perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 5 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. POTS
a. Pengertian
Postural
Orthostatic
Tachycardia
Syndrome
(POTS)
merupakan salah satu bentuk Intoleransi Ortostatik (IO) dengan
karakteristik munculnya takikardi ortostatik tanpa diikuti hipotensi
ortostatik.
Pasien
dapat
dikatakan
memiliki
POTS
apabila
menunjukkan peningkatan denyut jantung atau heart rate (HR) lebih
dari 30 denyut/menit setelah perubahan posisi dari terlentang ke
berdiri. Selain kriteria diatas, peningkatan diatas 120 denyut/menit
pada 10 menit pertama setelah perubahan posisi juga sudah dapat
dikatakan sebagai POTS (Freeman et al, 2011)
b. Etiologi
POTS sering diakibatkan oleh adanya kegagalan sistem saraf
otonom dalam merespon perubahan posisi. Beberapa faktor penyebab
terjadinya POTS antara lain gangguan inervasi vaskular dan
konsentrasi NE plasma yang tinggi. Gangguan inervasi vena perifer
atau perannya dalam stimulasi sistem saraf simpatik menjadi etiologi
utama terjadinya POTS. Gangguan ini dapat menyebabkan bendungan
vena pada esktremitas bawah sehingga menurunkan volume darah
commit to user
5
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
balik ke jantung. Proses ini berujung pada terjadinya reflek takikardi
(Thanavaro et al, 2009).
Inervasi sistem saraf simpatik kardiovaskuler pada POTS
biasanya tidak mengalami gangguan. Namun terjadinya peningkatan
kompensasi sistem saraf simpatik serebral menyebabkan kenaikan
sekresi NE sehingga meningkatkan HR, kontraksi otot jantung serta
palpitasi dan pandangan kabur yang merupakan karakteristik dari
POTS (Thanavaro et al, 2009).
c. Klasifikasi POTS
POTS dapat diklasifikasikan sebagai POTS primer atau
sekunder. Klasifikasi ini didasarkan oleh ada atau tidaknya penyakit
yang menyebabkan terjadinya POTS. Kriteria ini sangat berguna
dalam menentukan manajemen terapi bagi penderita POTS.
1) POTS Primer
POTS primer terjadi
tanpa
adanya
penyakit
yang
menyebabkannya. Hal ini yang membuat penyebab POTS primer
sering dikatakan idiopatik. Namun terdapat beberapa patofisiologi
yang dapat menjelaskan terjadinya POTS jenis ini. Salah satu
mekanisme yang paling sering adalah adanya neuropati perifer.
Neuropati perifer meningkatkan bendungan vena inferior, sehingga
saat perubahan posisi subjek dapat mengalami gejala IO. Selain
itu, adanya hiperadrenergik saraf simpatik juga dapat menjelaskan
mekanisme terjadinya POTS (Agarwal et al, 2007).
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) POTS Sekunder
POTS sekunder diakibat oleh adanya penyakit yang
menyebabkannya, di antaranya adalah Diabetes Mellitus (DM),
amyloidosis, Sindrom Sjogren, sindrom paraneoplastik dan
sindrom hipermobilitas (Agarwal et al, 2007).
d. Patofisiologi
Saat terlentang, lebih dari 30% volume darah berada di bagian
thorak. Pada fisiologi ortostatik kardiovaskuler, sekitar 300-800 ml
darah akan terkumpul pada ekstremitas bawah akibat pengaruh
mikrogravitasi. Sebagian besar proses ini terjadi pada 10 detik pertama
setelah perubahan posisi. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume
darah yang kembali ke jantung dan berujung pada menurunnya volume
sekuncup dan curah jantung (Crnosija et al, 2012).
Baroreseptor arteri (pada sinus karotis dan lengkung aorta)
dapat mendeteksi penurunan tersebut sehingga memicu reflek
kompensasi. Reflek kompensasi ini dilakukan oleh sistem saraf
simpatik yang menyebabkan vasokonstriksi arteri perifer dan
peningkatan HR. Pada subjek normal, peningkatan HR antara 10-15
denyut/menit. Terjadinya vasokonstriksi perifer mengembalikan
volume darah yang semula mengumpul di tubuh bagian bawah,
kembali ke jantung dan beredar ke seluruh tubuh (Crnosija et al, 2012).
Terjadinya bendungan vena yang lebih lama dan berlebihan di
ekstremitas bawah menjadi faktor yang paling sering menjadi
commit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyebab POTS. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan
inervasi vena dan/atau menurunnya respon vena terhadap stimulasi
sistem saraf simpatik (Crnosija et al, 2012). Beberapa mekanisme
terjadinya POTS dijelaskan di bawah ini, yaitu :
1) Neuropatik
Pada fisiologi kardiovaskuler, stres ortostatik dapat
menyebabkan vasokonstriksi perifer
terutama pada pembuluh
darah vena. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh reflek simpatik
pada pembuluh darah vena sehingga tidak terjadi bendungan vena
yang berkelanjutan. Sedangkan pada penderita POTS, neuropati
pada tubuh bagian bawah menjadikan NE tidak banyak dikeluarkan
oleh sel-sel saraf sehingga reflek simpatik tersebut tidak terjadi.
Jacob et al menjelaskan bahwa adanya keluaran NE dalam jumlah
rendah pada
saraf simpatik di
ekstremitas bawah dapat
menjelaskan patogenesis terjadinya POTS (Jacob et al, 2000).
Neuropati ini tidak terjadi pada sistem saraf simpatik
jantung, sehingga saat perubahan posisi, HR tetap akan meningkat.
Namun dengan bendungan vena yang berkelanjutan, mekanisme
kompensasi tidak terjadi dan HR tetap meningkat. Adanya
neuropati perifer ini merupakan penyebab tersering terjadinya
POTS (Crnosija et al, 2012).
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Hiperadrenergik
Mekanisme ini lebih sedikit terjadi dibanding dengan jenis
yang neuropatik yaitu hanya 10% dari semua penderita POTS.
Gejala yang dialami seperti takikardi, tremor dan kecemasan
sebagai hasil dari hiperaktivitas sistem saraf simpatik. POTS jenis
ini sering diikuti dengan hipertensi ortostatik. Adanya keluaran NE
sistemik berlebihan menjadi proses penting yang mendasari terjadi
POTS pada bentuk ini. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
abnormalitas control pusat sistem saraf simpatik.
POTS
hiperadrenergik juga merupakan respon sekunder pada beberapa
pasien POTS neuropatik dan hipovolemik (Carew et al, 2009).
3) Genetik
Hampir sama dengan beberapa proses di atas terkait dengan
peningkatan aktivitas saraf simpatik. Namun peningkatan ini
disebabkan oleh mutasi gen yang mengekspresikan NET atau
Noepinephrine Transporter (Shannon, J.R., et al. 2000). NET
adalah
protein
transporter
pada
celah
sinaps
yang
bertanggungjawab dalam pembersihan hampir 70% NE pada
sinaps sistem saraf simpatik
(Garland et al, 2007). Jantung
merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kadar NE di sinaps
karena sel saraf simpatik pada jantung menangkap hampir 80% NE
yang berada pada celah sinaps
commit to user
(Bayles et al, 2012). Reflek
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
simpatik yang berlebihan dapat menyebabkan takikardi pada
penderita POTS (Crnosija et al, 2012).
4) Kegagalan Regulasi Volume Darah
Banyak dari pasien dengan POTS ternyata mengalami
hipovolemi. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mempunyai
peranan penting dalam pengaturan volume plasma dalam tubuh.
Hipovolemi akan memicu aktivitas renin sampai menjadi
angiotensin II. Angiotensin II dapat meningkatkan volume darah,
HR dan tekanan darah sehingga volume darah pasien dapat
kembali normal. Jika volume plasma sudah kembali normal, efek
angiotensin
II
akan
dikurangi
dengan
degradasinya
oleh
Angiotensin Converting Enzime 2 (ACE-2) menjadi Angiotensin
(1-7) yang bersifat vasodilator (Mustafa et al, 2011).
Pasien dengan POTS dan hipovolemi memiliki aktivitas
renin dan aldosteron yang rendah, sehingga tidak dapat mengatasi
hipovolemi dengan baik. Selain itu, rendahnya kadar angiotensin
(1-7) dan tingginya kadar angiotensin II plasma menjadi sebuah
temuan penting yang dapat menjelaskan patofisiologi POTS.
Adanya defek pada ACE-2 menghambat degradasi angiotensin II
menjadi angiotensin (1-7) (Mustafa et al, 2011).
5) Sindrom Grinch
Sindrom ini dikenal sebagai massa jantung yang rendah
sehingga menyebabkan rendahnya volume sekuncup dan curah
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jantung. POTS menjadi salah satu mekanisme kompensasi terhadap
sedikitnya volume sekuncup karena atropi jantung dan penurunan
volume darah pada pasien dengan Sindrom Grinch (Fu Qi et al,
2010).
Beberapa penjelasan di atas merupakan patofisiologi POTS.
Subyek
dapat
memiliki
lebih
dari
satu
patofisiologi
yang
memunculkan terjadinya POTS (Crnosija et al, 2012).
e. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang dialami penderita POTS dibedakan dalam 3
kriteria, yaitu (1) gejala ortostatik yang berhubungan dengan
hipoperfusi serebral dan hiperaktivitas saraf simpatik serebral, (2)
gejala non-ortostatik yang berhubungan dengan disautonomia dan (3)
gejala umum (Thieben et al, 2007 ). Macam-macam gejalanya dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Gejala POTS
Kriteria
1) Gejala ortostatik
Gejala
a) Pandangan Kabur (77,6 %)
b) Presinkop (60,5 %)
c) Kelemahan (50 %)
d) Palpitasi (75 %)
e) Gemetaran (37,5 %)
f) Napas pendek (27,6 %)
g) Nyeri dinding dada (24,3 %)
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Gejala
non-
ortostatik
3) Gejala Umum
a)
Kembung (23,7 %)
b)
Mual (38,8 %)
c)
Muntah (8,6 %)
d)
Nyeri perut (15,1%)
e)
Konstipasi (15,1%)
a) Kelelahan (48 %)
b) Gangguan tidur (31,6 %)
c) Migrain (27,6 %)
Sumber : Thieben et al, 2007
Intensitas gejala-gejala di atas dapat bervariasi. Beberapa
subjek menunjukkan gejala yang parah dan menghambat aktivitas
sehari-hari seperti bekerja, sekolah dan aktivitas rekreasi, Sehingga
dapat dikatakan gejala POTS memiliki morbiditas yang substansial (Fu
Qi et al, 2010).
f. Prevalensi
Di Indonesia belum banyak studi yang menunjukkan data
mengenai prevalensi POTS. Namun, studi yang sudah dilakukan di
Amerika, POTS rata-rata dialami hampir lebih dari 170 per 100.000
penduduk (Mathias et al, 2012), dan lebih dari 25% penderita POTS
menunjukkan ketidakmampuan dalam menjalankan altivitas kerja
(Goldstein et al, 2002). POTS sebagian besar dialami oleh wanita usia
antara 20-40 tahun (Thieben et al, 2007). Dengan rasio perbandingan
kejadiannya pada perempuan dan laki-laki adalah 5:1 (Carew et al,
commit to user
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2009). Sejumlah sampel pasien dengan POTS diambil dari beberapa
klinik di Amerika. Lebih dari 60% dari sampel tersebut merupakan
mahasiswa (McDonald et al, 2014). Ross et al menambahkan adanya
beberapa kelompok yang dapat memiliki risiko lebih mengalami
POTS, yaitu memiliki penyakit akibat virus, infeksi bakteri, operasi
atau trauma dan pubertas (TAAS, 2013).
g. Diagnosis
Penegakan diagnosis POTS dapat dilakukan dengan Passive
Head-Up Tilt Table (HUTT Pasif) atau Active Stand Test (AST).
Kriteria diagnosis dapat ditegakkan bila tes di atas menunjukkan
adanya : (Crnosija et al, 2012)
1) Peningkatan HR lebih dari 30 bpm atau
2) Peningkatan HR lebih dari 120 bpm pada 10 menit pertama
Diagnosis POTS juga harus ditegakkan dengan adanya satu
atau lebih gejala ortostatik serta gejala tersebut dan dirasakan lebih
ringan jika dikembalikan ke posisi berbaring (Mizumaki, 2011).
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara farmokologis dan nonfarmakologis
dapat diberikan kepada pasien dengan POTS.
1) Farmakologis
a) Fludrokortison
Fludrokortison merupakan mineralokortikoid poten
yang dapat meningkatkan retensi air dan natrium sehingga
commit to user
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mencegah terjadinya hipovolemi. Fludrokortison juga dapat
meningkatkan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik perifer
sehingga saraf simpatik perifer bisa bekerja lebih baik dalam
meningkatkan
volume
darah
balik.
Terapi
ini
dapat
memperbaiki gejala pada beberapa pasien POTS (Carew et al,
2009).
b) Midrodine
Midrodine merupakan agonis adrenoreseptor alfa 1
yang dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena perifer.
Midrodine dapat menurunkan gejala IO dan menekan HR pada
beberapa pasien dengan POTS (Carew et al, 2009).
c) Nonfarmakologis
Beberapa penatalaksanaan non farmakologis dapat
dilakukan dengan modifikasi cairan dan aktivitas fisik.
(1) Suplemen air dan garam
Pemberian suplemen air dan garam pada penderita
POTS dapat memperbaiki kondisi hipovolemi sehingga
gejala-gejalanya dapat berkurang. Beberapa penelitian
menunjukkan ada penurunan HR pada pasien POTS setelah
pemberian suplemen infus saline IV atau air minum (Carew
et al, 2009).
(2) Latihan fisik
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Latihan fisik berupa olahraga terutama latihan pada
ekstremitas inferior dapat meningkatkan volume darah dan
kekuatan kontraksi jantung (Carew et al,2009). Olahraga
menjadi salah satu anjuran untuk pasien POTS. Olahraga
secara reguler dapat memperbaiki gejala IO pada beberapa
pasien POTS (Fu et al, 2010).
2. Olahraga
a. Pengertian Olahraga
Olahraga merupakan bentuk aktivitas fisik yang terencana dan
terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan
ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan kebugaran
jasmani (Nurcahyo, 2008). Intensitas berhubungan dengan berapa
kuatnya atau aktifnya melakukan olahraga. Pada waktu melakukan
olahraga, denyut nadi sedikit demi sedikit akan naik. (Hardinge dan
Shrock, 2003).
Mahler (2003) menyebutkan bahwa ukuran olahraga yang perlu
diperhatikan adalah intensitas, lama dan frekuensi latihan.
1) Intensitas latihan
Untuk mendapatkan kesegaran jasmani yang diharapkan,
olahraga harus dilakukan dalam takaran yang cukup. Untuk
mengetahui apakah intensitas latihan yang dilakukan sudah cukup,
secara sederhana dapat diukur dengan menghitung denyut nadi saat
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan olahraga. Denyut Nadi Maksimal (DNM) dapat
dihitung dengan rumus :
DNM = 220 – usia (dalam tahun)
2) Lama latihan
Setiap melakukan olahraga sebaiknya paling sedikit 25
menit. Latihan mencapai target tersebut akan memberikan efek
yang lebih baik.
3) Frekuensi latihan
Yang dimaksud frekuensi latihan adalah frekuensi latihan
setiap minggu. Latihan olahraga yang dilakukan 3 kali seminggu
akan memberikan efek yang berarti bagi kesehatan dan kebugaran.
Olahraga diusahakan dilakukan 3-5 kali perminggu dengan durasi
30-60 menit, jika tidak memungkinkan dilakukan dalam satu kali
latihan, dibagi dalam tiap latihan 10 menit.
Olahraga dilakukan secara teratur setiap hari atau minimal
3 kali seminggu dan 30 menit setiap berolahraga. Olahraga teratur
adalah gerakan seluruh organ tubuh dengan cara dan periode
tertentu, serta dilakukan secara teratur agar tubuh terlihat bugar dan
sehat. Sesuai yang dianjurkan oleh Depkes (2002), olahraga
minimal 3 kali seminggu masing—masing 30 menit. Maka 90
menit setiap minggu adalah waktu minimal berolahraga.
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Manfaat Olahraga
Melakukan olahraga secara teratur dan terukur akan memberi
kentungan bagi tubuh. Menurut Nurcahyo (2009), manfaat olahraga
antara lain :
1) Kebugaran jasmani,
Kebugaran
jasmani
yaitu
kemampuan
tubuh
untuk
melakukan kegiatan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan fisik
dan mental yang berlebihan.
2) Manfaat olahraga bagi kesehatan fisik (organ tubuh)
a) Jantung dan pembuluh darah
Olahraga dapat meningkatkan kerja dan fungsi jantung,
dan pembuluh darah. Jantung dapat memompakan jumlah
darah yang lebih banyak dan berdenyut lebih lambat. Hal ini
dapat
memperbesar
kapasitas
darah
dalam
membawa
oksigen,sehingga lebih banyak darah yang dapat mencapai
seluruh
bagian
tubuh
manusia.
Olahraga
juga
dapat
memperlancar aliran darah.
b) Paru-paru
Paru-paru akan bertambah kapasitas pernapasannya,
masuk dan keluar. Merangsang pernapasan yang dalam
sehingga lebih banyak oksigen akan disalurkan ke dalam darah
dan lebih banyak karbondioksida yang dibuang dari dalam
tubuh.
commit to user
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Otot
Olahraga dapat membuat otot yang tegang menjadi
rileks, serta dapat meningkatkan massa otot.
3. Hubungan kejadian POTS dengan intensitas olahraga
Olahraga dapat meningkatkan kerja dan fungsi jantung, dan
pembuluh darah. Jantung dapat memompakan jumlah darah yang lebih
banyak dan berdenyut lebih lambat. Hal ini dapat memperbesar kapasitas
darah dalam membawa oksigen,sehingga lebih banyak darah yang dapat
mencapai seluruh bagian tubuh manusia. Pemompaan volume darah yang
lebih besar di atas dapat dihasilkan dari peningkatan volume sekuncup
yang dikeluarkan oleh jantung. POTS dapat terjadi karena adanya
bendungan vena di ekstremitas bawah dan abdomen. Kejadian ini yang
menyebabkan penurunan volume sekuncup saat perubahan posisi.
Olahraga diperkirakan dapat memperkuat otot abdomen dan ekstremitas
bawah yang pada akhirnya akan meningkatkan volume darah balik
sehingga dapat memperbesar volume sekuncup. Jika volume sekuncup
dapat meningkat, maka perfusi serebral akan terpenuhi sehingga tidak
terjadi gejala-gejala OI dan kondisi ini juga dapat menurunkan reflek
takikardi (Winker, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh Fu et al (2010) menambahkan
bahwa adanya peningkatan massa otot jantung pada subjek yang
melakukan olahraga rutin. Peningkatan ini akan dapat memperbesar
kekuatan jantung saat memompakan darah ke seluruh tubuh. Selain
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaruhnya terhadap massa otot jantung,. Sistem saraf otonom juga tidak
lepas dari pengaruh olahraga. Olahraga dapat menurunkan aktivitas saraf
simpatik dan meningkatkan tonus vagal sistem kardiovaskuler yang pada
akhirnya dapat memperlambat denyut jantung (Deligians, 1999)
Selain terhadap otot jantung, olahraga juga dapat meningkatkan
tegangan otot. Pada saat berdiri, sebagian besar otot ekstremitas bawah
dan abdomen akan bekerja. Tegangan yang dihasilkan oleh otot-otot
tersebut berpengaruh terhadap tekanan darah balik yang digunakan untuk
mengembalikan volume darah yang terjadi karena bendungan vena untuk
kembali ke jantung. Pada orang dengan POTS, tegangan ini tidak cukup
untuk mengembalikan volume darah balik sehingga muncul intoleransi
ortostatik. Olahraga dikatakan dapat meningkatkan kekuatan otot sehingga
saat berdiri, tegangan otot yang dihasilkan dapat mengkompensasi efek
mikrogravitasi tersebut (Lieshout et al, 2001)
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: menyebabkan
: diteliti
: menghambat
: tidak diteliti
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara antara rendahnya aktivitas olahraga dengan
kejadian POTS pada mahasiswi.
commit to user
Download