Pendahuluan Pembelajaran adalah suatu proses yang rumit karena tidak sekedar menyerap informasi dari guru tetapi melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih baik, Soekarwati (dalam dimyati, 2002). Kegiatan belajar mengajar yang berlangsung melibatkan guru dan siswa dalam sebuah interaksi. Interaksi akan menjadi maksimal jika melibatkan antara guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa. Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas selama ini seringkali satu arah dimana siswa hanya mendengarkan apa yang disampaikan guru. Oleh karenanya, siswa perlu dilibatkan secara aktif untuk berinteraksi dengan guru atau antar siswa (Fathurohman, 2007). Ketercapaian tujuan pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar, hasil belajar tergantung pada cara guru dalam mengajar dan kegiatan yang ada dalam proses pembelajaran tersebut. Kondisi pembelajaran yang hanya satu arah dan tidak melibatkan siswa selama proses pembelajaran menyebabkan hasil belajar siswa yang rendah. Hal ini tampak dari pencapaian nilai kelas VII SMP Pangudi Luhur Salatiga. Nilai rata-rata yang dicapai siswa dikelas, yaitu 55,36 dimana nilai rata-rata itu masih dibawah nilai KKM yang ditetapkan oleh sekolah adalah 65 serta batas ketuntasan yang dicapai masih jauh di atas 75% yaitu 43,8% dimana 56,2% belum tuntas. Menurut observasi yang dilakukan didalam kelas, dalam pembelajaran ini hanya siswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi saja yang bisa menerima materi dengan baik, sementara siswa yang tingkat akademisnya rendah belum dapat menerima materi dengan baik, siswa bersikap pasif dalam pembelajaran. Guru menjelaskan materi pelajaran, kemudian memberikan contoh soal, latihan soal dan pekerjaan rumah kepada siswa. Kegiatan pembelajaran ini menimbulkan kebosanan kepada siswa untuk mengikuti proses pembelajaran, sehingga menyebabkan interaksi dan komunikasi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa dalam pembelajaran tidak terlaksana dengan baik. Interaksi di kelas dalam kegiatan pembelajaran menjadi hal yang penting, karena dalam kegiatan belajar mengajar tidak hanya siswa saja yang mendapatkan manfaat, namun juga guru memperoleh umpan balik (feedback) apakah materi yang disampaikan dapat diterima murid dengan baik. Peran guru dalam pembelajaran sangat penting, interaksi antara guru dengan siswa pada saat proses belajar mengajar memegang peranan penting dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Prosentase kemampuan siswa dalam memahami dan mengingat materi apa yang telah dipelajari 2 sebelumnya hanya 5% jika mereka sekadar mendengarkan penjelasan guru. Siswa akan mampu mengingat dan memahami materi lebih dalam dan lama jika mereka mampu menjelaskan isi materi kepada orang lain. “Pemahaman dan daya ingat siswa dalam menjelaskan isi materi kepada orang lain mencapai 90%” (Harry van de Wouw, 2010). Kemungkinan kegagalan guru dalam menyampaikan suatu pokok bahasan disebabkan pada saat proses belajar mengajar guru kurang membangkitkan perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran serta kurangnya interaksi dan komunikasi antar siswa dan guru. Kondisi ini berlaku juga dalam pembelajaran matematika di kelas VII SMP Pangudi Luhur Salatiga, dimana melalui wawancara dengan guru dan observasi kelas yang telah dilakukan pada tanggal 4 Januari 2012, diketahui bahwa perilaku siswa di kelas memiliki permasalahan mengenai hubungan interpersonalnya. Pengamatan yang dilakukan tersebut dapat dilihat bahwa siswa sulit mengawali dan mengakhiri pembicaraan dengan guru, sulit mengatakan tidak setuju akan sesuatu hal apabila mereka merasa keberatan akan hal tersebut, masih banyak siswa yang masih sulit mengungkapkan pendapat dalam situasi dan pembelajaran yang terlaksana dominan dipegang oleh guru yaitu interaksi yang terjadi sering satu arah dan siswanya kurang merespon aktif pembelajaran di kelas. Hal ini dapat menyebabkan siswa sulit untuk beradaptasi secara langsung, tidak mampu untuk menyatakan tidak, membuat permintaan serta mengekspresikan perasaan secara penuh kepada orang lain. Permasalahan ini tidak dapat dibiarkan karena dapat berpengaruh terhadap hasil belajar dan hubungan sosial siswa, keterampilan komunikasi interpersonal yang dimiliki siswa khususnya siswa dengan guru. Keadaan ini harus diperhatikan dan diperlukan upaya untuk memperbaiki pembelajaran matematika tujuan adanya peningkatan komunikasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dalam pembelajaran diperlukan perubahan model pembelajaran yang di gunakan yaitu model pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa, sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk dapat berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain (Lie, 2002:7). Model pembelajaran paired storytelling dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajar dan bahan pelajaran menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara (Lie, 2008). 3 Model pembelajaran yang dapat memicu komunikasi antara siswa dengan guru dan komunikasi antara siswa dengan siswa, salah satunya adalah penerapan model pembelajaran Paired Storytelling dalam kelompok kecil. Penggunaan model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan komunikasi pembelajaran matematika pada siswa, guru dan bahan pelajaran yang akan digunakan. Inti dari pembelajaran kooperatif Paired Storytelling ini adalah siswa berperan secara aktif membangun pengetahuan yang dimilikinya dan bertukar pikiran bersama teman kelompok kecilnya dan guru (Lie, 2002:70 ). Pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan pengajaran langsung. Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik, model pembelajaran kooperatif juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa (Usman, 2002 : 30). Penerapan pembelajaran kooperatif dalam kelas membawa dampak yang positif bagi siswa dan guru. Hal tersebut terlihat pada penerapan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write yang dilakukan oleh Dewi (2010), bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dan siswa memberikan respons yang cukup positif terhadap pembelajaran dikelas. Sejalan dengan hal tersebut, penerapan pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share yang dilakukan oleh Ulfa (2011), terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa di kelas. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Arini (2011), penerapan model kooperatif Paired Storytelling dapat berjalan dengan baik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan menerapkan metode ini siswa lebih berani dan percaya diri dalam berbicara di depan teman-temanya dan penerapan metode Paired Storytelling dapat meningkatkan ketrampilan berbicara siswa. Adanya proses komunikasi yang baik memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya termasuk meningkatnya hasil belajar siswa (NCTM, 2000). Berkaitan dengan penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan komunikasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika menggunakan pembelajaran Paired Storytelling dengan mengambil judul “Penerapan Model Pembelajaran Paired Storytelling dalam Kelompok Kecil untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIIc SMP Pangudi Luhur Salatiga”. 4 Kemampuan Komunikasi Komunikasi berasal dari bahasa Inggris communication dan dari bahasa latin communicatus yang mempunyai arti berbagi atau menjadi milik bersama, sehingga komunikasi diartikan sebagai proses sharing diantara pihak-pihak yang melakukan aktifitas komunikasi tersebut (Wiloso, 2010:150). Komunikasi merupakan proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain (Ruben dan Steward, 1998). Sejalan dengan Wiloso dan Ruben, Forsdale (1981) seorang ahli pendidikan terutama ilmu komunikasi menerangkan bahwa komunikasi adalah cara yang digunakan sehari-hari dalam menyampaikan pesan atau rangsangan (stimulus) yang terbentuk melalui sebuah proses yang melibatkan dua orang atau lebih. Komunikasi merupakan awal mula membangun sebuah hubungan dan akan mempengaruhi kelanjutan hubungan tersebut, jika hubungan dan komunikasi terjalin baik, timbul sikap saling menghargai memberikan perhatian lebih satu dengan yang lain. Maka hubungan akan terjalin lama atau panjang. Sebagaimana sebagai sesuatu yang melekat pada diri individu, komunikasi terus berkembang melalui refleksi terus menerus dari individu-individu yang melakukannya. Dalam komunikasi sesungguhnya peran perasaan dan emosi sangat penting. Komunikasi sebagai ilmu juga mengalami perkembangan. Sebagai suatu ilmu, beberapa ahli telah menyusun teori-teori mengenai komunikasi. Salah satunya adalah teori komunikasi antar pribadi menurut Dance dan Carl Larson. Menurut teori ini, komunikasi antar pribadi secara tepat mengatur tiga fungsi sebagai aspek komunikasi, yaitu : fungsi untuk menjalin hubungan antara seseorang dengan lingkungannya, memungkinkan individu untuk melakukan konseptualisasi dan merencanakan setiap elemen, fungsi mental dan fungsi mengatur dalam arti mengatur individu yang bersangkutan maupun individu lain. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah adanya proses penyampaian suatu pernyataan atau pertanyaan oleh seseorang kepada orang lain untuk menjalin hubungan dan berinteraksi secara berkepanjangan. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah individu dengan individu dalam kehidupannya. Pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis antara guru dengan siswa ada tiga pola. Pertama adalah komunikasi satu arah, dalam 5 komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru aktif siswa pasif. Ceramah pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Komunikasi jenis ini kurang banyak menghidupkan kegiatan siswa dalam belajar. Kedua adalah Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama yakni pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling memberi dan saling menerima. Komunikasi ini lebih baik dari pada yang pertama, sebab kegiatan guru dan kegiatan siswa relative sama. Ketiga adalah Komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai tranaksi, komunikasi yang tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara guru dengan siswa tetapi juga melibatkan interaksi dinamis antara siswa yang satu dengan yang lainnya Untuk mencapai hasil belajar yang optimal, disini guru dituntut untuk membiasakan diri menggunakan komunikasi sebagai tranaksi. Hasil belajar siswa sedikit banyak dipengaruhi oleh jenis komunikasi yang digunakan guru pada waktu mengajar (Sujdana, 2008:31). Hasil Belajar Hasil belajar siswa, belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari pengajar (guru), seperti yang dikemukakan oleh Sudjana. Menurut Sudjana ( 2004 : 22), hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajaran setelah mengalami aktivitas belajar (Anni, 2004:4). Hasil belajar siswa ini merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik dibandingkan pada saat sebelum belajar. Sejalan dengan Anni, Sutrisno (dalam Winkel, 1996:22), mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa dalam menerima pengalaman belajarnya. 6 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar dan dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Hasil belajar tersebut digunakan oleh guru untuk dijadikan oleh guru untuk dijadikan ukuran dalam mencapai tujuan pendidikan. Proses belajar yang berlangsung menyebabkan terjadinya perubahan dan peningkatan mutu kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan siswa, baik dari segi kognitif, psikomotor maupun afektif. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian; ranah afektif yaitu berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai; ranah psikomotor yaitu meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Batasan hasil belajar yang dimaksud pada penelitian ini adalah hasil belajar pada ranah kognitif siswa, dimana siswa dapat mengetahui, memahami, menganalisis setiap soal yang diberikan oleh guru. Hasil belajar ini juga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor biologis (jasmaniah), kondisi fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi keberhasilan belajar. Di dalam menjaga kesehatan fisik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain makan dan minum yang teratur, olahraga serta cukup tidur. Faktor Psikologis, kondisi mental yang dapat menunjang keberhasilan belajar adalah kondisi mental yang mantap dan stabil. Faktor psikologis ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, intelegensi. Intelegensi atau tingkat kecerdasan dasar seseorang memang berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar seseorang. Kedua, kemauan. Kemauan dapat dikatakan faktor utama penentu keberhasilan belajar seseorang. Ketiga, bakat. Bakat ini bukan menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam suatu bidang, melainkan lebih banyak menentukan tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam suatu bidang. 7 Faktor Eksternal adalah faktor lingkungan keluarga, suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya perhatian orangtua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan anak-anaknya maka akan mempengaruhi keberhasilan belajarnya. Faktor lingkungan sekolah, hal yang paling mempengaruhi keberhasilan belajar para siswa disekolah mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, pelajaran, waktu sekolah, tata tertib atau disiplin yang ditegakkan secara konsekuen dan konsisten. Faktor lingkungan masyarakat, masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengruh terhadap belajar siswa karena keberadannya dalam masyarakat. Lingkungan yang dapat menunjang keberhasilan belajar diantaranya adalah, lembaga-lembaga pendidikan nonformal, seperti kursus bahasa asing, bimbingan tes, pengajian remaja dan lain-lain. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar seseorang dan dapat mencegah siswa dari penyebab-penyebab terhambatnya pembelajaran. Model Pembelajaran Paired storytelling Pembelajaran paired storytelling adalah salah satu model pembelajaran kooperatif dan dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, guru, dan bahan pengajaran Lie (2003: 70). Guru yang menggunakan metode ini harus memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pembelajaran menjadi lebih bermakna, sebagaimana tujuan paired storytelling yaitu untuk membantu siswa mengaktifkan skemata kebudayaan yang sesuai untuk memaksimalkan pemahaman secara keseluruhan (Lie, 2003:70). Model pembelajaran paired storytelling ini adalah model pembelajaran yang menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Bahan pelajaran yang cocok untuk teknik pembelajaran ini adalah yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dipakainya bahan-bahan yang lainnya. Dalam kegiatan pembelajaran dengan model paired storytelling, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan hasil pemikiran mereka akan dihargai sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar (Ranita 2011). Berdasarkan pada pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran paired storytelling adalah model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berbagi pikiran dan pengalaman belajarnya kepada teman satu kelompok dengan tujuan memperbaiki kegiatan belajar. 8 Kelebihan dalam model paired storytelling adalah 1) Siswa akan termotivasi dan bekerja sama untuk tampil bercerita, dalam kelompok tersebut mereka harus bekerja sama untuk mendapatkan nilai yang terbaik. 2) Siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam bercerita akan memotivasi siswa lain yang kurang terampil berbicara di depan kelas. 3) Meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. 4) Setiap siswa memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berkontribusi dalam kelompoknya. 5) Interaksi dalam kelompok mudah dilakukan; pembentukan kelompok menjadi lebih cepat dan mudah. Langkah-langkah pembelajaran Paired Storytelling Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model paired storytelling antara lain : 1) Guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk satu hari. Kegiatan brainstroming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap mengahadapi bahan pembelajaran yang baru. Dalam kegiatan ini, guru perlu menekankan bahwa kesiapan mereka dalam mengantisipasi bahan pelajaran yang akan diberikan pada hari itu dan keharusan bekerja sama dalam kelompok. 2) Siswa dikelompokkan secara berpasangan. 3) Guru membagi bahan pembelajaran yang akan diberikan menjadi dua bagian. 4) Bagian pertama diberikan kepada siswa yang pertama, sedangkan bagian kedua diberikan kepada siswa yang kedua. 5) Siswa diminta melakukan kegiatan bersama-sama dengan pasangannya, seperti mencatat dan mendaftar bagian yang penting yang ada dalam bagian masingmasing. 6) Masing-masing siswa menuliskannya sesuai dengan bagiannya masing-masing, kemudian berdiskusi untuk saling melengkapi isi materi. 7) Setelah selesai menuliskan kesimpulan, masing-masing kelompok siswa diminta untuk membacakan di depan teman-temannya. 8) Pendapat yang disimpulkan siswa tidak harus sama dengan bahan yang sebenarnya Tujuan kegiatan ini bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar, melainkan untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar. Di akhir presentasi guru memberikan kesimpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan. 9 Alasan Peneliti Menerapkan Model Pembelajaran Paired Storytelling Penerapan model pembelajaran paired storytelling ini adalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi siswa dikelas baik, komunikasi yang terjadi antar siswa maupun guru dengan siswa. Selain kemampuan komunikasi siswa tersebut penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa, dimana dalam proses pembelajaran yang berlangsung siswa dapat bertukar pikiran dan berbagi pengalaman belajar siswa didalam kelas. Maka peneliti merumuskan tujuan penerapan model pembelajaran paired storytelling sebagai berikut: 1. pembelajaran yang terjadi di kelas tidak hanya berpusat pada guru, tetapi melibatkan siswa selama proses pembelajara. 2. Dengan siswa ikut terlibat selama proses pembelajaran, maka siswa akan mendapatkan pengalaman belajar sendiri dan akan lebih berkesan bagi siswa 3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir dan bertukar pendapat dengan siswa lain 4. Melatih keberanian siswa untuk bercerita atau presentasi di depan kelas hasil kerja kelompok siswa 5. Guru selain sebagai pengajar, guru dapat berperan sebagai fasilitator siswa selama proses pembelajaran berlangsung Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK), yang dilakukan pada sebuah kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang diterapkan pada suatu subjek di kelas tersebut. Penelitian dilakukan dengan tujuan penerapan model pembelajaran paired storytelling dalam kelompok kecil untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan hasil belajar siswa. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas model Kemmis dan McTaggart (1988) yang dalam pelaksanaanya terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan (planning) adalah tahapan mengidentifikasi masalah dan membuat hipotesis tindakan yang dapat menyelesaikan masalah yang ingin diatasi dengan penyelenggaraan penelitian tindakan kelas, tindakan (acting) adalah tahapan yang dilakukan untuk memperbaiki masalah dengan penerapan strategi yang akan digunakan, pengamatan (observing) adalah tahapan peneliti melakukan pengamatan dan mencatat semua halhal yang diperlukan dan terjadi selama pelaksanaan tindakan berlangsung dan refleksi 10 (reflecting) adalah langkah untuk mengkaji secara menyeluruh tindakan yang telah dilakukan, berdasar data yang telah terkumpul, dan kemudian melakukan evaluasi guna menyempurnakan tindakan yang berikutnya. Model ini komponen tindakan (acting) dan pengamatan (observing) sebagai satu kesatuan. Karena kenyataannya antara implementasi “acting” dan “observing” merupakan dua kegiatan yang tak terpisahkan, yaitu dilakukan dalam satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya suatu “acting” maka “observing” harus dilaksanakan. Adanya pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan secara siklus tersebut diharapkan semakin lama akan semakin dapat meningkatkan perubahan dan perolehan hasil belajar siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Pangudi Luhur Salatiga dengan subjek kelas VIIC yang berjumlah 32 siswa, yaitu diantaranya 16 siswa lakilaki dan 16 siswa perempuan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik tes, observasi dan dokumentasi. Tes dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar yang diperoleh siswa sedangkan observasi digunakan untuk mengamati proses pelaksanaan pembelajaran yang terjadi di kelas dan bagaimana kegiatan komunikasi yang terjadi di kelas dengan penerapan model pembelajaran paired storytelling di dalam kelas. Data yang diperoleh dalam setiap siklus penelitian dianalisis dengan menggunkan Teknik analisis data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan tentang apa yang dilakukan saat penelitian tindakan kelas berlangsung dalam model pembelajaran paired storytelling dengan mengambil nilai evaluasi belajar siswa dan melihat komunikasi siswa selama pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang dilakukan untuk menganalisis menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi siswa adalah dengan melakukan observasi kegiatan pada setiap pertemuan yang berlangsung kemudian dicari prosentase ketuntasan kegiatan komunikasi pada setiap siklusnya kemudian dilihat peningkatannya. Ketuntasan kegiatan komunikasi ini ditentukan pada batas yaitu 70% (marno, 2008). Sedangkan hasil belajar siswa harus mencapai batas ketuntasan yang ditetapkan sekolah yaitu 65%. Disamping hal tersebut, dalam kelas selama proses pembelajaran siswa-pun sudah mampu melakukan komunikasi dengan baik, yaitu dapat bertukar pikiran dengan teman satu kelompok kemudian mampu mempresentasikan hasil kerja kelompok mereka di depan kelas maka dengan demikian dapat dikatakan tindakan telah berhasil. 11 Hasil-hasil Pembahasan Penelitian ini didapatkan bahwa penerapan model pembelajaran paired storytelling dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan hasil belajar siswa terhadap matematika. Peningkatan tersebut diawali dengan peningkatan keterlibatan siswa selama melakukan komunikasi selama proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran paired storytelling. Peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan komunikasi di kelas dapat dilihat pada tabel berikut ini, peningkatan ini dari sebelum adanya tindakan sampai kepada siklus I dan siklus II. Penerapan model paired storytelling ini mampu merangsang siswa untuk melakukan komunikasi di kelas baik dengan siswa lain maupun dengan guru. Adanya komunikasi yang demikian menyebabka pembelajaran tidak hanya satu arah lagi tetapi pebelajaran yang multiarah. Komunikasi tersebut dapat berupa: siswa mampu mengungkapkan reaksi/ tanggapan terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, siswa mampu memberikan informasi, siswa bersediaan untuk mendengarkan dan memperhatikan lawan bicara, Pengungkapan diri sesuai dengan fakta yang terjadi dan menjelaskan perasaan, siswa mampu mencegah salah pengertian dan meredakan kemarahan dalam komunikasi, siswa mampu menaruh kepercayaan untuk membantu memperlancar tercapainya tujuan komunikasi. Adanya kemampuan siswa melakukan komunikasi tersebut menyebabka pembelajaran dengan model paired storytelling semakin baik dilakukan pada siswa dan menyebabka pembelajaran di kelas lebih berkesan bagi siswa, karena siswa mengalami pengalaman belajar sendiri di kelas. Berikut ini adalah peningkatan komunikasi yang terjadi pada tiap siklus. Tabel 1 Peningkatan kemampuan komunikasi siswa Pra-siklus Siklus I Siklus II Prosentase 38% 57,6% 87,5% Kriteria Kurang baik Cukup baik Baik Belum mencapai Belum mencapai sudah mencapai indikator indikator indikator keberhasilan keberhasilan keberhasilan sekali Keterangan Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan komunikasi siswa dalam kelas selama mengikuti proses pembelajaran dengan adanya penerapan model paired storytelling. Dari hasil observasi yang dilakukan ditemuakan adanya perubahan komunikas siswa 12 selama proses pembelajaran. Pembelajaran pada siklus I siswa masih terlihat mengalami kesulitan mengikuti pembelajaran dengan adanya model pembelajaran paired storytelling ini, karena ini merupakan pengalaman belajar siswa dalam belajar menggunakan model paired storytelling. Siswa masih sering bertanya kepada guru apa yang menjadi tugas mereka dan apa yang harus mereka lakukan, siswa juga terlihat canggung dalam melakukan tukar pendapat dengan teman satu kelompok maupun saat siswa melakukan presentasi dikelas. Siklus I ini juga ada siswa yang benar-benar tidak berani melakukan presentasi di kelas, walaupun guru dan siswa lain mencoba membujuk tetapi belum membuat siswa ini melakukan presentasi dikelas jadi guru mencoba mencari jalan keluarnya dengan melakukan pendekatan dengan siswa ini. Pada siklus ini siswa masih menyesuaikan diri selam proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran pada siklus II kegiatan komunikasi yang berlangsung dikelas sudah mulai mengalami peningkatan dan telah mencapai indicator keberhasilan yang menjadi tujuan pembelajaran ini. Siswa sudah mulai terbiasa melakukan komunikasi dan tidak canggung lagi dalam melakukan tukar pendapat maupun presentasi didepan kelas. Siklus II ini semua siswa sudah mampu melakukan komunikasi di depan kelas baik kepada siswa lain ataupun kepada guru. Siswa yang awalnya tidak berani untuk presentasi, pada siklus II siswa berani melakukan komunikasi di depan kelas. Hasil belajar siswa-pun mengalami peningkatan dari hasil pra-siklus ke siklus I dan ke siklus II dengan adanya penerapan model pembelajaran paired storytelling. Pembelajaran pra-siiklus hasil belajar siswa masih rendah, hanya 14 siswa yang mengalami ketuntasan nilai KKM sedangkan 18 siswa lainnya belum mencapai nilai KKM, artinya hanyamencapai nilai klasikal 43,8%. Sehingga pada pembelajaran prasiklus ini belum mencapai indikator keberhasian yang diharapkan yaitu 65%, untuk itu dilakukanlah perbaikan pembelajaran pada siklus !. Pembelajaran siklus I didapat hasil belajar siswa sebanyak 17 siswa yang tuntas sedangkan 15 siswa belum mencapai nilai KKM atau belum tuntas, artinya dalam siklus I tercapai ketuntasan klasikal sebesar 53,1%. Pembelajaran siklus I ini belum tercapainya indicator keberhasilan, maka dilakukanlah perbaikan kembali pada siklus II. Pembelajaran pada siklus II telah mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan, sebanyak 28 siswa mencapai nilai KKM dan hanya 4 siswa yang belum mencapai nilai KKM yang diharapkan. Ketuntasan klasikal yang diperoleh sebesar 87.5%. Pembelajaran siklus II 13 ini telah berhasil dilakukan dan telah mencapai indikator keberhasilan. Berikut ini adalah table 2, peningkatan hasil belajar dari tiap siklus yang terjadi. Tabel 2 Peningkatan hasil belajar siswa Pra-siklus Siklus I Siklus II Tuntas 14 siswa 17 siswa 28 siswa Tidak tuntas 18 siswa 15 siswa 4 siswa Prosentase 43,8% 53,1% 87.5% Belum mencapai Belum mencapai indikator indikator keberhasilan keberhasilan Keterangan Mencapai indikator keberhasilan Berdasarkan pada uraian diatas, dapat dilihat bahwa dengan adanya penerapan model pembelajaran paired storytelling dapat meningkatkan kemampuan komunikasi siswa dan hasil belajar siswa. Peningkatan yang terjadi dalam pembelajaran dapat terlihat dengan baik. Hal ini menunjukan bahwa pembelajaran yang terjadi pada prasiklus ke siklus I dan ke siklus II mengalami peningkatan yang sangat baik dalam hasil belajar siswa. Awalnya pada pra-siklus yang tidak tuntas ke siklus I mengalami peningkatan walaupun belum tuntas, tetapi pada siklus II telah terjadi ketuntasan. Nilai rata-rata kelas juga mengalami peningkatan dari nilai pra-siklus ke siklus I dan ke siklus II. Penerapan model pembelajaran paired storytelling dalam proses pembelajaran di kelas dapat menunjukan adanya keberhasilan siswa dalam belajar, hal ini tidak terlepas dari keterlibatan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran di kelas. Komunikasi yang terwujud antara siswa dengan siswa dan dengan guru pun mulai terlihat perbedaannya. Pembelajaran pra-siklus terlihat bahwa komunikasi yang terjadi masih sangat kurang sekali dilakukan dalam kelas, sedangkan pada pembelajaran siklus I ke siklus II setelah diterapkannya model pembelajaran paired storytelling terlihat kenaikan prosentase kegiatan komunikasi. Awalnya pada siklus I siswa yang masih ragu-ragu dan kurang percaya diri dalam menyampaikan pendapat pada siklus II siswa sangat percaya diri dan mampu menyampaikan pendapatnya dengan baik. Penerapan model pembelajaran paired storytelling ini membawa dampak yang positif bagi guru dan siswa karena di dalam kelas terjadi komunikasi multiarah dan siswa-pun terlihat aktif berinteraksi satu dengan yang lain. Pada siklus 14 II ini siswa sudah mulai terbiasa melakukan komunikasi dalam kelas. Penerapan model pembelajaran paired storytelling mampu mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan indikator keberhasilan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari setiap siklus yang telah di laksanakan, dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling dengan pokok bahasan himpunan pada siswa kelas VIIC SMP Pangudi Luhur Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2011/2012, dapat memperbaiki komunikasi yang terjadi di kelas dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model paired storytelling dapat meningkatkan komunikasi dan hasil belajar siswa, hal ini dapat dilihat dari : a) Terdapat kenaikan prosentase ketuntasan klasikal dari prosentase klasikal prasiklus sebesar 43.8%, 53.1% pada siklus I dan 87.5% pada siklus II. b) Terdapat kenaikan prosentase komunikasi yang dilakukan melalui observasi dari pra-siklus sebesar 37.5%, 57.6% pada siklus I dan 79.7% pada siklus II. c) Dampak dari penerapan model pembelajarn paired storytelling menyebabkan komunikasi dan kerjasama siswa meningkat sehingga dalam proses pembelajaran terdapat interaksi multiarah antar siswa dan guru dengan siswa. 15 DAFTAR PUSTAKA Anni, T.C. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UNNES Press Asikin. M. 2001. Matematika Realistik: Paradigma Baru Pembelajaran Matematika dan Upaya Peningkatan “Mathematical Communication” Dimyati. 2002 Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Harry van de Wouw ( Workshop “Teaching and Learning in for Vocational High School (SMK) Teachers”, di Kampus Terpadu, Sabtu (27/8/’10) Bantul). Di unduh 10 juni 2011. Johnson, DW,& Johnson,R. 1989. Cooperative and Competion: Theoru and Research. Edina,MN: Interaction Book Company. Lie Anita, 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo. Makalah Seminar. Disajikan dalam Seminar Nasional Matematika di UNY Yogya, 21 April. Marno dan Idris. 2008. Strategi dan Metode Pengajaran. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA NCTM. (1980). Teacing solving in school mathematics. Reston, Virginia : The National Coucil of Teachers of Mathematics. Inc. Di unduh 10 Januari 2012 Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudiana, Nana, 2008. Dasar-Dasar Proses Belajar-Mengajar. Bandung: Sinar baru algensido. Ruben, Brent D,Stewart, Lea P. 2005. Communication and Human Behaviour. USA: Alyn and Bacon Sugandi, A.I. (2002). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matmatika Melalui Model Belajar Kooperatif Tipe Jigsaw. Trianto, 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi aksara. Wiloso, Pamerdi. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Salatiga: Widya Sari Press. 16 Windrawanto, Yustinus. Komunikasi Antar Pribadi. Salatiga: Widya Sari Press (Anggota ISBN perpustakan Nasional). Winkel, WS. 1996. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : Gramedia Yonny, Acep dkk. 2010. Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Familia. ©2010 - Tentang Garuda - Manajemen Portal. http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1207106-091321/ (di unduh 9 Januari 2012) Digital Library. DDC Rs 372.622 ARl p (di unduh 9 Januari 2012) http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/issue/current. (di unduh 9 Januari 2012) http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/03/pengertian-definisi-hasil-belajar.html (di unduh 10 februari 2012) http://stitattaqwa.blogspot.com/2012/04/komunikasi-dalam-manajemenpendidikan.html (di unduh 10 februari 2012) http://indramunawar.blogspot.com/2009/06/hasil-belajar-pengertian-dan-definisi.html (di unduh 23 februari 2012) http://ian43.wordpress.com/2010/12/23/pengertian-pembelajaran-kooperatif/ (di unduh 23 februari 2012) http://blog.unm.ac.id/hakim/2010/02/16/model-pembelajaran-kooperatif/ (di unduh 23 februari 2012) 17