BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Storytelling adalah seni kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu. Aspeknya sangat luas sekali. Mulai dari studi mengenai kebudayaan masyarakat kuno, pembuatan film, hingga percakapan sehari-hari antar sesama teman. Meski cerita sudah ada jauh sebelum sejarah terbentuk, namun keinginan kita untuk mendengar cerita tetap tidak berubah hingga sekarang, begitu juga dengan keinginan untuk bercerita. Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Setiap orang pasti memiliki cerita untuk mereka bagi. Kehidupan kita, dibentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman baik yang kita alami sendiri ataupun milik orang lain. Manusia menggunakan cerita untuk memahami dunia dan apa yang terjadi pada kehidupan mereka, serta siapa diri mereka sebagai individu dan bagian dari suatu kelompok. Cerita adalah sebuah perjalanan yang akan menggerakan pendengarnya, dan ketika pendengar memutuskan untuk mengikuti perjalanan tersebut, mereka akan merasakan sesuatu yang berbeda dan hasilnya adalah persuasi atau bahkan terkadang sebuah tindakan (Jennifer Aaker: 2013). Berbeda dengan storytelling dalam sebuah iklan atau kampanye. Apakah merk menghasilkan sebuah cerita yang berkembang di masyarakat atau sebaliknya, cerita yang membentuk sebuah merk. Sekarang storytelling kerap digunakan dalam dunia marketing, khususnya dalam iklan dan kampanye. Storytelling tersebut yang nantinya akan membentuk sebuah produk melalui berbagai hal seperti word-of-mouth dan social sharing. Dunia kini sudah 1 memasuki era 3.0. 1 Berbeda dengan era 1.0 yang cenderung merupakan era promosi produk secara habis-habisan, sehingga konsep marketing pada kala itu sangatlah hard selling. Era 2.0 merupakan era yang sudah mulai bergeser pada customer. Costumer adalah raja, dalam hal ini costumer sangat dimanjakan. Sedangkan era 3.0 adalah era yang mulai memasuki New Wave marketing dimana konsep marketing harus mampu membangun sebuah storytelling dan kuat pada sisi human spirit (Hermawan: 2012). Meskipun cerita dalam suatu produk merupakan hal baru, namun potensinya sangat besar. Dikutip dari Handoko Hendroyono (Creative Storyteller OneComm) melalui akun twitternya, Handoko mengungkapkan bahwa salah satu kegunaan storytelling adalah untuk membangun sebuah brand. Pada dasarnya sebuah brand berangkat dari concern masyarakat melalui storytelling yang pada akhirnya cerita itu menjadi milik bersama. Cerita merupakan aktivitas fundamental setiap manusia, bahkan ketika kita berbicara dengan diri sendiri, kita tengah bercerita. Seperti yang diungkap oleh Guido Everaert 2 bahwa storytelling tidak hanya merupakan sebuah bahasa, namun juga mengenai menceritakan dan membuat sebuah cerita dengan cara yang menarik. Guido juga mengungkapkan bahwa storytelling adalah jalan terbaik untuk membangun kesan terhadap produk atau brand. Pada hakikatnya sebuah pesan pilihan yang dijadikan cerita dalam iklan ataupun berbagai macam program, merupakan bentuk praktik storytelling. Beberapa merk ataupun produk sudah mengaplikasikan storytelling dalam 1 Marketing 1.0 bersifat product-centric; melihat kualitas teknis menurut kacamata produsen. Marketing 2.0 bersifat costumer-centric; segala hal mengenai kualitas dilihat melalui kacamata konsumen. Marketing 3.0 bersifat human-centric; segala keutamaan yang dijual dalam era ini adalah isu-isu mulia mengenai lingkungan hidup, banyak memuat unsur yang bersifat afeksi. (http://www.bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/08/31/08184027/ketika.marketing.3.0.tiba) 2 Content Marketing Conference Europe 2014, disarikan dari sebuah website http://fusionmex.i-scoop.eu/guido-everaert-storytelling-requires-structure/ 2 program, kampanye, atau bagian dalam marketing mereka. Penggunaan storytelling tersebut banyak diaplikasikan baik untuk meningkatkan penjualan ataupun membangun hubungan antara merk dan konsumen. Fenomena ini dapat kita lihat dalam beberapa merk, seperti Oreo dan Indomie. Indomie memiliki posisi yang kuat di Indonesia didukung oleh fakta bahwa merk Indomie merupakan merk mie instan yang paling pertama hadir di Indonesia (tahun 1970, sedangkan kala itu kompetitor pertamanya adalah Sarimi yang pertama kali diproduksi pada tahun 1982). Melalui program kampanye mereka “Cerita Indomie” yang kurang lebih dilaksanakan pada tahun 2011 dengan mengajak konsumen berbagi pengalaman mereka dengan Indomie. Kemudian merk yang sekarang tengah cukup viral diperbincangkan dalam dunia daring, Oreo. Melalui kampanye mereka yang bertajuk “Nikmati Oreo Sesukamu”. Kampanye ini hampir memiliki konsep yang sama dengan “Cerita Indomie”. Kedua kampanye tersebut juga hadir dalam berbagai jenis media sosial sesuai dengan target mereka. Seperti halnya kedua merk tersebut, Dancow juga memakai konsep storytelling dalam program mereka. Yakni Melalui Dancow Parenting Center. Semangat yang dibawa oleh praktik storytelling dari beberapa produk lain, sebenarnya sama. Brand atau produk berusaha mengikut sertakan konsumen kedalam bagian ceritanya. Tak heran jika sekarang konsep consumer-brand storytelling sangat kental digunakan oleh berbagai macam produk yang bergerak melalui media baru seperti media sosial dan lain-lain. Namun konsep storytelling dalam program Dancow berbeda dengan storytelling dalam Oreo dan Indomie. Jika pada Oreo dan Indomie, konsumen hanya bercerita satu arah mengenai produk tertentu, Dancow melakukannya dengan cara yang berbeda. Dancow Parenting Center dalam programnya melalui media sosial, tidak hanya mengajak konsumennya bercerita mengenai produknya, tetapi juga berusaha membangun hubungan yang lebih dekat konsumennya. Dancow Parenting Center tidak hanya sebagai suatu program, melainkan menjadi sebuah sarana untuk mendengar 3 segala keluhan ataupun cerita konsumen, baik seputar tumbuh kembang anak ataupun cerita mengenai pengalaman menggunakan produk Dancow itu sendiri. Dancow Parenting Center merupakan salah satu contoh program kampanye yang mulai di cetuskan oleh Nestlé Dancow pada tahun 2004 dan masih aktif sampai sekarang. Dancow Parenting bertujuan membekali para orangtua dengan pengetahuan dan pemahaman bahwa pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak adalah dua hal yang patut mendapatkan perhatian yang seimbang. Pada tahun-tahun pertamanya DPC (Dancow Parenting Center) memfokuskan pada subyek Emotional Intelligence, yang intinya memberikan pandangan baru kepada orangtua bahwa untuk mendukung anak mencapai kesuksesan, orangtua perlu memperhatikan kecakapan emosi anak selain tingkat kecerdasannya. Pada tahun 2006 DPC melanjutkan programnya. Kali ini dikemas lebih terpadu dan beragam. Dengan menggunakan berbagai bentuk media, termasuk talk show di 22 stasiun radio di seluruh Indonesia, insert tips-tips di sebuah televisi nasional, dan workshop di beberapa sekolah dan rumah sakit. Hingga tahun 2008 DPC telah diminati oleh lebih dari dua juta keluarga di Indonesia. Pada tahun 2010, Dancow Parenting Center berfokus pada tema ‘Positive Parenting’ untuk membantu para orangtua dalam mempersiapkan perkembangan optimal dan kepercayaan diri anak-anak sebagai aset di masa yang akan datang. Untuk menjangkau lebih banyak orangtua agar dapat mengikuti program ini Dancow Parenting Center bekerja sama dengan berbagai pihak mengadakan kegiatan seperti; Rumah Dancow Parenting Center yang telah dikunjungi oleh lebih dari 2000 orang. Selama tahun 2010, Seminar ‘Beranda Dancow Parenting’ di 8 perkantoran besar di Jakarta berhasil menjangkau lebih dari 500 orang ibu, Radio Talkshow yang disiarkan di 15 kota di Indonesia serta berbagai informasi tentang tumbuh kembang anak lewat artikel di majalah dan program televisi. Hingga tahun ini program DPC masih berjalan dan makin beragam. Program- 4 program yang adapun telah mengadopsi pendekatan 360o dalam hal pemilihan media. Memungkinkan para orangtua mengakses informasi dari beragam sumber. Meskipun Dancow Parenting Center memanfaatkan berbagai bentuk media konvensional, program ini juga hadir dalam berbagai akun media sosial seperti Facebook dan Twitter. Penggunaan media sosial dalam kampanye tersebut banyak mencantumkan unsur storytelling yang melibatkan konsumen untuk turut memberikan cerita kepada produk (dalam hal ini Dancow). Akun media sosial Dancow Parenting Center di jejaring sosial Facebook dan Twitter merupakan sarana konsultasi secara tidak langsung bagi konsumen. Posisi media sosial dalam penelitian ini, peneliti anggap menarik dan unik karena perputaran pesan di dalam sebuah forum media sosial tersebut menghasilkan sebuah siklus pembentukan storytelling. Sebagai contoh adalah, dalam akun media sosial tersebut para konsumen dapat berbagi cerita ataupun mengungkapkan pertanyaan mereka seputar penggunaan merk Dancow dan informasi mengenai tumbuh kembang anak. Ataupun interaksi konsumen terhadap isu ataupun topik yang di lemparkan oleh program ini melalui sosial media terhadap khalayak (konsumen). Dalam setiap isu/topik yang diangkat akan dijumpai interaksi konsumen dengan brand dalam bentuk penyampaian umpan-balik oleh konsumen dalam bentuk testimoni (pengalaman menggunakan produk/merk). Dari setiap testimoni tersebut, akan kembali menghasilkan feedback (umpan-balik) dari khalayak lain yang bisa saja dikatakan pernah mengalami hal yang sama. Proses tersebut yang nantinya akan menjadi pondasi utama dalam pembentukan word-of-mouth yang berasal dari sebuah cerita. Cerita tersebut tidak lain adalah cerita yang terbentuk dalam lingkup antar konsumen yang menggunakan merk Dancow. Pembentukan fenomena dalam media sosial sebagai strategi storytelling marketing ini, yang peneliti rasa sangat unik. Karena kita tahu bahwa media sosial merupakan salah satu media baru yang bisa kita katakan ‘cukup akrab’ dengan kita melalui beberapa gawai ataupun perangkat yang kita operasikan setiap harinya. 5 Dalam penelitian ini akun-akun media sosial Dancow Parenting Center tersebut akan menjadi acuan bagi peneliti untuk mengetahui perkembangan program dan segala bentuk kegiatan yang sedang berlangsung atau akan dilaksanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai penggunaan storytelling sebagai pembentukan pesan melalui program kampanye Dancow Parenting Center dalam dunia daring. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah, bagaimana penggunaan storytelling dalam program Dancow Parenting Center melalui media sosial? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk memetakan bagaimana pembentukan storytelling dalam Dancow Parenting Center melalui media digital. Dimulai pada tahap perencanaan pesan, implementasi, dan evaluasi terhadap pesan tersebut. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1.1. Sebagai sebuah bahan pembelajaran untuk akademisi di bidang komunikasi mengenai the power of storytelling (kekuatan cerita) dalam suatu program. 1.2. Sebagai sebuah referensi untuk penelitian mengenai storytelling khususnya dalam new media di masa yang akan datang. 6 E. Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan membahas suatu fenomena penggunaan media sosial dalam Dancow Parenting Center sebagai storytelling yang merupakan bagian dari fungsi marketing, yaitu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi dari konsumen. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, konsep dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana sebuah pesan berbasis cerita (storytelling) tersebut digunakan, dan bagaimana metode penyampaian pesan tersebut berdampak pada konsumen. Apakah memberikan dampak yang signifikan atau tidak. Dalam penelitian ini, secara umum sebagian pesan dan penyampai pesan dikaji berdasarkan teori paradigma naratif, bahwa segala hal yang dilakukan dan terjadi dalam kehidupan manusia adalah sebagai bagian dari sebuah cerita. Perubahan komunikasi yang terjadi antara merk dan konsumen telah mengubah bentuk interaksi yang terjadi antara merk dan konsumen itu sendiri. Bagaimana konsumen mampu melihat produk atau merk dan mendapatkan informasi mengenai hal tersebut. Saat ini konsumen begitu mudah mengakses informasi dan menyampaikan opini mengenai suatu produk. Bagaimana merk atau produk memosisikan dirinya sendiri dan konsumen dalam sebuah lingkaran hubungan tersebut. Untuk lebih memahami konsep ini maka kerangka pemikiran ini akan dimulai dengan uraian mengenai customer-orientation. 1. Customer Oriented Jika sebelumnya konsep marketing yang dilakukan oleh pasar adalah product oriented (orientasi terhadap produk diatas hal lain) yang berfokus pada mass marketing, yakni produksi masal suatu produk. Dengan hal tersebut, produsen tidak melihat hal lain, kecuali bagaimana produk tersebut harus diterima oleh konsumen. Seolah konsumen diposisikan sebagai objek dan tidak mempunyai pilihan terhadap suatu produk. Namun pentingnya memahami orientasi konsumen mulai disadari oleh berbagai perusahan besar di seluruh penjuru dunia. Fokusnya adalah, konsumen tidak lagi sebagai 7 objek namun juga menjadi bagian atau subjek dalam kegiatan pemasaran tersebut. Dengan dimilikinya kemampuan konsumen untuk menentukan dan memilih produk, pasar semakin jeli dengan hal tersebut dan mulai melihat konsumen sebagai aset jangka panjang dalam lingkar kegiatan pemasaran. Muncullah pendekatan yang berorientasi pada konsumen. Riset menyebutkan bahwa organisasi cenderung akan lebih sukses ketika mereka melakukan pendekatan berdasarkan konsumen (customer oriented) 3. Untuk menjadi sukses, perusahaan perlu menyadari bahwa reputasi yang baik yang didasari oleh kualitas produk/jasa belumlah cukup. Perusahaan perlu menempatkan pelanggan/konsumen pada prioritas utama. Sangat jelas bahwa konsumen sebagai fokus utama dalam pemasaran adalah untuk mengembangkan ke arah pendekatan pemasaran strategis. Esensi dari konsep tersebut adalah mengetahui konsumen, tetapi tujuan utamanya adalah bukanlah keuntungan, namun lebih pada memuaskan harapan dari para stakeholders. Stakeholders bisa kita sebut sebagai individu atau kelompok yang tertarik dalam kegiatan perusahaan, seperti karyawan, manajer, pelanggan/konsumen, pemasok, pemerintah, dan lain sebagainya. Konsep pemasaran yang berorientasi kepada konsumen/pelanggan merupakan konsep yang paling sering digunakan sekarang ini. Berikut lima elemen penting dari customer oriented: 3 Norman Kennedy, Karen. Implementing a Customer Orientation: Extention of Theory and Application. Journal of Marketing Vol. 67 p67-81. 8 Sumber: Customer Oriented Marketing Concept and Strategic Enterprise Development in Balkan Economies (2000) Kotler menyebutkan bahwa perusahaan yang berorientasi terhadap konsumen adalah sebuah perusahaan yang melakukan berbagai upaya untuk melayani dan menjaga kepuasan dari kebutuhan dan keinginan dari konsumennya. Meskipun demikian, tidak semua perusahaan merupakan perusahaan yang berorientasi kepada konsumen sepenuhnya. Secara garis besar mereka terbagi menjadi tiga katagori umum, 1. Organisasi atau lembaga yang berusaha untuk lebih berpusat pada pelanggan namun tidak memilki sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukannya karena mungkin terhambat dengan kesejahteraan karyawannya. 2. Organisasi atau lembaga yang tidak berpusat pada pelanggan karena memilih untuk berkonsentrasi pada hal-hal lain selain kepuasan pelanggan. 3. Kelompok yang terakhir adalah mereka yang sengaja bertindak tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh organisasi atau lembaganya terhadap publik. Kotler (1991) juga mengungkapkan bahwa sukses tidaknya sebuah kegiatan marketing dipengaruhi oleh hubungan yang baik terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan dari suatu perusahaan 9 tertentu. Namun pendekatan Kotler ini dipandang terlalu ekstrem. Terutama oleh para praktisi marketing profesional karena mereka merasa bahwa misi dasar mereka sebagai praktisi marketing profesional akan dikompromikan karena pendekatan tersebut. Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa tidak semua perusahan berusaha berorientasi kepada pelanggan. Beberapa diantaranya tetap bersikukuh terhadap tujuan organisasi atau perusahaan mereka masing-masing tanpa memerdulikan pelanggan mereka. 2. Komunikasi Pemasaran Komunikasi pemasaran merupakan konsep penting dalam keseluruhan misi pemasaran. Sebuah sarana yang digunakan perusahaan dalam upaya untuk menginformasikan, membujuk, dan meningatkan konsumen langsung atau tidak langsung tentang produk dan merk yang mereka jual (Kotler). Lebih dalam lagi Kotler (2005:249) 4 menyebutkan adanya bauran komunikasi pemasaran (the marketing communication mix), yaitu merupakan penggabungan dari lima model komunikasi dalam pemasaran; 1. Advertising : iklan adalah sebagai bentuk komunikasi nonpersonal yang menjual pesan-pesan persuasif dari sponsor yang jelas untuk memengaruhi orang membeli produk dengan membayar sejumlah biaya untuk media. 2. Sales promotion : Sebuah upaya insentif jangka pendek yang dilakukan dengan tujuan mempersuasi ataupun mendorong khalayak untuk mencoba atau membeli suatu produk atau jasa. 3. Public relations : Khalayak memiliki peran penting dalam pemberitaan. Dalam hal ini adalah mereka merupakan target utama atau merupakan objek sekaligus subjek. Maka dari itu untuk 4 Duncan, Tom (2005). Advertising & IMC. 2nd Ed. McGraw-Hill. 10 melakukan promosi ataupun melakukan suatu perlindungan citra perusahaan akan sangat erat kaitannya dengan khalayak. 4. Personal Selling : Interaksi langsung dengan salah satu atau beberapa calon pembeli dalam kegiatan pemasaran dengan maksud untuk melakukan pertanyaan sebuah khalayak presentasi terkait (promosi), menjawab ataupun mencoba produk, mendapatkan pemesanan. 5. Direct marketing : Interaksi langsung kepada pelanggan dengan menggunakan beberapa instrumen tertentu. Biasanya melalui penggunaan surat, telpon, faksimili, e-mail, ataupun internet denga tujuan untuk berkomunikasi langsung ataupun guna mendapatkan tanggapan terkait produk ataupun jasa yang ditawarkan. Sedangkan Kotler juga menjabarkan mengenai model komunikasi dalam proses komunikasi yang terjadi dalam komunikasi pemasaran, yang memuat sembilan elemen. Sumber: Kotler (2003), hal. 565 11 Dua diantaranya mewakili bagian utama dalam proses komunikasi pada umumnya, yaitu sender (pengirim pesan) dan receiver (penerima pesan). Empat diantaranya merepresentasikan fungsi utama proses komunikasi, yaitu encoding, decoding, response, dan feedback. Dan elemen terakhir adalah noise, atau biasa disebut sebagai pesan acak atau pesan kompetitif yang memungkinkan mengganggu proses komunikasi tersebut. 3. Costumer Relationship Management Costumer Relationship Management (CRM) singkatnya adalah menjelaskan mengenai bagaimana suatu bisnis berinteraksi dengan pelanggannya. Beberapa pakar menyebutkan bahwa CRM merupakan sebuah sistem yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai pelanggan atau konsumen. Lebih jelanya, CRM merupakan sebuah strategi bisnis yang memuat penggunaan beberapa perangkat tertentu (pada umumnya perangkat lunak) dan teknologi, dengan tujuan untuk mengurangi biaya, meningkatkan pendapatan, mengidentifikasi peluang baru atau melakukan ekspansi, dan meningkatkan nilai pelanggan melalui kepuasan, profitabilitas, dan retensi 5. CRM berfokus pada peningkatan proses yang terjadi pada sebuah organisasi melalui manajemen hubungan seperti rekrutmen, pemasaran, manajemen pemasaran, layanan konsumen, dan dukungan lainnya untuk pelanggan atau konsumen. CRM sangat bersifat konsumen sentris yang artinya adalah strategi bisnis CRM menempatkan konsumen atau pelanggan sebagai pusat dalam segala kegiatan organisasi mereka. Ketika dilihat melalui perspektif konsumen, strategi CRM memungkinkan pelanggan untuk melakukan dan memudahkan interaksi mereka terhadap perusahaan ataupun organisasi. Kesuksesan interaksi 5 Aktifitas yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan yang berperan sebagai penjual untuk mengurangi atau menghindari customer defection (pembelotan konsumen, biasa terjadi karena faktor tertentu seperti persaingan harga) 12 pelanggan dalam bisnis sebuah organisasi didasari pada kemampuan organisasi atau perusahaan tersebut untuk mampu membangun hubungan yang bermakna dengan pelanggannya. Ketika sudah berbicara mengenai hubungan, jelas yang ingin dibangun oleh sebuah organisasi adalah loyalitas pelanggannya. Sebagai suatu pendekatan strategis CRM merupakan upaya organisasi atau perusahaan untuk menciptakan hubungan baik dengan pelanggan untuk mencapai loyalitas. Sehingga sangat jelas jika pendekatan strategis tersebut berhasil tentu akan memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut seperti peningkatan daya saing perusahaan yang ditandai dengan meningkatnya nilai perusahaan di mata pelanggan. 4. Teori Paradigma Naratif Penelitian ini akan menggunakan Teori Komunikasi Paradigma Naratif sebagai pondasi utama pengambilan data yang diperlukan. Artinya adalah semua data yang nantinya akan digunakan dalam penelitian didapat berdasarkan perspektif naratif. Peneliti mencoba melihat kasus ini melalui perspektif naratif, yang dimana medium (pesan) yang disampaikan adalah sebuah cerita. Fisher menyatakan lima asumsi dalam paradigma naratif (Fisher 1987). Pertama, paradigma Naratif berasumsi bahwa sifat esensial dari manusia berakar dalam cerita dan bercerita. Cerita memengaruhi kita, menggerakkan kita, dan membentuk dasar untuk keyakinan dan tindakan kita. Fisher meyakini asumsi pertama tersebut karena ia mengamati bahwa naratif bersifat universal. Keuniversalan naratif ini mendorong Fisher untuk mengemukakan istilah Homo narrans sebagai metafora untuk mendefiniskan kemanusiaan. Asumsi kedua dari paradigma naratif menyatakan bahwa orang membuat keputusan mengenai cerita mana yang akan diterima dan mana yang ditolak berdasarkan apa yang masuk akal bagi dirinya, atau pertimbangan yang sehat. Asumsi ini menyadari bahwa tidak semua cerita setara dalam hal efektivitas. Sebaliknya, faktor yang memengaruhi 13 keputusan untuk memilih cerita merupakan kode argumen yang lebih personal dibandingkan abstrak, atau apa yang kita sebut sebagai pemikiran yang logis. Asumsi adalah pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter. Asumsi ketiga ini berkaitan dengan apa yang secara khusus memengaruhi pilihan orang dan memberikan alasan yang baik untuk mereka. Asumsi keempat, rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan kebenaran sebuah cerita. Membentuk sebuah inti dari pendekatan naratif, menyatakan bahwa orang memercayai cerita selama cerita terlihat konsisten secara internal dan dapat dipercaya. Terakhir, perpektif Fisher didasarkan pada asumsi bahwa dunia adalah sekumpulan cerita, dan ketika kita memilih di antara cerita-cerita tersebut, kita mengalami kehidupan secara berbeda, memungkinkan kita untuk menciptakan ulang kehidupan kita. 5. Storytelling Storytelling atau seni bercerita sudah dikenal sejak zaman dahulu. Terdapat fenomena demikian dikarenakan kedekatan relasi antara storytelling marketing dengan word-of-mouth, social sharing, dan media sosial secara umum. Storytelling dalam ranah marketing dan komunikasi bisnis tidak hanya mengenai menceritakan sebuah cerita, namun juga merupakan sebuah teknik dan strategi yang ditujukan untuk membuat sebuah perbedaan ragam pemasaran dengan cara yang baru dan unik. Sebelumnya Aaker 6 mengungkapkan bahwa storytelling adalah sebuah perjalanan (a journey), cerita juga merupakan bagian dalam sebuah ilmu pemasaran (storytelling as a part of marketing). Beliau juga menambahkan bahwa saat ini setiap bisnis perlu mengajak customer mereka 6 Science of storytelling: why and how to use it in your marketing, untuk artikel selengkapnya dapat diakses dalam http://www.theguardian.com/media-network/media-networkblog/2014/aug/28/science-storytelling-digital-marketing 14 dalam sebuah perjalanan produk atau jasa mereka. Dengan kata lain adalah turut melibatkan konsumen dalam perjalanan produk mereka. Aaker menyebutkan mengapa storytelling sangat penting; 1. Stories shape how people see you Sebuah penelitian menyebutkan bahwa cerita yang orang lain katakan mengenai diri kita, memengaruhi bagaimana mereka melihat kita. Sama halnya dengan konsumen yang bercerita mengenai produk kita. Apakah mereka ingin membeli sesuatu dari kita, atau mempekerjakan jasa kita. 2. Stories are tools of power Ketika kita bercerita pada seseorang, mereka akan sejenak mendengarkan, disitulah terjadi proses mendengar. Dalam konteks cerita di dunia daring, berarti kita membaca. Mendengarkan dan membaca adalah salah satu manifestasi dari kekuatan (power) dalam storytelling. 3. Stories persuade and move people to action Cerita merupakan alat untuk mengadvokasi berbagai ide kita. Selain itu cerita mampu merepresentasikan perusahaan dan tujuan kita. Dilihat dari perspektif lain, cerita merupakan seni menyampaikan pesan melalui beberapa cara tertentu. Dalam komunitas bercerita, cerita yang lebih umum disepakati menjadi struktur narasi dengan gaya tertentu dan mengatur karakter yang meliputi rasa kelengkapan. Cerita digunakan untuk menyampaikan akumulasi kebijaksanaan, keyakinan, dan nilai-nilai. Melalui cerita dijelaskan pula bagaimana suatu hal, mengapa demikian, serta suatu peran dan tujuan. Cerita adalah sebuah blok bangunan pengetahuan, dasar memori dan sebuah metode belajar. Cerita menghubungkan kita dengan kemanusiaan serta hubungan masa lalu, sekarang, dan masa depan dengan mengajarkan kita untuk mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dari tindakan kita. 15 Dengan muncul dan menyebarnya komputasi dan internet, hubungan antara storytelling dan teknologi telah berubah secara drastis. Teknologi sebelumnya merupakan alat yang dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan cerita kepada khalayak yang lebih luas, namun kini teknologi telah menjadi bagian yang sangat terintegrasi dalam proses bercerita dan cerita itu sendiri. Dalam waktu yang singkat tersebut, konsep digital storytelling telah menciptakan perubahan yang signifikan bagi para pencerita untuk tidak hanya mampu menjangkau audiens baru, namun menjangkau audiens dengan cara yang baru pula. Penggunaan pendekatan storytelling melalui media digital masih bisa dikatakan sangat baru dan masih menjadi pilihan utama untuk mendapatkan audiens oleh beberapa brand dan produk tertentu. Yang menjadi fokus dari pendekatan storytelling adalah medium yang digunakan. Sebagian besar praktik storytelling dalam media digital ditemukan melalui media sosial oleh berbagai brand atau produk tertentu. Salah satu jenis pendekatan storytelling melalui media sosial adalah melalui media sosial facebook. Setidaknya terdapat dua jenis pendekatan menggunakan storytelling melalui media sosial facebook. Kedua pendekatan storytelling melalui facebook tersebut ditemukan berdasarkan penelitian dan analisis oleh tim Facebook Marketing Science berdasarkan uji cobanya dalam berbagai kampanye dari 6 iklan yang merepresentasikan sebuah tujuan marketing dalam format yang kreatif. Kedua pendekatan storytelling tersebut adalah: 1. Funnel-based storytelling, adalah jenis pendekatan storytelling menggunakan teknik penjabaran serangkaian pesan untuk “menggiring” beberapa konsumen yang potensial menuju kepada sebuah corong pembelian. Funnel-based storytelling dimuali dengan sebuah pengenalan dasar terhadap brand. Pendekatan storytelling ini sangat cocok untuk beberapa brand yang belum cukup matang dan belum cukup dikenal. Dengan mengedukasi 16 calon konsumen mengenai nilai dan beberapa substansi mengenai sebuah brand untuk memungkinkan calon konsumen mempertimbangkan brand / produk tersebut. Fokusnya adalah menggiring audiens untuk melakukan pembelian atau purchasing. 2. Priming-and-reminding storytelling, tidak seperti funnel-based storytelling pendekatannya tidak linear. Jenis eksekusi melalui pendekatan ini menggunakan berbagai format iklan dalam facebook seperti video dan tayangan iklan untuk memaparkan cerita mengenai sebuah brand atau apa yang brand tersebut tawarkan kepada calon konsumen dengan tujuan mengedukasi konsumen tersebut tentang relevansi brand atau produk tersebut dengan kehidupan konsumen (priming). Dimana pada tahap selanjutnya disertai dengan pengingat (reminding) biasanya dalam bentuk sinopsis singkat yang bertujuan untuk menekankan kembali nilai yang dapat diberikan oleh brand tersebut kepada calon konsumen. Tujuannya adalah memastikan kembali bahwa audiens atau calon konsumen mengetahui dan mengingat pesan yang disampaikan. Fokus pada pendekatan ini adalah branding. 6. Media Baru Perkembangan teknologi yang begitu cepat mengakibatkan suatu era yang dinamakan sebagai era digital. Era tersebut mampu menimbulkan konvergensi antar media. Yang dimaksud dengan konvergensi media tersebut adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan tertentu. Meskipun kita tengah berada di era digital namun masih terdapat banyak contoh media lama. Hal ini dilihat melalui perspektif fungsi dan pemakaian media tersebut. Donald Ellis memberikan suatu tatanan preposisi yang mewakili sebuah sudut pandang kontemporer pada gagasan Innis dan McLuhan. Ellis menyebutkan bahwa media yang terbesar pada suatu waktu akan membentuk 17 perilaku dan cara berpikir. Bagaimana cara kita mengatur informasi yang kita terima dan berhubungan dengan orang lain. Pendekatan interaksi sosial membedakan media sosial menurut seberapa dekat media dengan model interaksi langsung (tatap muka). Bentuk media penyiaran yang lebih lama dikatakan lebih menekan pada penyebaran informasi yang mengurangi peluang adanya interaksi. Media tersebut dianggap sebagai media informasional dan karenanya menjadi mediasi realitas bagi konsumen. Sebaliknya, media baru lebih interaktif dalam menciptakan pemahaman baru tentang komunikasi pribadi. Namun bukan berarti perkembangan teknologi yang memicu lahirnya media baru mampu menghapuskan atau mengganti media lama. Karena terdapat beberapa karakteristik media lama yang tidak bisa digantikan oleh media baru. Sebagai contoh aktualisasi pada berita yang di kemas melalui media baru belum tentu mampu memuat unsur kredibilitas. Kita tahu bahwa media baru memiliki beberapa keunggulan dalam hal aktualisasi dan kepraktisan. Namun hal tersebut tidak berarti menggeser keunggulan yang dimiliki oleh media lama seperti kredibilitas dan bersifat lebih umum. 18 Tabel 1.1: Perbandingan Media Lama dan Media Baru Media Lama • Media Baru Meliputi media cetak, radio, dan televisi. Informasi selalu bersifat formal dan dapat dipertanggung jawabkan • • Harus menunggu informasi pada jam yang dijadwalkan • • Khalayak tidak terhubung pada media dan sesama pengguna Komunikasi anonim dan heterogen Tidak memungkinkan untuk bersinggungan dengan ruang pribadi Umpan balik bersifat tertunda dan tidak langsung • Khalayak tidak memiliki keleluasaan mencari informasi yang diinginkan diluar jadwal • • • • • • • • • Meliputi media online. (Media cetak yang sudah didigitalisasi, TV online, dan radio streaming) Informasi pada situs tertentu tidak bersifat formal sehingga kredibilitas informasi tidak dipertanggungjawabkan. Contoh, Twitter. Mudah dalam pencarian informasi yang ingin didapatkan dan tidak terbatas pada jadwal tertentu Para pengguna dapat terhubung secara langsung Memungkinkan untuk bersinggungan dengan ruang pribadi (dapat diakses melalui ponsel) Umpan balik dapat disampaikan secara langsung dalam bentuk komentar Khalayak memiliki keleluasaan untuk mencari dan menemukan apa yang diinginkan Marshall McLuhan menjelaskan bahwa kita sekarang hidup dalam sebuah tatanan ‘global village’, tempat dimana kita bisa terhubung secara instan dengan siapapun dan dimanapun, meskipun berbeda lokasi dan budaya (Littlejohn & Foss 285). Salah satu hal yang cukup lazim dan sangat erat dengan media baru saat ini adalah mengenai word-of-mouth yang juga merupakan salah satu wujud social sharing. Kedua kegiatan tersebut mampu menimbulkan pertumbuhan informasi yang sangat cepat melalui media baru. Dengan bentuk baru komunikasi tersebut, kita seolah menghapus tembok tebal jarak dan lokasi, kemudian mampu berinteraksi hanya dengan men-download suatu informasi sesuai dengan keinginan kita. McQuail (2011) menyebutkan terdapat beberapa perbedaan yang muncul akibat perkembangan teknologi : 19 1. Digitalisasi dan konvergensi media 2. Interaktivitas dan konektivitas jaringan yang semakin meningkat. Publik semakin mudah dan mampu secara langsung memberikan suatu timpalan atau umpan balik terhadap suatu pesan 3. Mobilitas dan delokasi untuk mengirim dan menerima informasi 4. Adaptasi terhadap peranan publikasi dan khalayak 5. Munculnya beragam bentuk baru pintu (gateway) media 6. Pemisahan dan pengaburan dari lembaga media 7. Media Sosial Setiap harinya jutaan orang berinteraksi melalui media sosial. Data pada Desember 2011 menunjukkan bahwa 1,2 milyar orang (sekitar 82% populasi pengguna Internet di dunia yang berumur lebih dari 15 tahun) tercatat tengah menggunakan situs media sosial, meningkat sekitar 6% sejak 2007. Media sosial adalah seperangkat aplikasi yang berjalan dalam jaringan internet dan memiliki tujuan dasar ideologi serta penggunaan teknologi web 2.0 yang dapat berfungsi untuk saling tukar menukar pesan (A. Kaplan & Michael Haenlein). Membentuk sebuah lapisan baru dimana setiap individu mengatur kehidupan mereka sendiri, yang biasa kita kenal sebagai platform. Lapisan tersebut kini mampu mempengaruhi interaksi manusia pada tingkat yang lebih tinggi, dari tingkatan tiap individu hingga antar masyarakat, bahkan pada tingkatan masyarakat yang lebih besar. Sementara itu batasan dunia online dan offline semakin memudar. Pada tahun 90an BBS (Bulletin Board System) cukup populer. BBS adalah tempat pertemuan online yang memungkinkan beberapa pengguna internet mampu berkomunikasi dengan sistem sentral dimana mereka bisa sesuka hati mengunduh beberapa berkas file dan game, bahkan berkali-kali (termasuk beberapa diantaranya adalah perangkat lunak bajakan). Dan bahkan mampu menulis atau memberikan komentar berupa pesan kepada sesama pengguna web tersebut. Diakses melalui sambungan telepon via 20 saluran modem. Situs ini yang menjadi cikal bakal dimana seketika orangorang yang biasa kita sebut sebagai anti-sosial, kemudian terkesan menjadi seseorang yang sosial karena terkumpul dengan orang yang sama dalam satu situs. Konsep BBS tidak lepas dari revolusi interaksi sosial melalui internet pada tahun 1970-an yakni CompuServe. CompuServe merupakan solusi komunikasi komputer mainframe berorientasi bisnis yang kemudian diperluas ke dalam domain publik di akhir tahun 1980-an. CompuServe memungkinkan penggunanya untuk berbagi file dan akses berita dan peristiwa. CompuServe mampu menghadirkan interaksi sebenarnya pada kala itu. Tidak hanya mengirim pesan dalam format e-mail, para penggunanya mampu tergabung dengan beberapa forum diskusi CompuServe yang beranggotakan beribu orang dan berinteraksi di dalamnya. Forum tersebut terbukti sangat populer dan membuka jalan untuk iterasi modern yang kita kenal seperti sekarang. Sebagai gambaran, kini kita mengenal forum diskusi daring terbesar di Indonesia seperti Kaskus, Indowebster, dan lain sebagainya. Istilah media sosial sendiri masih terdengar baru, populernya disebut sebagai jejaring sosial. Situs berbasis jejaring sosial ini pertama dipopulerkan oleh sebuah situs bernama Classmates.com (1995) dan di susul dengan munculnya Sixdegree dengan fitur yang lebih menarik untuk bersosialiasi di jagat maya. Sampai pada saat ini kita mengenal Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube merupakan sebuah platform dalam media digital yang mampu digunakan sebagai tools atau alat untuk mengkomunikasikan suatu hal. Dalam fokus penelitian ini adalah, berbagai media sosial tersebut memiliki peran dan dampaknya dalam pendekatan terhadap audiens. Seperti yang kita tahu bahwa Twitter hanya mampu menggunakan 140 karakter yang dimana fokusnya hanya penyajian teks singkat sebagai headline untuk 21 sebuah informasi. Instagram sebagai media sosial lebih berfokus kepada penjabaran informasi dalam bentuk foto dan video singkat. YouTube merupakan sebuah media sosial yang berfokus pada penjabaran informasi berupa video yang mampu memiliki durasi cukup panjang. Sedangkan Facebook merupakan media sosial yang lebih interaktif untuk penggunanya melalui berbagai macam fitur yang disajikan. F. Kerangka Konsep Peneliti mencoba membangun logika melalui dua hal yang mendasar, komunikasi pemasaran dan teori paradigma naratif. Peneliti mengamati bahwa Dancow Parenting Center dapat dikatagorikan sebagai sebuah program yang baik profit ataupun non-profit terikat kedalam beberapa elemen-elemen yang termuat dalam konsep komunikasi pemasaran. Salah satunya adalah promosi penjualan melalui strategi tertentu. Temuan ini peneliti coba kaitkan dengan teori komunikasi, yakni teori paradigma naratif 22 yang menyebutkan bahwa setiap orang adalah pencerita dan pendengar cerita. Setiap individu menemukan beberapa pesan melalui cerita. Peneliti melihat bahwa praktik storytelling dalam program tersebut memuat beberapa unsur, seperti; cerita sebagai pesan, pengambilan keputusan atau tanggapan konsumen lain terhadap pesan cerita tersebut, dan pertimbangan terhadap cerita tersebut. Beberapa unsur tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam teori paradigma naratif. Sedangkan konsep cerita sendiri dapat dilihat melalui dua perspektif berbeda, storytelling as storytelling dan storytelling as a part of marketing. Alur logika yang peneliti dapatkan adalah; pertama, cerita terhadap suatu produk akan memengaruhi bagaimana orang lain melihat dan memosisikan produk dalam diri mereka sebagai konsumen. Cerita tersebut (dalam hal ini testimoni), akan mampu mengubah pola pandang konsumen terhadap suatu produk (Dancow). Terlebih ketika difokuskan kepada beberapa contoh post (tulisan) yang ditulis oleh salah satu akun media sosial dari Dancow Parenting Center kepada konsumen. kedua adalah, cerita tersebut memiliki power atau kekuatan baik secara langsung atau tidak langsung mengajak konsumen untuk membaca ataupun sekadar mendengarkan. Bagaimana tentang kegiatan tersebut? Seperti apa manfaat yang bisa didapatkan dari kegiatan tersebut? Informasi apa yang baik bagi sang ibu untuk tumbuh kembang anak dalam kegiatan tersebut? Dan lain sebagainya. yang terakhir adalah segala macam bentuk cerita tersebut nantinya akan mampu menggerakkan konsumen lain untuk melakukan hal yang sama, baik dalam bentuk membeli produk atau bahkan ikut serta dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Dancow Parenting Center. Dalam penelitian ini, peneliti lebih menggunakan sudut pandang cerita sebagai bagian dari pemasaran. Namun, peneliti juga mencoba mempertahankan dua pandangan tersebut. Menurut peneliti storytelling yang terjadi pada program tersebut tidak bisa dipungkiri merupakan sebuah 23 bentuk storytelling dalam ranah komunikasi pemasaran. Namun, proses terbentuknya storytelling dalam program tersebut, tidak dapat dikesampingkan merupakan bagian alami terbentuknya cerita yang nantinya akan membentuk word-of-mouth 7 dan social sharing 8. Penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana testimoni dapat membentuk cerita dalam program Dancow Parenting Center. Testimoni tersebut berupa berbagai macam interaksi konsumen melalui media sosial Dancow Parenting Center. Dari berbagai konsep tersebut semua akan dikorelasikan dengan terbentuknya storytelling melalui testimoni. Peneliti melihat hal tersebut dari sudut pandang media baru, yang artinya adalah fokus dalam setiap kajiannya merupakan bagian dari kegiatan dalam media sosial. Karena peneliti menganggap bahwa perputaran informasi (testimoni) tersebut sangat kental di berbagai media sosial DPC. Sebagai contoh adalah akun twitter Dancow Parenting Center, dan akun facebook Dancow Parenting Center yang secara tidak langsung menjadi forum bagi para ibu-ibu untuk mengetahui beberapa informasi terbaru terkait tumbuh kembang anak. Untuk lebih jauhnya mengenai penelitian ini, nantinya akan mencoba mengkaji beberapa hal mengenai pembentukan pesan atau isu yang diangkat dalam media sosial DPC. Bagaimana proses pembentukan pesan dan konsep pendekatan yang dipakai (dalam hal ini storytelling). Pemilihan serta seleksi dari beberapa pesan tersebut. Implementasi, serta evaluasi terhadap setiap pesan yang diangkat setiap kuartalnya. Apakah pengaruh storytelling dalam 7 Word of Mouth atau biasa disebut sebagai WOMM (Word of Mouth Marketing) adalah sebuah perilaku pengaruh yang disengaja dari seorang pelanggan kepada pelanggan lain. Juga dikenal sebagai social media marketing, viral marketing, buzz, dan praktik pemasaran secara gerilya. Para pemasar setidaknya telah menghabiskan lebih dari 1.54 milyar USD untuk inisiasi WOMM pada tahun 2008, dan jumlah biaya yang semakin meningkat sampai sekarang. (Kozinets, dkk. 2010) 8 Social Sharing merupakan sebuah praktik berbagi konten dalam media digital seperti website media sosial ataupun menggunakan sebuah media berupa aplikasi. Berbagai jenis bentuk dari social sharing adalah diantaranya mengirimkan foto, video, rekomendasi terhadap suatu produk, atau pertukaran tautan (link). 24 setiap isu yang diangkat dalam media sosial DPC mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap respon dari para anggota media sosial tersebut. G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penentuan pendekatan penelitian ini diambil berdasarkan penjelasan Yin (2003) yang menyatakan mengenai pertimbangan penggunaan desain penelitian berdasarkan studi kasus. Pertama mengenai fokus dari penelitian tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan “how” dan “why”, kedua ketika kita tidak bisa memanipulasi perilaku orang-orang yang terlibat dalam penelitian tersebut, ketiga adalah ketika penelitian kita ingin menjangkau kondisi-kondisi kontekstual karena kita yakin kondisi-kondisi tersebut relevan dengan fenomena yang tengah diteliti. Atau dengan kata lain ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteks tidak begitu jelas. Berdasarkan tiga poin tersebut, maka pendekatan studi kasus deskriptif merupakan pilihan yang sesuai untuk penelitian ini. Peneliti tergerak oleh rasa keingintahuan mengenai siklus komunikasi yang kini dikenal sebagai salah satu teknik komunikasi pemasaran, storytelling dalam kampanye Dancow Parenting Center. Praktik storytelling dalam marketing telah banyak dilakukan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Baik yang dibentuk dari kampanye itu sendiri ataupun terbentuk oleh umpan-balik dari audiens produk itu sendiri. Sehingga, untuk memenuhi hal tersebut, pendekatan penelitian ini akan dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode penelitian studi kasus deskriptif. 2. Objek Penelitian Penelitian ini menentukan objeknya adalah Media Sosial Dancow Parenting Center. Dancow adalah salah satu produk dari Nestlé yang diproduksi dalam kategori susu bubuk instan. Brand awareness masyarakat terhadap Dancow secara umum sendiri sudah cukup tinggi, sekitar 21,9% 25 (TOP Brand 2014). Kini Dancow mencoba menjadi inspirasi bagi para konsumen dan calon konsumennya melalui program Dancow Parenting Center. Dari program tersebut, Dancow menggunakan metode storytelling dalam media baru. 3. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian nantinya akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer nantinya akan diperoleh melalui interaksi langsung terhadap beberapa narasumber yang peneliti pilih berdasarkan kriteria tertentu. Data selanjutnya adalah data sekunder sebagai pendukung data primer. Data-data yang dimaksud tersebut adalah data dari berbagai media sosial akun Dancow Parenting Center, literasi-literasi mengenai storytelling marketing, dan kajian artikel yang relevansi dengan bahasan peneliti. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mampu mendapatkan data yang terbaik, tentu diperlukan teknik pengumpulan data yang adaptatif. Dalam artian lain adalah mampu menyesuaikan dengan keadaan penelitian dan objek yang diteliti. Berikut adalah beberapa teknik yang sudah peneliti rencanakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini; 1.4.1. Wawancara Wawancara akan dilakukan kepada konsumen yang terlibat di dalam program Dancow Parenting Center. Indikasi keterlibatan dalam program tersebut adalah melalui kajian media baru yakni mereka yang mengetahui atau mengikuti perkembangan terhadap program Dancow Parenting Center melalui beberapa akun Dancow dalam berbagai media sosial (khususnya facebook). Data yang diharapkan dari teknik pengumpulan data ini adalah opini maupun reaksi informan atau beberapa hal lain 26 yang merepresentasikan tanggapan terhadap Dancow Parenting Center. 1.4.2. Observasi Observasi merupakan deskripsi sistematis peristiwa, perilaku, dan artefak dalam pengaturan sosial yang di gunakan dalam perihal studi (Marshall and Rossman, 1989). Observasi telah digunakan dalam berbagai disiplin ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan data mengenai orang, proses, dan budaya dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode observasi non partisipatif. Dimana peneliti tidak terlibat langsung dalam kegiatan Dancow Parenting Center, namun memosisikan diri sebagai pengamat dalam kegiatan tersebut. 1.4.3. Analisis Pesan Media Analisis ini nantinya akan dilakukan terhadap media sosial dari Dancow Parenting Center dalam Facebook. Data yang akan digali menggunakan metode pengumpulan data ini adalah mengenai bagaimana pesan dari media sosial DPC di Facebook. Melihat kecenderungan konsumen menanggapi isu yang diangkat oleh DPC, serta mengkatagorikan beberapa isu yang diangkat kedalam berbagai golongan. 5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Analisis nantinya akan lebih bersifat interpretif (penafsiran) dari berbagai data yang peneliti dapatkan. Sehingga, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan Explanation Building. Menganalisa data dengan cara membuat eksplanasi atau penjelasan mengenai kasus yang peneliti kaji. Teknik analisis ini menggunakan hipotesis awal yang peneliti dapatkan. Selanjutnya data-data tersebut akan dianalisis. Dari hasil analisis tersebut diharapkan peneliti mampu mendapatkan simpulan umum yang nantinya 27 akan membangun penjelasan mengenai hal yang relevan terhadap kajian penelitian peneliti. Kemudian kembali merujuk pada hipotesis awal apakah hipotesis tersebut terbukti atau tidak. Selain itu pada akhirnya nanti penelitian ini mampu digunakan untuk kajian dalam ranah yang sama. 6. Batasan Penelitian Penelitian ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut; 1.6.1. Penelitian ini hanya meneliti mengenai praktik penggunaan storytelling dalam Dancow Parenting Center melalui media baru (dalam hal ini media sosial) pada tahun penelitian ini dilaksanakan 1.6.2. Penelitian ini tidak meneliti marketing dari Dancow secara umum, melainkan secara spesifik terhadap siklus komunikasi berbasis cerita (storytelling) dalam media sosial 1.6.3. Penelitian ini hanya melihat pengaruh praktik program Dancow Parenting Center dalam media sosial melalui paradigma dan teori yang sudah ditetapkan di dalam penelitian ini 28