik terhadap kader-kadernya. 3. Kader Kader adalah warga negara atau anggota suatu lembaga yang telah melalui jenjang karier dan pembinaan sehingga memiliki integritas dan kecakapan yang dapat dipertanggung jawabkan (Dananjaya, 2002:18). 4. Partai Politik Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, tujuannya untuk memperoleh kekuasaan politik dengan cara konstitutional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Putra, 2003:9) 5. Kesadaran Politik Dalam studi ini kesadaran politik berarti pandangan yang integral terhadap segala yang dicakup oleh politik, berupa pengetahuan perpolitikan dengan segala tingkatannya, yang memungkinkan seseorang untuk memahami berbagai persoalan politik ditengah masyarakatnya, menganalisanya, menempatkan posisi 14 diri darinya, serta mendorong diri untuk bergerak demi perubahan dan perkembangannya (Ruslan, 2000:46). Lebih lanjut menurut sumber yang sama, kesadaran politik dapat dicapai melalui cara berikut: a. Arahan politik secara langsung, baik melalui jalur formal maupun non formal, melalui penjelasan-penjelasan politik, usaha-usaha bimbingan, dan pengajaran politik langsung, yang dilakukan oleh para pemikir dan pemimpin-pemimpin politik. b. Pengalaman politik yang didapatkan melalui partisipasi politik c. Kesadaran yang muncul dari belajar secara mandiri. Misalnya membaca Koran dan buku-buku politik, serta mengikuti berbagai peristiwa dan perkembangan politik. d. Kesadaran yang lahir dari dialog-dialog kritis, sebagaimana yang ditekankan oleh Ferayiri yang berpendapat bahwa ini adalah metode mendasar pertemuan antar tokoh, untuk membicarakan dunia dan realitas hidup mereka, yang dengan itu mereka dapat mengubah dunianya. e. Ditambah dengan kesadaran politik yang merupakan hasil dari dua metode yaitu apparenticeship dan generalisasi, maka seluruh metode ini mengantarkan seseorang untuk mendapatkan kesadaran politik. F. Asumsi Penelitian 1. Pendidikan politik yang dilakukan secara sadar, terarah dan terencana harus terus ditingkatkan. Hal ini disebabkan karena pendidikan politik berperan penting dalam meningkatkan kesadaran politik, kesadaran politik yang tinggi berpengaruh terhadap tingginya tingkat partisipasi politik, dan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik merupakan tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan (Branson, 1999:7). 2. Kompetensi kewarganegaraan merupakan pengetahuan, nilai, dan sikap, serta keterampilan siswa yang mendukung untuk menjadikan warga negara yang partisipatif dan bertanggung jawab dalam kehidupan 15 bermasyarakat dan bernegara. Pelaksanaan pendidikan politik terhadap kader partai akan lebih maksimal jika pola pendidikan yang dilakukan memuat konsep-konsep didalamnya pengetahuan adalah Pendidikan kompetensi kewarganegaraan Kewarganegaraan kewarganegaraan (civic yang knowledge), termasuk meliputi kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak-watak kewarganegaraan (civic dispositions).