Kepedulian GKS terhadap Lingkungan Hidup: suatu tinjauan teoritis

advertisement
Bab 2
Pendidikan Lingkungan Hidup Sebagai Tanggung Jawab Gereja
2.1 Pendahuluan
Pada bab ini, penulis akan menyajikan teologi sosial, gereja sebagai lembaga sosial,
etika lingkungan hidup, teologi lingkungan hidup, dan pendidikan lingkungan hidup dalam
menanggapi masalah lingkungan hidup yang terjadi hingga kini.
2.2 Teologi Sosial
Teologi Kristen merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan komunitas
orang beriman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kesaksian hidup gereja. Teologi tidak saja
dipandang sebagai refleksi iman dalam praksis gereja, tetapi juga mendorong praksis gereja itu
sendiri dalam konteks konkret. Karena itu, teologi bukan hanya merupakan pemikiran teoritistransendental, tetapi juga mengandung aspek dan bahkan sifat historis, praktis, dan kontekstual.
Dengan kata lain, teologi di samping berfungsi kritis mengarahkan seluruh lapangan pengalaman
orang beriman kembali ke horizon yang mutlak, juga sangat menentukan, ketika persekutuan
orang beriman sebagai jemaat Kristen ingin mengungkapkan penghayatan dan kesaksiannya
tentang Injil Yesus Kristus di tengah situasi dunianya yang konkret. Dalam perspektif semacam
ini, dapat dikatakan bahwa teologi dihayati dan dikembangkan sebagai teologi sosial.1
Pemahaman mengenai teologi sosial merupakan sesuatu yang sangat penting. Dalam
rangka gerakan keesaan gereja, pemahaman kembali tentang teologi sosial tidak hanya dikaitkan
dengan hakikat teologi sosial pada dirinya, tetapi lebih jauh lagi dengan praksis panggilan dan
pengutusan orang beriman di tengah situasi dunia konkret. Tugas panggilan dan pengutusan yang
1
Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan
Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 130.
13
harus mereka laksanakan bersama komunitas-komunitas orang beriman di seluruh muka bumi
selalu diletakkan dalam rangka kebersamaan dengan kepentingan yang lain, dengan kepentingan
masyarakat di sekitar, bahkan seluruh masyarakat di dunia.2 Itu artinya tugas panggilan dan
pengutusan gereja tidak hanya berpusat pada satu kepentingan pribadi saja melainkan memiliki
pengaruh bagi kepentingan umum lewat teologi yang dibangun dalam kehidupan bersama.
Teologi sosial ini digambarkan sebagai cara bagaimana Allah yang mewahyukan diri
sebagai Subjek diangkat menjadi subjek (manusia) yang berkepribadian, yang tidak hanya
bersifat individual tetapi juga sosial. Mereka bekerja dan melayani bersama lingkungan sosial
mereka. Bertolak dari hal ini, teologi apapun akan selalu mempunyai aspek, sifat, orientasi dan
arah dasar yang sosial pula.
Pada perkembangan selanjutnya, teologi sosial lebih dimengerti sebagai sebuah
pemahaman teologis atau ajaran prinsip-prinsip teologis yang bersifat sosial. Schrey menyatakan
bahwa teologi sosial dilihat sebagai sebuah usaha untuk mengembangkan lebih jauh etika sosial
teologis, yang berangkat dari ajaran sosial Kristen. Pikiran dasarnya adalah bahwa semua
kehidupan mempunyai segi-segi sosialnya, demikian juga dalam rahmat keselamatan Allah.
Dunia ciptaan Allah mempunyai kesatuan sosial dalam kemanusiaan, yang pola dasarnya
mengacu pada kesatuan Allah Tritunggal. Kepada-Nyalah tugas semua masyarakat diselaraskan
dan dipertanggungjawabkan. Dalam rangka itu, sejarah keselamatan dapat dipahami sebagai
sejarah sosial. Sebab, panggilan keselamatan Allah dalam cinta kasih tidak hanya ditujukan
kepada perseorangan tetapi juga kepada seluruh masyarakat dunia yang telah jatuh ke dalam
dosa. 3
2
3
Ibid., 131.
Ibid., 133.
14
Kegiatan praksis dari teologi sosial sudah dilaksanakan tidak hanya dalam kehidupan
jemaat pertama tetapi sebelum penyaliban Yesus. Teologi sosial ini telah dikembangkan pada
saat Yesus mengembara bersama para murid-Nya. Berdasarkan hal ini, praksis teologi sosial
kemudian terus dikembangkan secara teratur dan sistematis oleh gereja, sehingga hal itu
dirangkum dalam tri tugas gereja yakni marturia (bersaksi), koinonia (bersekutu), dan diakonia
(melayani).4 Tetapi praksis teologi sosial ini biasanya hanya menyentuh pelayanan manusia
terhadap sesamanya manusia. Semua arah pelayanan gereja hanya ditujukan kepada sesama
manusia (antroposentris) dan Allah (teosentris). Karena itu satu kesadaran baru telah muncul dan
berkembang pesat dalam cakrawala berpikir manusia, yakni bahwa lingkungan hidup atau
ekologi dan alam ciptaan merupakan bagian yang utuh dalam risalah-risalah teologis,
pemahaman dan penghayatan kerohanian umat manusia5 sehingga gereja sebagai salah satu
lembaga sosial dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
2.3 Gereja sebagai Lembaga Sosial
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Gereja memiliki
lima model dalam melaksanakan tugas panggilannya. Dua dari lima itu adalah gereja dilihat
sebagai institusi dan gereja sebagai pewarta. Gereja sebagai institusi merupakan pemahaman
bahwa gereja dipandang sebagai suatu masyarakat yang cenderung untuk mengutamakan struktur
kepemimpinan sebagai elemen formal dalam masyarakat. Pada dasarnya, pandangan ini mau
menekankan aspek gereja sebagai sebuah lembaga yang di dalamnya ada struktur organisasi
yang jelas dalam pembagian tugas dan kewajiban. Tugas dan tanggung jawab itu adalah untuk
4
Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan
Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 132.
5
Amatus Woi, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup.
Kanisius. (2008:Yogyakarta), 13.
15
mengajar, menguduskan dan memimpin. Ketiga fungsi ini, merupakan pengarah bagi gereja
khususnya orang-orang yang mendapatkan jabatan gerejawi untuk melakukan tugas itu dalam
rangka mewujudkan kasih Tuhan di tengah-tengah kehidupan gereja. Penekanan penting dalam
menjalankan tugas itu adalah melayani yakni menyalurkan ajaran dan rahmat Kristus sendiri.6
Karena itulah, maka penting juga untuk melihat model gereja sebagai pewarta. Gereja sebagai
pewarta menekankan pada Sabda/Firman Tuhan. Menurut model ini, gereja dikumpulkan dan
dibentuk oleh Sabda Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengar, diimani
dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan.7 Dalam tugasnya sebagai pewarta
kebenaran, gereja tidak hanya menyentuh dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan
iman saja, tetapi gereja juga memiliki hak dan kewajiban untuk bersuara dengan penuh
wewenang atas masalah-masalah sosial, ekonomi dan sebagainya. Sebab bagaimana pun juga,
gereja hidup di tengah-tengah masyarakat dengan persoalan sosial yang kompleks.8
Dengan kenyataan seperti yang telah dijelaskan tersebut maka, ada beberapa alasan
mengapa gereja melakukan intervensi terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi, antara lain:9
1) Masalah-masalah sosial pada umumnya tidak dapat dirumuskan semata-mata dari segi
teknis kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi dan politik. Di dalamnya juga termuat
masalah moral dan etika. Karena itu, iman Kristen diharapkan dapat menerangi suara hati
dan memungkinkan orang Kristen untuk memenuhi kewajibannya dalam konteks historis
tertentu dengan tetap memiliki keterbukaan terhadap yang transenden.
2) Masalah-masalah sosial pada umumnya kerap kali berasal dari kecenderungan manusia
untuk mementingkan dirinya atau dalam istilah teologis, keberdosaan manusia.
6
Avery Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. (1990:Yogyakarta), 34-35.
Ibid., 73.
8
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. Kanisius.
(1990:Semarang), 17.
9
Ibid., 18.
7
16
Ketidakadilan sosial sebagaimana yang terjadi dalam bentuk jurang kaya-miskin,
pemerasan manusia atas sesamanya, pengangguran, kemiskinan, perkosaan hak-hak
kaum miskin, dan sebagainya. Ketidakadilan sosial ini juga yang dirasakan oleh
lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari perilaku manusia yang mengekploitasi lingkungan
secara besar-besaran sehingga menimbulkan banyak masalah. Semua perilaku ini
merupakan ungkapan dari situasi-situasi keberdosaan manusia.
3) Gereja prihatin terhadap akibat-akibat dari permasalahan sosial itu karena kondisi-kondisi
hidup yang tidak layak merupakan kendala bagi keselamatan manusia.
4) Ajaran gereja tentang permasalahan sosial dan tanggapan umat Kristen terhadapnya
merupakan bagian dari pandangan hidup Kristen.
Namun, meskipun gereja berusaha untuk terlibat dalam melihat masalah-masalah sosial
yang terjadi, tetapi bukan berarti bahwa keberadaan gereja menyediakan obat manjur untuk
menyembuhkan penyakit atau luka-luka sosial yang ada. Ajaran sosial gereja bukanlah ideologi
atau pun analisis sosial ilmiah, meski pun di dalamnya termuat analisis-analisis yang tajam atas
masyarakat, negara dan manusia. Tugas gereja sebagai salah satu lembaga sosial adalah untuk
memberikan tanggapan iman dan memberikan pengarahan tindakan iman bagi umat Kristiani
dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang ada,10 termasuk di dalamnya masalah
lingkungan hidup. Karena gereja merupakan bagian integral dari lembaga-lembaga sosial yang
ada dan turut ambil bagian dalam tugas itu sehingga gereja memiliki kaitan yang erat dengan
lembaga sosial lain dan sangat penting untuk menjalin kerja sama. Bahkan gereja juga perlu
belajar dari lembaga sosial lainnya, dalam rangka mewujudkan terang kasih Tuhan ditengahtengah kehidupan seluruh ciptaan melalui tindakan nyata (praksis) sebagai proses belajar seumur
10
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. 19.
17
hidup yang terintegrasi. Bagaimana pun juga, ketika gereja ingin terlibat dalam melihat dan
merespon masalah-masalah sosial yang terjadi salah satunya masalah linkungan hidup, gereja
sendiri perlu memperhatikan pertimbangan etis dari etika lingkungan, agar hal itu juga dapat
memperlengkapi gereja lebih lagi dalam melaksanakan perannya tersebut.
2.4 Etika Lingkungan
Etika adalah upaya menemukan asas-asas yang mendasari tindakan manusia. Jika hal ini
dihubungkan dengan lingkungan hidup maka tugas etika lingkungan hidup adalah
mengembangkan asas-asas berkenaan dengan tindakan manusia terhadap dunia yang bukan
manusia.11 Etika lingkungan prihatin dengan hubungan moral antara manusia dan dunia yang
natural. Prinsip-prinsip etika yang mengatur hubungan
manusia dan dunia yang natural
menentukan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab dengan penghargaan kepada bumi,
lingkungan yang natural, dan seluruh hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada dan yang
menghuninya. Taylor menyebutnya dengan istilah “Natural World” atau dunia alami yang
mengacu pada seluruh rangkaian dari ekosistem alami di planet kita.12
Ekosistem alami dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni: Pertama, dalam lingkungan
semacam ini, belum ada perubahan besar sebagai efek dari culture manusia dan teknologi yang
mengeksploitasi bumi. Contoh: Padang di kutub Utara Tundra, gunung, hutan, padang rumput,
kaktus padang pasir, dan muara sungai Marsland. Sepanjang ekosistem tersebut tidak diganggu
11
Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi. BPK Gunung Mulia. (2001: Jakarta), 75.
Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press.
(1986:New Jersey), 3.
12
18
oleh manusia, ekosistem ini tetap dalam kondisi murni atau bersih dan komunitas biotik mereka
ada dalam keadaan benar-benar liar.13
Tipe yang kedua sama seperti yang pertama mencakup komunitas biotic seperti: hutan,
hewan, dan tumbuhan yang mempertahankan keberadaannya tanpa diganggu oleh aktivitas
manusia. Namun tidak sama seperti jenis ekosistem yang pertama, ekosistem ini ditemukan di
daerah yang pada satu waktu bekerja sama dengan tenaga manusia (seperti pertanian dan
pertambangan) atau telah mengalami modifikasi di masa lalu sebagai hasil praktik-pratik tertentu
dari manusia (seperti mengembala domba, merumput atau memotong kayu). Ekosistem tersebut
mungkin sekarang telah kembali ke kondisi alami hanya karena telah ditinggalkan untuk jangka
waktu yang panjang. Dengan kata lain, hal ini mungkin dihasilkan oleh usaha manusia yang
disengaja dan bertujuan mengembalikan lingkungan termasuk hewan dan tumbuhan ke kondisi
sebelumnya yang perubahan tersebut melibatkan campur tangan manusia.14
Kedua jenis dari ekosistem ini disebut “natural” karena adanya kenyataan bahwa faktor
biologis dan lingkungan menentukan sturuktur hubungan antara bagian yang penting dari
populasi-spesies mereka yang memegang kendali tanpa campur tangan manusia. Hal ini lebih
lanjut menurut Taylor dalam analisisnya terhadap studi yang dilakukan menjelaskan bahwa
urutan dari berpikir tentang ekosistem tersebut dipandang sebagai sebuah proses evolusi dari
keadaan lingkungan.15
Di samping itu, ada juga keraguan yang timbul apakah setiap ekosistem benar-benar
alami dan eksis di planet kita hingga saat ini? Dampak dari peradaban manusia muncul sebagai
akibat yang tak terindarkan. Kasus ini mau mengatakan bahwa komunitas biotik di alam liar
13
Ibid., 3-4.
Ibid., 4.
15
Ibid., 3-4.
14
19
cepat menghilang, karenanya dapat dikatakan percepatan kepunahan seluruh spesies tidak bisa
terhindarkan. Secara langsung yang berhubungan dengan fenomena ini adalah penurunan tajam
variasi berbagai ekosistem natural. Efek dari kultur manusia dan teknologi pada biosfer terjadi
dimana-mana. Hal ini disebabkan oleh munculnya industrialisasi dalam skala besar di abad yang
lalu, naiknya tingkat pertumbuhan populasi manusia, dan perluasan ekonomi yang merangsang
dan menyebabkan ketergantungan pada konsumsi tingkat tinggi yang dirasakan oleh manusia di
seluruh bumi.16 Hal ini juga diungkapkan oleh Robert P. Borrong yang menyatakan bahwa
Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat
memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi
barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya alat
ampuh, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah
intensitas pengeksploitasian lingkungan yang semakin gencar tak terkendali. Alam tidak lebih
dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam
tidak lagi dihargai sebagai organisme.17
Pemikiran tentang ekosistem sebagai sesuatu yang berkelanjutan merupakan suatu
respek yang esensial dalam berbagai segi sebelum manusia muncul dan memperluas degradasi
terhadap bumi. Ekosistem alam sebagai milik di salah satu ujung kontinum yang diperluas
dengan respek yang setara sangat penting bagi makhluk-makhluk atau segala sesuatu yang telah
ada sebelum manusia muncul di bumi melalui gradasi peningkatan derajat pengaruh manusia, ke
ujung spectrum yang mana ekosistem secara lengkap diatur dan di kelola oleh manusia.
Contohnya perkebunan, arena golf dan sebagainya. Taylor, dkk menyebutnya dengan nama
16
Ibid., 4-5.
Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman;
Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998).
17
20
artificial ecosystem atau ekosistem buatan sejak mereka di ukur, diciptakan dan digunakan oleh
manusia untuk manusia sampai akhir. 18
Lebih lanjut, Taylor mengemukakan bahwa untuk memahami teori etika lingkungan
secara mendalam maka penting untuk mengingat subjek perhatiannya mencakup tidak kurang
dari tempat peradaban manusia di dunia yang natural. Karena itu, ada empat bidang yang
berbeda dari dasar penyelidikan-penyelidikannya yang masing-masing disajikan dengan
beberapa pertanyaan yang berkaitan erat, adalah sebagai berikut:19
1. Bagaimana perilaku manusia dalam hubungannya dengan ekosistem alami (natural) yang
benar untuk tunduk pada batasan moral, atau kendala tersebut hanya berlaku untuk
manusia dalam memperlakukan satu sama lain? Adakah prinsip-prinsip etika yang harus
kita ikuti dalam perawatan atau pemeliharaan kita terhadap lingkungan yang natural?
Apakah fakta bahwa beberapa tindakan kita memengaruhi kehidupan hewan liar dan
tumbuh-tumbuhan untuk lebih baik atau lebih buruk dengan memiliki signifikansi etis
bagi semuanya? Apakah fakta tersebut di dan dari dirinya sendiri memberikan alasan
apapun, belum tentu satu konklusif, untuk melakukan atau menahan diri dari melakukan
tindakan yang bersangkutan? Apakah kita memiliki tugas dan kewajiban yang berkaitan
dengan dunia natural secara independen dari tugas dan kewajiban kita yang berkaitan?
2. Jika jawaban untuk salah satu pertanyaan di atas adalah ya, maka apa saja kendala moral
yang terlibat dan bagaimana human-being atau penghayatan dan upaya melakukan yang
terbaik terhadap lingkungan? jika kita memiliki tugas terhadap yang bukan hanya
manusia secara independen dari tugas kita terhadap manusia, atas dasar apa tugas itu
18
Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press.
(1986:New Jersey), 5-6.
19
Ibid., 9-10.
21
ditangguhkan? Apa standar karakter baik dan apa aturan benar yang diberlakukkan dalam
domain etika?
3. Bagaimana anda akan membenarkan standart aturan mereka? Dapatkah komitmen suatu
moral mengikuti prinsip-prinsip dari etika lingkungan hidup untuk ditunjukan dan
ditangguhkan secara rasional? Dapatkah kita menetapkan bahwa ada prinsip-prinsip yang
berlaku dalam etika lingkungan yang mengikat semua orang secara merata?
4. Akhirnya, bagaimana kewajiban dan tanggujawab kita terhadap alam (seandainya kita
memilikinya) untuk dipertimbangkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan terhadap
kepentingan manusia? Apakah tugas etika lingkungan sebelumnya atau yang pernah
dilakukan mengharuskan kita untuk bertindak dengan cara-cara yang mungkin
bertentangan dengan tujuan manusia, dan jika demikian, ketika (jika pernah) apakah
tugas tersebut pernah mengabaikan atau mengesampingkan pemenuhan tujuan manusia?
Setiap upaya sistematis dan menyeluruh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
adalah apa yang akan disebutkan oleh Taylor sebagai teori etika lingkungan. Taylor
menyatakan bahwa cukup independen tugas kita yang berutang terhadap sesama manusia, kita
memerlukan moral untuk melakukan atau menahan diri dari melakukan tindakan tertentu sejauh
tindakan itu membawa manfaat atau membahayakan alam liar tempat mahkluk hidup tinggal di
alam. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa moral yang diperlukan ini mempertimbangkan hal-hal
tertentu yang dinilai oleh manusia untuk memenuhi tugas etika lingkungan hidup yang
melibatkan pengorbanan waktu dan setidaknya beberapa kepentingan manusia.20
20
Ibid., 10
22
2.4.1 Jenis-jenis Etika Lingkungan
Dalam rangka untuk memahami bagaimana pandangan seperti itu dapat
dibenarkan secara rasional, akan sangat membantu untuk membuat perbedaan antara dua
jenis dari etika lingkungan hidup yaitu human-centered atau anthropocentric (berpusat pada
manusia) dan life-centered atau biocentric. Teori etika lingkungan hidup yang berpusat pada
manusia atau human-centered berpendapat bahwa tugas moral kita terhadap alam pada
akhirnya berasal dari tugas hutang budi kita terhadap satu sama lain sebagai human beings.
Karena kita harus menghormati hak asasi setiap orang, atau harus melindungi dan
mempromosikan kehendak bebas manusia atau well-being of humans, bahwa kita harus
menempatkan kendala tertentu pada perlakuan kita terhadap bumi, lingkungan yang alami
dan pada tempat tinggalnya.
Human-centered adalah etika lingkungan hidup yang berpusat pada manusia
dengan menekankan pada penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dalam menghayati
keberadaannya di alam sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dari segi
lingkungan maupun kesehatan sebagai tugas dan tanggung jawab moral manusia saat ini bagi
generasi di masa depan. Tanggungjawab untuk melindungi lingkungan, khususnya juga alam
liar karena berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan kita. kadang-kadang variasi gen dari
tumbuh-tumbuhan dan spesies hewan membutuhkan pengembangan baru yang berguna
untuk melindungi manusia dari penyakit dengan mengontrol bakteri dan kuman. Selain itu,
juga untuk memproduksi jenis sumber daya makanan baru melalui proses genetik dengan
menggunakan engginering genetic. Generasi masa depan dari manusia memiliki hak yang
sama banyak untuk hidup aman dan sehat secara fisik sama seperti generasi sekarang. Oleh
karena itu tidak adil jika kita memperlakukan alam dengan buruk. Alasannya, karena
23
keseluruhan sistem dan standar perilaku aturan yang mengatur perilaku kita saat ini dalam
kaitan dengan bumi sebagai lingkungan yang natural dapat di dasarkan pada kepentingan kita
sendiri sebagai manusia. Namun demikian etika lingkungan hidup bukan merupakan sub
divisi dari etika manusia.21
Etika lingkungan hidup berdasarkan perspektif life-centered menekankan
kewajiban dan tanggungjawab dalam menghargai lingkungan dalam komunitasnya di alam
secara natural. Etika ini lebih lanjut menekankan pentingnya memiliki respek terhadap hewan
liar dan tumbuh-tumbuhan di bumi sebagai alasan dari moral yang menentukan relasi antara
diri manusia dan dunia yang natural itu sendiri.22 Karena alam bukan hanya semata-mata
sebagai objek yang di eksploitasi dan menjadi bahan konsumsi manusia semata. Karena
setiap mahkluk hidup di alam memiliki kekayaan dan kebajikan/virtue dari keberadan
mereka sebagai anggota dari komunitas kehidupan. Oleh karena itu, lingkungan tidak hanya
digunakan untuk kesenangan manusia saja atau sebagai tempat untuk belajar sesuatu yang
menarik dari alam. Hal ini didukung juga oleh pandangan dari Radjasa Mu’tasim dengan
mengutip pendapat Magnis-Suseno, mengatakan bahwa Manusia harus belajar menghormati
alam. Alam harus dilihat bukan semata-mata sebagai sesuatu yang berguna, melainkan juga
mempunyai nilainya sendiri. Kalau terpaksa manusia harus mencampuri proses-proses alam,
maka hanya seperlunya dan dengan tetap menjaga keutuhannya. Lebih dari itu, semua
makhluk hidup harus dipandang sebagai saudara.23
21
Ibid., 11-12.
Ibid., 12.
23
Radjasa Mu’tasim. Pendidikan Etika Lingkungan Hidup: Orientasi ke arah lingkungan hidup secara
holistik. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2008).
22
24
Selain dua jenis ini, Robert P. Borrong menambahkan jenis etika lingkungan yang
lain yakni, ekosentris. Jenis ekosentirs berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau
sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka lingkungan harus
diperhatikan karena manusia hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh
ekosistem. Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk orang Indonesia,
yang sangat menekankan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Manusia adalah mikro dari makro kosmos. Menurut pandangan ini, bumi memiliki nilai
hakiki (intrinsic value) yang harus dihormati oleh manusia. Maka alam atau lingkungan tidak
boleh diperlakukan semena-mena, karena bumi memunyai nilainya yang luhur yang harus
dijaga, dihormati, dan dianggap suci.24
Meskipun demikian kita memiliki kewajiban moral sebagai tugas untuk hidup
berdasarkan kemanusiaan kita, sekaligus mempunyai tugas untuk membangun relasi hidup
bersama sebagai mahkluk hidup dengan alam liar secara benar pada posisi yang sebenarnya.
Hal ini tidak bermaksud untuk membawa satu moral secara personal yang benar pada semua
konteks. Tugas kita terhadap bentuk-bentuk kehidupan di bumi selain manusia di dasarkan
pada status entitas mereka yang memiliki nilai dan yang melekat pada dirinya. Lebih lanjut
mereka memiliki semacam nilai atau virtue yang menjadi milik dan sifat mereka yang
sangat alami, dan virtue atau nilai semacam ini akan menjadi salah jika keberadaannya hanya
untuk manusia semata sampai akhir. Ini adalah untuk kepentingan mereka dan seharusnya
24
Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman;
Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998).
25
manusia dapat mendorong atau melindunginya. Hal ini mau menekankan bahwa manusia
harus juga memperlakukan alam dengan penuh hormat atau respek.25
Teori etika lingkungan yang berpusat pada manusia atau human-centered theory
dengan kata lain dapat menerima klaim secara konseptual tetapi menolak satu norma saja.
Hal ini terkait dengan konteks isu yang diangkat khususnya masalah benar atau salah suatu
klaim normatif sama halnya dengan posisi teori etika lingkungan hidup terkait dengan lifecentered. Oleh karenanya, posisi etika life-centered dapat dipandang salah jika seseorang
menempatkan semua hewan dan tumbuhan sebagai subjek moral, contoh: Apakah kita
mempunyai tanggungjawab terhadap nyamuk? 26 Oleh karena itu pilihan ini harus dipahami
dan dipertimbangkan secara rasional untuk memahami benar atau salahnya pemahaman
terhadap etika lingkungan dari sisi biocentrism maupun antroposentris karena adanya konflik
pemahaman terhadap hal ini.
Sebagai langkah utama kita mengamati bagaimanapun terdapat konflik antara
kehendak bebas dari non-human organism dan kehendak bebas manusia. Oleh karena itu,
konflik ini harus dimengerti dari dua keberadaan untuk membuat dan melegitimasi suatu
keputusan atau klaim dari pertimbangan sebagai penghargaan terhadap subjek moral yang
tepat, sehingga pernyataan normatif bahwa semua mahkluk hidup bermoral subjek dibuat
tidak masuk akal atau praktis dari etika lingkungan hidup menjadi jelas. Berangkat dari
masalah konflik tersebut dibutuhkan self-preservation atau penjagaan terhadap diri dari
sebuah masalah etika yang seharusnya membutuhkan suatu langkah resolusi yang adil atau
25
Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press.
(1986:New Jersey), 13.
26
Ibid., 20-21.
26
fair dari persaingan klaim moralnya. Pemahaman ini lebih lanjut di bahas dalam posisi
sebagai objek moral pada bab selanjutnya.
2.4.2 Agen Moral dan Moral sebagai Subjek
Perbedaan antara etika human-centered dan life centered yang diklarifikasi oleh fokus
perhatian mereka pada konsep agen moral dan moral sebagai subjek. Kedua jenis
pemahaman ini setuju tentang ide agen moral dan perhatian mereka terhadap moral sebagai
subjek di alam yang isunya dibahas terkait virtue atau tindakan bermoral atau tidak bermoral
sebagai tugas dan tanggunjawab. Namun perlu digaris bawahi bahwa terdapat kelas dari
moral agen dan kehendak bebas manusia. Ada dua alasan mengapa hal ini perlu untuk
dipahami, yakni: Pertama, tidak semua manusia adalah agen moral; Kedua, di sana terdapat
keberadaan agen moral yang bukan dari manusia. Contohnya homo sapiens kita belum dapat
mengklarifikasi tanggung jawab terhadap alam. Di alam ini bukan hanya manusia yang
mengembangkan pola kehidupannya dalam kelompok sosial mereka dan bertanggungjawab
mengikutinya, tetapi makhluk hidup lain juga, seperti: lumba-lumba, gaja, dan primata
lainnya juga hidup dalam kelompok sosial.27 Artinya bahwa agen moral ini mempunyai
standart etik masing-masing dan berlaku di alam melalui karakter baik atau buruk dan alasanalasannya masing-masing.
Di sisi yang lain, pada waktu yang sama berbeda dengan moral subjek, manusia adalah
agen moralnya dan juga subjek moral.28 Di dalam peran sebagai agen moral mereka dapat
memperlakukan orang lain secara benar atau salah. Sedangkan di dalam peran moral sebagai
27
28
Ibid., 14.
Ibid., 16.
27
subjek mereka dapat diperlakukan secara benar atau salah oleh orang lain. Oleh karena itu,
seseorang dapat menjadi kedua-duanya baik agen moral maupun subjek moral. Lebih lanjut
Taylor menentukan subjek moral sebagai sesuatu yang dapat dilakukan dengan benar atau
salah dan kepada siapa agen moral dapat memiliki tugas dan tanggung jawab tersebut.
Keberadaan moral subjek oleh karenanya dapat membawa kerugian atau keuntungan sebagai
fakta tentang moral subjek bahwa selalu dimungkinkan agar agen moral dapat membawa
suatu sudut pandang moral sebagai subjek dan membuat justifikasi dari sudut pandang
tersebut tentang bagaimana seharusnya subjek moral itu diperlakukan. Standart tersebut
mengimplikasikan pendorong justifikasi tersebut atau kehendak bebas dari subjek tidak
hanya dari satu orang yang menjustifikasinya. Lebih lanjut batasan terkait dengan yang
bukan moral subjek adalah seperti pada sungai dan proses eksistem dari ikan dan sungai
sebagai aquatic organism. Di sini menunjukkan bahwa hal ini masih merupakan kasus agen
moral untuk memperlakukannya sebagai subjek moral. Selain itu, terdapat fakta juga bahwa
objek yang mati di alam ini dapat dimodifikasi bahkan musnah atau diawetkan oleh agen
moral sebagai pertimbangan etika yang bermanfaat, Karena perlakuan terhadap objek yang
mati ini memengaruhi kehendak bebas dari subjek moralnya.29
Pokok pemikiran lainnya yang ditekankan juga dalam tulisan ini adalah bahwa
dibutuhkan upaya untuk membuat suatu justifikasi moral intuitif. Yang mana intuisi kita
memang bisa benar atau salah, namun dalam hal ini berdasarkan pengalaman intuisi kita
merasa bahwa membunuh hewan atau tidak itu adalah tindakan yang salah namun intuisi ini
harus masuk akal. Karena hewan dan tumbuhan tidak dapat merasakan apa yang kita rasakan.
Oleh karena itu etika life-centered menegaskan bahwa setiap mahkluk hidup adalah subjek
29
Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press.
(1986:New Jersey), 16-17.
28
moral.30 Sangat penting untuk memahami hal ini karena moral intuisi kita menghargai
bagaimana mahkluk hidup dari alam harus diperlakukan berdasarkan aspek psikologis yang
tergantung pada dasar sikap-sikap kita terhadap alam. Hal ini perlu dimaknai pada konteks
masa kanak-kanak. Apa sikap yang pada awalnya diberikan kepada kita dalam kehidupan
terhadap hewan dan tumbuhan, diterima dan direfleksikan
lewat kelompok sosial kita.
Namun demikian pada konteks tertentu intuisi tidak dapat dipakai sepenuhnya dalam
memahami etika lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu ditentukan juga pertimbangan
benar salahnya. Alasannya karena sebagai contoh terdapat perbedaan kultur atau budaya
yang mana ketika kita berburu burung atau singa untuk diambil bulunya dan dengan penuh
percaya diri kita mengatakan itu
tidak salah untuk dilakukan. Jadi kita tidak dapat
menggunakan intuitif untuk secara keseluruhan menolak atau membenarkan sikap kita
terhadap etika lingkungan hidup. Karena lebih lanjut intuisi tidak dapat digunakan secara
rasional objektif dan menyeluruh untuk teori dari etika lingkungan hidup.31
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa etika lingkungan perlu dipahami dari
berbagai segi, baik secara antroposentris maupun biosentris, baik secara rasional maupun
menggunakan intuisi. Hal ini dilihat sebagai alasan dan pertimbangan sikap dalam pratik kita
secara etis terhadap lingkungan dengan mempertimbangkan sebaik-baiknya mengenai batasanbatasan tertentu sampai di mana hal itu dapat digunakan dengan baik. Sehingga sebagai klaim
pertimbangan moral dalam perdebatan maupun dalam prakteknya serta upaya menjaga dan
merawat lingkungan secara tepat dan berkesinambungan menjadi bagian dari mahkluk hidup
yang tinggal di alam. Karena itu, untuk mendasari pertimbangan etis atau pun teologi sosial yang
30
31
Ibid., 22.
Ibid., 23.
29
dibangun gereja maka sangat penting untuk melihat kembali dasar teologi lingkungan yang
dimiliki dan dijalan oleh gereja.
2.5 Teologi Lingkungan Hidup
Masalah lingkungan hidup merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi di
berbagai belahan dunia. Keadaan ini sebanarnya sudah sejak lama terjadi, tetapi kurang
mendapat perhatian. Jika dibandingkan dengan masalah sosial lain seperti keadilan,
perdamaian, hak asasi manusia, dan lain-lain, keprihatinan akan lingkungan hidup di
kalangan gereja baru muncul kemudian. Buktinya hasil konsili Vatikan II (Gaudium Et Spes,
1965) sudah memberi perharian serius terhadap masalah keadilan dan perdamaian.
Sebaliknya, dalam dokumen Gaudium Et Spes tidak ditemukan perhatian terhadap
lingkungan hidup, atau pun ekologi. Nampaknya pada waktu itu, masalah lingkungan hidup
belum sungguh disadari oleh gereja sebagai masalah yang mendesak untuk ditangani. Hal ini
juga sebagai bukti bahwa ekoteologi belum sungguh dikembangkan. Lingkungan hidup
belum menjadi bagian hakiki refleksi para teolog.32
Gereja mulai meyadari pentingnya mempedulikan lingkungan ketika ada tulisan
dari sejarahwan bernama Lynn White: The History Roots of Our Ecological Crisis. Ia
memulainya dengan mengajukan pertanyaan “Did christianity tell people about their
relation with environment?” (Dapatkah orang percaya berbicara kepada orang lain tentang
hubungan mereka dengan lingkungan)? Lebih lanjut isu ini mulai dibahas pada tahun 19701998 dari gereja baptis di amerika sampai Paus Roma katolik, dengan isu terkait dan krisis
ekologi: sebuah tanggungjawab sejalan dengan hal tersebut respon dewan gereja-gereja se32
Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan. Kanisius.
(2008:Yogyakarta), 31
30
dunia, mengangkat dan mendeklarasikan isu ini dengan memahami bahwa krisis lingkungan
merupakan bagian dari penatalayanan gereja.33
Dalam usaha itu, maka kita akan diarahkan pada beberapa hal penting dan
mendasar, antara lain sebagai berikut:
2.5.1 Teologi Penciptaan
Upaya pendasaran teologi terhadap lingkungan hidup mengalami
perjalanan yang panjang. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat dari
para teolog. Beberapa teolog memandang Kejadian 1:26-28 sebagai dasar teologi
dari hubungan manusia dan lingkungan hidupnya. Tetapi terhadap teks ini ada
beberapa catatan penting yang harus diperhatikan supaya teks ini tidak dijadikan
sebagai dasar untuk upaya pengrusakan lingkungan hidup secara tidak
bertanggung jawab. Pertama, kata ‘berkuasa’ harus dimengerti berdasarkan
konteks terdekat Kejadian 1. Artinya kata ini harus dipahami dalam kaitan dengan
konsep tentang berkat (ayat 28a) dan tentang pembagian antara manusia dan
binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata berkuasa (raddah) disini tidak
boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan atau perlakuan keras dan kasar,
melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut
sesuai pula dengan Raja-Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas
mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera.34
33
Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection (Santa Barbara
California: Praeger, 2010), 15-16.
34
Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan. Kanisius.
(2008:Yogyakarta), 33.
31
Demikian pula dengan kata “menaklukkan” (kabbas) tidak boleh
dimengerti secara negatif tetapi harus dimengerti secara positif (mengolah dan
mengerjakan). Jika Kejadian 1 dimengerti seperti ini maka kejadian 1 tidak bisa
dijadikan dasar untuk membenarkan tindak eksploitasi alam secara tidak
bertanggung jawab. Manusia berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai
wakil Allah, wazir atau kalifah yang bertanggung jawab atas bumi dan segala
makhluknya.35
Tetapi penafsiran seperti ini mendapat protes dari beberapa teolog.
Mereka melihat bahwa gambaran tentang manusia sebagai pengurus alam semesta
serta penghuninya dianggap timpang. Ide tentang Raja-Timur Tengah Kuno yang
sering dipakai untuk mendasarkan interpretasi menurut para ahli sebenarnya
ambigu. Memang ada sisi pemeliharaan tetapi ada pula sisi despotisme/kesewengwenangan. Karena itu, ayat 28 memiliki makna ganda: Manusia di satu pihak
memang pelindung, tetapi juga memiliki sifat agresif-menguasai; di satu pihak
pemelihara tetapi juga harus senantiasa siap membendung kekacauan. Allah
Pencipta sendiri memang menjaga keharmonisan alam, tetapi itu juga harus
terjadi dengan membendung berbagai bahaya (khaos, gelap gulita) yang
mengancam kosmos. Penafsiran kedua mendasarkan pendapat mereka pada
kenyataan geografis, keadaan hidup yang keras di wilayah Kanaan. Lingkungan
hidup di Palestina adalah lingkungan hidup yang keras. Orang-orang harus
berjuang melawan kekeringan, binatang liar dan lain-lain.36
35
36
Ibid., 34
Ibid., 34
32
Lebih lanjut, Jurgen Moltmann menyampaikan kritik terhadap upaya
penafsiran ulang Kejadian 1 karena menurutnya masih terlalu antroposentris.
Memang sudah ditegaskan bahwa tugas manusia adalah memelihara dan bukan
merusak alam. Tetapi pusat perhatian tetap diberikan kepada manusia. Dunia
dilihat sebagai milik manusia. Karena itu, Moltmann menegaskan bahwa mahkota
karya penciptaan sebenarnya bukan manusia melainkan sabat yaitu kegembiraan
Allah atas segala karya ciptaan-Nya sendiri yang baik.37
Dalam perspektif hubungan antara sains dan iman serta teologi,
Moltmann menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia
sungguh sebagai ciptaan Allah. Hanya dengan demikian ciri antroposentris
pandangan kristiani tentang realitas dapat direlatifkan. Konsep tersebut memuat 4
unsur berikut: 1) Sebagai ciptaan dunia ini bukan sesuatu yang ilahi dan karena
itu tidak perlu disembah. Di lain pihak dunia juga bukan sesuatu yang jahat pada
dirinya sendiri, sehingga tidak perlu ditakuti; 2) Bila dunia dipahami sebagai
ciptaan maka relasi dikotomis subjek-objek dalam sains dapat diatasi. Baik
realitas yang merupakan objek sains maupun manusia dengan subjektivitasnya
adalah ciptaan Allah. Akal budi dan kehendak manusia juga bersifat kontingen
dan karena itu tidak boleh dimutlakkan; 3) Menurut iman Kristen Allah adalah
pencipta surga dan bumi, segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Realitas yang diketahui manusia (melalui sains) tidaklah mutlak melainkan
hanyalah sebagian saja dari realitas. Bahkan, manusia sendiri sebagai subjek sains
hanyalah bagian dari ciptaan yang kelihatan. Penegasan bahwa dunia adalah
ciptaan Allah menolak klaim saintisme tentang keluasan makna realitas; 4) Dasar
37
Ibid., 35
33
biblis yang diusulkan Moltmann untuk paham dunia sebagai ciptaan adalah Roma
8:19-21.
Teks ini lebih dekat dengan keprihatinan yang hidup dalam masyarakat
kontemporer, masyarakat yang mengalami dunianya dengan penuh kekhawatiran
tetapi sekaligus dengan harapan. “Karena seluruh makhluk telah ditakhlukkan
kepada kesia-siaan.. tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga
akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemuliaan
anak-anak Allah”. Berdasarkan pemahaman ini dan kritiknya terhadap pandangan
antroposentris, Moltman menekankan Sabat sebagai akhir dan puncak dari
penciptaan (bukan penciptaan manusia). 38 Pemikiran Moltman ini didukung oleh
pendapat Robert P. Borrong yang mengatakan bahwa Kita perlu memelihara
lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang
telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk
menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga
sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan
Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak
lain dari ibadah kita kepada Allah.39
Lebih lanjut Fred Van Dyke dalam bukunya Beetwen Earth and Heaven
mengemukakan bahwa kita perlu memahami kembali lingkungan sebagai
anugerah penciptaan atau creation dari Allah kepada manusia sebagai bagian dari
tradisi sejarah kekristenan yang harus diketahui dan dimaknai kembali. Karena
38
Ibid., 36
Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman;
Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998).
39
34
sejarah tradisi tentang penciptaan tersebut merupakan landasan dasar kita dalam
memahami makna dan value atau nilai-nilai yang mengarahkan orang percaya
untuk dapat bertanggungjawab dengan alam ciptaan Allah. Karena tanpa sejarah
dari tradisi-tradisi kekristenan ini, orang percaya tidak akan tahu di mana
posisinya sekarang berada dalam membahas tentang masalah masalah
lingkungan.40
Fred Van Dyke mencoba menghubungankan antara apa yang dipercayai
dalam iman Kristen lewat tradisi-tradisi yang ada dan memandang lingkungan
sebagai penatalayanan, yang mana etika ini merupakan bagian dari pengajaran
gereja, baik teologinya, sejarah dan praktik kehidupan orang percaya di masa lalu
dan terhadap keprihatinannya saat ini sebagai bentuk penatalayanan gereja yang
mewujudkan misi Allah di dunia lewat lingkungan yang berbicara melalui
komunitas gereja itu sendiri terhadap dunia.41 Oleh karenanya penekanan yang
pertama terkait dengan intrinsic value atau nilai dari dalam diri terhadap bahaya
kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang berkaitan dengan aktivitas
manusia.42
Lebih lanjut secara teologis, penekananya ada pada apa yang Allah
ciptakan menurut kesaksian dalam kitab Kejadian, bahwa apa yang diciptakan
Allah di bumi ini sebagai sesuatu yang baik adanya. Hal ini kemudian, menjadi
dasar etis untuk membangun nilai-nilai kesadaran dari dalam diri setiap orang
40
Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection (Santa Barbara
California: Praeger, 2010), Vii-Viii.
41
Ibid., 20-23.
42
Ibid., 2.
35
percaya sebagai salah satu pemahaman etika terkait dengan lingkungan, 43 dalam
posisi penciptaan oleh Allah sebagai nilai intrinsiknya atau intrinsic value. Hal ini
bukan menyangkut apa yang Allah rasakan tetapi menurut Dyke lebih kepada
kualitas yang diciptakan oleh Allah itu sendiri dalam kitab Kejadian sehingga
memperkuatnya. Selain itu, hal tersebut juga menurutnya kata manusia adalah
gambaran Allah “image” merujuk atau merepresentasikan pada makna royal yang
mana menjadi semacam perintah agar manusia bertindak sesuai dengan kehendak
Allah sehingga teks tersebut menyatakan bahwa Allah membuat manusia menjadi
wakil dari dirinya untuk ciptaan non-manusia dan akan bertindak melalui mereka
untuk mencapai tujuan yang Allah maksudkan.44
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa,
gereja
sebenarnya
mempunyai sejarah yang panjang terkait dengan lingkungan, dimulai dari
Perjanjian Lama-Perjanjian Baru yang telah dimaknai oleh orang-orang Kristen
lewat komunitas gereja yang mana hal ini dibangun dari dalam diri setiap anggota
orang percaya. Sehingga lewat iman dan prakteknya dapat bertindak secara etis
untuk memenuhi maksud dari apa yang Allah ciptakan di dalam dunia bagi
manusia dan seluruh alam ciptaan demi kemulian nama-Nya dalam rangka
melaksanakan tugas dan tanggungjawab penatalayanan gereja secara holistik.
2.5.2 Peranan Kitab Suci dalam Ekologi
Kenyataan mengenai kondisi lingkungan yang mengalami kerusakan
yang luar biasa seperti, pencemaran udara, air, perusakan dan erosi tanah,
43
44
Ibid., 50-53.
Ibid., 54.
36
penebangan pohon dan penggundulan hutan, serta pemburuan satwa. Krisis
ekologi yang terjadi ini tidak hanya mempengaruhi segi-segi material planet bumi
ini, melainkan juga mempengaruhi bidang-bidang kehidupan lain yakni, ekonomi,
politik, hidup keagamaan, sosial, moral, baik secara perorangan maupun kolektif
dalam hidup bersama. Ketika berbicara ekologi fisik/alamiah, ekologi manusiawi,
ekologi sosial, ekologi ekonomi dan seterusnya, semuanya ini saling berhubungan
dan saling mempengaruhi.45
Dengan melihat kenyataan seperti ini, maka diperlukan cara berteologi
yang baru. Kita perlu melihat kembali cara berteologi kita selama ini yang hanya
berpusat pada sejarah manusia, sedangkan keadaan dan proses pergantian alam,
lingkungan hidupnya jarang dijadikan sasaran pemikiran. Pandangan teologi yang
dualistic dan bersifat berat sebelah itu jauh dari isi credo kita tentang kebangkitan
badan. Karena hal-hal kerohanian saja yang diutamakan, padahal sebenarnya
terdapat sumber tradisi ajaran yang cukup kaya mengenai ciptaan bumi yang kita
peroleh dari ajarah Perjanjian Lama seperti dalam Kejadian, Deutero-Yesaya,
Mazmur dan sastra kebijaksanaan. Makna dan peranan inkarnasi Sang Sabda
kurang dikaitkan dengan masalah lingkungan hidup.
Hal ini baru disadari sejak 40 atau 50 tahun terakhir ini oleh dorongan
Pierre Theilhard de Chardin SJ (1881-1955), sebagai seorang imam dan ahli
paleontology, jarak perhatian kepada dunia manusia dan dunia alam diperdekat.
Maka timbullah usaha menyusun kembali suatu teologi baru tentang ciptaan
sebagai hasil kerja sama antara filsuf, teolog, ilmuwan, cendekiawan dan para
45
Amatus Woi. Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi: Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan
Ciptaan. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 55
37
penganut tradisi rohani Ibrani dan Kristen. Dalam dialog interdisipliner mengenai
masalah lingkungan, peranan Kitab Suci sebagai sebagai sumber informasi ajaran
iman semakin disadari kebutuhannya.
2.5.3 Allah Pencipta Lingkungan Hidup
Pemahaman tentang Allah sebagai pencipta lingkungan hidup sangat
menentukan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya. Keyakinan seperti ini
telah ditunjukkan oleh orang-orang Israel yang memandang bahwa bumi yang ada
merupakan ciptaan Allah yang mengasihinya (Kej. 1:1). Hal ini berdampak pada
pemahaman mereka bahwa bumi merupakan lingkungan hidup atau tempat
(oikos) hidupnya, seperti yang terungkap dalam Kitab Suci. Bumi tidak ada
dengan sendirinya, apalagi diadakan oleh roh jahat. Sebab “Allah melihat bahwa
semuanya itu baik” (Kejadian 1:13, 18, 21, 26). Kepercayaan umat Israel bergema
dalam banyak naskah Perjajian Lama, khususnya dalam Mazmur 104, yaitu
Tuhan diagungkan dalam segala ciptaan-Nya.46
Manusia dan semua makhluk hidup lainnya, bahkan seluruh planet bumi
ini, bersumber dari Allah. Allah yang menciptakannya dan Allah menghendaki
seluruhnya berada, topang- menopang, dan saling membutuhkan. Maka dasar dari
perspektif teologi Kristen mestinya bersifat teosentris, artinya berpusat pada Allah
sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup bukan saja karena
kita membutuhkan sumber-sumber di dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah
kita (antroposentris), bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi
46
Amatus Woi. Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi: Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan
Ciptaan. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 56.
38
seperti hak asasi manusia (biosentris), juga bukan karena bumi ini merupakan
suatu ekosistem yang memiliki nilai intrinsik (ekosentris); kita perlu menjaga dan
memelihara lingkungan hidup karena lingkungan hidup adalah ciptaan Allah,
termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat dan kemuliaan-Nya.47
Karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etika lingkungan yang telah
dijabarkan di atas maka dibutuhkan suatu sarana untuk mewujudkan itu sampai pada praktis.
Salah satu sarana yang efektif adalah pendidikan lingkungan hidup.
2.6 Pendidikan Lingkungan Hidup
Sebelum membahas mengenai pendidikan lingkungan hidup, maka akan dibahas
terlebih dahulu sejarah singkat dan perkembangannya defenisi dari lingkungan, ilmu lingkungan
dan pendidikan lingkungan hidup, yaitu, sebagai berikut:
2.6.1 Sejarah Singkat Pendidikan Lingkungan
Pada awalnya, pendidikan lingkungan merupakan dua hal yang berdiri sendiri. Di
mana dua kata ini memiliki maknanya masing-masing. Karena itu, lingkungan dan
pendidikan tidak digunakan sebagai kata konjungsi satu sama lain sampai pertengahan
1960an. Evolusi dari pendidikan lingkungan memiliki gabungan yang signifikan dari
beberapa pengaruh yang kuat dari beberapa tokoh abad ke-18 dan 19 yakni para pemikir,
penulis dan pendidik terutama Goethe, Rousseau, Humboldt, Haeckel, Froebel, Dewey dan
Montessori. Sementara itu pioneer yang berperan dan berkontribusi terhadap lingkungan dan
47
Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman; Yayasan
Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998).
39
prakteknya, menurut banyak penulis mengatribusikan pendidikan lingkungan di UK kepada
professor Botany dan perencana, pengatur kota dan negara dari Skotlandia Patrick Geddes
(1854-1933). Ia yang pertama kali membuat hubungan antara kualitas lingkungan dan
pendidikan sekaligus merupakan pencetus metode survey yang penekanannya adalah dengan
belajar langsung dari lingkungan pada tahun 1892.48
Pada perkembangan-perkembangan awalnya, didirikan dewan pendidikan
lingkungan atau Council Environment Education (CEE) bertujuan membahas tiga hal dalam
penelitian dan hasil publikasi yang dilakukan yakni, pengembangan: tujuannya, untuk
memfasilitasi pengembangan
teori dan praktik dari pendidikan lingkungan. Promosi:
bertujuan untuk mempromosikan konsep pendidikan lingkungan dan memfasilitasi
penerapannya di semua bidang pendidikan. Review: bertujuan untuk memantau kemajuan
pendidikan lingkungan dan menilai efektivitasnya. Di tahun 1968 UNESCO, dalam
konferensi yang diselenggarakan menyuarakan agar dikembangkannya kurikulum dan
materi pengajaran tentang lingkungan pada setiap level pendidikan, untuk dipromosikan
pelatihan secara teknis dan menstimulasi kepedulian secara global terhadap masalah
lingkungan.49 Hal ini kemudian menghasilkan pendefenisian terhadap pendidikan
lingkungan hidup.
Sebelum masuk pada penjelasan mengenai defenisi pendidikan lingkungan hidup,
berikut beberapa pendapat tentang defenisi lingkungan hidup atau pun ilmu lingkungan.
48
Joy A Palmer, Environmental Education in 21 Century Theory, practice and promise
(London:Routledge, 2003), 4.
49
Ibid., 5.
40
2.6.2 Pengertian Lingkungan Hidup dan Pendidikan Lingkungan
Lingkungan adalah gabungan semua hal di sekitar kita yang mempengaruhi hidup
kita. Hal-hal yang mempengaruhi hidup kita adalah suhu, udara, air dan sebagainya.50
Broadly berpendapat bahwa, lingkungan adalah jumlah total dari semua kondisi dan
pengaruh yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan dari semua organisme di
bumi.51 Di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Lingkungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yaitu UU no. 32 tahun 2009, memberikan pengertian lingkungan hidup
sebagai berikut: Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.52 Defenisi
lain yang hampir sama dengan isi UU Perlindungan Lingkungan disampaikan oleh
Munadjat, yang melihat secara sederhana, bahwa lingkungan dapat diartikan sebagai semua
benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya,
yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup
serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.53
Dalam memahami lingkungan hidup, banyak orang sering menyamakan ilmu
lingkungan dengan ekologi. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Menurut Wiryono,
ekologi merupakan dasar dari ilmu lingkungan, atau ilmu lingkungan merupakan aplikasi
dari ekologi. Istilah ekologi ditemukan oleh Ernest Haeckel Zoologiwan (ilmuan yang
mempelajari ilmu hewan) dari Jerman, di tahun 1866, tetapi sampai dengan pertengahan
50
Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan. PERTELON. (2013:Bengkulu), 1.
Anil Kumar De and Arnab Kumar de, Environmental Education. New Age International (P) Limited.
(2004:New Delhi), 1.
52
Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan. PERTELON. (2013:Bengkulu), 1.
53
Munadjat Danusaputra, Hukum Lingkungan, Buku I Umum. Binacipta. (1985:Jakarta), 67.
51
41
abad 20 cabang ilmu ekologi belum banyak dikenal orang. Istilah ekologi baru terkenal
setelah gerakan penyelamatan lingkungan tumbuh secara luas di negara-negara maju pada
dasawarsa 1960-an. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat atas masalah
lingkungan, istilah ekologi menjadi semakin populer, tetapi juga semakin salah digunakan.54
Ada banyak defenisi tentang ekologi, tetapi yang paling banyak dipakai adalah
ketika ekologi dilihat sebagai studi tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Menurut Krebs 1978, defenisi ini terlalu luas, karena semua macam studi
dapat masuk di dalamnya. Dia lebih sepakat dengan defenisi yang dibuat oleh Andrewarth
yang mendefenisikan ekologi sebagai studi ilmiah tentang distribusi dan kelimpahan
(abundance) organisme. Menurut Krebs, defenisi Andrewarth ini lebih baik, tetapi ada satu
kata kunci yang kurang, yaitu interaksi. Oleh karena itu Krebs menyempurnakan defenisi di
atas menjadi, ekologi adalah studi ilmiah tentang interaksi yang menentukan distribusi dan
kelimpahan organisme.55
Terdapat beberapa pandangan atau pengertian tentang ilmu lingkungan yang
dibuat oleh beberapa ahli. Botkin and Keller mendefenisikan bahwa ilmu lingkungan adalah
sekelompok ilmu-ilmu yang mencoba menjelaskan bagaimana kehidupan di bumi
dilestarikan, apa yang menyebabkan persoalan lingkungan dan bagaimana persoalan ini
dapat diselesaikan. Menurut mereka, banyak disiplin ilmu (sains) penting bagi ilmu
lingkungan, yaitu biologi (khususnya ekologi), geologi, hidrologi, klimatologi, meteorology,
54
55
Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan.… 2-3.
Ibid., 3.
42
oseanologi (ilmu kelautan), dan ilmu tanah. Mereka juga berpendapat bahwa ilmu
lingkungan juga berkaitan dengan ilmu bukan sains yakni filsafat dan ekonomi.56
Berdasarkan perkembangannya yang sedemikian rupa maka ilmu lingkungan
secara spesifik telah berkembang hingga menjadi pendidikan lingkungan hidup. Secara
khusus pembahasan mengenai teori pendidikan lingkungan berangkat dari berbagai isu
lingkungan hidup yang muncul dan terjadi dalam kehidupan masyarakat diberbagai belahan
dunia. Isu lingkungan hidup meliputi masalah-masalah seperti, pertumbuhan penduduk,
kemiskinan, ketidaksama rataan, hutan tropis, masalah kekeringan, air bersih, laut dan
pantai, atmosfir dan iklim dan seterusnya. Dengan melihat masalah-masalah ini, maka
muncullah berbagai alternatif teori dan praksis yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan
lingkungan dari kerusakan yang lebih serius lagi.
Pendidikan lingkungan hidup didefenisikan sebagai proses mengenali nilai-nilai
dan mengklarifikasi konsep-konsep untuk mengembangkan keterampilan dan sikap yang
diperlukan untuk memahami dan menghargai keterkaitan antara budaya manusia dan
lingkungan fisiknya. Pendidikan lingkungan juga memerlukan praktik di dalam pembuatan
keputusan, dan perumusan kode perilaku tentang isu-isu yang berfokus pada kualitas
lingkungan hidup (IUCN, 1971). Defenisi ini diperkenalkan lebih lanjut kepada dunia
melalui konferensi workshop yang diadakan di UK, India, Belanda, Canada, Kenya, dan
argentina dan kepedulian ini bertambah dan merambah sampai ke Nevada, USA.57
Oleh karena itu pendidikan lingkungan hidup ini sangat terkait dengan berbagai
segi kehidupan manusia baik di perkotaan, maupun di daerah-daerah yang dapat dipandang
56
57
Ibid., 4.
st
Joy, A. Palmer, Environmental Education in the 21 Century.…. 7.
43
dari berbagai sisi seperti politik, ekonomi dan sebagainya. Apalagi, pendidikan lingkungan
mencoba mengkaji kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia karena ingin
mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan alasan pembangunan daerah namun sering
mengorbankan lingkungan sebagai tanggung jawab sosialnya.
2.6.3 Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hingga Abad ke-21
Pada tahun 1972 dalam konferensi Human Environment
yang diadakan di
Stockholm Swedia menghasilkan deklarasi: “..education in environmental matters for the
younger generation as well as adult.. giving due consideration for the underprivileged is
essential.58 Keputusan mendasar dari pertemuan ini merekomendasikan disahkannya
pendidikan lingkungan, sebagai kebutuhan secara international yang penting. Karena
konferensi ini merefleksikan peningkatan ketertarikan terhadap lingkungan di tahun 1970an.
Hal ini menghasilkan dibentuknya United Nations Environment Program (UNEP) yang
didirikan bersama-sama dengan UNESCO di tahun 1975, dan pertama kali diluncurkan pada
workshop
International
Environmental
Education
Program
di
Belgrade
oleh
UNESCO/UNEP. IEEP ini menghasilkan pernyataan pemerintah dunia internasional terkait
pendidikan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk menetapkan tujuan, objek, konsep kunci,
dan prinsip-prinsip, dalam sebuah dokumen yang dipersiapkan dalam pertemuan yang
diketahui sebagai “The Belgrade Charter-a Global Framework for environmental
education’. Secara ringkas berikut ini pokok-pokok pikirannya:
58
Ibid., 7.
44
1.
Membantu menyelesaikan dan mengembangkan kepedulian dan fokus tentang masalah
ekonomi, sosial, politik dan ekologi secara inter-dependence di daerah perkotaan dan
pedesaan;
2.
Menyediakan kesempatan kepada setiap orang untuk memperoleh pengetahuan, value,
sikap, komitmen dan kemampuan untuk menjaga dan mengembangkan lingkungan;
3.
Menciptakan pola dari perilaku yang baru pada setiap individu, kelompok, dan
masyarakat sebagai satu keseluruhan terhadap lingkungan.
Indikator kunci ini diterjemahkan ke dalam kebijakan pada tingkat nasional, di
dalam setiap negara di mana pendidikan lingkungan belum terintegrasi dan dikembangkan
(Tolba 1977). Perdebatan dan perencanaan yang dimaksudkan dilanjutkan dalam perdebatan
di Tbilisi, Georgia USSR pada oktober 1977. Disini pertama kalinya UNESCO sebagai
pemerintah internasional mengadakan konferensi terhadap pendidikan lingkungan yang
diselenggarakan oleh anggota delegasi berjumlah 66 orang dari UNESCO bersama-sama
beberapa organisasi swasta (NGOs).
Pertemuan ini merekomendasikan aspek pendidikan lingkungan secara formal
maupun informal berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan pada konferensi
Berlgrade. Hal ini bertujuan menyusun kerangka kerja untuk sebuah konsesus international
yang mana tanpa memiliki pengaruh yang berkaitan dengan pengembangan dari pendidikan
lingkungan di sekitar bumi. Pada konferensi di Georgia Tbilisi, 1977 ini telah menghasilkan
blue print untuk pengembangan pendidikan lingkungan di banyak Negara hingga saat ini.
Konferensi selanjutnya dilakukan di Rio De Janero Brazil, di mana pengaruhnya sampai ke
Asia seperti China, Srilangka Australia dengan berbagai konteks perkembangan pendidikan
45
lingkungannya59 dengan tema yang berbeda berdasarkan konferensi-konferensi sebelumnya
yang kemudian telah melibatkan banyak negara pada tahun 1990an terkait masalah
lingkungan sebagai masalah global yang telah melibatkan berbagai pihak.
Sementara itu, dalam pengembangan dasar pada sains dan pendekatan
interdisipliner,
pendekatan
terhadap
pendidikan
lingkungan
pertama-tama
mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari individu sebagai subjek. Pada sebuah publikasi
pendidik dari depertemen pendidikan di Skotlandia tahun 1974, beberapa catatan penting
yang ditekankan adalah:60
1. Secara formal maupun informal pendidikan harus menggunakan secara lebih dalam
tempat (lokal) pada suatu lingkungan, untuk menyediakan
pengetahuan, pelatihan,
mengembangkan kemampuan (skills) secara tepat dalam pengalaman.
2. Pelajar dan orang-orang muda, harus diperkenalkan konsep dan value tentang
lingkungan, yang diberikan secara praktis dalam membuat keputusan dan memberikan
kesempatan dan melibatkannya secara personal.
3. Pelajar dan orang-orang muda harus diberikan pelatihan untuk dapat menilai dan
mengkritik banyak pengetahuan yang diekspresikan saat ini terhadap isu lingkungan
hidup.
4. Pendidikan lingkungan harus menyerap kurikulum baik itu dari dalam dan luar sekolah;
5. Setiap sekolah harus memiliki pengaturan yang memadai untuk perencanaan dan
implementasi sebuah program dari pendidikan lingkungan;
59
60
Ibid., 17,171-224.
Ibid., 9.
46
6. Membuat pendidikan lingkungan menjadi subjek yang tidak terpisah;
7. Program pendidikan lingkungan dari sekolah dasar sampai menengah harus berkelanjutan
ke dalam proses pendidikan informal dalam kehidupan;
8. Adanya upaya yang harus dibuat untuk mengkoordinasikan total program dari
pendidikan lingkungan.
Dalam proses pelaksanaan pendidikan lingkungan secara formal di UK, terdapat
tiga kategori strategi pengajarannya yang kompleks:61
1. Menggunakan lingkungan sebagai sebuah media untuk pendidikan.
2. Menggunakan lingkungan sebagai subjek investigasi/percobaan.
3. Pemeliharaan dan perbaikan dari lingkungan sebagai goal atau tujuan dari pendidikan.
Rekomendasi dari Pertemuan yang dilakukan di Tbilisi tahun 1978 terkait
pendidikan lingkungan adalah:62
Pendidikan lingkungan merupakan sebuah proses seumur hidup.
Pendidikan lingkungan merupakan bidang interdisipliner yang holistik secara alami dan
sebagai sebuah aplikasi;
Pendidikan lingkungan adalah sebuah pendekatan pendidikan yang menyeluruh dari pada
hanya sebagai sebuah subjek;
61
62
Ibid., 10.
Ibid., 10-11.
47
Fokusnya terletak pada inter-relationship dan interconnectedness antara manusia dan
sistem alami;
Memandang lingkungan secara keseluruhan yakni mencakup aspek sosial, politik,
ekonomi, teknologi, moral, aesthetic dan aspek spiritual;
Mengakui bahwa energi dan material yang ada di alam saat ini berada dalam keadaan
terbatas.
Mendorong partisipasi di dalam pengalaman belajar;
Menekankan tanggung jawab yang aktif;
Menggunakan berbagai teknik dari model belajar-mengajar. Dengan penekanannya pada
aktivitas praktik dan pengalaman;
Prihatin dengan persoalan lokal dan dimensi global, serta mempertimbangkan dimensi
masa lalu, saat ini dan masa yan akan datang;
Meningkatkan situasi belajar yang didukung oleh organisasi dan struktur dari institusi
secara keseluruhan.
Mendorong klarifikasi dari value atau nilai dan pengembangan nilai-nilai yang sensitif
bagi lingkungan;
Prihatin dan fokus dengan pembangunan suatu etika lingkungan.
Rekomendasi-rekomendasi ini merupakan hal-hal penting yang perlu dipertimbangkan
dalam mengembangkan pendidikan lingkungan serta menentukan apa yang menjadi
tujuan dari pendidikan lingkungan itu sendiri.
48
2.6.4 Tujuan Pendidikan Lingkungan
Berdasarkan sejarah perkembangan pendidikan lingkungan dan perdebatanperdebatan yang dilakukan, maka di tetapkanlah tujuan pendidikan lingkungan.
Penetapan ini didasarkan pada kurikulum nasional untuk sekolah di Inggris. Adapun
tujuan utama atau goal dari pendidikan lingkungan pada pertemuan di Tbilisi yang mana
merupakan tulisan akhir yang direfleksikan dan diidentifikasi pada pertemuan di
Belgrade, Yakni untuk:63
1. Mendorong kesadaran dan keprihatinan tentang masalah ekonomi, sosial, politik
dan ekologi yang saling berkaitan di perkotaan dan daerah pedesaan.
2. Menyediakan kesempatan bagi setiap orang untuk memperoleh pengetahuan,
values atau nilai, sikap dan komitmen dan kemampuan yang dibutuhkan untuk
memproteksi dan meningkatkan lingkungan hidup.
3. Menciptakan pola perilaku yang baru bagi setiap individu, kelompok, dan
masyarakat secara keseluruhan, bagi lingkungan (UNESCO 1977).
Pada perkembangan selanjutnya pandangan tentang tujuan utama dari National
Association for Environmental Education (UK) 1976 yang kemudian direvisi pada tahun
1982, pada 1992 menyusun target pembelajaran atau performa objektif untuk semua sekolah,
umur, dan kelompok. sebagai contohnya;64 Tujuan dalam pendidikan lingkungan bagi sekolah
dasar dan menengah usia (5-12) menekankan pada;
63
64
Ibid., 11.
Ibid., 12-13.
49
a. Wilayah atau lokasi: Berkaitan dengan konteks dasar pada lingkungan lokal dan konteks
pengalaman di tingkat nasional.
b. Atmosfer dan kosmos: Hal ini berkaitan dengan gambaran terkait iklim pada lingkungan
lokal dan mengapresikan manfaatnya bagi produksi makanan. Artinya mengakui peran
atmosfer di dalam kehidupan bagi tanaman, dan hewan serta dapat mengidentifikasi
keadaan iklim dan pola vegetasi di dunia.
c. Bentangan alam, tanah dan mineral: Artinya dapat mengetahui bahwa tanah sangatlah
dinamis; (1) proses pembentukannya, (2) Dihuni oleh makluk hidup dan mendukung
pertumbuhan tanaman, (3) dapat terkikis atau menjadi subur. Sehingga dapat
diidentifikasi tipe-tipe yang berbeda dari tanah, dan melihat interaksi antara tanah dan
mahkluk hidup. Selain itu dapat memahami bahwa mineral itu sumber daya yang
terbatas. Karena itu, dapat menjadi poin penting pada sebuah peta pemahaman secara
umum dalam pengaturan dari landforms atau bentangan alam di Britain dan dunia.
d. Tumbuhan dan hewan: Pertama-tama pentingnya mengetahui melalui pengalaman variasi
dari tumbuhan dan hewan di lingkungan sekitar. Mengakui dan memahami hubungan
saling ketergantungan antara tanah, atmosfersebagai produsen, sedangkan tumbuhan,
hewan dan manusia sebagai konsumen. Mengetahui maksud dari rantai makanan di mana
penekanannya terletak pada pentingnya makanan dan jenisnya bagi manusia.
e. Air: Mengetahui pentingnya air bagi kehidupan sebagai sumber daya alami, mengetahui
siklus air serta sadar terhadap pencemeran air.
f. Manusia: Mengakui perbedaan dan kesamaan di antara manusia. Memahami bagaimana
manusia tinggal dan menggunakan lingkungan secara berbeda. Mengetahui tentang
50
berkurangnya penduduk di desa, sebagai fenomena dunia. Sadar terhadap pertumbuhan
pendudukan dan hal ini berhubungan dengan kualitas hidup.
g. Organisasi sosial: Belajar tentang tanggung jawab individu dan kelompok terhadap
lingkungan. Menggunakan pengalaman dengan lingkungan hidup untuk mendisiplinkan
diri. Mengakui para agen yang bekerja pada masalah-masalah lingkungan, dan mengakui
korporasi international yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan.
h. Ekonomi: Berkaitan dengan makanan, pakaian dan tempat tinggal yang dibutuhkan oleh
masyarakat yang berasal dari sumber-sumber yang bervariasi. Mengakui sumber-sumber
organisasi seperti, pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, manufaktur,
pelayanan publik, transportasi dan komunikasi.
i.
Athetics, etika, literacy, dan numeracy: Menggunakan pengalaman di lingkungan untuk
memperoleh kemampuan/skills. Membangun basis kosa kata dari istilah lingkungan.
Menggunakan seni visual dan musik untuk menggambarkan dan mengintepretasikan
variasi lingkungan. Mengembangkan sebuah apresiasi dari faktor seni dan desain di
dalam membangun lingkungan.
j. Membangun lingkungan: Mengakui perbedaan pembangunan dan daerah fungsional di
area lokal seperti (perumahan, tempat perbelanjaan, tempat kerja, tempat rekreasi) dan
mengetahui tempat pelayanan utama seperti (kantor polisi, pemadam kebakaran, rumah
sakit, dan lain-lain).
51
k. Energi: Mengakui perwujudan dari energi di dalam variasi bentuk yang dikontrol oleh
manusia. Menyadari energi itu datang dari matahari. Mengetahui asal dari bahan bakar
yang bersumber pada fosil (NAEE, 1976).65
Dengan demikian pokok-pokok pikiran yang disebutkan ini berlaku juga dalam
konteks pendidikan lingkungan baik secara formal pada level menengah maupun level atas.
Karena dalam perkembangannya terdapat beberapa penekanan pada pemahaman terhadap
pengetahuan
pendidikan
lingkungan,
pengembangan
kemampuan
atau
skill,
mengkomunikasikan pengetahuan tentang lingkungan yang mencakup masalah-masalahnya,
dan pendekatakan-pendekatan yang dilakukan untuk mengatur sikap dan partisipasi sebagai
kelompok pembuat keputusan maupun sebagai bagian personal dari respon pembuatan
keputusan bagi lingkungan.66 Lebih lanjut, secara ringkas oleh Palmer, dipetakanlah trend
kunci dalam pendidikan lingkungan sebagai berikut.67
1960an Nature Study
Pada tahun ini, perkembangan studi alam mempelajari tentang tumbuh-tumbuhan
dan hewan, dan physical system yang mendukungnya. Ini merupakan bidang pekerjaan dari
para ahli dengan berfokus pada biologi-geografi, dan lain-lain.
1970an berpusat pada studi lapangan atau outdoor/adventure education
Perkembangan pada tahun ini mengalami peningkatan di mana lingkungan alami
digunakan sebagai pengalaman pertama dalam pembelajaran. Studi ini berpusat pada studi
lapangan. Perkembangan lingkungan/pendidikan pada bidang ini berpusat di luar ruangan di
65
Ibid., 13.
Ibid., 18.
67
Ibid., 23.
66
52
mana sebagai pusat untuk mengembangkan kesadaran melalui aktivitas praktek dan
investigasi. Selain itu, ada juga pendidikan konservasi, di mana mengajarkan tentang isu-isu
terkait konservasi, dan studi-studi pedesaan. Studi ini merupakan studi tentang membangun
lingkungan/streetwork.
1980an Pendidikan secara Global
Pada tahap ini, terjadi pengembangan sebuah isu lingkungan yang lebih luas,
yakni pengembangan pendidikan lingkungan yang memiliki
sebuah dimensi politik dan
Value education atau nilai-nilai pendidikannya. Hal ini bertujuan untuk mengklarifikasi nilainilai dari pengalaman individu yang terkait dengan lingkungan. Selain itu pada tahun-tahun
ini juga fokusnya terletak pada action research atau penyelesaian masalah/problem-solving.
Murid-murid dibimbing untuk memecahkan masalah dan melibatkannya di bidang kerja yang
terkait dengan lingkungan.
1990an Pemberdayaan atau Empowerment
Pada perkembangan ini, fokusnya terletak pada komunikasi, yakni membangun
kapasitas, pemecahan masalah dan tindakan ditujukan kepada resolusi dari masalah-masalah
lingkungan sosial atau socio-environment. Selain itu, ada juga pendidikan yang
dikembangkan untuk suatu pembangunan masa depan. Penekanannya terletak pada partisipasi
dalam bertindak. Hal ini relevan atau berguna untuk merubah perilaku-perilaku dan
menyelesaikan masalah-masalah ekologis.
2000an komunitas dari sesama atau community of partners?
53
Pada tahap ini, anak-anak, pelajar, pengajar, NGos, dan politikus-bekerja
bersama-sama untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah sosio-ekologis.
Secara langsung dalam pembahasannya, Palmer berbicara dalam sejarah
pendidikan lingkungan dalam konteks United Kingdom, yang mana di dalamnya ia
mengutarakan juga keseluruhan sejarah perkembangannya termasuk aspek spiritual dalam
pengembangan pendidikan lingkungan. Namun demikian Palmer tidak terlalu berfokus pada
aspek spiritualnya karena aspek ini dibahas dengan menggunakan kata aesthetic (yang lebih
menekankan pada pengalaman di alam sebagai pengalaman spiritual setiap orang dalam
menikmati keindahan alam yang kemudian dipusatkan pada keyakinan iman setiap orang
berdasarkan kepercayaannya).68 Kemudian, hal ini juga dibahas dalam konteks pendidikan
yang terkait dengan kurikulum dan prakteknya yang melibatkan keseluruhan dimensi, baik
politik, sosial, ekonomi, dan berbagai ilmu lainnya yang terkait dengan lingkungan di tingkat
lokal, perkotaan, negara dan global secara sistematis.
Hal ini dipahami dan diklaim sebagai keprihatinan bersama dalam berbagai
struktur yang ada dan berbasis pada pengalaman individu dengan lingkungannya, kelompok,
dan sebagai respons tanggung jawab bersama dalam organisasi dan di dunia dalam proses
bagaimana manusia dapat berinteraksi dengan lingkungan. Selain itu, harus diakui juga bahwa
keberadaan lingkungan hidup sebagai penunjang kehidupan dalam pengalaman dapat
merubah sikap dan perilaku mereka terhadap lingkungan serta berupaya menjaga dan
merawatnya lewat pendidikan lingkungan yang memadai baik secara formal maupun informal
dan berkelanjutan baik dari masa lalu, saat ini dan di masa depan.
68
Ibid., 23.
54
2.7 Kesimpulan
Berdasarkan seluruh penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa untuk menggumuli
dan mengkaji pendidikan lingkungan hidup dalam kehidupan bergereja perlu untuk melihat
kembali teologi sosial yang ada dalam gereja. Berdasarkan teologi sosial tersebut gereja akan
menolong gereja untuk lebih memahami fungsinya sebagai salah satu lembaga sosial yang
berperan penting juga untuk menggumuli masalah-masalah sosial yang ada, termasuk di
dalamnya masalah lingkungan hidup. Ketika sudah menyadari fungsi sosialnya, maka gereja juga
perlu memikirkan etika lingkungan sebagai salah satu dasar penting dalam menentukan sikap dan
tindakan terhadap lingkungan hidup disamping memikirkan dasar penting lainnya yakni dasar
teologi lingkungan hidup. Dengan demikian, maka gereja pun akan dapat melaksanakan
tanggung jawab sebagai bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan melalui sarana yang baik
dan efektif yakni pendidikan lingkungan. Melalui pendidikan lingkungan gereja akan semakin
ditopang dalam hal-hal praktis yang dapat dilakukan dalam mewujudkan kepedulian terhadap
lingkungan hidup.
55
Download