BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia mendambakan hidup damai dan sejahtera, tetapi perjalanan sejarah peradaban manusia tidaklah semulus harapan. Pertikaian dan konflik terus menerus terjadi hingga konflik terbesar umat manusia berkulminasi pada Perang Dunia (PD) II tahun 1941-1945. Perang terbesar dalam sejarah peradaban manusia ini telah mematri sejarah konflik paling mematikan yang berdampak pada penderitaan umat manusia dengan kerusakan yang hebat pada harta benda, korban jiwa serta rusaknya sendi-sendi keutuhan hidup manusia. Refleksi atas kengerian dampak kerusakan akibat PD II melahirkan gagasan tentang perlunya mencegah terulangnya tragedi hidup manusia. Bangsa-bangsa berupaya bekerjasama menjaga terciptanya perdamaian dunia sekaligus membantu menyelesaikan persoalan-persoalan konflik yang memicu terjadinya perang. Kesadaran ini menumbuhkan keinginan masyarakat dunia untuk membangun kembali kerjasama internasional dan upaya-upaya penyelesaian konflik serta permasalahan-permasalahan internasional lainnya.1 1 United Nation, Secretary of the Publications Board. Charter of The United Nations, United Nations Official Website: <http://www.un.org/en/documents/sharter/capter 1.shtml>. (diakses 29 September 2014). 1 2 Kesepakatan bersama masyarakat dunia mengakui perang terbuka harus diakhiri. Permusuhan antara pihak yang bertikai mesti diselesaikan di meja perundingan. Kalaupun masih terjadi peperangan, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan perdamaian dengan melibatkan anggota PBB, dimana Indonesia termasuk didalamnya, agar memberi ruang pada upaya bina damai selanjutnya. Dalam melakukan misi perdamaian, PBB melibatkan sejumlah stakeholders atau pemangku kepentingan. Termasuk di dalamnya tentara yang direkrut dari tiap-tiap negara anggota PBB yang menyediakan diri sebagai kontributor. 1.1.1. Peran Indonesia dan Perdamaian Dunia Sejalan dengan misi perdamain dunia dari PBB, bangsa Indonesia yang telah merumuskan tujuan nasional NKRI di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan komitmennya untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara landasan visional bangsa Indonesia yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945 itu mau mengajak seluruh komponen bangsa untuk aktif terlibat dalam memperjuangkan kepentingan nasional guna mencapai tujuan nasional agar tercipta masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam alam yang demokratis. Hal inilah yang melatarbelakangi kebijakan politik Indonesia melaksanakan kepentingan nasionalnya dengan 3 mengambil haluan politik luar negeri Bebas-Aktif.2 Berdasarkan haluan politik tersebut pemerintah mulai mengirimkan pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia Garuda I / UNEF (United Nations Emergency Force) ke Mesir awal tahun 1957 sampai dengan pengiriman pasukan Garuda XXIII-E / United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL) ke Lebanon akhir tahun 2010 selalu ada dalam koridor dan kerangka memperjuangkan kepentingan visi nasional RI itu serta memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya.3 Peran aktif RI dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian dunia telah menimbulkan kepercayaan dunia internasional, khususnya PBB, sehingga kontribusi Indonesia untuk berpartisipasi dan mengirim kontingennya selalu diharapkan dalam misi perdamaian PBB. 2 Pandangan politik bebas aktif mulai dikemukakan pertama kali oleh Wapres Mohammad Hatta tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta berjudul “Mendayung antara Dua Karang”. Pidato ini memberi landasan pijak serta orientasi pergaulan bangsa Indonesia di kancah internasional. Tidak berpihak di salah satu kekuatan politik dunia (Blok komunis Uni Soviet dan Blok kapitalis AS yang menimbulkan perang dingin), melainkan secara aktif memberikan kontribusi dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial dan perdamaian abadi dengan pelibatan berbagai operasi pemeliharaan perdamaian yang di gelar PBB dalam rangka penyelesian konflik antar negara (interstate conflict) mampun konflik dalam negara (intrastate conflict). Undang Undang RI Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri pada pasal 3 disebutkan bahwa politik luar negeri menganut prinsip Babas Aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. 3 Penggelaran OMSP termaktub Dalam UU no. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya dalam Buku Petunjuk Induk TNI (Bujukin) tentang OMSP, Bab III, artikel 19. f., sebagai berikut: Operasi Melaksanakan Tugas Perdamaian Dunia Sesuai Dengan Kebijakan Politik Luar Negeri, adalah tugas yang dilaksanakan TNI atas nama Indonesia untuk kepentingan perdamaian regional atau internasional, di bawah bendera PBB atau organisasi internasional lain. Dan: Sebagai Pasukan Penjaga Perdamaian dan Misi Kemanusiaan, sesuai dengan kebijakan politik luar negeri pemerintah berdasarkan mandat PBB atau organisasi internasional lainnya. 4 1.1.1.1. Pola Operasi Pemeliharaan Perdamaian Tradisional Lahirnya operasi pemeliharaan perdamaian ketika terjadi konflik di Yerusalem antara Israel yang memproklamirkan diri sebagai sebuah negara berdaulat di tanah bangsa Palestina yang berpusat di Yerusalem. PBB membentuk United Nations Truce Supervision Organization (UNTSO) sejak tahun 1948 sampai dengan akhir tahun 80-an. Tugas pasukan Peace keepers pertama kalinya itu hanya melaksanakan mandat untuk memantau gencatan senjata antar Israel dan Palestina yang didukung oleh negara-negara Arab. Atas pola kerja operasi demikian pelaksanaan kegiatan operasi pemerliharaan perdamaian dikenal bersifat klasik dan tradisional.4 Sementara pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia untuk melaksanakan mandat PBB pertama kalinya saat terjadi konflik terusan Suez (Mesir) dan bergabung dalam pasukan darurat PBB: United Nations Force (UNEF) dan membentuk Kontingen Garuda yang akrab dengan “call sign” KONGA. Peran prajurit TNI dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian di awal kemerdekaan sampai era orde baru betul-betul hanya atas permintaan dan pelaksana mandat PBB, lain tidak ada, hanya order untuk menyiapkan pasukan lalu berangkat ke medan operasi yang bersifat rutin menjaga zona penyangga agar tidak lagi terjadi pertikaian bersenjata (buffer zone), tanpa persiapan pembekalan yang cukup, berangkat ke Gaza, Sinai, 4 Wermester, M, 2000, International Peacekeeping, The Changing Nature of UN Peacekeeping, Boom or Bust? New York:Routledge, Hlm. 38. 5 Mesir (Timur Tengah) sebagai pasukan UNEF I dari Januari hingga September 1957.5 Pola operasi disebut tradisional karena tugas yang dilaksanakan hanya mengawasi dan menjaga zona penyangga. Dari pola tugas seperti itu lahirlah tugas-tugas di dalam misi perdamaian, sesuai kemauan politik pemerintah Indonesia yang memang sudah sesuai dengan UUD 1945 sebelum diamandemen. Itu pun hanya ada dua macam tugas, peace keeping forces dan military observer. Pada saat itu pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian ditengarai dipengaruhi oleh atmosfer pengaruh dan urusan politik dan PBB masih diarahkan oleh negara tertentu. 6 Dalam hal ini Indonesia oleh Sekretaris Jenderal PBB didaftarkan sebagai salah satu negara di antara negara-negara penyedia pasukan yang disebut the troop-contributing countries (TCC), yang terdiri dari personel militer dan polisi. Penanganan operasi pemeliharaan perdamaian tradisional cenderung menengahi pertikaian antar negara (interstate conflict) dengan isu perbatasan dan claim terhadap wilayah negara. Pelaksanaan tugas operasi misi pasukan pemeliharaan perdamaian lebih bertindak seperti wasit yang menjaga dan mengawasi agar gencatan senjata dapat dipatuhi, pemulangan pasukan negara 5 Dasman Jamaluddin, 2012, Mission Accomplished Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David, Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976 – 1979, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hlm.11. 6 Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen (Purn) T.B. Hasanuddin. Pengambilan data pada tanggal 8 November 2012. Pernah menjadi Komandan Sektor dalam operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia di Kuwait dan tergabung dalam Konga XI-3/UNIKOM pada tahun 1993. 6 yang bersengketa dapat berjalan dengan baik dan dijamin keamanannya, mencegah terulangnya pertempuran dan melaksanakan kerjasama dengan usaya-usaha kemanusiaan internasional seperti dengan Komite Palang Merah Internasional. Pelaksanaan tugas yang diemban cukup singkat sebagaimana penyampaian Sekjen PBB Dr. Kurt Waldheim: Make peace, nothing else.7 1.1.1.2. Pola Operasi Pemeliharaan Perdamaian Multidimensi Terjadinya perubahan lingkungan strategis dan geopolitik dengan munculnya konflik internal di dalam negara (interstate conflict) mengharuskan PBB menggunakan kekuatan senjata di bawah pengaturan Piagam PBB yang dikenal sebagai UN Chapter VII. Dengan berakhirnya perseteruan Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam Perang Dingin telah terjadi pergeseran pola operasi dari Tradicional Peacekeeping menjadi Multidimentional Peacekeeping. Penggelaran operasi pemeliharaan perdamaian dihadapkan pada tantangantantangan baru, dimana kemauan politik negara-negara maju berkurang akibat resiko yang tinggi ketika melaksanakan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian. Sementara aturan pelibatan (Rules of Engagement/RoE) tidak lagi memadai untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil dan membutuhkan peningkatan kemampuan pasukan penggetar yang mampu mengawal pelaksanaan mandat PBB secara tegas. Peran PBB dalam pelaksanaan operasi masih diharapkan agar terjadi upaya perdamaian yang lebih panjang dengan menyelenggarakan perdamaian secara komprehensif melalui penegakan hukum 7 Ibid, hlm. 18. 7 sesudah konflik berlangsung, sehingga penggelaran misi perdamaian turut pula mempersiapkan langkah-langkah menuju perdamaian abadi. Perubahan yang kian rumit dan kompleks di atas tersebut membutuhkan koordinasi dan respon institusi nasional yaitu para pemangku kepentingan (state actor) untuk menghadapi tantangan tersebut. Kerjasama di antara pemangku kepentingan yang terlibat dibutuhkan, karena selain militer dibutuhkan polisi dan organisasi-organisasi sipil yang memiliki kaitan dengan perlindungan terhadap warga sipil yang semakin banyak menjadi korban konflik internal di dalam negara, pengaturan hak-hak sipil, penegakan hukum serta pengaturan dalam penggunaan kekuatan bersenjata (peace-enforcement) oleh pasukan PBB. Koordinasi dalam pola operasi pemeliharaan perdamaian yang bersifat multidimensi merupakan tantangan mengingat kegagalan PBB dalam menangani berbagai konflik di Bosnia, Kosovo dan Rwanda.8 Peran Indonesia dalam perubahan pola operasi pemeliharaan perdamaian menjadi penting dilihat dari perjuangan untuk mewujudkan kepentingan nasional. Permintaan PBB tidak hanya untuk hanya melaksanakan mandat semata, pengiriman misi perdamaian Indonesia saat ini saat ini mulai dilihat memiliki manfaat timbal balik bagi Indonesia dalam meningkatkan citra positif sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam kancah pergaulan internasional. Hal ini juga tampak dari semakin maraknya negara-negara 8 ..Coicaud, J.M., The Puture of Peacekeeping, <http:www.fpip.org/articles/the_future_of_ peacekeeping>. (diakses 21 Januari 2015) 8 berkembang terlibat mengirimkan kontingen mereka dalam pelaksanaan operasi pemeliharaan perdamaian dunia seusai era Perang Dingin. Kesempatan yang baik ini tentunya juga amat bermanfaat bagi TNI yang menjadi pelaksana utama misi perdamaian dunia sekaligus menjadi perhatian penulisan tesis ini, disamping ada pihak Kepolisian RI maupun unsur sipil. Keberhasilan pelaksanaan misi perdamaian akan mengukuhkan identitas TNI sebagai prajurit profesional yang handal dalam berhadapan dengan perubahan jaman dan isu mengenai keamanan internasional yang semakin kompleks dan bersifat multidimensional. Kesiapan prajurit TNI yang dihadapkan pada perubahan situasi keamanan regional dan internasional dengan keikutsertaannya terjun ke dalam misi perdamaian dunia akan sangat membantu TNI melaksanakan agenda reformasi internal TNI secara kongkret sesuai dengan peran TNI abad XXI yang tetap ingin mengawal proses demokratisasi di Indonesia.9 Seiring dengan meningkatnya kepercayaan PBB terhadap peranan Kontingen Garuda dalam operasi pemeliharaan perdamaian dunia, adanya kepentingan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional yang membawa arah bangsa Indonesia pada sistem demokrasi yang handal dengan prajurit yang profesional mulai diakomodasi oleh perundang-undangan nasional yang memasukkan operasi pemeliharaan perdamaian sebagai salah satu tugas pokok TNI melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagai perwujudan 9 Mabes TNI, 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta, Cetakan Keempat, Penerbit CC Jasa Buma. 9 perubahan paradigma baru pertahanan nasional dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dimana operasi pemeliharaan perdamaian sebagai salah satu dari 14 operasi militer selain perang dalam UU No. 34 Tahun 2004 telah menunjukkan pola baru bagi arah dan usaha bangsa Indonesia ikut ambil peran dan tempat secara strategis dalam pergaulan internasional. Arah strategis dari peran TNI dalam operasi pemeliharaan perdamaian yang telah diratifikasi DPR RI mempersiapkan TNI melaksanakan diplomasi militer dalam rangka meningkatkan kemampuan kampanye kekuatan lunak (soft power) pertahanan RI. Inilah kesempatan sekaligus peluang bagi TNI untuk memiliki postur tentara yang profesional yang memiliki kemampuan teknis dan strategis yang sangat didukung oleh koordinasi dan manajemen antar pemangku kepentingan untuk mempercepat perubahan TNI yang diinginkan dari segi struktur dan komposisi, modernisasi peralatan, kesiapan pasukan serta ketahanan mengatur tingkatan aktifitas operasional guna mencapai tujuan militer yang mendukung kebijakan luar negeri. Adanya pengakuan atas kemampuan dan kehandalan TNI oleh masyarakat dunia yang lebih luas merupakan modal pokok bagi peran TNI sebagai cermin kemampuan bangsa Indonesia dalam menjaga keseimbangan serta kestabilan keamanan di kawasan. Keberhasilan operasi pemeliharaan perdamaian bagi TNI adalah keberhasilan TNI memanfaatkan dan menggarap soft power secara sistematis, masif dan terstruktur dengan komponen pemangku kepentingan lainnya sekaligus menjadi parameter 10 keberhasilan dari optimalisasi koordinasi antar pemangku kepentingan yang ada dalam penggelaran pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian. Salah satu upaya yang signifikan bagi TNI adalah keseriusan pemerintah RI untuk membentuk Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI (PMPP TNI) melalui Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep / 4 / I / 2007 dan Nomor: Kep / 5 / I / 2007 tanggal 29 Januari 2007, di mana sebelum terbentuk PMPP TNI, operasi pemeliharaan perdamaian TNI dilaksanakan oleh Staf Operasi Panglima TNI (Sops Mabes TNI). 1.1.2 Koordinasi Pemangku Kepentingan Kecepatan dan ketepatan pemerintah RI untuk menangkap peluang ini sangat tergantung dari kemauan politik pemerintah (political will). Pemerintah RI melihat kesempatan sekaligus peluang timbal balik dalam pelaksanaan tugas operasi pemeliharaan perdamaian dunia dengan pola yang berbeda dari pengiriman misi perdamaian sebelumnya. Perbedaannya adalah permintaan PBB dengan jumlah personel yang besar, kemampuan yang disesuaikan dengan peran multidimensi operasi yang lebih kompleks, kemampuan personel yang diharapkan serta kecepatan pengiriman pasukan dengan standar dan aturan pelibatan baru yang ditetapkan PBB dalam rangka penyelesaian konflik Israel – Lebanon tahun 2006. Penyiapan pasukan Indonesia ke Lebanon merupakan awal koordinasi dan pengorganisasian antar pemangku kepentingan dengan pola baru, dimana 11 para pemangku kepentingan RI menyanggupi perminataan PBB dengan ketentuan-ketentuan baru dan kriteria pasukan yang lebih tinggi sesuai standar PBB yang baru. Dari pihak pemerintah Indonesia kemauan politik Presiden-lah yang menentukan pelaksanaan koordinasi selanjutnya. Kecepatan Presiden mengambil inisiatif politik ini dimungkinkan mengingat beliau pernah ikut bergabung dalam Kontingen Garuda melaksanakan misi operasi pemeliharaan perdamaian di Boznia Hezergovina tahun 1996.10 Fenomena menarik lainnya, adalah pelaksanaan tugas operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia terjadi 2 tahun setelah terbitnya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tentang OMSP (Operasi Militer Selain Perang). Pada Pasal 7 ayat 2, point b dinyatakan Tugas pokok TNI melakukan operasi militer selain perang dimana pada point 6 dinyatakan: melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri. Faktor menarik lainnya adalah lahirnya wadah baru di lingkungan TNI dengan nama Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) pada awal tahun 2007, hanya lebih kurang 2 bulan sesudah keberangkatan pasukan Garuda XXIII-A ke Lebanon. Secara teknis dan taktis, terbentuknya institusi baru TNI yang langsung bernaung di bawah Panglima TNI ini merupakan tugas untuk penyiapan pasukan yang lebih seksama sebagai pemekaran fungsi pelaksana yang sebelumnya secara rutin dan secara dikerjakan oleh Staf Operasi (Sops) Mabes TNI. 10 PMPP TNI, 2011, TNI dan Misi Pemeliharaan Perdamaian, Peran PMPP TNI dalam Menyiapkan Kontingen Garuda, Jakarta, Percetakan Abad 21, hlm.197. 12 Secara strategis kehadiran PMPP menjadi pintu gerbang bagi perwujudan perubahan paradigma baru TNI yang ingin menjadikan prajurit TNI profesional berkelas dunia karena akan semakin mendapatkan pengakuan internasional. Tentunya impian ini akan dapat diwujudkan ketika TNI sanggup merespon tuntutan persoalan dan perubahan fundamental misi pemeliharaan perdamaian dunia yang kian kompleks, bersifat multidimensional sejak tahun 1990-an. Tantangan yang mengemuka sesuai rekomendasi Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian Kanada (UNA-Canada) membutuhkan koordinasi dan kerjasama antara pemangku kepentingan, sifat mandat misi yang saat ini cenderung lebih menggunakan perdamaian dengan kekuatan bersenjata (peace enforcement) sebagaimana diatur dalam UN Chapter VII dan memerlukan otorisasi yang lebih tegas, disamping perlunya perhatian yang lebih besar pada masalah HAM dan perlindungan terhadap warga sipil yang mengarah kepada upaya bina damai (preventing release to confict).11 Hanya saja kompleksitas persoalan yang ditangani operasi pemeliharaan perdamaian masih memiliki kendala, baik yang bersifat teknis maupun yang non teknis. Kendala teknis kemampuan prajurit TNI dalam penguasaan bahasa asing (Inggris, Perancis, Arab) masih minim padahal sangat diperlukan bagi kemampuan menjadi mediator di lapangan, kesiapan pengerahan pasukan yang belum maksimal. Kendala non teknis yang paling mencolok adalah kapabilitas koordinasi antar pemangku kepentingan dalam 11 UNA Canada, United Nations, 2007, Future Challanges of UN Peacekeeping, Academic Publication-Chapter 10, hlm. 152 13 proses pengiriman pasukan yang menuntut perubahan pola baru penangan operasi pemeliharaan perdamaian sesuai tuntutan standar internasional. Belum lagi persoalan dinamika perpolitikan dalam negeri menyangkut keputusan penggunaan keputusan pelibatan TNI dalam mengimplementasikan UN Chapter VI, Chapter VII serta robust operasi pemeliharaan perdamaian, minimnya anggaran pemerintah RI untuk menyiapkan operasi pemeliharaan perdamaian dengan jumlah personel yang lebih besar dan standar alutsista yang perlu dipersiapkan untuk mendukung tugas operasi.12 Untuk itu koordinasi di tingkat strategis antar pemangku membutuhkan kekuatan visi kegiatan yang jelas mengingat perubahan pola operasi pemeliharaan dunia sesuai permintaan PBB dan pola manajemen pengiriman pasukan misi perdamaian yang lebih masif dari jumlah personel, bersifat multidimensi. Posisi penting pada pemangku kepentingan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia berada di tangan Presiden RI. Kemauan politik (political will) Presiden yang menjadi keputuan politik pemerintah menjadi pokok dalam teta kelola pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia sesuai mandat PBB. Merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Kontingen Garuda Dalam Misi Perdamaian di Lebanon secara jelas dinyatakan sejumlah institusi yang terlibat. Pemangku kepentingan yang terlibat untuk saling berkoordinasi dalam Keputusan Presiden tersebut, 12 Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen (Purn) T.B. Hasanuddin. Op.cit. 14 yaitu: Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu), Kementerian Pertahanan RI (Kemhan), dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). Dalam Kepres tersebut disebutkan dua institusi yang lain, yakni Kementerian Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Institusi yang satu berada di bawah lembaga kepresidenan, sedangkan DPR RI merupakan mitra pemerintah untuk menjadi penyeimbang bagi penentuan kebijakan strategis yang menguntungkan kepentingan RI sesuai amanah Undang-Undang. Disamping itu, ada lembaga yang memiliki peranan cukup besar di bawah Kementerian Luar Negeri RI, yakni Perutusan Tetap RI (PTRI) di New York, dimana terdapat Penasehat Militer (Penmil) yang ditunjuk oleh Kemhan RI atas usulan Mabes TNI/ fungsional organik Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI yang secara struktural berada di bawah PTRI. Penmil memiliki fungsi ujung tombak dalam lobby-lobby penyiapan pengiriman pasukan Indonesia sesuai mandat resolusi DK-PBB. Sementara itu, PMPP TNI di bawah Mabes TNI sebagai titik berat bagi penyiapan pasukan yang menjadi domain operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia. Koordinasi lainnya menyangkut kecepatan kesiapan gelar pasukan, seperti: rekruitmen personel, pengorganisasian personel yang lebih handal masih perlu ditingkatkan dan disempurnakan. Pengamatan dan penelitian akan difokuskan pada penerapan perubahan manajemen baru yang akan dilihat selama kurun pengiriman pasukan pada KONGA XXIII A sampai dengan E / UNIFIL ke Lebanon antara tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Fokus penelitian hanya pada pelaksanaan tugas operasi KONGA XXVIII A – E / 15 UNIFIL Tahun 2006-2010 di Lebanon ini menjadi signifikan bagi penelitian karena pada periode itulah titik balik perubahan kebijakan terhadap operasi perdamaian dunia yang dilaksanakan RI sejak diterapkannya UU TNI no 34 Tahun 2004. Koordinasi antar pemangku kepentingan baik pada garis vertikal maupun horisontal/sejajar tersebut di atas inilah yang menjadi fokus dan pembahasan dalam kajian penelitian tesis ini. Sebab, kepemimpinan yang handal sangat tampak dari koordinasi yang sinergis dan menghasilkan keberhasilan misi mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara itu tantangan yang perlu diatasi secara serius dalam menyiapkan misi perdamaian dunia bagi pemerintah RI menyangkut kapabilitas koordinasi yang masih lemah antar pemangku kepentingan dalam proses pengiriman pasukan karena menuntut perubahan pola baru penanganan operasi pemeliharaan perdamaian yang dipersiapkan Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian latar belakang terkait koordinasi antar pemangku kepentingan dalam operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia diperlukan masukan yang bermanfaat bagi pelaksanaan tugas KONGA dalam merespon tantangan dan upaya penyiapan bagi pelaksanaan tugas KONGA di masa mendatang. Waktu penelitian ini dibatasi sejak pengiriman pasukan pada KONGA XXIII A – E / UNIFIL tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 di Lebanon. 16 Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka terdapat dua rumusan masalah yang akan diteliti dalam pernyataan penelitian tesis ini pada pertanyaan: 1. Apa peran dan tantangan masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat dalam misi pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia? 2. Bagaimana upaya mengatasi tantangan koordinasi antar pemangku kepentingan sehingga pelaksanaan tugas operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia dapat terlaksana dengan optimal? 1.3 Tujuan Penulisan Seperti disebutkan dalam rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis peran, mengindentifikasikan masalah dan tantangan yang terjadi dalam berkoordinasi antar pemangku kepentingan. dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia. 2. Menganalisis upaya dan antisipasi penyelenggaraan koordinasi agar mekanisme koordinasi antar pemangku kepentingan semakin sinergis, efektif dan efisien sesuai tuntutan pola perubahan operasi pemeliharaan perdamaian dunia. 17 1.4 Landasan Teori Koordinasi yang sinergis antar pemangku kepentingan merupakan kunci pokok keberhasilan misi pengiriman pemeliharaan perdamaian. Koordinasi yang baik menunjukkan kemampuan kapasitas negara untuk menerapkan manajemen strategis, mengasilkan keputusan yang memberikan arah dalam pelaksanaan tugas. Ada 4 landasan teori yang dipakai sebagai pisau analisis penelitian ini agar didapatkan kombinasi mengenai apa peran masingmasing pemangku kepentingan, apa saja permasalahan, tantangan dan upaya pelaksanaan koordinasi dan kerjasama berbagai aktor yang terlibat pengerahan pasukan TNI dalam operasi pemeliharaan perdamaian. Pertama adalah pengertian mengenai koordinasi dalam kerangka penyiapan pasukan (deployment coordination) untuk melaksanakan tugas operasi pemeliharaan perdamaian. Kedua, koordinasi yang baik membutuhkan kesatuan intepretasi atas visi kegiatan, sehingga teori aplikatif mengenai Diplomasi Pertahanan menjadi pembicaraan berikutnya. Ketiga, kemampuan koordinasi yang baik tidak lepas dari salah satu upaya melaksanakan sistem pemerintahan yang demokratis yang berada pada supremasi sipil. Maka pemahaman akan Pemerintahan Demokratis (Democratic Governance) menjadi landasan teori selanjutnya. Keempat, Adanya perubahan pola penanganan konflik saat ini menimbulkan persoalan dan tantangan. Laporan Brahimi (Brahimi Report) dipakai sebagai acuan rekomendasi yang menyoroti 18 persoalan koordinasi dan manajemen penyiapan pasukan pemeliharaan perdamaian. 1.4.1 Pengertian Koordinasi Pengertian dan batasan koordinasi menurut G.R. Terry adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara anggota sendiri (Hasibuan, 2007:85). Menurut Mc. Farland koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama (Handayaningrat, 1985:89). Handoko mendefinisikan koordinasi sebagai proses pengintegrsian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan–satuan yang terpisah suatu organisasi untuk mencapi tujuan organisasi secara efisien (Handoko, 2003:195).13 Dari keempat orang di atas dapat dirumuskan bahwa koordinasi memiliki 4 hal yang pokok, yakni: 13 Pengertian koordinasi dari keempat pakar bersumber dari: <http://nuwrileardkhiyari.blog detik.com/2013/10/06/pengertian-koordinasi/>. 19 1. Adanya kesatuan intepretasi atas visi yang kuat dan menyatukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pekerjaan yang sinergis. Koordinasi yang baik ditampakkan dengan pola struktur dan mekanisme pelaksanaan tugas yang jelas sehingga tujuan dapat terlaksana dengan penggunaan waktu yang efisien. Semakin besar kegiatan dan ketertangungan pada unit-unit kerja, maka akan semakin besar dan kompleks pula kebutuhan koordinasi. Visi adalah kekuatan pokok dari suatu organisasi yang merupakan pandangan jauh ke depan atas hakekat tujuan organisasi yang hendak dicapai pada masa mendatang. Secara gradual level tingkatan visi organisasi dapat dilihat dalam cakupan 3 level: internasional (PBB, (bangsa/negara, contohnya), misalnya seperti regional/nasional Indonesia), dan kelompok/individu (organisasi tentara, seperti TNI). Visi itu selalu dikaitkan dengan kata misi, suatu pergerakan, penugasan, pengerahan, pelibatan, dlb. seperti pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia, contohnya. Di tingkat strategis visi merupakan konsepsi dasar yang dibutuhkan untuk meletakkan kesepahaman dan menyatukan intepretasi bersama sehingga memudahkan pencapaian tujuan. Di tingkat taktis visi memiliki kekuatan untuk melaksanakan kesatuan gerak (unity of command). 20 Dua pemahaman mengenai Diplomasi Pertahanan dan Pemerintahan Demokratis merupakan bagian penting dalam membentuk visi koordinasi pengiriman pasukan pemangku pemeliharaan kepentingan perdamaian. bagi Sedangkan pengembangan Doktrin mengenai peace keeping, produk UndangUndang, Keputusan Presiden, Buku Petunjuk Induk (Bujukin), Buku Petunjuk Pelaksanaan (Bujuklak), prinsip dasar (Code of Conduct), aturan perlibatan (Rule of Engagement) merupakan mekanisme taktis yang memberikan kemudahan menjalankan perintah tanpa beban karena mengetahui tujuan dan sasarannya. 2. Adanya arahan (baik strategis maupun taktis) dari pimpinan (pusat) adalah suatu produk kemauan (willingnes) yang menggerakkan dan memberikan motivasi di tingkat pusat pengambilan keputusan sekaligus menjadi kekuatan moral yang membutuhkan kapasitas pemimpin sekaligus kekuatan manajerial yang mengarahkan mekanisme kerja organisasi. Kalau visi lebih pada konsep idea, sedangkan arah strategis lebih pada pelaku yang menjadi subyek pelaksana visi, seperti: presiden, para menteri, panglima TNI, dll. Koordinasi tetap membutuhkan kekuatan aktor dalam suatu institusi maupun lembaga, sehingga kemauan politik (political will) yang diambil oleh pemangku kepentingan akan 21 memberi pengaruh yang menentukan pada warna dan “roh” dari organisasi tersebut agar mampu memberi pengaruh bagian-bagian lainnya mencapai tujuannya. Kemauan aktor pemangku kepentingan yang bersifat non teknis seperti inilah yang mampu memberi pengaruh cepat atau lambatnya suatu mekanisme kerja, termasuk cepat tidaknya penyiapan pengiriman pasukan yang menjadi tututan standar PBB. 3. Adanya kemampuan penyediaan target waktu yang tepat untuk penyelenggaraan tugas merupakan parameter yang paling mudah untuk menunjukkan apakah sistem dan mekanisme keseluruhan koordinasi telah berjalan sesuai rencana atau tidak. Terjadinya permasalahan dan hambatan dalam memberi respon cepat menjadi parameter resmi yang dilakukan PBB yang memasukkan rapid development and standing capasity sebagai kriteria dan standar kapasitas kemampuan pasukan pemeliharaan perdamaian. 4. Adanya lokasi (tempat) sebagai fasilitas dan cara (metode) untuk dapat mendukung terlaksananya kegiatan atau pekerjaan guna pencapaian sasaran demi terciptanya peningkatan profesionalitas. Pusat-pusat pelatihan dan pendidikan seperti pembentukan PMPP TNI di Sentul menjadi bagian penting dari perwujudan koordinasi pemangku kepentingan yang efektif. 22 Tujuan koordinasi itu sendiri adalah (1) untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien; (2) memecahkan konflik kepentingan berbagai pihak yang terkait, dan; (3) agar dapat membantu pimpinan mampu mengintegrasikan dan mensinkronkan perlaksanaan tugas-tugasnya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang saling bergantung, agar tujuan organisasi dapat tercapai. Dalam kaitan pemangku kepentingan penyiapan pasukan pemeliharaan perdamaian mengenal adanya 2 macam koordinasi. Pertama, koordinasi yang bersifat strategis di tingkat struktural pengambil keputusan. Kedua, koordinasi yang bersifat taktis di tingkat struktural pelaksana putusan. 1.4.2 Pemerintahan Demokratis (Democratic Governance) Pemerintahan demokratis merupakan anak kandung dari perjuangan sebuah negara menuju kekuatan supremasi masyarakat sipil, penggunaan manajemen modern dalam pengolaan pemerintahan yang menekankan control and balancing. Inti dari pemikiran dasar sistem pemerintah demokatis adalah penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, perlindungan terhadap hak-hak sipil, terciptanya sistem kemasyarakatan yang menjunjung aturan dan hukum yang berlaku secara menyeluruh sehingga manusia terhindar dari rasa takut, termasuk dari ancaman perang dan pemusnahan antar sesama manusia. Sejalan dengan kerinduan umat manusia mengusahakan keadilan sosial dan terwujudnya perdamaian yang abadi dan Menurut David P. Barash, dari perspektif studi perdamaian kegagalan utama PBB adalah 23 ketidakmampuan untuk mencapai pelucutan senjata secara global menghindari perang. Namun, PBB tetap berjuang atas usaha-usaha menciptakan kondisi budaya kemanusiaan serta menciptakan “kondisi perdamaian positif” dengan cara menciptakan sebuah sistem keamanan yang kolektif dalam konteks negara demokrasi. Dewan Keamanan, dalam mengindentifikasi sebuah pemerintah yang melakukan agresi, menyiapkan kekuatan militer untuk menciptakan kedamaian. Hal inilah yang tersurat dalam pernyataan David P. Barash: The Security Council was empowered to identify an aggressor and then to request various member states to provide military force as necessary to enforce the peace.14 Terjadinya perubahan pada pola koordinasi yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan kontrol terhadap militer tentunya turut mengubah doktrin militer dan cara penanganan struktur dan manajemen kerja pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian. Adanya semangat reformasi tahun 1998 membawa Indonesia masuk pada era baru dalam perubahan dinamika politik menuju pemerintahan yang demokratis. Pola koordinasi model kepemimpinan pemerintahan era Suharto cenderung sentralistik, bersifat komando telah ditinggalkan. Sebelum reformasi terjadi, pola pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia cenderung stagnan, bersifat rutin, tanpa ada pembekalan pasukan yang disiapkan menghadapi tugas yang bersifat multidimensi, tidak ada lesson learned. Tidak demikian dengan situasi pasca reformasi. 14 David P. Barash, 2002, Peace and Conflict Studies, London, Sage Publications, Thousand Oaks , hlm. 353. 24 Semenjak bergulirnya semangat reformasi tuntutan rakyat atas supremasi sipil pada pemerintahan, mengemukanya aspirasi demiliterisasi, penghargaan terhadap HAM telah mengubah kemauan politik pemerintah yang menyangkut pola kerja dan cara berkoordinasi yang lebih tunduk pada pengawasan dan mekanisme kerja yang seimbang (control and balancing).15 Pelaksanaan tata kelola, sistem dan struktur pemerintahan yang demokratis (democratic governance) dimasukkan ke dalam agenda reformasi pokok sebagai isu esensial sebagai landasan baru mengelola identitas. Perumusan TNI sebagai prajurit profesional dimana TNI tunduk sebagai alat negara yang melaksanakan politik pemerintah (sipil) perlu didudukan pada posisi yang tepat sesuai tuntutan jaman tanpa mengesampingkan perannya dalam sejarah perjuangan bangsa adalah bentuk pelaksanaan dari agenda tersebut. Bersamaan upaya menjalankan pemerintahan yang demokratis TNI melaksanakan reformasi internal dengan mengusung paradigma baru TNI dengan tiga elemen kunci yang mengalir kuat yaitu pemberdayaan kelembagaan fungsional, TNI memainkan perannya sebagai bagian dari sistem nasional dan peran TNI tersebut dilaksanakan atas dasar kesepakatan bangsa.16 Identitas TNI yang kini telah bermetamorfosis sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI selain sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional juga adalah Tentara Profesional. Identitas terakhir merupakan rumusan yang baru diterbitkan dalam undang-undang 15 Mabes TNI, 1999, Opcit., hlm. 17. 16 Ibid., hlm. 25. 25 produk reformasi. Yang dimaksud sebagai Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, dengan mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.17 Tata kelola pemerintah yang demokratis memikirkan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada masing-masing satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien. Pengintegrasian pada tujuan kepentingan nasional itu membutuhkan pengelolaan identitas pada penugasan TNI ke dalam OMSP yang berbeda dengan doktrin pola perilaku TNI dalam OMP sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004. Menurut Robert Getso (2005) penugasan pasukan militer sebagai pasukan pemeliharaan perdamaian atau untuk tugas operasi non tempur memerlukan a cross-cultural shift pada masing-masing diri parjurit. Perubahan ini dinamakan perubahan psikologi dari budaya militer sebagai prajurit perang menjadi militer (yang sipil) yang bertugas sebagai pasukan pemeliharaan perdamiaan atau dalam istilahnya: “a psychological shift from the military culture of the war fighter to the civil military culture of the peace keeper”, 17 <http:// www.tni.mil.id/page-3-jati-diri-tni.html>. (diakes 1 November 2014) 26 dengan implikasi sosial, perilaku, psikologi dan filosofi yang perlu diperhatikan dan dilatih.18 Terdapat 2 sisi yang dapat saling berbenturan pada perubahan mentalitas TNI. Jika reformasi mental dapat terlaksana sesuai agenda yang bertahap, berlanjut dan bertingkat, akan didapatkan TNI yang memiliki jiwa korsa (esprit de corps), dan soliditas sebagai tentara profesional. Sebaliknya, jika gagal kekuatan solidaritas juga mampu mengemuka dan menghasilkan kekuatan yang dapat memicu suatu konflik baru. Sejalan dengan hal tersebut tata kelola pemerintahan yang demokratis bertujuan untuk mewujudkan kepentingan nasional yang membawa gambaran bahwa bangsa Indonesia adalah pemerintah yang demokratis, mematuhi rambu-rambu demokrasi dengan terlibat pada usaha-usaha kemanusiaan dan penghargaan pada HAM, serta militer yang profesional. 1.4.3 Diplomasi Pertahanan Kesatuan visi bagi para pemangku kepentingan yang mengatur pelaksanaan tugas misi perdamaian adalah kerangka pikir dan pemahaman akan diplomasi pertahanan. Diplomasi pertahanan merupakan komponen konseptual yang sangat penting bagi suatu pemerintahan dan pemangku kepentingan misi perdamaian yang perlu dipahami dan menjadi kemampuan menyampaikan serta menuangkan strategi pertahanan secara komprehensif 18 Robert Getso, 10 Preparing Warriors to be Peacekeepers, <http://www.class.uidaho.edu /martin_archives/peace_journal/Peacekeeping/Peacekeeping1.doc>. (diakses 1 November 2014) 27 agar menjadi kesatuan yang utuh dalam keseluruhan sistem pertahanan kepada pihak negara lain demi terciptanya perdamaian yang lebih luas.19 Diplomasi pertahanan dipahami juga sebagai seni berkomunikasi dalam rangka koordinasi dengan negara lain yang mengisyaratkan adanya kekuatan sumber daya dan kemampuan pertahanan suatu negara.20 Diplomasi pertahanan menjadi alat ataupun cara dalam mencapai tujuan yang telah digariskan oleh kebijakan kementerian pertahanan yang dikoordinasikan kepada kementerian luar negeri agar memberikan manfaat negara dalam bidang kerjasama internasional guna menghilangkan permusuhan, membangun dan memelihara kepercayaan dan membantu pembangunan angkatan bersenjata negara-negara lain yang menganut prinsip demokrasi dan penuh tanggung jawab, sehingga tercipta suatu kontribusi yang signifikan pada pencegahan dan resolusi konflik.21 Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan bahwa diplomasi pertahanan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari diplomasi total pemerintah.22 Faktor-faktor yang sangat signifikan dalam mempengaruhi diplomasi pertahanan adalah: 19 Syaiful Anwar, Ir., MA., N.Bus, Mayor Jenderal TNI, 2012, Meningkatkan Kapasitas Dan Peran Diplomat Pertahanan Untuk Membangun Pertahanan Yang Tangguh, Jakarta, Jurnal Pertahanan Mei 2012, Volume 2, Nomor 2, hlm. 107. 20 Saiful Anwar, opcit., hlm 109. 21 “Defence Diplomacy”, Opcit. 22 Saiful Anwar, opcit., hlm. 111. 28 1. Terciptanya kebijakan pertahanan pemerintah, seperti: revisi serta validasi struktur organisasi yang bertujuan pada efisiensi dan efektifitas mekanisme kerja untuk mencapai tujuan yakni yang lebih besar, lebih berpengaruh, lebih luas, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi diplomasi pertahanan. Sasaran dan target terciptanya kebijakan-kebijakan pertahanan yang tercakup dalam hal-hal seperti ini, yakni: kapabilitas untuk melihat kemungkinan negara-negara mana saja yang merupakan prioritas yang perlu dijalin kerja sama dalam bidang pertahanan, agar kepentingan nasional dapat terlindungi sekaligus dapat berperan lebih luas bagi kepentingan kesejahteraan hidup bersama dalam kawasan dunia. Upaya untuk dapat diterima oleh dua faksi atau negara yang berkonflik, kerjasama bilateral maupun multilateral dengan negara lain untuk menggalang kebersamaan berdasarkan tujuan nasional bangsa Indonesia merupakan bagian dari kerangka kerja yang dilandasi oleh Diplomasi Pertahanan.23 2. Terbentuknya kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri merupakan acuan utama setiap pemerintahan termasuk Pemerintah RI dalam menentukan strategi dan cara dalam 23 Ibid. 29 melakukan kerja sama luar negeri dalam semua bidang, termasuk dalam bidang pertahanan.24 3. Hukum Nasional. Hukum nasional seperti UndangUndang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri RI dan hukum–hukum lain bidang pertahanan yang diatur dengan perundang-undangan yang sangat ketat karena sangat sarat dengan unsur hukum dan unsur politik pemerintah.25 Menghadapi perubahan lingkungan strategis dan geopolitik, perubahan pola dan tantangan operasi pemeliharaan perdamaian dibutuhkan pula produk-produk baru perundangundangan yang mengakomodasi secara lebih spesifik kebutuhan diplomasi pertahanan agar bangsa Indonesia memiliki kemampuan mengatur tingkatan aktifitas operasional untuk mencapai tujuan tingkat kesiapan pasukan, material dan dukungan kebutuhan militer bagi pertahanan lainnya. 4. Hukum dan kebiasaan internasional (customary). Hukum internasional dapat berupa konvensi tentang pelaksanaan perang, larangan tentang pengembangan beberapa jenis senjata, UN Charter, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa ada benturan terhadap perbedaan hukum nasional dengan kebiasaan internasional menyangkut hal-hal prinsipil. Misalnya, penggunaan peace 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 113. 30 enforcement tidak sesuai dengan garis dan semangat UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kedaulatan suatu negara. Maka pemerintah masih dapat mempertimbangkan ketika hukum internasional dan penerapan konsep operasi PBB mendapat ijin dari pihak-pihak atau negara yang berkonflik. Penempatan pejabat diplomatik, komitmen Indonesia pada misi kemanusiaan, HAM yang bersifat universal, dll merupakan implementasi dari penerapan diplomasi militer.26 5. Keadaan lingkungan setempat (environment). Lingkungan yang berpengaruh signifikan, antara lain: struktur organisasi pemerintahan setempat khususnya organisasi pertahanan dan militer, termasuk juga mekanisme birokrasi dan tataran kewenangan dalam organisasi tersebut.27 Diplomasi pertahanan dengan sendirinya akan mempromosikan goodgovernance hasil tata kelola pemerintahan yang demokratis dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan infastruktur terkait sebagai alat kebijakanan keamanan dan kebijakan luar negeri. Lebih lanjut, diplomasi pertahanan dilakukan antara lain, untuk mencari perimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan stabilitas keamanan regional, peningkatan kapabilitas pertahahan, dan kemandirian pertahanan 26 Ibid. 27 Ibid. 31 suatu negara. Diplomasi pertahanan, saat ini telah menjadi alat penting dalam kebijakan keamanan dan kebijakan luar negeri suatu negara.28 Perkembangan diplomasi pertahanan mengalami penyesuaian bagi kepentingan menjaga perdamaian dunia tetapi juga memberi pengaruh positif pada kepentingan nasional sebuah negara. Berkaitan dengan hal tersebut Matthew Amstrong berpendapat bahwa saat ini berbagai negara memanfaatkan penugasan pemeliharaan perdamaian untuk memperjuangkan agenda politik luar negeri dan ekonominya serta menaikkan posisinya dalam lingkup global. Misi pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian yang dilaksanakan oleh negara manapun di dunia merupakan salah satu dari alat politik luar negeri suatu negara sekaligus membawa pergeseran standar perilaku yang semakin selektif dalam operasi penjaga perdamaian.29 Sejalan dengan pemikiran Amstrong tersebut, bagi Indonesia keikusertaan di dalam misi pasukan pemeliharaan perdamaian menunjukkan peran Indonesia yang mendukung serta memperkokoh pelaksanaan konsep politik luar negeri Bebas Aktif sebagai bagian dari diplomasi negara khususnya dalam membentuk opini publik bagi kepentingan nasional. Menurut Dewi Fortuna Anwar secara subyektif kepentingan nasional bisa didefinisikan secara jelas dengan kriteria yang obyektif dan cenderung konstan dari waktu ke waktu. Sedangkan Isharyanto menyebutkan bahwa kepentingan nasional dapati 28 29 Ibid. Lihat: Matthew Amstrong, 2010, UN Peacekeeping as Public Diplomacy, <http://www.sorldpoliticsreview.com/ authors/554/matt-amstrong>. (diakses 15 Februari 2014). 32 diartikan secara subyektif, artinya kepentingan nasional selalu berubah mengikuti preferensi subyektif para pembuat keputusan.30 Gambar di bawah ini memperlihatkan macam-macam bentuk Diplomasi Pertahanan. Gambar I. Macam-Macam Bentuk Diplomasi Pertahanan. Sumber: Jurnal Pertahanan, Mei 2012, Volume 2, Nomor 2. Senada dengan pentingnya diplomasi pertahanan yang memberikan fondasi bagi kesatuan visi dan intepretasi bagi koordinasi antar pemangku kepentingan terkait pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian, David P. Barash menyajikan pendekatan komprehensif bagi pembicaraan mengenai perdamaian dan konflik. Studi ilmu terapan inter disipliner yang baru mengajukan 3 tinjauan, salah satunya adalah tinjauan teori yang berasal dari 30 Mas Isharyanto, Kepentingan Nasional dalam Hubungan Internasional, Isharyanto: <http://wordpress.com/serambi/kepentingan-nasional-dalam-hubunganinternasional/>. (Diakses 22 Oktober 2014). 33 studi-studi strategis (strategic studies) yang lebih menekankan perpanjangan tangan suatu negara mengusung kepentingan nasionalnya yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara. Negara sendiri dipandang sebagai aktor utama dari hubungan antar negara terutama hal-hal yang berhubungan dengan koersif (pengendalian keamanan dengan bentuk kekerasan), baik aktif maupun laten. Berkenaan dengan pemikiran itu, David P. Barash menulis dalam bukunya, Peace And Conflict Studies, demikian: Diplomacy is only as effective as the military power avaliable to each side, the threats that underwrite courteous diplomatic interchanges. “Diplomacy without armaments”, according to Frederick the Great, “is like music without instruments.” (Diplomasi dan kekuatan militer yang dimiliki oleh suatu negara akan sangat membantu pengamanan negara tersebut. Keduanya ini akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu diplomasi akan jalan dengan adanya dukungan kekuatan militer, begitu juga dengan kekuatan militer akan jalan bila ada dukungan dari diplomasi. Hal ini memang seperti yang dikatakan oleh Frederik Agung yaitu diplomasi tanpa senjata sama dengan musik tanpa aransemen.)31 Pernyataan David P. Barash itu menunjukkan bahwa penyiapan prajurit TNI yang profesional guna mendukung pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian merupakan salah satu fokus bagi ukuran ketahanan negara menghadapi ancaman dari negara lain yang bersifat koersif, sekaligus juga dapat memberi ukuran akan profesionalitas kekuatan militer yang mampu digelar oleh suatu negara. Pandangan David P Barash ini sejalan dengan teori diplomasi pertahanan. 31 David P. Barash, 2002, Op.Cit.., hlm. 274. 34 Diplomasi pertahanan telah dilakukan oleh para pejabat Kemhan RI maupun TNI.32 Berdasarkan macam-macam kegiatan yang dilakukan, maka diplomasi pertahanan dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:33 1. Pembicaraan (talks), yaitu pembicaraan yang dilakukan oleh para pejabat Kemhan RI dan TNI dalam forum-forum atau pertemuan resmi yang membicarakan agenda pembicaraan yang telah ditentukan dan disepakati bersama, baik dalam forum bilateral maupun dalam forum multilateral. 2. Kegiatan Kerjasama (cooperative activites), yaitu kegiatan yang dilakukan oelh institusi Kemhan RI dan TNI baik secara individual maupun dalam bentuk unit-unit operasional dengan individual atau unit-unit operasional yang berasal dari negara lain baik secara bilateral maupun multilateral. 3. Kegiatan Atase Pertahanan (Defence Attache), yaitu kegiatan yang dilakukan personel TNI yang bertugas sebagai atase teknis di bidang pertahanan sebagai bagian dari misi diplomatik pemerintah sebagaimana Penasehat Militer (Penmil) yang bertugas di PTRI New York, PBB. 4. Misi Perdamaian (Peace Mission), yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pejabat atau perwira Kemhan RI atau TNI baik 32 Saiful Anwar, opcit., hlm. 117. 33 Ibid, hlm. 117-121. 35 secara individual maupun dalam kelompok atau kontingen dalam tugas-tugas misi perdamaian dunia maupun mediasi dalam pertikaian. Dari segi tingkatan pejabat atau personel yang ditugaskan, sekaligus fungsi yang dikerjakan, personel TNI yang terlibat dalam misi pemeliharaan perdamaian dapat digolongkan dalam enam macam penugasan, yaitu: a) Staf di UN DPKO (United Nations Departement of Peacekeeping Operations), yaitu para pejabat atau personel yang berdasarkan permintaan dan persetujuan organisasi PBB ditempatkan sebagai perwakilan Kemhan RI atau TNI untuk melaksanakan tugas tertentu yang diberikan oleh PBB yang berhubungan dengan manajemen UN peacekeeing mission. b) Komandan atau Staf lapangan di Organisasi Gabungan (Force Commander), yaitu para pejabat atau personel TNI yang diminta untuk mengisi struktur organisasi gabungan. c) Komandan atau Staf Lapangan di Organisasi Gabungan, yaitu para pejabat atau personel TNI yang diminta untuk mengisi struktur organisasi gabungan. d) Anggota Kontingen, yaitu pasukan TNI yang bertugas dalam misi perdamaian sebagai anggota kontingen. e) Pengamat Militer (Military Observer), yaitu para perwira TNI yang bertugas secara individual tetapi masuk dalam 36 organsiasi gabungan misi perdamaian untuk memantau perkembagan situasi keamanan wilayah. f) Tim Monitoring Organisasi Regional, yaitu para perwira TNI atau Kemhan RI yang diberikan tugas untuk memonitor situasi keamanan di wilayah konflik yang dimandatkan PBB. Peran Indonesia untuk secara gencar memanfaatkan kedudukannya sebagai anggota organisasi internasional di PBB sangat perlu memahami mekanisme koordinasi dan diplomasi pertahanan untuk membangun dan meningkatkan kemampuan profesionalisme TNI sebagai sumber daya bangsa (aset bangsa) yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan nasional untuk ikut serta menjaga perdamaian dunia sesuai mandat PBB. Tentunya, keikutsertaan pasukan Indonesia dalam operasi penjaga perdamaian ini sekaligus juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana peningkatan kemampuan personel TNI untuk dapat meningkatkan standar perilaku secara sistemik. 1.4.4 Laporan Brahimi (Brahimi Report) Laporan ini memberikan pengorganisasian dan koordinasi rekomendasi pengiriman atas pasukan mekanisme pemeliharaan perdamaian yang menyangkut: arahan strategis, pembuatan keputusan, penempatan pasukan secara tepat, perencanaan operasional dan dukungan serta penggunaan teknologi informasi. Dikeluarkannya laporan Brahimi (dikenal dengan sebutan: Brahimi Report-2005) membawa kesadaran baru bahwa misi 37 pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian menjadi sedemikian kompleks dan tidak bisa lagi ditangani secara konvensional dan tradisional. Indikasi ketimpangan-ketimpangan dalam pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian di lapangan demikian mendasar namun kompleks membutuhkan sistem kemitraan yang jelas dalam jalur-jalur organisasinya; membutuhkan validasi doktrin yang sehat, kuat dan membutuhkan kepemimpinan atas mandat yang realistis. Ketimpangan juga terjadi pada standar SDM yang perlu dipahami dan diterjemahkan dalam tugas-tugas lapangan sesuai garis komando. Oleh karenanya dibutuhkan masukan-masukan baru dengan parameter yang jelas dan tegas serta menggunakan evaluasi atas kinerja yang komprehensif. Rekomentasi Brahimi mengenai kecepatan penyiapan dan kapasitas pasukan yang siap untuk diterjunkan di wilayah konflik sebagai peace keepers (rapid deployment and standing capacity) menjadi salah satu hambatan yang cukup besar dalam efektifitas pengorganisasian dan koordinasi dalam pelaksanaan penggelaran operasi pemeliharaan perdamaian. Idealnya respon pasukan yang dimiliki adalah kemampuan untuk dapat bergerak cepat, efektif, fleksibel dan berkelanjutan. Padahal PBB tidak memiliki kapasitas standar seperti ini dan sangat tergantung dari kontribusi negara pengirim pasukan.Hal ini yang menyebabkan mekanisme organisasi dan koordinasi operasi pemeliharaa menjadi kompleks. Rekomendasi Brahimi dapat dipakai pula untuk menganalisis keberlangsungan penyiapan prajurit TNI dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian agar perencanaan dan upaya mengenai 38 target waktu menjadi realistis sesuai dengan perubahan pola manajemen yang memberikan memberikan hasil guna yang optimal.34 Rekomendasi itu juga menunjuk pada kelambatan PBB mempersiapkan sumberdaya dan pelaksanaan penyiapan pasukan yang memiliki pengaruh pada keberhasilan misi operasi pemeliharaan perdamaian masa mendatang. Tanpa kapasitas kesiapan dan kecepatan dalam pengiriman pasukan akan menghasilkan kegagalan terkait menghadapi persoalan menghadirkan pasukan pemeliharaan perdamaian di daerah konflik yang melibatkan aktor negara dan bukan negara (interstate conflict). Latar belakang dan kondisi wilayah konflik membutuhkan kecermatan koordinasi peran pemangku kepentingan untuk menentukan macam apa bentuk pasukan yang dikirm, kapabilitas dan konfigurasi sususnan personel/pasukan yang diterjunkan di medan operasi. Selain itu juga memastikan faktor keamanan bagi pasukan sendiri di wilayah konflik. Perlunya pengkajian dan prosedur oleh tim khusus/survey di daerah konflik terlebih dahulu merupakan persoalan krusial yang memperlambat penyiapan dan keberangkatan pasukan pemeliharaan perdamaian. Kompleksitas mekanisme ini sangat perlu bagi perhitungan target waktu bagi unsur pemangku kepentingan pemerintah RI agar dapat sekecil mungkin mengeliminir persoalan-persoalan target waktu karena panjangnya alur birokrasi dalam perencanaan pelibatan pasukan TNI. 34 Brahimi, Lakhdar, Report or the Panel on United Nations Peace Operations, Secretary General for Special Assignments in Support or the Secretary-General’s Preventive and Peacemaking Efforts. Published by the United Nations Departement of Public Information – DPI/1634/Rev.46 – April 2005. <http://www.un.org/Depts/dpko/dpko/index.asp>. (diakses 29 November 2012) 39 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah bagaimana koordinasi pada tataran strategis maupun taktis antar pemangku kepentingan pada garis vertikal maupun horisontal/sejajar berperan dan merespon tantangan koordinasi antar pemangku kepentingan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia, sehingga menghasilkan kapabilitas kerjasama yang sinergis untuk menghasilkan manfaat bagi pelaksanaan tugas KONGA menuju perubahan pola baru penanganan operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia di masa mendatang. Waktu penelitian ini dibatasi sejak pengiriman pasukan pada KONGA XXIII A – E / UNIFIL tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 di Lebanon. Periode ini penting diteliti karena pada periode inilah terjadi titik balik perubahan kebijakan terhadap operasi perdamaian dunia yang mulai dilaksanakan RI sejak diterapkannya UU TNI no 34 Tahun 2004, berdirinya PMPP TNI. Periode tersebut merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2009, dimana dalam Kepres tersebut hanya ada 3 institusi yang terkait secara langsung, yakni: Kemhan, Kemlu dan Mabes TNI. Peran DPR RI sebagai mitra pemerintah untuk menjadi penyeimbang bagi penentuan kebijakan strategis yagn menguntungkan kepentingan RI termasuk pembahasan penelitian. KONGA XXIII F dan pengiriman operasi pemeliharaan perdamaian selanjutnya tidak masuk dalam penelitian ini disebabkan sejak tanggal 29 November 2011 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2011 40 tentang Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP) dimana pada TKMPP itu terdapat, yaitu: Kemenkopolhukam RI, Kemlu RI, Kemhan RI, Kemhumham RI, Kemkeu RI, Bappenas, Sekkab, Mabes TNI, BIN dan Kepolisian RI. 1.6 Metodologi 1.6.1 Jenis Penelitian Dasar metodologis penulisan didasarkan pada pendekatan metode deskriptif – ekspalantori – kritis. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai proses koordinasi yang dilaksanakan para pemangku kepentingan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia, apa peran dan permasalahan agar menghasilakn mekanisme yang lebih sinergis antar pemangku kepentingan. 1.6.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini memakai sumber data primer yang didapat dari pemahaman dan pengetahuan narasumber sebagai pelaku langsung yang mewakili informasi sebagai pemangku kepentingan langsung terkait koordinasi pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia dengan teknik wawancara secara mendalam (in depth interview) dengan dialog tanya jawab. Wawancara juga dilakukan di lokasi/instansi para pelaku, juga menyertakan beberapa narasumber lainnya dalam jajaran institusi pemangku kepentingan yang mewakili informasi atas obyek penelitian. 41 Sumber data sekunder juga digunakan melalui studi liberatur yang terdiri dari: dokumen-dokumen, buku, artikel, yang secara deskriptif menjelaskan obyek penelitian yang memiliki korelasi dengan substansi penelitian. 1.7 Sistematika Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada analisis mengenai peran, masalah dan tantangan dalam koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengeriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia dalam kurun 20062010 dan bagaimana permasalahan koordinasi itu dapat diatasi, dengan sistematika penulisan sebagai berikut: I. Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan Manfaat Penulisan, landasan teori, ruang lingkup penelitian dan metode penelitian. II. Misi Perdamaian PBB dan Keterlibatan Indonesia dalam Dalam Operasi Pemeliharaan Perdamaian. Bab ini berisikan peran PBB dalam upaya pengiriman misi perdamaian, tantangannya berupa kemauan politik tiap-tiap negara, penggelaran cepat pasukan dan implementasi aturan pelibatan pasukan pemeliharaan perdamaian PBB. Selanjutnya deskripsi mengenai keterlibatan Indonesia dalam misi pemeliharaan perdamaian, pengakuan internasional dan target jumlah personel 42 III. Peran, Koordinasi dan Permasalahan Pemangku Kepentingan Pengiriman Pasukan Pemeliharaan Perdamaian Indonesia. Bab ini berisikan analisis atas peran, koordinasi dan permasalahan para pemangku kepentingan, yakni: Presiden RI, Kementerian Luar Negeri RI, PTRI di New York, Kementerian Pertahanan RI, Mabes TNI, PMPP TNI dan DPR RI. IV. Respon Pemangku Kepentingan Berkoordinasi Menjawab Tantangan Pengiriman Pasukan Pemeliharaan Perdamaian. Bab ini berisikan mengenai mekanisme keseluruhan koordinasi antar pemangku kepentingan. Kemudian analisis terhadap respon sesuai keempat unsur koordinasi, yakni: respon kesatuan interpretasi atas visi, respon untuk melaksanakan arahan strategis, respon untuk pencapaian target waktu, dan respon fasilitas pendukung.. Bab V. Penutup. Pada bab ini berisikan manfaat koordinasi dan kesatuan visi Diplomasi Pertahanan, serta rekomendasi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.