9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Kegiatan belajar a. Pengertian Belajar Proses belajar memegang peranan yang vital, selain itu juga orang tua memegang peranan penting di dalam proses belajar anak. Dalam belajar akan terjadi suatu perubahan tingkah laku seperti menurut Sardiman (1994 : 23), “Belajar adalah usaha untuk mengubah tingkah laku” Belajar sebagaimana proses menuju suatu perbuatan yang lebih baik dari sebelumnya. Oemardi Hamalik (2001 : 27), :Belajar adalah suatu proses, ssuatu kegiatan dan bukan hasil atau tujuan” Hasil atau tujuan bukan tujuan utama dalam belajar tetapi yang paling penting adalah dalam belajar itu. Menurut Agoes Soeyanto (1995 : 12) , “Belajar adalah suatu proses perubahan pada diri manusia karena usaha untuk mencapai kehidupan atas bimbingan cita-citanya sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidupnya” Belajar adalah perubahan tingkah laku yang permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat, atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan dan mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain (Made Pidarta, 2002 : 197) 10 Sejalan dengan itu, ada pula tafsiran lain tentang belajar yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. A. Ciri-ciri belajar adalah 1. Perubahan yang terjadi secara sadar.. 2. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional. 3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. 4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. 5. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. (Abu Ahmadi, 2002 : 15-16). B. Konsep Belajar dan Mengajar Konsep belajar dan mengajar sangat mudah dipahami. Bila terjadi proses belajar, pasti saat itu pula terjadi proses mengajar. Hal ini dikarnakan jika seseorang belajar pasti ada yang mengajarnya dan begitu pula sebaliknya kalau ada yang mengajar tentu ada yang belajar. Kalau sudah terjadi interaksi, antara yang mengajar dan yang belajar, sebenarnya ada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi, walaupun guru dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga sedang belajar. Perlu ditegaskan bahwa kehidupan ini adalah proses belajar mengajar, baik sengaja maupun tidak disengaja, disadari atau tidak disadari. Dari proses belajar mengajar ini akan diperoleh suatu hasil, yang pada umumnya disebut hasil pengajaran, atau dengan istilah tujuan pembelajaran atau hasil belajar. 11 Tetapi agar memperoleh hasil yang optimal, proses belajar-mengajar harus dilakukan dengan sadar, sengaja dan terorganisir secara baik. Di dalam proses belajar mengajar, guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek belajar, dituntut adanya profil kualifikasi tertentu dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap dan tata nilai serta sifat-sifat pribadi agar proses itu dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, beberapa pakar pendidikan mengembangkan beberapa pengetahuan, misalnya pisikologi pendidikan, metode mengajar, pengelolaan pengajaran dan ilmuilmu lain yang dapat menunjang proses belajar mengajar itu. C. Makna belajar Usaha pemahaman mengenai makna belajar ini akan diawali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa definisi tentang belajar antara lain sebagai berikut: 1. Cronbach memberikan definisi: Learning is shown by a change in behavior as a result of experience. 2. Harold Spears memberikan batasan: Learning to observe, to read, to imate, to try something themselves, to listen, to follow direction. 3. Geoch, mengatakan bahwa: Learning is a change in performance as a result of practice. Dari ketiga definisi di atas, dapat diterangkan bahwa belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Belajar akan lebih baik, kalau peserta didik atau yang belajar mengalami, 12 melakukan atau praktik langsung atau yang sering disebut pembelajaran behavioristik. Jadi, sistem belajar tidak bersifat verbalistik. Di samping definisi tersebut, ada beberapa pengertian lain yang cukup banyak, baik yang dilihat secara mikro maupun secara makro, dilihat dalam arti luas atau pun terbatas/khusus. Dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Relevan dengan ini, ada pengertian belajar ialah “penambahan pengetahuan”. Definisi atau konsep ini dalam praktiknya banyak dianut di sekolah-sekolah. Para guru berusaha memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan siswa giat untuk mengumpulkan atau menerimanya. Dalam kasus yang demikian, guru berperan hanya sebagai “pengajar”. Sebagai konsekuensi dari pengertian yang terbatas ini, kemudian muncul banyak pendapat yang mengatakan bahwa belajar itu menghafal. Hal ini terbukti, misalnya siswa akan ujian, mereka akan menghafal terkebih dahulu. Sudah pasti menghafal sebuah pengertian-pengertian atau definisidefinisi belumlah memadai. Selanjutnya ada yang mendefinisikan “belajar adalah berubah” Dalam hal ini yang dimaksudkan belajar berarti usaha mengubah tingkah laku. Jadi, belajar akan membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Jelasnya menyangkut segala aspek organisme dan 13 tingkah laku pribadi seseorang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Secara umum, belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara manusia dan lingkungannya, yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori. Dalam hal ini terkandung suatu maksud bahwa proses interaksi itu adalah : a. Proses internalisasi dari sesuatu kedalam diri yang belajar. b. Dilakukan secara aktif, dengan segenap pancaindra ikut berperan. Proses internalisasi secara aktif dengan segenap pancaindra perlu ada follow up-nya yakni proses “sosialisasi” dalam hal ini dimaksudkan mensosialisasikan kepada pihak lain. Dalam proses sosialisasi, karena berinteraksi dengan pihak sudah barang tentu melahirkan suatu pengalaman. Dari semua pengalaman itulah yang akan menyebabkan proses perubahan pada diri seseorang. Orang yang tadinya tidak tahu setelah belajar menjadi tahu. Jelasnya, proses belajar merupakan perubahan tingkah laku dari pengalaman yang diperoleh. Oleh karena itu, dapat dikatakan terjadi proses belajar, apabila seseorang menunjukkan tingkah laku yang berbeda. Sebagai contoh, orang yang belajar itu dapat membuktikan pengetahuan tentang fakta-fakta baru atau dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya ia tidak dapat melakukannya. Jadi belajar menempatkan seseorang dari status abilitas yang satu ke tingkat abilitas yang lain. 14 Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar. Dalam hal ini ada beberapa yang penting untuk diketahui, antara lain: a. Belajar pada hakikatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya. b. Belajar memerlukan proses dan penahapan serta kematangan diri pada siswa. c. Belajar akan lebih efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam , lain halnya belajar dengan rasa takut dan dibarengi dengan rasa tertekan. d. Belajar dapat dilakukan dengan tiga hal yaitu: 1. diajar secara langsung. 2. kontrol, kontak, penghayatan, pengalaman langsung. 3. pengenalan atau peniruan. e. Belajar melalui praktik atau mengalami secara langsung akan lebih efektif, mampu membina sikap, keterampilan, cara berfikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja. f. Perkembangan pengalaman peserta didik akan mempengaruhi kemampuan belajar anak. g. Belajar dapat diubah kedalam banyak tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri. D. Tujuan Belajar Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang lebih kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan proses mengajar. Mengajar diartikan sebagai suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dipengaruhi oleh berbagai konsep yang masing-masing akan saling mempengaruhi. Konsep-konsep itu misalnya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, dan materi yang ingin diajarkan. Mengenai tujuan-tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi. Tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan intruksional, lazim dinamakan dengan intruksional effect, yang bisa berbentuk 15 keahlian dan keterampilan. Sedang tujuan-tujuan yang lebih merupakan hasil sampingan yaitu: tercapai karena siswa menghidupi suatu sistem lingkungan belajar tertentu seperti contohnya kemampuan berfikir kritis dan kreatif. Dari uraian di atas, apabila ditinjau secara umum, maka tujuan belajar itu ada tiga jenis, yaitu: a. Untuk mendapatkan pengetahuan Hal ini ditandai dengan kemampuan berfikir. Sebuah pengetahuan dan kemampuan berfikir ialah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengembangkan kemampuan berfikir tanpa pengetahuan, sebaliknya kemampuan berfikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru lebih menonjol. b. Penanaman konsep dan keterampilan Penanaman konsep atau merumuskan konsep, juga memerlukan suatu keterampilan. Jadi soal keterampilan yang bersifat jasmani maupun rohani. Keterampilan jasmaniah adalah keterampilan-keterampilan yang dapat dilihat, diamati, sehingga akan menitikberatkan pada keterampilan gerak/penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang belajar. Keterampilan memang dapat dididik, yaitu dengan banyak melatih kemampuan. Demikian juga mengungkapkan perasaan melalui bahasa tulis atau lisan, bukan soal kosa kata atau tata bahasa, semua memerlukan bahasa latihan. 16 c. Pembentukan sikap Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk ini dibutuhkan kecakapan khusus dalam mengarahkan motivasi dan berfikir dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model. Hal inilah yang mendorong beberapa pakar pendidikan mengembangkan beberapa penngetahuan yang menyangkut tentang pendidikan. E. Beberapa Teori Tentang Belajar Pada mulanya teori-teori belajar dikembangkan oleh para ahli psikologi dan dicobakan tidak langsung kepada manusia di sekolah, melainkan menggunakan percobaan dengan binatang. Baru pada tingkat perkembangan berikutnya, para ahli mencurahkan perhatiannya pada proses belajar-mengajar untuk manusia. Pada tingkat perkembangan berikutnya para ahli mencurahkan perhatiannya pada proses belajar-mengajar untuk manusia di sekolah. Penelitian yang tertuang dalam teori yang berbagai macam jenisnya, ada yang mereka sebut dengan : Programmed Text, Teaching Machines, Association Theory dan lainlainnya teori-teori ini kemudian berkembang pada suatu stadium yang berdasar atas prinsip Conditioning, yakni pembentukan antara stimulus dan respon. Sehubungan dengan uraian di atas, maka kegiatan belajar itu cenderung diketahui sebagai proses psikologis, terjadi di dalam diri seseorang. Oleh kerena itu, sulit diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar. Dalam 17 hal ini secara global ada tiga teori yakni, teori Ilmu Jiwa Daya. Ilmu Jiwa Gestalt, dan Ilmu Jiwa Asosiasi. a. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Daya Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya. Masing-masing daya dapat dilatih dalam rangka untuk memenuhi fungsinya. Untuk melatih suatu daya dapat digunakan berbagai cara atau bahan. Sebagai contoh untuk melatih daya ingat dalam belajar misalnya dengan menghafal kata-kata atau angka, istilah-istilah asing, Begitu pula untuk daya-daya yang lain. b. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagianbagian/unsur. Sehingga dalam kegiatan belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh. Tokoh yang merumuskan penerapan dari kegiatan pengamatan ke kegiatan belajar adalah Koffka. Dalam mempersoalkan belajar, Koffka berpendapat bahwa hukum-hukum organisasi dalam pengamatan itu berlaku/bisa diterapkan dalam kegiatan belajar. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa belajar itu pada pokoknya adalah penyesuaian pertama, yakni mendapatkan respon yang tepat. Menurut ilmu jiwa Gestalt, belajar sangat menguntungkan siswa untuk bisa memecahkan masalah. Hal ini juga tampaknya relevan dengan konsep belajar yang diawali dengan suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. 18 Kemudian bagaimana seseorang itu dapat memecahkan masalahnya. Menurut J. Dewey ada lima langkah upaya pemecahan , yakni: 1. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memahami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan. 2. Mengajukan hipotesis, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah. 3. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumbersumbeer lain 4. Menilai dan usaha pembuktian hipotesis dengan keteranganketerangan yang diperoleh. c. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Asosiasi Ilmu Jiwa Asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Dari aliran ini ada dua teori yang sangat terkenal, yakni: Teori Konektionisme dari Thorndike dan Teori Conditioning dari Pavlov. 1. Teori Konektionisme. Menurut Thorndike, dasar dari belajar itu adalah asosiasi atau hubungan antara kesan dari panca indra (sense impresion) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang demikian ini dinamakan “connecting”. Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respon ini akan terjadi suatu hunbungan yang erat kalau sering dilatih. Berkat latihan yang terus-menerus, hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi terbiasa, otomatis. 19 Mengenai hubungan antara stimulus dan respon tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip atau hukum di antaranya sebagai berikut: a. Law of effect Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat, kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa lenyap kalau disertai perasaan tidak senang. Karena itu adanya usaha membesarkan hati, memuji (penguatan) dan kegiatan reinforcement sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini akan lebih baik dibanding kegiatan yang bersifat menghukum karena akan kurang mendukung. b. Law of multiple response Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respons yang tepat itu tidak segera tampak, sehingga individu yang belajar harus berulang kali mengadakan percobaan sampai respons itu muncul dengan tepat. Prosedur inilah yang dalam belajar lazim disebut dengan istilah trial and error. Tetapi kalau dikaji secara teliti, saat manusia menghadapi problema, alternatif-alternatif pemecahannya biasa dipilih, dikira-kira mana yang lebih tepat dan sesuai untuk menghasiilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian tujuan. Jadi tidak sekedar coba-coba seperti pada binatang (pada wawal percobaan Thorndike dengan kucing). Oleh karena itu, istilah trial and error, lebih baik disebut dengan “discovering the right path to the objective”. 20 c. Law of exercise atau Law of use and disuse Hubungan stimulus dan respon akan lebih erat kalau sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh karena itu perlu banyak latihan, ulangan dan pembiasaan. d. Law of assimilation atau Law of analogy Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberi respon yang sesuai dengan situasi sebelumnya. Hukum-hukum yang dikemukakan Thorndike banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Namun perlu diingat, bahwa teori konektionisme dengan hukum-hukumnya diterapkan dalam kegiatan belajar sebenarnya ada beberapa keberatan. Keberatan-keberatan dari teori ini antara lain: 1) Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis. Apabila ada stimulus, dengan sendirinya atau secara mekanis timbul respons. Latihan-latihan ujian, bahkan ulangan dan ujian para subjek didik banyak yang berdasarkan hal-hal semcam ini. 2) Pelajaran bersifat teacher centered. Dalam hal ini guru aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek didik/siswa (guru memberi stimulus). 3) Siswa menjadi pasif, kurang terdorong untuk berfikir dan juga tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Siswa belajar menunggu datangnya stimulus dari guru. 4) Teori ini lebih mengutamakan materi, yakni hanya memupuk pengetahuan yang diterima dari guru dan cenderung menjadi intelektualistis. 21 2. Teori Conditioning Kalau seseorang mencium bau sate, air liur pun mengalir keluar. Demikian juga kalau seseorang naik kendaraan di jalan raya, begitu lampu merah, berhenti. Bentuk kelakuan itu pernah dipelajari berkat conditioning. Bentuk kelakuan semacam itu pernah dipelajari oleh Pavlov dengan mengadakan percobaan dengan anjing. Tiap kalai anjing itu diberi makan, lampu dinyalakan. Karena melihat makanan, air liurnya keluar. Begitu seterusnya hal itu dilakukan berkali-kali dan sering diulangi, sehingga menjadi kebiasaan. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka suatu ketika lampu dinyalakan tapi tidak diberi makan, air liur anjing pun keluar. Dalam praktek kehidupan sehari-hari pola seperti itu banyak terjadi. Seseorang akan melakukan sesuatu kebiasaan karena adanya suatu tanda. Misalnya anak sekolah mendengar lonceng, kemudian berkumpul, tentara akan mengerjakan atau melakukan segala sesuatu gerakan karena aba-aba dari komandannya, permainan sepakbola itu akan terhenti kalau mendengar bunyi peluit. Teori ini kalau diterapkan dalam kegiatan belajar juga banyak kelemahannya, antara lain: a. Percobaan dalam laboratorium, berbeda dengan keadaan yang sebenarnya b. Pribadi seseorang (cita-cita, kesanggupan, minat, emosi dan sebagainya) dapat mempengaruhi hasil eksperimen. c. Respons mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal. Dengan kata lain, tidak dapat diramalkan terlebih dahulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseorang. 22 d. Teori ini sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk menjelaskan segala seluk-beluk belajar yang ternyata sangat kompleks. Melihat ketiga teori belajar yang dirumuskan menurut ilmu jiwa daya, gestalt maupun asosiasi, ternyata memang berbeda-beda. Namun demikian sebagai teori yang berkait dengan kegiatan belajar, ketiganya ada beberapa persamaannya. Persamaan itu antara lain mengakui adanya prinsip-prinsip berikut ini: 1) Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan factor yang sangat penting. 2) Dalam kegiatan belajar selalu ada halangan atau kesulitan. 3) Dalam belajar memerlukan aktivitas. 4) Dalam menghadapi kesulitan, sering terdapat kemungkinan bermacammacam respons. 3. Teori Konstruktivisme Di samping teori-teori tersebut, penting juga untuk diketahui mengenai “Teori Konstruktivisme”. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Secara sederhanan konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi dari dalam proses belajar. Sebuah pengertian bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang 23 diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Jadi sesorang yang sedang belajar itu membentuk pengertian. Bettencourt (1989) menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak bertujuan mengerti hakekat realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang sesuatu (Paul Supano, 1997). Menurut pandangan dan teori konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif dari si subjek belajar untuk merekonstruksi makna, sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya lebih berkembang. Sehubungan dengan itu, ada beberapa cirri atau prinsip dalam belajar (Paul Suparno, 1997) yang dijelaskan sebagai berikut: a. Belajar mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. b. Konstruksi makna adalah proses yang terus-menerus. c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil pengembangan, tetapi pengembangan itu sendiri. d. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. e. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, si subjek belajar, tujuan, motivasi yang memengaruhi proses interaksi dengan bahan yang dipelajari. Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana si subjek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subjek belajar juga mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari. 24 Sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, maka proses mengajar, bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke subjek belajar/siswa, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subjek belajar merekonstruksi sendiri pengetahuannya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan subjek belajar dalam membentuk pengetahuan, dan membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan justifikasi. Prinsip penting, berpikir lebih bermakna daripada mempunyai jawaban yang benar atas sesuatu. Karena itu guru dalam hal ini berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu optimalisasi belajar siswa. Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dalam lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor. F. Konsep Dasar Perencanaan Pembelajaran 1. Definisi Perencanaan Ada beberapa definisi tentang perencanaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Cunningham mengemukakan bahwa perencanaan adalah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasikan dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan 25 perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian. 2. Perencanaan Pembelajaran Pembelajaran atau pengajaran menurut Degen adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam hal ini secara implicit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini didasarkan pada kondisi pengajaran yang ada. Kegiatan ini pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran. Konsep pembelajaran yang dipakai dalam buku ini memiliki maksud yang sama dengan konsep pembelajaran yang telah disusun sebelumnya (Uno, Hamzah:1998). Dalam hal ini, istilah pembelajaran memiliki hakikat perencanaan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi mungkin berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. G. Dasar Perlunya Perencanaan Pembelajaran Perlunya perencanaan pembelajaran sebagaimana disebutkan di atas, dimaksudkan agar dapat dicapai perbaikan pembelajaran. Upaya perbaikan pembelajaran dilakukan dengan asumsi sebagai berikut: 26 a. Untuk merancang suatu pembelajaran, perlu menggunakan pendekatan sistem. b. Perencanaan desain pembelajaran diacukan pada bagaimana seeorang belajar. c. Untuk merencanakan suatu desain pembelajaran diacukan kepada siswa secara perorangan. d. Sasaran akhir dari perencanaan desain pembelajaran adalah mudahnya siswa untuk belajar. e. Inti dari desain pembelajaran yang dibuat adalah penetapan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. H. Prinsip-Prinsip Umum Tentang Mengajar Prinsip umum yang harus dijadikan pegangan guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar adalah sebagai berikut: a. Mengajar harus berdasarkan pengalaman yang sudah dimiliki siswa. Apa yang sudah dipelajari merupakan dasar dalam mempelajari bahan yang akan diajarkan. b. Pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan harus bersifat praktis. Bahan pengajaran yang bersifat praktis berhubungan dengan situasi kehidupan. c. Mengajar harus memperhatikan perbedaan individual setiap siswa. Ada perbedaan individual dalam kesanggupan belajar. Setiap individu mempunyai kemampuan potensial seperti bakat dan inteligensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. d. Kesiapan dalam belajar sangat penting dijadikan landasan dalam mengajar. Kesiapan adaalah kapasitas, baik bersifat fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu. e. Tujuan pengajaran harus diketahui siswa. Tujuan pengajaran merupakan rumusan tentang perubahan perilaku apa yang diperoleh setelah proses belajar-mengajar. f. Mengajar harus mengikuti prinsip psikologis tentang belajar. Para ahli psikologis merumuskan prinsip, bahwa belajar itu harus bertahap dan bertingkat. Oleh karena itu, dalam mengajar haruslah mempersiapkan bahan yang bersifat gradual, yaitu: 27 1. Dari sederhana kepada yang kompleks (rumit). 2. Dari konkret menjadi yang abstrak. 3. Dari umum kepada yang kompleks. 4. Dari yang sudah diketahui kepada yang tidak diketahui. I. Tipe-Tipe Belajar Dalam praktik pengajaran, penggunaan suatu dasar teori untuk segala situasi merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Tidak ada suatu teori belajar pun yang cocok untuk segala situasi. Menurut Gagne, belajar mempunyai delapan tipe. Kedelapan tipe itu bertingkat, ada hierarki dalam masingmasing tipe. Setiap tipe belajar merupakan prasyarat bagi tipe belajar diatasnya. Kedelapan tipe itu adalah sebagai berikut: a. Belajar isyarat Belajar isyarat mirip dengan conditioned respons atau respon bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk, lambaian tangan merupakan isyarat, sedangkan datang dan diam adalah respon. b. Belajar stimulus-respons. Berbeda dengan belajar isyarat, respons bersifat umum, belajar stimulusrespon sama dengan teori asosiasi. Setiap respon dapat diperkuat dengan reinforcement. c. Belajar rangkaian. Rangkaian atau rantai dalam chaining adalah semacam rangkaian antara berbagai stimulus-respon yang bersifat segera, seperti gerakan mengangkat sepatu, dan makan-minum. d. Asosiasi Verbal Tipe belajar ini adalah mampu mengaitkan suatu yang bersifat verbalisme kepada sesuatu yang sudah dimilikinya. e. Belajar Diskriminasi 28 Tipe belajar ini adalah pembedaan terhadap rangkaian seperti membedakan berbagai bentuk wajah. f. Belajar Konsep Konsep merupakan simbol berfikir. Hal ini diperoleh dari hasil memuat tafsiran terhadap fakta atau realita, Dan hubungan antara berbagai fakta. g. Belajar Aturan Tipe belajar aturan adalah lebih meningkat dari tipe belajar konsep. Dalam belajar aturan, seseorang telah dipandang memiliki berbagai konsep yang dapat digunakan untuk mengemukakan berbagai formula, hukum, atau dalil. h. Belajar Memecahkan Tipe belajar ini adalah memecahkan masalah. Tipe belajar ini dapat dilakukan seseorang apabila dalam dirinya sudah mampu mengaplikasikan berbagai aturan yang relevan dengan masalah yang dihadapinya. 2. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Belajar Siswa a. Faktor dari dalam Diri Siswa Siswa adalah sekelompok manusia yang akan diajar, dibimbing, dan dibina menuju pencapaian tujuan belajar yang ditentukan. Siswa juga mempunyai peranan dalam proses belajar mengajar. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar terjadi interaksi antara guru dan siswa, dan antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya, yaitu terjadinya saling tukar informasi dan pengalaman mengarah kepada interaksi proses belajar mengajar yang optimal (Ali, 1993). Proses belajar mengajar menurut konsep ini, siswa menggunakan seluruh kemampuan dasar yang memilikinya sebagai dasar untuk melakukan berbagai kegiatan agar memperoleh prestasi belajar yang optimal. Dalam 29 hal ini, fungsi guru dalam proses belajar mengajar seperti diungkapkan oleh Sardiman (1992) adalah : Mencari perangsang atau motivasi agar siswa maU melakukan satu tujuan tertentu. 1. Mengarahkan seluruh kegiatan belajar kepada suatu tujuan tertentu 2. Memberi dorongan agar siswa mau melakukan seluruh kegiatan yang mampu dilakukan untuk mencapai tujuan. b. Faktor Metode Mengajar Mengajar atau mentransfer ilmu dari guru kepada siswa memerlukan suatu teknik atau metode tertentu. Metode tersebut dengan istilah metode mengajar. Dalam dunia pendidikan telah dikenal berbagai metode mengajar yang dapat digunakan . Di sekolah atau lembaga pendidikan tertentu terdapat banyak mata pelajaran dan tiap mata pelajaran mempunyai tujuan-tujuan tersendiri. Untuk mencari tujuan tersebut setiap guru harus memilih metode mengajar yang manakah yang paling tepat untuk mata pelajaran atau pokok bahasan yang akan diajarkannya. Hal tersebut disebabkan karena tidak semua pokok bahasan cocok untuk diterapkan satu mata pelajaran atau pokok bahasan. Oleh karena itu, guru yang mampu menggunakan berbagai metode pengajaran dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar akan dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa (Roestiyah, 1993). 30 c. Faktor Guru Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh seseorang tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Untuk menjadi seorang guru, diperlukan syarat-syarat khusus, apa lagi seorang guru yang profesional yang harus menguasai seluk beluk pendidikan dan mengajar dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu. Guru merupakan unsur penting dalam keseluruhan sistem pendidikan. Oleh karena itu peranan dan kedudukan guru dalam meningkatkan mutu dan kualitas anak didik perlu diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Status guru bukan hanya sebatas pegawai yang hanya semata-mata melaksanakan tugas tanpa ada rasa tanggung jawab terhadap disiplin ilmu yang diembannya. Dalam pendidikan itu, guru mempunyai tiga tugas pokok yang dapat dilaksanakan sebagai berikut : 1. Tugas profesional Tugas profesional ialah tugas yang berhubungan dengan profesinya. Tugas profesional ini meliputi tugas mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan. 2. Tugas manusiawi Tugas manusiawi adalah tugas sebagai manusia. Dalam hal ini baik guru bertugas mewujudkan dirinya untuk merealisasikan seluruh potensi yang 31 dimilikinya. Guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpatik sehingga ia menjadi idola siswa. Di samping itu transformasi diri terhadap kenyataan di kelas atau di masyarakat perlu dibiasakan, sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi guru. 3. Tugas kemasyarakatan Tugas kemasyarakatan ialah guru sebagai anggota masyarakat dan warga negara seharusnya berfungsi sebagai pencipta masa depan dan penggerak kemampuan. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor penentu yang tidak mungkin dapat digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu terlebih-lebih pada masa kini. Di samping ketiga tugas pokok tersebut diatas, guru juga berperan sebagai: 1. Fasilitator perkembangan siswa Kemampuan dan potensi yang dimiliki siswa tidak mungkin dapat berkembang dengan baik apabila tidak mendapat rangsangan dari lingkungannya. Dalam suasana sekolah, guru diharapkan dengan siswa secara individual telah mempunyai kemampuan dan potensi itu. Dengan kata lain mempunyai peranan sebagai fasilitator dalam mengantarkan siswa ke arah hasil pendidikan yang tinggi mutunya. 2. Agen pembaharuan Kehidupan manusia merupakan serangkaian perubahan- perubahan yang nyata. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi ini mengalami kepesatan yang melangit. Dalam hal ini, guru dituntut untuk tanggap terhadap perubahan dan dituntut untuk bertugas sebagai agen 32 pembaharuan dan mampu menularkan kreatifitas dan kesiapan mental siswa. 3. Pengelola kegiatan proses belajar mengajar Guru dalam hal ini bertugas mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu dalam menyajikan materi pelajarannya. Guru berperan dan bertugas sebagai pengelola proses belajar mengajar. 4. Pengganti orang tua di sekolah Guru dalam hal ini harus dapat menggantikan orang tua siswa apabila siswa sedang berada di sekolah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengganti orang tua, guru- guru harus mampu menghayati hubungan kasih sayang seorang bapak atau seorang ibu terhadap anaknya. Oleh karena itu, guru mampu mengenal suasana siswa di rumah atau dalam keluarganya. d. Faktor Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana sangat menunjang keberhasilan pengajaran misalnya fasilitas gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, alat peraga dan lainlain. Penggunaan alat peraga dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi utama (Nasution, 1990), yaitu : 1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis hanya dalam bentuk kata-kata atau lisan belaka. 2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, daya indra seperti objek terlalu besar dapat digantikan dengan gambar, film, atau model. . 33 Dengan menggunakan media pengajaran secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa. Dengan sikap yang unik untuk tiap siswa dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum materi pelajaran yang ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan jika harus diatasi sendiri. 3. Tinjauan Tentang Situasi Konflik Untuk menciptakan suasana yang harmonis dan rukun sudah barang tentu fungsi dari seseorang itu tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa adanya kerjasama yang baik. Di dalam masyarakat sering terjadi konflik yang berpengaruh terhadap motivasi belajar anak tersebut. Pengertian konflik secara umum adalah suatu keadaan yang timbul dari macam bentuk hubungan antara manusia yang mengandung sifat berlawanan dalam mencapai suatu sifat. Proses terjadinya konflik melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Kondisi yang mendahului, sebagai penyebab terjadinya konflik. b. Konflik yang dapat diamati jika tarjadi serangkaian gejala pada tahap pertama tadi, hal itu memberikan sebuah gambaran tentang kondisi yang terancam bahkan menimbulkan suasana impersonal yang tidak diinginkan. c. Munculnya perilaku akibat konflik itu maka muncul sebuah tindakan misalnya kompetensi, debat, untuk tujuan-tujuan mengurangi konflik atau malah lebih mempertajam konflik itu. d. Penyelesaian atau penekanan konflik. Kemungkinan konflik itu ditekan atau diselesaikan tergantung kemempuan mengorganisir masalah tersebut. Hanya saja jika konflik itu ditekan yang akan terjadi bahaya lain, bisa saja suatu saat muncul kembali ketika situasi memungkinkan, tetapi jika konflik itu diselesaikan dengan memuaskan berbagai pihak yang bertikai maka kemungkinan lahirnya konflik yang sama masalahnya sangat kecil. 34 Soerjono Soekamto (1991:8) mangatakan bahwa konflik adalah sebagai suatu proses sosial yang merupakan proses yang disosiatif atau proses yang memecah atau membelah. Menurut Soerjono Soekamto (1981:8), sebab-sebab terjadinya konflik adalah sebagai berikut: a. Perbedaan antar individu, dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian atau pendapat. b. Perbedaan hubungan yang menimbulkan perasangka. c. Bentrokan kepentingan, baik kepentingan di bidang ekonomi, politik dan sebagainya. d. Perubahan-perubahan sosial, peubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengubah nilai-nilai sosial sehingga menimbulkan perbedaan pendirian antara individu atau golongan yang ada. Dari uraian di atas, maka dapat di tarik kesimpulan, pengertian konflik adalah suatu hubungan antara manusia yang saling berlawanan. Sedangkan pengertian situasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan atau suasana. Maka pengertian dari situasi konflik adalah “Suatu keadaan hubungan yang terjadi diantara manusia yang saling berlawanan”. Pembangunan Nasional yang telah dilakukan selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, namun demikian pembangunan tersebut ternyata juga menimbulkan dampak kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti antara Jawa – luar Jawa, serta antara kota – desa. Untuk konteks pertama, ketimpangan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang, pada titik yang paling ekstrim, muncul dalam bentuk upaya-upaya separatis. Untuk konteks yang kedua – kesenjangan antara desa dan kota – adalah konsekuensi dari perubahan 35 struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah pedesaan relatif tertinggal. Upaya-upaya percepatan pembangunan pada daerah yang masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu namun hasilnya masih belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di daerah dimaksud. Perhatian berbagai pihak terhadap pembangunan di kawasan perbatasan pada beberapa tahun terakhir ini semakin besar. Disamping memiliki potensi sumber daya alam yang besar, kawasan perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar, merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun di beberapa wilayah perbatasan terjadi kesenjangan pembangunan yang cukup besar dengan negara tetangga yang dikhawatirkan dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai kerawanan. Untuk wilayah perbatasan (khususnya perbatasan darat) disamping masalah rendahnya dana pembangunan, penyebab utama ketertinggalan adalah akibat dari arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan kita. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak 36 berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah seperti sekolah dan puskesmas. Kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya memiliki akses yang sangat terbatas kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, khususnya yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: (1) sulitnya mencari lahan bagi pemberdayaan komunitas adat terpencil, (2) belum diprioritaskannya pengembangan wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena tidak menghasilkan PAD secara langsung, serta (3) belum optimalnya dukungan sektor terkait. 4. Tinjauan Tentang Manajemen Konflik Manajemen berasal dari kata “to manage” yang berarti mengatur. Maka dari pengertian tersebut dapat disimpulkan beberapa hal mengenai manajemen, yaitu: a. Manajemen merupakan kemampuan atau keahlian memimpin. b. Manajemen adalah suatu cara untuk melancarkan kegiatan/pekerjaan. c. Pencapaian tujuan. 37 Jadi, dapat disimpulkan secara garis besar manajemen adalah suatu proses atau suatu tahapan untuk mengatur dan memperoleh suatu hasil dalam mencapai suatu tujuan. Maka pengertian dari Manajemen Konflik adalah “Suatu proses atau tahapan bagaimana mengatur suatu hubungan yang tarjadi diantara manusia yang berlawanan”. Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi, baik organisasi sekolah maupun organisasi lainnya. Kepala sekolah dituntut menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kenyataan di lapangan khususnya di institusi pendidikan, kepala sekolah justru enggan untuk menerapkan manajemen konflik, karena beranggapan kepada paradigma lama dimana konflik lebih besar pengaruh negatifnya (mudaratnya). Lebih dari itu, bagaimana kepala sekolah bersama tenaga kependidikan lainnya dapat memanage konflik untuk meningkatkan mutu sekolah. Menghadapi dinamika perubahan ini tentu menyisakan berbagai macam problematika. Permasalahan-permasalahan yang timbul itu perlu dikenali, bahkan masalah-masalah yang masih berwujud potensi perlu didorong untuk muncul dengan harapan dapat diantisipasi atau dicarikan solusinya agar tidak berdampak negatif terhadap kemajuan sekolah. Beberapa permasalahan yang muncul atau masih berujud potensi itu antara lain sebagai berikut : 38 1. Anggapan bahwa manajemen konflik tidak efektif untuk meningkatkan mutu sekolah. 2. Manajemen konflik lebih banyak berdampak negatif bagi anggota organisasi. 3. Kepala sekolah tidak terampil dalam menggunakan manajemen konflik untuk meningkatkan mutu sekolah. 4. Budaya ganti pemimpin ganti kebijakan. Hal demikian ini sering membuat para pelaku di tingkat bawah menjadi kebingungan karena kebijakan lama belum jelas menampakkan hasil, tetapi sudah harus menyesuaikan dengan kebijakan baru yang perlu penyesuaian kembali. 5. Belum siapnya sumber daya yang ada terutama para stake holders di tingkat bawah untuk menghadapi perubahan-perubahan yang hampir terjadi setiap saat. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi karena allternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap. Aspirasi dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa berhak memiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis. Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik dapat dikelola dengan baik, maka konflik dapat memberi kontribusi positif terhadap kemajuan sebuah organisasi. Beberapa startegei mengatasi konflik antara lain adalah: 1. Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai salah satu pihak atau pihak lain. 2. Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan. 3. Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. 39 4. With Drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik baik secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi. 5. Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah sampai kapan. Konflik, dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi, yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan, dan ide. Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik. 1. Tahap potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik. 2. Konflik terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya. 3. Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan. 4. Konflik terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan secara terbuka. 5. Akibat konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik 40 bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. (Wikipedia Indonesia, 27 November 2006). Di sekolah, konflik dapat terjadi dalam semua tingkatan, baik intrapersonal, interpersonal, intragrup, intergrup, intraorganisasi, maupun interorganisasi. 1. Konflik intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana ynag harus dipili untuk dilakukan. Misalnya, konflik antara tugas sekolah dengan acara pribadi. Konflik ini bisa diibaratkan seperti makan buah simalakama, dimakan salah tidak dimakan juga salah, dan kedua pilihan yang ada memiliki akibat yang seimbang. Konflik intrapersonal juga bisa disebabkan oleh tuntutan tugas yang melebihi kemampuan. 2. Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan dalam memilih mata pelajaran unggulan daerah. 3. Konflik intragrup, yaitu konflik anta angota dalam satu kelompok. 41 5. Teori Konflik Di kehidupan masyarakat tidak sepenuhnya terlepas konflik. Hal ini senada dengan pandangan pendekatan teori konflik dalam (Nasikun 2003: 16) berpangkalpada anggapan dasar sebagai berikut : 1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak berakhir. 2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau denganperkataan lain, konflik merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. 3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. 4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang-orang lain. Suatu konflik yang terjadi antar kelompok menjadi tidak sehat apabila masingmasing pihak di dalam mencari pemecahanya tidak lagi bersifat rasional tapi lebih berrsifat emosional. Akibatnya yang terjadi adalah seperti tawuran, penjarahan, perusakan rumah warga, perkelahian antar kelompok di dalam masyarakat. Kekerasan sudah dijadikan sebagai media penyelesaian masalah. Theodore M Newwcomb, dkk (1999: 591) mengemukakan dalam kondisikondisi tertentu pada individu-individu terdapat penurunan ambang-ambang tingkah laku kekerasan dalam bentuk-bentuk yang lebih ekstrem daripada yang dibenarkan oleh norma-norma yang biasanya mengatur kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi-kondisi ini meliputi : 1. Suatu keadaan prasangka bersama yang telah ada sebelumnya terhadap kelompok dimana korban keganasan itu menjadi anggota. 2. Suatu situasi sesaat yang bertindak meningkatkan rasa terancam yang sudah ada yang disebabkan oleh kelompok lain. 3. Penegasan situasi sesaat sebagai situasi yang membenarkan pengunaan 42 sejumlah norma-norma yang memaafkan kekerasan (norma-norma telah dimiliki bersama tersedia untuk hal-hal seperti itu). 4. Bertambahnya sifat mudah terangsang yang diekspresikan dalam tingkah laku dengan cara-cara yang dikuasai secara sempit dan eksklusif oleh sesuatu norma-norma yang membenarkan kekerasan. Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien. (Http://id,shovoong.com/social- sciences/scosiology/2116015-teori konflik/25-08-2011) a. Faktor penyebab konflik 1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 43 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadangkadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. 44 Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilainilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. b. Jenis-jenis konflik Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam : a. konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)) b. Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank). c. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir. 45 c. Akibat konflik Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut : 1. meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain. 2. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai. 3. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll. 4. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia. 5. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. 3. Kerangka Pikir Dalam situasi konflik seperti ini, kita di tuntut untuk berfikir kritis, tidak mementingkan sifat egois, dan selalu berfikir jernih dalam menghadapi masalah. Konflik yang terjadi di daerah Way Pengubuan Lampung Tengah disebabkan karena tiap individu di masing-masing desa kurang mempunyai rasa nasionalisme dan lebih mementingkan sifat egois, sehingga akan mempengaruhi proses belajar siswa, apabila terjadi konflik siswa akan mengalami kesulitan belajar mereka akan di intimidasi dan di ejek oleh teman-teman yang lain, hal ini lah yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa tersebut. 46 Kerangka Pikir Variabel X Konflik Antar Desa a. Perbedaan Pendapat b. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan c. Perbedaan Kepentingan Indivudu/Kelompok d. Perebutan Hak Milik Tanah e. Kurangnya Rasa Nasionalisme MasingMasing Individu Variabel Y Kegiatan Pembelajaran a. Mendapatkan Pengetahuan b. Penanaman Konsep Dan Keterampilan c. Pembentukan Sikap 4. Hipotesis Menurut suharsmi arikunto (1997 : 67), “Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai ada bukti melalui penyajian data atau pertanyaan atau jawaban sementara tarhadap rumusan penelitian yang di kemukakan. Berdasarkan latar belakang, teori dan kerangka pikir di atas, maka dibatasi penelitian ini adalah ada pengaruh situasi konflik antar desa yang terhadap kegiatan belajar siswa SMP N 1 Way Pengubuan Lampung Tengah.