Bab 2 Pendidikan Lingkungan Hidup Sebagai Tanggung Jawab Gereja 2.1 Pendahuluan Pada bab ini, penulis akan menyajikan teologi sosial, gereja sebagai lembaga sosial, etika lingkungan hidup, teologi lingkungan hidup, dan pendidikan lingkungan hidup dalam menanggapi masalah lingkungan hidup yang terjadi hingga kini. 2.2 Teologi Sosial Teologi Kristen merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan komunitas orang beriman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kesaksian hidup gereja. Teologi tidak saja dipandang sebagai refleksi iman dalam praksis gereja, tetapi juga mendorong praksis gereja itu sendiri dalam konteks konkret. Karena itu, teologi bukan hanya merupakan pemikiran teoritistransendental, tetapi juga mengandung aspek dan bahkan sifat historis, praktis, dan kontekstual. Dengan kata lain, teologi di samping berfungsi kritis mengarahkan seluruh lapangan pengalaman orang beriman kembali ke horizon yang mutlak, juga sangat menentukan, ketika persekutuan orang beriman sebagai jemaat Kristen ingin mengungkapkan penghayatan dan kesaksiannya tentang Injil Yesus Kristus di tengah situasi dunianya yang konkret. Dalam perspektif semacam ini, dapat dikatakan bahwa teologi dihayati dan dikembangkan sebagai teologi sosial.1 Pemahaman mengenai teologi sosial merupakan sesuatu yang sangat penting. Dalam rangka gerakan keesaan gereja, pemahaman kembali tentang teologi sosial tidak hanya dikaitkan dengan hakikat teologi sosial pada dirinya, tetapi lebih jauh lagi dengan praksis panggilan dan pengutusan orang beriman di tengah situasi dunia konkret. Tugas panggilan dan pengutusan yang 1 Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 130. 13 harus mereka laksanakan bersama komunitas-komunitas orang beriman di seluruh muka bumi selalu diletakkan dalam rangka kebersamaan dengan kepentingan yang lain, dengan kepentingan masyarakat di sekitar, bahkan seluruh masyarakat di dunia.2 Itu artinya tugas panggilan dan pengutusan gereja tidak hanya berpusat pada satu kepentingan pribadi saja melainkan memiliki pengaruh bagi kepentingan umum lewat teologi yang dibangun dalam kehidupan bersama. Teologi sosial ini digambarkan sebagai cara bagaimana Allah yang mewahyukan diri sebagai Subjek diangkat menjadi subjek (manusia) yang berkepribadian, yang tidak hanya bersifat individual tetapi juga sosial. Mereka bekerja dan melayani bersama lingkungan sosial mereka. Bertolak dari hal ini, teologi apapun akan selalu mempunyai aspek, sifat, orientasi dan arah dasar yang sosial pula. Pada perkembangan selanjutnya, teologi sosial lebih dimengerti sebagai sebuah pemahaman teologis atau ajaran prinsip-prinsip teologis yang bersifat sosial. Schrey menyatakan bahwa teologi sosial dilihat sebagai sebuah usaha untuk mengembangkan lebih jauh etika sosial teologis, yang berangkat dari ajaran sosial Kristen. Pikiran dasarnya adalah bahwa semua kehidupan mempunyai segi-segi sosialnya, demikian juga dalam rahmat keselamatan Allah. Dunia ciptaan Allah mempunyai kesatuan sosial dalam kemanusiaan, yang pola dasarnya mengacu pada kesatuan Allah Tritunggal. Kepada-Nyalah tugas semua masyarakat diselaraskan dan dipertanggungjawabkan. Dalam rangka itu, sejarah keselamatan dapat dipahami sebagai sejarah sosial. Sebab, panggilan keselamatan Allah dalam cinta kasih tidak hanya ditujukan kepada perseorangan tetapi juga kepada seluruh masyarakat dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. 3 2 3 Ibid., 131. Ibid., 133. 14 Kegiatan praksis dari teologi sosial sudah dilaksanakan tidak hanya dalam kehidupan jemaat pertama tetapi sebelum penyaliban Yesus. Teologi sosial ini telah dikembangkan pada saat Yesus mengembara bersama para murid-Nya. Berdasarkan hal ini, praksis teologi sosial kemudian terus dikembangkan secara teratur dan sistematis oleh gereja, sehingga hal itu dirangkum dalam tri tugas gereja yakni marturia (bersaksi), koinonia (bersekutu), dan diakonia (melayani).4 Tetapi praksis teologi sosial ini biasanya hanya menyentuh pelayanan manusia terhadap sesamanya manusia. Semua arah pelayanan gereja hanya ditujukan kepada sesama manusia (antroposentris) dan Allah (teosentris). Karena itu satu kesadaran baru telah muncul dan berkembang pesat dalam cakrawala berpikir manusia, yakni bahwa lingkungan hidup atau ekologi dan alam ciptaan merupakan bagian yang utuh dalam risalah-risalah teologis, pemahaman dan penghayatan kerohanian umat manusia5 sehingga gereja sebagai salah satu lembaga sosial dapat menjalankan fungsinya dengan baik. 2.3 Gereja sebagai Lembaga Sosial Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Gereja memiliki lima model dalam melaksanakan tugas panggilannya. Dua dari lima itu adalah gereja dilihat sebagai institusi dan gereja sebagai pewarta. Gereja sebagai institusi merupakan pemahaman bahwa gereja dipandang sebagai suatu masyarakat yang cenderung untuk mengutamakan struktur kepemimpinan sebagai elemen formal dalam masyarakat. Pada dasarnya, pandangan ini mau menekankan aspek gereja sebagai sebuah lembaga yang di dalamnya ada struktur organisasi yang jelas dalam pembagian tugas dan kewajiban. Tugas dan tanggung jawab itu adalah untuk 4 Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 132. 5 Amatus Woi, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 13. 15 mengajar, menguduskan dan memimpin. Ketiga fungsi ini, merupakan pengarah bagi gereja khususnya orang-orang yang mendapatkan jabatan gerejawi untuk melakukan tugas itu dalam rangka mewujudkan kasih Tuhan di tengah-tengah kehidupan gereja. Penekanan penting dalam menjalankan tugas itu adalah melayani yakni menyalurkan ajaran dan rahmat Kristus sendiri.6 Karena itulah, maka penting juga untuk melihat model gereja sebagai pewarta. Gereja sebagai pewarta menekankan pada Sabda/Firman Tuhan. Menurut model ini, gereja dikumpulkan dan dibentuk oleh Sabda Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengar, diimani dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan.7 Dalam tugasnya sebagai pewarta kebenaran, gereja tidak hanya menyentuh dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan iman saja, tetapi gereja juga memiliki hak dan kewajiban untuk bersuara dengan penuh wewenang atas masalah-masalah sosial, ekonomi dan sebagainya. Sebab bagaimana pun juga, gereja hidup di tengah-tengah masyarakat dengan persoalan sosial yang kompleks.8 Dengan kenyataan seperti yang telah dijelaskan tersebut maka, ada beberapa alasan mengapa gereja melakukan intervensi terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi, antara lain:9 1) Masalah-masalah sosial pada umumnya tidak dapat dirumuskan semata-mata dari segi teknis kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi dan politik. Di dalamnya juga termuat masalah moral dan etika. Karena itu, iman Kristen diharapkan dapat menerangi suara hati dan memungkinkan orang Kristen untuk memenuhi kewajibannya dalam konteks historis tertentu dengan tetap memiliki keterbukaan terhadap yang transenden. 2) Masalah-masalah sosial pada umumnya kerap kali berasal dari kecenderungan manusia untuk mementingkan dirinya atau dalam istilah teologis, keberdosaan manusia. 6 Avery Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. (1990:Yogyakarta), 34-35. Ibid., 73. 8 Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. Kanisius. (1990:Semarang), 17. 9 Ibid., 18. 7 16 Ketidakadilan sosial sebagaimana yang terjadi dalam bentuk jurang kaya-miskin, pemerasan manusia atas sesamanya, pengangguran, kemiskinan, perkosaan hak-hak kaum miskin, dan sebagainya. Ketidakadilan sosial ini juga yang dirasakan oleh lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari perilaku manusia yang mengekploitasi lingkungan secara besar-besaran sehingga menimbulkan banyak masalah. Semua perilaku ini merupakan ungkapan dari situasi-situasi keberdosaan manusia. 3) Gereja prihatin terhadap akibat-akibat dari permasalahan sosial itu karena kondisi-kondisi hidup yang tidak layak merupakan kendala bagi keselamatan manusia. 4) Ajaran gereja tentang permasalahan sosial dan tanggapan umat Kristen terhadapnya merupakan bagian dari pandangan hidup Kristen. Namun, meskipun gereja berusaha untuk terlibat dalam melihat masalah-masalah sosial yang terjadi, tetapi bukan berarti bahwa keberadaan gereja menyediakan obat manjur untuk menyembuhkan penyakit atau luka-luka sosial yang ada. Ajaran sosial gereja bukanlah ideologi atau pun analisis sosial ilmiah, meski pun di dalamnya termuat analisis-analisis yang tajam atas masyarakat, negara dan manusia. Tugas gereja sebagai salah satu lembaga sosial adalah untuk memberikan tanggapan iman dan memberikan pengarahan tindakan iman bagi umat Kristiani dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang ada,10 termasuk di dalamnya masalah lingkungan hidup. Karena gereja merupakan bagian integral dari lembaga-lembaga sosial yang ada dan turut ambil bagian dalam tugas itu sehingga gereja memiliki kaitan yang erat dengan lembaga sosial lain dan sangat penting untuk menjalin kerja sama. Bahkan gereja juga perlu belajar dari lembaga sosial lainnya, dalam rangka mewujudkan terang kasih Tuhan ditengahtengah kehidupan seluruh ciptaan melalui tindakan nyata (praksis) sebagai proses belajar seumur 10 Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. 19. 17 hidup yang terintegrasi. Bagaimana pun juga, ketika gereja ingin terlibat dalam melihat dan merespon masalah-masalah sosial yang terjadi salah satunya masalah linkungan hidup, gereja sendiri perlu memperhatikan pertimbangan etis dari etika lingkungan, agar hal itu juga dapat memperlengkapi gereja lebih lagi dalam melaksanakan perannya tersebut. 2.4 Etika Lingkungan Etika adalah upaya menemukan asas-asas yang mendasari tindakan manusia. Jika hal ini dihubungkan dengan lingkungan hidup maka tugas etika lingkungan hidup adalah mengembangkan asas-asas berkenaan dengan tindakan manusia terhadap dunia yang bukan manusia.11 Etika lingkungan prihatin dengan hubungan moral antara manusia dan dunia yang natural. Prinsip-prinsip etika yang mengatur hubungan manusia dan dunia yang natural menentukan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab dengan penghargaan kepada bumi, lingkungan yang natural, dan seluruh hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada dan yang menghuninya. Taylor menyebutnya dengan istilah “Natural World” atau dunia alami yang mengacu pada seluruh rangkaian dari ekosistem alami di planet kita.12 Ekosistem alami dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni: Pertama, dalam lingkungan semacam ini, belum ada perubahan besar sebagai efek dari culture manusia dan teknologi yang mengeksploitasi bumi. Contoh: Padang di kutub Utara Tundra, gunung, hutan, padang rumput, kaktus padang pasir, dan muara sungai Marsland. Sepanjang ekosistem tersebut tidak diganggu 11 Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi. BPK Gunung Mulia. (2001: Jakarta), 75. Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press. (1986:New Jersey), 3. 12 18 oleh manusia, ekosistem ini tetap dalam kondisi murni atau bersih dan komunitas biotik mereka ada dalam keadaan benar-benar liar.13 Tipe yang kedua sama seperti yang pertama mencakup komunitas biotic seperti: hutan, hewan, dan tumbuhan yang mempertahankan keberadaannya tanpa diganggu oleh aktivitas manusia. Namun tidak sama seperti jenis ekosistem yang pertama, ekosistem ini ditemukan di daerah yang pada satu waktu bekerja sama dengan tenaga manusia (seperti pertanian dan pertambangan) atau telah mengalami modifikasi di masa lalu sebagai hasil praktik-pratik tertentu dari manusia (seperti mengembala domba, merumput atau memotong kayu). Ekosistem tersebut mungkin sekarang telah kembali ke kondisi alami hanya karena telah ditinggalkan untuk jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, hal ini mungkin dihasilkan oleh usaha manusia yang disengaja dan bertujuan mengembalikan lingkungan termasuk hewan dan tumbuhan ke kondisi sebelumnya yang perubahan tersebut melibatkan campur tangan manusia.14 Kedua jenis dari ekosistem ini disebut “natural” karena adanya kenyataan bahwa faktor biologis dan lingkungan menentukan sturuktur hubungan antara bagian yang penting dari populasi-spesies mereka yang memegang kendali tanpa campur tangan manusia. Hal ini lebih lanjut menurut Taylor dalam analisisnya terhadap studi yang dilakukan menjelaskan bahwa urutan dari berpikir tentang ekosistem tersebut dipandang sebagai sebuah proses evolusi dari keadaan lingkungan.15 Di samping itu, ada juga keraguan yang timbul apakah setiap ekosistem benar-benar alami dan eksis di planet kita hingga saat ini? Dampak dari peradaban manusia muncul sebagai akibat yang tak terindarkan. Kasus ini mau mengatakan bahwa komunitas biotik di alam liar 13 Ibid., 3-4. Ibid., 4. 15 Ibid., 3-4. 14 19 cepat menghilang, karenanya dapat dikatakan percepatan kepunahan seluruh spesies tidak bisa terhindarkan. Secara langsung yang berhubungan dengan fenomena ini adalah penurunan tajam variasi berbagai ekosistem natural. Efek dari kultur manusia dan teknologi pada biosfer terjadi dimana-mana. Hal ini disebabkan oleh munculnya industrialisasi dalam skala besar di abad yang lalu, naiknya tingkat pertumbuhan populasi manusia, dan perluasan ekonomi yang merangsang dan menyebabkan ketergantungan pada konsumsi tingkat tinggi yang dirasakan oleh manusia di seluruh bumi.16 Hal ini juga diungkapkan oleh Robert P. Borrong yang menyatakan bahwa Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya alat ampuh, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah intensitas pengeksploitasian lingkungan yang semakin gencar tak terkendali. Alam tidak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai sebagai organisme.17 Pemikiran tentang ekosistem sebagai sesuatu yang berkelanjutan merupakan suatu respek yang esensial dalam berbagai segi sebelum manusia muncul dan memperluas degradasi terhadap bumi. Ekosistem alam sebagai milik di salah satu ujung kontinum yang diperluas dengan respek yang setara sangat penting bagi makhluk-makhluk atau segala sesuatu yang telah ada sebelum manusia muncul di bumi melalui gradasi peningkatan derajat pengaruh manusia, ke ujung spectrum yang mana ekosistem secara lengkap diatur dan di kelola oleh manusia. Contohnya perkebunan, arena golf dan sebagainya. Taylor, dkk menyebutnya dengan nama 16 Ibid., 4-5. Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998). 17 20 artificial ecosystem atau ekosistem buatan sejak mereka di ukur, diciptakan dan digunakan oleh manusia untuk manusia sampai akhir. 18 Lebih lanjut, Taylor mengemukakan bahwa untuk memahami teori etika lingkungan secara mendalam maka penting untuk mengingat subjek perhatiannya mencakup tidak kurang dari tempat peradaban manusia di dunia yang natural. Karena itu, ada empat bidang yang berbeda dari dasar penyelidikan-penyelidikannya yang masing-masing disajikan dengan beberapa pertanyaan yang berkaitan erat, adalah sebagai berikut:19 1. Bagaimana perilaku manusia dalam hubungannya dengan ekosistem alami (natural) yang benar untuk tunduk pada batasan moral, atau kendala tersebut hanya berlaku untuk manusia dalam memperlakukan satu sama lain? Adakah prinsip-prinsip etika yang harus kita ikuti dalam perawatan atau pemeliharaan kita terhadap lingkungan yang natural? Apakah fakta bahwa beberapa tindakan kita memengaruhi kehidupan hewan liar dan tumbuh-tumbuhan untuk lebih baik atau lebih buruk dengan memiliki signifikansi etis bagi semuanya? Apakah fakta tersebut di dan dari dirinya sendiri memberikan alasan apapun, belum tentu satu konklusif, untuk melakukan atau menahan diri dari melakukan tindakan yang bersangkutan? Apakah kita memiliki tugas dan kewajiban yang berkaitan dengan dunia natural secara independen dari tugas dan kewajiban kita yang berkaitan? 2. Jika jawaban untuk salah satu pertanyaan di atas adalah ya, maka apa saja kendala moral yang terlibat dan bagaimana human-being atau penghayatan dan upaya melakukan yang terbaik terhadap lingkungan? jika kita memiliki tugas terhadap yang bukan hanya manusia secara independen dari tugas kita terhadap manusia, atas dasar apa tugas itu 18 Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press. (1986:New Jersey), 5-6. 19 Ibid., 9-10. 21 ditangguhkan? Apa standar karakter baik dan apa aturan benar yang diberlakukkan dalam domain etika? 3. Bagaimana anda akan membenarkan standart aturan mereka? Dapatkah komitmen suatu moral mengikuti prinsip-prinsip dari etika lingkungan hidup untuk ditunjukan dan ditangguhkan secara rasional? Dapatkah kita menetapkan bahwa ada prinsip-prinsip yang berlaku dalam etika lingkungan yang mengikat semua orang secara merata? 4. Akhirnya, bagaimana kewajiban dan tanggujawab kita terhadap alam (seandainya kita memilikinya) untuk dipertimbangkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan terhadap kepentingan manusia? Apakah tugas etika lingkungan sebelumnya atau yang pernah dilakukan mengharuskan kita untuk bertindak dengan cara-cara yang mungkin bertentangan dengan tujuan manusia, dan jika demikian, ketika (jika pernah) apakah tugas tersebut pernah mengabaikan atau mengesampingkan pemenuhan tujuan manusia? Setiap upaya sistematis dan menyeluruh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah apa yang akan disebutkan oleh Taylor sebagai teori etika lingkungan. Taylor menyatakan bahwa cukup independen tugas kita yang berutang terhadap sesama manusia, kita memerlukan moral untuk melakukan atau menahan diri dari melakukan tindakan tertentu sejauh tindakan itu membawa manfaat atau membahayakan alam liar tempat mahkluk hidup tinggal di alam. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa moral yang diperlukan ini mempertimbangkan hal-hal tertentu yang dinilai oleh manusia untuk memenuhi tugas etika lingkungan hidup yang melibatkan pengorbanan waktu dan setidaknya beberapa kepentingan manusia.20 20 Ibid., 10 22 2.4.1 Jenis-jenis Etika Lingkungan Dalam rangka untuk memahami bagaimana pandangan seperti itu dapat dibenarkan secara rasional, akan sangat membantu untuk membuat perbedaan antara dua jenis dari etika lingkungan hidup yaitu human-centered atau anthropocentric (berpusat pada manusia) dan life-centered atau biocentric. Teori etika lingkungan hidup yang berpusat pada manusia atau human-centered berpendapat bahwa tugas moral kita terhadap alam pada akhirnya berasal dari tugas hutang budi kita terhadap satu sama lain sebagai human beings. Karena kita harus menghormati hak asasi setiap orang, atau harus melindungi dan mempromosikan kehendak bebas manusia atau well-being of humans, bahwa kita harus menempatkan kendala tertentu pada perlakuan kita terhadap bumi, lingkungan yang alami dan pada tempat tinggalnya. Human-centered adalah etika lingkungan hidup yang berpusat pada manusia dengan menekankan pada penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dalam menghayati keberadaannya di alam sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dari segi lingkungan maupun kesehatan sebagai tugas dan tanggung jawab moral manusia saat ini bagi generasi di masa depan. Tanggungjawab untuk melindungi lingkungan, khususnya juga alam liar karena berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan kita. kadang-kadang variasi gen dari tumbuh-tumbuhan dan spesies hewan membutuhkan pengembangan baru yang berguna untuk melindungi manusia dari penyakit dengan mengontrol bakteri dan kuman. Selain itu, juga untuk memproduksi jenis sumber daya makanan baru melalui proses genetik dengan menggunakan engginering genetic. Generasi masa depan dari manusia memiliki hak yang sama banyak untuk hidup aman dan sehat secara fisik sama seperti generasi sekarang. Oleh karena itu tidak adil jika kita memperlakukan alam dengan buruk. Alasannya, karena 23 keseluruhan sistem dan standar perilaku aturan yang mengatur perilaku kita saat ini dalam kaitan dengan bumi sebagai lingkungan yang natural dapat di dasarkan pada kepentingan kita sendiri sebagai manusia. Namun demikian etika lingkungan hidup bukan merupakan sub divisi dari etika manusia.21 Etika lingkungan hidup berdasarkan perspektif life-centered menekankan kewajiban dan tanggungjawab dalam menghargai lingkungan dalam komunitasnya di alam secara natural. Etika ini lebih lanjut menekankan pentingnya memiliki respek terhadap hewan liar dan tumbuh-tumbuhan di bumi sebagai alasan dari moral yang menentukan relasi antara diri manusia dan dunia yang natural itu sendiri.22 Karena alam bukan hanya semata-mata sebagai objek yang di eksploitasi dan menjadi bahan konsumsi manusia semata. Karena setiap mahkluk hidup di alam memiliki kekayaan dan kebajikan/virtue dari keberadan mereka sebagai anggota dari komunitas kehidupan. Oleh karena itu, lingkungan tidak hanya digunakan untuk kesenangan manusia saja atau sebagai tempat untuk belajar sesuatu yang menarik dari alam. Hal ini didukung juga oleh pandangan dari Radjasa Mu’tasim dengan mengutip pendapat Magnis-Suseno, mengatakan bahwa Manusia harus belajar menghormati alam. Alam harus dilihat bukan semata-mata sebagai sesuatu yang berguna, melainkan juga mempunyai nilainya sendiri. Kalau terpaksa manusia harus mencampuri proses-proses alam, maka hanya seperlunya dan dengan tetap menjaga keutuhannya. Lebih dari itu, semua makhluk hidup harus dipandang sebagai saudara.23 21 Ibid., 11-12. Ibid., 12. 23 Radjasa Mu’tasim. Pendidikan Etika Lingkungan Hidup: Orientasi ke arah lingkungan hidup secara holistik. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2008). 22 24 Selain dua jenis ini, Robert P. Borrong menambahkan jenis etika lingkungan yang lain yakni, ekosentris. Jenis ekosentirs berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka lingkungan harus diperhatikan karena manusia hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh ekosistem. Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk orang Indonesia, yang sangat menekankan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia adalah mikro dari makro kosmos. Menurut pandangan ini, bumi memiliki nilai hakiki (intrinsic value) yang harus dihormati oleh manusia. Maka alam atau lingkungan tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena bumi memunyai nilainya yang luhur yang harus dijaga, dihormati, dan dianggap suci.24 Meskipun demikian kita memiliki kewajiban moral sebagai tugas untuk hidup berdasarkan kemanusiaan kita, sekaligus mempunyai tugas untuk membangun relasi hidup bersama sebagai mahkluk hidup dengan alam liar secara benar pada posisi yang sebenarnya. Hal ini tidak bermaksud untuk membawa satu moral secara personal yang benar pada semua konteks. Tugas kita terhadap bentuk-bentuk kehidupan di bumi selain manusia di dasarkan pada status entitas mereka yang memiliki nilai dan yang melekat pada dirinya. Lebih lanjut mereka memiliki semacam nilai atau virtue yang menjadi milik dan sifat mereka yang sangat alami, dan virtue atau nilai semacam ini akan menjadi salah jika keberadaannya hanya untuk manusia semata sampai akhir. Ini adalah untuk kepentingan mereka dan seharusnya 24 Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998). 25 manusia dapat mendorong atau melindunginya. Hal ini mau menekankan bahwa manusia harus juga memperlakukan alam dengan penuh hormat atau respek.25 Teori etika lingkungan yang berpusat pada manusia atau human-centered theory dengan kata lain dapat menerima klaim secara konseptual tetapi menolak satu norma saja. Hal ini terkait dengan konteks isu yang diangkat khususnya masalah benar atau salah suatu klaim normatif sama halnya dengan posisi teori etika lingkungan hidup terkait dengan lifecentered. Oleh karenanya, posisi etika life-centered dapat dipandang salah jika seseorang menempatkan semua hewan dan tumbuhan sebagai subjek moral, contoh: Apakah kita mempunyai tanggungjawab terhadap nyamuk? 26 Oleh karena itu pilihan ini harus dipahami dan dipertimbangkan secara rasional untuk memahami benar atau salahnya pemahaman terhadap etika lingkungan dari sisi biocentrism maupun antroposentris karena adanya konflik pemahaman terhadap hal ini. Sebagai langkah utama kita mengamati bagaimanapun terdapat konflik antara kehendak bebas dari non-human organism dan kehendak bebas manusia. Oleh karena itu, konflik ini harus dimengerti dari dua keberadaan untuk membuat dan melegitimasi suatu keputusan atau klaim dari pertimbangan sebagai penghargaan terhadap subjek moral yang tepat, sehingga pernyataan normatif bahwa semua mahkluk hidup bermoral subjek dibuat tidak masuk akal atau praktis dari etika lingkungan hidup menjadi jelas. Berangkat dari masalah konflik tersebut dibutuhkan self-preservation atau penjagaan terhadap diri dari sebuah masalah etika yang seharusnya membutuhkan suatu langkah resolusi yang adil atau 25 Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press. (1986:New Jersey), 13. 26 Ibid., 20-21. 26 fair dari persaingan klaim moralnya. Pemahaman ini lebih lanjut di bahas dalam posisi sebagai objek moral pada bab selanjutnya. 2.4.2 Agen Moral dan Moral sebagai Subjek Perbedaan antara etika human-centered dan life centered yang diklarifikasi oleh fokus perhatian mereka pada konsep agen moral dan moral sebagai subjek. Kedua jenis pemahaman ini setuju tentang ide agen moral dan perhatian mereka terhadap moral sebagai subjek di alam yang isunya dibahas terkait virtue atau tindakan bermoral atau tidak bermoral sebagai tugas dan tanggunjawab. Namun perlu digaris bawahi bahwa terdapat kelas dari moral agen dan kehendak bebas manusia. Ada dua alasan mengapa hal ini perlu untuk dipahami, yakni: Pertama, tidak semua manusia adalah agen moral; Kedua, di sana terdapat keberadaan agen moral yang bukan dari manusia. Contohnya homo sapiens kita belum dapat mengklarifikasi tanggung jawab terhadap alam. Di alam ini bukan hanya manusia yang mengembangkan pola kehidupannya dalam kelompok sosial mereka dan bertanggungjawab mengikutinya, tetapi makhluk hidup lain juga, seperti: lumba-lumba, gaja, dan primata lainnya juga hidup dalam kelompok sosial.27 Artinya bahwa agen moral ini mempunyai standart etik masing-masing dan berlaku di alam melalui karakter baik atau buruk dan alasanalasannya masing-masing. Di sisi yang lain, pada waktu yang sama berbeda dengan moral subjek, manusia adalah agen moralnya dan juga subjek moral.28 Di dalam peran sebagai agen moral mereka dapat memperlakukan orang lain secara benar atau salah. Sedangkan di dalam peran moral sebagai 27 28 Ibid., 14. Ibid., 16. 27 subjek mereka dapat diperlakukan secara benar atau salah oleh orang lain. Oleh karena itu, seseorang dapat menjadi kedua-duanya baik agen moral maupun subjek moral. Lebih lanjut Taylor menentukan subjek moral sebagai sesuatu yang dapat dilakukan dengan benar atau salah dan kepada siapa agen moral dapat memiliki tugas dan tanggung jawab tersebut. Keberadaan moral subjek oleh karenanya dapat membawa kerugian atau keuntungan sebagai fakta tentang moral subjek bahwa selalu dimungkinkan agar agen moral dapat membawa suatu sudut pandang moral sebagai subjek dan membuat justifikasi dari sudut pandang tersebut tentang bagaimana seharusnya subjek moral itu diperlakukan. Standart tersebut mengimplikasikan pendorong justifikasi tersebut atau kehendak bebas dari subjek tidak hanya dari satu orang yang menjustifikasinya. Lebih lanjut batasan terkait dengan yang bukan moral subjek adalah seperti pada sungai dan proses eksistem dari ikan dan sungai sebagai aquatic organism. Di sini menunjukkan bahwa hal ini masih merupakan kasus agen moral untuk memperlakukannya sebagai subjek moral. Selain itu, terdapat fakta juga bahwa objek yang mati di alam ini dapat dimodifikasi bahkan musnah atau diawetkan oleh agen moral sebagai pertimbangan etika yang bermanfaat, Karena perlakuan terhadap objek yang mati ini memengaruhi kehendak bebas dari subjek moralnya.29 Pokok pemikiran lainnya yang ditekankan juga dalam tulisan ini adalah bahwa dibutuhkan upaya untuk membuat suatu justifikasi moral intuitif. Yang mana intuisi kita memang bisa benar atau salah, namun dalam hal ini berdasarkan pengalaman intuisi kita merasa bahwa membunuh hewan atau tidak itu adalah tindakan yang salah namun intuisi ini harus masuk akal. Karena hewan dan tumbuhan tidak dapat merasakan apa yang kita rasakan. Oleh karena itu etika life-centered menegaskan bahwa setiap mahkluk hidup adalah subjek 29 Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press. (1986:New Jersey), 16-17. 28 moral.30 Sangat penting untuk memahami hal ini karena moral intuisi kita menghargai bagaimana mahkluk hidup dari alam harus diperlakukan berdasarkan aspek psikologis yang tergantung pada dasar sikap-sikap kita terhadap alam. Hal ini perlu dimaknai pada konteks masa kanak-kanak. Apa sikap yang pada awalnya diberikan kepada kita dalam kehidupan terhadap hewan dan tumbuhan, diterima dan direfleksikan lewat kelompok sosial kita. Namun demikian pada konteks tertentu intuisi tidak dapat dipakai sepenuhnya dalam memahami etika lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu ditentukan juga pertimbangan benar salahnya. Alasannya karena sebagai contoh terdapat perbedaan kultur atau budaya yang mana ketika kita berburu burung atau singa untuk diambil bulunya dan dengan penuh percaya diri kita mengatakan itu tidak salah untuk dilakukan. Jadi kita tidak dapat menggunakan intuitif untuk secara keseluruhan menolak atau membenarkan sikap kita terhadap etika lingkungan hidup. Karena lebih lanjut intuisi tidak dapat digunakan secara rasional objektif dan menyeluruh untuk teori dari etika lingkungan hidup.31 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa etika lingkungan perlu dipahami dari berbagai segi, baik secara antroposentris maupun biosentris, baik secara rasional maupun menggunakan intuisi. Hal ini dilihat sebagai alasan dan pertimbangan sikap dalam pratik kita secara etis terhadap lingkungan dengan mempertimbangkan sebaik-baiknya mengenai batasanbatasan tertentu sampai di mana hal itu dapat digunakan dengan baik. Sehingga sebagai klaim pertimbangan moral dalam perdebatan maupun dalam prakteknya serta upaya menjaga dan merawat lingkungan secara tepat dan berkesinambungan menjadi bagian dari mahkluk hidup yang tinggal di alam. Karena itu, untuk mendasari pertimbangan etis atau pun teologi sosial yang 30 31 Ibid., 22. Ibid., 23. 29 dibangun gereja maka sangat penting untuk melihat kembali dasar teologi lingkungan yang dimiliki dan dijalan oleh gereja. 2.5 Teologi Lingkungan Hidup Masalah lingkungan hidup merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia. Keadaan ini sebanarnya sudah sejak lama terjadi, tetapi kurang mendapat perhatian. Jika dibandingkan dengan masalah sosial lain seperti keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, dan lain-lain, keprihatinan akan lingkungan hidup di kalangan gereja baru muncul kemudian. Buktinya hasil konsili Vatikan II (Gaudium Et Spes, 1965) sudah memberi perharian serius terhadap masalah keadilan dan perdamaian. Sebaliknya, dalam dokumen Gaudium Et Spes tidak ditemukan perhatian terhadap lingkungan hidup, atau pun ekologi. Nampaknya pada waktu itu, masalah lingkungan hidup belum sungguh disadari oleh gereja sebagai masalah yang mendesak untuk ditangani. Hal ini juga sebagai bukti bahwa ekoteologi belum sungguh dikembangkan. Lingkungan hidup belum menjadi bagian hakiki refleksi para teolog.32 Gereja mulai meyadari pentingnya mempedulikan lingkungan ketika ada tulisan dari sejarahwan bernama Lynn White: The History Roots of Our Ecological Crisis. Ia memulainya dengan mengajukan pertanyaan “Did christianity tell people about their relation with environment?” (Dapatkah orang percaya berbicara kepada orang lain tentang hubungan mereka dengan lingkungan)? Lebih lanjut isu ini mulai dibahas pada tahun 19701998 dari gereja baptis di amerika sampai Paus Roma katolik, dengan isu terkait dan krisis ekologi: sebuah tanggungjawab sejalan dengan hal tersebut respon dewan gereja-gereja se32 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 31 30 dunia, mengangkat dan mendeklarasikan isu ini dengan memahami bahwa krisis lingkungan merupakan bagian dari penatalayanan gereja.33 Dalam usaha itu, maka kita akan diarahkan pada beberapa hal penting dan mendasar, antara lain sebagai berikut: 2.5.1 Teologi Penciptaan Upaya pendasaran teologi terhadap lingkungan hidup mengalami perjalanan yang panjang. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat dari para teolog. Beberapa teolog memandang Kejadian 1:26-28 sebagai dasar teologi dari hubungan manusia dan lingkungan hidupnya. Tetapi terhadap teks ini ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan supaya teks ini tidak dijadikan sebagai dasar untuk upaya pengrusakan lingkungan hidup secara tidak bertanggung jawab. Pertama, kata ‘berkuasa’ harus dimengerti berdasarkan konteks terdekat Kejadian 1. Artinya kata ini harus dipahami dalam kaitan dengan konsep tentang berkat (ayat 28a) dan tentang pembagian antara manusia dan binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata berkuasa (raddah) disini tidak boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan atau perlakuan keras dan kasar, melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut sesuai pula dengan Raja-Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera.34 33 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection (Santa Barbara California: Praeger, 2010), 15-16. 34 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 33. 31 Demikian pula dengan kata “menaklukkan” (kabbas) tidak boleh dimengerti secara negatif tetapi harus dimengerti secara positif (mengolah dan mengerjakan). Jika Kejadian 1 dimengerti seperti ini maka kejadian 1 tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan tindak eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Manusia berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah yang bertanggung jawab atas bumi dan segala makhluknya.35 Tetapi penafsiran seperti ini mendapat protes dari beberapa teolog. Mereka melihat bahwa gambaran tentang manusia sebagai pengurus alam semesta serta penghuninya dianggap timpang. Ide tentang Raja-Timur Tengah Kuno yang sering dipakai untuk mendasarkan interpretasi menurut para ahli sebenarnya ambigu. Memang ada sisi pemeliharaan tetapi ada pula sisi despotisme/kesewengwenangan. Karena itu, ayat 28 memiliki makna ganda: Manusia di satu pihak memang pelindung, tetapi juga memiliki sifat agresif-menguasai; di satu pihak pemelihara tetapi juga harus senantiasa siap membendung kekacauan. Allah Pencipta sendiri memang menjaga keharmonisan alam, tetapi itu juga harus terjadi dengan membendung berbagai bahaya (khaos, gelap gulita) yang mengancam kosmos. Penafsiran kedua mendasarkan pendapat mereka pada kenyataan geografis, keadaan hidup yang keras di wilayah Kanaan. Lingkungan hidup di Palestina adalah lingkungan hidup yang keras. Orang-orang harus berjuang melawan kekeringan, binatang liar dan lain-lain.36 35 36 Ibid., 34 Ibid., 34 32 Lebih lanjut, Jurgen Moltmann menyampaikan kritik terhadap upaya penafsiran ulang Kejadian 1 karena menurutnya masih terlalu antroposentris. Memang sudah ditegaskan bahwa tugas manusia adalah memelihara dan bukan merusak alam. Tetapi pusat perhatian tetap diberikan kepada manusia. Dunia dilihat sebagai milik manusia. Karena itu, Moltmann menegaskan bahwa mahkota karya penciptaan sebenarnya bukan manusia melainkan sabat yaitu kegembiraan Allah atas segala karya ciptaan-Nya sendiri yang baik.37 Dalam perspektif hubungan antara sains dan iman serta teologi, Moltmann menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia sungguh sebagai ciptaan Allah. Hanya dengan demikian ciri antroposentris pandangan kristiani tentang realitas dapat direlatifkan. Konsep tersebut memuat 4 unsur berikut: 1) Sebagai ciptaan dunia ini bukan sesuatu yang ilahi dan karena itu tidak perlu disembah. Di lain pihak dunia juga bukan sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri, sehingga tidak perlu ditakuti; 2) Bila dunia dipahami sebagai ciptaan maka relasi dikotomis subjek-objek dalam sains dapat diatasi. Baik realitas yang merupakan objek sains maupun manusia dengan subjektivitasnya adalah ciptaan Allah. Akal budi dan kehendak manusia juga bersifat kontingen dan karena itu tidak boleh dimutlakkan; 3) Menurut iman Kristen Allah adalah pencipta surga dan bumi, segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Realitas yang diketahui manusia (melalui sains) tidaklah mutlak melainkan hanyalah sebagian saja dari realitas. Bahkan, manusia sendiri sebagai subjek sains hanyalah bagian dari ciptaan yang kelihatan. Penegasan bahwa dunia adalah ciptaan Allah menolak klaim saintisme tentang keluasan makna realitas; 4) Dasar 37 Ibid., 35 33 biblis yang diusulkan Moltmann untuk paham dunia sebagai ciptaan adalah Roma 8:19-21. Teks ini lebih dekat dengan keprihatinan yang hidup dalam masyarakat kontemporer, masyarakat yang mengalami dunianya dengan penuh kekhawatiran tetapi sekaligus dengan harapan. “Karena seluruh makhluk telah ditakhlukkan kepada kesia-siaan.. tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemuliaan anak-anak Allah”. Berdasarkan pemahaman ini dan kritiknya terhadap pandangan antroposentris, Moltman menekankan Sabat sebagai akhir dan puncak dari penciptaan (bukan penciptaan manusia). 38 Pemikiran Moltman ini didukung oleh pendapat Robert P. Borrong yang mengatakan bahwa Kita perlu memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak lain dari ibadah kita kepada Allah.39 Lebih lanjut Fred Van Dyke dalam bukunya Beetwen Earth and Heaven mengemukakan bahwa kita perlu memahami kembali lingkungan sebagai anugerah penciptaan atau creation dari Allah kepada manusia sebagai bagian dari tradisi sejarah kekristenan yang harus diketahui dan dimaknai kembali. Karena 38 Ibid., 36 Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998). 39 34 sejarah tradisi tentang penciptaan tersebut merupakan landasan dasar kita dalam memahami makna dan value atau nilai-nilai yang mengarahkan orang percaya untuk dapat bertanggungjawab dengan alam ciptaan Allah. Karena tanpa sejarah dari tradisi-tradisi kekristenan ini, orang percaya tidak akan tahu di mana posisinya sekarang berada dalam membahas tentang masalah masalah lingkungan.40 Fred Van Dyke mencoba menghubungankan antara apa yang dipercayai dalam iman Kristen lewat tradisi-tradisi yang ada dan memandang lingkungan sebagai penatalayanan, yang mana etika ini merupakan bagian dari pengajaran gereja, baik teologinya, sejarah dan praktik kehidupan orang percaya di masa lalu dan terhadap keprihatinannya saat ini sebagai bentuk penatalayanan gereja yang mewujudkan misi Allah di dunia lewat lingkungan yang berbicara melalui komunitas gereja itu sendiri terhadap dunia.41 Oleh karenanya penekanan yang pertama terkait dengan intrinsic value atau nilai dari dalam diri terhadap bahaya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang berkaitan dengan aktivitas manusia.42 Lebih lanjut secara teologis, penekananya ada pada apa yang Allah ciptakan menurut kesaksian dalam kitab Kejadian, bahwa apa yang diciptakan Allah di bumi ini sebagai sesuatu yang baik adanya. Hal ini kemudian, menjadi dasar etis untuk membangun nilai-nilai kesadaran dari dalam diri setiap orang 40 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection (Santa Barbara California: Praeger, 2010), Vii-Viii. 41 Ibid., 20-23. 42 Ibid., 2. 35 percaya sebagai salah satu pemahaman etika terkait dengan lingkungan, 43 dalam posisi penciptaan oleh Allah sebagai nilai intrinsiknya atau intrinsic value. Hal ini bukan menyangkut apa yang Allah rasakan tetapi menurut Dyke lebih kepada kualitas yang diciptakan oleh Allah itu sendiri dalam kitab Kejadian sehingga memperkuatnya. Selain itu, hal tersebut juga menurutnya kata manusia adalah gambaran Allah “image” merujuk atau merepresentasikan pada makna royal yang mana menjadi semacam perintah agar manusia bertindak sesuai dengan kehendak Allah sehingga teks tersebut menyatakan bahwa Allah membuat manusia menjadi wakil dari dirinya untuk ciptaan non-manusia dan akan bertindak melalui mereka untuk mencapai tujuan yang Allah maksudkan.44 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, gereja sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang terkait dengan lingkungan, dimulai dari Perjanjian Lama-Perjanjian Baru yang telah dimaknai oleh orang-orang Kristen lewat komunitas gereja yang mana hal ini dibangun dari dalam diri setiap anggota orang percaya. Sehingga lewat iman dan prakteknya dapat bertindak secara etis untuk memenuhi maksud dari apa yang Allah ciptakan di dalam dunia bagi manusia dan seluruh alam ciptaan demi kemulian nama-Nya dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggungjawab penatalayanan gereja secara holistik. 2.5.2 Peranan Kitab Suci dalam Ekologi Kenyataan mengenai kondisi lingkungan yang mengalami kerusakan yang luar biasa seperti, pencemaran udara, air, perusakan dan erosi tanah, 43 44 Ibid., 50-53. Ibid., 54. 36 penebangan pohon dan penggundulan hutan, serta pemburuan satwa. Krisis ekologi yang terjadi ini tidak hanya mempengaruhi segi-segi material planet bumi ini, melainkan juga mempengaruhi bidang-bidang kehidupan lain yakni, ekonomi, politik, hidup keagamaan, sosial, moral, baik secara perorangan maupun kolektif dalam hidup bersama. Ketika berbicara ekologi fisik/alamiah, ekologi manusiawi, ekologi sosial, ekologi ekonomi dan seterusnya, semuanya ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi.45 Dengan melihat kenyataan seperti ini, maka diperlukan cara berteologi yang baru. Kita perlu melihat kembali cara berteologi kita selama ini yang hanya berpusat pada sejarah manusia, sedangkan keadaan dan proses pergantian alam, lingkungan hidupnya jarang dijadikan sasaran pemikiran. Pandangan teologi yang dualistic dan bersifat berat sebelah itu jauh dari isi credo kita tentang kebangkitan badan. Karena hal-hal kerohanian saja yang diutamakan, padahal sebenarnya terdapat sumber tradisi ajaran yang cukup kaya mengenai ciptaan bumi yang kita peroleh dari ajarah Perjanjian Lama seperti dalam Kejadian, Deutero-Yesaya, Mazmur dan sastra kebijaksanaan. Makna dan peranan inkarnasi Sang Sabda kurang dikaitkan dengan masalah lingkungan hidup. Hal ini baru disadari sejak 40 atau 50 tahun terakhir ini oleh dorongan Pierre Theilhard de Chardin SJ (1881-1955), sebagai seorang imam dan ahli paleontology, jarak perhatian kepada dunia manusia dan dunia alam diperdekat. Maka timbullah usaha menyusun kembali suatu teologi baru tentang ciptaan sebagai hasil kerja sama antara filsuf, teolog, ilmuwan, cendekiawan dan para 45 Amatus Woi. Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi: Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 55 37 penganut tradisi rohani Ibrani dan Kristen. Dalam dialog interdisipliner mengenai masalah lingkungan, peranan Kitab Suci sebagai sebagai sumber informasi ajaran iman semakin disadari kebutuhannya. 2.5.3 Allah Pencipta Lingkungan Hidup Pemahaman tentang Allah sebagai pencipta lingkungan hidup sangat menentukan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya. Keyakinan seperti ini telah ditunjukkan oleh orang-orang Israel yang memandang bahwa bumi yang ada merupakan ciptaan Allah yang mengasihinya (Kej. 1:1). Hal ini berdampak pada pemahaman mereka bahwa bumi merupakan lingkungan hidup atau tempat (oikos) hidupnya, seperti yang terungkap dalam Kitab Suci. Bumi tidak ada dengan sendirinya, apalagi diadakan oleh roh jahat. Sebab “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kejadian 1:13, 18, 21, 26). Kepercayaan umat Israel bergema dalam banyak naskah Perjajian Lama, khususnya dalam Mazmur 104, yaitu Tuhan diagungkan dalam segala ciptaan-Nya.46 Manusia dan semua makhluk hidup lainnya, bahkan seluruh planet bumi ini, bersumber dari Allah. Allah yang menciptakannya dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang- menopang, dan saling membutuhkan. Maka dasar dari perspektif teologi Kristen mestinya bersifat teosentris, artinya berpusat pada Allah sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber di dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah kita (antroposentris), bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi 46 Amatus Woi. Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi: Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan. Kanisius. (2008:Yogyakarta), 56. 38 seperti hak asasi manusia (biosentris), juga bukan karena bumi ini merupakan suatu ekosistem yang memiliki nilai intrinsik (ekosentris); kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup karena lingkungan hidup adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat dan kemuliaan-Nya.47 Karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etika lingkungan yang telah dijabarkan di atas maka dibutuhkan suatu sarana untuk mewujudkan itu sampai pada praktis. Salah satu sarana yang efektif adalah pendidikan lingkungan hidup. 2.6 Pendidikan Lingkungan Hidup Sebelum membahas mengenai pendidikan lingkungan hidup, maka akan dibahas terlebih dahulu sejarah singkat dan perkembangannya defenisi dari lingkungan, ilmu lingkungan dan pendidikan lingkungan hidup, yaitu, sebagai berikut: 2.6.1 Sejarah Singkat Pendidikan Lingkungan Pada awalnya, pendidikan lingkungan merupakan dua hal yang berdiri sendiri. Di mana dua kata ini memiliki maknanya masing-masing. Karena itu, lingkungan dan pendidikan tidak digunakan sebagai kata konjungsi satu sama lain sampai pertengahan 1960an. Evolusi dari pendidikan lingkungan memiliki gabungan yang signifikan dari beberapa pengaruh yang kuat dari beberapa tokoh abad ke-18 dan 19 yakni para pemikir, penulis dan pendidik terutama Goethe, Rousseau, Humboldt, Haeckel, Froebel, Dewey dan Montessori. Sementara itu pioneer yang berperan dan berkontribusi terhadap lingkungan dan 47 Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998). 39 prakteknya, menurut banyak penulis mengatribusikan pendidikan lingkungan di UK kepada professor Botany dan perencana, pengatur kota dan negara dari Skotlandia Patrick Geddes (1854-1933). Ia yang pertama kali membuat hubungan antara kualitas lingkungan dan pendidikan sekaligus merupakan pencetus metode survey yang penekanannya adalah dengan belajar langsung dari lingkungan pada tahun 1892.48 Pada perkembangan-perkembangan awalnya, didirikan dewan pendidikan lingkungan atau Council Environment Education (CEE) bertujuan membahas tiga hal dalam penelitian dan hasil publikasi yang dilakukan yakni, pengembangan: tujuannya, untuk memfasilitasi pengembangan teori dan praktik dari pendidikan lingkungan. Promosi: bertujuan untuk mempromosikan konsep pendidikan lingkungan dan memfasilitasi penerapannya di semua bidang pendidikan. Review: bertujuan untuk memantau kemajuan pendidikan lingkungan dan menilai efektivitasnya. Di tahun 1968 UNESCO, dalam konferensi yang diselenggarakan menyuarakan agar dikembangkannya kurikulum dan materi pengajaran tentang lingkungan pada setiap level pendidikan, untuk dipromosikan pelatihan secara teknis dan menstimulasi kepedulian secara global terhadap masalah lingkungan.49 Hal ini kemudian menghasilkan pendefenisian terhadap pendidikan lingkungan hidup. Sebelum masuk pada penjelasan mengenai defenisi pendidikan lingkungan hidup, berikut beberapa pendapat tentang defenisi lingkungan hidup atau pun ilmu lingkungan. 48 Joy A Palmer, Environmental Education in 21 Century Theory, practice and promise (London:Routledge, 2003), 4. 49 Ibid., 5. 40 2.6.2 Pengertian Lingkungan Hidup dan Pendidikan Lingkungan Lingkungan adalah gabungan semua hal di sekitar kita yang mempengaruhi hidup kita. Hal-hal yang mempengaruhi hidup kita adalah suhu, udara, air dan sebagainya.50 Broadly berpendapat bahwa, lingkungan adalah jumlah total dari semua kondisi dan pengaruh yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan dari semua organisme di bumi.51 Di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Lingkungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu UU no. 32 tahun 2009, memberikan pengertian lingkungan hidup sebagai berikut: Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.52 Defenisi lain yang hampir sama dengan isi UU Perlindungan Lingkungan disampaikan oleh Munadjat, yang melihat secara sederhana, bahwa lingkungan dapat diartikan sebagai semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya, yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.53 Dalam memahami lingkungan hidup, banyak orang sering menyamakan ilmu lingkungan dengan ekologi. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Menurut Wiryono, ekologi merupakan dasar dari ilmu lingkungan, atau ilmu lingkungan merupakan aplikasi dari ekologi. Istilah ekologi ditemukan oleh Ernest Haeckel Zoologiwan (ilmuan yang mempelajari ilmu hewan) dari Jerman, di tahun 1866, tetapi sampai dengan pertengahan 50 Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan. PERTELON. (2013:Bengkulu), 1. Anil Kumar De and Arnab Kumar de, Environmental Education. New Age International (P) Limited. (2004:New Delhi), 1. 52 Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan. PERTELON. (2013:Bengkulu), 1. 53 Munadjat Danusaputra, Hukum Lingkungan, Buku I Umum. Binacipta. (1985:Jakarta), 67. 51 41 abad 20 cabang ilmu ekologi belum banyak dikenal orang. Istilah ekologi baru terkenal setelah gerakan penyelamatan lingkungan tumbuh secara luas di negara-negara maju pada dasawarsa 1960-an. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat atas masalah lingkungan, istilah ekologi menjadi semakin populer, tetapi juga semakin salah digunakan.54 Ada banyak defenisi tentang ekologi, tetapi yang paling banyak dipakai adalah ketika ekologi dilihat sebagai studi tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Menurut Krebs 1978, defenisi ini terlalu luas, karena semua macam studi dapat masuk di dalamnya. Dia lebih sepakat dengan defenisi yang dibuat oleh Andrewarth yang mendefenisikan ekologi sebagai studi ilmiah tentang distribusi dan kelimpahan (abundance) organisme. Menurut Krebs, defenisi Andrewarth ini lebih baik, tetapi ada satu kata kunci yang kurang, yaitu interaksi. Oleh karena itu Krebs menyempurnakan defenisi di atas menjadi, ekologi adalah studi ilmiah tentang interaksi yang menentukan distribusi dan kelimpahan organisme.55 Terdapat beberapa pandangan atau pengertian tentang ilmu lingkungan yang dibuat oleh beberapa ahli. Botkin and Keller mendefenisikan bahwa ilmu lingkungan adalah sekelompok ilmu-ilmu yang mencoba menjelaskan bagaimana kehidupan di bumi dilestarikan, apa yang menyebabkan persoalan lingkungan dan bagaimana persoalan ini dapat diselesaikan. Menurut mereka, banyak disiplin ilmu (sains) penting bagi ilmu lingkungan, yaitu biologi (khususnya ekologi), geologi, hidrologi, klimatologi, meteorology, 54 55 Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan.… 2-3. Ibid., 3. 42 oseanologi (ilmu kelautan), dan ilmu tanah. Mereka juga berpendapat bahwa ilmu lingkungan juga berkaitan dengan ilmu bukan sains yakni filsafat dan ekonomi.56 Berdasarkan perkembangannya yang sedemikian rupa maka ilmu lingkungan secara spesifik telah berkembang hingga menjadi pendidikan lingkungan hidup. Secara khusus pembahasan mengenai teori pendidikan lingkungan berangkat dari berbagai isu lingkungan hidup yang muncul dan terjadi dalam kehidupan masyarakat diberbagai belahan dunia. Isu lingkungan hidup meliputi masalah-masalah seperti, pertumbuhan penduduk, kemiskinan, ketidaksama rataan, hutan tropis, masalah kekeringan, air bersih, laut dan pantai, atmosfir dan iklim dan seterusnya. Dengan melihat masalah-masalah ini, maka muncullah berbagai alternatif teori dan praksis yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang lebih serius lagi. Pendidikan lingkungan hidup didefenisikan sebagai proses mengenali nilai-nilai dan mengklarifikasi konsep-konsep untuk mengembangkan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menghargai keterkaitan antara budaya manusia dan lingkungan fisiknya. Pendidikan lingkungan juga memerlukan praktik di dalam pembuatan keputusan, dan perumusan kode perilaku tentang isu-isu yang berfokus pada kualitas lingkungan hidup (IUCN, 1971). Defenisi ini diperkenalkan lebih lanjut kepada dunia melalui konferensi workshop yang diadakan di UK, India, Belanda, Canada, Kenya, dan argentina dan kepedulian ini bertambah dan merambah sampai ke Nevada, USA.57 Oleh karena itu pendidikan lingkungan hidup ini sangat terkait dengan berbagai segi kehidupan manusia baik di perkotaan, maupun di daerah-daerah yang dapat dipandang 56 57 Ibid., 4. st Joy, A. Palmer, Environmental Education in the 21 Century.…. 7. 43 dari berbagai sisi seperti politik, ekonomi dan sebagainya. Apalagi, pendidikan lingkungan mencoba mengkaji kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia karena ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan alasan pembangunan daerah namun sering mengorbankan lingkungan sebagai tanggung jawab sosialnya. 2.6.3 Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hingga Abad ke-21 Pada tahun 1972 dalam konferensi Human Environment yang diadakan di Stockholm Swedia menghasilkan deklarasi: “..education in environmental matters for the younger generation as well as adult.. giving due consideration for the underprivileged is essential.58 Keputusan mendasar dari pertemuan ini merekomendasikan disahkannya pendidikan lingkungan, sebagai kebutuhan secara international yang penting. Karena konferensi ini merefleksikan peningkatan ketertarikan terhadap lingkungan di tahun 1970an. Hal ini menghasilkan dibentuknya United Nations Environment Program (UNEP) yang didirikan bersama-sama dengan UNESCO di tahun 1975, dan pertama kali diluncurkan pada workshop International Environmental Education Program di Belgrade oleh UNESCO/UNEP. IEEP ini menghasilkan pernyataan pemerintah dunia internasional terkait pendidikan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk menetapkan tujuan, objek, konsep kunci, dan prinsip-prinsip, dalam sebuah dokumen yang dipersiapkan dalam pertemuan yang diketahui sebagai “The Belgrade Charter-a Global Framework for environmental education’. Secara ringkas berikut ini pokok-pokok pikirannya: 58 Ibid., 7. 44 1. Membantu menyelesaikan dan mengembangkan kepedulian dan fokus tentang masalah ekonomi, sosial, politik dan ekologi secara inter-dependence di daerah perkotaan dan pedesaan; 2. Menyediakan kesempatan kepada setiap orang untuk memperoleh pengetahuan, value, sikap, komitmen dan kemampuan untuk menjaga dan mengembangkan lingkungan; 3. Menciptakan pola dari perilaku yang baru pada setiap individu, kelompok, dan masyarakat sebagai satu keseluruhan terhadap lingkungan. Indikator kunci ini diterjemahkan ke dalam kebijakan pada tingkat nasional, di dalam setiap negara di mana pendidikan lingkungan belum terintegrasi dan dikembangkan (Tolba 1977). Perdebatan dan perencanaan yang dimaksudkan dilanjutkan dalam perdebatan di Tbilisi, Georgia USSR pada oktober 1977. Disini pertama kalinya UNESCO sebagai pemerintah internasional mengadakan konferensi terhadap pendidikan lingkungan yang diselenggarakan oleh anggota delegasi berjumlah 66 orang dari UNESCO bersama-sama beberapa organisasi swasta (NGOs). Pertemuan ini merekomendasikan aspek pendidikan lingkungan secara formal maupun informal berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan pada konferensi Berlgrade. Hal ini bertujuan menyusun kerangka kerja untuk sebuah konsesus international yang mana tanpa memiliki pengaruh yang berkaitan dengan pengembangan dari pendidikan lingkungan di sekitar bumi. Pada konferensi di Georgia Tbilisi, 1977 ini telah menghasilkan blue print untuk pengembangan pendidikan lingkungan di banyak Negara hingga saat ini. Konferensi selanjutnya dilakukan di Rio De Janero Brazil, di mana pengaruhnya sampai ke Asia seperti China, Srilangka Australia dengan berbagai konteks perkembangan pendidikan 45 lingkungannya59 dengan tema yang berbeda berdasarkan konferensi-konferensi sebelumnya yang kemudian telah melibatkan banyak negara pada tahun 1990an terkait masalah lingkungan sebagai masalah global yang telah melibatkan berbagai pihak. Sementara itu, dalam pengembangan dasar pada sains dan pendekatan interdisipliner, pendekatan terhadap pendidikan lingkungan pertama-tama mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari individu sebagai subjek. Pada sebuah publikasi pendidik dari depertemen pendidikan di Skotlandia tahun 1974, beberapa catatan penting yang ditekankan adalah:60 1. Secara formal maupun informal pendidikan harus menggunakan secara lebih dalam tempat (lokal) pada suatu lingkungan, untuk menyediakan pengetahuan, pelatihan, mengembangkan kemampuan (skills) secara tepat dalam pengalaman. 2. Pelajar dan orang-orang muda, harus diperkenalkan konsep dan value tentang lingkungan, yang diberikan secara praktis dalam membuat keputusan dan memberikan kesempatan dan melibatkannya secara personal. 3. Pelajar dan orang-orang muda harus diberikan pelatihan untuk dapat menilai dan mengkritik banyak pengetahuan yang diekspresikan saat ini terhadap isu lingkungan hidup. 4. Pendidikan lingkungan harus menyerap kurikulum baik itu dari dalam dan luar sekolah; 5. Setiap sekolah harus memiliki pengaturan yang memadai untuk perencanaan dan implementasi sebuah program dari pendidikan lingkungan; 59 60 Ibid., 17,171-224. Ibid., 9. 46 6. Membuat pendidikan lingkungan menjadi subjek yang tidak terpisah; 7. Program pendidikan lingkungan dari sekolah dasar sampai menengah harus berkelanjutan ke dalam proses pendidikan informal dalam kehidupan; 8. Adanya upaya yang harus dibuat untuk mengkoordinasikan total program dari pendidikan lingkungan. Dalam proses pelaksanaan pendidikan lingkungan secara formal di UK, terdapat tiga kategori strategi pengajarannya yang kompleks:61 1. Menggunakan lingkungan sebagai sebuah media untuk pendidikan. 2. Menggunakan lingkungan sebagai subjek investigasi/percobaan. 3. Pemeliharaan dan perbaikan dari lingkungan sebagai goal atau tujuan dari pendidikan. Rekomendasi dari Pertemuan yang dilakukan di Tbilisi tahun 1978 terkait pendidikan lingkungan adalah:62 Pendidikan lingkungan merupakan sebuah proses seumur hidup. Pendidikan lingkungan merupakan bidang interdisipliner yang holistik secara alami dan sebagai sebuah aplikasi; Pendidikan lingkungan adalah sebuah pendekatan pendidikan yang menyeluruh dari pada hanya sebagai sebuah subjek; 61 62 Ibid., 10. Ibid., 10-11. 47 Fokusnya terletak pada inter-relationship dan interconnectedness antara manusia dan sistem alami; Memandang lingkungan secara keseluruhan yakni mencakup aspek sosial, politik, ekonomi, teknologi, moral, aesthetic dan aspek spiritual; Mengakui bahwa energi dan material yang ada di alam saat ini berada dalam keadaan terbatas. Mendorong partisipasi di dalam pengalaman belajar; Menekankan tanggung jawab yang aktif; Menggunakan berbagai teknik dari model belajar-mengajar. Dengan penekanannya pada aktivitas praktik dan pengalaman; Prihatin dengan persoalan lokal dan dimensi global, serta mempertimbangkan dimensi masa lalu, saat ini dan masa yan akan datang; Meningkatkan situasi belajar yang didukung oleh organisasi dan struktur dari institusi secara keseluruhan. Mendorong klarifikasi dari value atau nilai dan pengembangan nilai-nilai yang sensitif bagi lingkungan; Prihatin dan fokus dengan pembangunan suatu etika lingkungan. Rekomendasi-rekomendasi ini merupakan hal-hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan pendidikan lingkungan serta menentukan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan lingkungan itu sendiri. 48 2.6.4 Tujuan Pendidikan Lingkungan Berdasarkan sejarah perkembangan pendidikan lingkungan dan perdebatanperdebatan yang dilakukan, maka di tetapkanlah tujuan pendidikan lingkungan. Penetapan ini didasarkan pada kurikulum nasional untuk sekolah di Inggris. Adapun tujuan utama atau goal dari pendidikan lingkungan pada pertemuan di Tbilisi yang mana merupakan tulisan akhir yang direfleksikan dan diidentifikasi pada pertemuan di Belgrade, Yakni untuk:63 1. Mendorong kesadaran dan keprihatinan tentang masalah ekonomi, sosial, politik dan ekologi yang saling berkaitan di perkotaan dan daerah pedesaan. 2. Menyediakan kesempatan bagi setiap orang untuk memperoleh pengetahuan, values atau nilai, sikap dan komitmen dan kemampuan yang dibutuhkan untuk memproteksi dan meningkatkan lingkungan hidup. 3. Menciptakan pola perilaku yang baru bagi setiap individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan, bagi lingkungan (UNESCO 1977). Pada perkembangan selanjutnya pandangan tentang tujuan utama dari National Association for Environmental Education (UK) 1976 yang kemudian direvisi pada tahun 1982, pada 1992 menyusun target pembelajaran atau performa objektif untuk semua sekolah, umur, dan kelompok. sebagai contohnya;64 Tujuan dalam pendidikan lingkungan bagi sekolah dasar dan menengah usia (5-12) menekankan pada; 63 64 Ibid., 11. Ibid., 12-13. 49 a. Wilayah atau lokasi: Berkaitan dengan konteks dasar pada lingkungan lokal dan konteks pengalaman di tingkat nasional. b. Atmosfer dan kosmos: Hal ini berkaitan dengan gambaran terkait iklim pada lingkungan lokal dan mengapresikan manfaatnya bagi produksi makanan. Artinya mengakui peran atmosfer di dalam kehidupan bagi tanaman, dan hewan serta dapat mengidentifikasi keadaan iklim dan pola vegetasi di dunia. c. Bentangan alam, tanah dan mineral: Artinya dapat mengetahui bahwa tanah sangatlah dinamis; (1) proses pembentukannya, (2) Dihuni oleh makluk hidup dan mendukung pertumbuhan tanaman, (3) dapat terkikis atau menjadi subur. Sehingga dapat diidentifikasi tipe-tipe yang berbeda dari tanah, dan melihat interaksi antara tanah dan mahkluk hidup. Selain itu dapat memahami bahwa mineral itu sumber daya yang terbatas. Karena itu, dapat menjadi poin penting pada sebuah peta pemahaman secara umum dalam pengaturan dari landforms atau bentangan alam di Britain dan dunia. d. Tumbuhan dan hewan: Pertama-tama pentingnya mengetahui melalui pengalaman variasi dari tumbuhan dan hewan di lingkungan sekitar. Mengakui dan memahami hubungan saling ketergantungan antara tanah, atmosfersebagai produsen, sedangkan tumbuhan, hewan dan manusia sebagai konsumen. Mengetahui maksud dari rantai makanan di mana penekanannya terletak pada pentingnya makanan dan jenisnya bagi manusia. e. Air: Mengetahui pentingnya air bagi kehidupan sebagai sumber daya alami, mengetahui siklus air serta sadar terhadap pencemeran air. f. Manusia: Mengakui perbedaan dan kesamaan di antara manusia. Memahami bagaimana manusia tinggal dan menggunakan lingkungan secara berbeda. Mengetahui tentang 50 berkurangnya penduduk di desa, sebagai fenomena dunia. Sadar terhadap pertumbuhan pendudukan dan hal ini berhubungan dengan kualitas hidup. g. Organisasi sosial: Belajar tentang tanggung jawab individu dan kelompok terhadap lingkungan. Menggunakan pengalaman dengan lingkungan hidup untuk mendisiplinkan diri. Mengakui para agen yang bekerja pada masalah-masalah lingkungan, dan mengakui korporasi international yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan. h. Ekonomi: Berkaitan dengan makanan, pakaian dan tempat tinggal yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berasal dari sumber-sumber yang bervariasi. Mengakui sumber-sumber organisasi seperti, pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, manufaktur, pelayanan publik, transportasi dan komunikasi. i. Athetics, etika, literacy, dan numeracy: Menggunakan pengalaman di lingkungan untuk memperoleh kemampuan/skills. Membangun basis kosa kata dari istilah lingkungan. Menggunakan seni visual dan musik untuk menggambarkan dan mengintepretasikan variasi lingkungan. Mengembangkan sebuah apresiasi dari faktor seni dan desain di dalam membangun lingkungan. j. Membangun lingkungan: Mengakui perbedaan pembangunan dan daerah fungsional di area lokal seperti (perumahan, tempat perbelanjaan, tempat kerja, tempat rekreasi) dan mengetahui tempat pelayanan utama seperti (kantor polisi, pemadam kebakaran, rumah sakit, dan lain-lain). 51 k. Energi: Mengakui perwujudan dari energi di dalam variasi bentuk yang dikontrol oleh manusia. Menyadari energi itu datang dari matahari. Mengetahui asal dari bahan bakar yang bersumber pada fosil (NAEE, 1976).65 Dengan demikian pokok-pokok pikiran yang disebutkan ini berlaku juga dalam konteks pendidikan lingkungan baik secara formal pada level menengah maupun level atas. Karena dalam perkembangannya terdapat beberapa penekanan pada pemahaman terhadap pengetahuan pendidikan lingkungan, pengembangan kemampuan atau skill, mengkomunikasikan pengetahuan tentang lingkungan yang mencakup masalah-masalahnya, dan pendekatakan-pendekatan yang dilakukan untuk mengatur sikap dan partisipasi sebagai kelompok pembuat keputusan maupun sebagai bagian personal dari respon pembuatan keputusan bagi lingkungan.66 Lebih lanjut, secara ringkas oleh Palmer, dipetakanlah trend kunci dalam pendidikan lingkungan sebagai berikut.67 1960an Nature Study Pada tahun ini, perkembangan studi alam mempelajari tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan physical system yang mendukungnya. Ini merupakan bidang pekerjaan dari para ahli dengan berfokus pada biologi-geografi, dan lain-lain. 1970an berpusat pada studi lapangan atau outdoor/adventure education Perkembangan pada tahun ini mengalami peningkatan di mana lingkungan alami digunakan sebagai pengalaman pertama dalam pembelajaran. Studi ini berpusat pada studi lapangan. Perkembangan lingkungan/pendidikan pada bidang ini berpusat di luar ruangan di 65 Ibid., 13. Ibid., 18. 67 Ibid., 23. 66 52 mana sebagai pusat untuk mengembangkan kesadaran melalui aktivitas praktek dan investigasi. Selain itu, ada juga pendidikan konservasi, di mana mengajarkan tentang isu-isu terkait konservasi, dan studi-studi pedesaan. Studi ini merupakan studi tentang membangun lingkungan/streetwork. 1980an Pendidikan secara Global Pada tahap ini, terjadi pengembangan sebuah isu lingkungan yang lebih luas, yakni pengembangan pendidikan lingkungan yang memiliki sebuah dimensi politik dan Value education atau nilai-nilai pendidikannya. Hal ini bertujuan untuk mengklarifikasi nilainilai dari pengalaman individu yang terkait dengan lingkungan. Selain itu pada tahun-tahun ini juga fokusnya terletak pada action research atau penyelesaian masalah/problem-solving. Murid-murid dibimbing untuk memecahkan masalah dan melibatkannya di bidang kerja yang terkait dengan lingkungan. 1990an Pemberdayaan atau Empowerment Pada perkembangan ini, fokusnya terletak pada komunikasi, yakni membangun kapasitas, pemecahan masalah dan tindakan ditujukan kepada resolusi dari masalah-masalah lingkungan sosial atau socio-environment. Selain itu, ada juga pendidikan yang dikembangkan untuk suatu pembangunan masa depan. Penekanannya terletak pada partisipasi dalam bertindak. Hal ini relevan atau berguna untuk merubah perilaku-perilaku dan menyelesaikan masalah-masalah ekologis. 2000an komunitas dari sesama atau community of partners? 53 Pada tahap ini, anak-anak, pelajar, pengajar, NGos, dan politikus-bekerja bersama-sama untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah sosio-ekologis. Secara langsung dalam pembahasannya, Palmer berbicara dalam sejarah pendidikan lingkungan dalam konteks United Kingdom, yang mana di dalamnya ia mengutarakan juga keseluruhan sejarah perkembangannya termasuk aspek spiritual dalam pengembangan pendidikan lingkungan. Namun demikian Palmer tidak terlalu berfokus pada aspek spiritualnya karena aspek ini dibahas dengan menggunakan kata aesthetic (yang lebih menekankan pada pengalaman di alam sebagai pengalaman spiritual setiap orang dalam menikmati keindahan alam yang kemudian dipusatkan pada keyakinan iman setiap orang berdasarkan kepercayaannya).68 Kemudian, hal ini juga dibahas dalam konteks pendidikan yang terkait dengan kurikulum dan prakteknya yang melibatkan keseluruhan dimensi, baik politik, sosial, ekonomi, dan berbagai ilmu lainnya yang terkait dengan lingkungan di tingkat lokal, perkotaan, negara dan global secara sistematis. Hal ini dipahami dan diklaim sebagai keprihatinan bersama dalam berbagai struktur yang ada dan berbasis pada pengalaman individu dengan lingkungannya, kelompok, dan sebagai respons tanggung jawab bersama dalam organisasi dan di dunia dalam proses bagaimana manusia dapat berinteraksi dengan lingkungan. Selain itu, harus diakui juga bahwa keberadaan lingkungan hidup sebagai penunjang kehidupan dalam pengalaman dapat merubah sikap dan perilaku mereka terhadap lingkungan serta berupaya menjaga dan merawatnya lewat pendidikan lingkungan yang memadai baik secara formal maupun informal dan berkelanjutan baik dari masa lalu, saat ini dan di masa depan. 68 Ibid., 23. 54 2.7 Kesimpulan Berdasarkan seluruh penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa untuk menggumuli dan mengkaji pendidikan lingkungan hidup dalam kehidupan bergereja perlu untuk melihat kembali teologi sosial yang ada dalam gereja. Berdasarkan teologi sosial tersebut gereja akan menolong gereja untuk lebih memahami fungsinya sebagai salah satu lembaga sosial yang berperan penting juga untuk menggumuli masalah-masalah sosial yang ada, termasuk di dalamnya masalah lingkungan hidup. Ketika sudah menyadari fungsi sosialnya, maka gereja juga perlu memikirkan etika lingkungan sebagai salah satu dasar penting dalam menentukan sikap dan tindakan terhadap lingkungan hidup disamping memikirkan dasar penting lainnya yakni dasar teologi lingkungan hidup. Dengan demikian, maka gereja pun akan dapat melaksanakan tanggung jawab sebagai bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan melalui sarana yang baik dan efektif yakni pendidikan lingkungan. Melalui pendidikan lingkungan gereja akan semakin ditopang dalam hal-hal praktis yang dapat dilakukan dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. 55