lln lr, Il. I Gusti Ray $ailimanlara, il|"flUl

advertisement
'ii
i:l:rr.ij:.:,i:irSli:J:!rrl:r:::iiii
o'-.
i :1rr:
rt\i:.:.:$:i,rri,r|.r.iti
:tr. r... i
.r: ;i.riii.liilr.rr.lrl\|i.' r,l :
!ti*i*:iintliliiriii:,
nMMffiffiY
Disusun Oleh:
llr. It $uai[, ilI.$G.A0riG
lln lr, Il. I Gusti Ray $ailimanlara, il|"flUl
l
.r
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pemuliaan Tanaman
Pemuliaan tanaman adalah cabang ilmu hayat (biologi)
yang memadukan seni dan ilmu dalam memperbaiki pola genetik
tanaman. Sebagai ilmu terapan pemuliaan tanaman merupakan
pengetahuan yang menggunakan prinsip-prinsip Botani, Genetika,
Bioteknologi, Agronomi, Hortikultura, Statistika, Komputer, Fisiologi Tumbuhan, Patologi Tumbuhan, Entomologi, dan Biokimia
Tumbuhan (Poehlman dan Sleper, 2006) dalam pengembangannya.
Bahkan dengan keberhasilan memadukan dengan teknologi, melahirkan bioteknologi tanaman yang menempatkan sebagai salah satu
cabang botani yang mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Hubungan Pemuliaan Tanaman dengan ilmu-ilmu lain dimasud
sebagaimana dikemukakan pada Gambar 1.1.
Biokimia
Tanaman
Botani
Ilmu
Hama
Genetika/
Bioteknologi
PEMULIAAN
TANAMAN
Agronomi/
Hortikultura
Ilmu
Penyakit
Fisiologi
Tanaman
Statistika/
Komputer
Gambar 1.1. Hubungan Pemuliaan Tanaman dengan ilmu-ilmu lainnya
(Poehlman dan Sleper, 2006).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 1
Terdapat enam bidang kegiatan yang memberi ciri pemuliaan tanaman sebagai ilmu terapan yaitu: (1) menimbulkan keragaman genetik, (2) melakukan isolasi; (3) membuat perkawinanperkawinan; (4) melakukan pengujian dan penilaian; (5) memperbanyak, dan (6) menyebarluaskan. Empat kegiatan pertama
dapat dilakukan secara bersiklus, sedangkan dua kegiatan lainnya
merupakan kegiatan lebih lanjut setelah penemuan bahan tanaman
baru yang mempunyai sifat-sifat unggul yang diinginkan. Secara
skematis, keenam ruang lingkup kegiatan dalam pemuliaan tanaman diilustrasikan dalam Gambar 1.2.
Menimbulkan keragaman genetik
Pengisolasian
Pengujian dan penilaian
Perkawinan/persilangan
Perbanyakan
Penyebarluasan
Gambar 1.2. Skema ruang lingkup pemuliaan tanaman (Bari et al.,
1976).
Adanya keragaman genetik yang tersedia dalam populasi
tanaman merupakan syarat mutlak untuk terselenggaranya kegitan
pemuliaan tanaman. Tanpa keragaman genetik ini kegiatan pemiPemuliaan Tanaman Konvensional 2
lihan individu tanaman yang mempunyai perbedaan dengan individu lainnya tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, perbedaanperbedaan antara individu tanaman dalam suatu populasi awal
dalam kegiatan pemuliaan tanaman mutlak diperlukan. Keragaman
genetik ini dapat diperoleh secara konvensional melalui hubungan
perkawinan-perkawinan antar tanaman yang terjadi baik secara
alami maupun secara buatan.
Kegiatan memisahkan individu tanaman yang memiliki sifat
atau sifat-sifat baik dari individu tanaman lainnya disebut isolasi
atau seleksi. Mengingat pentingnya menjaga kemurnian sifat atau
sifat-sifat baik dari suatu individu tanaman dari sifat yang kurang
baik dari individu tanaman lainnya, maka isolasi mutlak dilakukan.
Dengan demikian, maka upaya mempertahankan satu sifat unggul
atau lebih dari satu atau beberapa individu tanaman perlu dilakukan.
Individu-individu tanaman yang telah dimiliki dalam kegiatan isolasi dapat diperlakukan dalam dua kegiatan, yaitu membuat perkawinan (persilangan) di antara individu tanaman yang
memiliki sifat unggul, dan dengan melakukan pengujian dan penilaian individu-individu tanarnan yang unggul tersebut.
Kegiatan pertama merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk menciptakan keragaman genetik sebagaimana yang diperlukan pada tahap pertama dalam kegiatan pemuliaan tanaman,
sedangkan kegiatan ke dua merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk mendapatkan individu tanaman yang diandalkan untuk dijadikan varietas baru setelah dilakukan beberapa tahap pengujian
lebih lanjut. Individu tanaman unggul yang diperoleh dari hasil
pengujian pada tahap ini dapat dilanjutkan untuk kegiatan perbanyakan dan penyebarluasan kultivar baru, sedangkan yang lainnya
dapat digunakan sebagai bahan persilangan atau perkawinan untuk
membentuk individu tanaman baru dengan kombinasi konstitusi
genetik yang baru pula.
1.2. Sejarah Perkembangan Pemuliaan Tanaman
Titik tolak perkembangan pemuliaan tanaman dimulai sejak
tahun 1676, ketika untuk pertama kalinya Millington mengemukakan fungsi kepala sari (anther) dan Grew mengemukakan fungsi
Pemuliaan Tanaman Konvensional 3
bakal biji (ovary) dan tepung sari (pollen grain). Delapan belas
tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1684, Camerarius mendemonstrasikan alat kelamin pada tanaman. Sejak saat itulah
sejarah pemuliaan tanaman mengalami perkembangan, dimana
dalam setiap periode perkembangan ditandai dengan penemuanpenemuan yang khas.
Secara bertahap, Smith (1967) menguraikan kronologi
perkembangan pemuliaan tanaman dalam enam periode, yaitu:
periode pertama, hingga tahun 1800, ditandai dengan penemuan
fungsi kepala sari oleh Millington, dan fungsi bakal biji dan tepung
sari oleh Grew, serta pendemonstrasian alat kelamin oleh
Camerarius.
Periode ke dua, 1800-1850. Periode ini ditandai penemuan
inti sel oleh Brown dalam tahun 1831, landasan teknik plot dan
genetika kuantitatif juga telah dikemukakan. Sejumlah ahli telah
menggunakan seleksi dan persilangan untuk tujuan perbaikan
tanaman, sedangkan penelitian mengenai sel semakin intensif yang
pada akhirnya teori-teori mengenai sel diusulkan oleh beberapa
peneliti lainnya seperti Schleiden (1837) dan Schwann (1838).
Periode ke tiga, 1851-1900. Periode ini mengalami perkembangan yang pesat setelah Strasburger memaparkan secara lengkap
mengenai inti sel pada tahun 1875 yang disusul dengan pengusulan
isitilah gamet dan kromosom tahun 1877, serta Waldeyer tahun
1888. Penemuan kembali dan penggunaan penemuan Mendel mengenai percobaan persilangan Pisum merupakan tonggak prinsipprinsip pemuliaan tanaman.
Periode ke empat, 1901-1920; ditandai dengan penggunaan
Hukum Mendel dalam penelitian genetika (Genetics), genetika sel
(Cytogenetics) dan pemuliaan tanaman (Plant Breeding). Pengusulan istilah allellomorph, homozigot, F1 dan F2 oleh Batesson dalam
tahun 1900. Penemuan Segi empat Punnett dalam menduga
kombinasi-kombinasi konstitusi genetik keturunan dari hasil
persilangan tanaman yang diusulkan oleh Batesson dan Punnett
tahun 1902. Pengusulan istilah genetik oleh Batesson dalam tahun
1906, genom untuk sepasang kromosom oleh Winkler, dan heterosis atau ketegapan hibrida oleh Shull, masing-masing dalam tahun
1916. Sedangkan pada tahun 1912, Harris mengusulkan penggunaan Chi-square untuk pengujian perbandingan segregasi.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 4
Periode ke lima, 1921-1940. Tiga kejadian utama yang
menandai periode ini adalah: (1) penelitian sitogenetik oleh
Nishiyama tahun 1929, (2) penemuan colchicine sebagai bahan
mutagen oleh Dastin tahun 1934, dan (3) pengusulan dan penggunaan hubungan biometrik antara tetua dan keturunannya oleh
Wright tahun 1921, serta pengusulan dan penggunaan rancangan
percobaan, dan metoda analisis ragam oleh Love dalam tahun
1936.
Periode ke enam, 1941 - sekarang. Periode ini diawali
dengan penelitian sitogenetik pada tanaman wheat oleh Sears tahun
1948, aneuploid pada wheat pada tahun 1954, genetika padi oleh
Nagao (1954) dan Morinaga (1956), genetik dan sitogenetik
lengkap tanaman padi oleh Chang dalam tahun 1964. Banyak
sekali perubahan yang telah dicapai dalam berbagai aspek pemuliaan tanaman hingga saat ini. Termasuk dalam pengintegrasian
teknik-teknik khusus seperti teknik mutasi, kultur jaringan, kultur
organ, dan kultur sel tanaman, serta kultur protoplas yang meliputi
persilangan tanaman pada tingkat seluler telah maju lebih jauh
hingga melahirkan pemuliaan tanaman moderen atau bioteknologi
tanaman.
Apabila ditilik perkembangan pemuliaan tanaman akhirakhir ini yang sangat pesat khususnya pemuliaan inkonvensional,
maka selayaknya kalau periode ke enam hanya dibatasi hingga
pada tahun 1959. Hal ini karena pada tahun 1960, Cocking berhasil
menemukan dan mengisolasi enzim pelumat dinding sel tanaman.
Enzim ini diisolasi dari sejenis jamur tanah yang terdapat pada akar
pohon yang dapat mendegradasi selulosa dan hemiselulosa sebagai
komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Dari penemuan di
atas, mendorong diawalinya dan semakin berkembangnya budidaya
sel telanjang (protoplast), dimana protoplas merupakan suatu
obyek penelitian genetika dan pemuliaan tanaman yang sangat
banyak digunakan oleh para peneliti.
Selain penemuan enzim pelumat dan keberhasilan menjadikan sel tidak berdinding, penelaahan kembali penemuan Blakeslee
mengenai haploid pada tanaman Datura innoxia pada tahun 1923
juga mewarnai perkembangan pemuliaan tanaman yang sangat
pesat. Hal ini karena teori haploid sangat aplikatif dalam pemuliaan
tanaman secara konvensional khususnya dalam merakit tanaman
Pemuliaan Tanaman Konvensional 5
yang homozigus sempurna dalam waktu yang sangat singkat.
Dengan demikian, maka cara silangdiri (selfing) yang umum digunakan pada pembentukan ga1ur murni dapat disubstitusi dengan
teknik haploid secara in vitro. Pemanfaatan lain konsep haploid
melalui kultur androgenesis (anthers, microspores) dan kultur partenogenesis (ovule) secara in vitro, juga dapat digunakan sebagai
obyek untuk modifikasi genetik baik pada tingkat seluler maupun
pada tingkat molekular dan DNA.
Dari penemuan enzim pelumat dinding sel tanaman dan
penelaahan kembali konsep haploid, melahirkan kegiatan modifikasi genetik (genetic modification) yang sangat pesat melalui cara
transformasi DNA (DNA transformation), persilangan somatis
(somatic hybridization), fusi protoplas (protoplast fussion) atau
persilangan tingkat seluler (cytohybrids).
1.3. Sumbangan Pemuliaan Tanaman Terhadap Kemajuan
Pertanian
Pada awalnya, penggunaan beragam varietas lokal tanaman
masih dapat memenuhi kebutuhan manusia pada kurun waktu
tertentu di masa lalu. Akan tetapi pertumbuhan penduduk yang
bertambah secara deret ukur menurut Malthus, menyebabkan
penggunaan bahan makanan pokok dari kultivar 1oka1, sudah tidak
dapat lagi memenuhi kebutuhan dimaksud sehingga memerlukan
upaya yang tepat untuk memecahkan persoalan tersebut. Faktor
utama dan pertama yang perlu diperbaiki dari kultivar lokal adalah
mengupayakan agar kuantitas hasilnya dapat ditingkatkan. Selanjutnya upaya menemukan varietas baru yang mempunyai kemampuan berproduksi yang lebih tinggi dari varietas lokal adalah
alternatif lain yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pemuliaan
tanaman memegang peranan untuk mencapai tujuan ini.
Di berbagai belahan bumi ini, orang-orang tidak akan memungkiri bahwa sumbangan pemuliaan tanaman terhadap kemajuan pertanian, utamanya dalam meningkatkan hasil tanaman
(kuantitas dan atau kualitas) per satuan luas penanaman tertentu
setiap sekali panen, adalah sangat nyata. Bahkan, penambahan
frekuensi panen dalam setiap tahun dapat ditingkatkan dengan
mengubah kebiasaan tanaman menyelesaikan siklus hidupnya dari
Pemuliaan Tanaman Konvensional 6
waktu yang lebih panjang (umur dalam) menjadi lebih singkat
(umur genjah). Prestasi ini dicapai pada beberapa tanaman utama
seperti jagung, padi, umbi-umbian, dan biji-bijian lainnya dari
kelompok tanaman kacang-kacangan, termasuk peningkatan kandungan gizi dan minyak dari tanaman tertentu.
Lebih lanjut, dengan keberhasilan mengawinkan tanaman
dari spesies yang berkerabat jauh mendorong lahirnya varietas
hibrida yang memanfaatkan jantan mandul (padi dan jagung)
dengan kemampuan produksi secara kuantitas sebesar lebih dari
100% kenaikan hasil dibanding dengan produksi masing-masing
kedua tetuanya. Hal ini semakin mengokohkan kedudukan pemuliaan tanaman sebagai cabang pengetahuan yang sangat memajukan
pencapaian sasaran hasil tanaman secara optimal. Apalagi dengan
keberhasilan bidang rekayasa genetika tanaman, membawa cabang
botani ini menjadi sangat penting dalam pembangunan di bidang
pertanian.
1.4. Penyebaran dan Adaptasi Tanaman
Penyebaran dan adaptasi tanaman merupakan dua peristiwa
penting yang memungkinkan terjadinya hubungan timbal batik
antara manusia termasuk hewan dengan tanaman. Di satu sisi,
tanaman merupakan sumber kebutuhan utama bagi manusia dan
hewan, di sisi lainnya perpindahan (penyebaran) suatu tanaman
diantaranya dapat disebabkan oleh tindakan manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja. Hingga saat ini telah mencapai
ribuan spesies tanaman yang dimanfaatkan oleh manusia, baik
untuk bahan pangan maupun untuk bahan papan. Namun demikian,
khusus untuk bahan pangan terdapat indikasi bahwa jumlah jenis
tanaman tersebut mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Penurunan ini terjadi akibat semakin bertambahnya kebutuhan
manusia karena pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan
penghancuran secara langsung maupun secara tidak langsung
habitat tanaman untuk kepentingan di luar pembudidayaan
tanaman.
Apabila disimak arti penyebaran, terlihat bahwa suatu
tanaman akan berpindah dari tempat/habitat tumbuhnya semula ke
tempat/habitat tumbuhnya yang baru. Perpindahan tersebut dapat
Pemuliaan Tanaman Konvensional 7
terjadi karena ulah manusia, baik secara sengaja maupun secara
tidak sengaja. Perpindahan secara sengaja dapat terjadi karena: (a)
adanya perpindahan (migrasi) penduduk dari suatu tempat ke
tempat lain; perpindahan penduduk seperti ini biasanya disengaja
untuk mencari daerah baru yang subur dan pada saat itu para
imigran akan membawa tanaman dari tempat asal mereka ke
tempat yang baru, (b) adanya koleksi (ekspedisi) dan perdagangan
yang diartikan sebagai adanya eksplorasi dan pengiriman hasil
eksplorasi tersebut berupa contohcontoh tanaman baru untuk dibudidayakan di tempat baru sehingga biaya pengangkutan dan
biaya lainnya dari tempatnya yang jauh dapat ditekan sekecilkecilnya, dan (c) adanya pembudidayaan besar-besaran yaitu
melalui perkebunan tanaman tertentu. Sementara itu perpindahan
tanaman oleh manusia secara tidak sengaja dapat berupa terikutnya
bebijian tertentu yang ukurannya relatif kecil pada alat-alat pertanian ketika keluarga petani berpindah ke tempat baru. Akan tetapi
suatu tanaman juga dapat berpindah tempat bukan karena ulah
manusia, yaitu secara alamiah melalui perantaraan binatang liar dan
hewan ternak, air, angin, dan karena peristiwa alam lainnya.
Pertanyaan berikutnya adalah ternyata bahwa tanaman tersebut dapat tumbuh dan berproduksi di tempat tumbuhnya yang
baru. Peristiwa tumbuh dan berproduksinya suatu tanaman pada
habitat barunya dikenal sebagai adaptasi. Oleh Evans (1993) dan
Hayward dan Breese (1993) mengemukakan bahwa adaptasi
tanaman adalah kemampuan suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi pada suatu tempat dengan tingkat toleransi yang optimal
terhadap faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa gangguan
terhadap hama dan penyakit, sedangkan faktor abiotik berupa
tekanan lingkungan pertumbuhan makro seperti variasi iklim, dan
lingkungan pertumbuhan mikro seperti kondisi hara dan air pada
daerah perakaran, dan lingkungan di atas tanah antara individu
tanaman.
Timbulnya adaptasi tanaman karena dua hal (Simmonds,
1962; Jennings dan Cook, 1977), yaitu: (1) tanaman yang tumbuh
di tempatnya yang baru tidak diserang oleh hama dan penyakit
yang berevolusi dengan tanaman bersangkutan, dan (2) perubahan
teknik budidaya yang diterapkan di tempat yang baru. Pada hal
yang ke dua terdapat kemungkinan bahwa pada tempat yang baru
Pemuliaan Tanaman Konvensional 8
tanaman bersangkutan mendapat teknik budidaya yang intensif,
pada hal di tempat asalnya tanaman hanya dibudidayakan secara
tradisional, atau sebaliknya.
Dalam kaitan dengan adaptasi tanaman, terdapat dua jenis
adaptasi, yaitu: (1) adaptasi umum, dan (2) adaptasi khusus.
Pengertian adaptasi umum adalah bahwa suatu tanaman pada
mulanya hanya tumbuh pada daerah dengan luasan yang terbatas.
Akan tetapi dengan adanya pergerakan/perpindahan tanaman
(penyebaran), tanaman tersebut telah dapat ditemukan tumbuh dan
berproduksi dengan baik pada daerah yang sangat luas. Contoh
tanaman yang beradaptasi umum adalah padi (Oryza sativa L.) dan
jagung (Zea mays L.). Sebaliknya, terdapat sejumlah tanaman yang
tumbuh dan berproduksi dengan baik hanya pada daerah tertentu
yang tidak dapat ditemukan pada daerah lainnya. Adaptasi yang
terakhir ini disebut tanaman yang beradaptasi khusus. Contoh
tanaman yang beradaptasi khusus adalah pohon lontar (Borassus
sp).
Berdasarkan hasil studi Vavilov (1926) mengemukakan
bahwa pusat asal mula sebagian besar tanaman budidaya yang kita
kenal sekarang berasal dari berbagai tempat. Dengan menggunakan
kriteria adanya keragaman genetik yang besar bagi suatu tanaman,
maka Vavilov membagi delapan pusat penyebaran spesies tanaman.
Akan tetapi, dengan adanya berbagai bukti yang melemahkan hasil
studi Vavilov pada tahun 1975, Zeven dan Zhukovsky, dan Zeven
dan de Wet (1982) memperbaiki hasil studi Vavilov dengan
membagi 12 pusat penyebaran tanaman budidaya dengan istilah
“Pusat Genetik Besar dan Kecil” tanaman budidaya (mega- and
micro-gene centres of cultivated plants). Keduabelas pusat penyebaran tanaman budidaya dimaksud sebagaimana disajikan pada
Tabel 1.1.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 9
Tabel 1.1. Duabelas wilayah pusat penyebaran sebagian tanaman
budidaya utama menurut Zeven dan Zhukovsky (1975), dan Zeven
dan de Wet (1982) (Esquinas-Alcazar,1993)
No.
Wilayah
1. Cina-Jepang
Nama Tanaman
Kedelai, jeruk (Orange), leci, bambu, rami,
teh, dll.
2. IndocinaPadi, mangga, pisang, rambutan, durian,
Indonesia
lemon (Lime), bambu, sagu, jahe, kelapa,
cengkeh, uwi, talas, dll.
3. Australia
Eucaliptus, Acacia, Macadamia nut, dll.
4. Hindustan
Padi, uwi, talas, jeruk, pisang, mangga,
kapas, jahe, tebu, lada hitam, dll.
5. Asia-Tengah
Gandum, bawang merah, bawang putih,
bayam, pir, melon, apel, wortel, dll.
6. Timur-Dekat
Gandum roti, kol, bawang merah, melon,
pir, apel,
7. Mediterania
Gandum, kol, dll.
8. Afrika
Gandum roti, padi Afrika, bulgur, uwi,
kelapa sawit, kapas, kopi, melon, dll.
9. Eropa-Siberia
Pir, apel, plum, apricot, almond, dll.
10. Amerika-Selatan Kentang, ubi jalar, bayam, tomat, tembakau,
pepaya nenas, kacang tanah, ubikayu,
coklat, karet. dll.
11. Amerika-Tengah Jagung, kentang, lada, bayam, tembakau,
dan Meksiko
kapas dataran tinggi, dll.
12. Amerika-Utara Bungamatahari, Strawberry, dll.
Tabel l.l menunjukkan bahwa sistem penyebaran tanaman
terjadi tumpang tindih antara beberapa tanaman pada beberapa
wilayah. Hal ini dapat dimengerti karena di samping adanya
macrogene centres, juga karena adanya microgene centres, yang
oleh Harlan (1971) mengistilahkan sebagai Centres dan Noncentres, (pusat dan bukan pusat). Terdapat suatu konsep yang erat
kaitannya dengan penyebaran tanaman, yaitu kumpulan gen (genePemuliaan Tanaman Konvensional 10
pool). Pengertian kumpulan gene adalah besar kecilnya keragaman
genetik sekumpulan tanaman pada spesies yang sama.
Keragaman genetik ini mengindikasikan kemungkinan
keberhasilan persilangan antar spesies dengan keturunan yang fertil
dan konstitusi kromosom yang baik. Tiga kelompok kumpulan gen
dimaksud adalah: (1) kumpulan gen primer (primary gene-pool),
(2) kumpulan gen sekunder (secondary gene-pool), dan (3) kumpulan gen tersier (tertiary gene-pool). Ilustrasi yang dikemukakan
oleh Harlan dan de Wet (1971), disajikan pada Gambar 1.3.
Hibrida dengan GP-1 menghasilkan keturunan yang steril
Hibrida dengan GP-1
sebagian F1 fertil
GP-1 ras budidaya
GP-3
GP-2
SPESIES BIOLOGI
GP-2
GP-3
GP-1 ras spontan
Memungkinkan transfer
gen meskipun agak sulit
Tidak memungkinkan transfer gen
kecuali dengan teknis khusus
Gambar 1.3. Skema diagram lungkang gen (Modifikasi dari Harlan dan
de Wet, 1971).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 11
Ciri dari ketiga kumpulan gen adalah sebagai berikut.
Kumpulan gen primer (Gene Pool-I, GP-I), adalah kelompok
tanaman yang apabila disilangkan satu sama lain sesama anggota
dalam kumpulan gen primer akan menghasilkan keturunan yang
subur dengan pola kromosom yang baik. Sementara itu, kumpulan
gen sekunder (GP-2), bahwa semua tanaman dalam kelompok ini
apabila disilangkan dengan tanaman GP-l sebahagian keturunannya
akan fertil, tetapi sebahagiannya akan mandul (steril). Sedangkan
kumpulan gen tersier (GP-3) apabila disilangkan dengan GP-l akan
menghasilkan seluruh keturunannya yang mandul dan bahkan akan
letal.
1.5. Pemuliaan Tanaman Masa Kini
Cabang ilmu botani ini telah mengalami perkembangan
yang sangat cepat seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia yang
semakin besar. Perkembangan ini dimulai sejak tahun 1970-an
setelah kultur in vitro diintegrasikan ke dalamnya sebagai bagian
dari pemuliaan tanaman. Walaupun pada awalnya kultur in vitro
hanya merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara
vegetatif, akan tetapi setelah diketahui bahwa konsekuensi dari kultur in vitro itu adalah adanya gejala variasi somaklon (somaclonal
variation phenomenon), maka kultur in vitro adalah bahagian dari
pemuliaan tanaman karena teknik ini dapat menimbulkan keragaman genetik bagi keturunan yang dihasilkan dari tanaman asal yang
dikulturkan.
Setelah perkembangan bidang rekayasa teknologi (technological engineering) tumbuh cepat dan berhasil dipadukan dengan
ilmu-ilmu kealaman lainnya khususnya biologi, maka lahirlah
generasi lebih maju dari biologi dan teknologi dalam satu kesatuan
sebagaimana populer dikenal sebagai bioteknologi tanaman.
Cabang biologi dan teknologi yang terpadu ini mengharuskan
membagi pemuliaan tanaman dalam dua bagian, yaitu: (1) pemuliaan tanaman secara konvensional, yaitu dengan menggunakan
bahagian tanaman dari hasil langsung penggabungan dua alat
kelamin tanaman (jantan dan betina) menghasilkan biji sebagai
kekuatan utama dalam sistem pemuliaan tanaman, dan (2) pemuliaan tanaman secara inkonvensional, yaitu penggunaan bahagianPemuliaan Tanaman Konvensional 12
bahagian tanaman yang bukan berasal dari hasil langsung penggabungan kedua alat kelamin tanaman (bukan biji).
Berdasarkan uraian singkat mengenai sejarah, pengertian
pemuliaan tanaman, ruang lingkup, sumbangan pemuliaan tanaman
terhadap kemajuan pertanian, dan kondisi pemuliaan tanaman
hingga masa kini, dapat kita peroleh gambaran betapa pemuliaan
tanaman telah menempuh perjalanannya yang cukup panjang dan
memberikan arti sangat penting bagi kehidupan manusia dari waktu
ke waktu. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat telah
menuntut penyediaan dan pemenuhan kebutuhan dasar (basic
needs) kehidupan manusia yang dari hari ke hari semakin meningkat sehingga penyediaan bahan kebutuhan tersebut harus selalu ada
setiap saat. Seiring dengan itu, maka pemuliaan tanaman secara
konvensional masih tetap dibutuhkan, sedangkan pemuliaan secara
inkonvensional masih akan semakin disempurnakan sehingga
kombinasi antara keduanya juga akan tetap menjadi pilihan dalam
memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan manusia dimaksud.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 13
Bab 2
CORAK
PERKEMBANGBIAKAN
TANAMAN
2.1. Pendahuluan
Prosedur pemuliaan tanaman yang digunakan untuk memperbaiki genetik suatu jenis (species) tanaman tergantung pada
corak perkembangbiakan tanaman yang diusahakan. Ada dua corak
perkembangbiakan tanaman, yaitu: (1) perkembangbiakan secara
kawin, dan (2) perkembangbiakan secara tak kawin. Perkembangbiakan tanaman secara kawin melibatkan penggabungan antara sel
gamet jantan dan sel gamet betina yang terletak pada bunga
tanaman (Gambar 2.1), baik berasal dari pohon yang sama maupun
dari pohon yang berbeda.
Gambar 2.1. Skema bagian-bagian bunga tanaman tingkat tinggi
(Poehlman dan Sleper, 2006).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 14
Sementara itu, perkembangbiakan tanaman secara tak
kawin terjadi melalui penggunaan bahagian-bahagian tanaman
selain bagian dari hasil penggabungan langsung antara sel gamet
jantan atau betina, atau dengan menggunakan biji akan tetapi bukan
dari hasil penggabungan kedua sel kelaminnya (apomic).
Pada bagian ini, akan diuraikan proses-proses sel dalam
perkembangbiakan tanaman; perkembangbiakan tanaman secara
tak kawin dan, perkembangbiakan tanaman secara kawin.
2.2. Proses-Proses Sel dalam Perkembangbiakan Tanaman
Ada tiga hal penting yang perlu dikemukakan dalam prosesproses sel pada perkembangbiakan tanaman, yaitu: (1) miosis, (2)
mitosis, dan (3) pembentukan gamet dan pembuahan.
a. Miosis
Pada banyak buku mengenai biologi secara umum akan ditemukan pembahasan secara rinci dan mendalam mengenai miosis.
Dalam uraian ini hanya akan dikemukakan aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemuliaan tanaman. Dalam
proses-proses miosis akan melibatkan megaspora di dalam bakal
buah dan mikrospora di dalam kepalasari atau ruangsari.
Pembelahan reduksi pada megaspora 2n (diploid) melalui
miosis membentuk megaspora n (haploid) disebut sebagai proses
megasporogenesis, sedangkan pembelahan reduksi pada mikrospora 2n juga membentuk mikrospora n disebut mikrosporogenesis. Pembelahan miosis ini terjadi dalam dua tahap, yaitu: miosis I
dan miosis II, yang masing-masing terdiri dari 10 dan 4 tahap. Pada
akhir pembelahan miosis ini akan menghasilkan empat anak sel
baru (Gambar 2.2) dengan konstitusi genetik sebesar setengah dari
tingkat ploidi asalnya (2n menjadi n).
Gambar 2.2. Pembelahan miosis (Pohlman dan Sleper, 2006).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 15
Selain itu, pemanfaatan kondisi sel haploid akan memberikan
keuntungan dalam seleksi dan pembuatan keturunan baru untuk
mendapatkan tanaman yang homogen secara genetis.
Beberapa hal penting dalam proses miosis yang berkaitan
dengan pemuliaan tanaman adalah bahwa pada akhir miosis akan
diperoleh sel baru dengan ciri-ciri sebagai berikut (Crowder, 1986):
(1) kromosom homolog akan saling berpasangan (synapsis);
(2) akan terjadi pertukaran bahan genetik melalui pindah silang
(crossing over) antara kromatid berbeda;
(3) kromosom yang berpasangan akan berderet pada bidang ekuator
dan terjadi pada metafase I;
(4) pengurangan (reduksi) jumlah kromosom terjadi pada tahap
anafase I;
(5) setelah metafase I, jumlah kromosomnya menjadi haploid (n);
(6) kromosom sel baru secara genetis dapat berbeda dengan kromosom sel sebelum miosis karena terjadinya pindah silang.
Dari ciri-ciri di atas dapat difahami mengapa tanaman yang
diperbanyak melalui biji yang dibuahi akan diperoleh biji dan
keturunan tanaman yang berbeda secara genetis dengan tetua
asalnya, yaitu terjadinya pertukaran bahan genetik selama pembelahan miosis berlangsung.
b. Mitosis
Pembelahan mitosis adalah pembelahan inti sel yang akan
menghasilkan dua sel anak yang identik dengan sel asalnya. Hanya
ada empat fase utama dalam proses pembelahan ini, yaitu: profase,
metafase, anafase, dan telofase. Sebagaimana dengan miosis,
karakteristik fase-fase mitosis dapat ditemukan pada banyak literatur mengenai pembelahan sel, dan secara skematis dapat dilihat
pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Pembelahan sel secara mitosis (Poehlman dan Sleper,
2006).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 16
Dalam kaitan mitosis dengan pemuliaan tanaman, terdapat
lima hal penting dari karakter mitosis yang perlu diketahui, yaitu
(Crowder, 1986):
(1) mitosis menyebabkan bertambahnya jumlah sel sehingga terjadilah pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(2) setiap sel anak akan memperoleh kromosom dengan pasangannya yang lengkap, bahan genetik dan komponen sitoplasmis
yang identik;
(3) secara normal, tidak terjadi perubahan jumlah kromosom;
(4) kromosom tetap mempertahankan sifat-sifatnya selama mitosis,
(5) mitosis adalah proses pembelahan inti dimana gen-gen, kromosom, nucleoli, dan centromer akan membelah.
Dari segi pemuliaan tanaman khususnya dalam mendapatkan tanaman unggul yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan,
konsep mitosis ini dapat dieksploitasi untuk mencapai tujuan dimaksud terutama bagi tanaman-tanaman yang tidak dapat menghasilkan biji atau tanaman yang sukar dibiakkan dengan biji.
c. Pembentukan gamet dan pembuahan
Setiap dari empat tepungsari muda (microspores) yang
dihasilkan melalui miosis berkembang menjadi tepungsari matang
(mature pollen grains). Setiap tepungsari muda membelah secara
miosis membentuk inti generatif dan inti vegetatif. Inti generatif
membelah secara mitosis untuk membentuk dua sel sperma.
Tiga dari empat megaspora yang dihasilkan melalui moisis
tidak berfungsi, sedangkan satu sisanya melakukan pembelahan
mitosis sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan delapan sel baru.
Dua inti di antaranya adalah inti polar, dan satu inti lainnya adalah
inti telur. Sel yang tidak berfungsi ini berkembang menjadi kandung embrio (embryo sac).
Pada proses pembuahan, satu dari dua inti sperma bergabung dengan sel telur membentuk zigot, dan satu inti sperma lainnya bergabung dengan dua inti sel polar membentuk endosperma.
Proses pembuahan ganda ini (Darjanto dan Siti Satifah, 1984)
menghasilkan satu embrio 2n dan satu endosperma 3n, sehingga
tanaman yang tumbuh akan memiliki konstitusi genetik 2n (diploid) dan apabila menghasilkan biji akan mempunyai endosperma
dengan konstitusi genetik 3n (triploid) (Gambar 2.4).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 17
Gambar 2.4. Proses pembentukan buah/biji melalui pembuahan ganda
(Darjanto dan Siti Satifah, 1984).
Pada tanaman dengan tingkat ploidi lebih tinggi juga akan
mengikuti proses-proses yang sama dengan tanaman diploid. Akan
tetapi, perbedaannya hanya terletak pada jum1ah ploidi yang terlibat dalam proses pembentukan gamet dan pembuahan.
2.3. Perkembangbiakan Secara Kawin
Produksi benih melalui perkembangbiakan secara kawin
melibatkan pemindahan tepungsari dari kepalasari ke atas permukaan kepala putik, perpindahan inti di dalam tabungsari (pollen
tube) masuk ke dalam kandung embrio kemudian terjadi penggabungan sel gamet jantan dan betina. Seluruh proses ini disebut
Pemuliaan Tanaman Konvensional 18
penyerbukan dan pembuahan, dimana penyerbukan adalah berkecambahnya serbuksari di atas kepala putik, kemudian inti serbuksari berkembang di dalam style. Sementara itu, pembuahan adalah
proses penggabungan inti serbuksari dengan inti telur, terbentuknya
biji dan berkembang hingga dewasa dan matang.
Pada umumnya, perkembangbiakan tanaman secara kawin
dapat dibagi atas dua bagian yaitu: (1) tanaman menyerbuk sendiri
(self pollinated crops), dan (2) tanaman menyerbuk silang (cross
pollinated crops). Pada tanaman menyerbuk sendiri, tepungsarinya
berasal dari pohon yang sama (Gambar 2.5a), sedangkan tanaman
yang menyerbuk silang sumber tepungsarinya berasal dari pohon
yang berbeda (Gambar 2.5b).
A
B
Gambar 2.5. Skema penyerbukan tanaman. A, Tanaman berumah satu
yang mendorong terjadinya penyerbukan sendiri, dimana bunga jantan
dan bunga betina berada pada pohon yang sama. B, Tanaman berumah
dua yang mendorong terjadinya penyerbukan silang (Kuckuck et al.,
1991).
Akibat genetik dari kedua macam tipe penyerbukan di atas masingmasing akan dibicarakan pada bagian-bagian berikutnya.
Ada beberapa mekanisme alamiah yang menyebabkan terjadinya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang dari tanaman,
yaitu: (1) morfologi bunga dan perkembangannya, (2) ketidakcocokan kawin sendiri (self incompatibility) dan, (3) sterilitas jantan
(male sterility).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 19
a. Morfologi bunga dan perkembangannya
Dua macam struktur bunga yang langsung mempengaruhi
perkembangbiakan tanaman secara kawin adalah kelamin jantan
dan kelamin betina. Kedua kelamin ini akan meliputi letak masingmasing di dalam tanaman, apakah dalam bunga yang sama (padi)
atau bunga yang berbeda (jagung), tanaman yang sama (tomat),
atau pada tanaman yang berbeda (salak). Selanjutnya, perilaku
mekarnya bunga juga menentukan apakah tanaman tersebut
menyerbuk sendiri atau menyerbuk silang. Mekarnya bunga pada
tanaman yang menyerbuk sendiri terjadi setelah persarian berlangsung, sedangkan pada tanaman menyerbuk silang persarian terjadi
setelah bunga mekar.
Begitu pula, kematangan bunga jantan dan bunga betina.
Pada tanaman dengan kematangan yang sama kedua bunga jantan
dan betina akan mendorong terjadinya penyerbukan sendiri,
sedangkan perbedaan kematangan bunga jantan dan betina akan
mendorong terjadinya persarian secara silang. Dalam hal perbedaan
ukuran ketinggian dari bunga jantan dan betina, penyerbukan
sendiri akan terjadi apabila letak bunga jantan lebih tinggi dari pada
bunga betina, sedangkan bila bunga jantan lebih rendah dari bunga
betina maka akan menyebabkan terjadinya penyerbukan silang
(Gambar 2.5A dan 2.5B).
b. Ketidakcocokan kawin sendiri (self incompatibility)
Ketidakcocokan kawin sendiri adalah ketidakmampuan
bunga jantan dan bunga betina dari suatu tanaman untuk berfungsi
atau menghasilkan zigot secara kawin sendiri (self pollination).
Akibat dari keadaan ini, tanaman yang tergolong dalam jenis ini
akan mendorong terjadinya persarian secara silang.
Menurut Larsten (1980) terjadinya ketidakcocokan kawin
sendiri disebabkan oleh beberapa mekanisme, yaitu: (1) tepungsari
tidak dapat berkecambah di atas kepala sari, (2) tepung sari
berkecambah di atas kepala sari dan berkembang ke dalam style,
akan tetapi tidak mampu mencapai kandung embrio karena suatu
hambatan, (3) tabungsari yang berkembang tidak mampu mencapai
bakal biji, dan (4) sel sperma dapat mencapai kandung embrio,
akan tetapi tidak dapat bergabung dengan inti telur.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 20
Masih banyak akibat lain terutama faktor-faktor yang berasal dari luar tanaman itu sendiri yang dapat menyebabkan ketidakcocokan kawin sendiri. Namun, aspek penting yang berkaitan
dengan pemuliaan tanaman adalah bahwa fenomena ini akan memberi keuntungan dalam upaya meningkatkan keragaman genetik
tanaman dan penciptaan tanaman yang mempunyai toleransi yang
luas.
c. Sterilitas jantan (male sterility)
Sterilitas jantan diartikan sebagai kegagalan tanaman untuk
menghasilkan tepungsari yang fertil. Ada tiga macam sterilitas
jantan, yaitu: (1) sterilitas jantan genetik-SJG (genetic male
sterility, GMS), (2) sterilitas jantan sitoplasmik-SJS (cytoplasmic
male sterility, CMS), dan sterilitas jantan genetik sitoplasmik-SJGS
(cytoplasmic-genetic male sterility, CGMS). GMS adalah sterilitas
jantan akibat penghambatan yang terjadi pada inti sel tumbuhan,
sedangkan CMS merupakan sterilitas jantan yang terjadi disebabkan penghambatan dari cairan sel atau sitoplasma (di luar inti sel).
Kalau penghambatan itu disebabkan adanya interaksi antara penghambatan yang bersumber dari inti sel dan sitoplasma, gejala ini
dikenal dengan sterilitas jantan genetik sitoplasmik.
Meskipun ketiga macam sterilitas cukup penting dalam
pemuliaan tanaman, namun dalam uraian berikut hanya akan dikemukakan mengenai CGMS karena CGMS telah mendapat perhatian dan penggunaan yang lebih luas dibanding dengan dua
macam sterilitas lainnya. Contoh yang mudah dimengerti dan
umum telah terjadi di kalangan petani adalah pemanfaatan varietas
hibrida bagi tanaman padi dan jagung. Varietas hibrida ini dibuat
dengan memanfaatkan CGMS. Dengan perolehan jumlah benih
yang lebih banyak melalui sistem CGMS menjadikannya sebagai
teknik yang sangat efisien dalam merakit varietas hibrida jika
dibandinglan dengan sistem yang tidak memanfaatkan gejala
sterilitas jantan. Tidak mengherankan apabila lebih dari 80% areal
pertanaman padi di Cina (Chang et al., 1991) adalah hibrida yang
dirakit dari CGMS.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa sterilitas jantan
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara gen-gen yang berada
di luar inti sel (cytoplasm) dan gen-gen yang berada di dalam inti
Pemuliaan Tanaman Konvensional 21
sel (nucleus). Akibat selanjutnya menjadikan sitoplasma dan inti
sel tidak dapat berfungsi secara bersama-sama untuk menghasilkan
tepungsari yang subur. Meskipun alat kelamin jantannya tidak
berfungsi (sterile), akan tetapi kelamin betinanya masih subur
dalam arti tanaman yang memiliki sifat ini masih dapat menghasilkan/menyelesaikan siklus hidupnya dalam bentuk menghasilkan
biji apabila disilangkan dengan tanaman sejenis lainnya yang memiliki tepungsari yang fertil. Dengan dasar inilah maka para ahli
pemulia tanaman membentuk varietas hibrida dengan hasil yang
sangat tinggi melalui pemanfaatan konsep kawin kerabat jauh
karena perbedaan genom kedua tetuanya. Dengan kata lain, produksi hibrida dengan hasil yang sangat tinggi hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan gejala sterilitas jantan.
2.4. Perkembangbiakan Secara Tak Kawin
Tanaman yang dihasilkan tanpa peleburan gamet jantan dan
gamet betina dinamakan tanaman yang bcrkembang biak tanpa
kawin. Secara genetik, tanamantanaman yang diperoleh tanpa
melalui zigot mempunyai konstitusi genetik yang sama atau identik
dengan tanaman asalnya. Sistem perkembangbiakan secara tak
kawin dapat dibagi dalam lima bagian, yaitu: (1) pengembangbiakan dengan menggunakan struktur vegetatif khusus tanaman selain
biji yang dibuahi, (2) pengembangbiakan melalui biji yang tidak
dibuahi (biji dan tanaman apomik), (3) induksi akar dan pucuk
adventif, (4) penyambungan, dan (5) kultur in vitro. Kelima sistem
pengembangbiakan tanaman secara tak kawin dikemukakan secara
singkat berikut ini.
a. Pengembangbiakan tanaman dengan menggunakan struktur
vegetatif khusus tanaman selain biji yang dibuahi
Secara umum, ada enam bentuk perkembangbiakan dengan
menggunakan bahagian tanaman khusus selain biji yang dibuahi
(Gambar 2.6), yaitu: (1) bulb, (2) corm, (3) rhizome, (4) stolon, (5)
tuber, dan (6) offsets.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 22
Gambar 2.6. Berbagai bahan perbanyakan menggunakan struktur vegetatif khusus (Hartman dan Kester, 1975; Mangoendidjojo, 2005).
Bulb adalah batang semu yang tersusun dari lembaran berdaging dan bersisik berukuran pendek dan tebal. Contoh bulb
adalah lily dan tulip. Sementara itu, corm merupakan batang
padat/kukuh yang mengandung mata dan ruas-ruas, tidak berisi
lembaran-lembaran berdaging, dan sering disebut bulb palsu.
Tanaman yang termasuk golongan ini adalah gladiol.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 23
Rhizome, adalah dahan berbentuk tabung yang tumbuh lateral
dalam tanah, dapat berdaging, dapat pula ramping, dan pada
umumnya kaya akan simpanan makanan. Contoh dari rhizome
adalah iris, pisang, jahe, temu-temuan dan alang-alang. Stolon atau
runner, adalah batang ramping yang tumbuh keluar dari ketiak
daun pada dasar tajuk dan menjalar sepanjang permukaan tanah. Di
antara tanaman yang termasuk dengan jenis pembiakan stolon atau
runner adalah tanaman strawberry. Sementara itu, tuber atau umbi
batang adalah batang berdaging dalam tanah dengan beberapa mata
tunas. Tanaman-tanaman yang masuk dalam golongan ini adalah
kentang dan talas. Terdapat suatu dahan atau cabang pendek, pipih,
horizontal, yang tumbuh keluar dari tajuk dan pada ujungnya diakhiri dengan suatu tunas atau sekumpulan daun. Ini merupakan
ciri dari offset, atau offshoot (tunas lateral) yang berkembang dari
batang dan bila berakar dapat membentuk duplikat tanaman.
Contoh dari offset atau offshoot adalah pisang (sucker), nenas
(sucker; crown, ratoon, slip), dan sorghum (ratoon). Pembiakan
tanaman yang menghasilkan offshoot ini sangat mudah dilakukan,
baik dengan cara pemisahan (separation) maupun dengan cara
pembelahan (division).
b. Pengembangbiakan tanaman secara apomiksis
Perkembangbiakan tanaman secara apomiksis (apomictics)
adalah penggunaan biji apomik (apomict). Apomiksis adalah proses
pembentukan biji yang berkembang sempurna tanpa melalui peleburan gamet jantan dan gamet betina. Dua bentuk perbanyakan
secara apomiksis adalah: (1) dengan menggunakan biji apomik, dan
(2) dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif tanaman yang
berasal dari biji apomik. Dengan demikian, maka biji apomik
adalah biji yang berkembang normal hingga matang tanpa didahului peristiwa zigot. Biji tersebut tetap normal dan tumbuh menjadi
tanaman apomik normal, sedangkan penggunaan bagian-bagian
vegetatif tanaman apomik dari biji apomik, dapat dilakukan dalam
bentuk setekan, penyambungan, rundukan, cangkokan, dan kultur
in vitro. Kesesuaian penggunaan cara perbanyakan vegetatif bagi
tanaman apomik juga ditentukan oleh respon tanaman terhadap
cara-cara yang telah disebutkan di atas.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 24
c. Pengembangbiakan tanaman melalui induksi akar dan pucuk
adventif
Terdapat dua bentuk induksi akar dan pucuk adventif dalam
perbanyakan tanaman secara tak kawin, yakni: (1) secara bumbunan (layerage), dan (2) secara cangkokan (air layerage). Pada cara
bumbunan, bahagian vegetatif tanaman dimasukkan ke dalam
tanah, sementara bahagian tanaman tersebut masih tetap menyatu
dengan tanaman induknya (Gambar 2.7).
Gambar 2.7. Empat bentuk induksi akar dan pucuk adventif secara
bumbunan (layerage) (Denisen, 1967).
Setelah bahagian yang tertimbun dengan tanah mengeluarkan akar dan pucuk, dan pertumbuhannya baik, bahagian tersebut
selanjutnya dipisahkan dengan induknya. Ada lima macam bumPemuliaan Tanaman Konvensional 25
bunan yang umum diketahui, yaitu: - tip layerage, - simple
layerage (common layerage, - trench layerage (continuous
layerage), -serpentin layerage (compound leyerage), dan mound
layerage (stool laverage). Penjelasan masing-masing pembagian
bumbunan di atas dapat dibaca pada banyak buku hortikultura.
Selain itu, cangkokan sering disebut sebagai air layerage
atau layerage di atas tanah. Pelaksanaan pengembangbiakan tanaman dalam bentuk seperti ini adalah dengan mengerat kulit batang/
cabang sepanjang ukuran tertentu, kemudian medium tumbuh yang
kaya akan hara dibungkuskan pada bidang yang telah dibuang
kulitnya (Gambar 2.8).
Gambar 2.8. Skema induksi akar secara cangkokan (layerage).
Tujuan pembungkusan hara dan wadah pembungkus tertentu pada bagian luarnya adalah untuk merangsang tumbuhnya
akar baru pada daerah pelukaan tadi. Setelah akar tumbuh dengan
baik, bahagian bawah dari pelukaan tadi dipotong, kemudian ditanam pada lubang penanaman yang telah disediakan.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 26
d. Pengembangbiakan tanaman melalui penyambungan
Cara yang populer sistem pembiakan tanaman golongan ini
terdiri dari dua macam, yaitu: (1) sambung pucuk (grafting), dan
(2) sambung/tempel mata tunas (budding). Dalam sistem sambung
pucuk, beberapa sentimeter pucuk batang utama tanaman dibuang,
kemudian pucuk tanaman lainnya dipotong untuk disisipkan atau
ditempelkan pada ujung batang utama tadi (Gambar 2.9).
Gambar 2.9. Ilustrasi sambung pucuk (grafting).
Ini berarti bagian bawah tanaman akan berfungsi sebagai
batang utama, sedangkan pucuk yang terdiri dari banyak titik
tumbuh akan menjadi bahagian atas tanaman. Diharapkan, pada
bahagian bawahnya akan sesuai dengan sifat-sifat batang bawahnya, sedangkan sifat tanaman yang diinginkan untuk bahagian
atasnya adalah yang tumbuh dari pucuk sambungan tadi.
Cara penyambungan yang ke dua adalah dengan melakukan
penempelan mata tunas dari tanaman lain kepada batang utama
(Gambar 2.10).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 27
Gambar 2.10. Ilustrasi sambung/tempel mata tunas (budding, okulasi).
Perbedaannya dengan sambung pucuk adalah bahwa cara
ini hanya mengharapkan tumbuhnya tanaman yang diinginkan dari
satu mata tunas, sedangkan prinsipnya adalah sama dalam hal
fungsi batang bawah dan bahagian atas tanaman. Hubungan kedua
cara penyambungan ini dengan pemuliaan tanaman secara umum
adalah memadukan dua sifat unggul dari dua sumber tanaman yang
berbeda. Hingga saat ini belum dapat dibuktikan bahwa pewarisan
kedua sifat pada keturunannya sama dengan penggabungan melalui
persilangan.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 28
e. Pengembangbiakan secara in vitro
Pengembangbiakan secara in vitro adalah salah satu cara
dari sistem perkembangbiakan tanaman secara tak kawin. Pengertian dari cara perbanyakan ini adalah menumbuhkan bagian-bagian
vegetatif tanaman di dalam kondisi suci hama dengan menggunakan medium organik buatan tertentu dalam tabung gelas atau
plastik terisolasi dari hubungan dengan lingkungan luar (Gambar
2.11).
Gambar 2.11. Pengembangbiakan tanaman secara in vitro dengan
menumbuhkan beragam bagian vegetatif tanaman, memutar arah jarum
jam: kultur jaringan, kultur meristem ujung, kultur embrio, dan kultur
suspensi sel (Miller et al., 1991).
Bagian tanaman yang dapat digunakan, mulai dari hanya
satu sel (protoplast, microspore, cell suspension, ovule), kumpulan
sel (jaringan), hingga kumpulan jaringan (organ). Cara perkembangbiakan tanaman ini merupakan bahagian dari sistem pemuliaan
tanaman secara inkonvensional yang melahirkan bioteknologi tingkat tinggi atau bioteknologi moderen. Pemuliaan tanaman secara
inkonvensional, tidak akan menjadi bahasan dalam buku ini karena
akan dibahas pada buku lainnya.
Dengan mengetahui corak perkembangbiakan tanaman akan
memandu kita ke arah penggunaan metode pemuliaan yang tepat
bagi suatu tanaman budidaya, sebab perbedaan corak perkembangbiakan tanarnan memerlukan sistem pemuliaan yang berbeda.
Lebih jauh, penggunaan sistem pemuliaan yang tepat akan memberikan hasil yang tepat pula karena cara pendugaan yang dilakukan
Pemuliaan Tanaman Konvensional 29
juga telah sesuai tanpa menghasilkan bias yang terlalu besar. Selain
itu, pemuliaan tanaman secara konvensional umumnya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkan satu varietas
atau kultivar unggul baru. Oleh karena itu pengetahuan mengenai
corak perkembangbiakan tanaman akan membantu dalam pencapaian prinsip efisiensi dan efektifitas, tidak hanya diharapkan
dalam efisien dan efektif waktu yang digunakan, akan tetapi juga
terhadap biaya, tenaga, fasilitas, dan pemikiran.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 30
Bab 3
PEMULIAAN PADA
TANAMAN MENYERBUK SENDIRI
3.1. Pendahuluan
Bari et al. (1976), mengemukakan bahwa besarnya penyerbukan silang pada tanaman menyerbuk sendiri (padi, tomat,
mangga) adalah sekitar 4-5%. Akan tetapi pada spesies tertentu
tanaman menyerbuk sendiri, memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri sebesar 100%. Persentase dari persilangan alami
pada tanaman menyerbuk sendiri dapat diduga dengan cara menanam tanaman yang memiliki suatu sifat resesif di antara tanaman
yang memiliki alternatif alel dominan. Selanjutnya, tanaman resesif
dipanen. Untuk mengetahui persentase persilangan alami yang
terjadi, keturunan tanaman resesif tadi dihitung berapa persen yang
dominan.
Pada tanaman yang umumnya menyerbuk sendiri terdapat
beberapa mekanisme alami yang mencegah terjadinya perkawinan
silang, yaitu: (1) bunga tidak terbuka; (2) bunga terbuka, akan
tetapi terjadi pelepasan benangsari sebelum bunga terbuka; (3)
kepala putik dan kepala sari tersembunyi di dalam bagian dari
bunga tersebut, dan (4) kepala putik memanjang dan menggesek
kepala sari sesaat setelah kepala sari masak.
Penyerbukan sendiri dicirikan oleh tumpahnya serbuksari di
atas kepala putik pada dua bentuk bunga (Fehr, 1993), yaitu bunga
kleistogam (cleistogamous-flowers) dan bunga sempurna (perfect
flowers). Dua topik utama yang akan dibahas dalam bagian ini
masing-masing adalah dasar genetik, dan metoda pemuliaan pada
tanaman menyerbuk sendiri.
3.2. Dasar Genetik Tanaman Menyerbuk Sendiri
Sudah menjadi sifatnya bahwa pada tanaman menyerbuk
sendiri akan dicirikan sebagai kumpulan individu-individu yang
Pemuliaan Tanaman Konvensional 31
homozigot. Akibat dari ciri ini menyebabkan individu dalam populasi tanaman yang menyerbuk sendiri akan homogen. Meskipun
konstitusi genetik di dalam individu adalah homozigot, akan tetapi
antara individu di dalam populasi adalah heterogen. Konstitusi
genetik yang homozigot pada tanaman menyerbuk sendiri ini dapat
tercapai karena dua alasan utama, masing-masing: (a) pasangan gen
yang homozigot (AA atau aa) akan tetap homozigot dengan
penyerbukan sendiri, dan (b) pasangan gen heterozigot (Aa) akan
bersegregasi menghasilkan gen homozigot dan heterozigot dalam
porsi yang sama (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006).
Me1alui penyerbukan silang 1ebih lanjut, gen atau gen-gen
yang heterozigot akan berkurang sebesar setengahnya setiap generasi serbuk sendiri. Oleh karena itu tanaman yang menyerbuk
sendiri akan mempunyai konstitusi genetik yang relatif homogen
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sesudah beberapa generasi silangsendiri, proporsi tanaman yang heterozigot akan tetap
ada di dalam populasi, akan tetapi proporsinya akan semakin kecil
(Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Proporsi homozigot dan heterozigot genotip dalam suatu
populasi setiap generasi silangsendiri, S0-S10 adalah generasi silang
sendiri (Halloran, 1979).
So
Sl
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
AA
25 % AA
25% AA
12,5 AA
37,5 % AA 6,25 % AA
43,75% AA 3,125% AA
46,875% AA 1,562% AA
48,437% AA 0,781% AA
49,218% AA 0,391% AA
49,609% AA 0,196% AA
49,805% AA 0,098% AA
49,903% AA 0,049% AA
Aa
50 % Aa
25 % Aa
12,5 % Aa
6,25 % Aa
3,125% Aa
1,562% Aa
0,781% Aa
0,391% Aa
0,196% Aa
0,098% Aa
aa
25 % aa
12,5 % aa
25 % aa
6,25 % aa 37,5 % aa
3,125% aa 43,75% aa
1,562% aa 46,875% aa
0,781% aa 48,437% aa
0,391% aa 49,218% aa
0,196% aa 49,609% aa
0,098% aa 49,805% aa
0,049% aa 49,903% aa
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa pada generasi ke-10 silang
sendiri, sepasang gen heterozigot (Aa) akan menghasilkan gen
homozigot sebesar 99,81% terdiri dari masing-masing 49,903%
gen AA dan aa, sehingga gen yang heterozigot tersisa sebesar
Pemuliaan Tanaman Konvensional 32
kurang dari 1%. Kondisi gen heterozigot ini tidak mungkin akan
dapat dihilangkan hingga 100%. Meskipun kondisi 100% homozigot tidak mungkin dicapai secara teoritis, seleksi pada tanaman
menyerbuk sendiri dapat dianggap telah homogen apabila dilakukan silang sendiri selama 5-7 generasi (Poehlman dan Sleper, 1995;
2006). Perbedaan penampilan antara individu dalam genotipe AA
dan antara individu dalam genotipe aa pada generasi ini sudah
tidak nampak lagi sehingga sifat resesif bagi populasi bergenotipe
aa dan dominan, AA, akan sangat jelas.
3.3. Metode Pemuliaan pada Tanaman Menyerbuk Sendiri
Karena populasi tanaman menyerbuk sendiri dapat dianggap sebagai kumpulan individu tanaman yang homozigot, maka
beberapa metode pemuliaannya terdapat perbedaan dengan metode
pemuliaan yang diterapkan pada tanaman yang menyerbuk silang.
Meskipun beberapa metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri
relatif sama dengan yang diterapkan pada tanaman menyerbuk
silang (Bari et al., 1976; Halloran, 1979), pada dasarnya metode
pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri dibagi dalam dua
bagian utama, yaitu: (1) seleksi, dan (2) hibridisasi (Poehlman dan
Sleper, 1995; 2006).
Pada metode seleksi terdiri dari dua bagian, yaitu: - seleksi
massa, dan - seleksi tanaman tunggal atau seleksi galur murni,
sedangkan metode hibridisasi meliputi tiga bentuk persilangan berdasarkan jumlah tetua yang dilibatkan; masing-masing; hibrida
silang tunggal, hibrida silang tiga jalur, dan hibrida silang ganda.
Dapat ditambahkan bahwa meskipun hibridisasi merupakan metode
pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri, akan tetapi perolehan varietas baru bukan merupakan produk langsung dari persilangan. Hal
ini karena kegiatan persilangan hanya merupakan cara pengkutuban
informasi genetik dari tetua-tetua yang disilangkan, sedangkan
seleksi merupakan prosedur utama yang menentukan pembentukan
kultivar atau varietas baru.
a. Metode Seleksi
Seleksi massa. Prosedur pemuliaan tanaman menyerbuk
sendiri melalui metode seleksi massa adalah pemilihan individu
Pemuliaan Tanaman Konvensional 33
tanaman dari populasi campuran yang terdiri dari banyak genotipe.
Secara teoritis, dalam 7-8 generasi akan diperoleh kultivar atau
varietas baru melalui seleksi massa. Secara skematis, model
pelaksanaan seleksi massa menurut Halloran (1979) disajikan pada
Gambar 3.1.
POPULASI ATAU
KULTIVAR CAMPURAN
TANAM BERCAMPUR
Ikutkan galur/kultivar penguji
Sertakan galur/kultivar penguji
TINGKATKAN AREA
PERBANYAKAN BENIH
Gambar 3.1. Skema prosedur seleksi massa (Halloran, 1979).
Urut-urutan metode ini adalah sebagai berikut (Halloran,
1979):
Musim I:
- Tanam populasi campuran dalam pot atau tanam berjarak;
- Seleksi beberapa ratus tanaman yang mempunyai penampilan
yang sama;
- Panen tanaman terpilih, kemudian benihnya dicampur.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 34
Musim II:
- Tanam benih campuran dari musim I sebagai uji hasil pendahuluan dengan menggunakan varietas/kultivar lokal sebagai pembanding termasuk tetua-tetuanya;
- Amati tinggi, kematangan, ketahanan terhadap hama atau penyakit, dsb.
Musim III-VI:
- Lanjutkan uji hasil hingga musim keenam untuk mendapatkan
data penampilan, dan adaptasinya dibandingkan dengan varietas
lokal atau varietas penguji.
- Tingkatkan ukuran plot dengan banyak ulangan serta diperlukan
uji regional.
Musim VII:
- Perbanyak benih dan sebarkan ke petani sebagai kultivar/varietas
baru.
Seleksi Tanaman Tunggal atau Seleksi Galur Murni. Prosedur
pemuliaan untuk tanaman menyerbuk sendiri melalui seleksi
tanaman tunggal atau seleksi galur murni diperlukan hingga delapan generasi untuk mendapatkan suatu varietas atau galur murni
baru. Secara mendasar, perbedaan antara seleksi massa dengan
seleksi tanaman tunggal atau galur murni terletak pada jumlah
tanaman sebagai sumber benih yang dipilih. Kalau pada seleksi
massa menggunakan hingga ratusan tanaman unggul dari satu
populasi awal, seleksi galur murni hanya menggunakan satu tanaman dari populasi sumber hingga kultivar baru itu dihasilkan. Oleh
sebab itu kultivar yang dihasilkan dari seleksi galur murni mempunyai tingkat homogenitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan
kultivar yang dihasilkan dari seleksi massa. Seleksi tanaman tunggal atau seleksi galur murni, juga dikenal dengan Single Seed
Descend Method (SSD).
Adapun tahap-tahap pelaksanaan seleksi tanaman tunggal
atau galur murni adalah sebagai berikut :
Musim I:
- Tanam populasi campuran dalam bentuk plot atau pertanaman
banyak;
- Pilih 200-1000 tanaman individu, kemudian panen benihnya
secara individual;
Pemuliaan Tanaman Konvensional 35
Musim II:
- Tanam benih-benih terpilih secara individu dalam barisan atau
plot kecil;
- Panen beberapa tanaman yang terpilih dalam barisan plot yang
sama, kemudian bijinya dicampur.
- Tanaman yang tidak terpilih dibuang (discard inferior progenies).
Musim III:
- Tanam biji-biji yang terpilih di dalam percobaan-percobaan berulangan.
- Pada tahap ini dapat dilakukan uji daya hasil pendahuluan bila
jumlah benihnya cukup banyak, libatkan varietas penguji (lokal)
dalam uji ini.
- Panen biji untuk penanaman berikutnya hanya individu superior.
Musim IV-VII:
- Uji daya hasil dilanjutkan hingga tujuh generasi disertakan
dengan varietas penguji (varietas lokal), perbanyak ulangan.
Musim VIII:
- Pilih galur terbaik untuk penyebarluasan dan perbanyakan benih.
Ilustrasi pelaksanaan seleksi galur murni atau tanaman
tunggal menurut Johannsen yang dilakukan pada tanaman Kacang
Ratu -Princess bean- Halloran (1979), adalah seperti pada Gambar
3.2.
Ahli Botani berkebangsaan Denmark yang pertama kali
mengemukakan teori galur murni, didasarkan pada hasil penelitiannya yang menggunakan setumpuk kacang ratu. Dari tumpukan
tersebut, dipilihnya biji yang paling besar hingga yang paling kecil.
Sembilanbelas kelas benih yang dia peroleh berdasarkan ukuran
berat dari dua tahap pelaksanaan penanaman secara konsisten. Pada
tahap ketiga, masingmasing kelas benih ditanam kemudian dilakukan pengukuran berat biji masing-masing yang dihasilkan.
Ternyata, galur murni dengan biji berukuran paling kecil
(rata-rata 35,1 cg) menghasilkan benih terkecil dengan berat 34,8
cg dan terbesar dengan berat 35,8 cg. Galur murni terbesar (ratarata 64,3 cg) menghasilkan benih terkecil dengan berat, dan
terbesar dengan berat 64,9 cg. Skema prosedur seleksi galur murni
atau seleksi tanaman tunggal disajikan pada Gambar 3.3. Ini
menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari percobaan tersebut
konsisten menurunkan sifat berat benih kepada keturunannya,
Pemuliaan Tanaman Konvensional 36
meskipun terdapat benih dengan ukuran yang sama pada sumber
tetua yang berbeda.
POPULASI CAMPURAN
Tahap I:
Seleksi perbedaan ukuran biji dari
besar - kecil
Tahap II:
Tanam biji secara terpisah menurut
ukurannya. Diperoleh 19 kelas
benih
Tahap III:
Tanam biji dan terkecil secara
terpisah
Tahap IV:
Ukur berat benih dari keturunan
terbesar dan kecil
Gambar 3.2. Ilustrasi seleksi galur murni menurut Johannsen (Halloran,
1979).
POPULASI CAMPURAN
Musim I: Tanaman berjarak
tanaman/populasi campuran.
Seleksi 200-1000 individu tanaman
Musim II: Tanam keturunan setiap
tanaman dalam baris tunggal/petak
kecil, panen keturunan unggul dan
campur benih dari baris yang sama
Musim III: Tanam benih dari
tanaman unggul secara berulangan
untuk uji awal
TINGKATKAN UKURAN PLOT
Musim IV - VII: Uji hasil lanjutan
beserta penguji dengan varietas
setempat, pilih kultivar terbaik
Musim VIII: Perbanyakan benih
untuk disebarkan ke petani
Gambar 3.3. Prosedur umum seleksi galur murni (Halloran, 1979).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 37
b. Hibridisasi
Hibridisasi adalah pekerjaan mengawinkan dua tetua atau
lebih untuk mendapatkan keturunan yang memiliki penggabungan
sifat-sifat unggul dari tetua-tetuanya. Sebagaimana dikemukakan di
atas bahwa penggolongan varietas hibrida didasarkan pada jumlah
tetua yang dikawinkan. Ini berarti bahwa apabila dua tetua yang dikawinkan disebut hibrida silang tunggal, tiga tetua disebut hibrida
silang tiga, dan empat tetua disebut hibrida silang ganda. Dalam
kaitannya dengan metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk
sendiri, hibridisasi sebagai metode bukanlah merupakan prosedur
untuk mendapatkan varietas atau kultivar baru akan tetapi prosedur
yang dimaksudkan di sini adalah seleksi yang dilakukan terhadap
keturunan yang diperoleh sesudah hibridisasi dilakukan. Oleh
karena itu metode sesungguhnya yang dimaksudkan adalah seleksi
sesudah hibridisasi.
Ada tiga cara seleksi sesudah hibridisasi yang berlaku untuk
tanaman menyerbuk silang, yaitu: (1) seleksi pedigree, (2) seleksi
populasi bulk, dan (3) pemuliaan silangbalik. Ketiga cara seleksi
dan pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri di atas adalah merupakan upaya untuk menyediakan individu-individu yang akan diseleksi berada dalam tingkat homozigositas tertentu.
Seleksi pedigree. Seleksi pedigree atau seleksi silsilah adalah
pemilihan tanamantanaman unggul dalam setiap generasi memisah
secara berurutan. Oleh karena itu cara seleksi ini pengamatan
dilakukan dari generasi ke generasi, maka pencatatan semua faktor
setiap generasi sangat diperlukan. Ini dapat dimengerti mengapa
Halloran (1979) mengatakan bahwa seleksi pedigree ini sangat
cocok diterapkan untuk melihat karakter tinggi tanaman, kematangan, dan morfologi. Selain itu cara seleksi ini sudah dapat dilakukan
pada generasi awal populasi yang telah bersegregasi.
Prosedur pelaksanaan seleksi pedigree ini menghendaki
pelaksanaan sebanyak 12 tahap atau musim dengan rincian:
Musim I:
- Menyilangkan 10-25 pasangan tetua untuk menghasilkan benih Fl.
Musim II:
- Tanam benih F1 dalam rumah kaca untuk mendapatkan benih F2.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 38
Musim III:
- Tanam berjarak benih F2 di lapangan (2000-6000 tanaman),
kemudian pilih individu tanaman yang unggul (superior) dari
tinggi tanaman, kematangan dan morfologi, kemudian panen biji
F3.
Musim IV:
- Tanam 300-500 biji F3 dalam barisan, kemudian seleksi individu
tanaman yang terbaik, kemudian panen biji F4.
Musim V:
- Tanam 50-100 biji F4 dalam barisan, kemudian seleksi individu
tanaman yang terbaik, panen biji F5.
Musim VI-VII:
- Ulangi prosedur pada musim V hingga musim VII. Pada akhir
musim VII akan diperoleh biji F7.
Musim VIII:
- Uji daya hasil pendahuluan.
Musim IX-XII:
- Uji daya hasil lanjutan.
Secara skematis, metode seleksi pedigree diringkaskan pada
Gambar 3.4.
Varietas A
X
Varietas B
Tanam bercampur 50-100 tanaman
F1
F2
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tanam berjarak 2000-3000
tanaman
F3
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tanam dalam barisan 50-100
famili
F4
||||
||||
Tanam keluarga unggul dalam
baris terpisah 25-50 keluarga
F5-F7
||||
||||
F8
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
F9-F12
||||
||||
||||
||||
Tanam keluarga unggul dari baris
F4 dgn prosedur yang sama hingga
F7
Uji hasil pendahuluan
Uji hasil
Gambar 3.4. Skema metode seleksi pedigree (Poehlman dan Sleper,
2006).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 39
Seleksi bulk. Di dalam seleksi silsilah, dijumpai masalah mengenai
banyaknya bahan tanaman yang ingin ditangani, sementara tempat
yang tersedia sangat terbatas. Untuk memecahkan masalah ini diperlukan metode yang tepat dalam arti jumlah bahan yang ditangani meningkat, sementara tempat yang tersedia tidak bertambah.
Metode yang tepat untuk masalah tersebut di atas adalah seleksi
bulk.
Ketepatan metode bulk dalam memecahkan masalah di atas
adalah karena pada generasi Fl hingga F5 belum diperlukan untuk
melakukan uji pendahuluan dan pengujian baru dapat dilakukan
setelah generasi F5 atau F6 sesudah persilangan. Adapun skema
pelaksanaan metode seleksi bulk sebagaimana pada Gambar 3.5.
Varietas A
X
Varietas B
F1
F2-F5
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
||||||||||
F6
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
F7
|||
||
F8
||||||| |||||||
F9-F12
|||
||
|||
||
|||
||
||||||
|||
||
|||
||
|||||||||
Tanam dalam petakan 50-100
tanaman
Tanam dalam petakan yang
diperbesar 50-100 tanaman
Tanam dalam barisan berjarak
5000-10000 tanaman seleksi
500-1000 tanaman
Tanam keluarga unggul dlm
baris terpisah, panen 50-100
famili unggul
Tingkatkan ukuran barisan/uji
daya hasil pendahuluan
Uji hasil
Gambar 3.5. Skema metode seleksi bulk (Poehlman dan Sleper, 2006).
Sementara itu, bagan umum pelaksanaan metode seleksi
bulk diuraikan sebagai berikut:
Musim I:
- Persilangan tetua-tetua untuk mendapatkan benih F1.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 40
Musim II:
- Tanam benih F1 dalam rumah kaca untuk mendapatkan benih F2.
Musim III:
- Tanam benih F2 dalam populasi bulk untuk mendapatkan benih
F3.
Musim IV - V:
- Ulangi prosedur III hingga musim V untuk mendapatkan benih
F5.
Musim VI-VII:
- Tanam benih F5 dan F6 dalam barisan berjarak hingga mendapatkan benih F7, buang tanaman-tanaman yang jelek (inferior).
Musim VIII:
- Tanam benih F7 dalam barisan yang diperbanyak dan uji daya
hasil pendahuluan
Musim IX-XIII:
- Uji daya hasil lanjutan dan penyebaran varietas yang baik.
Pemuliaan silangbalik (backcross). Tujuan utama pemuliaan
silangbalik adalah untuk memperbaiki varietas yang sudah memiliki banyak sifat baik dan hanya kekurangan satu atau beberapa
sifat baik saja. Oleh karena antara tetua yang ingin diperbaiki
mempunyai konstitusi genetik yang berbeda, ada kemungkinan
beberapa gen yang tidak sama akan berpasangan dan menghasilkan
konstitusi heterozigot. Untuk itu, diakhir persilangan balik diperlukan silangdiri agar pasangan gen yang heterozigot tadi menjadi
homozigot sehingga pertumbuhan tanaman yang dihasilkan akan
memiliki sifat atau sifat-sifat unggul yang sudah diperbaiki dan
sifat atau sifat-sifat yang ditambahkan. Selanjutnya, seleksi diarahkan kepada sifat atau sifat-sifat baik yang berada pada tetua penerima (recipient), maupun yang berasal dari tetua pemberi (donor).
Berapa banyak persilangan balik yang diperlukan untuk
mengintegrasikan suatu sifat dari tetua pemberi, akan tergantung
kepada berapa besar peranan gen pembawa sifat yang kita perlukan
itu. Sebagai patokan dan merupakan kelaziman adalah tetap berpedoman pada pemindahan seluruh porsi dari sifat atau sifat-sifat
bersangkutan. Dengan kata lain, bila memungkinkan, diharapkan
100% dari sifat yang kita inginkan dapat ditransfer pada tetua yang
diperbaiki,
Pemuliaan Tanaman Konvensional 41
Secara teoritis, suatu sifat yang ingin ditransfer dari tetua
silang balik akan mencapai porsi di atas 90% apabila dilakukan
silangbalik sebanyak tujuh generasi silangbalik (Poehlman dan
Sleper, 1995). Hal ini disebabkan oleh karena setiap satu generasi
silangbalik akan dipindahkan sifat dari tetua berulangnya sebesar
50% dari jumlah yang masih tersisa. Ilustrasi mengenai pernyataan
di atas, di gambarkan pada skema berikut (Gambar 3.6).
Persilangan tetua
AxB
AB
Keturunan Pertama (Fl)
Silangbalik Fl dengan B (BC1) AB
BCl x B (BC2)
AB
BC2 x B (BC3)
AB
BC3 x B (BC4)
AB
BC4 x B (BC5)
AB
AB
BC5 x B (BC6)
BC6 x B (BC7)
AB
A=100%;
A=50%;
A=25%;
A=12,5%
A=6,25%
A=3,12%
A=l,56%
A=0,78%
A=0,39%
B=100%
B=50%
B=75%
B=87,5%
B=93,75%
B=96,88%
B=98,44%
B=99,22%
B=99,61%
Gambar 3.6. Skema penurunan suatu sifat melalui perkawinan
silangbalik
Ada satu macam seleksi lagi yang dapat digunakan pada
tanaman menyerbuk sendiri sesudah hibridisasi adalah Diallel
Selective Mating System (DSMS). Metode ini menggunakan berbagai variasi metode seleksi dalam usaha mengkombinasikan berbagai karakter yang diinginkan. Kemudian dilanjutkan dengan berbagai metode seleksi lainnya seperti seleksi massa. Skema pelaksanaan DSMS ini sebagaimana disajikan pada Gambar 3.7.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 42
F2-F4 (Tanaman)
F3-F5 (Biji)
F1
SERI
DIALEL
(P2)
F1 (Tanaman)
F2 (Biji)
Seleksi massa
F5 SELEKSI
GALUR
Silang selektif
F1 (Tanaman)
F2 (Biji)
Silang dialel
SERI
TETUA
DASAR
(P1)
SILANG
SELEKTIF-1
(P3)
F2 (Tanaman)
F3 (Biji)
DST
DST
Gambar 3.7. Prosedur metode silang dialel selektif (Makmur, 1985).
Selain dua prosedur utama dan lima metode seleksi yang
umum dilakukan untuk pemuliaan tanaman yang menyerbuk sendiri, beberapa metode lainnya juga sering digunakan yaitu: (1)
pemuliaan multi galur (multiline breeding), dan (2) varietas campuran (variety blend). Pengertian kedua metode pemuliaan pada
tanaman menyerbuk sendiri adalah bahwa yang dimaksud dengan
multi galur adalah kumpulan galur-galur yang mempunyai genetik
yang sama, dimana masing-masing galur memiliki gen yang berbeda pada suatu sifat keunggulan. Sementara varietas campuran
adalah varietas yang berbentuk dari pencampuran secara fisik
benih-benih dari dua atau lebih varietas. Uraian lengkap dari kedua
macam metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri di atas
Pemuliaan Tanaman Konvensional 43
dapat dibaca pada semua buku pemuliaan tanaman, baik literatur
asing maupun beberapa literatur yang berbahasa Indonesia.
Dari uraian mengenai pemuliaan pada tanaman menyerbuk
sendiri terlihat bahwa tidak ada persoalan yang sangat pelik mengenai akibat genetik dari penyerbukan sendiri pada tanaman menyerbuk sendiri, sehingga kemungkinan penghanyutan gen atau gen-gen
dari suatu sifat sangat kecil. Selain itu tanaman menyerbuk sendiri
mempunyai sifat yang menguntungkan dalam hal akibat segregasi
karena dari generasi ke generasi tanaman ini mempunyai gen-gen
yang homozigot, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya
tidak memberi variasi yang besar dari generasi ke generasi. Akhirnya, bahwa tanaman menyerbuk sendiri mempunyai sifat-sifat yang
dapat dipertahankan dari percampuran lain dari luar tanaman bersangkutan.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 44
Bab 4
PEMULIAAN PADA
TANAMAN MENYERBUK SILANG
4.1. Pendahuluan
Tanaman yang menyerbuk silang (cross pollinated plants)
adalah jenis tanaman yang dalam meneruskan generasi keturunannya banya dapat terjadi apabila diserbuki oleh tepung sari dari
pohon sejenis lainnya. Perilaku penyerbukan jenis tanaman seperti
ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: (l) faktor morfologi, dan
(2) faktor fisiologi. Kedua faktor ini masing-masing meliputi (a)
monoecy, (b) dioecy, dan (c) alat-alat pembungaan untuk faktor
morfologi, sedangkan pada faktor fisiologi mencakup (a) selfincompatibility, dan (b) male sterility.
Monoecy mempunyai ciri dengan bunga jantan dan betina
berada dalam pohon yang sama (jagung), sedangkan dioecy, antara
bunga jantan dan betina berada pada pohon yang berbeda (asparagus, bayam dan pepaya), dan kondisi alat-alat pembungaan (floral
devices), sering terjadi ketidaksesuaian ukuran dan letak antara
kepala putik dan ruangsari. Pada ketidakserasian silangsendiri (selfincompatibility) karena halangan fisiologis (kembang sepatu,
umumnya tanaman ubi jalar), dan sterilitas jantan (male sterility)
karena tidak menghasilkan butir tepungsari yang fertil.
4.2. Dasar Genetik Tanaman Menyerbuk Silang
Tanaman menyerbuk silang adalah heterozigot dan heterogen. Antara satu individu dengan lainnya sangat berbeda secara
genetis meskipun secara fenotip relatif seragam. Keragaman genetik individu dalam populasi sangat besar. Seleksi harus ditujukan
hanya pada salah satu sifat ekonomis terpenting, kemudian sifat
lainnya untuk menghindari turunnya respon seleksi. Keseimbangan
Hardy Weinberg dan faktor-faktor yang mengganggu keseimPemuliaan Tanaman Konvensional 45
bangan tersebut harus dipahami seperti silangdalam (F), besar
efektif populasi, peran gen, dan seleksi memihak heterozigot.
Silangdalam dan Heterosis
Silangdalam (inbreeding) adalah pembuahan yang terjadi
dalam tanaman yang sama. Landasan genetik dari depresi silang
dalam yaitu: (1) individu-individu adalah heterozigot untuk
kebanyakan 1osai, (2) alel resesif khusus pembawa sifat jelek
makin bertambah dalam keadaan heterozigot, dan (3) frekuensi alel
homozigot jelek makin bertambah dan timbul dalam banyak
individu. Akibat silang dalam adalah adanya depresi silangdalam
(inbreeding depression) dalam bentuk tanaman menjadi lebih
rendah, ketegapan hibrida (hybrid vigor) menurun, dan bertambahnya sifat-sifat yang mengakibatkan kelemahan tanaman.
Heterosis atau ketegapan inbrida (inbred vigor) adalah
suatu kondisi dengan keturunan dari suatu kawin silang antara
inbrida menghasilkan karakter unggul melebihi salah satu tetua
minimalnya. Kadang-kadang lebih tinggi dari rata-rata kedua
tetuanya, dan malahan lebih tinggi dari tetua tertinggi. Landasan
genetik dari heterosis, yaitu: (1) heterosis hanya muncul apabila
kedua tetua mempunyai perbedaan alel pada suatu lokus, (2)
terdapat beberapa alel yang dominan, (3) adanya dominan sebagian
dan dominan lengkap, dan (4) adanya nilai alel heterozigot yang
lebih besar dari pada alel homozigot.
Pada dasarnya, heterosis dapat diklasifikasikan ke dalam
dua kelas, yaitu: (1) heterosis tetua tengah (mid-parent heterosis),
dan (2) heterosisi tetua tertinggi (high parent heterosis). Heterosis
tetua tengah adalah heterosis di atas tetua tertinggi. Kedua macam
heterosis di atas dapat dikuantifikasikan dan diukur dalam bentuk
persentase. Untuk heterosis tetua tengah dapat dihitung dengan
formula sebagai berikut:
HTT = (F1-RTT)/RTT x 100%
sedangkan heterosis tetua tertinggi dihitung dengan formula
berikut:
HTG = (F1-RTG)/RTG x 100%
Pemuliaan Tanaman Konvensional 46
dengan: HTT = heterosis tetua tengah;
HTG = heterosis tetua tertinggi;
RTT = rata-rata tetua tengah, dan
RTG = rata-rata tetua tertinggi.
Ilustrasi penggunaan kedua rumus di atas dapat dikemukakan sebagai berikut: Genotipe tetua: AAbbCC x AABBcc, Genotipe
keturunan Fl: AABbCc. Andaikan A=10; B=12; b=6; C=8, dan
c=4, maka AAbbCC=24, dan AABBcc=25. Apabila tidak ada alel
dominan dimana Bb=(12+6)/2=9, dan Cc=(8+4)/2=6, maka
AABbCc=25 tidak ada heterosis yang diperoleh. Andaikan ada alel
dominan sebagian, dimana Bb=10, dan Cc=7, maka AABbCc=27,
sebagai HTTdan HTG. Apabila ada alel dominan lengkap, dimana
BB=Bb=12, dan CC=Cc=8 maka AABbCc=30, sebagai HTG.
Untuk alel dominan, dimana Bb>BB=13, Cc>Cc dan cc=9 maka
AABbCc=32.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa heterosis: (1) sukar
diramalkan. (2) pendugaan heterosis hanya dapat dilakukan apabila
tetua-tetua mempunyai perbedaan alel, dan (3) adanya alel dominan
pada salah satu lokus. Sebab-sebab terjadinya heterosis yang lebih
besar adalah: (1) adanya alel heterozigot lebih besar daripada nilai
alel homozigot, sesuai yang dihipotesiskan oleh Shull (1908), dan
(2) adanya alel dominan sebagian dan dominan lengkap sebagaimana dihipotesiskan oleh Bruce (1910).
4.3. Metode Pemuliaan pada Tanaman Menyerbuk Silang
Ada empat metode dasar dimana varietas baru tanaman menyerbuk
silang dapat diperoleh yaitu melalui: (1) introduksi, (2) seleksi, (3)
hibridisasi, dan (4) varietas sintetis. Introduksi adalah pemasukan
tanaman baru ke dalam program pemuliaan yang dapat berasal dari
dalam negeri termasuk hasil domestikasi, dan yang berasal dari luar
negeri. Seleksi adalah upaya pemilihan tanaman terbaik (sifat
tertentu) dari suatu kelompok individu dalam populasi. Sementara
itu, hibridisasi adalah penyilangan antara tanaman, baik yang
berkerabat dekat maupun yang berkerabat jauh. Sumber ke empat
dalam perolehan varietas tanaman menyerbuk silang adalah
Pemuliaan Tanaman Konvensional 47
varietas yang dihasilkan dari persilangan genotipe-genotipe terpilih
secara terbuka dan dihasilkan dari beberapa generasi.
a. Metode seleksi
Dalam metode seleksi, sangat jarang digunakan individu
tanaman untuk merakit varietas baru karena adanya segregasi dan
silang luar sehingga sangat susah untuk mempertahankan sifat-sifat
tetua pada keturunannya. Selain itu, keragaman genetik individu
harus dipertahankan untuk mencegah akibat buruk dari perubahan
lingkungan.
Ada empat metode seleksi pada tanaman menyerbuk silang,
yaitu: (1) seleksi massa (mass selection), (2) seleksi tanaman
tunggal (single plant selection), (3) seleksi keturunan dan pemuliaan galur (progeny selection dan line breeding), dan (4) seleksi berulang (recurrent selection).
Seleksi Massa. Pada mulanya, seleksi massa dianggap tidak efektif
digunakan untuk meningkatkan hasil oleh karena dua alasan
(Poehlman dan Sleper, 1995; 2006), yaitu: - ragam genetik aditif
akan hilang selama seleksi, dan - menurunnya nilai heritabilitas.
Akan tetapi dengan perbaikan tatacara percobaan dan pengendalian
lingkungan, kedua alasan di atas tidak dapat dibuktikan, malahan
beberapa jenis tanaman seperti jagung, hasilnya dapat ditingkatkan
hingga 23% dalam 10 generasi seleksi (2,8% per siklus seleksi),
dan ragam genetik pada seleksi awal (S0) sama dengan ragam
genetik pada generasi seleksi ke-10, -S10 (Poehlman dan Sleper,
1995; 2006).
Karakter yang diamati dalam seleksi massa adalah sifatsifat yang nampak secara visual dan prinsip pelaksanaannya adalah
memilih individu-individu terbaik di dalam populasi, kemudian
benih dipanen dan dicampur untuk selanjutnya ditanam di lapangan. Prosedur ini dilakukan secara berulang-ulang dalam tujuh atau
delapan generasi.
Langkah-langkah pelaksanaan seleksi massa pada tanaman
menyerbuk silang sama dengan pada tanaman menyerbuk sendiri
sedangkan perbedaannya hanya terletak pada lama percampuran
benih. Percampuran benih pada seleksi massa tanaman menyerbuk
Pemuliaan Tanaman Konvensional 48
sendiri dianggap telah homogen dengan hanya satu generasi pencampuran benih.
Seleksi tanaman tunggal (Single Plant Selection). Prinsip pelaksanaan seleksi ini adalah pemilihan tanaman tunggal yang super,
kemudian dilakukan persilangandiri atau kawin silang dengan saudara tirinya pada generasi selanjutnya. Individu dengan sifat
superior diperbanyak baik secara generatif maupun secara vegetatif, kemudian silangsendirikan untuk mendapatkan galur murni bagi
perakitan varietas hibrida.
Seleksi keturunan dan pemuliaan galur (Progeny Selection dan
Line Breeding). Metode seleksi ini dilakukan dengan memilih
tanaman-tanaman unggul, benihnya dipanen dan ditanam secara
terpisah dalam barisan. Keturunan masing-masing ditanam kemudian individu-individu tanaman yang seragam dalam satu keturunan dipanen benihnya dan disatukan. Tanaman-tanaman superior
setelah beberapa generasi pencampuran dapat disilangdirikan untuk
perakitan galur murni.
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Poehlman,
1995; 2006).
Musim I:
- Seleksi 100-200 tanaman terbaik dari suatu populasi, kemudian
benih di panen;
Musim II:
- Tanam benih-benih dari musim I secara terisolasi, kemudian
panen benih masing-masing tanaman secara terpisah;
Musim III:
- Tanam sebahagian benih dari masing-masing tanaman pada
musim II, kemudian uji daya hasil dan ketahanan terhadap hama
penyakit, atau analisis kandungan nilai gizinya.
- Sebahagian benihnya dipersiapkan untuk ditanam pada musim
IV.
Musim IV:
- Sisa benih pada musim II dipilih 5-10 induk tanaman yang
superior, kemudian dicampur untuk perbanyakan benih pendahuluan, atau
Pemuliaan Tanaman Konvensional 49
- Campur 5-10 induk superior dari musim II, kemudian ditanam
dan benihnya dicampur;
Musim V:
- Tingkatkan ukuran plot untuk perbanyakan benih dari musim IV,
baik yang diperoleh dari musim II maupun dari musim III.
Secara skematis, prosedur pelaksanaan seleksi keturunan
adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1.
Musim I:
Seleksi 100-200 tanaman unggul
Musim II:
Tanam tanaman unggul secara terpisah,
panen individu unggul secara terpisah
I I
I I
I I I I I I
I I I I I I
Musim III:
Tanam setiap keturunan unggul untuk uji
hasil
pendahuluan
Musim
IV:
Campur 5-10 keturunan dari tetua unggul,
perbanyak benih dengan meningkatkan
ukuran plot
Musim V: Perbesar ukuran plot untuk
b
k b ih
Gambar 4.1. Prosedur seleksi pemuliaan keturunan (Modifikasi dari
Poehlman, 1985; 2006).
Seleksi berulang (Recurrent Selection). Seleksi berulang sangat
cocok untuk tanaman menyerbuk silang karena kombinasi persilangan dapat terjadi secara alami. Populasi awal harus bergenetik
luas, seperti: varietas bersari bebas, hibrida, varietas sintetis, atau
kombinasi antara ketiganya. Selain itu seleksi ini sangat cocok
karena dapat dibuat persilangan dalam jumlah yang banyak. Juga
dilakukan untuk meningkatkan frekuensi gen atau gen-gen untuk
karakter yang diinginkan dengan menghindari akibat buruk dari
tekanan silangdalam (inbreeding depression).
Mekanisme pelaksanaan metode ini adalah melakukan
silangsendiri (selfing) pada tanaman-tanaman yang superior, kemudian dilakukan persilangan antar tanaman secara bebas dengan
Pemuliaan Tanaman Konvensional 50
berbagai kombinasi perilangan secara alami. Benih-benih yang
dianggap memenuhi syarat untuk suatu tujuan seleksi tertentu,
kemudian dicampur dan ditanam secara bebas hingga beberapa
generasi. Prosedur ini diulangi hingga beberapa kali, atau tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Skema pelaksanaan seleksi
berulang atau seleksi daur ulang disajikan pada Gambar4.2.
Daur – 0 Musim I:
Seleksi dan serbuk sendiri
Daur – 0 Musim II:
Salingsilangkan (intercrossing)
I I
I I
I I I I I I
I I I I I I
I I
I I
I I I I I I
I I I I I I
Daur – 1 Musim I:
Tanam campur, serbuk sendiri, dan
seleksi
Daur – 1 Musim II:
Salingsilangkan (intercrossing)
DS
Gambar 4.2. Skema seleksi daur ulang (Makmur, 1985).
Sistematika urutan pelaksanaan seleksi berulang sebagaimana dikemukakan oleh Makmur (1985), adalah sebagai berikut:
Daur 0
Musim I:
- Seleksi tanaman superior, kemudian lakukan silang sendiri
tanaman-tanaman terpilih, panen masing-masing tanaman terpilih.
Musim II:
- Benih-benih dari musim I ditanam dalam barisan masing-masing
kemudian dilakukan salingsilang (intercross) dan benih dipanen.
Daur 1
Musim III:
- Tanam benih-benih dari musim II secara bercampur, kemudian
seleksi tanaman superior, selanjutnya dilakukan silangdiri
Pemuliaan Tanaman Konvensional 51
tanaman-tanaman terpilih kemudian panen masing-masing
tanaman seperti pada musim I daur 0.
Musim IV:
- Prosedur dilakukan seperti pada musim II daur 0, dan seterusnya
hingga keragaman genetik tanaman yang diinginkan tercapai.
b. Hibridisasi
Pada dasarnya ada dua prosedur hibridisasi yang dapat dilakukan pada tanaman menyerbuk silang, yaitu: (1) hibridisasi
antar varietas, dan (2) hibridisasi antar galur murni. Hibridisasi
antar varietas adalah persilangan dua tanaman atau lebih sebagai
tetua dari populasi heterozigot pada banyak lokus (loci). Sementara
itu, hibridisasi antar galur murni adalah persilangan antara dua atau
lebih galur murni dengan konstitusi genetik yang homozigot sempurna, atau homozigot yang hampir sempurna (dianggap homozigot
sempurna). Homozigot sempurna hanya dapat dicapai melalui
teknik andro- dan partheno-genesis pada kultur in vitro, sedangkan
homozigot yang hampir sempurna atau dianggap sempurna, dapat
diperoleh melalui silangsendiri (selfing) atau silang antara saudara
kandung (full sib mating). Tujuan akhir dari prosedur hibridisasi
pertama di atas adalah untuk merakit “hibrida”, sedangkan prosedur hibridisasi ke dua bertujuan untuk merakit “varietas hibrida”
yang diharapkan keduanya dapat menghasilkan varietas yang memanfaatkan gejala ketegapan hibrida (hybrid-vigor phenomenon).
Hibridisasi antar varietas. Seleksi tanaman hibrida dari hasil persilangan antar varietas dilakukan pada individu-individu superior,
dan apabila memungkinkan dapat dilakukan silangsendiri pada
tanaman superior tersebut beberapa generasi hingga gen atau gengen yang diinginkan telah berada dalam kondisi homozigot atau
hampir homozigot.
Untuk menghindari kehilangan ketegapan hibrida yang
dikenal dengan “depresi silangdalam” (inbreeding depression)
selama kawinsendiri, galur-galur terpilih harus dipilah kemudian
digabungkan (pooled). Keturunan F2 atau tanaman F2 yang menunjukkan ciri-ciri fenotipe yang baik dapat dipilih dan disalingsilangkan (intercrossed). Prosedur ini dapat diulangi dua hingga tiga
Pemuliaan Tanaman Konvensional 52
siklus salingsilang sampai gen atau gen-gen yang diinginkan telah
terkonsentrasi di dalam populasi.
Hibridisasi antar galur. Palsafah penggunaan metode hibridisasi
ini bahwa antara dua atau lebih galur murni yang mempunyai latar
belakang struktur genetik yang berbeda apabila disatukan akan
menghasilkan keturunan dengan penampilan sifat atau sifat-sifat
yang melebihi tetua-tetuanya. Dari dasar inilah maka individuindividu superior disilangsendirikan agar memiliki pasangan gen
atau gen-gen yang homozigot. Dalam kondisi seperti ini, apabila
disilangkan dengan galur murni lainnya yang mempunyai perbedaan konstitusi genetik akan menghasilkan suatu kekuatan yang
sangat besar. Ini berarti keturunan dari perpaduan kedua galur
murni akan menghasilkan ketegapan hibrida atau heterosis.
Pada dasarnya ada dua tahap dalam perakitan varietas hibrida, yaitu: (1) pembentukan galur murni, dan (2) persilangan galur
murni sebagai tetua. Dalam pembuatan galur murni, semua metode
seleksi dapat digunakan untuk menghomogenkan gen atau gen-gen
yang terdapat pada tanaman tetua. Akan tetapi cara terbaik untuk
tujuan ini adalah dengan cara silang sendiri. Hanya saja, kelemahannya adalah dapat menyebabkan kemunduran inbrida (inbreeding depression) terutama pada spesies tanaman yang menyerbuk
silang.
Di samping itu, kendala pencapaian derajad homozigositas
sempurna (100% alel homozigot) sangat tidak mungkin untuk
dicapai meskipun telah memanfaatkan waktu yang panjang sekitar
8-10 generasi silang sendiri, bahkan lebih. Oleh karena itu penggunaan teknik tertentu seperti teknik androgenesis (androgenetic
technique) khususnya kultur antera (anthers) atau tepungsari muda
(microspores) secara in vitro, sangat tepat karena di samping dapat
menghasilkan keturunan dengan konstitusi genetik 100% alel berada dalam keadaan homozigot, juga tanaman homozigot sempurna
dapat diperoleh hanya dalam satu musim penanaman.
Perakitan varietas hibrida dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) persilangan dua galur murni, melahirkan hibrida
silang tunggal, -single cross hybrid, (2) persilangan hibrida dengan
satu tetua galur murni atau varietas unggul, melahirkan hibrida
silang tiga jalur -three ways crosses hybrid, (3) persilangan antara
Pemuliaan Tanaman Konvensional 53
dua hibrida, melahirkan hibrida silang ganda, -double crosses
hybrid. Secara skematis, perakitan ketiga macam hibrida di atas dikemukakan pada Gambar 4.3.
Musim
I
II
I
II
III
I
II
III
Prosedur
Jenis Populasi
Persilangan Tunggal (ST)
(dua tetua yang disilangkan)
Tetua 1 x Tetua 2
Silangkan dua tetua untuk
memperoleh benih hibrida F1ST
Tanam benih F1ST,
Benih hibrida F1
silangsendirikan tanaman F1
Selfing
untuk mendapatkan benih F2ST
Benih F2
Silangkan dua tetua untuk memperoleh benih hibrida F1
Tanam benih hibrida F1, silangkan tanaman hibrida F1 dengan
Tetua 3 untuk mendapatkan
benih hibrida F1SA
Tanam benih hibrida F1 SA,
silangsendirikan untuk
mendapatkan benih F2SA
Tanam dan silangkan tetua 1 x 2
dan 3 x 4 untuk mendapatkan
benih F1
Tanam dan silangkan kedua F1
untuk mendapatkan benih
hibrida F1 SG
Persilangan Tiga Jalur (SA)
(tiga tetua yang disilangkan)
Tetua 1 x Tetua 2
Tanaman F1 x Tetua 3
Hibrida F1
Selfing
Benih F2
Persilangan Ganda (SG)
(Empat tetua yang disilangkan)
Tetua 1 x 2
3x 4
Tanaman F1
x
F1
Tanam dan salingsilangkan benih Hibrida silang ganda (F1)
F1 SG untuk memperoleh benih
Selfing
F2 SG
Benih F2
Gambar 4.3. Ringkasan pembentukan tiga macam varietas hibrida berdasarkan jumlah tetua yang digunakan.
Kelemahan dari varietas hibrida adalah bahwa memproduksi benih hibrida (Fl) sangat mahal karena pembentukan benih
Pemuliaan Tanaman Konvensional 54
tersebut tidak dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak dengan
cara biasa, sehingga memerlukan perbanyakan biji Fl yang tidak
menyebabkan berubahnya struktur genetik benih hibrida tersebut.
Kecuali, pasangan persilangan galur murni dibuat sebanyak
mungkin. Ini berarti bahwa kebutuhan akan lahan dan tenaga yang
menangani kegiatan kastrasi/emaskulasi dan persarian buatan
diperlukan dalam jumlah yang besar pula. Dengan demikian dapat
dimengerti bahwa apabila Fl ditanam, maka biji yang dihasilkan
adalah biji F2, yang berarti bahwa biji F2 bukan lagi benih hibrida
karena telah terjadi segregasi. Akibatnya, gejala heterosis akan
menurun.
Untuk memecahkan masalah produksi benih hibrida secara
besar-besaran di atas, diperlukan eksploitasi sifat jantan mandul inti
dan atau mandul jantan di luar inti (genetic male sterility dan cytoplasmic genetic male sterility). Sifat kemandulan ini dapat mereduksi penggunaan tenaga kerja terampil untuk kegiatan emaskulasi
kastrasi dan persarian buatan. Dalam pelaksanaannya, diperlukan
tiga jenis galur murni untuk menerapkan konsep kemandulan
jantan, yaitu: (1) adanya galur murni yang mandul jantan, -male
sterile; (2) adanya galur murni yang memiliki gen yang dapat
mempertahankan sifat mandul jantan, -maintainer line, dan (3)
adanya galur murni yang dapat memulihkan sifat kemandulan
jantan, -restorer line. Dengan memfungsikan ketiga macam galur
murni dimaksud, dapat dilakukan produksi benih hibrida secara
besar-besaran.
c. Varietas Sintetik
Varietas sintetik adalah generasi lebih lanjut tanaman menyerbuk terbuka dari percampuran benih sekelompok galur, varietas. klon, atau hibrida di antara benih kelompok tanaman di atas.
Selain itu, varietas sintetis adalah varietas komersial yang telah
diperbaiki dengan menggunakan banyak atau kurang standar atau
patokan teknik dan telah tersedia untuk diproduksi oleh para petani.
Metode varietas sintetis ini memungkinkan untuk eksploitasi heterosis dengan kemampuan menghasilkan benih dalam jumlah terbatas generasi penyerbukan terbuka. Dengan kelebihan ini
membuat metode varietas sintetis menjadi populer untuk tanaman
Pemuliaan Tanaman Konvensional 55
rerumputan karena kesulitan dalam penciptaan dan pemanfaatan
gejala heterosis secara konvensional pada tanaman rerumputan.
Ciri-ciri penting varietas sintetis adalah (Poehlman, 1982):
- Terbentuk dari unit-unit produktif tanaman menyerbuk silang
(klon dan inbrida);
- Bahan tanaman yang diseleksi adalah berdasarkan penampilan
melalui uji daya gabung;
- Tersusun dari persilangan secara rambang dari banyak komponen
penyusun varietas, dan
- Unit-unit komponen dipertahankan sehingga pembentukannya
dapat diulang kembali dalam jangka waktu tertentu.
Prosedur pengembangan varietas sintetis (Poehlman dan
Sleper, 1995; 2006), sebagai berikut:
Musim 1 :
- Beberapa ratus tanaman yang diperoleh dari berbagai sumber ditanam;
- Beberapa tanaman superior disilangdirikan, baik satu maupun
lebih dari satu generasi silangdiri;
Musim II:
- Tanam 200-400 tanaman superior, pilih 25 hingga 50 tanaman
superior, kemudian benihnya dipanen;
Musim III :
- Tanam benih-benih dari 25 hingga 50 tanaman superior secara
terisolasi, kemudian dibiarkan menyerbuk secara acak, panen
benihnya lalu dicampur;
- Sebahagian benih dari musim II dapat dipilih 4-10 klon untuk
membuat varietas sintetis. Klon-klon dapat diisolasi untuk persilangan secara acak;
Musim IV:
- Benih-benih dari musim III ditanam untuk uji keturunan berdasarkan penampilan keturunannya;
Musim V:
- Benih dari musim IV dapat diperbanyak dan dengan jumlah yang
sama benih setiap klon dipanen dan dicampur, kemudian ditanam
sebagai varietas sintetik pertama (syn-1). Benih syn-1 ini ditanam
untuk memperoleh benih syn-2 dan seterusnya.
Kelihatannya, pemuliaan pada tanaman menyerbuk silang
agak rumit dibandingkan dengan pemuliaan pada tanaman menyerPemuliaan Tanaman Konvensional 56
buk sendiri. Ini antara lain disebabkan oleh karena konstitusi
genetik jenis tanaman menyerbuk silang agak ruwet dan menimbulkan akibat genetik yang berkonsekuensi merugikan. Selain itu,
karena tanaman menyerbuk silang mempunyai konstitusi genetik
yang dinamis dimana pada setiap generasi akan mengalami perubahan karena pengaruh faktor eksternal tanaman seperti persarian
secara terbuka, maka upaya didalam mempertahankan sifat-sifat
yang dimiliki oleh tanaman menyerbuk silang sangat susah.
Dengan beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, maka
metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk silang sangat berbeda
dengan metode pemuIiaan pada tanaman menyerbuk sendiri.
Secara skematis, prosedur pengembangan varietas sintetis disajikan
pada Gambar 4.4.
Tanaman beragam sumber bibit, silangsendirikan beberapa generasi untuk
mendapatkan sifat yang diinginkan
Tanam 200-400 tanaman unggul
Tanam dan silangcampur 25-50 tanaman unggul, benih dipanen dan dicampur
menurut tetuanya
Uji keturunan persilangan campuran.
Pengujian didasarkan pada penampilan
keturunan
Untuk mendapatkan varietas sintetis,
pilih 4-10 tetua dari keturunan unggul,
masing-masing ditanam secara terpisah,
kemudian disalingsilangkan
Dengan jumlah benih yang sama setiap
tanaman unggul dicampur untuk
penanaman generasi sintesis-1. Benih
dari penyerbukan terbuka, dipanen
untuk penanaman generasi sintesis-2,
dan selanjutnya untuk perolehan
varietas baru
Gambar 4.4. Prosedur pengembangan varietas sintesis (Poehlman, 1982;
2006).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 57
Bab 5
PEMULIAAN PADA
TANAMAN MEMBIAK VEGETATIF
5.1. Pendahuluan
Banyak tanaman yang mempunyai nilai komersial tinggi
direproduksi dengan cara aseksual yaitu reproduksi tanpa melakukan kombinasi gamet. Pohon buah-buahan secara tradisional diperbanyak dengan cara stek. Strawberry diperbanyak dengan menggunakan batangnya yang menjalar. Tanaman kentang diperbanyak
melalui tunas yang terdapat pada umbinya. Rumput-rumputan dan
kacang-kacangan sering diperbanyak dengan cara memisahkan
rumpun-rumpunnya. Banyak lagi tanaman budidaya lainnya yang
perbanyakannya sangat tergantung pada reproduksi vegetatif.
Secara umum tanaman yang berbiak secara vegetatif harus
memiliki bagian-bagian tertentu yang dapat dipergunakan untuk
memperbanyak diri menjadi individu baru, bagian tertentu tersebut
seperti: Rhizome, yaitu poros batang yang terdapat di dalam tanah
(jahe, kunyit, canna, lengkuas, dsb.). Stolon, yaitu batang yang
merayap di permukaan tanah (mawar, lada, strawberry, dsb.).
Umbi, yaitu bagian batang yang tumbuh di dalam tanah (gladiol,
kentang, dsb.). Umbi lapis misalnya bawang merah, bulbs misalnya
bawang putih, dan tunas akar (cemara).
Bentuk lain dari perbanyakan secara vegetatif yaitu pemanfaatan biji hasil peristiwa apomiksis yaitu suatu proses pembentukan biji akibat perkembangan gamet betina jadi bukan hasil kombinasi gamet jantan dan betina. Proses apomiksis untuk tanaman
berbiak secara vegetatif mempunyai keuntungan karena biji-biji
dapat dengan mudah disimpan dan ditransportasikan.
5.2. Dasar Cenetik Tanaman Membiak Vegetatif
Implikasi genetik untuk tanaman yang berbiak secara vegetatif cukup jelas. Jika tidak terjadi mutasi atau penggabungan gamet
Pemuliaan Tanaman Konvensional 58
jantan dan betina, maka genotipenya akan stabil. Populasi tanaman
berbiak secara vegetatif bersifat homogen dengan populasi berasal
dari klon-klon akan memiliki sifat genetik yang sama dengan tetua
asalnya. Jadi, bila telah ditemukan kombinasi genetik yang diinginkan, pembiakan vegetatif sangat menguntungkan karena selain diperoleh tanaman yang seragam juga reproduksi dapat dilakukan
dalam jumlah yang tidak terbatas terutama melalui teknik in vitro.
Seringkali para pemulia tanaman budidaya yang melakukan
reproduksi vegetatif melakukan rekombinasi genetik dalam pembentukan zigot melalui penggabungan seksual, sama seperti halnya
pada tanaman yang berbiak secara seksual, walaupun kejadian ini
sulit dan sering menemukan kendala. Namun, bila rekombinasi
genetik dapat dilakukan dengan mudah dan efektif, maka prinsipprinsip genetika dapat diterapkan sama seperti mekanisme secara
seksual sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
5.3. Metode Pemuliaan pada Tanaman Membiak Vegetatif
Sama seperti halnya pada tanaman yang menyerbuk sendiri
dan tanaman yang menyerbuk silang, metode pemuliaan dimulai
dari pembentukan plasma nutfah. Menurut Poehlman (1982),
paling kurang ada tiga prosedur yang dipergunakan dalam pemuliaan tanaman yang membiak secara vegetatif. Ketiga metode dimaksud adalah: (1) introduksi, (2) seleksi klon, dan (3) hibridisasi. Fehr
(1993) mengemukakan empat metode pemuliaan pada tanaman
yang membiak secara vegetatif yaitu: (1) pengumpulan plasma
nutfah, (2) seleksi klon, (3) hibridisasi, dan (4) seleksi klon setelah
hibridisasi.
Sementara itu, menurut Chahal dan Gosal (2002) metode
pemuliaan pada tanaman membiak vegetatif dibagi dalam empat
cara, yaitu: (1) introduksi dan aklimatisasi, (2) seleksi, (3) hibridisasi, dan (4) mutasi. Pendapat yang terakhir di atas ternyata mencakup dua pendapat sebelumnya sehingga keempat prosedur yang
dikemukakan terakhir, akan menjadi uraian dalam buku ini.
5.3.1. Introduksi dan aklimatisasi
Prosedur introduksi adalah bagaimana klon atau bahan
tanaman itu didatangkan, apakah dari luar daerah ataupun dari luar
Pemuliaan Tanaman Konvensional 59
negeri. Pengumpulan plasma nutfah umumnya dimulai dengan
suatu kegiatan eksplorasi guna menyediakan semua keragaman
genetik baik itu berupa genotipe lokal, tipe liar, dan hasil introduksi. Keragaman genetik dapat pula ditimbulkan dengan cara
memanfaatkan hasil proses mutasi dan membuat rekombinasi genetik melalui hibridisasi atau memanfaatkan teknik fusi sel bila
hibridisasi seksual mengalami kendala. Setelah keragaman yang
tinggi diperoleh, plasma nutfah dikarakterisasi agar proses seleksi
dapat berjalan secara efektif untuk mendapatkan sejumlah klon
yang baik dan memiliki berbagai keunggulan, untuk kemudian diperbanyak dan dikembangkan sebagai varietas unggul baru.
Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian pada seleksi
klon. Adapun keuntungannya yaitu:
a. menghasilkan klon yang stabil dan mudah dibudidayakan;
b. memperbaiki mutu tanaman;
c. mengeksploitasi mutasi-mutasi yang diinginkan yang terjadi
pada jaringan somatis, mengeliminasikan tipe tanaman yang
tidak produktif dan tidak diinginkan yang selalu timbul dari
waktu ke waktu pada tanaman komersil.
Sementara itu, kerugiannya yaitu:
a. tidak menghasilkan variasi baru, dan
b. hanya dapat diterapkan untuk tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif.
5.3.2. Seleksi klon
Tanaman yang membiak secara vegetatif, individu genotipe
diperbanyak dengan klon. Seleksi klon dapat dilakukan pada
tanaman membiak vegetatif dalam populasi campuran secara genetik. Klon-klon superior, didasarkan pada penampakan fenotipe, diisolasi dari populasi, kemudian diperbanyak secara vegetatif.
Kemajuan seleksi klon sangat ditentukan oleh ketersediaan jumlah
genotipe superior yang diisolasi. Metode seleksi klon ini sangat
kecil peranannya dalam memperbaiki genetik klon, karena perbanyakan vegetatif mempertahankan genotipe tanpa melakukan perubahan, seperti terjadinya mutasi dan menghasilkan mutasi buku/
tunas, kimera (chimera), atau mozaik.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 60
Mutasi yang menguntungkan ini sangat jarang terjadi, akan
tetapi nilai mutasi dapat ditingkatkan melalui penggunaan bahanbahan mutagen.
5.3.3. Hibridisasi
Rekombinasi gen hanya terjadi sebagai hasil dari perbanyakan generatif. Meskipun suatu tanaman umumnya diperbanyak
secara vegetatif, perbanyakan generatif diperlukan untuk menciptakan keragaman genetik melalui rekombinasi gen. Dengan menyilangkan dua klon superior, populasi baru dapat dibentuk. Hibrida
dari penyilangan ini dapat digunakan sebagai sumber bahan seleksi
untuk pembentukan klon baru.
Karena klon tetua adalah heterozigot, segregasi akan terjadi
pada generasi F1, sehingga masing-masing individu F1 akan merupakan sumber potensil untuk bahan seleksi klon baru. Oleh karena
pertimbangan penurunan ketegapan hibrid (hybrid vigor), silangsendiri (selfing) pada tanaman superior tidak dilakukan, sehingga
cara yang tepat untuk memanfaatkan individu superior tadi harus
dilakukan pembiakan secara vegetatif.
Klon-klon terpilih kemudian dilakukan uji daya hasil dan
sifat-sifat lainnya dalam uji-uji plot berulangan. Kemurnian genetik
klon dapat mudah dipertahankan dengan perbanyakan secara vegetatif, dan sejumlah besar strain atau varietas dapat ditanam bersama-sama dalam kebun-kebun pembibitan. Gen-gen yang tidak
diinginkan muncul dalam populasi hasil persilangan, dapat dieliminasi melalui silangkembali (backcrossing) kepada tetua yang diinginkan atau dengan menggunakan varietas yang telah dibudidayakan dalam beberapa generasi silangkembali. Oleh karena silangkembali pada satu klon atau varietas dapat menghasilkan kemunduran hibrida (hybrid depression), maka penggunaan beberapa
tetua silangkembali akan memecahkan masalah tersebut.
Selain dua metode di atas, kemungkinan penggunaan
metode lain dapat dipertimbangkan. Metode-metode dimaksud
adalah teknik poliploidisasi dan teknik mutasi. Kalau teknik poliploidisasi mempunyai prinsip meningkatkan level perpasangan
kromosom pada tanaman (dari diploid menjadi triploid, tetraploid
dan sebagainya), maka teknik mutasi adalah di samping merubah
Pemuliaan Tanaman Konvensional 61
jumlah pasangan kromosom tanaman juga merubah struktur kromosom dalam sel. Akibat dari perubahan ini menyebabkan terciptanya keragaman genetik pada tanaman. Diskusi lebih lanjut mengenai teknik poliploidisasi di atas akan dikemukakan pada Bab VII.
5.3.4. Mutasi
Mutasi adalah perubahan secara mendadak terhadap suatu
sifat yang mewaris pada tanaman melalui induksi atau perlakuan
secara sengaja menggunakan bahan mutasi atau MUTation AGENt,
(agen mutasi). Pemuliaan bagi tanaman yang membiak vegetatif
melalui teknik mutasi mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah setiap titik tumbuh tanaman dapat diberi perlakuan mutagen dan diperbanyak sesudahnya. Sementara itu, kekurangannya adalah bahwa tanaman membiak vegetatif umumnya
menyerbuk secara silang (cross pollination) sehingga konstitusi
genetiknya akan heterozigot. Implikasinya, akan sangat sulit untuk
diperbaiki melalui persilangan (sexual hybridization) antara tanaman karena rekombinasi dan segregasi yang luas di antara keturunan
hasil persilangan. Lebih jauh, umumnya akibat persilangan antara
tanaman menyerbuk silang dapat menyebabkan hilangnya sifat
yang terdapat pada tetua. Sifat poliploidi kompleks dan periode
dewasa tanaman yang panjang juga merupakan kesulitan lainnya
dalam menerapkan persilangan antar tanaman pada tanaman membiak secara vegetatif.
Melalui pemuliaan mutasi pada tanaman yang membiak
vegetatif, tanaman mula-mula tetap dipertahankan konstitusi genetiknya, sementara yang mengalami perubahan hanya pada bagian
yang mendapat perlakuan mutasi. Biasanya, bagian yang mengalami perubahan adalah jaringan sel somatis seperti: buku, petiole,
tunas, umbi, dan bulb (umbi palsu) yang terjadi hanya beberapa sel
menyebabkan terbentuknya kimera (chimera). Dengan demikian,
tanaman yang dihasilkan akan merupakan campuran beberapa sifat
genetik yang berbeda termasuk genetik asalnya atau dikenal
sebagai “mericlinal chimera”. Prosedur umum pemuliaan mutasi
pada tanaman membiak vegetatif (Chahal dan Gosal, 2002), adalah
sebagai berikut (Gambar 5.1).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 62
Tabel 5.1. Skema umum pemuliaan mutasi pada tanaman membiak vegetatif melalui perlakuan pada biji (Chahal dan Gosal, 2002)
Tahun
Ke-1
Generasi
Kegiatan
M0
Mutasikan 500 biji atau lebih dengan
mutagen yang sesuai
Ke-2
M1 • Tanam berjarak biji yang telah dimutasikan, hanya beberapa tanaman yang bermutasi
• Amati mutasi dominan
• Pilih 20 biji untuk setiap tanaman/malai
M1
Ke-3
M2 • Tanam biji dalam baris yang sama untuk
setiap tanaman
• Pilih tanaman yang menunjukkan mutasi
• Pilih tanaman normal, fertil dan sehat
untuk sifat yang diinginkan
• Panen benih terpilih dan simpan terpisah
Ke-4
M3 • Tanam secara terpisah setiap keturunan
• Seleksi mutan dan galur seragam, campur
jika homogen
• Panen secara individu bagi baris keturunan yang bervariasi
Ke-5
M4 • Evaluasi hasil gabungan/tanaman individu pada uji pendahuluan dan pilih individu untuk bahan seleksi selanjutnya
• Galur bersegregasi biasanya ditolak
Ke-5-ke-9 M5-M8 • Ulangi uji multilokasi mutan yang stabil
Ke-10
M9
Perbanyakan benih dan pelepasan varietas
Menurut metodenya, mutasi dapat dilakukan secara: (1)
fisik, dan (2) kimia. Secara fisik dilakukan dengan menggunakan
teknik penyinaran seperti: (a) sinar X, (b) sinar Gamma, (c) sinar
Ultra Violet, (d) sinar β atau partikel-β, (e) Netron, dan (f) partikel
yang diperkaya (particles from accelerators). Sementara itu, secara
Pemuliaan Tanaman Konvensional 63
kimia, meliputi: (a) komponen basa analog dan yang berhubungan,
(b) antibiotik, (c) agen alkilasi, (d) acridin, (e) azida, (f) hydroxylamine, dan (g) nitrous acid. Bahan kimia yang paling banyak digunakan pada teknik mutasi secara kimia adalah dari kelompok
alkilasi, yaitu: (1) ethyl methane sulphonate (EMS), (2) Diethyl
sulphate (DES), (3) methyl nitroso urea (MNU), (4) ethyl nitroso
urea (ENU), dan (5) ethyleneimine (EI).
5.4. Pemuliaan bagi tanaman apomik
Ada dua bentuk tanaman apomik, yaitu: (1) apomik fakultatif (facultative apomicts), dan (2) apomik obligat (obligate apomicts). Apomik fakultatif adalah tanaman apomik yang dihasilkan
dari tanaman yang selain dapat menghasilkan biji secara seksual,
juga dapat menghasilkan biji apomik. Sementara itu, apomik obligat adalah tanaman yang dihasilkan dari apomiksis. Tiga pendekatan yang dapat digunakan bagi pemuliaan tanaman apomik (Murty,
1991), meliputi: (1) fiksasi heterosis, (2) “vybrid”, dan (3) produksi
homozigot murni. Vybrid adalah populasi yang secara fenotipe
stabil.
Meskipun cara perkembangbiakan tanaman secara vegetatif
mempunyai kelemahan dalam perolehan tanaman bebas virus,
metode ini telah dapat memecahkan masalah tersebut melalui teknik kultur in vitro, baik kultur sel dan jaringan tanaman maupun
dengan kultur organ tanaman. Mengenai kultur in vitro ini tidak
akan dibahas pada buku ini.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 64
Bab 6
PEMULIAAN TANAMAN
UNTUK RESISTENSI
6.1. Pendahuluan
Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat disebabkan oleh dua jenis gangguan, yaitu yang berasal
dari faktor biotis (organisme hidup), dan yang berasal dari faktor
abiotis (lingkungan). Dari faktor biotis ini meliputi gangguan hama
dan penyakit, sedangkan dari faktor abiotis meliputi gangguan dari
tekanan lingkungan tumbuh tanaman yang tidak menguntungkan.
Hasil penelitian terbaru diungkapkan bahwa baik resistensi
terhadap faktor abiotis yang meliputi hama dan penyakit tanaman,
maupun ketahanan terhadap tekanan lingkungan seperti kondisi
tanah dengan salinitas atau aluminium yang tinggi ternyata ditentukan oleh faktor genetis. Ini berarti faktor-faktor tersebut dapat
muncul pada tanaman karena tidak adanya gen atau gen-gen yang
mengendalikan pengaruh buruk faktor-faktor tersebut.
Dalam kaitan inilah maka pada bagian ini akan dikemukakan bagaimana cara-cara melakukan pemuliaan terhadap ketahanan
hama dan penyakit serta ketahanan terhadap tekanan lingkungan
pertumbuhan tananam. Selanjutnya, sebelum kedua aspek di atas
diuraikan, akan dikemukakan dasar genetik resistensi tanaman terhadap kedua faktor pengganggu tersebut di atas.
6.2. Dasar Genetik Resistensi Tanaman
Pada dasarnya, kerentanan atau ketahanan tanaman terhadap faktor-faktor pengganggu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman sangat tergantung pada informasi genetik yang terdapat
pada dua tempat, masing-masing: (1) gen atau gen-gen yang terdapat di dalam inti sel (nucleus), dan (2) gen atau gen-gen yang
terdapat di dalam plasma sel (cytoplasm). Gen atau gen-gen yang
terdapat di dalam inti sel dapat terdiri dari: - satu gen, - beberapa
Pemuliaan Tanaman Konvensional 65
gen, dan - banyak gen. Sedangkan gen atau gen-gen yang terdapat
di dalam plasma sel, juga dapat mempunyai komposisi seperti pada
inti sel. Perbedaan keduanya adalah bahwa gen atau gen-gen yang
terdapat di dalam inti sel dapat mewaris pada keturunannya,
sedangkan gen atau gen-gen yang terdapat pada cairan plasma
relatif tidak mewaris. Kalaupun gen atau gen-gen yang terdapat
pada plasma sel mewaris pada keturunannya, sifatnya tidak permanen karena pewarisan plasma sel hanya terjadi manakala tetua
betina pembawa gen tersebut tetap digunakan sebagai tetua betina
selama proses persilangan tanaman.
Melalui kuantifikasi gen di dalam sistem pewarisan tanaman, menyebabkan pengenalan dua macam ketahanan, yaitu: (1) ketahanan vertikal, dan (2) ketahanan horizontal atau ketahanan tidak
spesifik. Ketahanan vertikal teramati pada sifat kualitatif, dimana
penyebabnya adalah hanya ditentukan oleh satu atau beberapa gen,
sedangkan ketahanan horizontal atau sering juga disebut ketahanan
lapangan/umum tertuju pada sifat kuantitatif. Penyebab ketahanan
horizontal ditentukan oleh banyak gen (polygen/multigen), dan
frekuensi keturunannya bervariasi secara kontinu.
Masing-masing bentuk ketahanan mempunyai keuntungan
dan kerugian. Keuntungan resisten vertikal adalah gen atau gen-gen
yang menyebabkan resisten tersebut mudah ditransfer dan hasilnya
dapat diperkirakan, sedangkan kerugiannya adalah bahwa bila
muncul ras baru dari suatu pengganggu dapat menyebabkan tanaman tersebut tidak resisten. Untuk resisten horizontal, mempunyai
keuntungan dalam hal kemampuannya mengontrol banyak ras
pengganggu, meskipun ada ras baru pengganggu akan sukar mengatasi keanekaragaman gen ketahanan terhadap suatu pengganggu.
Kerugian dari resisten horizontal adalah susahnya memindahkan
gen-gen tersebut dari satu genotip ke genotip lainnya. Frekuensi
individu yang diinginkan pada keturunan tidak dapat diperkirakan,
dan kemungkinan pemindahan semua alel resisten yang diinginkan
dari resisten menjadi tidak resisten akan mudah bila banyak alel
yang terlibat.
Penyakit tanaman diartikan sebagai penyimpangan metabolisme yang menurunkan potensi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Ini disebabkan oleh adanya serangan hama atau penyakit
yang mengganggu proses metabolisme tanaman secara normal.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 66
Serangan hama dan penyakit yang sangat cepat dan merusak sangat
luas dinamakan efifitotik. Timbulnya serangan hama dan penyakit
dapat disebabkan oleh tiga faktor, masing-masing: - tanaman inang
yang rentan, - patogen yang agresif, dan - lingkungan patogen yang
menguntungkan.
Dua ahli mengilustrasikan bahwa terjadinya gangguan pada
tanaman oleh jazat pengganggu dapat dijelaskan melalui teori
masing-masing. Flor (1956) dari penelitiannya tentang penyakit
karat pada tanaman Flax dengan "gene-for-gene hypothesis", dan
Browning (1963) dengan "locks and keys hypothesis". Flor menjelaskan bahwa timbulnya serangan karat pada tanaman Flax disebabkan oleh adanya gen yang mengendalikan, baik pada tanaman
maupun pada jazat pengganggu. Demikian juga Browning, bahwa
"kunci" (locks) dalam hipotesisnya dianalogikan sebagai gen dominan, sedangkan "pengunci'' (keys) adalah gen resesif. Hipotesishipotesis di atas dirangkum pada Tabel 6.1 sebagai berikut (Fehr,
1993).
Tabel 6.l. Hubungan kombinasi alel-alel dominan untuk ketahanan pada
tanaman dan alel resesif untuk virulensi pada organisme pengganggu
yang menghasilkan ketahanan dan kerentanan tanaman (Flor, 1956)
Gen-gen untuk
Respon pada
Kultivar Ketahanan pada Virulensi pada
Tanaman
Pengganggu
Tanaman
1
Tidak ada
Beberapa gen
Rentan
2
ATida kada
Tahan
3
AAa
Rentan
4
A-BAa
Tahan
5
A-BBb
Tahan
6
A-Baabb
Rentan
7
A-B-Caabb
Tahan
8
A-B-Caabbcc
Rentan
Ilustrasi lain yang menerangkan bagaimana teori “gene-forgene hypothesis” atau “locks and keys hypothesis” pada interaksi
Pemuliaan Tanaman Konvensional 67
antara inang dan patogen dalam menimbulkan suatu penyakit
tanaman, dikemukakan oleh Vanderplank (1984) yang menyatakan
bahwa: “gen resisten –R1, adalah suseptibel pada suatu patogen
yang memiliki gen virulensi –v1, dan tidak memiliki patogenitas
tanpa kehadiran gen pasangannya berapa besarpun virulensi yang
dimiliki”. Skema interaksi pasangan gen-gen dimaksud yang digambarkan dalam satu, dua, dan tiga pasangan alel dimaksud,
berturut-turut disajikan pada Tabel 6.2; 6.3, dan 6.4.
Tabel 6.2. Interaksi inang dan patogen bagi “gene-for-gene hypothesis”
Gen pada Patogen
VVv
Gen pada Inang
RR-V- Resisten
R-vv Suseptibel
Rr
RrV- Suseptibel
Rrvv Suseptibel
Tabel 6.3. Interaksi dua lokus pada inang dan dua lokus pada patogen
Gen pada Inang
R1R1r2r2
R1r1R2R2
Suseptibel
Resisten
Resisten
Suseptibel
Gen pada Patogen
v1v1V2V2
V1V1v2v2
Tabel 6.4. Interaksi tiga lokus pada inang dan tiga losai pada patogen
Gen
R
R1
R2
R3
R1R2
R1R3
R2R3
R1R2R3
(0)
S
R
R
R
R
R
R
R
(1)
S
S
R
R
R
R
R
R
(2)
S
R
S
R
R
R
R
R
Ras
(3) (1,2) (1,3) (2,3) (1,2,3)
S
S
S
S
S
R
S
S
R
S
R
S
R
S
S
S
R
S
S
S
R
S
R
R
S
R
R
S
R
S
R
R
R
S
S
R
R
R
R
S
Hipotesis lain yang menguraikan bagaimana suatu penyakit
timbul pada tanaman dikemukakan oleh Stackman (1957) yang
dikenal dengan teori atau konsep “ras fisiologi” atau komposisi
Pemuliaan Tanaman Konvensional 68
“ras patogen”. Teori dimaksud diilustrasikan sebagaimana pada
Tabel 6.5.
Tabel 6.5. Respon varietas terhadap suatu patogen dalam menimbulkan
suatu penyakit menurut komposisi ras patogen
T = Resisten
P = Suseptibel
Varietas
V1
V2
Ras Patogen
R1
T
T
R2
T
P
R3
P
T
R4
P
P
Ilustrasi pada tabel di atas menguraikan bahwa dalam
varietas yang berbeda akan memiliki respon yang berbeda terhadap
timbulnya suatu penyakit karena adanya perbedaan komposisi ras
patogen. Demikian pula, pada varietas yang berbeda akan memberikan respon yang sama/berbeda pada beberapa ras patogen yang
berbeda.
Tiga bentuk mekanisme ketahanan tanaman terhadap
serangga hama yaitu:
(1) Tidak menyukai (non-preference), meliputi respon serangga
terhadap ciri-ciri tanaman yang membuat serangga tidak menyukai tanaman tersebut untuk: - tempat berkembang biak, makanan, - persinggahan, - atau kombinasi ketiganya;
(2) Anti biosis (antibiosis), adalah akibat tidak baik dari jaringan
tanaman yang digunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembangbiak, seperti menghambat pertumbuhan serangga, kematian serangga, dan menunda saat dewasa bagi serangga, dan
(3) Toleran (tolerance), adalah kemampuan tanaman untuk tumbuh
dan berkembang serta menyelesaikan siklus hidupnya meskipun populasi serangga sama banyaknya dengan populasi
serangga yang merusak pada tanaman yang tidak toleran.
Mekanisme tanaman untuk memperkecil akibat penyebab
penyakit bagi perkembangan dan perbanyakan organisme juga
terdiri dari tiga (Fehr, 1993) yaitu:
(1) Ketahanan terhadap kehadiran patogen, meliputi;
- hipersensitifitas (hypersensitivity), tanaman terinfeksi patogen;
Pemuliaan Tanaman Konvensional 69
- ketahanan spesifik (specific resistance), ras tertentu dari penyakit
tidak dapat menginfeksi tanaman;
- ketahanan yang tidak merata (non-uniform resistance), inang
menghambat perkembangan ras tertentu, tetapi tidak untuk ras
lainnya;
- ketahanan gen-gen utama (major gene resistance), ras penyakit
dikendalikan oleh gen-gen utama di dalam inang, dan
- ketahanan vertikal (vertical resistance), ketahanan inang mengendalikan satu atau jumlah terbatas ras penyakit.
(2) Ketahanan terhadap patogen yang telah hadir, meliputi:
- ketahanan lapangan (field resistance), menginokulasi tanaman di
laboratorium dapat menunjukkan kerusakan akibat patogen,
tetapi di lapangan tanaman yang dicoba hampir menunjukkan
perkembangan yang normal ketika patogen hadir;
- ketahanan umum (general resistance), inang mempunyai kemampuan untuk menahan perkembangan ras-ras patogen;
- ketahanan yang tidak spesifik (non-specific resistance), ketahanan
inang tidak terbatas pada ras patogen tertentu;
- ketahanan yang merata (uniform resistance), ketahanan inang
dapat dibandingkan untuk semua ras patogen yang baik untuk
semua ras dan tidak baik untuk lainnya;
- ketahanan gen minor (minor gene resistance), ketahanan inang
dikendalikan oleh sejumlah gen yang masing-masing mempunyai pengaruh yang kecil, dan
- ketahanan horizontal (horizontal resistance), keragaman dalam
ketahanan inang adalah utamanya disebabkan oleh perbedaan
antara kultivar dengan isolat (bibit penyakit), dari pada
interaksi kultivar khusus dengan isolat.
(3) Toleransi (tolerance), yaitu kemampuan tanaman untuk tumbuh
baik meskipun muncul gejala kerentanan tanaman inang.
Tanaman yang toleran tidak mampu mencegah atau mematahkan serangan/perkembangan patogen setelah menyerang.
6.3. Metode Pemuliaan untuk Resistensi Terhadap Hama
Sebelum memilih teknik pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap hama serangga, mula-mula harus diketahui
beberapa hal berikut ini. (1) Lokasi gen atau gen-gen ketahanan
Pemuliaan Tanaman Konvensional 70
berada dari sumber, (2) pemindahan gen atau gen-gen resisten ke
dalam varietas yang telah beradaptasi melalui hibridisasi, dan (3)
hasil hibridisasi tersebut diuji dengan menginvestasikan serangga
hama ke dalam populasi hibrida untuk melihat strain-strain mana
yang resisten dan mana yang toleran.
Dasar-dasar dan teknik-teknik yang digunakan di dalam
pemuliaan tananam untuk ketahanan hama serangga adalah sama
pada metode-metode atau teknik-teknik yang diterapkan dalam
metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri atau menyerbuk silang. Prinsip dasarnya adalah membuat tananaman yang
akan disilangkan berada dalam kondisi homogen, minimal untuk
gen atau gen-gen ketahanan terhadap hama yang akan diuji sebelum hibridisasi (prosedur standar) atau metode persilangan lainnya.
Untuk tujuan mengkutubkan semua gen atau gen-gen
penyandi ketahanan suatu hama serangga, penggunaan metode
silangbalik (back-cross) adalah metode yang tepat. Sesudah silangbalik beberapa kali, individu-individu tanaman keturunannya dapat
diuji dengan melakukan skrining (screening), baik terhadap tanaman yang masih muda (plantlet), maupun terhadap tanaman dewasa,
atau sesuai tujuan pengujian yang ingin dilakukan. Adapun prosedur pelaksanaan screening dapat dibaca pada buku-buku yang
mengulas mengenai berbagai metode pengujian terhadap berbegai
jenis serangga hama.
6.4. Metode Pemuliaan untuk Resistensi Terhadap Penyakit
Metode pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit adalah sama secara prinsip dengan metode pemuliaan terhadap hama
serangga. Perbedaannya hanya terletak pada sistem seleksi yang
digunakan. Kalau serangga hama hanya melepaskan populasi
serangga hama pada tanaman yang diuji, pengujian tanaman untuk
ketahanan pada penyakit tertentu harus dilakukan penginokulasian
biakan murni penyakit secara fisik pada tanaman yang diuji. Oleh
karena itu prosedur pemuliaan tanaman terhadap ketahanan penyakit juga dapat dipelajari pada literatur yang sesuai.
Penggunaan sistem silangbalik untuk memindahkan gen ketahanan suatu penyakit (RR) ke dalam varietas budidaya yang memiliki gen toleran terhadap penyakit tersebut (rr) tetapi mempunyai
Pemuliaan Tanaman Konvensional 71
sifat superior tertentu, dapat diilustrasikan berikut:
Tahap I:
Persilangan tetua berulang (rr) x tetua donor (RR) menghasilkan
F1 (100% Rr);
Tahap II:
Persilangan F1 dengan rr menghasilkan 50% RR + 50% rr, akan
tetapi keturunan yang bergenotipe rr dibuang (disicarded),
sedangkan yang bergenotipe Rr digunakan untuk persilangan
dengan tetua rr;
Tahap III-VI:
Prosedur pada tahap II diulangi hingga generasi silang balik ke-6;
Tahap VIII:
Benih hasil persilangan dari tahap VI yang bergenotipe Rr
disilangsendirikan, akan menghasilkan tiga bentuk genotipe,
yaitu RR, Rr dan rr. Melalui cara screening tanaman yang
bergenotipe Rr dan rr akan terserang pada saat inokulasi
biakan murni penyakit, sedangkan tanaman yang bergenotipe
RR akan resisten.
Tahap IX:
Perbanyakan benih.
6.5. Metode Pemuliaan untuk Resistensi Terhadap Faktor
Abiotik
Kerebahan pada tanaman, kerapuhan biji sesaat setelah pematangan tercapai, dan ketahanan terhadap kekeringan lingkungan
tumbuh adalah contoh-contoh permasalahan dalam mengoptimalkan produksi akhir (hasil) suatu tanaman. Sifat-sifat tersebut diketahui ternyata dikendalikan oleh gen atau gen-gen tertentu dalam
tanaman.
Meskipun ekspresi gen atau gen-gen juga ditentukan oleh
faktor lingkungan seperti kerebahan pada tanaman padi atau jagung
akan dapat terjadi apabila mengalami pertumbuhan yang sangat
subur karena pengaruh pemupukan N dosis tinggi, akan tetapi
dengan menanam varietas rebah ini di tempat lain memungkinkan
untuk tidak rebah bila mendapat pemupukan N dengan dosis
rendah. Untuk memberikan kesimpulan bahwa varietas yang ditanam di lokasi kedua ini memiliki gen atau gen-gen ketahanan terPemuliaan Tanaman Konvensional 72
hadap kerebahan adalah hal yang terlalu terburu-buru. Oleh karena
itu untuk memberi vonis yang tepat, diperlukan pengujian secara
bersama-sama dengan varietas tertentu yang telah terbukti memiliki gen ketahanan terhadap tekanan lingkungan tertentu.
Metode pemuliaan yang diperlukan untuk mendapatkan
tanaman yang tahan terhadap tekanan lingkungan tertentu akan
sama saja dengan metode pemuliaan untuk mendapatkan tanaman
yang resisten terhadap hama dan penyakit. Selain itu, informasiinformasi yang harus diketahui sebelum kegiatan pemuliaan
tanaman yang tahan terhadap tekanan lingkungan tertentu, juga
diperlukan seperti yang terdapat pada ketahanan tanaman terhadap
hama dan penyakit.
Lokasi gen atau gen-gen ketahanan harus telah terdeteksi,
transfer gen melalui prosedur hibridisasi standar, atau silang balik
dapat dilakukan, dan keturunan-keturunan yang tahan dan tidak
tahan harus dapat dibedakan atau harus dapat dikenali. Sistem
seleksi yang digunakan sama dengan pada sistem pemuliaan
tanaman pada umumnya, dan metode screening adalah metode
seleksi yang cukup akurat.
Begitu pentingnya pemahaman hubungan tiga faktor yang
mendorong terjadinya serangan hama dan penyakit pada tanaman,
sehingga konsep resistensi dan kerentanan dapat merupakan pokok
persoalan yang harus selalu mendapat pengkajian lebih lanjut. Di
samping itu, prinsip-prinsip genetika yang menyebabkan resistensi
dan toleran hingga kerentanan tanaman terhadap hama dan penyakit, juga menjadi hal penting yang perlu difahami sebab dari pengetahuan ini akan memberi peluang kepada pemahaman mekanisme
serupa atau hampir serupa, bahkan berbeda pada kasus-kasus
ketahanan tanaman lainnya yang belum terungkap.
Mengenali tanaman-tanaman yang memiliki gen atau gengen ketahanan terhadap pengganggu bertumbuh dan berproduksi
tanaman, dan kemungkinan mentransfer gen atau gen-gen pada
tanaman lainnya merupakan persyaratan-persyaratan yang harus
dimiliki dalam melaksanakan pemuliaan tanaman untuk resistensi
terhadap hama, dan penyakit, serta ketahanan terhadap tekanan
lingkungan tempat hidup tanaman.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 73
Bab 7
PEMULIAAN TANAMAN
MELALUI POLIPLOIDISASI
7. 1. Pendahuluan
Ploidi adalah tingkat tertentu dari jumlah set kromosom
dalam suatu organisme hidup. Dari pengertian di atas maka ploidi
tanaman adalah keadaan jumlah set kromosom yang terdapat dalam
sel-sel tanaman, baik sel-sel somatik maupun sel-sel gametik.
Tingkat ploidi tanaman dimulai dari haploid (setengah set kromosom) dari ploidi normal tanaman bersangkutan hingga poliploid
(banyak set kromosom). Andaikata suatu spesies tanaman mempunyai tingkat ploidi sebagai diploid (2n =2X= 60 kromosom), maka
1n=1X=30 kromosom (haploid). Demikian pula apabila tanaman
tersebut berploidi 2n=3X, maka jumlah kromosomnya adalah 90
(triploid), 2n=4X=120 kromosom (tetraploid), 2n=5X=150 kromosom (pentaploid), 2n=6X=180 kromosom (heksaploid), dan
seterusnya.
Apa arti dari perbedaan-perbedaan jumlah set kromosom di
atas adalah bahwa apabila tanaman bersangkutan berploidi dasar
diploid, maka peningkatan jumlah set kromosom (triploid, atau
tetraploid) biasanya memberikan banyak keuntungan baik dari segi
ukuran (produk/hasil) tanaman maupun dari segi mutu hasil tanaman. Bahkan dari ploidi paling rendahpun (haploid) memberikan
keuntungan dalam hal pemuliaan tanaman secara konvensional.
Dalam kaitan ini tingkat haploid tanaman dapat dieksploitasi dalam menciptakan tanaman homogen dengan memperpendek
waktu persilangan, dimana dengan cara persilangan konvensional
homozigositas tanaman akan tercapai setelah 7 atau 8 generasi.
Melalui teknik haploidisasi, tanaman haploid dapat dihomogenkan
hanya dalam dua generasi penanaman. Dalam bagian ini akan diuraikan metode pemuliaan tanaman secara poliploidisasi melalui
teknik mutasi dan teknik poliploidisasi lainnya.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 74
7.2. Teknik Mutasi
Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada kromosom
tanaman, baik struktur (susunan) maupun jumlah kromosom dalam
sel-sel tanaman. Bahkan dalam skala kecil, mutasi kromosom dapat
terjadi dalam bentuk perubahan satu atau beberapa nukleotida
sebagai penyusun gen atau gen-gen yang menentukan suatu sifat
tanaman. Begitu besarnya arti mutasi dalam bidang pemuliaan
tanaman sehingga penelitian dan pemanfaatan teknik mutasi ini
telah jauh berkembang, bukan hanya melalui teknik-teknik mutasi
yang digunakan akan tetapi juga jumlah beragam spesies tanaman
yang digunakan sebagai obyek.
Berdasarkan kejadiannya, mutasi pada tanaman dapat terjadi dalam dua cara, yaitu: (1) mutasi alami, dan (2) mutasi buatan.
Mutasi alami adalah mutasi yang terjadi secara alamiah sebagai
akibat adanya sinar kosmos, batuan radioaktiv, dan sinar ultra
violet dari matahari. Mutasi buatan atau sering disebut mutasi
diinduksi adalah perubahan bahagian vegetatif dan generatif
tanaman yang dilakukan secara sengaja oleh manusia. Untuk
mutasi alami, dalam uraian ini tidak akan dikemukakan lebih lanjut
sebab mutasi alami adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi,
sedangkan mutasi buatan akan diuraikan lebih lanjut dalam
bahasan berikutnya.
Menurut penyebabnya, mutasi buatan dapat terjadi karena
adanya bahan yang menyebabkan mutasi yang dikenal dengan
mutagen, sebagai singkatan dari MUTA-tion dan aGENts. Bahan
mutagen terdiri dari dua bagian besar, yaitu bahan fisika dan bahan
kimia. Kalau bahan fisika mutagen terdiri dari radiasi (penyinaran)
dengan panjang gelombang tertentu, maka bahan kimia mutagen
terdiri dari bahan-bahan kimia yang merubah konstitusi kromosom
dalam sel tanaman. Contoh-contoh bahan fisika mutagen adalah: sinar X, - sinar gamma, - sinar beta; - neutron cepat dan neutron
lambat; - partikel alfa; - sinar devetron; dan - sinar ultra ungu.
Selain itu, bahan kimia mutagen terdiri dari: metansulfonat; etilenamin; - diepoksibutan; - mustard nitrogen; - dan etilenoksida.
Perubahan-perubahan genetik dapat terjadi di setiap tempat
di sepanjang kromosom. Perubahan tersebut dapat meliputi pergantian karakter kualitatif dan kuantitatif. Gregory (1966) menunjukPemuliaan Tanaman Konvensional 75
kan bahwa mutasi induksi pada kacang tanah dapat terjadi perubahan sistem pewarisan sifat poligen dan monogen.
Pemuliaan mutasi pada tanaman tingkat tinggi dapat dibedakan dalam dua macam, masing-masing untuk tanaman yang
dikembangbiakkan secara seksual dan aseksual. Pada tanaman
yang berkembangbiak secara seksual umumnya dilakukan pada biji
atau benih tanaman bersangkutan, akan tetapi pada tanaman yang
berkembangbiak secara tak kawin dilakukan dengan memberikan
perlakuan pada bahagian vegetatif tanaman. Bahagian-bahagian
vegetatif tanaman yang sering digunakan dalam pelaksanaan
mutasi induksi adalah jaringan-jaringan meristem tanaman yang
mengandung sel-sel yang sangat aktif membelah seperti: - titik
tumbuh pucuk, - titik tumbuh cabang/buku tunas, - titik tumbuh
pucuk lateral, dan - jaringan meristem akar.
Bagian-bagian vegetatif tanaman yang mendapat perlakuan
mutasi akan menghasilkan kimera (chimera), yaitu kumpulan selsel atau jaringan yang mengalami perubahan konstitusi genetik
(gen dan kromosom) sehingga berbeda dengan sel-sel jaringan di
sekitarnya. Apabila kimera yang terjadi pada jaringan gametik,
maka tanaman yang dihasilkan dari mutasi ini merupakan mutan
yang akan mewariskan mutasi yang terjadi padanya. Akan tetapi
bila mutasi terjadi pada jaringan somatik maka mutan tersebut
tidak akan mewariskan sifat mutannya.
Mutasi induksi biasanya relatif lebih baik pada tanaman
yang menyerbuk sendiri dibanding dengan tanaman yang menyerbuk silang. Pada tanaman yang menyerbuk sendiri sebahagian
besar alel yang tidak bernilai adaptasi tinggi biasanya akan cepat
lenyap karena sifat homzigositasnya. Hilangnya alel tersebut
berarti memperkecil variabilitas genetik. Sedangkan pada tanaman
menyerbuk silang, adanya sistem perkawinan acak akan memelihara heterozigisitas dalam struktur-struktur populasi, dengan demikian akan meningkatkan variabilitas genetik. Berdasarkan hal di
atas maka peluang untuk memperoleh mutasi dan variabilitas genetik yang diinginkan melalui cara-cara buatan pada tanaman yang
menyerbuk sendiri secara teoritis lebih tinggi dibanding pada
tanaman menyerbuk silang.
Metode mutasi pada biji dilakukan dengan menginduksi biji
M0 untuk menghasilkan mutan-mutan generasi pertama (M1).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 76
Tanaman-tanaman dari M1, telah dapat dilakukan diseleksi pendahuluan, dan kegiatan seleksi ini dilaksanakan pada generasigenerasi mutasi selanjutnya (M2, M3, dst.). Karena mutasi terinduksi bersifat acak, maka alel yang bernilai mungkin berkombinasi
dengan mutasi yang tidak diharapkan atau dengan kromosom yang
pecah dan abnormal. Untuk memperoleh genotipe yang tepat,
diperlukan populasi mutan yang cukup besar.
Metode mutasi pada bahagian vegetatif tanaman dilakukan
dengan mengolesi/menyinari bahagian tanaman tersebut, kemudian
dibiarkan tumbuh sebagai mutan-mutan. Pada bahagian vegetatif
yang telah mengalami mutasi tadi disetek kemudian ditanam dalam
medium pasir untuk pertumbuhan selanjutnya. Melalui kultur in
vitro, bahagian tanaman ini dapat juga diperbanyak dalam medium
organik buatan. Seleksi terhadap mutan-mutan yang diperoleh dari
tanaman yang dikembangkan secara vegetatif dilakukan sama
seperti pada mutasi melalui biji.
7.3. Teknik haploidisasi
Haploidisasi adalah suatu upaya dalam pemuliaan tanaman
untuk membentuk tanaman setengah dari tingkat ploidi aslinya.
Sebagai contoh, tanaman 2n=2X menjadi 1n=1X, 2n=4X menjadi
1n=2X, atau 2n=6X menjadi 1n=3X. Tujuan utama dari pemuliaan
haploid adalah untuk memperoleh tanaman haploid ganda (doubled
hap-loid) yang homozigot sempurna (completely homozygous)
dalam waktu yang relatif singkat sehingga dapat memperpendek
waktu bagi pelepasan varietas/kultivar baru.
Dalam menciptakan tanaman homozigot melalui metode
konvensional seperti metode-metode: - bulk, - single-seed-descent,
- pedigree, - seleksi massa, dan lain-lain, generasi tanaman homozigot diploid akan diperoleh setelah tujuh atau delapan generasi.
Sementara itu, dengan metode haploid tanaman homozigot akan
diperoleh hanya paling lama dua generasi, bahkan tanaman haploid
ganda dapat terjadi secara spontan hanya dalam satu generasi
(spontaneously doubled haploid).
Pada dasarnya ada dua metode yang dapat digunakan dalam
pembentukan tanaman haploid, yaitu: (1) secara konvensional,
melalui persilangan tanaman yang berbeda spesies dalam genera
Pemuliaan Tanaman Konvensional 77
yang sama, atau melalui teknik mutasi, dan (2) secara inkonvensional, yaitu melalui teknik kultur in vitro baik organ-organ
gametik seperti kultur bunga jantan dan bunga betina, ataupun
dengan kultur sel-sel somatik tanaman haploid itu sendiri.
Perakitan tanaman haploid melalui cara pertama khususnya melalui
persilangan tanaman yang berbeda spesies akan diuraikan lebih
lanjut pada bahasan berikut ini, sedangkan untuk cara kedua akan
diuraikan pada bagian lainnya.
Persilangan antar spesies tanaman yang berbeda dalam
genus yang sama telah banyak dilakukan untuk menghasilkan
tanaman haploid. Salah satu teknik yang sangat populer adalah
teknik "bulbosum". Teknik bulbosum ini adalah persilangan antara
tanaman diploid "barley" yang telah dibudidayakan (Hordeum
vulgare) dengan tanaman diploid barley liar (Hordeum bulbosum).
Hasil dari persilangan ini diperoleh keturunan yang mempunyai
konstitusi genetik seperdua (haploid) dari set kromosom tetuanya.
Oleh karena tanaman haploid tidak dapat menghasilkan biji
karena tidak berfungsinya organ jantan (tepung sari steril), maka
tanaman haploid ini kemudian diberikan perlakuan kolkisin
(colchicine), bahan mutagen, dengan cara mengoleskan pada
tanaman muda yang baru berkecambah, untuk menggandakan
kromosomnya sehingga menjadi tanaman haploid ganda. Dari
tanaman haploid ganda inilah yang akan menghasilkan biji secara
sempurna sehingga untuk selanjutnya benih-benih ini dapat ditanam dan tumbuh sebagai tanaman diploid dan fertil.
Keuntungan lain dari teknik haploid ini adalah bahwa kalau
pada haploidisasi secara konvensional juga diperoleh tanaman
homozigot secara teoritis. Akan tetapi, indeks homozigositasnya
tidak akan pernah mencapai 100% meskipun dilakukan hingga
generasi tak terhingga. Pada haploidisasi dengan metode bulbosum
dan metode in vitro, tanaman haploid ganda akan diperoleh dengan
indeks homozigositas sebesar 100%. Ini berarti penerapan teknologi lainnya seperti dalam rekayasa genetik, transfer gen atau gengen asing akan mudah dilakukan karena adanya sifat asing pada
tanaman homozigot akan mudah diawasi.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 78
7.4. Teknik poliploidisasi
Tanaman yang tergolong poliploid adalah semua tanaman
yang mempunyai set kromosom di atas diploid. Ini berarti tanaman
triploid adalah tanaman poliploid yang paling rendah. Dengan
demikian maka teknik poliploidisasi adalah suatu metode untuk
melakukan penggandaan jumlah set kromosom dalam sel-sel
tanaman. Keuntungan umum dari teknik poliploidi pada tanaman
adalah bahwa peningkatan jumlah genom suatu tanaman akan
diikuti dengan peningkatan ukuran sel dan pembesaran organ
tanaman. Pengertian ini harus dibatasi bahwa hanya pada tingkat
ploidi tertentu suatu tanaman akan mencirikan bentuk keuntungan
di atas, dalam arti terdapat tingkat ploidi tertentu yang mencapai
tingkat optimal dari peningkatan ukuran sel dan pembesaran organ
tanaman.
Berdasarkan sumber kromosom tanaman, poliploidi mempunyai dua bentuk, masing-masing: (1) autopoliploidi, dan (2)
allopoliploidi. Kalau autopoliploidi, poliploidi sendiri, terjadi
penggandaan kromosom dari tanaman itu sendiri, maka allopoliploidi adalah penggandaan kromosom yang berasal dari penggabungan kromosom tanaman bersangkutan dengan tanaman lainnya.
Dengan kata lain autopoliploidisasi adalah upaya penggandaan
kromosom tanaman bersangkutan, sedangkan allopoliploidisasi
adalah upaya penggandaan kromosom tanaman setelah tanaman
bersangkutan mendapat tambahan kromosom dari sumber lainnya.
Kedua bentuk ploidi ini dapat dilihat pada pembentukan tanaman
semangka tanpa biji (triploid) untuk autopoliploid, dan persilangan
antara gandum (Triticum) dengan rye (Secale) yang menghasilkan
tanaman budidaya serealia "triticale" (Triticale spp.), untuk bentuk
allopoliploid.
Pada contoh allopoliploid di atas, dikembangkan dua tipe
triticale, yaitu: (1) triticale yang oktaploid terdiri dari enam genom
gandum dan dua genom rye, yaitu dari persilangan gandum roti
(2n=6X=42) dengan diploid rye (2n=2X=14). F1 dari persilangan
ini mempunyai tiga genom dari gandum dan satu genom dari rye
yang benar-benar tidak berpasangan di antara ke-28 kromosomnya.
Kemudian biji F1 ini diberikan kolkisin untuk menggandakan
kromosomnya, sehingga individu generasi berikutnya mempunyai
Pemuliaan Tanaman Konvensional 79
kromosom 2n=6X=56, dan (2) tipe heksaploid yang dihasilkan dari
persilangan antara gandum durum (2n=4X=28) dengan rye diploid.
Melalui penggandaan biji F1-nya akan menghasilkan tanaman yang
mempunyai kromosom 2n=6X=42.
Karakter umum dari teknik poliploidisasi adalah terciptanya
tanaman yang memiliki kromosom dengan kelipatan tertentu.
Dengan terciptanya jumlah kromosom pada kelipatan tertentu akan
memberikan efek terhadap peningkatan produksi dan kualitas hasil
tanaman, baik karena terjadinya transfer genetik dari tanaman lain
maupun hanya pemanfaatan kromosom tanaman itu sendiri yang
mengalami penggandaan.
Sebagai rangkuman dari bahasan mengenai pemuliaan poliploidisasi adalah bahwa dengan metode ini akan memberikan
keuntungan berupa memperpendek waktu untuk melepas kultivar
baru (teknik haploidisasi) sehingga akan mengurangi biaya produksi dan tenaga serta ruang yang diperlukan sebagaimana yang
digunakan dalam pemuliaan konvensional sepenuhnya. Selain itu
penciptaan variabilitas tanaman untuk seleksi tanaman yang memiliki sifat atau sifat-sifat unggul (teknik mutasi), dan pembuatan
tanaman yang memiliki kuantitas produksi yang tinggi dan peningkatan kualitas hasil yang tinggi pula (poliploidisasi), juga merupakan tujuan penyelenggaraan metode pemuliaan ploidisasi.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 80
Bab 8
ANALISIS DATA PEWARISAN SIFAT
DALAM PEMULIAAN TANAMAN
8.1. Pendahuluan
Melihat sejumlah besar gen dengan pengaruh yang kecil
dan mirip bersama pengaruh utama yang berasal dari faktor lingkungan akan menyulitkan dan tidak mungkinkan untuk membuat
kelompok-kelompok dari suatu sifat kuantitatif yang berbeda.
Dengan demikian, tidak hanya sejumlah gen yang mengendalikan
suatu karakter, akan tetapi pengaruh sendiri-sendiri masing-masing
gen dapat dengan mudah diketahui melalui pendekatan konvensional dengan menganalisis variasi berkelanjutan (continuous
variation).
Fisher (1918) mengusulkan bahwa secara praktis hanya
dapat menentukan sifat-sifat rerata yang disandikan oleh gen
banyak dalam bentuk pengaruh utama dan interaksi gen-gen atau
alel-alel yang dapat dijelaskan menurut istilah Mendel yang lebih
populer, seperti: dominan, epistasis, bertaut (linkage), dan lain
sebagainya. Konsep dasar dan aplikasi genetika kuantitatif kebanyakan pada populasi kawin acak (random mating population),
telah diuraikan oleh Falconer (1989), sedangkan Mather dan Jinks
(1982) telah menguraikan sebelumnya secara rinci mengenai
prosedur yang dapat diaplikasikan pada populasi yang dihasilkan
dari persilangan antara tetua galur murni.
Publikasi yang lebih baru mengenai analisis variasi kuantitatif yang sejalan dengan teori dan aplikasinya telah diuraikan oleh
Kearsey dan Pooni (1998), dan uraian ringkas disertai contohcontoh penerapan masing-masing aspek merupakan sajian utama
pada bagian ini. Semua contoh atau teladan yang dikemukakan
dalam uraian berikut merupakan kompilasi hasil penelitian yang
berkaitan dengan bahasan ini yang berasal dari publikasi di dalam
negeri dan dari luar negeri.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 81
8.2. Pewarisan Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif adalah suatu label yang melekat pada suatu
ciri penampakan tanaman yang dapat diukur dengan suatu angka.
Secara genetik, sifat kuantitatif merupakan ekspresi gen-gen yang
menyandikan sifat tersebut. Jumlah gen yang terlibat atau menentukan penampilan suatu sifat kuantitatif minimal terdapat dua gen
atau alel, dan bahkan lebih dari dua gen atau alel. Nilai-nilai yang
melambangkan suatu sifat kuantitatif menunjukkan persebaran
yang berlanjut (continuous) yang sulit dibedakan antara satu kelas
dengan kelas lainnya.
Suatu populasi terdiri dari unsur-unsur: (1) tetua betina-P1,
(2) tetua jantan-P2, (3) keturunan pertama, F1, (4) keturunan pertama persilangan resiprok, F1R, (5) keturunan silangbalik antara F1
dengan tetua betina, BC1.1, (6) keturunan silangbalik antara F1
dengan tetua jantan, BC1.2, dan (7) keturunan kedua, F2. Dari struktur seperti ini, berbagai macam parameter genetik dapat diduga
dengan menggunakan prosedur yang sesuai seperti berikut.
a. Pendugaan pengaruh tetua betina (Maternal effect)
Pendugaan pengaruh tetua betina pada pewarisan suatu sifat
kepada keturunannya, diperlukan data dari suatu sifat yang menjadi
perhatian bagi keturunan F1 dan F1 resiprok. Nilai rerata keduanya
(F1 dan F1 resiprok), dibandingkan dengan menggunakan uji-t (TStudent). Formula uji-t yang digunakan adalah menurut Steel dan
Torrie (1980):
t=
X F1 − X F1R
S F 1 − S F 1R
dengan: t = perbedaan kedua rerata (t-hitung)
X F1 = nilai rerata pengamatan F1
X F1R = nilai rarata pengamatan F1 resiprok
S F 1 = varian/ragam F1
S F 1R = varian/ragam F1 resiprok
Pemuliaan Tanaman Konvensional 82
Ada dua kemungkinan kesimpulan yang dihasilkan dari
pengujian ini, yaitu: (1) t-hitung lebih kecil atau sama dengan ttabel, yang bermakna kedua nilai rerata mempunyai rerata yang
sama, berarti tetua betina tidak berperan pada pewarisan suatu sifat
pada keturunannya, dan (2) t-hitung lebih besar dari t-tabel, yang
bermakna kedua tetua mempunyai rerata yang berbeda, yang
berarti tetua betina berperan pada pewarisan suatu sifat pada
keturunannya.
b. Pendugaan jumlah gen pengendali suatu sifat
Sebelum data pewarisan suatu sifat dianalisis, data rerata
suatu sifat pada keturunan/generasi F2 diperiksa tipe persebaran
datanya. Apabila data berdistribusi tidak normal dengan lebih dari
satu puncak (bi- atau multi-modal), maka data tersebut diklasifikasi
menjadi dua, tiga, empat, dan lima kelas. Untuk mengetahui nisbah
genotipiknya, dilakukan pengujian kesesuaian nisbah fanotipe
segregasi populasi F2 hasil pengamatan dengan harapan segregasi
Mendel, menggunakan uji Chi-square (Steel dan Torrie, 1980).
Akan tetapi, apabila data berdistribusi normal dengan satu
puncak (unimodal) berarti sifat yang dianalisis mewaris secara
kuantitatif dan dikendalikan oleh dua atau lebih gen. Dengan demikian, diperlukan analisis dan penentuan jumlah gen atau alel yang
berperan menggunakan model pendugaan Das dan Griffey (1994),
atau menurut cara Kuspira dan Bhambhani (1994).
(1). Pendugaan jumlah gen pengendali melalui pengujian kesesuaian nisbah fenotipe menurut Steel dan Torrie (1980)
Adapun formula uji Chi-square menurut Steel dan Torrie
(1980) adalah:
 (O − E ) 2 
χ2 = ∑

E


dengan: χ2 = Chi-square hitung
O = nilai pengamatan (obsevasi)
E = nilai harapan menurut segregasi Mendel
Pemuliaan Tanaman Konvensional 83
Kesimpulan yang dihasilkan dari analisis ini adalah kesesuaian nisbah genotipe berdasarkan data fenotipis yang meliputi
alternatif: (1) dua kelas fenotipe dengan nisbah 3 : 1, 9 : 7, 13 : 3,
dan 15 : 1; (2) tiga kelas fenotipe dengan nisbah 1 : 2 : 1, 9 : 3 : 4, 9
: 6 : 1, dan 12 : 3 : 1; (3) empat kelas fenotipe dengan nisbah 9 : 3 :
3 : 1, dan (4) lima kelas fenotipe dengan nisbah 1 : 4 : 6 : 4 : 1.
Penamaan masing-masing nisbah genotipik di atas disajikan pada
Gambar 8.1.
MONOHIBRIDA
Keterangan
2/4 Aa
1/4 aa
1:2:1
2
1
Kodominan
3:1
3
1
Dominan
DIHIBRIDA
AABBAABbAaBBAaBbAAbbAabb aaBB aaBb aabb
1/16 2/16 2/16 4/16 1/16 2/16 1/16 2/16 1/16
9:7
9
7
Resesif ganda
13:3
13
3
Dom. resesif
15:1
15
1 Isoepistasi
9:3:4
9
3
4
Resesif
12:3:1
12
3
1 Dominan
9:6:1
9
6
1 Semi epistasi
10:3:3
5
3
3
5
6:3:3:4
6
3
3
4
Epistasi
9:3:3:1
9
3
3
1 Koepistasi
1:4:6:4:1 1
4
5
2
1
2
1
Rasio
1/4 AA
1
Gambar 8.1. Beragam interaksi antar gen atau alel.
(2). Pendugaan jumlah gen pengendali menurut formula Das
dan Griffey (1994) atau menurut formula Kuspira dan
Bhambhani (1994).
Jumlah gen pengendali suatu fenotipe diduga dengan formula Wright (1920) yang dimodifikasi oleh Cockerham (1963) dan
digunakan oleh Das dan Griffey (1994) sebagai berikut:
Pemuliaan Tanaman Konvensional 84
n=
( P1 − P2 )
8 σ F2 − (2σ 2 F1 + σ 2 P1 + σ 2 P2 ) / 4
[
2
]
dengan: n = jumlah gen pengendali
P1 = rerata tetua P1
P2 = rerata tetua P2
σ 2 P1 = varians P1
σ 2 P2 = varians P2
σ 2 F1 = varians F1
σ 2 F2 = varians F2
Sementara itu, jumlah gen pengendali suatu fenotipe yang diduga
dengan cara Kuspira dan Bhambhani (1994), mengikuti formula
sebagai berikut:
N=
D2
8[σ F2 − σ F1 ]
dengan: N = jumlah gen pengendali
D2 = beda rerata kedua tetua
σ = varians
Hasil analisis Das dan Griffey, dan Kuspira dan Bhambhani
di atas akan disimpulkan berapa banyak gen atau alel yang
mengendalikan suatu sifat yang dianalisis.
c. Pendugaan aksi gen
Aksi gen diduga dengan menghitung aksi dominansi gen
pada populasi bersegregasi dari rerata rasio potensi (Potence ratio)
antara keturunan F1 dengan kedua tetuanya mengikuti formula
Griffing (1950), sebagai berikut:
Pemuliaan Tanaman Konvensional 85
hp =
( F 1 − MP)
1 / 2( HP − MP)
dengan: hp = rasio potensi
F1 = keturunan pertama hasil persilangan tetua
MP = mid parent, rerata kedua teua
HP = rerata tetua tertinggi
Menurut Petr dan Frey (1966), kesimpulan yang dapat
ditarik dari analisis “Potence-ratio” di atas adalah salah satu dari
beberapa alternatif berikut: (1) tidak ada dominansi (zero dominance, hp = 0), atau apabila nilai hp = 0, (2) dominansi sempurna
(complete dominance, hp = – 1 atau hp = + 1), atau apabila nilai hp
= + 1 atau – 1, (3) dominansi negatif tidak sempurna (negative
dominance incomplete, – 1 < hp < 0), atau apabila nilai hp antara
kurang dari 0 hingga kurang dari – 1, (4) dominansi positif tidak
sempurna (positive dominance incomplete, 0 < hp < 1), atau apabila
nilai hp antara kurang dari 0 hingga kurang dari + 1, dan (5)
dominansi lebih (over dominance, – 1 > hp > 1), atau apabila nilai
hp antara lebih kecil dari – 1 dan lebih besar dari + 1.
d. Pendugaan interaksi gen-gen tidak sealel (non-alellic gene
interaction)
Andaikata kita memiliki dua galur murni dengan suatu sifat
yang disandikan oleh gen tunggal dua alel pada satu lokus,
sehingga masing-masing bergenotipe AA dan aa. Jika AA dianggap sebagai genotipe dominan, maka berdasarkan persepakatan
ilmuwan genotipe ini dianggap sebagai tetua pertama (P1) yang
berciri memiliki nilai paling tinggi dengan simbol (+/+) atau
dengan nilai genetik (+a), dan lainnya sebagai tetua ke dua (P2)
yang memiliki nilai paling rendah (-/-) atau dengan nilai genetik
(-a) dari tetua lainnya. Apabila kedua galur murni ini (P1 x P2)
disilangkan/dikawinkan, maka akan diperoleh keturunan pertama
(F1) bergenotipe Aa dan diberi simbol (+/-) atau dengan nilai
genetik (d). Dari informasi di atas, maka struktur dan formula nilai
rerata semua famili, dapat ditulis seperti berikut:
Pemuliaan Tanaman Konvensional 86
Genotipe:
AA
Simbol:
+/+
Nilai genetik: +a
x
aa
-/-a

Aa
+/d
Oleh karena ketiga famili di atas masing-masing mencirikan
distribusi gen atau alel tertentu, maka famili-famili tersebut didefinisikan sebagai: P1 = m + [a], P2 = m - [a], dan rerata kedua tetua,
( P1 + P2 )/2 adalah {(m + [a]) - (m - [a])}/2 = 2m/2 = m. Nilai m
digunakan sebagai patokan karena merupakan kombinasi pengaruh
semua gen atau alel dari kedua tetua. Dengan demikian, nilai rerata
semua famili dari suatu persilangan dua galur murni di atas dapat
diekspresikan seperti berikut: P1 = m + a, P2 = m – a, dan F1 = m
+ d.
Untuk memperoleh famili keturunan ke dua (F2), keturunan
pertama (F1) disalingsendirikan (selfing) sehingga nilai rerata F2
juga dapat dihitung. Demikian pula, untuk mendapatkan keturunan
silangkembali (backcrossing), keturunan F1 disilangkan dengan
tetua P1 untuk mendapatkan keturunan BC.1.1, dan keturunan F1
disilangkan dengan tetua P2 untuk mendapatkan keturunan BC.1.2.
Nilai rerata ketiga famili di atas dapat dihitung sebagai berikut:
Genotipe F1: Aa x Aa  F2: AA + Aa + aa
Frekuensi:
1/4
2/4
1/4
Nilai genetik: m+d
m+d
(m+a) (m+d) (m–a)
F2 = m + 1/4(m+a) + 2/4(m+d) + 1/4(m-a) = m + 2/4d
sehingga F2 = m + 1/2d
sedangkan nilai rerata famili BC.1.1., adalah:
Genotipe:
Aa x
AA 
BC.1.1.: AA + Aa
Frekuensi:
1/2
1/2
Nilai genetik: (m+d) (m+a)
(m+a) (m+d)
BC1.1 = m + 1/2(m+a) + 1/2(m+d) = m + 1/2(a) + 1/2(d)
sehingga BC1.1 = m + 1/2(a) + 1/2(d)
dan dilai rerata famili BC.1.2., adalah:
Genotipe:
Aa
x
aa  BC.1.2.: Aa + aa
Frekuansi:
1/2
1/2
Nilai genetik: (m+d)
(m-a)
(m+d) (m-a)
Pemuliaan Tanaman Konvensional 87
BC1.2 = m + 1/2(m+d) + 1/2(m-a) = m + 1/2(d) + 1/2(-a)
sehingga BC1.2 = m +1/2(d) + 1/2(-a)
Dengan model enam parameter Jinks dan Jones (1958),
maka formula nilai rerata semua famili yang dihasilkan di atas dan
kedua tetuanya dapat ditulis seperti berikut:
P1 = m + [a]
P2 = m – [a]
F1 = m + [d]
F2 = m + 1/2[d]
BC1.1 = m + 1/2[a] + 1/2[d]
BC1.2 = m – 1/2[a] + 1/2[d]
dengan: m = rerata kedua tetua = [(P1 + P2)/2]
[a] = (rerata P1 – rerata P2)/2
[d] = (rerata F1 – m)
Hasil uji enam parameter di atas akan diperoleh salah satu
kesimpulan yang sesuai dari analisis, yaitu: (1) tidak menerima
bahwa model aditif-dominan dari pewarisan suatu sifat, dan (2)
menerima bahwa model aditif-dominan berperan pada pewarisan
suatu sifat. Sementara itu, uji skala gabungan Mather dan Jinks
(1971), adalah sebagai berikut:
2
A = 2 BC1.1 − P1 − F1  S A2 = 4 S BC
+ S P21 + S F2 1
1.1
dan t(db) = A / S A2
2
B = 2 BC1.2 − P2 − F1  S B2 = 4 S BC
+ S P2 2 + S F2 1
1.2
dan t(db) = B / S B2
C = 4 F2 − P1 − 2 F1 − P2

SC2 = 16 S F2 2 + 4 S F2 1 + S P21 + S P2 2
dan t(db) = C / SC2
Dari uji skala gabungan di atas akan dihasilkan satu dari
dua alternatif kesimpulan berikut: (1) tidak ada interaksi gen-gen
Pemuliaan Tanaman Konvensional 88
non-alelik yang berperan pada pewarisan suatu sifat, bila tidak
terdapat perbedaan yang signifikan hasil uji-t, dan (2) ada interaksi
gen-gen non-alelik yang berperan pada pewarisan suatu sifat, bila
terdapat perbedaan yang siginifikan hasil uji-t.
e. Pendugaan nilai heritabilitas
Dengan struktur materi percobaan seperti dikemukakan di
atas, maka heritabilitas yang diduga adalah heritabilitas dalam arti
sempit (Narrow sense heritability) yang disimbolkan sebagai H
atau h2(NS), (bukan h kuadrat). Perhitungan parameter dimaksud
sebagaimana diuraikan di atas, maka formula umum nilai heritabilitas dalam arti sempit (NS, narrow sense) menurut Warner, (1952)
adalah:
2
2
2σ 2 − (σ BC
1.1 + σ BC1.2 )
h 2 ( NS ) = F 1
2
σF2
dengan: h 2 ( NS ) = heritabilitas dalam arti sempit
σ F2 1 = varian/ragam keturunan pertama
σ F2 2 = varian/ragam keturunan ke dua
2
σ BC
1.1 = varian/ragam keturunan pertama dengan tetua P1
2
σ BC
1.2 = varian/ragam keturunan pertama dengan tetua P2
Menurut Stansfield (1983) nilai heritabilitas dalam arti
sempit diklasifikasikan sebagai berikut: (1) tinggi, jika nilai h2(NS)
lebih besar sama dengan 5, (2) sedang, jika nilai h2(NS) antara 0,2
hingga 0,5 dan (3) rendah, jika nilai h2(NS) lebih kecil dari 2.
Dengan demikian, kesimpulan yang akan diperoleh dari pengukuran suatu heritabilitas dalam arti sempit adalah salah satu dari ketiga
kriteria di atas.
f. Kemajuan genetik (Genetic advance)
Akibat diikutkannya keturunan hasil persilangan, maka
kemajuan genetik yang dicapai pada keturunan hasil persilanganPemuliaan Tanaman Konvensional 89
nya juga dapat dihitung. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kemajuan genetik (KG) dari struktur populasi yang dikemukakan seperti di atas adalah dengan menggunakan rumus Allard
(1960) sebagai berikut.
KG = (k )( S F 2 )(h 2 NS )
dengan KG = kemajuan genetik
k = indeks seleksi 5% (2,06)
SF2 = standar deviasi populasi F2
h2 (NS) = heritabilitas dalam arti sempit
Berdasarkan nilai yang diperoleh dari analisis kemajuan
genetik suatu sifat yang dipelajari akan dihasilkan pilihan kesimpulan sebagai berikut: (1) rendah, jika nilai KG lebih kecil dari
0,033, (2) agak rendah, jika nilai KG antara 0,033 hingga kurang
dari 0,066, (3) agak tinggi, jika nilai KG antara 0,066 hingga
kurang dari 1,00 dan (4) tinggi, jika nilai KG adalah 1,00 atau lebih
(Karmana et al., 1990). Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengukuran kemajuan genetik suatu sifat adalah salah satu dari keempat
kriteria di atas.
8.3. Teladan Penggunaan Rumus
a. Pendugaan pengaruh tetua betina (Maternal effect)
Dicontohkan dari suatu penelitian “Pola Pewarisan Karakter
Jumlah Berkas Pembuluh Kedelai” (Alia, et al., 2004) dengan
menyilangkan antara genotipe No. 73 dengan No. 49. Genotipe No.
73 berciri sebagai tetua dengan jumlah berkas pembuluh yang
banyak, sedangkan genotipe No. 49 berciri sebagai tetua dengan
jumlah berkas pembuluh yang sedikit. Dari persilangan bergantian
peran tetua, diperoleh data sebagai berikut (Tabel 8.1).
Pemuliaan Tanaman Konvensional 90
Tabel 8.1. Rerata umlah berkas pembuluh hasil persilangan bergantian
peran tetua antara kedelai genotipe No.73 dengan kedelai genotipe No. 49
Parameter
Jumlah tanaman
Rerata
Ragam
Ragam gabungan
Perbedaan rerata
Perbedaan ragam
No. 73 x No. 49
No. 49 x No. 73
(F1R)
(F1)
58
57
15,9138
15,8421
1,2030
1,8096
1,5234
0,0717
0,2302
Dengan menggunakan uji-t (T-Student) sesuai rumus Steel
dan Torrie (1980):
t=
X F1 − X F1R
S F 1 − S F 1R
maka: t = (15,9138 – 15,8421)/(1,2030 – 1,8096) = 0,0717 –
0,2302 = 0,3114, sehingga t-hitung = 0,3114. Berdasarkan nilai ttabel pada tingkat kepercayaan 95% (alpha = 0,05) yang mempunyai besaran nilai 1,96, ternyata, nilai t-hitung lebih kecil dari pada
nilai t-tabel. Ini berarti bahwa kedua keturunan pertama (F1 dan
F1R) hasil persilangan kedua tetuanya secara bergantian peran tidak
cukup alasan untuk menyatakan kalau keduanya berbeda.
Secara genetik dapat disimpulkan bahwa pewarisan sifat
jumlah berkas pembuluh kedelai tidak diturunkan dari kromosom
yang terletak pada sitoplasma tetua betina. Dengan demikian, gengen yang mengendalikan sifat jumlah berkas pembuluh ditentukan
oleh gen-gen yang terletak pada kromosom di dalam inti sel, bukan
di dalam sitoplasma atau bukan pewarisan maternal.
b. Pendugaan jumlah gen pengendali (controller gene numbers)
suatu sifat
Untuk menduga jumlah gen yang mengendalikan suatu sifat
dapat dilakukan dengan dua mekanisme. Pertama, dilakukan pengPemuliaan Tanaman Konvensional 91
ujian kesesuaian nisbah fenotipe segregasi populasi F2 hasil pengamatan dengan harapan segregasi Mendel, menggunakan uji Chisquare (Steel dan Torrie, 1980). Kedua, Apabila rasio Mendel tidak
terpenuhi maka dilanjutkan dengan model pendugaan Das dan
Griffey (1994), atau menurut cara Kuspira dan Bhambhani (1994).
(1). Pendugaan jumlah gen pengendali melalui pengujian
kesesuaian nisbah fenotipe menurut Steel dan Torrie (1980)
Dari suatu persilangan antara tanaman Kacang Kapri
dengan satu sifat beda yaitu berbunga merah (dominan) dan putih
(resesif), diperoleh 290 tanaman berbunga merah dan 110 berbunga
putih pada populasi F2 (Tabel 8.2). Hipotesis yang diajukan adalah
nisbah 3 : 1, yaitu 300 tanaman berbunga merah dan 100 tanaman
berbunga putih (Crowder, 1986). Dengan menggunakan uji Chisquare menurut Steel dan Torrie (1980), hasil perhitungan dan
pengujiannya adalah (Tabel 8.2).
 (O − E ) 2 

E


χ2 = ∑
Tabel 8.2. Hasil perhitungan nilai Chi-square (Χ2) bagi satu sifat beda
Kelas
Merah
Putih
Total
O
290
110
400
E
300
100
D
-10
10
Koreksi d
d2
- 9,5
90,25
9,5
90,25
Χ2 = ∑d2/E =
D2/E
0,30
0,30
1,20
Perhitungan tersebut di atas nampak bahwa bila kelas genotipe hanya 2 atau kurang dari 4 kelas, maka nilai perbedaan antara
O (Observation, pengamatan) dan E (Expectation, harapan) harus
dikurangi dengan bilangan 0,5 untuk memenuhi “Kaidah Yates”
yaitu “koreksi d” atau “Yates Correction”. Dari hasil perhitungan
dimaksud maka nilai χ2 adalah 1,20 dan kalau dibandingkan dengan
nilai χ2 tabel, nilai tersebut terletak antara 20 – 30% (lebih dekat
20%) dengan derajad bebas dua kelas kurang satu yaitu db = 2-1 =
1 adalah 1,07 – 1,64. Dengan menggunakan taraf signifikan 95%,
Pemuliaan Tanaman Konvensional 92
ternyata nilai χ2 tabel dimaksud lebih besar (3,84) dari nilai χ2
hitung (1,20). Oleh karena itu disimpulkan bahwa nisbah genotipe
3 : 1 diterima atau memenuhi kaidah pengujian.
Cara perhitungan di atas adalah untuk satu sifat beda
(monohibrida) dengan dua kelas fenotipe. Untuk perhitungan bagi
3, 4, dan 5 kelas fenotipe, mengikuti cara yang sama di atas tanpa
“koreksi d”. Andaikata terdapat dua sifat beda (dihibrida) dengan
empat kelas fenotipe seperti komposisi berikut (Tabel 8.3), maka
dengan menggunakan uji Chi-square menurut Steel dan Torrie
(1980), perhitungannya adalah seperti pada Tabel 8.3.
Tabel 8.3 di atas menunjukkan bahwa hipotesis yang
diajukan adalah untuk dua sifat beda (dihibrid) yaitu warna (kuning
dan hijau) dan bentuk buah (bulat dan berkerut), dengan nisbah
fenotipe 9 : 3 : 3 : 1. Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa
nilai Χ2 adalah 0,5102 yang lebih kecil dari nilai X2 tabel pada
alpha 0,05 sebesar 0,58.
Tabel 8.3. Hasil perhitungan nilai Chi-square (Χ2) bagi dua sifat beda
Kelas
Kuning, Bulat
Kuning, Berkerut
Hijau, Bulat
Hijau, Berkerut
Total
O
315
101
108
32
E
313
104
104
35
d
d2
2
4
3
9
4
14
3
9
Χ2 = ∑d2/E =
d2/E
0,0128
0,0865
0,1538
0,2571
0,5102
Sumber: Crowder, (1986).
Ini berarti bahwa nisbah fenotipe 9 : 3 : 3 : 1 sesuai dengan kaidah
uji pada dua sifat beda di atas karena nilai X2-hitung lebih kecil
dari nilai X2-tabel atau keduanya berbeda tidak signifikan.
(2). Pendugaan jumlah gen pengendali menurut formula Das
dan Griffey (1994) dan formula Kuspira dan Bhambhani
(1994)
Jumlah gen pengendali suatu fenotipe diduga dengan formula Wright (1920) yang dimodifikasi oleh Cockerham (1983) dan
digunakan oleh Das dan Griffey (1994) sebagai berikut (Tabel 8.4):
Pemuliaan Tanaman Konvensional 93
Tabel 8.4. Data pengamatan panjang tongkol jagung tetua P1 (Tom
Thumb), tetua P2 (Black Mexican), keturunan pertama dan ke dua dari
persilangan keduanya
Parameter
P1
6,632
0,816
57
Rerata
Ragam
Jumlah
individu
Famili atau Generasi
P2
F1
16,802
12,116
1,887
1,519
101
69
F2
12,888
2,252
401
Dengan menggunakan rumus berikut:
n=
( P1 − P2 )
8 σ F2 − (2σ 2 F1 + σ 2 P1 + σ 2 P2 ) / 4
[
2
]
maka: n = (6,632 – 16,802)/8[2,52 – (2 x 1,519 + 0,816 + 1,887)/4]
= 10,17/8[2,52 – (3,038 + 0,816 + 1,887)/4]
= 10,17/8[2,52 – (5,741)/4] = 10,17/8[2,52 – 1,435]
= 10,17/[20,16 – 15,096] = 10,17/5,064 = 2,008, sehingga
n = 2.
Sementara itu, dari data yang sama di atas dengan menggunakan formula Kuspira dan Bhambhani (1994) berikut:
N=
D2
8[σ F2 − σ F1 ]
maka perhitungannya adalah: D2 = 16,802 – 6,632 = 10,17; σ F1 =
1,519 dan σ F 2 = 2,252 sehingga N = (16,802 – 6,632)/8(2,252 –
1,519) = (10,17)/8(0,73) = (10,17)/ (5,84) = 1,74; sehingga N = 2.
Dengan demikian, jumlah gen atau alel yang mengendalikan karakter panjang tongkol jagung hasil persilangan kedua tetua
di atas dengan menggunakan formula yang berbeda memberikan
nilai yang sama yaitu berjumlah dua buah gen atau alel.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 94
c. Pendugaan aksi gen
Mengambil contoh persilangan antara kedelai toleran
terhadap tanah masam (Kerinci) dengan kedelai yang suseptibel
(Lokon) oleh Haryanto et al. (1994), diperoleh informasi mengenai
komponen-komponen yang berkaitan dengan aksi gen pada sifat
toleransi, adalah sebagai berikut (Tabel 8.5).
Tabel 8.5. Nilai rerata indeks toleransi kedelai varietas Kerinci (K),
Lokon (L) dan keturunan F1 dari persilangan keduanya
Parameter
Indeks toleransi
Kerinci
1,7
Rerata K + L
2,4
F1
2,2
Aksi gen toleransi kedelai terhadap tanah masam yang
diduga dengan rasio potensi (Potence ratio) mengikuti formula
Griffing (1950), adalah sebagai berikut:
hp =
( F 1 − MP)
1 / 2( HP − MP)
maka hp = (2,2 – 2,4)/1/2(1,7 – 2,4) = (- 0,2)/(- 0,7) = 0,3551,
sehingga rasio potensi adalah 0,3551. Dengan besaran nilai hp
seperti ini dapat disimpulkan bahwa tingkat toleransi kedelai terhadap tanah masam pada kasus ini adalah dominansi positif tidak
sempurna (positive dominance incomplete).
d. Pendugaan interaksi gen-gen tidak sealel
Percobaan persilangan antara dua galur murni tanaman
kapas untuk membentuk seperangkat bahan uji dalam mempelajari
sifat tinggi tanaman yang disandikan oleh gen-gen yang tidak sealel
yang dilaporkan oleh Kearsey dan Pooni (1998), diperoleh data
rerata tinggi (cm) tanaman bagi enam famili. Keenam famili
dimaksud adalah: P1, P2, F1, BC1.1, BC1.2, dan F2, dan rerata tinggi
tanaman dari masing-masing 100 individu berturut-turut adalah:
69,44; 59,04; 83,44; 76,03; 71,28 dan 74,36.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 95
Nilai-nilai (Tabel 8.6): varians - S x2 , derajad bebas (db),
rerata varians, S x2 , dan rerata varians terboboti, diperoleh dengan:
(1) varians, S x2 = ∑ X i ; (2) db = jumlah individu kurang satu=100N
i
1=99; (3) rerata varians, S x2 = S x2 /100; (4) rerata varians terboboti =
1/ S x2 ; sedangkan penduga rerata, m, penduga aditif, [a], dan
penduga dominan [d] ditetapkan sesuai Mather dan Jinks (1971).
Tabel 8.6. Rerata dan varians tinggi tanaman kapas, nilai bobot (ukuran
famili dibagi dengan varians), dan model aditif-dominan bagi enam
macam generasi atau famili
Generasi
P1
P2
F1
BC1.1
BC1.2
F2
Rerata
Tinggi
69,44
59,04
83,44
76,03
71,28
74,36
S x2
df
S x2
59,73
65,71
51,81
81,05
90,83
100,75
99
99
99
99
99
99
0,5973
0,6571
0,5181
0,8105
0,9083
1,0075
Nilai
m [a] [d]
Terboboti
1,6742
1
1
0
1,5218
1 -1 0
1,9301
1
0
1
1,2338
1 0,5 0,5
1,1010
1 -0,5 0,5
0,9926
1
0 0,5
Dari nilai-nilai di atas, dapat dihitung uji skala gabungan
menurut cara Mather dan Jinks (1971), dan Kearsey dan Pooni
(1998) sebagai berikut:
A = 2 BC1.1 − P1 − F1  2 x 76.03 – 69,44 – 83,44 = - 0,82.
2
2
2
2
S BC
= S xBC
1.1 / n = 81,05/100 = 0,8105. S P1 = S xP1 / n
1.1
2
= 59.73/100 = 0,5973 S F2 1 = S xF
1 / n = 51,81/100 = 0,5181.
2
S A2 = 4 S BC
+ S P21 + S F2 1 = 4 x 0,8105 + 0,5973 + 0,5181
1.1
= 4,3574.
sehingga t(db BC11+P1+F1) = A / S A2 = t(297) = - 0,82/√4,3547
= - 0,39 ts (ts = tidak signifikan)
Pemuliaan Tanaman Konvensional 96
B = 2 BC1.2 − P2 − F1  2 x 71.28 – 59,04 – 83,44 = 0,08.
2
2
S BC
= S xBC
1.2 / n = 90,83/100 = 0,9083.
1.2
2
S P2 2 = S xP
2 / n =65,71/100 = 0,6571.
2
S B2 = 4 S BC
+ S P2 2 + S F2 1 = 4 x 0,9083 + 0,6571 + 0,5181
1.2
= 4,8084.
sehingga t(db) = B / S B2  t(297) = 0,08/√4,8084 = 0,04 ts
C = 4 F2 − P1 − 2 F1 − P2  4 x 74,36 – 69,44 – 2 x 83,44 – 59,04
= 2,08.
2
S F2 2 = S xF
2 / n = 100,75/100 = 1,0075.
SC2 = 16 S F2 2 + 4 S F2 1 + S P21 + S P2 2 = 16 x 1,0075 + 4 x 0,5181
+ 0,5973 + 0,6571 = 19,4468.
sehingga t(db) = C / SC2  t(396) = 2,08/√19,4468 = 0,47 ts.
Berdasarkan uji skala gabungan di atas nampak bahwa tidak
satupun parameter (A, B, dan C) yang menunjukkan hasil uji-t yang
signifikan sehingga dapat disimpulkan efek-efek kompleks seperti
pengaruh tatua betina atau interaksi gen tidak terlibat pada pengendalian genetik sifat tinggi tanaman yang dipelajari pada persilangan ini.
Berdasarkan data Tabel 8.6 pula, maka nilai-nilai penduga
model aditif-dominan dapat dihitung menggunakan metode matriks
sesuai prosedur yang diuraikan oleh Mather dan Jinks (1971),
Rowe dan Alexander, (1980), dan Kearsey dan Pooni (1998)
sebagai berikut. Pertama, buat empat macam matriks, yaitu: (1)
matriks Y ukuran 6 x 1 vektor rerata generasi, (2) matriks C ukuran
6 x 3 sebagai matriks koefisien, (3) matriks W ukuran 6 x 6 vektor
matriks diagonal rerata varians terboboti, dan (4) matriks M ukuran
3 x 1 vektor parameter, seperti berikut:
Pemuliaan Tanaman Konvensional 97
Y
69,44
59,04 


83,44 
74,36 
76,02 
71,28 


C
1
1

1
1
1
1

1 0
-1 0 

0 1 
0 0,5 
0,5 0,5 
- 0,5 0,5
W
0
0
1,6742
 0 1,5218
0

0 1,9301
 0
0
0
 0
 0
0
0
 0
0
0

0
0
0 
0
0
0 

0
0
0 
0,9925
0
0 
0
1,2338
0 
0
0
1,1010 
M
m 
[a ]
 
[d ]
Ke dua, buat matriks C’WC vektor 3 x 3 yang berisi
sembilan nilai melalui perhitungan sebagai berikut:
elemen 1.1 = {∑(koefisien m)2 x nilai rerata varians terboboti)}
1 x 1 x 1,6742 + 1 x 1 x 1,5278 + …. + 1 x 1 x 1,1010
= 8,4534.
elemen 1.2 = {∑(koefisien m) x (koefisien [a]) x nilai rerata varians
terboboti)}
1 x 1 x 1,6742 + 1 x -1 x 1,5278 + …. + 1 x -0,5 x 1,1010
= 0,21880.
elemen 1.3 = {∑(koefisien m) x (koefisien [d]) x nilai rerata varians
terboboti)}
1 x 0 x 1,6742 + 1 x 0 x 1,5278 + …. + 1 x 0,5 x 1,1010
= 3,59375.
elemen 2.1 = 1.2
elemen 2.2 = {∑(koefisien [a])2 x nilai rerata varians terboboti)}
1 x 1 x 1,6742 + -1 x -1 x 1,5278 + …. + -0,5 x -0,5 x
1,1010= 3,7797.
elemen 2.3 = {∑(koefisien [a]) x (koefisien [d]) x nilai rerata
varians terboboti)}
1 x 0 x 1,6742 + -1 x 0 x 1,5278 + …. -0,5 x 0,5 x 1,1010
= 0,03320.
elemen 3.1 = 1.3; tetapkan 3.2 = 2.3
elemen 3.3 = {∑(koefisien [d])2 x nilai rerata varians terboboti)}
0 x 0 x 1,6742 + 0 x 0 x 1,5278 + …. + 0,5 x 0,5 x 1,1010
= 2,76192,
sehingga matriks C’WC yang diperoleh adalah:
8,45340 0,21880 3,59375 
C’WC = 0,21880 3,77970 0,03320


3,59375 0,03320 2,76192
Pemuliaan Tanaman Konvensional 98
Ke tiga, buat matriks C’WY vektor 3 x 1 dengan menghitung nilai-nilai selnya sebagai berikut:
elemen 1.1 = {∑(koefisien m) x nilai rerata varians terboboti x
rerata Y}
1 x 1,6742 x 69,44 + 1 x 1,5218 x 59,04 + … + 1 x 1,1010
x 71,28 = 613,226.
elemen 2.1 = {∑(koefisien [a]) x nilai rerata varians terboboti x
rerata Y}
1 x 1,6742 x 69,44 + -1 x 1,5218 x 59,04 + … + -0,5
x 1,1010 x 71,28 = 34,066.
elemen 3.1 = {∑(koefisien [d]) x nilai rerata varians terboboti x
rerata Y}
0 x 1,6742 x 69,44 + -1 x 1,5218 x 59,04 + … + 0,5
x 1,1010 x 71,28 = 284,085.
Dengan demikian, matriks C’WY dimaksud adalah:
613,226 
C’WY = 34,066 


284,085
Ke empat, tentukan matriks inversi C’WC dengan menghitung sesuai standar penyelesaian pembentukan matriks inversi
(C’WC)-1 sebagai berikut:
8,45340 0,21880 3,59375 
C’WC = 0,21880 3,77970 0,03320


3,59375 0,03320 2,76192
Dengan cara “Ajoin”, dimana:
matriks (C’WC)-1 = 1/determinan C’WC x ajoin C’WC, dan determinan C’WC =
8,45340 3,77970
0,03320
0,21880 0,03320
0,21880 3,77970
− 0,21880
+ 3,59375
0,03320 2,76192
3,59375 2,76192
3,59375 0,03320
= 8,45340[(3,77970)(2,76192)-(0,03320)(0,03320)]0,21880[(0,21880)(2,76192)(0,03320)(3,59375)]+3,59375[(0,21880)(0,03320)(3,77970)(3,59375)]
Pemuliaan Tanaman Konvensional 99
= 8,45340[(10,43923)-(0,00110)] – 0,21880[(0,60431)-(0,11931)]
+ 3,59375[ (0,00726)-(13,58330)]
= 8,45340(10,43813) – 0,21880(0,4850) + 3,59375(-13,57604)
= 88,23769 – 0,10612 – 48,78889 = 88,23769 – 48,89501
= 39,34269
sehingga determinan matriks C’WC = 39,34269.
Matriks ajoin C’WC sebagai berikut:
elemen 1.1 = [(3,77970 x 2,76192) – (0,03320 x 0,03320)]
= 10.43923 – 0,00110 = 10,43813
elemen 1.2 = - [(0,21880 x 2,76192) – (3,59375 x 0,03320)]
= - 0,60431 – 0,11931 = - 0,48500
elemen 1.3 = [(0,21880 x 0,03320) – (3,59375 x 3,77970)]
= 0,00726 – 13,58330 = - 13,57604
elemen 2.1 = - [(0,21880 x 2,76192) – (0,03320 x 3,59375)
= - 0,60431 – 0,11931 = - 0,48500
elemen 2.2 = [(8,45340 x 2,76192) – (3,59375 x 3,59375)]
= 23,34761 – 12,91503 = 10,43257
elemen 2.3 = - [(8,45340 x 0,03320) – (3,59375 x 0,21880)]
= - 0,28065 – 0,78631= - 0,50566
elemen 3.1 = [(0,21880 x 0,03320) – (3,77970 x 3,59375)]
= 0,00726 – 13,58330 = - 13,57604
elemen 3.2 = - [( 8,45340 x 0,03320) – (0,21880 x 3,59375)]
= - 0,28065 – 0,78631= - 0,50566
elemen 3.3 = [(8,45340 x 3,77970) – (0,21880 x 0,21880)]
= 31,95132 – 0,04787 = - 31,90345
Dengan demikian, matriks ajoin C’WC =
10,43813 - 0,48500 - 13,57604 
- 0,48500 10,43257 - 0,50566


- 13,57604 - 0,50566 - 31,90345 
dan matriks inversi C’WC-1 diperoleh dengan mengalikan determinan matriks C’WC dengan matriks ajoin C’WC sebagai berikut:
elemen 1.1 = 1/39,34269 x 10,43813 = 0,26531
elemen 1.2 = 2.1 = 1/39,34269 x (- 0,48500) = - 0,01233
elemen 1.3 = 3.1 = 1/39,34269 x (- 13,57604) = - 0,34507
Pemuliaan Tanaman Konvensional 100
elemen 2.2 = 1/39,34269 x (10,43257) = 0,26517
elemen 2.3 = 3.2 = 1/39,34269 x (- 0,50566) = - 0,01285
elemen 3.3 = 1/39,34269 x (31,90345) = 0,81091
sehingga matriks inversi (C’WC)-1 adalah:
 0,26531 - 0,01233 - 0,34507 
-1
C’WC = - 0,01233 0,26517 - 0,01285


0,81091
- 0,34507 - 0,01285
Ke lima, hitung nilai-nilai m, [a], dan [d] dengan mengalikan nilai-nilai pada matriks inversi C’WC dengan matriks C’WY
atau (C’WC)-1 x (C’WY) seperti berikut:
C’WC-1
C’WY
0,26531
0,01233
0,34507
613
  ,226 

- 0,01233 0,26517 - 0,01285 34,066 



0,81091 284,085
- 0,34507 - 0,01285
sehingga diperoleh:
m = 0,26531 x 613,226 – 0,01233 x 34,066 – 0,34507 x 284,085
= 64,25
[a] = -0,01233 x 613,226 + 0,26517 x 34,066 – 0,01285 x 284,085
= 5,13
[d] = - 0,34507 x 613,226 – 0,01285 x 34,066 + 0,81091 x 284,085
= 19,20
Uji signifikansi nilai-nilai: m, [a], dan [d] dengan uji t-Student
sebagai berikut:
SE[m] = √0,26531 = ± 0,52  t = m/SE[m](db >100)
= 64,25/0,52 = 123 ***
SE[a] = √0,26517 = ± 0,52  t = [a]/SE[a] (db >100)
= 5,13/0,52 = 10***
SE[d] = √0,81091 = ± 0,90  t = [a]/SE[a] (db >100)
= 19,20/0,90 = 21***
Ke enam, dengan menggunakan nilai-nilai m, [a], dan [d] di
atas, tentukan nilai-nilai harapan (E, Ekspektasi) keenam generasi
sebagai berikut:
Pemuliaan Tanaman Konvensional 101
P1 = m + [a] = 64,25 + 5,13 = 69,38
P2 = m – [a] = 64,25 – 5,13 = 59,12
F1 = m + [d] = 64,25 + 19,20 = 83,45
F2 = m + 1/2[d] = 64,25 + ½(19,20) = 73,85
BC1.1 = m + 1/2[a] + 1/2[d] = 64,25 + ½(5,13) + ½(19,20)
= 76,42
BC1.2 = m – 1/2[a] + 1/2[d] = 64,25 – ½(5,13) + ½(19,20)
= 71,29
Ke tujuh, hitung Chi-square dengan formula berikut:
χ = ∑(Nilai Rerata Observasi–Nilai Rerata Harapan)2 x nilai rerata
varians terboboti.
= (69,44 – 69,38)2 x 1,6742 + …. + (71,28 -71,29)2
x 1,1010 = 0,47.
Dengan nilai χ2-hitung = 0,47 di atas pada derajad bebas 6-3 = 3,
ternyata berbeda tidak signifikan, berarti model yang diuji sesuai
dengan data hasil pengukuran.
2
e. Pendugaan nilai heritabilitas
Dicontohkan bahwa suatu persilangan kedua tetua diperoleh
data hipotetis nilai rerata dan ragam masing-masing famili menurut
jumlah individu setiap famili, disajikan pada Tabel 8.7.
Tabel 8.7. Data hipotetis nilai rerata dan ragam kedua tetua dan hasil
persilangan keduanya menurut jumlah individu masing-masing famili
Parameter
Rerata
Ragam
Jumlah individu
P1
93,39
1,21
40
Famili atau Generasi
P2
F1
F2
BC1.1
36,84 86,35 77,11 89,87
1,19 0,56
0,55
0,33
40
80
160
160
BC1.2
65,75
0,71
160
Dengan data yang disajikan pada Tabel 8.7 tersebut, maka
nilai heritabilitas dalam arti sempit (NS, narrow sense) menurut
Warner, (1952) adalah:
Pemuliaan Tanaman Konvensional 102
h 2 ( NS ) =
2
2
2σ F2 1 − (σ BC
1.1 + σ BC1.2 )
σ F2 2
H2(NS) = 2(0,56) – (0,33 – 0,71)/(0,55)
= (1,12) – (- 0,38)/(0,55)
= 1,50/0,55 = 2,73
2
sehingga h ( NS ) = 2,73.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai heritabilitas dalam arti sempit termasuk sedang menurut kriteria Stansfield
(1983).
f. Kemajuan genetik (Genetic advance)
Suatu populasi yang terdiri dari 100 individu tanaman kapas
hasil persilangan kedua tetuanya diperoleh nilai rerata umum berat
produksi sebesar 450 g per tanaman dengan simpangan baku
(standard deviation) sebesar 58,0 g per tanaman. Heritabilitas hasil
per tanaman adalah 60%, dan rerata 5% individu terbaik adalah 570
g per tanaman. Sementara itu, nilai k (indeks seleksi) sebesar 2,06
pada intensitas seleksi sebesar 5%. Dengan demikian, maka kemajuan genetik (KG) dari struktur populasi seperti di atas dapat
dihitung sesuai rumus Allard (1960) sebagai berikut.
KG = (k )( S F 2 )(h 2 NS )
sehingga KG = (2,06) x (58,0) x (0,60) = 71,69.
Angka KG di atas mengindikasikan bahwa kemajuan
genetik berada pada predikat tinggi menurut kriteria Karmana et al.
(1990). Oleh karena itu, penggunaan populasi dari generasi 5%
individu terpilih diperkirakan dapat meningkatkan rerata hasil
sebesar 450 + 71,69 = 521,69 g.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 103
Bab 9
PROSEDUR PERBANYAKAN DAN PELEPASAN
VARIETAS SERTA HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL
9.1. Pendahuluan
Pemulia tanaman mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengidentifikasi kultivar-kultivar yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pengambilan keputusan dalam menyediakan kultivar yang beradaptasi luas, perbanyakannya, dan penyebarannya ke penangkar benih akan melibatkan banyak tambahan
tenaga dan badan-badan yang bekerja dalam perbanyakan dan
penyebarluasan benih.
Prosedur pelepasan dan perbanyakan benih bervariasi
menurut jenis kultivar, penangkar yang akan memperbanyak dan
menyebarkan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sehubungan
dengan pelepasan dan perbanyakan benih. Demikian pula terdapat
perbedaan aturan dan ketentuan antar negara dalam pengawasan,
pelepasan dan distribusinya.
Dalam bagian ini akan diuraikan mengenai terminologi,
klasifikasi benih, dan prosedur perbanyakan, penyebaran, dan
sertifikasi benih.
9.2. Terminologi
Beberapa istilah yang berkaitan dengan tanaman dalam
mempelajari pemuliaan tanaman dikemukakan sebagai berikut:
(1) Varietas dan kultivar (cultivated variety) mempunyai arti yang
sama, yaitu sekelompok tanaman dengan sifat-sifat yang dapat
dibedakan, seragam dan stabil. Dapat dibedakan, berarti setiap
kultivar dapat dibedakan dengan satu atau lebih sifat-sifat morfologi, fisiologi, atau sifat-sifat lain dari varietas lainnya. Seragam, menunjukkan perbedaan antara tanaman pada kultivar
Pemuliaan Tanaman Konvensional 104
yang sama untuk karakter tertentu dengan varietas lainnya.
Stabil, adalah bahwa kultivar akan tetap tidak mengalami perubahan sedikitpun terhadap karakternya yang dapat dikenali
dan tetap seragam meskipun diperbanyak kembali.
(2) Klon adalah kultivar yang terdiri dari satu atau beberapa klon
yang sama yang diperbanyak secara tidak kawin.
(3) Varietas bersari bebas, yaitu varietas yang menyerbuk terbuka
terdiri dari tanaman menyerbuk silang yang diseleksi dengan
standar tertentu dan mempunyai variasi tetapi varietas ini
mempunyai satu atau beberapa sifat yang berdiferensiasi dari
kultivar lainnya.
(4) Varietas sintetis adalah kultivar yang diperoleh dari persilangan
secara bebas satu set klon atau galur-galur dari perbanyakan
benih. Keturunan pertama hasil saling-silang di atas disebut
varietas sintetis-1, dan keturunan kedua disebut varietas
sintetis-2, dan seterusnya.
(5) Galur adalah kultivar yang terdiri dari sekelompok tanaman
baik yang menyerbuk sendiri maupun menyerbuk silang yang
mempunyai latar belakang genetik luas, dan didefinisikan
secara teoritis mempunyai koefisien silsilah sebesar 0,87 atau
lebih (Kempthorne, 1957).
(6) Galur murni (pure line) adalah kultivar yang diperoleh melalui
silangsendiri (selfing) secara terkendali hingga beberapa generasi tanaman menyerbuk sendiri sehingga alel-alel dalam kromosom yang menyandikan suatu sifat relatif berada dalam
pasangan yang homozigot.
(7) Galur inbrida (inbrid line) adalah galur yang diperoleh melalui
silangsendiri hingga beberapa generasi tanaman menyerbuk
silang sehingga alel-alel dalam kromosom relatif berada dalam
pasangan yang homozigot.
(8) Varietas hibrida, adalah keturunan pertama yang dihasilkan dari
persilangan antara tetua galur murni atau galur inbrida melalui
pengendalian persarian. Varietas hibrida ini dapat diperoleh
dari: persilangan dua galur murni/inbrida (silang tunggal),
persilangan bertingkat antara tiga galur murni/inbrida (silang
tiga), dua silang tunggal (silang ganda), - satu galur murni atau
silang tunggal dengan satu varietas bersari bebas atau varietas
sintetik, dan dua klon, galur murni, kultivar, atau spesies.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 105
(9) Varietas komposit atau sering juga disebut sebagai populasi
persilangan komposit dihasilkan dari hibridisasi lebih dari dua
kultivar atau galur yang normalnya adalah tanaman yang menyerbuk sendiri, kemudian diperbanyak pada generasi lebih
lanjut dari populasi bersegregasi secara bulk pada lingkungan
yang spesifik sehingga seleksi alami berperan dalam menghasilkan perubahan genetik.
(10) Varietas atau galur campuran (multiline atau blend variety)
adalah kultivar atau galur yang terbentuk dari pencampuran
benih-benih dua atau lebih galur atau varieats yang mirip,
dalam arti mempunyai kemiripan karakter (near-isogenic
lines).
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No.72
tahun 1971, bahwa yang dimaksud dengan "benih" adalah segala
bahan tanaman untuk dikembangbiakkan baik berupa biji maupun
bibit. Dari batasan di atas jelaslah bahwa benih adalah semua bahan
tanaman yang diperuntukkan bagi pengembangbiakan tanaman,
bukan untuk tujuan konsumsi secara langsung. Oleh karenanya,
dalam pembentukan benih mendapat perhatian secara khusus dan
mengikuti prosedur dan ketentuan yang telah diatur sebelumnya
dan ditangani secara kelembagaan, bukan perorangan, kecuali
pemulia yang menciptakan benih awal dari varietas baru tertentu.
Benih bina adalah benih dari jenis dan/atau varietas
tanaman yang benihnya sudah ditetapkan untuk diatur dan diawasi
dalam pemasarannya berdasarkan peraturan yang berlaku. Setiap
benih yang akan diperdagangkan wajib diberi label pada wadahnya
dalam bahasa yang jelas dan dimengerti orang banyak pada tempat
yang mudah dilihat dan memuat:
(1) nama umum dari jenis dan varietas;
(2) nomor kelompok benih atau tanda pengenal;
(3) tempat asal (daerah tempat benih diproduksi);
(4) persentase (%) berat benih dari jenis dan/atau varietas yang
dilabel dalam kelompok benih (bagian ini disebut benih murni);
(5) persentase (%) berat benih dari jenis dan/atau varietas lain
dalam kelompok benih;
(6) persentase (%) berat biji rerumputan yang terdapat dalam
kelompok benih;
(7) persentase (%) berat kotoran benih dalam kelompok benih;
Pemuliaan Tanaman Konvensional 106
(8) persentase (%) daya tumbuh berdasarkan jumlah benih murni
dan persentase (%) biji keras berdasarkan jumlahnya;
(9) tanggal berakhirnya pengujian untuk mengetahui persentase
(%) daya tumbuh dan atau biji keras:
(10) nama dan alamat orang/badan hukum yang memberi label
atau yang menjual, menawarkan untuk dijual benih tersebut.
9.3. Klasifikasi benih
Di dalam sistem produksi benih, dikenal ada empat macam
benih menurut klasifikasinya, yaitu:
(1) benih penjenis (breeder seed), adalah benih atau material
membiak vegetatif (klon, umbi) yang dihasilkan oleh pemulia
dan instansinya, digunakan untuk menghasilkan benih dasar;
(2) benih dasar (foundation seed), adalah keturunan pertama dari
benih penjenis, identitas genetik dan kemurniannya tetap terjaga dengan baik, digunakan untuk menghasilkan benih benih
pokok;
(3) benih pokok (stock seed), adalah turunan dari benih dasar, identitas genetik dan kemurniannya tetap dipertahankan, digunakan
untuk menghasilkan benih sebar, dan
(4) benih sebar (extention seed), adalah keturunan dari benih pokok
yang digunakan langsung oleh petani untuk memproduksi
bahan makanan.
Ilustrasi susunan keempat kelas benih di atas disajikan pada
Gambar 9.1.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 107
BENIH PENJENIS
Breeder Seed
Dihasilkan di
Lembaga Penelitian
BENIH DASAR
Foundation Seed
Perbanyakan Benih
Penjenis Program Benih
BENIH POKOK
Registered Seed
Perbanyakan Benih Dasar
Petani Produser Benih
BENIH SEBAR
Sertified Seed
Perbanyakan Benih
Dasar/Pokok Produser Benih
Dijual ke Petani
Gambar 9.1. Hirarsi kelas-kelas benih hingga sampai di tangan petani
(Poehlman dan Sleper, 2006).
9.4. Prosedur perbanyakan, penyebaran dan sertifikasi benih
Benih-benih yang akan diperbanyak berasal dari benih
pokok atau keturunan dari benih dasar yang mempunyai identitas
genetik dan kemurnian yang tetap terjaga. Cara-cara menghasilkan
benih sebar atau benih bersertifikat harus memenuhi bebe-rapa
ketentuan berikut ini:
(1) dihasilkan dari benih pokok atau benih dasar;
(2) ditanam pada lahan yang bersih, bebas dari gulma atau tanaman
lain;
(3) ditanam pada lahan yang sebelumnya tidak ditanami varietas
lain;
(4) isolasi penanaman yang cukup baik guna mencegah terjadinya
penyerbukan silang dengan varietas lain;
Pemuliaan Tanaman Konvensional 108
(5) dihindari kemungkinan tercampur pada saat pembersihan maupun pengantongan benih;
(6) diberi label yang benar dan jelas menurut ketentuan yang telah
diuraikan di atas, dan
(7) pemeriksaan di lapangan maupun waktu pengolahan oleh instansi yang berwenang
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan
benih agar tetap berpedoman pada penjagaan identitas genetik dan
kemurnian varietas adalah:
- ditanam pada lahan yang bersih dari varietas lain dari tanaman
yang sama;
- lahan harus bebas dari gulma-gulma penting;
- penanaman harus pada lahan yang terisolasi dari varietas lain;
- ditanam pada tempat dengan tingkat kesuburan yang tinggi, dan
tindakan budidaya optimum;
- penjagaan khusus pada saat pembersihan maupun pengantongan
benih, agar jangan tercampur dengan varietas lain atau benih
tanaman lain;
- diperlakukan dengan fungisida guna memberantas penyakit yang
dibawa oleh benih, dan
- disimpan pada tempat yang sejuk dan kering agar daya kecambah
dapat dipertahankan.
Selanjutnya, sebelum varietas baru itu disampaikan kepada
petani hendaklah memenuhi beberapa ketentuan di bawah ini:
• dapat dibuktikan keunggulannya, melalui berbagai pengujian,
dibandingkan dengan varietas baku;
• diadakan pengujian multilokasi;
• dalam pengujian dilakukan pencatatan secara teliti untuk berbagai sifat, serta digunakan disain eksperimen yang tepat, dan
• dapat dibuktikan keunggulan dalam satu atau lebih sifat tertentu
(daya hasil, tahan rebah, tahan penyakit tertentu, dsb.), kemudian
diberi nama oleh pemulianya.
Penyebaran varietas kepada para petani hingga saat ini
belum merupakan masalah yang pelik oleh karena instansi-instansi
yang bekerja dalam sistem perbanyakan benih juga merupakan
lembaga yang sekaligus sebagai penjual benih. Oleh karena itu para
petani dapat secara langsung memperoleh benih yang diinginkan
baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 109
Mengenai sertifikasi benih, merupakan wewenang dari instansi pemerintah yang khusus menangani urusan sertifikasi benih.
Hal ini karena dalam sistem perbanyakan, penyebarluasan, dan
pembentukan varietas baru ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
(1) pemulia, (2) badan sertifikasi, dan (3) badan produksi komersil.
Pemulia tanaman bertanggungjawab dalam mengembangkan varietas baru, badan sertifikasi benih bertugas mengurus administrasi,
produksi, pemasaran, menjamin kemurnian benih dan menentukan
ukuran dari kualitas benih. Sedangkan produksi komersil adalah
tanggungjawab organisasi penangkar atau kelompok-kelompok
yang memperbanyak benih komersil.
Khusus untuk badan sertifikasi benih, melalui surat keputusan Menteri Pertanian RI. No. 460/Kpts/Org/XI/1971 sebagai
penjabaran dari KEPPRES No. 72 tahun 1971, menguraikan bahwa
tujuan dari sertifikasi benih adalah memelihara kemurnian dan
mutu benih dari varietas unggul, serta menyediakannya secara
berkesinambungan untuk petani. Sertifikasi benih juga dimaksudkan sebagai pelayanan terhadap produsen/penangkar benih dan
pedagang benih.
9.5. Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Bidang Pertanian
a. Pengertian
Hak Kekayaan Intelektual atau disingkat dengan HaKI
adalah kekayaan pribadi berupa: hak cipta dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak-hak pelaku, produser rekaman
suara, dan lembaga-lembaga penyiaran (copyright and related
right, that is, rights of performers, producers of sound recordings
and broadcasting organizations), merek (trade mark), indikasi
geografis (geographycal indications), desain industri (industrial
designs), paten (patents), desain rangkaian sirkit terpadu (layout
designs of integrated circuits), informasi rahasia termasuk rahasia
dagang dan data uji (undisclosed information including trade
secrets and test data), dan varietas tanaman baru (new plant
varieties), yang dapat dimiliki dan diperjualbelikan dan diperlakukan sama dengan bentuk kekayaan lainnya (Anonim, 2007). Dari
semua cakupan HaKI yang dikemukakan di atas, hanya hak paten,
Pemuliaan Tanaman Konvensional 110
dan varietas tanaman baru yang akan diuraikan dalam paparan
berikut karena keduanya berhubungan dengan pemuliaan tanaman.
b. Paten
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
kepada inventor atas hasil invensinya dibidang teknologi, yang
untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2001). Batasan di atas mengandung beberapa pengertian,
meliputi: inventor, invensi, dan pemegang paten.
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa
orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Sementara itu,
invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat
berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Selain itu, pemegang paten adalah
inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak
tersebut dari pemilik paten atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam daftar umum paten .
Invensi yang dapat diberi paten adalah invensi yang baru
mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri.
Suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut
bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik
merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Penilaian
bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada
pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan
dengan hak prioritas.
Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan
invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang dituangkan
sebelumnya. Pengertian teknologi yang dituangkan sebelumnya
adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar
Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan,
atau dengan cara lain yang memungkinkan seprang ahli untuk
Pemuliaan Tanaman Konvensional 111
melaksanakan invensi tersebut sebelum: tanggal penerimaan atau
tanggal prioritas.
Invensi yang tidak diberikan paten berupa: (1) proses atau
produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; (2) metode
pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang
ditetapkan terhadap manusia dan/atau hewan; (3) teori dan metode
di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, dan (4) semua mahluk
hidup, kecuali jazad renik, dan proses biologis yang esensial untuk
memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis
atau proses mikrobiologis.
Jangka waktu pemberian paten berlaku untuk 20 (dua
puluh) tahun sejak tanggal penerimaan yang tidak dapat diperpanjang bagi paten umum, dan untuk 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
penerimaan yang tidak dapat diperpanjang bagi paten sederhana.
Berbagai ketentuan yang mengatur mengenai paten, dapat dipelajari pada dokumen Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2001.
c. Varietas Tanaman Baru
Varietas tanaman baru adalah varietas tanaman yang diperoleh dari kegiatan pemuliaan tanaman, baik secara konvensional
melalui persilangan antara tanaman maupun secara inkonvensional
melalui budidaya jaringan secara in vitro dan rekayasa genetik
tanaman (plant genetic engineering) atau bioteknologi tanaman.
Aspek utama yang berkaitan dengan varietas tanaman baru adalah
perlindungan varietas tanaman atau tatacara pengajuan perlindungan varietas tanaman. Untuk hal ini akan dibahas pada bagian
berikutnya.
9.6. Tatacara Pengajuan Permohonan Perlindungan Varietas
a. Pengertian
Perlindungan varietas tanaman adalah perlindungan khusus
yang diberikan oleh negara, dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah
dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pusat Perlindungan Varietas
Tanaman (PPVT), terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh
Pemuliaan Tanaman Konvensional 112
pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Sementara
itu, hak perlindungan varietas tanaman (HPVT) merupakan hak
khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan atau pemegang
hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya
atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain
untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
b. Manfaat Hak PVT
Pemegang hak PVT berhak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk
menggunakan varietas berupa benih dan hasil panen. Hal tersebut
digunakan untuk kegiatan memproduksi/memperbanyak benih,
menyiapkan untuk tujuan propagasi, mengiklankan, menawarkan,
menjual/memperdagangkan, mengekspor, mengimpor dan mencadangkan untuk keperluan-keperluan tersebut.
c. Pengajuan Permohoan Hak PVT
Varietas yang dapat diberi PVT meliputi varietas dari jenis
atau spesies tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi
nama. Permohonan hak PVT diajukan secara tertulis kepada Pusat
PVT dengan menggunakan formulir permohonan hak PVT
dengan dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain mengisi formulir permohonan hak PVT, setiap
permohonan hak PVT harus dilengkapi dengan persyaratan berupa
deskrispi varietas baru, foto yang disebut dalam deskripsi yang
diperlukan untuk memperjelas deskripsinya dicetak berwarna di
atas kertas dof, dan persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Setiap permohonan hak PVT hanya dapat diajukan
untuk satu varietas dan semua persyaratannya dibuat dalam
rangkap dua.
d. Perlindungan Sementara
Perlindungan sementara diberikan kepada varietas yang dimohonkan hak PVT-nya setelah persyaratan permohonan dinyatakan lengkap dan biaya permohonan telah dibayar lunas. Perlindungan sementara berlaku sampai varietas tersebut dinyatakan
diterima/ditolak permohonan hak PVT-nya. Permohonan hak PVT
Pemuliaan Tanaman Konvensional 113
diajukan kepada Pusat PVT dengan membayar biaya sebesar Rp.
150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
e. Pengumuman Permohonan Hakp PVT
Pemohon yang telah memenuhi ketentuan akan diumumkan
dalam Berita Resmi PVT selama enam (6) bulan. Pengumuman
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat luas
dalam membantu memeriksa ada atau tidaknya pelanggaran atas
permohonan hak PVT.
Selama jangka waktu pengumuman, setiap orang atau badan
hukum setelah memperhatikan pengumuman permohonan hak PVT
dapat mengajukan secara tertulis pandangan atau keberatannya atas
permohonan hak PVT yang bersangkutan dengan mencantumkan
alasannya. Pandangan atau keberatan yang disampaikan setelah
lewat jangka waktu pengumuman tidak dapat diterima.
f. Pemeriksaan Substantif
Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak
PVT harus diajukan ke Pusat PVT paling lambat satu (1) bulan
setelah waktu berakhirnya masa pengumuman dengan membayar
biaya pemeriksaan. Pemeriksaan substantiif dilakukan oleh pemeriksa PVT, meliputi sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan
kestabilan varietas yang dimohonkan hak PVT.
Pemeriksaan substantif dilakukan maksimal dua puluh
empat (24) bulan terhitung sejak tanggal permohonan hak pemeriksaan substantif. Apabila diperlukan perpanjangan waktu pemeriksaan, Pusat PVT akan memberitahukan kepada pemohon dengan
disertai alasan dan penjelasan yang mendukung perpanjangan
tersebut.
g. Pemberian Hak PVT
Apabila hasil pemeriksaan substantif menyatakan bahwa
suatu varietas telah memenuhi persyaratan BUSS (Baru, Unik,
Seragam, dan Stabil), Pusat PVT memberikan Sertifikat Hak PVT
kepada pemohon. Hak PVT berlaku untuk dua puluh (20) tahun
untuk tanaman semusim, dan dua puluh lima (25) tahun untuk
tanaman tahunan. Jangka waktu hak PVT dihitung sejak tanggal
sertifikat hak PVT dikeluarkan.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 114
h. Penolakan Hak PVT
Apabila hasil pemeriksaan substantif menyatakan bahwa
suatu varietas tidak memenuhi persyaratan BUSS, atau permohonan ditarik kembali, Pusat PVT menolak permohonan hak PVT
disertai alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan
kepada pemohon.
Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan
banding berdasarkan alasan dan dasar pertimbangan mengenai halhal yang bersifat substantif yaitu kebaruan, keunikan, keseragaman,
dan kestabilan. Permohonan banding hanya dapat diajukan secara
tertulis kepada komisi banding PVT disertai uraian secara lengkap
keberatan terhadap penolakan permohonan hak PVT berikut
alasannya selambat-lambatnya tiga (3) bulan sejak tanggal pengiriman surat penolakan permohonan hak PVT dengan tembusan
kepada Pusat PVT.
i. Sanksi Pelanggaran Hak PVT
Barang siapa dengan sengaja menggunakan varietas tanaman yang telah diberi hak PVT tanpa persetujuan pemegang hak
PVT, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh (7)
tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah).
Secara skematis, prosedur pengajuan permohonan perlindungan varietas tanaman disajikan pada bagan alur Gambar 9.1.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 115
DAFTAR PUSTAKA
Alia, Y., A. Baihaki, N. Hermiati, dan Y. Yuwariah, 2004. Pola
pewarisan karakter jumlah berkas pembuluh kedelai.
Zuriat, 15(1): 24-30.
Allard, R. W., 1960. Principles of plant breeding, John Wiley and
Sons, New York.
Anonim, 2007. Essential Legislation 2007. Australia Indonesia
Partnership.
Bari, A., S. Musa, dan E. Sjamsuddin, 1976. Pengantar pemuliaan
tanaman. Depar-temen Agronomi Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Blum, A., 1988. Plant breeding for stress environmental. CRC
Press Inc. Boca Raton.
Browning, I.A., 1963. Teaching and applying the gene-for-gene
hypothesis for interactions in host parasite systems. Journal
La. Acad. Sci., 70: 120-125.
Burnham, C.R., 1902. Dicussion in cytogenetics. Burgess Publ.
Comp., Minneapolis.
Chahal, G.S. dan S.S. Gosal, 2002. Principles and procedures of
plant breeding. Biotechnological and conventional
approaches. Alpha Science International Ltd. Pangbourne.
Cockerham, C.C., 1963. Estimation of genetic variances. Dalam:
Statistical Genetics and Plant Breeding, Hanson, W.D., dan
H.F. Robinson (eds.). National Academy of Sciences–
National Research Council, Washington, D.C.
Cocking, E. C., 1978. Protoplast culture and somatic hybridization.
Dalam: Proceeding of symposium on plant tissue culture.
Petman Advanced Publishing Program, Boston, London,
Melbourne, p: 255 - 263.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 117
Crowder, L. V., 1986. Genetika tumbuhan. Diterjemahkan oleh Ir.
Lilik Kusdiarti, M.Sc., dan editor oleh Ir. Soertarso, M.Sc.,
Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta.
Darjanto dan Siti Satifah, 1984. Biologi bunga dan teknik
penyerbukan silang buatan. PT. Gramedia, Jakarta.
Das, M.K., dan C.A. Griffey, 1994. Heritability and number of
genes governing adult-plant resistance to powdery mildew
in houser and redcoat winter wheat. The American
Phytopathology of Society, 84(4): 12-17.
Denisen, E.L., 1967. Principles of horticulture. The Macmillan
Company, New York.
Esquinas-Alcazar, J.T., 1993. Plant genetic resources. Dalam:
Hayward, M.D., N.O. Bosemark, dan I. Romagosa, (eds.).
Plant breeding. Principles and Prospects. Chapman and
Hall. London.
Evans. L.T., 1993. Crop evolution, adaptation and yield.
Cambridge University Press.
Falconer, D.S., 1989. Introduction to quantitative genetics. 3rd edn.,
Longman, Burnt Mill.
Fehr, W.R., 1993. Principles of cultivar development. Vol. l.
Theory and Technique. Macmillian Publishing Company,
New York.
Fisher, R.A., 1918. The correlation between relatives on the
supposition of Mendelian inheritance. Trans. Royal Society
Edinburg, 52: 399-433.
Flor, H.H., 1956. The complementary genic systems in flax and
flaxrust, Adv. Genet., 8:29-54.
Griffing, B., 1950. An analysis of quantitative gene action by
constant parent regres-sion and related techniques.
Genetics, 35: 303-321.
Halloran, G.M., 1979. Breeding of self pollinated crops. Dalam:
Halloran, G. M., R. Knight, K.S. McWhirter, dan H.B.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 118
Sparrow (eds.). Plant breeding. Poly-Graphics Pty., Ltd.,
Brisbane.
Harlan, J.R., 1971. Agricultural origins: centers and noncenters.
Science, 174:468- 474.
Harlan, J.R., dan J.M.J. de Wet, 1971. Towards a rational
classification of cultivated plants. Taxon, 20: 509-517.
Hartman, H.T. dan D.E. Kester, 1975. Plant propagation. principles
and practices. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New
Jersey.
Haryanto, T.A.D., R. Setiamihardja, A. Baihaki, dan S.
Djakasutami, 1994. Pola pewarisan sifat, pengaruh tetua
betina, dan heritabilitas toleransi tanaman kedelai terhadap
tanah masam. Zuriat, 5(1): 50-55.
Hayward, M. D., dan E.L. Breese, 1993. Population structure and
variability. Dalam: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, dan I.
Romagosa, (eds.). Plant breeding. Principles and Prospects.
Chapman and Hall. London.
Jennings, P.R., dan J.H. Cock, 1977. Centres of origin of crops and
their productivity. Econ. Bot., 31:51-54.
Jinks, J.L. dan R.M. Jones, 1958. Estimation of the genetic
components of heterosis. Genetics, 43: 223-234.
Karmana, M.H., A. Baihaki, G. Satari, T. Danakusuma, dan A.H.
Permadi, 1990. Variasi genetik sifat-sifat tanaman bawang
putih di Indonesia. Zuriat 1: 32-36.
Kearsey, M.J., dan H.S. Pooni, 1998. The genetical analysis of
quantitative traits. Stanley Thornes (Publishers) Ltd.
Kempthorne, O., 1957. An introduction to genetic statistics. John
Willey and Sons. New York.
Kepmentan R.I. No. 460, tentang Badan Sertifikasi Benih.
Keppres No. 72 Tahun 1971, tentang Perbenihan Nasional.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 119
Knight, R., 1979. Quantitative genetics, statistics, and plant
breeding. Dalam: R. Knight (ed.). Plant Breeding,
A.A.U.C.S.
Kuckuck, H., G. Kobabe, dan G. Wenzel, 1991. Fundamentals of
plant breeding. Springer Verlag, Berlin, Heidelberg, New
York, London, Paris, Tokyo, Hongkong, Barcelona,
Budapest.
Kuspira, J. dan R. Bhambhani, 1994. Compendium of problems in
genetics. WCB Wm. C. Brown Publishers. Dubuque, Iowa,
Melbourne – Australia, Oxford, England.
Larsten, N.R., 1980. Reproduction and seed development. Dalam:
Fehr, R.W. dan H.H. Hadley, (eds.). Hybridization of crop
plants. American Society of Agronomy, Madison,
Wisconsin.
Makmur, A., 1985. Pokok-pokok pengantar pemuliaan tanaman.
Bina Aksara. Jakarta.
Mather, K., dan J.L. Jinks, 1971. Introduction to biometrical
genetics. Cornell University Press Ithaca, New York.
Miller, D.R., R.M. Waskom, M.A. Brick dan P.L. Chapman, 1991.
Transferring in vitro technology to the field.
Bio/Technology. 9:143-146
Murty, U.R., 1991. Apomixis: Achievements, problems and future
prospects. Pp.35-51. Dalam: Mandal, A.K., P.K. Ganguli,
dan S.P. Banerjee (Eds.) Advances in Plant Breeding, Vol.
II. CNBS Publishers and distributors.
Petr, F.C. dan K.J. Frey, 1966. Genotypic correlations, dominance,
and heritability of quantitative characters in oats. Crop
Science, 6: 259-262.
Poehlman, J.M., 1982. Breeding field crops. (2nd.edn.). AVI
Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut, New
York.
Poehlman, J. M. dan D.A. Sleper, 1995. Breeding field crops. John
Wiley and Sons, New York.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 120
Poehlman, J. M. dan D.A. Sleper, 2006. Breeding field crops. John
Wiley and Sons, New York.
Rowe, K.E., dan W.L. Alexander, 1980. Computations for
estimating the genetic parameters in joint-scaling tests.
Crop Science, 20: 109-110.
Simmonds, N.W., 1962. The evolution of the bananas. Longman,
London.
Stackman, E.C., 1957. Principles of plant pathology. The Ronald
Press Co., New York.
Stansfield, W.D., 1983. Theory and problem of genetics. 2nd eds.,
Schaum’s Outline Series. Mc Graw-Hill Inc. pp. 417.
Stell, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1980. Principles and procedures
statistics. McHill. Tokyo.
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2001 Mengenai
Paten.
Vanderplank, J.E., 1984. Disease resistance in plants. 2nd ed.,
Academic Press New York and London.
Vavilov, N.I., 1926. Studies on the origin of the cultivated plants.
Bull. Appl. Bot. Plant Breeding, 16: 139-245.
Wahdah, R., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmana,
1996. Pewarisan laju akumulasi bahan kering pada biji
kedelai. Zuriat, 7(2): 57-63.
Warner, J.N., 1952. A method of estimating heritability. Agronomy
Journal, 44: 427-430.
Wright, S., 1920. Evolution and the genetics of populations. I.
Genetic and biometric foundations. University of Chicago
Press, Chicago.
Zeven, A.C. dan L.M.J. de Wet, 1982. Dictionary of cultivated
plants and their regions of diversity. (3rd. ed.). Pudoc,
Wageningen.
Zeven, A.C. dan P.M. Zhukovsky, 1975. Dictionary of cultivated
plants and their centres of diversity. Pudoc, Wageningen.
Pemuliaan Tanaman Konvensional 121
INDEKS
adaptasi, 7, 8, 9, 76
aklimatisasi, 59
allopoliploidi, 79
androgenetic technique, 53
anther, 3
antibiosis, 69
apomic, 15
autopoliploidi, 79
budding, 27, 28
bulb, 22, 23, 62
cell suspension, 29
chimera, 60, 62, 76
cleistogamous-flowers, 31
completely homozygous, 77
continuous variation, 81
corm, 22, 23
cross pollinated crops, 19
cross pollination, 62
crossing over, 16
cytohybrids, 6
Diallel Selective Mating
System, 42
dioecy, 45
diploid, 15, 18, 61, 74, 77, 78,
79
donor, 41, 72
double crosses hybrid, 54
facultative apomicts, 64
faktor abiotik, 8
faktor biotik, 8
full sib mating, 52
galur murni, 35, 36, 49, 52, 53,
55, 81, 86, 87, 95, 105
gene-pool, 11
grafting, 27
Haploidisasi, 77
heritability, 89, 120, 121
heterosis, 46, 47, 53, 55, 64, 119
hibridisasi, 33, 38, 42, 47, 52,
53, 59, 60, 71, 73, 106
high parent heterosis, 46
hybrid vigor, 46, 61
hybrid-vigor phenomenon, 52
hypersensitivity, 69
in vitro, 6, 12, 22, 24, 29, 52, 53,
59, 64, 77, 78, 112, 120
inbred vigor, 46
inbreeding, 46, 50, 52
inbreeding depression, 46, 50,
52
intercrossed, 52
introduksi, 47, 59
isolasi, 126
kemajuan genetik, 89, 90, 103
keragaman genetik, 2, 3, 9, 11,
21, 48, 52, 60, 61, 62, 126
klon, 55, 56, 59, 60, 61, 105,
107
kultivar, 3, 6, 30, 33, 34, 35, 38,
70, 77, 80, 104, 105, 106
kultur protoplas, 5
layerage, 25, 26
line breeding, 48
maintainer line, 55
male sterility, 19, 21, 45, 55
mass selection, 48
mericlinal chimera, 62
microspores, 6, 17, 53
mid-parent heterosis, 46
miosis, 15, 16, 17
mitosis, 15, 16, 17
monoecy, 45
multiline breeding, 43
mutasi alami, 75
mutasi buatan, 75
non-preference, 69
Pemuliaan Tanaman Konvensional 122
offsets, 22
ovule, 6, 29
pemuliaan silangbalik, 38, 41
perfect flowers, 31
persilangan, 3, 4, 5, 6, 11, 28,
31, 33, 40, 41, 48, 50, 52, 53,
55, 56, 61, 62, 66, 71, 72, 74,
77, 78, 79, 81, 82, 86, 87, 89,
90, 91, 92, 94, 95, 102, 103,
105, 106, 112, 126
persilangan XE "persilangan"
resiprok, 82
plant genetic engineering, 112
pollen tube, 18
primary gene-pool, 11
progeny selection, 48
propagasi, 113
protoplast fussion, 6
pure line, 105
random mating population, 81
recipient, 41
recurrent selection, 48
resistance, 70, 118, 121
restorer line, 55
rhizome, 22, 24
screening, 71, 72, 73
secondary gene-pool, 11
segregasi, 4, 44, 48, 55, 61, 62,
83, 92, 126
seleksi, 3, 4, 16, 33, 34, 35, 36,
37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45,
47, 48, 49, 50, 51, 53, 59, 60,
61, 63, 71, 73, 77, 80, 90,
103, 106, 126
seleksi bulk, 40
seleksi galur murni, 33, 35, 36,
37
seleksi massa, 33, 34, 35, 42, 48,
77
seleksi pedigree, 38, 39
self incompatibility, 19, 20
self pollinated crops, 19, 118
self pollination, 20
selfing, 6, 50, 52, 61, 87, 105
sexual hybridization, 62
single cross hybrid, 53
single plant selection, 48
Single Seed Descend, 35
sitogenetik, 5
somaclonal variation, 12
somatic hybridization, 6, 117
stolon, 22, 24
teknik haploid, 6, 74, 78, 80
teknik mutasi, 5, 61, 62, 64, 74,
75, 78, 80
tertiary gene-pool, 11
three ways crosses hybrid, 53
tolerance, 69, 70
triploid, 17, 61, 74, 79
tuber, 22, 24
varietas hibrida, 7, 21, 22, 38,
49, 52, 53, 54
varietas sintetis, 47, 50, 55, 56,
57, 105
variety blend, 43
vybrid, 64
Pemuliaan Tanaman Konvensional 123
ISBN 978-602
-17 17
6-3-9
Download