'ii i:l:rr.ij:.:,i:irSli:J:!rrl:r:::iiii o'-. i :1rr: rt\i:.:.:$:i,rri,r|.r.iti :tr. r... i .r: ;i.riii.liilr.rr.lrl\|i.' r,l : !ti*i*:iintliliiriii:, nMMffiffiY Disusun Oleh: llr. It $uai[, ilI.$G.A0riG lln lr, Il. I Gusti Ray $ailimanlara, il|"flUl l .r Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pemuliaan Tanaman Pemuliaan tanaman adalah cabang ilmu hayat (biologi) yang memadukan seni dan ilmu dalam memperbaiki pola genetik tanaman. Sebagai ilmu terapan pemuliaan tanaman merupakan pengetahuan yang menggunakan prinsip-prinsip Botani, Genetika, Bioteknologi, Agronomi, Hortikultura, Statistika, Komputer, Fisiologi Tumbuhan, Patologi Tumbuhan, Entomologi, dan Biokimia Tumbuhan (Poehlman dan Sleper, 2006) dalam pengembangannya. Bahkan dengan keberhasilan memadukan dengan teknologi, melahirkan bioteknologi tanaman yang menempatkan sebagai salah satu cabang botani yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hubungan Pemuliaan Tanaman dengan ilmu-ilmu lain dimasud sebagaimana dikemukakan pada Gambar 1.1. Biokimia Tanaman Botani Ilmu Hama Genetika/ Bioteknologi PEMULIAAN TANAMAN Agronomi/ Hortikultura Ilmu Penyakit Fisiologi Tanaman Statistika/ Komputer Gambar 1.1. Hubungan Pemuliaan Tanaman dengan ilmu-ilmu lainnya (Poehlman dan Sleper, 2006). Pemuliaan Tanaman Konvensional 1 Terdapat enam bidang kegiatan yang memberi ciri pemuliaan tanaman sebagai ilmu terapan yaitu: (1) menimbulkan keragaman genetik, (2) melakukan isolasi; (3) membuat perkawinanperkawinan; (4) melakukan pengujian dan penilaian; (5) memperbanyak, dan (6) menyebarluaskan. Empat kegiatan pertama dapat dilakukan secara bersiklus, sedangkan dua kegiatan lainnya merupakan kegiatan lebih lanjut setelah penemuan bahan tanaman baru yang mempunyai sifat-sifat unggul yang diinginkan. Secara skematis, keenam ruang lingkup kegiatan dalam pemuliaan tanaman diilustrasikan dalam Gambar 1.2. Menimbulkan keragaman genetik Pengisolasian Pengujian dan penilaian Perkawinan/persilangan Perbanyakan Penyebarluasan Gambar 1.2. Skema ruang lingkup pemuliaan tanaman (Bari et al., 1976). Adanya keragaman genetik yang tersedia dalam populasi tanaman merupakan syarat mutlak untuk terselenggaranya kegitan pemuliaan tanaman. Tanpa keragaman genetik ini kegiatan pemiPemuliaan Tanaman Konvensional 2 lihan individu tanaman yang mempunyai perbedaan dengan individu lainnya tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, perbedaanperbedaan antara individu tanaman dalam suatu populasi awal dalam kegiatan pemuliaan tanaman mutlak diperlukan. Keragaman genetik ini dapat diperoleh secara konvensional melalui hubungan perkawinan-perkawinan antar tanaman yang terjadi baik secara alami maupun secara buatan. Kegiatan memisahkan individu tanaman yang memiliki sifat atau sifat-sifat baik dari individu tanaman lainnya disebut isolasi atau seleksi. Mengingat pentingnya menjaga kemurnian sifat atau sifat-sifat baik dari suatu individu tanaman dari sifat yang kurang baik dari individu tanaman lainnya, maka isolasi mutlak dilakukan. Dengan demikian, maka upaya mempertahankan satu sifat unggul atau lebih dari satu atau beberapa individu tanaman perlu dilakukan. Individu-individu tanaman yang telah dimiliki dalam kegiatan isolasi dapat diperlakukan dalam dua kegiatan, yaitu membuat perkawinan (persilangan) di antara individu tanaman yang memiliki sifat unggul, dan dengan melakukan pengujian dan penilaian individu-individu tanarnan yang unggul tersebut. Kegiatan pertama merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan keragaman genetik sebagaimana yang diperlukan pada tahap pertama dalam kegiatan pemuliaan tanaman, sedangkan kegiatan ke dua merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan individu tanaman yang diandalkan untuk dijadikan varietas baru setelah dilakukan beberapa tahap pengujian lebih lanjut. Individu tanaman unggul yang diperoleh dari hasil pengujian pada tahap ini dapat dilanjutkan untuk kegiatan perbanyakan dan penyebarluasan kultivar baru, sedangkan yang lainnya dapat digunakan sebagai bahan persilangan atau perkawinan untuk membentuk individu tanaman baru dengan kombinasi konstitusi genetik yang baru pula. 1.2. Sejarah Perkembangan Pemuliaan Tanaman Titik tolak perkembangan pemuliaan tanaman dimulai sejak tahun 1676, ketika untuk pertama kalinya Millington mengemukakan fungsi kepala sari (anther) dan Grew mengemukakan fungsi Pemuliaan Tanaman Konvensional 3 bakal biji (ovary) dan tepung sari (pollen grain). Delapan belas tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1684, Camerarius mendemonstrasikan alat kelamin pada tanaman. Sejak saat itulah sejarah pemuliaan tanaman mengalami perkembangan, dimana dalam setiap periode perkembangan ditandai dengan penemuanpenemuan yang khas. Secara bertahap, Smith (1967) menguraikan kronologi perkembangan pemuliaan tanaman dalam enam periode, yaitu: periode pertama, hingga tahun 1800, ditandai dengan penemuan fungsi kepala sari oleh Millington, dan fungsi bakal biji dan tepung sari oleh Grew, serta pendemonstrasian alat kelamin oleh Camerarius. Periode ke dua, 1800-1850. Periode ini ditandai penemuan inti sel oleh Brown dalam tahun 1831, landasan teknik plot dan genetika kuantitatif juga telah dikemukakan. Sejumlah ahli telah menggunakan seleksi dan persilangan untuk tujuan perbaikan tanaman, sedangkan penelitian mengenai sel semakin intensif yang pada akhirnya teori-teori mengenai sel diusulkan oleh beberapa peneliti lainnya seperti Schleiden (1837) dan Schwann (1838). Periode ke tiga, 1851-1900. Periode ini mengalami perkembangan yang pesat setelah Strasburger memaparkan secara lengkap mengenai inti sel pada tahun 1875 yang disusul dengan pengusulan isitilah gamet dan kromosom tahun 1877, serta Waldeyer tahun 1888. Penemuan kembali dan penggunaan penemuan Mendel mengenai percobaan persilangan Pisum merupakan tonggak prinsipprinsip pemuliaan tanaman. Periode ke empat, 1901-1920; ditandai dengan penggunaan Hukum Mendel dalam penelitian genetika (Genetics), genetika sel (Cytogenetics) dan pemuliaan tanaman (Plant Breeding). Pengusulan istilah allellomorph, homozigot, F1 dan F2 oleh Batesson dalam tahun 1900. Penemuan Segi empat Punnett dalam menduga kombinasi-kombinasi konstitusi genetik keturunan dari hasil persilangan tanaman yang diusulkan oleh Batesson dan Punnett tahun 1902. Pengusulan istilah genetik oleh Batesson dalam tahun 1906, genom untuk sepasang kromosom oleh Winkler, dan heterosis atau ketegapan hibrida oleh Shull, masing-masing dalam tahun 1916. Sedangkan pada tahun 1912, Harris mengusulkan penggunaan Chi-square untuk pengujian perbandingan segregasi. Pemuliaan Tanaman Konvensional 4 Periode ke lima, 1921-1940. Tiga kejadian utama yang menandai periode ini adalah: (1) penelitian sitogenetik oleh Nishiyama tahun 1929, (2) penemuan colchicine sebagai bahan mutagen oleh Dastin tahun 1934, dan (3) pengusulan dan penggunaan hubungan biometrik antara tetua dan keturunannya oleh Wright tahun 1921, serta pengusulan dan penggunaan rancangan percobaan, dan metoda analisis ragam oleh Love dalam tahun 1936. Periode ke enam, 1941 - sekarang. Periode ini diawali dengan penelitian sitogenetik pada tanaman wheat oleh Sears tahun 1948, aneuploid pada wheat pada tahun 1954, genetika padi oleh Nagao (1954) dan Morinaga (1956), genetik dan sitogenetik lengkap tanaman padi oleh Chang dalam tahun 1964. Banyak sekali perubahan yang telah dicapai dalam berbagai aspek pemuliaan tanaman hingga saat ini. Termasuk dalam pengintegrasian teknik-teknik khusus seperti teknik mutasi, kultur jaringan, kultur organ, dan kultur sel tanaman, serta kultur protoplas yang meliputi persilangan tanaman pada tingkat seluler telah maju lebih jauh hingga melahirkan pemuliaan tanaman moderen atau bioteknologi tanaman. Apabila ditilik perkembangan pemuliaan tanaman akhirakhir ini yang sangat pesat khususnya pemuliaan inkonvensional, maka selayaknya kalau periode ke enam hanya dibatasi hingga pada tahun 1959. Hal ini karena pada tahun 1960, Cocking berhasil menemukan dan mengisolasi enzim pelumat dinding sel tanaman. Enzim ini diisolasi dari sejenis jamur tanah yang terdapat pada akar pohon yang dapat mendegradasi selulosa dan hemiselulosa sebagai komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Dari penemuan di atas, mendorong diawalinya dan semakin berkembangnya budidaya sel telanjang (protoplast), dimana protoplas merupakan suatu obyek penelitian genetika dan pemuliaan tanaman yang sangat banyak digunakan oleh para peneliti. Selain penemuan enzim pelumat dan keberhasilan menjadikan sel tidak berdinding, penelaahan kembali penemuan Blakeslee mengenai haploid pada tanaman Datura innoxia pada tahun 1923 juga mewarnai perkembangan pemuliaan tanaman yang sangat pesat. Hal ini karena teori haploid sangat aplikatif dalam pemuliaan tanaman secara konvensional khususnya dalam merakit tanaman Pemuliaan Tanaman Konvensional 5 yang homozigus sempurna dalam waktu yang sangat singkat. Dengan demikian, maka cara silangdiri (selfing) yang umum digunakan pada pembentukan ga1ur murni dapat disubstitusi dengan teknik haploid secara in vitro. Pemanfaatan lain konsep haploid melalui kultur androgenesis (anthers, microspores) dan kultur partenogenesis (ovule) secara in vitro, juga dapat digunakan sebagai obyek untuk modifikasi genetik baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat molekular dan DNA. Dari penemuan enzim pelumat dinding sel tanaman dan penelaahan kembali konsep haploid, melahirkan kegiatan modifikasi genetik (genetic modification) yang sangat pesat melalui cara transformasi DNA (DNA transformation), persilangan somatis (somatic hybridization), fusi protoplas (protoplast fussion) atau persilangan tingkat seluler (cytohybrids). 1.3. Sumbangan Pemuliaan Tanaman Terhadap Kemajuan Pertanian Pada awalnya, penggunaan beragam varietas lokal tanaman masih dapat memenuhi kebutuhan manusia pada kurun waktu tertentu di masa lalu. Akan tetapi pertumbuhan penduduk yang bertambah secara deret ukur menurut Malthus, menyebabkan penggunaan bahan makanan pokok dari kultivar 1oka1, sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan dimaksud sehingga memerlukan upaya yang tepat untuk memecahkan persoalan tersebut. Faktor utama dan pertama yang perlu diperbaiki dari kultivar lokal adalah mengupayakan agar kuantitas hasilnya dapat ditingkatkan. Selanjutnya upaya menemukan varietas baru yang mempunyai kemampuan berproduksi yang lebih tinggi dari varietas lokal adalah alternatif lain yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pemuliaan tanaman memegang peranan untuk mencapai tujuan ini. Di berbagai belahan bumi ini, orang-orang tidak akan memungkiri bahwa sumbangan pemuliaan tanaman terhadap kemajuan pertanian, utamanya dalam meningkatkan hasil tanaman (kuantitas dan atau kualitas) per satuan luas penanaman tertentu setiap sekali panen, adalah sangat nyata. Bahkan, penambahan frekuensi panen dalam setiap tahun dapat ditingkatkan dengan mengubah kebiasaan tanaman menyelesaikan siklus hidupnya dari Pemuliaan Tanaman Konvensional 6 waktu yang lebih panjang (umur dalam) menjadi lebih singkat (umur genjah). Prestasi ini dicapai pada beberapa tanaman utama seperti jagung, padi, umbi-umbian, dan biji-bijian lainnya dari kelompok tanaman kacang-kacangan, termasuk peningkatan kandungan gizi dan minyak dari tanaman tertentu. Lebih lanjut, dengan keberhasilan mengawinkan tanaman dari spesies yang berkerabat jauh mendorong lahirnya varietas hibrida yang memanfaatkan jantan mandul (padi dan jagung) dengan kemampuan produksi secara kuantitas sebesar lebih dari 100% kenaikan hasil dibanding dengan produksi masing-masing kedua tetuanya. Hal ini semakin mengokohkan kedudukan pemuliaan tanaman sebagai cabang pengetahuan yang sangat memajukan pencapaian sasaran hasil tanaman secara optimal. Apalagi dengan keberhasilan bidang rekayasa genetika tanaman, membawa cabang botani ini menjadi sangat penting dalam pembangunan di bidang pertanian. 1.4. Penyebaran dan Adaptasi Tanaman Penyebaran dan adaptasi tanaman merupakan dua peristiwa penting yang memungkinkan terjadinya hubungan timbal batik antara manusia termasuk hewan dengan tanaman. Di satu sisi, tanaman merupakan sumber kebutuhan utama bagi manusia dan hewan, di sisi lainnya perpindahan (penyebaran) suatu tanaman diantaranya dapat disebabkan oleh tindakan manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja. Hingga saat ini telah mencapai ribuan spesies tanaman yang dimanfaatkan oleh manusia, baik untuk bahan pangan maupun untuk bahan papan. Namun demikian, khusus untuk bahan pangan terdapat indikasi bahwa jumlah jenis tanaman tersebut mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Penurunan ini terjadi akibat semakin bertambahnya kebutuhan manusia karena pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan penghancuran secara langsung maupun secara tidak langsung habitat tanaman untuk kepentingan di luar pembudidayaan tanaman. Apabila disimak arti penyebaran, terlihat bahwa suatu tanaman akan berpindah dari tempat/habitat tumbuhnya semula ke tempat/habitat tumbuhnya yang baru. Perpindahan tersebut dapat Pemuliaan Tanaman Konvensional 7 terjadi karena ulah manusia, baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Perpindahan secara sengaja dapat terjadi karena: (a) adanya perpindahan (migrasi) penduduk dari suatu tempat ke tempat lain; perpindahan penduduk seperti ini biasanya disengaja untuk mencari daerah baru yang subur dan pada saat itu para imigran akan membawa tanaman dari tempat asal mereka ke tempat yang baru, (b) adanya koleksi (ekspedisi) dan perdagangan yang diartikan sebagai adanya eksplorasi dan pengiriman hasil eksplorasi tersebut berupa contohcontoh tanaman baru untuk dibudidayakan di tempat baru sehingga biaya pengangkutan dan biaya lainnya dari tempatnya yang jauh dapat ditekan sekecilkecilnya, dan (c) adanya pembudidayaan besar-besaran yaitu melalui perkebunan tanaman tertentu. Sementara itu perpindahan tanaman oleh manusia secara tidak sengaja dapat berupa terikutnya bebijian tertentu yang ukurannya relatif kecil pada alat-alat pertanian ketika keluarga petani berpindah ke tempat baru. Akan tetapi suatu tanaman juga dapat berpindah tempat bukan karena ulah manusia, yaitu secara alamiah melalui perantaraan binatang liar dan hewan ternak, air, angin, dan karena peristiwa alam lainnya. Pertanyaan berikutnya adalah ternyata bahwa tanaman tersebut dapat tumbuh dan berproduksi di tempat tumbuhnya yang baru. Peristiwa tumbuh dan berproduksinya suatu tanaman pada habitat barunya dikenal sebagai adaptasi. Oleh Evans (1993) dan Hayward dan Breese (1993) mengemukakan bahwa adaptasi tanaman adalah kemampuan suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi pada suatu tempat dengan tingkat toleransi yang optimal terhadap faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa gangguan terhadap hama dan penyakit, sedangkan faktor abiotik berupa tekanan lingkungan pertumbuhan makro seperti variasi iklim, dan lingkungan pertumbuhan mikro seperti kondisi hara dan air pada daerah perakaran, dan lingkungan di atas tanah antara individu tanaman. Timbulnya adaptasi tanaman karena dua hal (Simmonds, 1962; Jennings dan Cook, 1977), yaitu: (1) tanaman yang tumbuh di tempatnya yang baru tidak diserang oleh hama dan penyakit yang berevolusi dengan tanaman bersangkutan, dan (2) perubahan teknik budidaya yang diterapkan di tempat yang baru. Pada hal yang ke dua terdapat kemungkinan bahwa pada tempat yang baru Pemuliaan Tanaman Konvensional 8 tanaman bersangkutan mendapat teknik budidaya yang intensif, pada hal di tempat asalnya tanaman hanya dibudidayakan secara tradisional, atau sebaliknya. Dalam kaitan dengan adaptasi tanaman, terdapat dua jenis adaptasi, yaitu: (1) adaptasi umum, dan (2) adaptasi khusus. Pengertian adaptasi umum adalah bahwa suatu tanaman pada mulanya hanya tumbuh pada daerah dengan luasan yang terbatas. Akan tetapi dengan adanya pergerakan/perpindahan tanaman (penyebaran), tanaman tersebut telah dapat ditemukan tumbuh dan berproduksi dengan baik pada daerah yang sangat luas. Contoh tanaman yang beradaptasi umum adalah padi (Oryza sativa L.) dan jagung (Zea mays L.). Sebaliknya, terdapat sejumlah tanaman yang tumbuh dan berproduksi dengan baik hanya pada daerah tertentu yang tidak dapat ditemukan pada daerah lainnya. Adaptasi yang terakhir ini disebut tanaman yang beradaptasi khusus. Contoh tanaman yang beradaptasi khusus adalah pohon lontar (Borassus sp). Berdasarkan hasil studi Vavilov (1926) mengemukakan bahwa pusat asal mula sebagian besar tanaman budidaya yang kita kenal sekarang berasal dari berbagai tempat. Dengan menggunakan kriteria adanya keragaman genetik yang besar bagi suatu tanaman, maka Vavilov membagi delapan pusat penyebaran spesies tanaman. Akan tetapi, dengan adanya berbagai bukti yang melemahkan hasil studi Vavilov pada tahun 1975, Zeven dan Zhukovsky, dan Zeven dan de Wet (1982) memperbaiki hasil studi Vavilov dengan membagi 12 pusat penyebaran tanaman budidaya dengan istilah “Pusat Genetik Besar dan Kecil” tanaman budidaya (mega- and micro-gene centres of cultivated plants). Keduabelas pusat penyebaran tanaman budidaya dimaksud sebagaimana disajikan pada Tabel 1.1. Pemuliaan Tanaman Konvensional 9 Tabel 1.1. Duabelas wilayah pusat penyebaran sebagian tanaman budidaya utama menurut Zeven dan Zhukovsky (1975), dan Zeven dan de Wet (1982) (Esquinas-Alcazar,1993) No. Wilayah 1. Cina-Jepang Nama Tanaman Kedelai, jeruk (Orange), leci, bambu, rami, teh, dll. 2. IndocinaPadi, mangga, pisang, rambutan, durian, Indonesia lemon (Lime), bambu, sagu, jahe, kelapa, cengkeh, uwi, talas, dll. 3. Australia Eucaliptus, Acacia, Macadamia nut, dll. 4. Hindustan Padi, uwi, talas, jeruk, pisang, mangga, kapas, jahe, tebu, lada hitam, dll. 5. Asia-Tengah Gandum, bawang merah, bawang putih, bayam, pir, melon, apel, wortel, dll. 6. Timur-Dekat Gandum roti, kol, bawang merah, melon, pir, apel, 7. Mediterania Gandum, kol, dll. 8. Afrika Gandum roti, padi Afrika, bulgur, uwi, kelapa sawit, kapas, kopi, melon, dll. 9. Eropa-Siberia Pir, apel, plum, apricot, almond, dll. 10. Amerika-Selatan Kentang, ubi jalar, bayam, tomat, tembakau, pepaya nenas, kacang tanah, ubikayu, coklat, karet. dll. 11. Amerika-Tengah Jagung, kentang, lada, bayam, tembakau, dan Meksiko kapas dataran tinggi, dll. 12. Amerika-Utara Bungamatahari, Strawberry, dll. Tabel l.l menunjukkan bahwa sistem penyebaran tanaman terjadi tumpang tindih antara beberapa tanaman pada beberapa wilayah. Hal ini dapat dimengerti karena di samping adanya macrogene centres, juga karena adanya microgene centres, yang oleh Harlan (1971) mengistilahkan sebagai Centres dan Noncentres, (pusat dan bukan pusat). Terdapat suatu konsep yang erat kaitannya dengan penyebaran tanaman, yaitu kumpulan gen (genePemuliaan Tanaman Konvensional 10 pool). Pengertian kumpulan gene adalah besar kecilnya keragaman genetik sekumpulan tanaman pada spesies yang sama. Keragaman genetik ini mengindikasikan kemungkinan keberhasilan persilangan antar spesies dengan keturunan yang fertil dan konstitusi kromosom yang baik. Tiga kelompok kumpulan gen dimaksud adalah: (1) kumpulan gen primer (primary gene-pool), (2) kumpulan gen sekunder (secondary gene-pool), dan (3) kumpulan gen tersier (tertiary gene-pool). Ilustrasi yang dikemukakan oleh Harlan dan de Wet (1971), disajikan pada Gambar 1.3. Hibrida dengan GP-1 menghasilkan keturunan yang steril Hibrida dengan GP-1 sebagian F1 fertil GP-1 ras budidaya GP-3 GP-2 SPESIES BIOLOGI GP-2 GP-3 GP-1 ras spontan Memungkinkan transfer gen meskipun agak sulit Tidak memungkinkan transfer gen kecuali dengan teknis khusus Gambar 1.3. Skema diagram lungkang gen (Modifikasi dari Harlan dan de Wet, 1971). Pemuliaan Tanaman Konvensional 11 Ciri dari ketiga kumpulan gen adalah sebagai berikut. Kumpulan gen primer (Gene Pool-I, GP-I), adalah kelompok tanaman yang apabila disilangkan satu sama lain sesama anggota dalam kumpulan gen primer akan menghasilkan keturunan yang subur dengan pola kromosom yang baik. Sementara itu, kumpulan gen sekunder (GP-2), bahwa semua tanaman dalam kelompok ini apabila disilangkan dengan tanaman GP-l sebahagian keturunannya akan fertil, tetapi sebahagiannya akan mandul (steril). Sedangkan kumpulan gen tersier (GP-3) apabila disilangkan dengan GP-l akan menghasilkan seluruh keturunannya yang mandul dan bahkan akan letal. 1.5. Pemuliaan Tanaman Masa Kini Cabang ilmu botani ini telah mengalami perkembangan yang sangat cepat seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin besar. Perkembangan ini dimulai sejak tahun 1970-an setelah kultur in vitro diintegrasikan ke dalamnya sebagai bagian dari pemuliaan tanaman. Walaupun pada awalnya kultur in vitro hanya merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif, akan tetapi setelah diketahui bahwa konsekuensi dari kultur in vitro itu adalah adanya gejala variasi somaklon (somaclonal variation phenomenon), maka kultur in vitro adalah bahagian dari pemuliaan tanaman karena teknik ini dapat menimbulkan keragaman genetik bagi keturunan yang dihasilkan dari tanaman asal yang dikulturkan. Setelah perkembangan bidang rekayasa teknologi (technological engineering) tumbuh cepat dan berhasil dipadukan dengan ilmu-ilmu kealaman lainnya khususnya biologi, maka lahirlah generasi lebih maju dari biologi dan teknologi dalam satu kesatuan sebagaimana populer dikenal sebagai bioteknologi tanaman. Cabang biologi dan teknologi yang terpadu ini mengharuskan membagi pemuliaan tanaman dalam dua bagian, yaitu: (1) pemuliaan tanaman secara konvensional, yaitu dengan menggunakan bahagian tanaman dari hasil langsung penggabungan dua alat kelamin tanaman (jantan dan betina) menghasilkan biji sebagai kekuatan utama dalam sistem pemuliaan tanaman, dan (2) pemuliaan tanaman secara inkonvensional, yaitu penggunaan bahagianPemuliaan Tanaman Konvensional 12 bahagian tanaman yang bukan berasal dari hasil langsung penggabungan kedua alat kelamin tanaman (bukan biji). Berdasarkan uraian singkat mengenai sejarah, pengertian pemuliaan tanaman, ruang lingkup, sumbangan pemuliaan tanaman terhadap kemajuan pertanian, dan kondisi pemuliaan tanaman hingga masa kini, dapat kita peroleh gambaran betapa pemuliaan tanaman telah menempuh perjalanannya yang cukup panjang dan memberikan arti sangat penting bagi kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat telah menuntut penyediaan dan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) kehidupan manusia yang dari hari ke hari semakin meningkat sehingga penyediaan bahan kebutuhan tersebut harus selalu ada setiap saat. Seiring dengan itu, maka pemuliaan tanaman secara konvensional masih tetap dibutuhkan, sedangkan pemuliaan secara inkonvensional masih akan semakin disempurnakan sehingga kombinasi antara keduanya juga akan tetap menjadi pilihan dalam memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan manusia dimaksud. Pemuliaan Tanaman Konvensional 13 Bab 2 CORAK PERKEMBANGBIAKAN TANAMAN 2.1. Pendahuluan Prosedur pemuliaan tanaman yang digunakan untuk memperbaiki genetik suatu jenis (species) tanaman tergantung pada corak perkembangbiakan tanaman yang diusahakan. Ada dua corak perkembangbiakan tanaman, yaitu: (1) perkembangbiakan secara kawin, dan (2) perkembangbiakan secara tak kawin. Perkembangbiakan tanaman secara kawin melibatkan penggabungan antara sel gamet jantan dan sel gamet betina yang terletak pada bunga tanaman (Gambar 2.1), baik berasal dari pohon yang sama maupun dari pohon yang berbeda. Gambar 2.1. Skema bagian-bagian bunga tanaman tingkat tinggi (Poehlman dan Sleper, 2006). Pemuliaan Tanaman Konvensional 14 Sementara itu, perkembangbiakan tanaman secara tak kawin terjadi melalui penggunaan bahagian-bahagian tanaman selain bagian dari hasil penggabungan langsung antara sel gamet jantan atau betina, atau dengan menggunakan biji akan tetapi bukan dari hasil penggabungan kedua sel kelaminnya (apomic). Pada bagian ini, akan diuraikan proses-proses sel dalam perkembangbiakan tanaman; perkembangbiakan tanaman secara tak kawin dan, perkembangbiakan tanaman secara kawin. 2.2. Proses-Proses Sel dalam Perkembangbiakan Tanaman Ada tiga hal penting yang perlu dikemukakan dalam prosesproses sel pada perkembangbiakan tanaman, yaitu: (1) miosis, (2) mitosis, dan (3) pembentukan gamet dan pembuahan. a. Miosis Pada banyak buku mengenai biologi secara umum akan ditemukan pembahasan secara rinci dan mendalam mengenai miosis. Dalam uraian ini hanya akan dikemukakan aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemuliaan tanaman. Dalam proses-proses miosis akan melibatkan megaspora di dalam bakal buah dan mikrospora di dalam kepalasari atau ruangsari. Pembelahan reduksi pada megaspora 2n (diploid) melalui miosis membentuk megaspora n (haploid) disebut sebagai proses megasporogenesis, sedangkan pembelahan reduksi pada mikrospora 2n juga membentuk mikrospora n disebut mikrosporogenesis. Pembelahan miosis ini terjadi dalam dua tahap, yaitu: miosis I dan miosis II, yang masing-masing terdiri dari 10 dan 4 tahap. Pada akhir pembelahan miosis ini akan menghasilkan empat anak sel baru (Gambar 2.2) dengan konstitusi genetik sebesar setengah dari tingkat ploidi asalnya (2n menjadi n). Gambar 2.2. Pembelahan miosis (Pohlman dan Sleper, 2006). Pemuliaan Tanaman Konvensional 15 Selain itu, pemanfaatan kondisi sel haploid akan memberikan keuntungan dalam seleksi dan pembuatan keturunan baru untuk mendapatkan tanaman yang homogen secara genetis. Beberapa hal penting dalam proses miosis yang berkaitan dengan pemuliaan tanaman adalah bahwa pada akhir miosis akan diperoleh sel baru dengan ciri-ciri sebagai berikut (Crowder, 1986): (1) kromosom homolog akan saling berpasangan (synapsis); (2) akan terjadi pertukaran bahan genetik melalui pindah silang (crossing over) antara kromatid berbeda; (3) kromosom yang berpasangan akan berderet pada bidang ekuator dan terjadi pada metafase I; (4) pengurangan (reduksi) jumlah kromosom terjadi pada tahap anafase I; (5) setelah metafase I, jumlah kromosomnya menjadi haploid (n); (6) kromosom sel baru secara genetis dapat berbeda dengan kromosom sel sebelum miosis karena terjadinya pindah silang. Dari ciri-ciri di atas dapat difahami mengapa tanaman yang diperbanyak melalui biji yang dibuahi akan diperoleh biji dan keturunan tanaman yang berbeda secara genetis dengan tetua asalnya, yaitu terjadinya pertukaran bahan genetik selama pembelahan miosis berlangsung. b. Mitosis Pembelahan mitosis adalah pembelahan inti sel yang akan menghasilkan dua sel anak yang identik dengan sel asalnya. Hanya ada empat fase utama dalam proses pembelahan ini, yaitu: profase, metafase, anafase, dan telofase. Sebagaimana dengan miosis, karakteristik fase-fase mitosis dapat ditemukan pada banyak literatur mengenai pembelahan sel, dan secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. Pembelahan sel secara mitosis (Poehlman dan Sleper, 2006). Pemuliaan Tanaman Konvensional 16 Dalam kaitan mitosis dengan pemuliaan tanaman, terdapat lima hal penting dari karakter mitosis yang perlu diketahui, yaitu (Crowder, 1986): (1) mitosis menyebabkan bertambahnya jumlah sel sehingga terjadilah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (2) setiap sel anak akan memperoleh kromosom dengan pasangannya yang lengkap, bahan genetik dan komponen sitoplasmis yang identik; (3) secara normal, tidak terjadi perubahan jumlah kromosom; (4) kromosom tetap mempertahankan sifat-sifatnya selama mitosis, (5) mitosis adalah proses pembelahan inti dimana gen-gen, kromosom, nucleoli, dan centromer akan membelah. Dari segi pemuliaan tanaman khususnya dalam mendapatkan tanaman unggul yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan, konsep mitosis ini dapat dieksploitasi untuk mencapai tujuan dimaksud terutama bagi tanaman-tanaman yang tidak dapat menghasilkan biji atau tanaman yang sukar dibiakkan dengan biji. c. Pembentukan gamet dan pembuahan Setiap dari empat tepungsari muda (microspores) yang dihasilkan melalui miosis berkembang menjadi tepungsari matang (mature pollen grains). Setiap tepungsari muda membelah secara miosis membentuk inti generatif dan inti vegetatif. Inti generatif membelah secara mitosis untuk membentuk dua sel sperma. Tiga dari empat megaspora yang dihasilkan melalui moisis tidak berfungsi, sedangkan satu sisanya melakukan pembelahan mitosis sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan delapan sel baru. Dua inti di antaranya adalah inti polar, dan satu inti lainnya adalah inti telur. Sel yang tidak berfungsi ini berkembang menjadi kandung embrio (embryo sac). Pada proses pembuahan, satu dari dua inti sperma bergabung dengan sel telur membentuk zigot, dan satu inti sperma lainnya bergabung dengan dua inti sel polar membentuk endosperma. Proses pembuahan ganda ini (Darjanto dan Siti Satifah, 1984) menghasilkan satu embrio 2n dan satu endosperma 3n, sehingga tanaman yang tumbuh akan memiliki konstitusi genetik 2n (diploid) dan apabila menghasilkan biji akan mempunyai endosperma dengan konstitusi genetik 3n (triploid) (Gambar 2.4). Pemuliaan Tanaman Konvensional 17 Gambar 2.4. Proses pembentukan buah/biji melalui pembuahan ganda (Darjanto dan Siti Satifah, 1984). Pada tanaman dengan tingkat ploidi lebih tinggi juga akan mengikuti proses-proses yang sama dengan tanaman diploid. Akan tetapi, perbedaannya hanya terletak pada jum1ah ploidi yang terlibat dalam proses pembentukan gamet dan pembuahan. 2.3. Perkembangbiakan Secara Kawin Produksi benih melalui perkembangbiakan secara kawin melibatkan pemindahan tepungsari dari kepalasari ke atas permukaan kepala putik, perpindahan inti di dalam tabungsari (pollen tube) masuk ke dalam kandung embrio kemudian terjadi penggabungan sel gamet jantan dan betina. Seluruh proses ini disebut Pemuliaan Tanaman Konvensional 18 penyerbukan dan pembuahan, dimana penyerbukan adalah berkecambahnya serbuksari di atas kepala putik, kemudian inti serbuksari berkembang di dalam style. Sementara itu, pembuahan adalah proses penggabungan inti serbuksari dengan inti telur, terbentuknya biji dan berkembang hingga dewasa dan matang. Pada umumnya, perkembangbiakan tanaman secara kawin dapat dibagi atas dua bagian yaitu: (1) tanaman menyerbuk sendiri (self pollinated crops), dan (2) tanaman menyerbuk silang (cross pollinated crops). Pada tanaman menyerbuk sendiri, tepungsarinya berasal dari pohon yang sama (Gambar 2.5a), sedangkan tanaman yang menyerbuk silang sumber tepungsarinya berasal dari pohon yang berbeda (Gambar 2.5b). A B Gambar 2.5. Skema penyerbukan tanaman. A, Tanaman berumah satu yang mendorong terjadinya penyerbukan sendiri, dimana bunga jantan dan bunga betina berada pada pohon yang sama. B, Tanaman berumah dua yang mendorong terjadinya penyerbukan silang (Kuckuck et al., 1991). Akibat genetik dari kedua macam tipe penyerbukan di atas masingmasing akan dibicarakan pada bagian-bagian berikutnya. Ada beberapa mekanisme alamiah yang menyebabkan terjadinya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang dari tanaman, yaitu: (1) morfologi bunga dan perkembangannya, (2) ketidakcocokan kawin sendiri (self incompatibility) dan, (3) sterilitas jantan (male sterility). Pemuliaan Tanaman Konvensional 19 a. Morfologi bunga dan perkembangannya Dua macam struktur bunga yang langsung mempengaruhi perkembangbiakan tanaman secara kawin adalah kelamin jantan dan kelamin betina. Kedua kelamin ini akan meliputi letak masingmasing di dalam tanaman, apakah dalam bunga yang sama (padi) atau bunga yang berbeda (jagung), tanaman yang sama (tomat), atau pada tanaman yang berbeda (salak). Selanjutnya, perilaku mekarnya bunga juga menentukan apakah tanaman tersebut menyerbuk sendiri atau menyerbuk silang. Mekarnya bunga pada tanaman yang menyerbuk sendiri terjadi setelah persarian berlangsung, sedangkan pada tanaman menyerbuk silang persarian terjadi setelah bunga mekar. Begitu pula, kematangan bunga jantan dan bunga betina. Pada tanaman dengan kematangan yang sama kedua bunga jantan dan betina akan mendorong terjadinya penyerbukan sendiri, sedangkan perbedaan kematangan bunga jantan dan betina akan mendorong terjadinya persarian secara silang. Dalam hal perbedaan ukuran ketinggian dari bunga jantan dan betina, penyerbukan sendiri akan terjadi apabila letak bunga jantan lebih tinggi dari pada bunga betina, sedangkan bila bunga jantan lebih rendah dari bunga betina maka akan menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Gambar 2.5A dan 2.5B). b. Ketidakcocokan kawin sendiri (self incompatibility) Ketidakcocokan kawin sendiri adalah ketidakmampuan bunga jantan dan bunga betina dari suatu tanaman untuk berfungsi atau menghasilkan zigot secara kawin sendiri (self pollination). Akibat dari keadaan ini, tanaman yang tergolong dalam jenis ini akan mendorong terjadinya persarian secara silang. Menurut Larsten (1980) terjadinya ketidakcocokan kawin sendiri disebabkan oleh beberapa mekanisme, yaitu: (1) tepungsari tidak dapat berkecambah di atas kepala sari, (2) tepung sari berkecambah di atas kepala sari dan berkembang ke dalam style, akan tetapi tidak mampu mencapai kandung embrio karena suatu hambatan, (3) tabungsari yang berkembang tidak mampu mencapai bakal biji, dan (4) sel sperma dapat mencapai kandung embrio, akan tetapi tidak dapat bergabung dengan inti telur. Pemuliaan Tanaman Konvensional 20 Masih banyak akibat lain terutama faktor-faktor yang berasal dari luar tanaman itu sendiri yang dapat menyebabkan ketidakcocokan kawin sendiri. Namun, aspek penting yang berkaitan dengan pemuliaan tanaman adalah bahwa fenomena ini akan memberi keuntungan dalam upaya meningkatkan keragaman genetik tanaman dan penciptaan tanaman yang mempunyai toleransi yang luas. c. Sterilitas jantan (male sterility) Sterilitas jantan diartikan sebagai kegagalan tanaman untuk menghasilkan tepungsari yang fertil. Ada tiga macam sterilitas jantan, yaitu: (1) sterilitas jantan genetik-SJG (genetic male sterility, GMS), (2) sterilitas jantan sitoplasmik-SJS (cytoplasmic male sterility, CMS), dan sterilitas jantan genetik sitoplasmik-SJGS (cytoplasmic-genetic male sterility, CGMS). GMS adalah sterilitas jantan akibat penghambatan yang terjadi pada inti sel tumbuhan, sedangkan CMS merupakan sterilitas jantan yang terjadi disebabkan penghambatan dari cairan sel atau sitoplasma (di luar inti sel). Kalau penghambatan itu disebabkan adanya interaksi antara penghambatan yang bersumber dari inti sel dan sitoplasma, gejala ini dikenal dengan sterilitas jantan genetik sitoplasmik. Meskipun ketiga macam sterilitas cukup penting dalam pemuliaan tanaman, namun dalam uraian berikut hanya akan dikemukakan mengenai CGMS karena CGMS telah mendapat perhatian dan penggunaan yang lebih luas dibanding dengan dua macam sterilitas lainnya. Contoh yang mudah dimengerti dan umum telah terjadi di kalangan petani adalah pemanfaatan varietas hibrida bagi tanaman padi dan jagung. Varietas hibrida ini dibuat dengan memanfaatkan CGMS. Dengan perolehan jumlah benih yang lebih banyak melalui sistem CGMS menjadikannya sebagai teknik yang sangat efisien dalam merakit varietas hibrida jika dibandinglan dengan sistem yang tidak memanfaatkan gejala sterilitas jantan. Tidak mengherankan apabila lebih dari 80% areal pertanaman padi di Cina (Chang et al., 1991) adalah hibrida yang dirakit dari CGMS. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa sterilitas jantan terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara gen-gen yang berada di luar inti sel (cytoplasm) dan gen-gen yang berada di dalam inti Pemuliaan Tanaman Konvensional 21 sel (nucleus). Akibat selanjutnya menjadikan sitoplasma dan inti sel tidak dapat berfungsi secara bersama-sama untuk menghasilkan tepungsari yang subur. Meskipun alat kelamin jantannya tidak berfungsi (sterile), akan tetapi kelamin betinanya masih subur dalam arti tanaman yang memiliki sifat ini masih dapat menghasilkan/menyelesaikan siklus hidupnya dalam bentuk menghasilkan biji apabila disilangkan dengan tanaman sejenis lainnya yang memiliki tepungsari yang fertil. Dengan dasar inilah maka para ahli pemulia tanaman membentuk varietas hibrida dengan hasil yang sangat tinggi melalui pemanfaatan konsep kawin kerabat jauh karena perbedaan genom kedua tetuanya. Dengan kata lain, produksi hibrida dengan hasil yang sangat tinggi hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan gejala sterilitas jantan. 2.4. Perkembangbiakan Secara Tak Kawin Tanaman yang dihasilkan tanpa peleburan gamet jantan dan gamet betina dinamakan tanaman yang bcrkembang biak tanpa kawin. Secara genetik, tanamantanaman yang diperoleh tanpa melalui zigot mempunyai konstitusi genetik yang sama atau identik dengan tanaman asalnya. Sistem perkembangbiakan secara tak kawin dapat dibagi dalam lima bagian, yaitu: (1) pengembangbiakan dengan menggunakan struktur vegetatif khusus tanaman selain biji yang dibuahi, (2) pengembangbiakan melalui biji yang tidak dibuahi (biji dan tanaman apomik), (3) induksi akar dan pucuk adventif, (4) penyambungan, dan (5) kultur in vitro. Kelima sistem pengembangbiakan tanaman secara tak kawin dikemukakan secara singkat berikut ini. a. Pengembangbiakan tanaman dengan menggunakan struktur vegetatif khusus tanaman selain biji yang dibuahi Secara umum, ada enam bentuk perkembangbiakan dengan menggunakan bahagian tanaman khusus selain biji yang dibuahi (Gambar 2.6), yaitu: (1) bulb, (2) corm, (3) rhizome, (4) stolon, (5) tuber, dan (6) offsets. Pemuliaan Tanaman Konvensional 22 Gambar 2.6. Berbagai bahan perbanyakan menggunakan struktur vegetatif khusus (Hartman dan Kester, 1975; Mangoendidjojo, 2005). Bulb adalah batang semu yang tersusun dari lembaran berdaging dan bersisik berukuran pendek dan tebal. Contoh bulb adalah lily dan tulip. Sementara itu, corm merupakan batang padat/kukuh yang mengandung mata dan ruas-ruas, tidak berisi lembaran-lembaran berdaging, dan sering disebut bulb palsu. Tanaman yang termasuk golongan ini adalah gladiol. Pemuliaan Tanaman Konvensional 23 Rhizome, adalah dahan berbentuk tabung yang tumbuh lateral dalam tanah, dapat berdaging, dapat pula ramping, dan pada umumnya kaya akan simpanan makanan. Contoh dari rhizome adalah iris, pisang, jahe, temu-temuan dan alang-alang. Stolon atau runner, adalah batang ramping yang tumbuh keluar dari ketiak daun pada dasar tajuk dan menjalar sepanjang permukaan tanah. Di antara tanaman yang termasuk dengan jenis pembiakan stolon atau runner adalah tanaman strawberry. Sementara itu, tuber atau umbi batang adalah batang berdaging dalam tanah dengan beberapa mata tunas. Tanaman-tanaman yang masuk dalam golongan ini adalah kentang dan talas. Terdapat suatu dahan atau cabang pendek, pipih, horizontal, yang tumbuh keluar dari tajuk dan pada ujungnya diakhiri dengan suatu tunas atau sekumpulan daun. Ini merupakan ciri dari offset, atau offshoot (tunas lateral) yang berkembang dari batang dan bila berakar dapat membentuk duplikat tanaman. Contoh dari offset atau offshoot adalah pisang (sucker), nenas (sucker; crown, ratoon, slip), dan sorghum (ratoon). Pembiakan tanaman yang menghasilkan offshoot ini sangat mudah dilakukan, baik dengan cara pemisahan (separation) maupun dengan cara pembelahan (division). b. Pengembangbiakan tanaman secara apomiksis Perkembangbiakan tanaman secara apomiksis (apomictics) adalah penggunaan biji apomik (apomict). Apomiksis adalah proses pembentukan biji yang berkembang sempurna tanpa melalui peleburan gamet jantan dan gamet betina. Dua bentuk perbanyakan secara apomiksis adalah: (1) dengan menggunakan biji apomik, dan (2) dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif tanaman yang berasal dari biji apomik. Dengan demikian, maka biji apomik adalah biji yang berkembang normal hingga matang tanpa didahului peristiwa zigot. Biji tersebut tetap normal dan tumbuh menjadi tanaman apomik normal, sedangkan penggunaan bagian-bagian vegetatif tanaman apomik dari biji apomik, dapat dilakukan dalam bentuk setekan, penyambungan, rundukan, cangkokan, dan kultur in vitro. Kesesuaian penggunaan cara perbanyakan vegetatif bagi tanaman apomik juga ditentukan oleh respon tanaman terhadap cara-cara yang telah disebutkan di atas. Pemuliaan Tanaman Konvensional 24 c. Pengembangbiakan tanaman melalui induksi akar dan pucuk adventif Terdapat dua bentuk induksi akar dan pucuk adventif dalam perbanyakan tanaman secara tak kawin, yakni: (1) secara bumbunan (layerage), dan (2) secara cangkokan (air layerage). Pada cara bumbunan, bahagian vegetatif tanaman dimasukkan ke dalam tanah, sementara bahagian tanaman tersebut masih tetap menyatu dengan tanaman induknya (Gambar 2.7). Gambar 2.7. Empat bentuk induksi akar dan pucuk adventif secara bumbunan (layerage) (Denisen, 1967). Setelah bahagian yang tertimbun dengan tanah mengeluarkan akar dan pucuk, dan pertumbuhannya baik, bahagian tersebut selanjutnya dipisahkan dengan induknya. Ada lima macam bumPemuliaan Tanaman Konvensional 25 bunan yang umum diketahui, yaitu: - tip layerage, - simple layerage (common layerage, - trench layerage (continuous layerage), -serpentin layerage (compound leyerage), dan mound layerage (stool laverage). Penjelasan masing-masing pembagian bumbunan di atas dapat dibaca pada banyak buku hortikultura. Selain itu, cangkokan sering disebut sebagai air layerage atau layerage di atas tanah. Pelaksanaan pengembangbiakan tanaman dalam bentuk seperti ini adalah dengan mengerat kulit batang/ cabang sepanjang ukuran tertentu, kemudian medium tumbuh yang kaya akan hara dibungkuskan pada bidang yang telah dibuang kulitnya (Gambar 2.8). Gambar 2.8. Skema induksi akar secara cangkokan (layerage). Tujuan pembungkusan hara dan wadah pembungkus tertentu pada bagian luarnya adalah untuk merangsang tumbuhnya akar baru pada daerah pelukaan tadi. Setelah akar tumbuh dengan baik, bahagian bawah dari pelukaan tadi dipotong, kemudian ditanam pada lubang penanaman yang telah disediakan. Pemuliaan Tanaman Konvensional 26 d. Pengembangbiakan tanaman melalui penyambungan Cara yang populer sistem pembiakan tanaman golongan ini terdiri dari dua macam, yaitu: (1) sambung pucuk (grafting), dan (2) sambung/tempel mata tunas (budding). Dalam sistem sambung pucuk, beberapa sentimeter pucuk batang utama tanaman dibuang, kemudian pucuk tanaman lainnya dipotong untuk disisipkan atau ditempelkan pada ujung batang utama tadi (Gambar 2.9). Gambar 2.9. Ilustrasi sambung pucuk (grafting). Ini berarti bagian bawah tanaman akan berfungsi sebagai batang utama, sedangkan pucuk yang terdiri dari banyak titik tumbuh akan menjadi bahagian atas tanaman. Diharapkan, pada bahagian bawahnya akan sesuai dengan sifat-sifat batang bawahnya, sedangkan sifat tanaman yang diinginkan untuk bahagian atasnya adalah yang tumbuh dari pucuk sambungan tadi. Cara penyambungan yang ke dua adalah dengan melakukan penempelan mata tunas dari tanaman lain kepada batang utama (Gambar 2.10). Pemuliaan Tanaman Konvensional 27 Gambar 2.10. Ilustrasi sambung/tempel mata tunas (budding, okulasi). Perbedaannya dengan sambung pucuk adalah bahwa cara ini hanya mengharapkan tumbuhnya tanaman yang diinginkan dari satu mata tunas, sedangkan prinsipnya adalah sama dalam hal fungsi batang bawah dan bahagian atas tanaman. Hubungan kedua cara penyambungan ini dengan pemuliaan tanaman secara umum adalah memadukan dua sifat unggul dari dua sumber tanaman yang berbeda. Hingga saat ini belum dapat dibuktikan bahwa pewarisan kedua sifat pada keturunannya sama dengan penggabungan melalui persilangan. Pemuliaan Tanaman Konvensional 28 e. Pengembangbiakan secara in vitro Pengembangbiakan secara in vitro adalah salah satu cara dari sistem perkembangbiakan tanaman secara tak kawin. Pengertian dari cara perbanyakan ini adalah menumbuhkan bagian-bagian vegetatif tanaman di dalam kondisi suci hama dengan menggunakan medium organik buatan tertentu dalam tabung gelas atau plastik terisolasi dari hubungan dengan lingkungan luar (Gambar 2.11). Gambar 2.11. Pengembangbiakan tanaman secara in vitro dengan menumbuhkan beragam bagian vegetatif tanaman, memutar arah jarum jam: kultur jaringan, kultur meristem ujung, kultur embrio, dan kultur suspensi sel (Miller et al., 1991). Bagian tanaman yang dapat digunakan, mulai dari hanya satu sel (protoplast, microspore, cell suspension, ovule), kumpulan sel (jaringan), hingga kumpulan jaringan (organ). Cara perkembangbiakan tanaman ini merupakan bahagian dari sistem pemuliaan tanaman secara inkonvensional yang melahirkan bioteknologi tingkat tinggi atau bioteknologi moderen. Pemuliaan tanaman secara inkonvensional, tidak akan menjadi bahasan dalam buku ini karena akan dibahas pada buku lainnya. Dengan mengetahui corak perkembangbiakan tanaman akan memandu kita ke arah penggunaan metode pemuliaan yang tepat bagi suatu tanaman budidaya, sebab perbedaan corak perkembangbiakan tanarnan memerlukan sistem pemuliaan yang berbeda. Lebih jauh, penggunaan sistem pemuliaan yang tepat akan memberikan hasil yang tepat pula karena cara pendugaan yang dilakukan Pemuliaan Tanaman Konvensional 29 juga telah sesuai tanpa menghasilkan bias yang terlalu besar. Selain itu, pemuliaan tanaman secara konvensional umumnya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkan satu varietas atau kultivar unggul baru. Oleh karena itu pengetahuan mengenai corak perkembangbiakan tanaman akan membantu dalam pencapaian prinsip efisiensi dan efektifitas, tidak hanya diharapkan dalam efisien dan efektif waktu yang digunakan, akan tetapi juga terhadap biaya, tenaga, fasilitas, dan pemikiran. Pemuliaan Tanaman Konvensional 30 Bab 3 PEMULIAAN PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI 3.1. Pendahuluan Bari et al. (1976), mengemukakan bahwa besarnya penyerbukan silang pada tanaman menyerbuk sendiri (padi, tomat, mangga) adalah sekitar 4-5%. Akan tetapi pada spesies tertentu tanaman menyerbuk sendiri, memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri sebesar 100%. Persentase dari persilangan alami pada tanaman menyerbuk sendiri dapat diduga dengan cara menanam tanaman yang memiliki suatu sifat resesif di antara tanaman yang memiliki alternatif alel dominan. Selanjutnya, tanaman resesif dipanen. Untuk mengetahui persentase persilangan alami yang terjadi, keturunan tanaman resesif tadi dihitung berapa persen yang dominan. Pada tanaman yang umumnya menyerbuk sendiri terdapat beberapa mekanisme alami yang mencegah terjadinya perkawinan silang, yaitu: (1) bunga tidak terbuka; (2) bunga terbuka, akan tetapi terjadi pelepasan benangsari sebelum bunga terbuka; (3) kepala putik dan kepala sari tersembunyi di dalam bagian dari bunga tersebut, dan (4) kepala putik memanjang dan menggesek kepala sari sesaat setelah kepala sari masak. Penyerbukan sendiri dicirikan oleh tumpahnya serbuksari di atas kepala putik pada dua bentuk bunga (Fehr, 1993), yaitu bunga kleistogam (cleistogamous-flowers) dan bunga sempurna (perfect flowers). Dua topik utama yang akan dibahas dalam bagian ini masing-masing adalah dasar genetik, dan metoda pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri. 3.2. Dasar Genetik Tanaman Menyerbuk Sendiri Sudah menjadi sifatnya bahwa pada tanaman menyerbuk sendiri akan dicirikan sebagai kumpulan individu-individu yang Pemuliaan Tanaman Konvensional 31 homozigot. Akibat dari ciri ini menyebabkan individu dalam populasi tanaman yang menyerbuk sendiri akan homogen. Meskipun konstitusi genetik di dalam individu adalah homozigot, akan tetapi antara individu di dalam populasi adalah heterogen. Konstitusi genetik yang homozigot pada tanaman menyerbuk sendiri ini dapat tercapai karena dua alasan utama, masing-masing: (a) pasangan gen yang homozigot (AA atau aa) akan tetap homozigot dengan penyerbukan sendiri, dan (b) pasangan gen heterozigot (Aa) akan bersegregasi menghasilkan gen homozigot dan heterozigot dalam porsi yang sama (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006). Me1alui penyerbukan silang 1ebih lanjut, gen atau gen-gen yang heterozigot akan berkurang sebesar setengahnya setiap generasi serbuk sendiri. Oleh karena itu tanaman yang menyerbuk sendiri akan mempunyai konstitusi genetik yang relatif homogen dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sesudah beberapa generasi silangsendiri, proporsi tanaman yang heterozigot akan tetap ada di dalam populasi, akan tetapi proporsinya akan semakin kecil (Tabel 3.1). Tabel 3.1. Proporsi homozigot dan heterozigot genotip dalam suatu populasi setiap generasi silangsendiri, S0-S10 adalah generasi silang sendiri (Halloran, 1979). So Sl S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 AA 25 % AA 25% AA 12,5 AA 37,5 % AA 6,25 % AA 43,75% AA 3,125% AA 46,875% AA 1,562% AA 48,437% AA 0,781% AA 49,218% AA 0,391% AA 49,609% AA 0,196% AA 49,805% AA 0,098% AA 49,903% AA 0,049% AA Aa 50 % Aa 25 % Aa 12,5 % Aa 6,25 % Aa 3,125% Aa 1,562% Aa 0,781% Aa 0,391% Aa 0,196% Aa 0,098% Aa aa 25 % aa 12,5 % aa 25 % aa 6,25 % aa 37,5 % aa 3,125% aa 43,75% aa 1,562% aa 46,875% aa 0,781% aa 48,437% aa 0,391% aa 49,218% aa 0,196% aa 49,609% aa 0,098% aa 49,805% aa 0,049% aa 49,903% aa Tabel 3.1 menunjukkan bahwa pada generasi ke-10 silang sendiri, sepasang gen heterozigot (Aa) akan menghasilkan gen homozigot sebesar 99,81% terdiri dari masing-masing 49,903% gen AA dan aa, sehingga gen yang heterozigot tersisa sebesar Pemuliaan Tanaman Konvensional 32 kurang dari 1%. Kondisi gen heterozigot ini tidak mungkin akan dapat dihilangkan hingga 100%. Meskipun kondisi 100% homozigot tidak mungkin dicapai secara teoritis, seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri dapat dianggap telah homogen apabila dilakukan silang sendiri selama 5-7 generasi (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006). Perbedaan penampilan antara individu dalam genotipe AA dan antara individu dalam genotipe aa pada generasi ini sudah tidak nampak lagi sehingga sifat resesif bagi populasi bergenotipe aa dan dominan, AA, akan sangat jelas. 3.3. Metode Pemuliaan pada Tanaman Menyerbuk Sendiri Karena populasi tanaman menyerbuk sendiri dapat dianggap sebagai kumpulan individu tanaman yang homozigot, maka beberapa metode pemuliaannya terdapat perbedaan dengan metode pemuliaan yang diterapkan pada tanaman yang menyerbuk silang. Meskipun beberapa metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri relatif sama dengan yang diterapkan pada tanaman menyerbuk silang (Bari et al., 1976; Halloran, 1979), pada dasarnya metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri dibagi dalam dua bagian utama, yaitu: (1) seleksi, dan (2) hibridisasi (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006). Pada metode seleksi terdiri dari dua bagian, yaitu: - seleksi massa, dan - seleksi tanaman tunggal atau seleksi galur murni, sedangkan metode hibridisasi meliputi tiga bentuk persilangan berdasarkan jumlah tetua yang dilibatkan; masing-masing; hibrida silang tunggal, hibrida silang tiga jalur, dan hibrida silang ganda. Dapat ditambahkan bahwa meskipun hibridisasi merupakan metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri, akan tetapi perolehan varietas baru bukan merupakan produk langsung dari persilangan. Hal ini karena kegiatan persilangan hanya merupakan cara pengkutuban informasi genetik dari tetua-tetua yang disilangkan, sedangkan seleksi merupakan prosedur utama yang menentukan pembentukan kultivar atau varietas baru. a. Metode Seleksi Seleksi massa. Prosedur pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri melalui metode seleksi massa adalah pemilihan individu Pemuliaan Tanaman Konvensional 33 tanaman dari populasi campuran yang terdiri dari banyak genotipe. Secara teoritis, dalam 7-8 generasi akan diperoleh kultivar atau varietas baru melalui seleksi massa. Secara skematis, model pelaksanaan seleksi massa menurut Halloran (1979) disajikan pada Gambar 3.1. POPULASI ATAU KULTIVAR CAMPURAN TANAM BERCAMPUR Ikutkan galur/kultivar penguji Sertakan galur/kultivar penguji TINGKATKAN AREA PERBANYAKAN BENIH Gambar 3.1. Skema prosedur seleksi massa (Halloran, 1979). Urut-urutan metode ini adalah sebagai berikut (Halloran, 1979): Musim I: - Tanam populasi campuran dalam pot atau tanam berjarak; - Seleksi beberapa ratus tanaman yang mempunyai penampilan yang sama; - Panen tanaman terpilih, kemudian benihnya dicampur. Pemuliaan Tanaman Konvensional 34 Musim II: - Tanam benih campuran dari musim I sebagai uji hasil pendahuluan dengan menggunakan varietas/kultivar lokal sebagai pembanding termasuk tetua-tetuanya; - Amati tinggi, kematangan, ketahanan terhadap hama atau penyakit, dsb. Musim III-VI: - Lanjutkan uji hasil hingga musim keenam untuk mendapatkan data penampilan, dan adaptasinya dibandingkan dengan varietas lokal atau varietas penguji. - Tingkatkan ukuran plot dengan banyak ulangan serta diperlukan uji regional. Musim VII: - Perbanyak benih dan sebarkan ke petani sebagai kultivar/varietas baru. Seleksi Tanaman Tunggal atau Seleksi Galur Murni. Prosedur pemuliaan untuk tanaman menyerbuk sendiri melalui seleksi tanaman tunggal atau seleksi galur murni diperlukan hingga delapan generasi untuk mendapatkan suatu varietas atau galur murni baru. Secara mendasar, perbedaan antara seleksi massa dengan seleksi tanaman tunggal atau galur murni terletak pada jumlah tanaman sebagai sumber benih yang dipilih. Kalau pada seleksi massa menggunakan hingga ratusan tanaman unggul dari satu populasi awal, seleksi galur murni hanya menggunakan satu tanaman dari populasi sumber hingga kultivar baru itu dihasilkan. Oleh sebab itu kultivar yang dihasilkan dari seleksi galur murni mempunyai tingkat homogenitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan kultivar yang dihasilkan dari seleksi massa. Seleksi tanaman tunggal atau seleksi galur murni, juga dikenal dengan Single Seed Descend Method (SSD). Adapun tahap-tahap pelaksanaan seleksi tanaman tunggal atau galur murni adalah sebagai berikut : Musim I: - Tanam populasi campuran dalam bentuk plot atau pertanaman banyak; - Pilih 200-1000 tanaman individu, kemudian panen benihnya secara individual; Pemuliaan Tanaman Konvensional 35 Musim II: - Tanam benih-benih terpilih secara individu dalam barisan atau plot kecil; - Panen beberapa tanaman yang terpilih dalam barisan plot yang sama, kemudian bijinya dicampur. - Tanaman yang tidak terpilih dibuang (discard inferior progenies). Musim III: - Tanam biji-biji yang terpilih di dalam percobaan-percobaan berulangan. - Pada tahap ini dapat dilakukan uji daya hasil pendahuluan bila jumlah benihnya cukup banyak, libatkan varietas penguji (lokal) dalam uji ini. - Panen biji untuk penanaman berikutnya hanya individu superior. Musim IV-VII: - Uji daya hasil dilanjutkan hingga tujuh generasi disertakan dengan varietas penguji (varietas lokal), perbanyak ulangan. Musim VIII: - Pilih galur terbaik untuk penyebarluasan dan perbanyakan benih. Ilustrasi pelaksanaan seleksi galur murni atau tanaman tunggal menurut Johannsen yang dilakukan pada tanaman Kacang Ratu -Princess bean- Halloran (1979), adalah seperti pada Gambar 3.2. Ahli Botani berkebangsaan Denmark yang pertama kali mengemukakan teori galur murni, didasarkan pada hasil penelitiannya yang menggunakan setumpuk kacang ratu. Dari tumpukan tersebut, dipilihnya biji yang paling besar hingga yang paling kecil. Sembilanbelas kelas benih yang dia peroleh berdasarkan ukuran berat dari dua tahap pelaksanaan penanaman secara konsisten. Pada tahap ketiga, masingmasing kelas benih ditanam kemudian dilakukan pengukuran berat biji masing-masing yang dihasilkan. Ternyata, galur murni dengan biji berukuran paling kecil (rata-rata 35,1 cg) menghasilkan benih terkecil dengan berat 34,8 cg dan terbesar dengan berat 35,8 cg. Galur murni terbesar (ratarata 64,3 cg) menghasilkan benih terkecil dengan berat, dan terbesar dengan berat 64,9 cg. Skema prosedur seleksi galur murni atau seleksi tanaman tunggal disajikan pada Gambar 3.3. Ini menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari percobaan tersebut konsisten menurunkan sifat berat benih kepada keturunannya, Pemuliaan Tanaman Konvensional 36 meskipun terdapat benih dengan ukuran yang sama pada sumber tetua yang berbeda. POPULASI CAMPURAN Tahap I: Seleksi perbedaan ukuran biji dari besar - kecil Tahap II: Tanam biji secara terpisah menurut ukurannya. Diperoleh 19 kelas benih Tahap III: Tanam biji dan terkecil secara terpisah Tahap IV: Ukur berat benih dari keturunan terbesar dan kecil Gambar 3.2. Ilustrasi seleksi galur murni menurut Johannsen (Halloran, 1979). POPULASI CAMPURAN Musim I: Tanaman berjarak tanaman/populasi campuran. Seleksi 200-1000 individu tanaman Musim II: Tanam keturunan setiap tanaman dalam baris tunggal/petak kecil, panen keturunan unggul dan campur benih dari baris yang sama Musim III: Tanam benih dari tanaman unggul secara berulangan untuk uji awal TINGKATKAN UKURAN PLOT Musim IV - VII: Uji hasil lanjutan beserta penguji dengan varietas setempat, pilih kultivar terbaik Musim VIII: Perbanyakan benih untuk disebarkan ke petani Gambar 3.3. Prosedur umum seleksi galur murni (Halloran, 1979). Pemuliaan Tanaman Konvensional 37 b. Hibridisasi Hibridisasi adalah pekerjaan mengawinkan dua tetua atau lebih untuk mendapatkan keturunan yang memiliki penggabungan sifat-sifat unggul dari tetua-tetuanya. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa penggolongan varietas hibrida didasarkan pada jumlah tetua yang dikawinkan. Ini berarti bahwa apabila dua tetua yang dikawinkan disebut hibrida silang tunggal, tiga tetua disebut hibrida silang tiga, dan empat tetua disebut hibrida silang ganda. Dalam kaitannya dengan metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri, hibridisasi sebagai metode bukanlah merupakan prosedur untuk mendapatkan varietas atau kultivar baru akan tetapi prosedur yang dimaksudkan di sini adalah seleksi yang dilakukan terhadap keturunan yang diperoleh sesudah hibridisasi dilakukan. Oleh karena itu metode sesungguhnya yang dimaksudkan adalah seleksi sesudah hibridisasi. Ada tiga cara seleksi sesudah hibridisasi yang berlaku untuk tanaman menyerbuk silang, yaitu: (1) seleksi pedigree, (2) seleksi populasi bulk, dan (3) pemuliaan silangbalik. Ketiga cara seleksi dan pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri di atas adalah merupakan upaya untuk menyediakan individu-individu yang akan diseleksi berada dalam tingkat homozigositas tertentu. Seleksi pedigree. Seleksi pedigree atau seleksi silsilah adalah pemilihan tanamantanaman unggul dalam setiap generasi memisah secara berurutan. Oleh karena itu cara seleksi ini pengamatan dilakukan dari generasi ke generasi, maka pencatatan semua faktor setiap generasi sangat diperlukan. Ini dapat dimengerti mengapa Halloran (1979) mengatakan bahwa seleksi pedigree ini sangat cocok diterapkan untuk melihat karakter tinggi tanaman, kematangan, dan morfologi. Selain itu cara seleksi ini sudah dapat dilakukan pada generasi awal populasi yang telah bersegregasi. Prosedur pelaksanaan seleksi pedigree ini menghendaki pelaksanaan sebanyak 12 tahap atau musim dengan rincian: Musim I: - Menyilangkan 10-25 pasangan tetua untuk menghasilkan benih Fl. Musim II: - Tanam benih F1 dalam rumah kaca untuk mendapatkan benih F2. Pemuliaan Tanaman Konvensional 38 Musim III: - Tanam berjarak benih F2 di lapangan (2000-6000 tanaman), kemudian pilih individu tanaman yang unggul (superior) dari tinggi tanaman, kematangan dan morfologi, kemudian panen biji F3. Musim IV: - Tanam 300-500 biji F3 dalam barisan, kemudian seleksi individu tanaman yang terbaik, kemudian panen biji F4. Musim V: - Tanam 50-100 biji F4 dalam barisan, kemudian seleksi individu tanaman yang terbaik, panen biji F5. Musim VI-VII: - Ulangi prosedur pada musim V hingga musim VII. Pada akhir musim VII akan diperoleh biji F7. Musim VIII: - Uji daya hasil pendahuluan. Musim IX-XII: - Uji daya hasil lanjutan. Secara skematis, metode seleksi pedigree diringkaskan pada Gambar 3.4. Varietas A X Varietas B Tanam bercampur 50-100 tanaman F1 F2 |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Tanam berjarak 2000-3000 tanaman F3 ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Tanam dalam barisan 50-100 famili F4 |||| |||| Tanam keluarga unggul dalam baris terpisah 25-50 keluarga F5-F7 |||| |||| F8 ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| F9-F12 |||| |||| |||| |||| Tanam keluarga unggul dari baris F4 dgn prosedur yang sama hingga F7 Uji hasil pendahuluan Uji hasil Gambar 3.4. Skema metode seleksi pedigree (Poehlman dan Sleper, 2006). Pemuliaan Tanaman Konvensional 39 Seleksi bulk. Di dalam seleksi silsilah, dijumpai masalah mengenai banyaknya bahan tanaman yang ingin ditangani, sementara tempat yang tersedia sangat terbatas. Untuk memecahkan masalah ini diperlukan metode yang tepat dalam arti jumlah bahan yang ditangani meningkat, sementara tempat yang tersedia tidak bertambah. Metode yang tepat untuk masalah tersebut di atas adalah seleksi bulk. Ketepatan metode bulk dalam memecahkan masalah di atas adalah karena pada generasi Fl hingga F5 belum diperlukan untuk melakukan uji pendahuluan dan pengujian baru dapat dilakukan setelah generasi F5 atau F6 sesudah persilangan. Adapun skema pelaksanaan metode seleksi bulk sebagaimana pada Gambar 3.5. Varietas A X Varietas B F1 F2-F5 ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||| F6 ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| F7 ||| || F8 ||||||| ||||||| F9-F12 ||| || ||| || ||| || |||||| ||| || ||| || ||||||||| Tanam dalam petakan 50-100 tanaman Tanam dalam petakan yang diperbesar 50-100 tanaman Tanam dalam barisan berjarak 5000-10000 tanaman seleksi 500-1000 tanaman Tanam keluarga unggul dlm baris terpisah, panen 50-100 famili unggul Tingkatkan ukuran barisan/uji daya hasil pendahuluan Uji hasil Gambar 3.5. Skema metode seleksi bulk (Poehlman dan Sleper, 2006). Sementara itu, bagan umum pelaksanaan metode seleksi bulk diuraikan sebagai berikut: Musim I: - Persilangan tetua-tetua untuk mendapatkan benih F1. Pemuliaan Tanaman Konvensional 40 Musim II: - Tanam benih F1 dalam rumah kaca untuk mendapatkan benih F2. Musim III: - Tanam benih F2 dalam populasi bulk untuk mendapatkan benih F3. Musim IV - V: - Ulangi prosedur III hingga musim V untuk mendapatkan benih F5. Musim VI-VII: - Tanam benih F5 dan F6 dalam barisan berjarak hingga mendapatkan benih F7, buang tanaman-tanaman yang jelek (inferior). Musim VIII: - Tanam benih F7 dalam barisan yang diperbanyak dan uji daya hasil pendahuluan Musim IX-XIII: - Uji daya hasil lanjutan dan penyebaran varietas yang baik. Pemuliaan silangbalik (backcross). Tujuan utama pemuliaan silangbalik adalah untuk memperbaiki varietas yang sudah memiliki banyak sifat baik dan hanya kekurangan satu atau beberapa sifat baik saja. Oleh karena antara tetua yang ingin diperbaiki mempunyai konstitusi genetik yang berbeda, ada kemungkinan beberapa gen yang tidak sama akan berpasangan dan menghasilkan konstitusi heterozigot. Untuk itu, diakhir persilangan balik diperlukan silangdiri agar pasangan gen yang heterozigot tadi menjadi homozigot sehingga pertumbuhan tanaman yang dihasilkan akan memiliki sifat atau sifat-sifat unggul yang sudah diperbaiki dan sifat atau sifat-sifat yang ditambahkan. Selanjutnya, seleksi diarahkan kepada sifat atau sifat-sifat baik yang berada pada tetua penerima (recipient), maupun yang berasal dari tetua pemberi (donor). Berapa banyak persilangan balik yang diperlukan untuk mengintegrasikan suatu sifat dari tetua pemberi, akan tergantung kepada berapa besar peranan gen pembawa sifat yang kita perlukan itu. Sebagai patokan dan merupakan kelaziman adalah tetap berpedoman pada pemindahan seluruh porsi dari sifat atau sifat-sifat bersangkutan. Dengan kata lain, bila memungkinkan, diharapkan 100% dari sifat yang kita inginkan dapat ditransfer pada tetua yang diperbaiki, Pemuliaan Tanaman Konvensional 41 Secara teoritis, suatu sifat yang ingin ditransfer dari tetua silang balik akan mencapai porsi di atas 90% apabila dilakukan silangbalik sebanyak tujuh generasi silangbalik (Poehlman dan Sleper, 1995). Hal ini disebabkan oleh karena setiap satu generasi silangbalik akan dipindahkan sifat dari tetua berulangnya sebesar 50% dari jumlah yang masih tersisa. Ilustrasi mengenai pernyataan di atas, di gambarkan pada skema berikut (Gambar 3.6). Persilangan tetua AxB AB Keturunan Pertama (Fl) Silangbalik Fl dengan B (BC1) AB BCl x B (BC2) AB BC2 x B (BC3) AB BC3 x B (BC4) AB BC4 x B (BC5) AB AB BC5 x B (BC6) BC6 x B (BC7) AB A=100%; A=50%; A=25%; A=12,5% A=6,25% A=3,12% A=l,56% A=0,78% A=0,39% B=100% B=50% B=75% B=87,5% B=93,75% B=96,88% B=98,44% B=99,22% B=99,61% Gambar 3.6. Skema penurunan suatu sifat melalui perkawinan silangbalik Ada satu macam seleksi lagi yang dapat digunakan pada tanaman menyerbuk sendiri sesudah hibridisasi adalah Diallel Selective Mating System (DSMS). Metode ini menggunakan berbagai variasi metode seleksi dalam usaha mengkombinasikan berbagai karakter yang diinginkan. Kemudian dilanjutkan dengan berbagai metode seleksi lainnya seperti seleksi massa. Skema pelaksanaan DSMS ini sebagaimana disajikan pada Gambar 3.7. Pemuliaan Tanaman Konvensional 42 F2-F4 (Tanaman) F3-F5 (Biji) F1 SERI DIALEL (P2) F1 (Tanaman) F2 (Biji) Seleksi massa F5 SELEKSI GALUR Silang selektif F1 (Tanaman) F2 (Biji) Silang dialel SERI TETUA DASAR (P1) SILANG SELEKTIF-1 (P3) F2 (Tanaman) F3 (Biji) DST DST Gambar 3.7. Prosedur metode silang dialel selektif (Makmur, 1985). Selain dua prosedur utama dan lima metode seleksi yang umum dilakukan untuk pemuliaan tanaman yang menyerbuk sendiri, beberapa metode lainnya juga sering digunakan yaitu: (1) pemuliaan multi galur (multiline breeding), dan (2) varietas campuran (variety blend). Pengertian kedua metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri adalah bahwa yang dimaksud dengan multi galur adalah kumpulan galur-galur yang mempunyai genetik yang sama, dimana masing-masing galur memiliki gen yang berbeda pada suatu sifat keunggulan. Sementara varietas campuran adalah varietas yang berbentuk dari pencampuran secara fisik benih-benih dari dua atau lebih varietas. Uraian lengkap dari kedua macam metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri di atas Pemuliaan Tanaman Konvensional 43 dapat dibaca pada semua buku pemuliaan tanaman, baik literatur asing maupun beberapa literatur yang berbahasa Indonesia. Dari uraian mengenai pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri terlihat bahwa tidak ada persoalan yang sangat pelik mengenai akibat genetik dari penyerbukan sendiri pada tanaman menyerbuk sendiri, sehingga kemungkinan penghanyutan gen atau gen-gen dari suatu sifat sangat kecil. Selain itu tanaman menyerbuk sendiri mempunyai sifat yang menguntungkan dalam hal akibat segregasi karena dari generasi ke generasi tanaman ini mempunyai gen-gen yang homozigot, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya tidak memberi variasi yang besar dari generasi ke generasi. Akhirnya, bahwa tanaman menyerbuk sendiri mempunyai sifat-sifat yang dapat dipertahankan dari percampuran lain dari luar tanaman bersangkutan. Pemuliaan Tanaman Konvensional 44 Bab 4 PEMULIAAN PADA TANAMAN MENYERBUK SILANG 4.1. Pendahuluan Tanaman yang menyerbuk silang (cross pollinated plants) adalah jenis tanaman yang dalam meneruskan generasi keturunannya banya dapat terjadi apabila diserbuki oleh tepung sari dari pohon sejenis lainnya. Perilaku penyerbukan jenis tanaman seperti ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: (l) faktor morfologi, dan (2) faktor fisiologi. Kedua faktor ini masing-masing meliputi (a) monoecy, (b) dioecy, dan (c) alat-alat pembungaan untuk faktor morfologi, sedangkan pada faktor fisiologi mencakup (a) selfincompatibility, dan (b) male sterility. Monoecy mempunyai ciri dengan bunga jantan dan betina berada dalam pohon yang sama (jagung), sedangkan dioecy, antara bunga jantan dan betina berada pada pohon yang berbeda (asparagus, bayam dan pepaya), dan kondisi alat-alat pembungaan (floral devices), sering terjadi ketidaksesuaian ukuran dan letak antara kepala putik dan ruangsari. Pada ketidakserasian silangsendiri (selfincompatibility) karena halangan fisiologis (kembang sepatu, umumnya tanaman ubi jalar), dan sterilitas jantan (male sterility) karena tidak menghasilkan butir tepungsari yang fertil. 4.2. Dasar Genetik Tanaman Menyerbuk Silang Tanaman menyerbuk silang adalah heterozigot dan heterogen. Antara satu individu dengan lainnya sangat berbeda secara genetis meskipun secara fenotip relatif seragam. Keragaman genetik individu dalam populasi sangat besar. Seleksi harus ditujukan hanya pada salah satu sifat ekonomis terpenting, kemudian sifat lainnya untuk menghindari turunnya respon seleksi. Keseimbangan Hardy Weinberg dan faktor-faktor yang mengganggu keseimPemuliaan Tanaman Konvensional 45 bangan tersebut harus dipahami seperti silangdalam (F), besar efektif populasi, peran gen, dan seleksi memihak heterozigot. Silangdalam dan Heterosis Silangdalam (inbreeding) adalah pembuahan yang terjadi dalam tanaman yang sama. Landasan genetik dari depresi silang dalam yaitu: (1) individu-individu adalah heterozigot untuk kebanyakan 1osai, (2) alel resesif khusus pembawa sifat jelek makin bertambah dalam keadaan heterozigot, dan (3) frekuensi alel homozigot jelek makin bertambah dan timbul dalam banyak individu. Akibat silang dalam adalah adanya depresi silangdalam (inbreeding depression) dalam bentuk tanaman menjadi lebih rendah, ketegapan hibrida (hybrid vigor) menurun, dan bertambahnya sifat-sifat yang mengakibatkan kelemahan tanaman. Heterosis atau ketegapan inbrida (inbred vigor) adalah suatu kondisi dengan keturunan dari suatu kawin silang antara inbrida menghasilkan karakter unggul melebihi salah satu tetua minimalnya. Kadang-kadang lebih tinggi dari rata-rata kedua tetuanya, dan malahan lebih tinggi dari tetua tertinggi. Landasan genetik dari heterosis, yaitu: (1) heterosis hanya muncul apabila kedua tetua mempunyai perbedaan alel pada suatu lokus, (2) terdapat beberapa alel yang dominan, (3) adanya dominan sebagian dan dominan lengkap, dan (4) adanya nilai alel heterozigot yang lebih besar dari pada alel homozigot. Pada dasarnya, heterosis dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelas, yaitu: (1) heterosis tetua tengah (mid-parent heterosis), dan (2) heterosisi tetua tertinggi (high parent heterosis). Heterosis tetua tengah adalah heterosis di atas tetua tertinggi. Kedua macam heterosis di atas dapat dikuantifikasikan dan diukur dalam bentuk persentase. Untuk heterosis tetua tengah dapat dihitung dengan formula sebagai berikut: HTT = (F1-RTT)/RTT x 100% sedangkan heterosis tetua tertinggi dihitung dengan formula berikut: HTG = (F1-RTG)/RTG x 100% Pemuliaan Tanaman Konvensional 46 dengan: HTT = heterosis tetua tengah; HTG = heterosis tetua tertinggi; RTT = rata-rata tetua tengah, dan RTG = rata-rata tetua tertinggi. Ilustrasi penggunaan kedua rumus di atas dapat dikemukakan sebagai berikut: Genotipe tetua: AAbbCC x AABBcc, Genotipe keturunan Fl: AABbCc. Andaikan A=10; B=12; b=6; C=8, dan c=4, maka AAbbCC=24, dan AABBcc=25. Apabila tidak ada alel dominan dimana Bb=(12+6)/2=9, dan Cc=(8+4)/2=6, maka AABbCc=25 tidak ada heterosis yang diperoleh. Andaikan ada alel dominan sebagian, dimana Bb=10, dan Cc=7, maka AABbCc=27, sebagai HTTdan HTG. Apabila ada alel dominan lengkap, dimana BB=Bb=12, dan CC=Cc=8 maka AABbCc=30, sebagai HTG. Untuk alel dominan, dimana Bb>BB=13, Cc>Cc dan cc=9 maka AABbCc=32. Beberapa ahli berpendapat, bahwa heterosis: (1) sukar diramalkan. (2) pendugaan heterosis hanya dapat dilakukan apabila tetua-tetua mempunyai perbedaan alel, dan (3) adanya alel dominan pada salah satu lokus. Sebab-sebab terjadinya heterosis yang lebih besar adalah: (1) adanya alel heterozigot lebih besar daripada nilai alel homozigot, sesuai yang dihipotesiskan oleh Shull (1908), dan (2) adanya alel dominan sebagian dan dominan lengkap sebagaimana dihipotesiskan oleh Bruce (1910). 4.3. Metode Pemuliaan pada Tanaman Menyerbuk Silang Ada empat metode dasar dimana varietas baru tanaman menyerbuk silang dapat diperoleh yaitu melalui: (1) introduksi, (2) seleksi, (3) hibridisasi, dan (4) varietas sintetis. Introduksi adalah pemasukan tanaman baru ke dalam program pemuliaan yang dapat berasal dari dalam negeri termasuk hasil domestikasi, dan yang berasal dari luar negeri. Seleksi adalah upaya pemilihan tanaman terbaik (sifat tertentu) dari suatu kelompok individu dalam populasi. Sementara itu, hibridisasi adalah penyilangan antara tanaman, baik yang berkerabat dekat maupun yang berkerabat jauh. Sumber ke empat dalam perolehan varietas tanaman menyerbuk silang adalah Pemuliaan Tanaman Konvensional 47 varietas yang dihasilkan dari persilangan genotipe-genotipe terpilih secara terbuka dan dihasilkan dari beberapa generasi. a. Metode seleksi Dalam metode seleksi, sangat jarang digunakan individu tanaman untuk merakit varietas baru karena adanya segregasi dan silang luar sehingga sangat susah untuk mempertahankan sifat-sifat tetua pada keturunannya. Selain itu, keragaman genetik individu harus dipertahankan untuk mencegah akibat buruk dari perubahan lingkungan. Ada empat metode seleksi pada tanaman menyerbuk silang, yaitu: (1) seleksi massa (mass selection), (2) seleksi tanaman tunggal (single plant selection), (3) seleksi keturunan dan pemuliaan galur (progeny selection dan line breeding), dan (4) seleksi berulang (recurrent selection). Seleksi Massa. Pada mulanya, seleksi massa dianggap tidak efektif digunakan untuk meningkatkan hasil oleh karena dua alasan (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006), yaitu: - ragam genetik aditif akan hilang selama seleksi, dan - menurunnya nilai heritabilitas. Akan tetapi dengan perbaikan tatacara percobaan dan pengendalian lingkungan, kedua alasan di atas tidak dapat dibuktikan, malahan beberapa jenis tanaman seperti jagung, hasilnya dapat ditingkatkan hingga 23% dalam 10 generasi seleksi (2,8% per siklus seleksi), dan ragam genetik pada seleksi awal (S0) sama dengan ragam genetik pada generasi seleksi ke-10, -S10 (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006). Karakter yang diamati dalam seleksi massa adalah sifatsifat yang nampak secara visual dan prinsip pelaksanaannya adalah memilih individu-individu terbaik di dalam populasi, kemudian benih dipanen dan dicampur untuk selanjutnya ditanam di lapangan. Prosedur ini dilakukan secara berulang-ulang dalam tujuh atau delapan generasi. Langkah-langkah pelaksanaan seleksi massa pada tanaman menyerbuk silang sama dengan pada tanaman menyerbuk sendiri sedangkan perbedaannya hanya terletak pada lama percampuran benih. Percampuran benih pada seleksi massa tanaman menyerbuk Pemuliaan Tanaman Konvensional 48 sendiri dianggap telah homogen dengan hanya satu generasi pencampuran benih. Seleksi tanaman tunggal (Single Plant Selection). Prinsip pelaksanaan seleksi ini adalah pemilihan tanaman tunggal yang super, kemudian dilakukan persilangandiri atau kawin silang dengan saudara tirinya pada generasi selanjutnya. Individu dengan sifat superior diperbanyak baik secara generatif maupun secara vegetatif, kemudian silangsendirikan untuk mendapatkan galur murni bagi perakitan varietas hibrida. Seleksi keturunan dan pemuliaan galur (Progeny Selection dan Line Breeding). Metode seleksi ini dilakukan dengan memilih tanaman-tanaman unggul, benihnya dipanen dan ditanam secara terpisah dalam barisan. Keturunan masing-masing ditanam kemudian individu-individu tanaman yang seragam dalam satu keturunan dipanen benihnya dan disatukan. Tanaman-tanaman superior setelah beberapa generasi pencampuran dapat disilangdirikan untuk perakitan galur murni. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Poehlman, 1995; 2006). Musim I: - Seleksi 100-200 tanaman terbaik dari suatu populasi, kemudian benih di panen; Musim II: - Tanam benih-benih dari musim I secara terisolasi, kemudian panen benih masing-masing tanaman secara terpisah; Musim III: - Tanam sebahagian benih dari masing-masing tanaman pada musim II, kemudian uji daya hasil dan ketahanan terhadap hama penyakit, atau analisis kandungan nilai gizinya. - Sebahagian benihnya dipersiapkan untuk ditanam pada musim IV. Musim IV: - Sisa benih pada musim II dipilih 5-10 induk tanaman yang superior, kemudian dicampur untuk perbanyakan benih pendahuluan, atau Pemuliaan Tanaman Konvensional 49 - Campur 5-10 induk superior dari musim II, kemudian ditanam dan benihnya dicampur; Musim V: - Tingkatkan ukuran plot untuk perbanyakan benih dari musim IV, baik yang diperoleh dari musim II maupun dari musim III. Secara skematis, prosedur pelaksanaan seleksi keturunan adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1. Musim I: Seleksi 100-200 tanaman unggul Musim II: Tanam tanaman unggul secara terpisah, panen individu unggul secara terpisah I I I I I I I I I I I I I I I I Musim III: Tanam setiap keturunan unggul untuk uji hasil pendahuluan Musim IV: Campur 5-10 keturunan dari tetua unggul, perbanyak benih dengan meningkatkan ukuran plot Musim V: Perbesar ukuran plot untuk b k b ih Gambar 4.1. Prosedur seleksi pemuliaan keturunan (Modifikasi dari Poehlman, 1985; 2006). Seleksi berulang (Recurrent Selection). Seleksi berulang sangat cocok untuk tanaman menyerbuk silang karena kombinasi persilangan dapat terjadi secara alami. Populasi awal harus bergenetik luas, seperti: varietas bersari bebas, hibrida, varietas sintetis, atau kombinasi antara ketiganya. Selain itu seleksi ini sangat cocok karena dapat dibuat persilangan dalam jumlah yang banyak. Juga dilakukan untuk meningkatkan frekuensi gen atau gen-gen untuk karakter yang diinginkan dengan menghindari akibat buruk dari tekanan silangdalam (inbreeding depression). Mekanisme pelaksanaan metode ini adalah melakukan silangsendiri (selfing) pada tanaman-tanaman yang superior, kemudian dilakukan persilangan antar tanaman secara bebas dengan Pemuliaan Tanaman Konvensional 50 berbagai kombinasi perilangan secara alami. Benih-benih yang dianggap memenuhi syarat untuk suatu tujuan seleksi tertentu, kemudian dicampur dan ditanam secara bebas hingga beberapa generasi. Prosedur ini diulangi hingga beberapa kali, atau tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Skema pelaksanaan seleksi berulang atau seleksi daur ulang disajikan pada Gambar4.2. Daur – 0 Musim I: Seleksi dan serbuk sendiri Daur – 0 Musim II: Salingsilangkan (intercrossing) I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I Daur – 1 Musim I: Tanam campur, serbuk sendiri, dan seleksi Daur – 1 Musim II: Salingsilangkan (intercrossing) DS Gambar 4.2. Skema seleksi daur ulang (Makmur, 1985). Sistematika urutan pelaksanaan seleksi berulang sebagaimana dikemukakan oleh Makmur (1985), adalah sebagai berikut: Daur 0 Musim I: - Seleksi tanaman superior, kemudian lakukan silang sendiri tanaman-tanaman terpilih, panen masing-masing tanaman terpilih. Musim II: - Benih-benih dari musim I ditanam dalam barisan masing-masing kemudian dilakukan salingsilang (intercross) dan benih dipanen. Daur 1 Musim III: - Tanam benih-benih dari musim II secara bercampur, kemudian seleksi tanaman superior, selanjutnya dilakukan silangdiri Pemuliaan Tanaman Konvensional 51 tanaman-tanaman terpilih kemudian panen masing-masing tanaman seperti pada musim I daur 0. Musim IV: - Prosedur dilakukan seperti pada musim II daur 0, dan seterusnya hingga keragaman genetik tanaman yang diinginkan tercapai. b. Hibridisasi Pada dasarnya ada dua prosedur hibridisasi yang dapat dilakukan pada tanaman menyerbuk silang, yaitu: (1) hibridisasi antar varietas, dan (2) hibridisasi antar galur murni. Hibridisasi antar varietas adalah persilangan dua tanaman atau lebih sebagai tetua dari populasi heterozigot pada banyak lokus (loci). Sementara itu, hibridisasi antar galur murni adalah persilangan antara dua atau lebih galur murni dengan konstitusi genetik yang homozigot sempurna, atau homozigot yang hampir sempurna (dianggap homozigot sempurna). Homozigot sempurna hanya dapat dicapai melalui teknik andro- dan partheno-genesis pada kultur in vitro, sedangkan homozigot yang hampir sempurna atau dianggap sempurna, dapat diperoleh melalui silangsendiri (selfing) atau silang antara saudara kandung (full sib mating). Tujuan akhir dari prosedur hibridisasi pertama di atas adalah untuk merakit “hibrida”, sedangkan prosedur hibridisasi ke dua bertujuan untuk merakit “varietas hibrida” yang diharapkan keduanya dapat menghasilkan varietas yang memanfaatkan gejala ketegapan hibrida (hybrid-vigor phenomenon). Hibridisasi antar varietas. Seleksi tanaman hibrida dari hasil persilangan antar varietas dilakukan pada individu-individu superior, dan apabila memungkinkan dapat dilakukan silangsendiri pada tanaman superior tersebut beberapa generasi hingga gen atau gengen yang diinginkan telah berada dalam kondisi homozigot atau hampir homozigot. Untuk menghindari kehilangan ketegapan hibrida yang dikenal dengan “depresi silangdalam” (inbreeding depression) selama kawinsendiri, galur-galur terpilih harus dipilah kemudian digabungkan (pooled). Keturunan F2 atau tanaman F2 yang menunjukkan ciri-ciri fenotipe yang baik dapat dipilih dan disalingsilangkan (intercrossed). Prosedur ini dapat diulangi dua hingga tiga Pemuliaan Tanaman Konvensional 52 siklus salingsilang sampai gen atau gen-gen yang diinginkan telah terkonsentrasi di dalam populasi. Hibridisasi antar galur. Palsafah penggunaan metode hibridisasi ini bahwa antara dua atau lebih galur murni yang mempunyai latar belakang struktur genetik yang berbeda apabila disatukan akan menghasilkan keturunan dengan penampilan sifat atau sifat-sifat yang melebihi tetua-tetuanya. Dari dasar inilah maka individuindividu superior disilangsendirikan agar memiliki pasangan gen atau gen-gen yang homozigot. Dalam kondisi seperti ini, apabila disilangkan dengan galur murni lainnya yang mempunyai perbedaan konstitusi genetik akan menghasilkan suatu kekuatan yang sangat besar. Ini berarti keturunan dari perpaduan kedua galur murni akan menghasilkan ketegapan hibrida atau heterosis. Pada dasarnya ada dua tahap dalam perakitan varietas hibrida, yaitu: (1) pembentukan galur murni, dan (2) persilangan galur murni sebagai tetua. Dalam pembuatan galur murni, semua metode seleksi dapat digunakan untuk menghomogenkan gen atau gen-gen yang terdapat pada tanaman tetua. Akan tetapi cara terbaik untuk tujuan ini adalah dengan cara silang sendiri. Hanya saja, kelemahannya adalah dapat menyebabkan kemunduran inbrida (inbreeding depression) terutama pada spesies tanaman yang menyerbuk silang. Di samping itu, kendala pencapaian derajad homozigositas sempurna (100% alel homozigot) sangat tidak mungkin untuk dicapai meskipun telah memanfaatkan waktu yang panjang sekitar 8-10 generasi silang sendiri, bahkan lebih. Oleh karena itu penggunaan teknik tertentu seperti teknik androgenesis (androgenetic technique) khususnya kultur antera (anthers) atau tepungsari muda (microspores) secara in vitro, sangat tepat karena di samping dapat menghasilkan keturunan dengan konstitusi genetik 100% alel berada dalam keadaan homozigot, juga tanaman homozigot sempurna dapat diperoleh hanya dalam satu musim penanaman. Perakitan varietas hibrida dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) persilangan dua galur murni, melahirkan hibrida silang tunggal, -single cross hybrid, (2) persilangan hibrida dengan satu tetua galur murni atau varietas unggul, melahirkan hibrida silang tiga jalur -three ways crosses hybrid, (3) persilangan antara Pemuliaan Tanaman Konvensional 53 dua hibrida, melahirkan hibrida silang ganda, -double crosses hybrid. Secara skematis, perakitan ketiga macam hibrida di atas dikemukakan pada Gambar 4.3. Musim I II I II III I II III Prosedur Jenis Populasi Persilangan Tunggal (ST) (dua tetua yang disilangkan) Tetua 1 x Tetua 2 Silangkan dua tetua untuk memperoleh benih hibrida F1ST Tanam benih F1ST, Benih hibrida F1 silangsendirikan tanaman F1 Selfing untuk mendapatkan benih F2ST Benih F2 Silangkan dua tetua untuk memperoleh benih hibrida F1 Tanam benih hibrida F1, silangkan tanaman hibrida F1 dengan Tetua 3 untuk mendapatkan benih hibrida F1SA Tanam benih hibrida F1 SA, silangsendirikan untuk mendapatkan benih F2SA Tanam dan silangkan tetua 1 x 2 dan 3 x 4 untuk mendapatkan benih F1 Tanam dan silangkan kedua F1 untuk mendapatkan benih hibrida F1 SG Persilangan Tiga Jalur (SA) (tiga tetua yang disilangkan) Tetua 1 x Tetua 2 Tanaman F1 x Tetua 3 Hibrida F1 Selfing Benih F2 Persilangan Ganda (SG) (Empat tetua yang disilangkan) Tetua 1 x 2 3x 4 Tanaman F1 x F1 Tanam dan salingsilangkan benih Hibrida silang ganda (F1) F1 SG untuk memperoleh benih Selfing F2 SG Benih F2 Gambar 4.3. Ringkasan pembentukan tiga macam varietas hibrida berdasarkan jumlah tetua yang digunakan. Kelemahan dari varietas hibrida adalah bahwa memproduksi benih hibrida (Fl) sangat mahal karena pembentukan benih Pemuliaan Tanaman Konvensional 54 tersebut tidak dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak dengan cara biasa, sehingga memerlukan perbanyakan biji Fl yang tidak menyebabkan berubahnya struktur genetik benih hibrida tersebut. Kecuali, pasangan persilangan galur murni dibuat sebanyak mungkin. Ini berarti bahwa kebutuhan akan lahan dan tenaga yang menangani kegiatan kastrasi/emaskulasi dan persarian buatan diperlukan dalam jumlah yang besar pula. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa apabila Fl ditanam, maka biji yang dihasilkan adalah biji F2, yang berarti bahwa biji F2 bukan lagi benih hibrida karena telah terjadi segregasi. Akibatnya, gejala heterosis akan menurun. Untuk memecahkan masalah produksi benih hibrida secara besar-besaran di atas, diperlukan eksploitasi sifat jantan mandul inti dan atau mandul jantan di luar inti (genetic male sterility dan cytoplasmic genetic male sterility). Sifat kemandulan ini dapat mereduksi penggunaan tenaga kerja terampil untuk kegiatan emaskulasi kastrasi dan persarian buatan. Dalam pelaksanaannya, diperlukan tiga jenis galur murni untuk menerapkan konsep kemandulan jantan, yaitu: (1) adanya galur murni yang mandul jantan, -male sterile; (2) adanya galur murni yang memiliki gen yang dapat mempertahankan sifat mandul jantan, -maintainer line, dan (3) adanya galur murni yang dapat memulihkan sifat kemandulan jantan, -restorer line. Dengan memfungsikan ketiga macam galur murni dimaksud, dapat dilakukan produksi benih hibrida secara besar-besaran. c. Varietas Sintetik Varietas sintetik adalah generasi lebih lanjut tanaman menyerbuk terbuka dari percampuran benih sekelompok galur, varietas. klon, atau hibrida di antara benih kelompok tanaman di atas. Selain itu, varietas sintetis adalah varietas komersial yang telah diperbaiki dengan menggunakan banyak atau kurang standar atau patokan teknik dan telah tersedia untuk diproduksi oleh para petani. Metode varietas sintetis ini memungkinkan untuk eksploitasi heterosis dengan kemampuan menghasilkan benih dalam jumlah terbatas generasi penyerbukan terbuka. Dengan kelebihan ini membuat metode varietas sintetis menjadi populer untuk tanaman Pemuliaan Tanaman Konvensional 55 rerumputan karena kesulitan dalam penciptaan dan pemanfaatan gejala heterosis secara konvensional pada tanaman rerumputan. Ciri-ciri penting varietas sintetis adalah (Poehlman, 1982): - Terbentuk dari unit-unit produktif tanaman menyerbuk silang (klon dan inbrida); - Bahan tanaman yang diseleksi adalah berdasarkan penampilan melalui uji daya gabung; - Tersusun dari persilangan secara rambang dari banyak komponen penyusun varietas, dan - Unit-unit komponen dipertahankan sehingga pembentukannya dapat diulang kembali dalam jangka waktu tertentu. Prosedur pengembangan varietas sintetis (Poehlman dan Sleper, 1995; 2006), sebagai berikut: Musim 1 : - Beberapa ratus tanaman yang diperoleh dari berbagai sumber ditanam; - Beberapa tanaman superior disilangdirikan, baik satu maupun lebih dari satu generasi silangdiri; Musim II: - Tanam 200-400 tanaman superior, pilih 25 hingga 50 tanaman superior, kemudian benihnya dipanen; Musim III : - Tanam benih-benih dari 25 hingga 50 tanaman superior secara terisolasi, kemudian dibiarkan menyerbuk secara acak, panen benihnya lalu dicampur; - Sebahagian benih dari musim II dapat dipilih 4-10 klon untuk membuat varietas sintetis. Klon-klon dapat diisolasi untuk persilangan secara acak; Musim IV: - Benih-benih dari musim III ditanam untuk uji keturunan berdasarkan penampilan keturunannya; Musim V: - Benih dari musim IV dapat diperbanyak dan dengan jumlah yang sama benih setiap klon dipanen dan dicampur, kemudian ditanam sebagai varietas sintetik pertama (syn-1). Benih syn-1 ini ditanam untuk memperoleh benih syn-2 dan seterusnya. Kelihatannya, pemuliaan pada tanaman menyerbuk silang agak rumit dibandingkan dengan pemuliaan pada tanaman menyerPemuliaan Tanaman Konvensional 56 buk sendiri. Ini antara lain disebabkan oleh karena konstitusi genetik jenis tanaman menyerbuk silang agak ruwet dan menimbulkan akibat genetik yang berkonsekuensi merugikan. Selain itu, karena tanaman menyerbuk silang mempunyai konstitusi genetik yang dinamis dimana pada setiap generasi akan mengalami perubahan karena pengaruh faktor eksternal tanaman seperti persarian secara terbuka, maka upaya didalam mempertahankan sifat-sifat yang dimiliki oleh tanaman menyerbuk silang sangat susah. Dengan beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, maka metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk silang sangat berbeda dengan metode pemuIiaan pada tanaman menyerbuk sendiri. Secara skematis, prosedur pengembangan varietas sintetis disajikan pada Gambar 4.4. Tanaman beragam sumber bibit, silangsendirikan beberapa generasi untuk mendapatkan sifat yang diinginkan Tanam 200-400 tanaman unggul Tanam dan silangcampur 25-50 tanaman unggul, benih dipanen dan dicampur menurut tetuanya Uji keturunan persilangan campuran. Pengujian didasarkan pada penampilan keturunan Untuk mendapatkan varietas sintetis, pilih 4-10 tetua dari keturunan unggul, masing-masing ditanam secara terpisah, kemudian disalingsilangkan Dengan jumlah benih yang sama setiap tanaman unggul dicampur untuk penanaman generasi sintesis-1. Benih dari penyerbukan terbuka, dipanen untuk penanaman generasi sintesis-2, dan selanjutnya untuk perolehan varietas baru Gambar 4.4. Prosedur pengembangan varietas sintesis (Poehlman, 1982; 2006). Pemuliaan Tanaman Konvensional 57 Bab 5 PEMULIAAN PADA TANAMAN MEMBIAK VEGETATIF 5.1. Pendahuluan Banyak tanaman yang mempunyai nilai komersial tinggi direproduksi dengan cara aseksual yaitu reproduksi tanpa melakukan kombinasi gamet. Pohon buah-buahan secara tradisional diperbanyak dengan cara stek. Strawberry diperbanyak dengan menggunakan batangnya yang menjalar. Tanaman kentang diperbanyak melalui tunas yang terdapat pada umbinya. Rumput-rumputan dan kacang-kacangan sering diperbanyak dengan cara memisahkan rumpun-rumpunnya. Banyak lagi tanaman budidaya lainnya yang perbanyakannya sangat tergantung pada reproduksi vegetatif. Secara umum tanaman yang berbiak secara vegetatif harus memiliki bagian-bagian tertentu yang dapat dipergunakan untuk memperbanyak diri menjadi individu baru, bagian tertentu tersebut seperti: Rhizome, yaitu poros batang yang terdapat di dalam tanah (jahe, kunyit, canna, lengkuas, dsb.). Stolon, yaitu batang yang merayap di permukaan tanah (mawar, lada, strawberry, dsb.). Umbi, yaitu bagian batang yang tumbuh di dalam tanah (gladiol, kentang, dsb.). Umbi lapis misalnya bawang merah, bulbs misalnya bawang putih, dan tunas akar (cemara). Bentuk lain dari perbanyakan secara vegetatif yaitu pemanfaatan biji hasil peristiwa apomiksis yaitu suatu proses pembentukan biji akibat perkembangan gamet betina jadi bukan hasil kombinasi gamet jantan dan betina. Proses apomiksis untuk tanaman berbiak secara vegetatif mempunyai keuntungan karena biji-biji dapat dengan mudah disimpan dan ditransportasikan. 5.2. Dasar Cenetik Tanaman Membiak Vegetatif Implikasi genetik untuk tanaman yang berbiak secara vegetatif cukup jelas. Jika tidak terjadi mutasi atau penggabungan gamet Pemuliaan Tanaman Konvensional 58 jantan dan betina, maka genotipenya akan stabil. Populasi tanaman berbiak secara vegetatif bersifat homogen dengan populasi berasal dari klon-klon akan memiliki sifat genetik yang sama dengan tetua asalnya. Jadi, bila telah ditemukan kombinasi genetik yang diinginkan, pembiakan vegetatif sangat menguntungkan karena selain diperoleh tanaman yang seragam juga reproduksi dapat dilakukan dalam jumlah yang tidak terbatas terutama melalui teknik in vitro. Seringkali para pemulia tanaman budidaya yang melakukan reproduksi vegetatif melakukan rekombinasi genetik dalam pembentukan zigot melalui penggabungan seksual, sama seperti halnya pada tanaman yang berbiak secara seksual, walaupun kejadian ini sulit dan sering menemukan kendala. Namun, bila rekombinasi genetik dapat dilakukan dengan mudah dan efektif, maka prinsipprinsip genetika dapat diterapkan sama seperti mekanisme secara seksual sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 5.3. Metode Pemuliaan pada Tanaman Membiak Vegetatif Sama seperti halnya pada tanaman yang menyerbuk sendiri dan tanaman yang menyerbuk silang, metode pemuliaan dimulai dari pembentukan plasma nutfah. Menurut Poehlman (1982), paling kurang ada tiga prosedur yang dipergunakan dalam pemuliaan tanaman yang membiak secara vegetatif. Ketiga metode dimaksud adalah: (1) introduksi, (2) seleksi klon, dan (3) hibridisasi. Fehr (1993) mengemukakan empat metode pemuliaan pada tanaman yang membiak secara vegetatif yaitu: (1) pengumpulan plasma nutfah, (2) seleksi klon, (3) hibridisasi, dan (4) seleksi klon setelah hibridisasi. Sementara itu, menurut Chahal dan Gosal (2002) metode pemuliaan pada tanaman membiak vegetatif dibagi dalam empat cara, yaitu: (1) introduksi dan aklimatisasi, (2) seleksi, (3) hibridisasi, dan (4) mutasi. Pendapat yang terakhir di atas ternyata mencakup dua pendapat sebelumnya sehingga keempat prosedur yang dikemukakan terakhir, akan menjadi uraian dalam buku ini. 5.3.1. Introduksi dan aklimatisasi Prosedur introduksi adalah bagaimana klon atau bahan tanaman itu didatangkan, apakah dari luar daerah ataupun dari luar Pemuliaan Tanaman Konvensional 59 negeri. Pengumpulan plasma nutfah umumnya dimulai dengan suatu kegiatan eksplorasi guna menyediakan semua keragaman genetik baik itu berupa genotipe lokal, tipe liar, dan hasil introduksi. Keragaman genetik dapat pula ditimbulkan dengan cara memanfaatkan hasil proses mutasi dan membuat rekombinasi genetik melalui hibridisasi atau memanfaatkan teknik fusi sel bila hibridisasi seksual mengalami kendala. Setelah keragaman yang tinggi diperoleh, plasma nutfah dikarakterisasi agar proses seleksi dapat berjalan secara efektif untuk mendapatkan sejumlah klon yang baik dan memiliki berbagai keunggulan, untuk kemudian diperbanyak dan dikembangkan sebagai varietas unggul baru. Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian pada seleksi klon. Adapun keuntungannya yaitu: a. menghasilkan klon yang stabil dan mudah dibudidayakan; b. memperbaiki mutu tanaman; c. mengeksploitasi mutasi-mutasi yang diinginkan yang terjadi pada jaringan somatis, mengeliminasikan tipe tanaman yang tidak produktif dan tidak diinginkan yang selalu timbul dari waktu ke waktu pada tanaman komersil. Sementara itu, kerugiannya yaitu: a. tidak menghasilkan variasi baru, dan b. hanya dapat diterapkan untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. 5.3.2. Seleksi klon Tanaman yang membiak secara vegetatif, individu genotipe diperbanyak dengan klon. Seleksi klon dapat dilakukan pada tanaman membiak vegetatif dalam populasi campuran secara genetik. Klon-klon superior, didasarkan pada penampakan fenotipe, diisolasi dari populasi, kemudian diperbanyak secara vegetatif. Kemajuan seleksi klon sangat ditentukan oleh ketersediaan jumlah genotipe superior yang diisolasi. Metode seleksi klon ini sangat kecil peranannya dalam memperbaiki genetik klon, karena perbanyakan vegetatif mempertahankan genotipe tanpa melakukan perubahan, seperti terjadinya mutasi dan menghasilkan mutasi buku/ tunas, kimera (chimera), atau mozaik. Pemuliaan Tanaman Konvensional 60 Mutasi yang menguntungkan ini sangat jarang terjadi, akan tetapi nilai mutasi dapat ditingkatkan melalui penggunaan bahanbahan mutagen. 5.3.3. Hibridisasi Rekombinasi gen hanya terjadi sebagai hasil dari perbanyakan generatif. Meskipun suatu tanaman umumnya diperbanyak secara vegetatif, perbanyakan generatif diperlukan untuk menciptakan keragaman genetik melalui rekombinasi gen. Dengan menyilangkan dua klon superior, populasi baru dapat dibentuk. Hibrida dari penyilangan ini dapat digunakan sebagai sumber bahan seleksi untuk pembentukan klon baru. Karena klon tetua adalah heterozigot, segregasi akan terjadi pada generasi F1, sehingga masing-masing individu F1 akan merupakan sumber potensil untuk bahan seleksi klon baru. Oleh karena pertimbangan penurunan ketegapan hibrid (hybrid vigor), silangsendiri (selfing) pada tanaman superior tidak dilakukan, sehingga cara yang tepat untuk memanfaatkan individu superior tadi harus dilakukan pembiakan secara vegetatif. Klon-klon terpilih kemudian dilakukan uji daya hasil dan sifat-sifat lainnya dalam uji-uji plot berulangan. Kemurnian genetik klon dapat mudah dipertahankan dengan perbanyakan secara vegetatif, dan sejumlah besar strain atau varietas dapat ditanam bersama-sama dalam kebun-kebun pembibitan. Gen-gen yang tidak diinginkan muncul dalam populasi hasil persilangan, dapat dieliminasi melalui silangkembali (backcrossing) kepada tetua yang diinginkan atau dengan menggunakan varietas yang telah dibudidayakan dalam beberapa generasi silangkembali. Oleh karena silangkembali pada satu klon atau varietas dapat menghasilkan kemunduran hibrida (hybrid depression), maka penggunaan beberapa tetua silangkembali akan memecahkan masalah tersebut. Selain dua metode di atas, kemungkinan penggunaan metode lain dapat dipertimbangkan. Metode-metode dimaksud adalah teknik poliploidisasi dan teknik mutasi. Kalau teknik poliploidisasi mempunyai prinsip meningkatkan level perpasangan kromosom pada tanaman (dari diploid menjadi triploid, tetraploid dan sebagainya), maka teknik mutasi adalah di samping merubah Pemuliaan Tanaman Konvensional 61 jumlah pasangan kromosom tanaman juga merubah struktur kromosom dalam sel. Akibat dari perubahan ini menyebabkan terciptanya keragaman genetik pada tanaman. Diskusi lebih lanjut mengenai teknik poliploidisasi di atas akan dikemukakan pada Bab VII. 5.3.4. Mutasi Mutasi adalah perubahan secara mendadak terhadap suatu sifat yang mewaris pada tanaman melalui induksi atau perlakuan secara sengaja menggunakan bahan mutasi atau MUTation AGENt, (agen mutasi). Pemuliaan bagi tanaman yang membiak vegetatif melalui teknik mutasi mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah setiap titik tumbuh tanaman dapat diberi perlakuan mutagen dan diperbanyak sesudahnya. Sementara itu, kekurangannya adalah bahwa tanaman membiak vegetatif umumnya menyerbuk secara silang (cross pollination) sehingga konstitusi genetiknya akan heterozigot. Implikasinya, akan sangat sulit untuk diperbaiki melalui persilangan (sexual hybridization) antara tanaman karena rekombinasi dan segregasi yang luas di antara keturunan hasil persilangan. Lebih jauh, umumnya akibat persilangan antara tanaman menyerbuk silang dapat menyebabkan hilangnya sifat yang terdapat pada tetua. Sifat poliploidi kompleks dan periode dewasa tanaman yang panjang juga merupakan kesulitan lainnya dalam menerapkan persilangan antar tanaman pada tanaman membiak secara vegetatif. Melalui pemuliaan mutasi pada tanaman yang membiak vegetatif, tanaman mula-mula tetap dipertahankan konstitusi genetiknya, sementara yang mengalami perubahan hanya pada bagian yang mendapat perlakuan mutasi. Biasanya, bagian yang mengalami perubahan adalah jaringan sel somatis seperti: buku, petiole, tunas, umbi, dan bulb (umbi palsu) yang terjadi hanya beberapa sel menyebabkan terbentuknya kimera (chimera). Dengan demikian, tanaman yang dihasilkan akan merupakan campuran beberapa sifat genetik yang berbeda termasuk genetik asalnya atau dikenal sebagai “mericlinal chimera”. Prosedur umum pemuliaan mutasi pada tanaman membiak vegetatif (Chahal dan Gosal, 2002), adalah sebagai berikut (Gambar 5.1). Pemuliaan Tanaman Konvensional 62 Tabel 5.1. Skema umum pemuliaan mutasi pada tanaman membiak vegetatif melalui perlakuan pada biji (Chahal dan Gosal, 2002) Tahun Ke-1 Generasi Kegiatan M0 Mutasikan 500 biji atau lebih dengan mutagen yang sesuai Ke-2 M1 • Tanam berjarak biji yang telah dimutasikan, hanya beberapa tanaman yang bermutasi • Amati mutasi dominan • Pilih 20 biji untuk setiap tanaman/malai M1 Ke-3 M2 • Tanam biji dalam baris yang sama untuk setiap tanaman • Pilih tanaman yang menunjukkan mutasi • Pilih tanaman normal, fertil dan sehat untuk sifat yang diinginkan • Panen benih terpilih dan simpan terpisah Ke-4 M3 • Tanam secara terpisah setiap keturunan • Seleksi mutan dan galur seragam, campur jika homogen • Panen secara individu bagi baris keturunan yang bervariasi Ke-5 M4 • Evaluasi hasil gabungan/tanaman individu pada uji pendahuluan dan pilih individu untuk bahan seleksi selanjutnya • Galur bersegregasi biasanya ditolak Ke-5-ke-9 M5-M8 • Ulangi uji multilokasi mutan yang stabil Ke-10 M9 Perbanyakan benih dan pelepasan varietas Menurut metodenya, mutasi dapat dilakukan secara: (1) fisik, dan (2) kimia. Secara fisik dilakukan dengan menggunakan teknik penyinaran seperti: (a) sinar X, (b) sinar Gamma, (c) sinar Ultra Violet, (d) sinar β atau partikel-β, (e) Netron, dan (f) partikel yang diperkaya (particles from accelerators). Sementara itu, secara Pemuliaan Tanaman Konvensional 63 kimia, meliputi: (a) komponen basa analog dan yang berhubungan, (b) antibiotik, (c) agen alkilasi, (d) acridin, (e) azida, (f) hydroxylamine, dan (g) nitrous acid. Bahan kimia yang paling banyak digunakan pada teknik mutasi secara kimia adalah dari kelompok alkilasi, yaitu: (1) ethyl methane sulphonate (EMS), (2) Diethyl sulphate (DES), (3) methyl nitroso urea (MNU), (4) ethyl nitroso urea (ENU), dan (5) ethyleneimine (EI). 5.4. Pemuliaan bagi tanaman apomik Ada dua bentuk tanaman apomik, yaitu: (1) apomik fakultatif (facultative apomicts), dan (2) apomik obligat (obligate apomicts). Apomik fakultatif adalah tanaman apomik yang dihasilkan dari tanaman yang selain dapat menghasilkan biji secara seksual, juga dapat menghasilkan biji apomik. Sementara itu, apomik obligat adalah tanaman yang dihasilkan dari apomiksis. Tiga pendekatan yang dapat digunakan bagi pemuliaan tanaman apomik (Murty, 1991), meliputi: (1) fiksasi heterosis, (2) “vybrid”, dan (3) produksi homozigot murni. Vybrid adalah populasi yang secara fenotipe stabil. Meskipun cara perkembangbiakan tanaman secara vegetatif mempunyai kelemahan dalam perolehan tanaman bebas virus, metode ini telah dapat memecahkan masalah tersebut melalui teknik kultur in vitro, baik kultur sel dan jaringan tanaman maupun dengan kultur organ tanaman. Mengenai kultur in vitro ini tidak akan dibahas pada buku ini. Pemuliaan Tanaman Konvensional 64 Bab 6 PEMULIAAN TANAMAN UNTUK RESISTENSI 6.1. Pendahuluan Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat disebabkan oleh dua jenis gangguan, yaitu yang berasal dari faktor biotis (organisme hidup), dan yang berasal dari faktor abiotis (lingkungan). Dari faktor biotis ini meliputi gangguan hama dan penyakit, sedangkan dari faktor abiotis meliputi gangguan dari tekanan lingkungan tumbuh tanaman yang tidak menguntungkan. Hasil penelitian terbaru diungkapkan bahwa baik resistensi terhadap faktor abiotis yang meliputi hama dan penyakit tanaman, maupun ketahanan terhadap tekanan lingkungan seperti kondisi tanah dengan salinitas atau aluminium yang tinggi ternyata ditentukan oleh faktor genetis. Ini berarti faktor-faktor tersebut dapat muncul pada tanaman karena tidak adanya gen atau gen-gen yang mengendalikan pengaruh buruk faktor-faktor tersebut. Dalam kaitan inilah maka pada bagian ini akan dikemukakan bagaimana cara-cara melakukan pemuliaan terhadap ketahanan hama dan penyakit serta ketahanan terhadap tekanan lingkungan pertumbuhan tananam. Selanjutnya, sebelum kedua aspek di atas diuraikan, akan dikemukakan dasar genetik resistensi tanaman terhadap kedua faktor pengganggu tersebut di atas. 6.2. Dasar Genetik Resistensi Tanaman Pada dasarnya, kerentanan atau ketahanan tanaman terhadap faktor-faktor pengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat tergantung pada informasi genetik yang terdapat pada dua tempat, masing-masing: (1) gen atau gen-gen yang terdapat di dalam inti sel (nucleus), dan (2) gen atau gen-gen yang terdapat di dalam plasma sel (cytoplasm). Gen atau gen-gen yang terdapat di dalam inti sel dapat terdiri dari: - satu gen, - beberapa Pemuliaan Tanaman Konvensional 65 gen, dan - banyak gen. Sedangkan gen atau gen-gen yang terdapat di dalam plasma sel, juga dapat mempunyai komposisi seperti pada inti sel. Perbedaan keduanya adalah bahwa gen atau gen-gen yang terdapat di dalam inti sel dapat mewaris pada keturunannya, sedangkan gen atau gen-gen yang terdapat pada cairan plasma relatif tidak mewaris. Kalaupun gen atau gen-gen yang terdapat pada plasma sel mewaris pada keturunannya, sifatnya tidak permanen karena pewarisan plasma sel hanya terjadi manakala tetua betina pembawa gen tersebut tetap digunakan sebagai tetua betina selama proses persilangan tanaman. Melalui kuantifikasi gen di dalam sistem pewarisan tanaman, menyebabkan pengenalan dua macam ketahanan, yaitu: (1) ketahanan vertikal, dan (2) ketahanan horizontal atau ketahanan tidak spesifik. Ketahanan vertikal teramati pada sifat kualitatif, dimana penyebabnya adalah hanya ditentukan oleh satu atau beberapa gen, sedangkan ketahanan horizontal atau sering juga disebut ketahanan lapangan/umum tertuju pada sifat kuantitatif. Penyebab ketahanan horizontal ditentukan oleh banyak gen (polygen/multigen), dan frekuensi keturunannya bervariasi secara kontinu. Masing-masing bentuk ketahanan mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan resisten vertikal adalah gen atau gen-gen yang menyebabkan resisten tersebut mudah ditransfer dan hasilnya dapat diperkirakan, sedangkan kerugiannya adalah bahwa bila muncul ras baru dari suatu pengganggu dapat menyebabkan tanaman tersebut tidak resisten. Untuk resisten horizontal, mempunyai keuntungan dalam hal kemampuannya mengontrol banyak ras pengganggu, meskipun ada ras baru pengganggu akan sukar mengatasi keanekaragaman gen ketahanan terhadap suatu pengganggu. Kerugian dari resisten horizontal adalah susahnya memindahkan gen-gen tersebut dari satu genotip ke genotip lainnya. Frekuensi individu yang diinginkan pada keturunan tidak dapat diperkirakan, dan kemungkinan pemindahan semua alel resisten yang diinginkan dari resisten menjadi tidak resisten akan mudah bila banyak alel yang terlibat. Penyakit tanaman diartikan sebagai penyimpangan metabolisme yang menurunkan potensi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Ini disebabkan oleh adanya serangan hama atau penyakit yang mengganggu proses metabolisme tanaman secara normal. Pemuliaan Tanaman Konvensional 66 Serangan hama dan penyakit yang sangat cepat dan merusak sangat luas dinamakan efifitotik. Timbulnya serangan hama dan penyakit dapat disebabkan oleh tiga faktor, masing-masing: - tanaman inang yang rentan, - patogen yang agresif, dan - lingkungan patogen yang menguntungkan. Dua ahli mengilustrasikan bahwa terjadinya gangguan pada tanaman oleh jazat pengganggu dapat dijelaskan melalui teori masing-masing. Flor (1956) dari penelitiannya tentang penyakit karat pada tanaman Flax dengan "gene-for-gene hypothesis", dan Browning (1963) dengan "locks and keys hypothesis". Flor menjelaskan bahwa timbulnya serangan karat pada tanaman Flax disebabkan oleh adanya gen yang mengendalikan, baik pada tanaman maupun pada jazat pengganggu. Demikian juga Browning, bahwa "kunci" (locks) dalam hipotesisnya dianalogikan sebagai gen dominan, sedangkan "pengunci'' (keys) adalah gen resesif. Hipotesishipotesis di atas dirangkum pada Tabel 6.1 sebagai berikut (Fehr, 1993). Tabel 6.l. Hubungan kombinasi alel-alel dominan untuk ketahanan pada tanaman dan alel resesif untuk virulensi pada organisme pengganggu yang menghasilkan ketahanan dan kerentanan tanaman (Flor, 1956) Gen-gen untuk Respon pada Kultivar Ketahanan pada Virulensi pada Tanaman Pengganggu Tanaman 1 Tidak ada Beberapa gen Rentan 2 ATida kada Tahan 3 AAa Rentan 4 A-BAa Tahan 5 A-BBb Tahan 6 A-Baabb Rentan 7 A-B-Caabb Tahan 8 A-B-Caabbcc Rentan Ilustrasi lain yang menerangkan bagaimana teori “gene-forgene hypothesis” atau “locks and keys hypothesis” pada interaksi Pemuliaan Tanaman Konvensional 67 antara inang dan patogen dalam menimbulkan suatu penyakit tanaman, dikemukakan oleh Vanderplank (1984) yang menyatakan bahwa: “gen resisten –R1, adalah suseptibel pada suatu patogen yang memiliki gen virulensi –v1, dan tidak memiliki patogenitas tanpa kehadiran gen pasangannya berapa besarpun virulensi yang dimiliki”. Skema interaksi pasangan gen-gen dimaksud yang digambarkan dalam satu, dua, dan tiga pasangan alel dimaksud, berturut-turut disajikan pada Tabel 6.2; 6.3, dan 6.4. Tabel 6.2. Interaksi inang dan patogen bagi “gene-for-gene hypothesis” Gen pada Patogen VVv Gen pada Inang RR-V- Resisten R-vv Suseptibel Rr RrV- Suseptibel Rrvv Suseptibel Tabel 6.3. Interaksi dua lokus pada inang dan dua lokus pada patogen Gen pada Inang R1R1r2r2 R1r1R2R2 Suseptibel Resisten Resisten Suseptibel Gen pada Patogen v1v1V2V2 V1V1v2v2 Tabel 6.4. Interaksi tiga lokus pada inang dan tiga losai pada patogen Gen R R1 R2 R3 R1R2 R1R3 R2R3 R1R2R3 (0) S R R R R R R R (1) S S R R R R R R (2) S R S R R R R R Ras (3) (1,2) (1,3) (2,3) (1,2,3) S S S S S R S S R S R S R S S S R S S S R S R R S R R S R S R R R S S R R R R S Hipotesis lain yang menguraikan bagaimana suatu penyakit timbul pada tanaman dikemukakan oleh Stackman (1957) yang dikenal dengan teori atau konsep “ras fisiologi” atau komposisi Pemuliaan Tanaman Konvensional 68 “ras patogen”. Teori dimaksud diilustrasikan sebagaimana pada Tabel 6.5. Tabel 6.5. Respon varietas terhadap suatu patogen dalam menimbulkan suatu penyakit menurut komposisi ras patogen T = Resisten P = Suseptibel Varietas V1 V2 Ras Patogen R1 T T R2 T P R3 P T R4 P P Ilustrasi pada tabel di atas menguraikan bahwa dalam varietas yang berbeda akan memiliki respon yang berbeda terhadap timbulnya suatu penyakit karena adanya perbedaan komposisi ras patogen. Demikian pula, pada varietas yang berbeda akan memberikan respon yang sama/berbeda pada beberapa ras patogen yang berbeda. Tiga bentuk mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangga hama yaitu: (1) Tidak menyukai (non-preference), meliputi respon serangga terhadap ciri-ciri tanaman yang membuat serangga tidak menyukai tanaman tersebut untuk: - tempat berkembang biak, makanan, - persinggahan, - atau kombinasi ketiganya; (2) Anti biosis (antibiosis), adalah akibat tidak baik dari jaringan tanaman yang digunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembangbiak, seperti menghambat pertumbuhan serangga, kematian serangga, dan menunda saat dewasa bagi serangga, dan (3) Toleran (tolerance), adalah kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berkembang serta menyelesaikan siklus hidupnya meskipun populasi serangga sama banyaknya dengan populasi serangga yang merusak pada tanaman yang tidak toleran. Mekanisme tanaman untuk memperkecil akibat penyebab penyakit bagi perkembangan dan perbanyakan organisme juga terdiri dari tiga (Fehr, 1993) yaitu: (1) Ketahanan terhadap kehadiran patogen, meliputi; - hipersensitifitas (hypersensitivity), tanaman terinfeksi patogen; Pemuliaan Tanaman Konvensional 69 - ketahanan spesifik (specific resistance), ras tertentu dari penyakit tidak dapat menginfeksi tanaman; - ketahanan yang tidak merata (non-uniform resistance), inang menghambat perkembangan ras tertentu, tetapi tidak untuk ras lainnya; - ketahanan gen-gen utama (major gene resistance), ras penyakit dikendalikan oleh gen-gen utama di dalam inang, dan - ketahanan vertikal (vertical resistance), ketahanan inang mengendalikan satu atau jumlah terbatas ras penyakit. (2) Ketahanan terhadap patogen yang telah hadir, meliputi: - ketahanan lapangan (field resistance), menginokulasi tanaman di laboratorium dapat menunjukkan kerusakan akibat patogen, tetapi di lapangan tanaman yang dicoba hampir menunjukkan perkembangan yang normal ketika patogen hadir; - ketahanan umum (general resistance), inang mempunyai kemampuan untuk menahan perkembangan ras-ras patogen; - ketahanan yang tidak spesifik (non-specific resistance), ketahanan inang tidak terbatas pada ras patogen tertentu; - ketahanan yang merata (uniform resistance), ketahanan inang dapat dibandingkan untuk semua ras patogen yang baik untuk semua ras dan tidak baik untuk lainnya; - ketahanan gen minor (minor gene resistance), ketahanan inang dikendalikan oleh sejumlah gen yang masing-masing mempunyai pengaruh yang kecil, dan - ketahanan horizontal (horizontal resistance), keragaman dalam ketahanan inang adalah utamanya disebabkan oleh perbedaan antara kultivar dengan isolat (bibit penyakit), dari pada interaksi kultivar khusus dengan isolat. (3) Toleransi (tolerance), yaitu kemampuan tanaman untuk tumbuh baik meskipun muncul gejala kerentanan tanaman inang. Tanaman yang toleran tidak mampu mencegah atau mematahkan serangan/perkembangan patogen setelah menyerang. 6.3. Metode Pemuliaan untuk Resistensi Terhadap Hama Sebelum memilih teknik pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap hama serangga, mula-mula harus diketahui beberapa hal berikut ini. (1) Lokasi gen atau gen-gen ketahanan Pemuliaan Tanaman Konvensional 70 berada dari sumber, (2) pemindahan gen atau gen-gen resisten ke dalam varietas yang telah beradaptasi melalui hibridisasi, dan (3) hasil hibridisasi tersebut diuji dengan menginvestasikan serangga hama ke dalam populasi hibrida untuk melihat strain-strain mana yang resisten dan mana yang toleran. Dasar-dasar dan teknik-teknik yang digunakan di dalam pemuliaan tananam untuk ketahanan hama serangga adalah sama pada metode-metode atau teknik-teknik yang diterapkan dalam metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri atau menyerbuk silang. Prinsip dasarnya adalah membuat tananaman yang akan disilangkan berada dalam kondisi homogen, minimal untuk gen atau gen-gen ketahanan terhadap hama yang akan diuji sebelum hibridisasi (prosedur standar) atau metode persilangan lainnya. Untuk tujuan mengkutubkan semua gen atau gen-gen penyandi ketahanan suatu hama serangga, penggunaan metode silangbalik (back-cross) adalah metode yang tepat. Sesudah silangbalik beberapa kali, individu-individu tanaman keturunannya dapat diuji dengan melakukan skrining (screening), baik terhadap tanaman yang masih muda (plantlet), maupun terhadap tanaman dewasa, atau sesuai tujuan pengujian yang ingin dilakukan. Adapun prosedur pelaksanaan screening dapat dibaca pada buku-buku yang mengulas mengenai berbagai metode pengujian terhadap berbegai jenis serangga hama. 6.4. Metode Pemuliaan untuk Resistensi Terhadap Penyakit Metode pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit adalah sama secara prinsip dengan metode pemuliaan terhadap hama serangga. Perbedaannya hanya terletak pada sistem seleksi yang digunakan. Kalau serangga hama hanya melepaskan populasi serangga hama pada tanaman yang diuji, pengujian tanaman untuk ketahanan pada penyakit tertentu harus dilakukan penginokulasian biakan murni penyakit secara fisik pada tanaman yang diuji. Oleh karena itu prosedur pemuliaan tanaman terhadap ketahanan penyakit juga dapat dipelajari pada literatur yang sesuai. Penggunaan sistem silangbalik untuk memindahkan gen ketahanan suatu penyakit (RR) ke dalam varietas budidaya yang memiliki gen toleran terhadap penyakit tersebut (rr) tetapi mempunyai Pemuliaan Tanaman Konvensional 71 sifat superior tertentu, dapat diilustrasikan berikut: Tahap I: Persilangan tetua berulang (rr) x tetua donor (RR) menghasilkan F1 (100% Rr); Tahap II: Persilangan F1 dengan rr menghasilkan 50% RR + 50% rr, akan tetapi keturunan yang bergenotipe rr dibuang (disicarded), sedangkan yang bergenotipe Rr digunakan untuk persilangan dengan tetua rr; Tahap III-VI: Prosedur pada tahap II diulangi hingga generasi silang balik ke-6; Tahap VIII: Benih hasil persilangan dari tahap VI yang bergenotipe Rr disilangsendirikan, akan menghasilkan tiga bentuk genotipe, yaitu RR, Rr dan rr. Melalui cara screening tanaman yang bergenotipe Rr dan rr akan terserang pada saat inokulasi biakan murni penyakit, sedangkan tanaman yang bergenotipe RR akan resisten. Tahap IX: Perbanyakan benih. 6.5. Metode Pemuliaan untuk Resistensi Terhadap Faktor Abiotik Kerebahan pada tanaman, kerapuhan biji sesaat setelah pematangan tercapai, dan ketahanan terhadap kekeringan lingkungan tumbuh adalah contoh-contoh permasalahan dalam mengoptimalkan produksi akhir (hasil) suatu tanaman. Sifat-sifat tersebut diketahui ternyata dikendalikan oleh gen atau gen-gen tertentu dalam tanaman. Meskipun ekspresi gen atau gen-gen juga ditentukan oleh faktor lingkungan seperti kerebahan pada tanaman padi atau jagung akan dapat terjadi apabila mengalami pertumbuhan yang sangat subur karena pengaruh pemupukan N dosis tinggi, akan tetapi dengan menanam varietas rebah ini di tempat lain memungkinkan untuk tidak rebah bila mendapat pemupukan N dengan dosis rendah. Untuk memberikan kesimpulan bahwa varietas yang ditanam di lokasi kedua ini memiliki gen atau gen-gen ketahanan terPemuliaan Tanaman Konvensional 72 hadap kerebahan adalah hal yang terlalu terburu-buru. Oleh karena itu untuk memberi vonis yang tepat, diperlukan pengujian secara bersama-sama dengan varietas tertentu yang telah terbukti memiliki gen ketahanan terhadap tekanan lingkungan tertentu. Metode pemuliaan yang diperlukan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap tekanan lingkungan tertentu akan sama saja dengan metode pemuliaan untuk mendapatkan tanaman yang resisten terhadap hama dan penyakit. Selain itu, informasiinformasi yang harus diketahui sebelum kegiatan pemuliaan tanaman yang tahan terhadap tekanan lingkungan tertentu, juga diperlukan seperti yang terdapat pada ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit. Lokasi gen atau gen-gen ketahanan harus telah terdeteksi, transfer gen melalui prosedur hibridisasi standar, atau silang balik dapat dilakukan, dan keturunan-keturunan yang tahan dan tidak tahan harus dapat dibedakan atau harus dapat dikenali. Sistem seleksi yang digunakan sama dengan pada sistem pemuliaan tanaman pada umumnya, dan metode screening adalah metode seleksi yang cukup akurat. Begitu pentingnya pemahaman hubungan tiga faktor yang mendorong terjadinya serangan hama dan penyakit pada tanaman, sehingga konsep resistensi dan kerentanan dapat merupakan pokok persoalan yang harus selalu mendapat pengkajian lebih lanjut. Di samping itu, prinsip-prinsip genetika yang menyebabkan resistensi dan toleran hingga kerentanan tanaman terhadap hama dan penyakit, juga menjadi hal penting yang perlu difahami sebab dari pengetahuan ini akan memberi peluang kepada pemahaman mekanisme serupa atau hampir serupa, bahkan berbeda pada kasus-kasus ketahanan tanaman lainnya yang belum terungkap. Mengenali tanaman-tanaman yang memiliki gen atau gengen ketahanan terhadap pengganggu bertumbuh dan berproduksi tanaman, dan kemungkinan mentransfer gen atau gen-gen pada tanaman lainnya merupakan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki dalam melaksanakan pemuliaan tanaman untuk resistensi terhadap hama, dan penyakit, serta ketahanan terhadap tekanan lingkungan tempat hidup tanaman. Pemuliaan Tanaman Konvensional 73 Bab 7 PEMULIAAN TANAMAN MELALUI POLIPLOIDISASI 7. 1. Pendahuluan Ploidi adalah tingkat tertentu dari jumlah set kromosom dalam suatu organisme hidup. Dari pengertian di atas maka ploidi tanaman adalah keadaan jumlah set kromosom yang terdapat dalam sel-sel tanaman, baik sel-sel somatik maupun sel-sel gametik. Tingkat ploidi tanaman dimulai dari haploid (setengah set kromosom) dari ploidi normal tanaman bersangkutan hingga poliploid (banyak set kromosom). Andaikata suatu spesies tanaman mempunyai tingkat ploidi sebagai diploid (2n =2X= 60 kromosom), maka 1n=1X=30 kromosom (haploid). Demikian pula apabila tanaman tersebut berploidi 2n=3X, maka jumlah kromosomnya adalah 90 (triploid), 2n=4X=120 kromosom (tetraploid), 2n=5X=150 kromosom (pentaploid), 2n=6X=180 kromosom (heksaploid), dan seterusnya. Apa arti dari perbedaan-perbedaan jumlah set kromosom di atas adalah bahwa apabila tanaman bersangkutan berploidi dasar diploid, maka peningkatan jumlah set kromosom (triploid, atau tetraploid) biasanya memberikan banyak keuntungan baik dari segi ukuran (produk/hasil) tanaman maupun dari segi mutu hasil tanaman. Bahkan dari ploidi paling rendahpun (haploid) memberikan keuntungan dalam hal pemuliaan tanaman secara konvensional. Dalam kaitan ini tingkat haploid tanaman dapat dieksploitasi dalam menciptakan tanaman homogen dengan memperpendek waktu persilangan, dimana dengan cara persilangan konvensional homozigositas tanaman akan tercapai setelah 7 atau 8 generasi. Melalui teknik haploidisasi, tanaman haploid dapat dihomogenkan hanya dalam dua generasi penanaman. Dalam bagian ini akan diuraikan metode pemuliaan tanaman secara poliploidisasi melalui teknik mutasi dan teknik poliploidisasi lainnya. Pemuliaan Tanaman Konvensional 74 7.2. Teknik Mutasi Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada kromosom tanaman, baik struktur (susunan) maupun jumlah kromosom dalam sel-sel tanaman. Bahkan dalam skala kecil, mutasi kromosom dapat terjadi dalam bentuk perubahan satu atau beberapa nukleotida sebagai penyusun gen atau gen-gen yang menentukan suatu sifat tanaman. Begitu besarnya arti mutasi dalam bidang pemuliaan tanaman sehingga penelitian dan pemanfaatan teknik mutasi ini telah jauh berkembang, bukan hanya melalui teknik-teknik mutasi yang digunakan akan tetapi juga jumlah beragam spesies tanaman yang digunakan sebagai obyek. Berdasarkan kejadiannya, mutasi pada tanaman dapat terjadi dalam dua cara, yaitu: (1) mutasi alami, dan (2) mutasi buatan. Mutasi alami adalah mutasi yang terjadi secara alamiah sebagai akibat adanya sinar kosmos, batuan radioaktiv, dan sinar ultra violet dari matahari. Mutasi buatan atau sering disebut mutasi diinduksi adalah perubahan bahagian vegetatif dan generatif tanaman yang dilakukan secara sengaja oleh manusia. Untuk mutasi alami, dalam uraian ini tidak akan dikemukakan lebih lanjut sebab mutasi alami adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi, sedangkan mutasi buatan akan diuraikan lebih lanjut dalam bahasan berikutnya. Menurut penyebabnya, mutasi buatan dapat terjadi karena adanya bahan yang menyebabkan mutasi yang dikenal dengan mutagen, sebagai singkatan dari MUTA-tion dan aGENts. Bahan mutagen terdiri dari dua bagian besar, yaitu bahan fisika dan bahan kimia. Kalau bahan fisika mutagen terdiri dari radiasi (penyinaran) dengan panjang gelombang tertentu, maka bahan kimia mutagen terdiri dari bahan-bahan kimia yang merubah konstitusi kromosom dalam sel tanaman. Contoh-contoh bahan fisika mutagen adalah: sinar X, - sinar gamma, - sinar beta; - neutron cepat dan neutron lambat; - partikel alfa; - sinar devetron; dan - sinar ultra ungu. Selain itu, bahan kimia mutagen terdiri dari: metansulfonat; etilenamin; - diepoksibutan; - mustard nitrogen; - dan etilenoksida. Perubahan-perubahan genetik dapat terjadi di setiap tempat di sepanjang kromosom. Perubahan tersebut dapat meliputi pergantian karakter kualitatif dan kuantitatif. Gregory (1966) menunjukPemuliaan Tanaman Konvensional 75 kan bahwa mutasi induksi pada kacang tanah dapat terjadi perubahan sistem pewarisan sifat poligen dan monogen. Pemuliaan mutasi pada tanaman tingkat tinggi dapat dibedakan dalam dua macam, masing-masing untuk tanaman yang dikembangbiakkan secara seksual dan aseksual. Pada tanaman yang berkembangbiak secara seksual umumnya dilakukan pada biji atau benih tanaman bersangkutan, akan tetapi pada tanaman yang berkembangbiak secara tak kawin dilakukan dengan memberikan perlakuan pada bahagian vegetatif tanaman. Bahagian-bahagian vegetatif tanaman yang sering digunakan dalam pelaksanaan mutasi induksi adalah jaringan-jaringan meristem tanaman yang mengandung sel-sel yang sangat aktif membelah seperti: - titik tumbuh pucuk, - titik tumbuh cabang/buku tunas, - titik tumbuh pucuk lateral, dan - jaringan meristem akar. Bagian-bagian vegetatif tanaman yang mendapat perlakuan mutasi akan menghasilkan kimera (chimera), yaitu kumpulan selsel atau jaringan yang mengalami perubahan konstitusi genetik (gen dan kromosom) sehingga berbeda dengan sel-sel jaringan di sekitarnya. Apabila kimera yang terjadi pada jaringan gametik, maka tanaman yang dihasilkan dari mutasi ini merupakan mutan yang akan mewariskan mutasi yang terjadi padanya. Akan tetapi bila mutasi terjadi pada jaringan somatik maka mutan tersebut tidak akan mewariskan sifat mutannya. Mutasi induksi biasanya relatif lebih baik pada tanaman yang menyerbuk sendiri dibanding dengan tanaman yang menyerbuk silang. Pada tanaman yang menyerbuk sendiri sebahagian besar alel yang tidak bernilai adaptasi tinggi biasanya akan cepat lenyap karena sifat homzigositasnya. Hilangnya alel tersebut berarti memperkecil variabilitas genetik. Sedangkan pada tanaman menyerbuk silang, adanya sistem perkawinan acak akan memelihara heterozigisitas dalam struktur-struktur populasi, dengan demikian akan meningkatkan variabilitas genetik. Berdasarkan hal di atas maka peluang untuk memperoleh mutasi dan variabilitas genetik yang diinginkan melalui cara-cara buatan pada tanaman yang menyerbuk sendiri secara teoritis lebih tinggi dibanding pada tanaman menyerbuk silang. Metode mutasi pada biji dilakukan dengan menginduksi biji M0 untuk menghasilkan mutan-mutan generasi pertama (M1). Pemuliaan Tanaman Konvensional 76 Tanaman-tanaman dari M1, telah dapat dilakukan diseleksi pendahuluan, dan kegiatan seleksi ini dilaksanakan pada generasigenerasi mutasi selanjutnya (M2, M3, dst.). Karena mutasi terinduksi bersifat acak, maka alel yang bernilai mungkin berkombinasi dengan mutasi yang tidak diharapkan atau dengan kromosom yang pecah dan abnormal. Untuk memperoleh genotipe yang tepat, diperlukan populasi mutan yang cukup besar. Metode mutasi pada bahagian vegetatif tanaman dilakukan dengan mengolesi/menyinari bahagian tanaman tersebut, kemudian dibiarkan tumbuh sebagai mutan-mutan. Pada bahagian vegetatif yang telah mengalami mutasi tadi disetek kemudian ditanam dalam medium pasir untuk pertumbuhan selanjutnya. Melalui kultur in vitro, bahagian tanaman ini dapat juga diperbanyak dalam medium organik buatan. Seleksi terhadap mutan-mutan yang diperoleh dari tanaman yang dikembangkan secara vegetatif dilakukan sama seperti pada mutasi melalui biji. 7.3. Teknik haploidisasi Haploidisasi adalah suatu upaya dalam pemuliaan tanaman untuk membentuk tanaman setengah dari tingkat ploidi aslinya. Sebagai contoh, tanaman 2n=2X menjadi 1n=1X, 2n=4X menjadi 1n=2X, atau 2n=6X menjadi 1n=3X. Tujuan utama dari pemuliaan haploid adalah untuk memperoleh tanaman haploid ganda (doubled hap-loid) yang homozigot sempurna (completely homozygous) dalam waktu yang relatif singkat sehingga dapat memperpendek waktu bagi pelepasan varietas/kultivar baru. Dalam menciptakan tanaman homozigot melalui metode konvensional seperti metode-metode: - bulk, - single-seed-descent, - pedigree, - seleksi massa, dan lain-lain, generasi tanaman homozigot diploid akan diperoleh setelah tujuh atau delapan generasi. Sementara itu, dengan metode haploid tanaman homozigot akan diperoleh hanya paling lama dua generasi, bahkan tanaman haploid ganda dapat terjadi secara spontan hanya dalam satu generasi (spontaneously doubled haploid). Pada dasarnya ada dua metode yang dapat digunakan dalam pembentukan tanaman haploid, yaitu: (1) secara konvensional, melalui persilangan tanaman yang berbeda spesies dalam genera Pemuliaan Tanaman Konvensional 77 yang sama, atau melalui teknik mutasi, dan (2) secara inkonvensional, yaitu melalui teknik kultur in vitro baik organ-organ gametik seperti kultur bunga jantan dan bunga betina, ataupun dengan kultur sel-sel somatik tanaman haploid itu sendiri. Perakitan tanaman haploid melalui cara pertama khususnya melalui persilangan tanaman yang berbeda spesies akan diuraikan lebih lanjut pada bahasan berikut ini, sedangkan untuk cara kedua akan diuraikan pada bagian lainnya. Persilangan antar spesies tanaman yang berbeda dalam genus yang sama telah banyak dilakukan untuk menghasilkan tanaman haploid. Salah satu teknik yang sangat populer adalah teknik "bulbosum". Teknik bulbosum ini adalah persilangan antara tanaman diploid "barley" yang telah dibudidayakan (Hordeum vulgare) dengan tanaman diploid barley liar (Hordeum bulbosum). Hasil dari persilangan ini diperoleh keturunan yang mempunyai konstitusi genetik seperdua (haploid) dari set kromosom tetuanya. Oleh karena tanaman haploid tidak dapat menghasilkan biji karena tidak berfungsinya organ jantan (tepung sari steril), maka tanaman haploid ini kemudian diberikan perlakuan kolkisin (colchicine), bahan mutagen, dengan cara mengoleskan pada tanaman muda yang baru berkecambah, untuk menggandakan kromosomnya sehingga menjadi tanaman haploid ganda. Dari tanaman haploid ganda inilah yang akan menghasilkan biji secara sempurna sehingga untuk selanjutnya benih-benih ini dapat ditanam dan tumbuh sebagai tanaman diploid dan fertil. Keuntungan lain dari teknik haploid ini adalah bahwa kalau pada haploidisasi secara konvensional juga diperoleh tanaman homozigot secara teoritis. Akan tetapi, indeks homozigositasnya tidak akan pernah mencapai 100% meskipun dilakukan hingga generasi tak terhingga. Pada haploidisasi dengan metode bulbosum dan metode in vitro, tanaman haploid ganda akan diperoleh dengan indeks homozigositas sebesar 100%. Ini berarti penerapan teknologi lainnya seperti dalam rekayasa genetik, transfer gen atau gengen asing akan mudah dilakukan karena adanya sifat asing pada tanaman homozigot akan mudah diawasi. Pemuliaan Tanaman Konvensional 78 7.4. Teknik poliploidisasi Tanaman yang tergolong poliploid adalah semua tanaman yang mempunyai set kromosom di atas diploid. Ini berarti tanaman triploid adalah tanaman poliploid yang paling rendah. Dengan demikian maka teknik poliploidisasi adalah suatu metode untuk melakukan penggandaan jumlah set kromosom dalam sel-sel tanaman. Keuntungan umum dari teknik poliploidi pada tanaman adalah bahwa peningkatan jumlah genom suatu tanaman akan diikuti dengan peningkatan ukuran sel dan pembesaran organ tanaman. Pengertian ini harus dibatasi bahwa hanya pada tingkat ploidi tertentu suatu tanaman akan mencirikan bentuk keuntungan di atas, dalam arti terdapat tingkat ploidi tertentu yang mencapai tingkat optimal dari peningkatan ukuran sel dan pembesaran organ tanaman. Berdasarkan sumber kromosom tanaman, poliploidi mempunyai dua bentuk, masing-masing: (1) autopoliploidi, dan (2) allopoliploidi. Kalau autopoliploidi, poliploidi sendiri, terjadi penggandaan kromosom dari tanaman itu sendiri, maka allopoliploidi adalah penggandaan kromosom yang berasal dari penggabungan kromosom tanaman bersangkutan dengan tanaman lainnya. Dengan kata lain autopoliploidisasi adalah upaya penggandaan kromosom tanaman bersangkutan, sedangkan allopoliploidisasi adalah upaya penggandaan kromosom tanaman setelah tanaman bersangkutan mendapat tambahan kromosom dari sumber lainnya. Kedua bentuk ploidi ini dapat dilihat pada pembentukan tanaman semangka tanpa biji (triploid) untuk autopoliploid, dan persilangan antara gandum (Triticum) dengan rye (Secale) yang menghasilkan tanaman budidaya serealia "triticale" (Triticale spp.), untuk bentuk allopoliploid. Pada contoh allopoliploid di atas, dikembangkan dua tipe triticale, yaitu: (1) triticale yang oktaploid terdiri dari enam genom gandum dan dua genom rye, yaitu dari persilangan gandum roti (2n=6X=42) dengan diploid rye (2n=2X=14). F1 dari persilangan ini mempunyai tiga genom dari gandum dan satu genom dari rye yang benar-benar tidak berpasangan di antara ke-28 kromosomnya. Kemudian biji F1 ini diberikan kolkisin untuk menggandakan kromosomnya, sehingga individu generasi berikutnya mempunyai Pemuliaan Tanaman Konvensional 79 kromosom 2n=6X=56, dan (2) tipe heksaploid yang dihasilkan dari persilangan antara gandum durum (2n=4X=28) dengan rye diploid. Melalui penggandaan biji F1-nya akan menghasilkan tanaman yang mempunyai kromosom 2n=6X=42. Karakter umum dari teknik poliploidisasi adalah terciptanya tanaman yang memiliki kromosom dengan kelipatan tertentu. Dengan terciptanya jumlah kromosom pada kelipatan tertentu akan memberikan efek terhadap peningkatan produksi dan kualitas hasil tanaman, baik karena terjadinya transfer genetik dari tanaman lain maupun hanya pemanfaatan kromosom tanaman itu sendiri yang mengalami penggandaan. Sebagai rangkuman dari bahasan mengenai pemuliaan poliploidisasi adalah bahwa dengan metode ini akan memberikan keuntungan berupa memperpendek waktu untuk melepas kultivar baru (teknik haploidisasi) sehingga akan mengurangi biaya produksi dan tenaga serta ruang yang diperlukan sebagaimana yang digunakan dalam pemuliaan konvensional sepenuhnya. Selain itu penciptaan variabilitas tanaman untuk seleksi tanaman yang memiliki sifat atau sifat-sifat unggul (teknik mutasi), dan pembuatan tanaman yang memiliki kuantitas produksi yang tinggi dan peningkatan kualitas hasil yang tinggi pula (poliploidisasi), juga merupakan tujuan penyelenggaraan metode pemuliaan ploidisasi. Pemuliaan Tanaman Konvensional 80 Bab 8 ANALISIS DATA PEWARISAN SIFAT DALAM PEMULIAAN TANAMAN 8.1. Pendahuluan Melihat sejumlah besar gen dengan pengaruh yang kecil dan mirip bersama pengaruh utama yang berasal dari faktor lingkungan akan menyulitkan dan tidak mungkinkan untuk membuat kelompok-kelompok dari suatu sifat kuantitatif yang berbeda. Dengan demikian, tidak hanya sejumlah gen yang mengendalikan suatu karakter, akan tetapi pengaruh sendiri-sendiri masing-masing gen dapat dengan mudah diketahui melalui pendekatan konvensional dengan menganalisis variasi berkelanjutan (continuous variation). Fisher (1918) mengusulkan bahwa secara praktis hanya dapat menentukan sifat-sifat rerata yang disandikan oleh gen banyak dalam bentuk pengaruh utama dan interaksi gen-gen atau alel-alel yang dapat dijelaskan menurut istilah Mendel yang lebih populer, seperti: dominan, epistasis, bertaut (linkage), dan lain sebagainya. Konsep dasar dan aplikasi genetika kuantitatif kebanyakan pada populasi kawin acak (random mating population), telah diuraikan oleh Falconer (1989), sedangkan Mather dan Jinks (1982) telah menguraikan sebelumnya secara rinci mengenai prosedur yang dapat diaplikasikan pada populasi yang dihasilkan dari persilangan antara tetua galur murni. Publikasi yang lebih baru mengenai analisis variasi kuantitatif yang sejalan dengan teori dan aplikasinya telah diuraikan oleh Kearsey dan Pooni (1998), dan uraian ringkas disertai contohcontoh penerapan masing-masing aspek merupakan sajian utama pada bagian ini. Semua contoh atau teladan yang dikemukakan dalam uraian berikut merupakan kompilasi hasil penelitian yang berkaitan dengan bahasan ini yang berasal dari publikasi di dalam negeri dan dari luar negeri. Pemuliaan Tanaman Konvensional 81 8.2. Pewarisan Sifat Kuantitatif Sifat kuantitatif adalah suatu label yang melekat pada suatu ciri penampakan tanaman yang dapat diukur dengan suatu angka. Secara genetik, sifat kuantitatif merupakan ekspresi gen-gen yang menyandikan sifat tersebut. Jumlah gen yang terlibat atau menentukan penampilan suatu sifat kuantitatif minimal terdapat dua gen atau alel, dan bahkan lebih dari dua gen atau alel. Nilai-nilai yang melambangkan suatu sifat kuantitatif menunjukkan persebaran yang berlanjut (continuous) yang sulit dibedakan antara satu kelas dengan kelas lainnya. Suatu populasi terdiri dari unsur-unsur: (1) tetua betina-P1, (2) tetua jantan-P2, (3) keturunan pertama, F1, (4) keturunan pertama persilangan resiprok, F1R, (5) keturunan silangbalik antara F1 dengan tetua betina, BC1.1, (6) keturunan silangbalik antara F1 dengan tetua jantan, BC1.2, dan (7) keturunan kedua, F2. Dari struktur seperti ini, berbagai macam parameter genetik dapat diduga dengan menggunakan prosedur yang sesuai seperti berikut. a. Pendugaan pengaruh tetua betina (Maternal effect) Pendugaan pengaruh tetua betina pada pewarisan suatu sifat kepada keturunannya, diperlukan data dari suatu sifat yang menjadi perhatian bagi keturunan F1 dan F1 resiprok. Nilai rerata keduanya (F1 dan F1 resiprok), dibandingkan dengan menggunakan uji-t (TStudent). Formula uji-t yang digunakan adalah menurut Steel dan Torrie (1980): t= X F1 − X F1R S F 1 − S F 1R dengan: t = perbedaan kedua rerata (t-hitung) X F1 = nilai rerata pengamatan F1 X F1R = nilai rarata pengamatan F1 resiprok S F 1 = varian/ragam F1 S F 1R = varian/ragam F1 resiprok Pemuliaan Tanaman Konvensional 82 Ada dua kemungkinan kesimpulan yang dihasilkan dari pengujian ini, yaitu: (1) t-hitung lebih kecil atau sama dengan ttabel, yang bermakna kedua nilai rerata mempunyai rerata yang sama, berarti tetua betina tidak berperan pada pewarisan suatu sifat pada keturunannya, dan (2) t-hitung lebih besar dari t-tabel, yang bermakna kedua tetua mempunyai rerata yang berbeda, yang berarti tetua betina berperan pada pewarisan suatu sifat pada keturunannya. b. Pendugaan jumlah gen pengendali suatu sifat Sebelum data pewarisan suatu sifat dianalisis, data rerata suatu sifat pada keturunan/generasi F2 diperiksa tipe persebaran datanya. Apabila data berdistribusi tidak normal dengan lebih dari satu puncak (bi- atau multi-modal), maka data tersebut diklasifikasi menjadi dua, tiga, empat, dan lima kelas. Untuk mengetahui nisbah genotipiknya, dilakukan pengujian kesesuaian nisbah fanotipe segregasi populasi F2 hasil pengamatan dengan harapan segregasi Mendel, menggunakan uji Chi-square (Steel dan Torrie, 1980). Akan tetapi, apabila data berdistribusi normal dengan satu puncak (unimodal) berarti sifat yang dianalisis mewaris secara kuantitatif dan dikendalikan oleh dua atau lebih gen. Dengan demikian, diperlukan analisis dan penentuan jumlah gen atau alel yang berperan menggunakan model pendugaan Das dan Griffey (1994), atau menurut cara Kuspira dan Bhambhani (1994). (1). Pendugaan jumlah gen pengendali melalui pengujian kesesuaian nisbah fenotipe menurut Steel dan Torrie (1980) Adapun formula uji Chi-square menurut Steel dan Torrie (1980) adalah:  (O − E ) 2  χ2 = ∑  E   dengan: χ2 = Chi-square hitung O = nilai pengamatan (obsevasi) E = nilai harapan menurut segregasi Mendel Pemuliaan Tanaman Konvensional 83 Kesimpulan yang dihasilkan dari analisis ini adalah kesesuaian nisbah genotipe berdasarkan data fenotipis yang meliputi alternatif: (1) dua kelas fenotipe dengan nisbah 3 : 1, 9 : 7, 13 : 3, dan 15 : 1; (2) tiga kelas fenotipe dengan nisbah 1 : 2 : 1, 9 : 3 : 4, 9 : 6 : 1, dan 12 : 3 : 1; (3) empat kelas fenotipe dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1, dan (4) lima kelas fenotipe dengan nisbah 1 : 4 : 6 : 4 : 1. Penamaan masing-masing nisbah genotipik di atas disajikan pada Gambar 8.1. MONOHIBRIDA Keterangan 2/4 Aa 1/4 aa 1:2:1 2 1 Kodominan 3:1 3 1 Dominan DIHIBRIDA AABBAABbAaBBAaBbAAbbAabb aaBB aaBb aabb 1/16 2/16 2/16 4/16 1/16 2/16 1/16 2/16 1/16 9:7 9 7 Resesif ganda 13:3 13 3 Dom. resesif 15:1 15 1 Isoepistasi 9:3:4 9 3 4 Resesif 12:3:1 12 3 1 Dominan 9:6:1 9 6 1 Semi epistasi 10:3:3 5 3 3 5 6:3:3:4 6 3 3 4 Epistasi 9:3:3:1 9 3 3 1 Koepistasi 1:4:6:4:1 1 4 5 2 1 2 1 Rasio 1/4 AA 1 Gambar 8.1. Beragam interaksi antar gen atau alel. (2). Pendugaan jumlah gen pengendali menurut formula Das dan Griffey (1994) atau menurut formula Kuspira dan Bhambhani (1994). Jumlah gen pengendali suatu fenotipe diduga dengan formula Wright (1920) yang dimodifikasi oleh Cockerham (1963) dan digunakan oleh Das dan Griffey (1994) sebagai berikut: Pemuliaan Tanaman Konvensional 84 n= ( P1 − P2 ) 8 σ F2 − (2σ 2 F1 + σ 2 P1 + σ 2 P2 ) / 4 [ 2 ] dengan: n = jumlah gen pengendali P1 = rerata tetua P1 P2 = rerata tetua P2 σ 2 P1 = varians P1 σ 2 P2 = varians P2 σ 2 F1 = varians F1 σ 2 F2 = varians F2 Sementara itu, jumlah gen pengendali suatu fenotipe yang diduga dengan cara Kuspira dan Bhambhani (1994), mengikuti formula sebagai berikut: N= D2 8[σ F2 − σ F1 ] dengan: N = jumlah gen pengendali D2 = beda rerata kedua tetua σ = varians Hasil analisis Das dan Griffey, dan Kuspira dan Bhambhani di atas akan disimpulkan berapa banyak gen atau alel yang mengendalikan suatu sifat yang dianalisis. c. Pendugaan aksi gen Aksi gen diduga dengan menghitung aksi dominansi gen pada populasi bersegregasi dari rerata rasio potensi (Potence ratio) antara keturunan F1 dengan kedua tetuanya mengikuti formula Griffing (1950), sebagai berikut: Pemuliaan Tanaman Konvensional 85 hp = ( F 1 − MP) 1 / 2( HP − MP) dengan: hp = rasio potensi F1 = keturunan pertama hasil persilangan tetua MP = mid parent, rerata kedua teua HP = rerata tetua tertinggi Menurut Petr dan Frey (1966), kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis “Potence-ratio” di atas adalah salah satu dari beberapa alternatif berikut: (1) tidak ada dominansi (zero dominance, hp = 0), atau apabila nilai hp = 0, (2) dominansi sempurna (complete dominance, hp = – 1 atau hp = + 1), atau apabila nilai hp = + 1 atau – 1, (3) dominansi negatif tidak sempurna (negative dominance incomplete, – 1 < hp < 0), atau apabila nilai hp antara kurang dari 0 hingga kurang dari – 1, (4) dominansi positif tidak sempurna (positive dominance incomplete, 0 < hp < 1), atau apabila nilai hp antara kurang dari 0 hingga kurang dari + 1, dan (5) dominansi lebih (over dominance, – 1 > hp > 1), atau apabila nilai hp antara lebih kecil dari – 1 dan lebih besar dari + 1. d. Pendugaan interaksi gen-gen tidak sealel (non-alellic gene interaction) Andaikata kita memiliki dua galur murni dengan suatu sifat yang disandikan oleh gen tunggal dua alel pada satu lokus, sehingga masing-masing bergenotipe AA dan aa. Jika AA dianggap sebagai genotipe dominan, maka berdasarkan persepakatan ilmuwan genotipe ini dianggap sebagai tetua pertama (P1) yang berciri memiliki nilai paling tinggi dengan simbol (+/+) atau dengan nilai genetik (+a), dan lainnya sebagai tetua ke dua (P2) yang memiliki nilai paling rendah (-/-) atau dengan nilai genetik (-a) dari tetua lainnya. Apabila kedua galur murni ini (P1 x P2) disilangkan/dikawinkan, maka akan diperoleh keturunan pertama (F1) bergenotipe Aa dan diberi simbol (+/-) atau dengan nilai genetik (d). Dari informasi di atas, maka struktur dan formula nilai rerata semua famili, dapat ditulis seperti berikut: Pemuliaan Tanaman Konvensional 86 Genotipe: AA Simbol: +/+ Nilai genetik: +a x aa -/-a ïƒ Aa +/d Oleh karena ketiga famili di atas masing-masing mencirikan distribusi gen atau alel tertentu, maka famili-famili tersebut didefinisikan sebagai: P1 = m + [a], P2 = m - [a], dan rerata kedua tetua, ( P1 + P2 )/2 adalah {(m + [a]) - (m - [a])}/2 = 2m/2 = m. Nilai m digunakan sebagai patokan karena merupakan kombinasi pengaruh semua gen atau alel dari kedua tetua. Dengan demikian, nilai rerata semua famili dari suatu persilangan dua galur murni di atas dapat diekspresikan seperti berikut: P1 = m + a, P2 = m – a, dan F1 = m + d. Untuk memperoleh famili keturunan ke dua (F2), keturunan pertama (F1) disalingsendirikan (selfing) sehingga nilai rerata F2 juga dapat dihitung. Demikian pula, untuk mendapatkan keturunan silangkembali (backcrossing), keturunan F1 disilangkan dengan tetua P1 untuk mendapatkan keturunan BC.1.1, dan keturunan F1 disilangkan dengan tetua P2 untuk mendapatkan keturunan BC.1.2. Nilai rerata ketiga famili di atas dapat dihitung sebagai berikut: Genotipe F1: Aa x Aa ïƒ F2: AA + Aa + aa Frekuensi: 1/4 2/4 1/4 Nilai genetik: m+d m+d (m+a) (m+d) (m–a) F2 = m + 1/4(m+a) + 2/4(m+d) + 1/4(m-a) = m + 2/4d sehingga F2 = m + 1/2d sedangkan nilai rerata famili BC.1.1., adalah: Genotipe: Aa x AA ïƒ BC.1.1.: AA + Aa Frekuensi: 1/2 1/2 Nilai genetik: (m+d) (m+a) (m+a) (m+d) BC1.1 = m + 1/2(m+a) + 1/2(m+d) = m + 1/2(a) + 1/2(d) sehingga BC1.1 = m + 1/2(a) + 1/2(d) dan dilai rerata famili BC.1.2., adalah: Genotipe: Aa x aa ïƒ BC.1.2.: Aa + aa Frekuansi: 1/2 1/2 Nilai genetik: (m+d) (m-a) (m+d) (m-a) Pemuliaan Tanaman Konvensional 87 BC1.2 = m + 1/2(m+d) + 1/2(m-a) = m + 1/2(d) + 1/2(-a) sehingga BC1.2 = m +1/2(d) + 1/2(-a) Dengan model enam parameter Jinks dan Jones (1958), maka formula nilai rerata semua famili yang dihasilkan di atas dan kedua tetuanya dapat ditulis seperti berikut: P1 = m + [a] P2 = m – [a] F1 = m + [d] F2 = m + 1/2[d] BC1.1 = m + 1/2[a] + 1/2[d] BC1.2 = m – 1/2[a] + 1/2[d] dengan: m = rerata kedua tetua = [(P1 + P2)/2] [a] = (rerata P1 – rerata P2)/2 [d] = (rerata F1 – m) Hasil uji enam parameter di atas akan diperoleh salah satu kesimpulan yang sesuai dari analisis, yaitu: (1) tidak menerima bahwa model aditif-dominan dari pewarisan suatu sifat, dan (2) menerima bahwa model aditif-dominan berperan pada pewarisan suatu sifat. Sementara itu, uji skala gabungan Mather dan Jinks (1971), adalah sebagai berikut: 2 A = 2 BC1.1 − P1 − F1 ïƒ S A2 = 4 S BC + S P21 + S F2 1 1.1 dan t(db) = A / S A2 2 B = 2 BC1.2 − P2 − F1 ïƒ S B2 = 4 S BC + S P2 2 + S F2 1 1.2 dan t(db) = B / S B2 C = 4 F2 − P1 − 2 F1 − P2 ïƒ SC2 = 16 S F2 2 + 4 S F2 1 + S P21 + S P2 2 dan t(db) = C / SC2 Dari uji skala gabungan di atas akan dihasilkan satu dari dua alternatif kesimpulan berikut: (1) tidak ada interaksi gen-gen Pemuliaan Tanaman Konvensional 88 non-alelik yang berperan pada pewarisan suatu sifat, bila tidak terdapat perbedaan yang signifikan hasil uji-t, dan (2) ada interaksi gen-gen non-alelik yang berperan pada pewarisan suatu sifat, bila terdapat perbedaan yang siginifikan hasil uji-t. e. Pendugaan nilai heritabilitas Dengan struktur materi percobaan seperti dikemukakan di atas, maka heritabilitas yang diduga adalah heritabilitas dalam arti sempit (Narrow sense heritability) yang disimbolkan sebagai H atau h2(NS), (bukan h kuadrat). Perhitungan parameter dimaksud sebagaimana diuraikan di atas, maka formula umum nilai heritabilitas dalam arti sempit (NS, narrow sense) menurut Warner, (1952) adalah: 2 2 2σ 2 − (σ BC 1.1 + σ BC1.2 ) h 2 ( NS ) = F 1 2 σF2 dengan: h 2 ( NS ) = heritabilitas dalam arti sempit σ F2 1 = varian/ragam keturunan pertama σ F2 2 = varian/ragam keturunan ke dua 2 σ BC 1.1 = varian/ragam keturunan pertama dengan tetua P1 2 σ BC 1.2 = varian/ragam keturunan pertama dengan tetua P2 Menurut Stansfield (1983) nilai heritabilitas dalam arti sempit diklasifikasikan sebagai berikut: (1) tinggi, jika nilai h2(NS) lebih besar sama dengan 5, (2) sedang, jika nilai h2(NS) antara 0,2 hingga 0,5 dan (3) rendah, jika nilai h2(NS) lebih kecil dari 2. Dengan demikian, kesimpulan yang akan diperoleh dari pengukuran suatu heritabilitas dalam arti sempit adalah salah satu dari ketiga kriteria di atas. f. Kemajuan genetik (Genetic advance) Akibat diikutkannya keturunan hasil persilangan, maka kemajuan genetik yang dicapai pada keturunan hasil persilanganPemuliaan Tanaman Konvensional 89 nya juga dapat dihitung. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kemajuan genetik (KG) dari struktur populasi yang dikemukakan seperti di atas adalah dengan menggunakan rumus Allard (1960) sebagai berikut. KG = (k )( S F 2 )(h 2 NS ) dengan KG = kemajuan genetik k = indeks seleksi 5% (2,06) SF2 = standar deviasi populasi F2 h2 (NS) = heritabilitas dalam arti sempit Berdasarkan nilai yang diperoleh dari analisis kemajuan genetik suatu sifat yang dipelajari akan dihasilkan pilihan kesimpulan sebagai berikut: (1) rendah, jika nilai KG lebih kecil dari 0,033, (2) agak rendah, jika nilai KG antara 0,033 hingga kurang dari 0,066, (3) agak tinggi, jika nilai KG antara 0,066 hingga kurang dari 1,00 dan (4) tinggi, jika nilai KG adalah 1,00 atau lebih (Karmana et al., 1990). Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengukuran kemajuan genetik suatu sifat adalah salah satu dari keempat kriteria di atas. 8.3. Teladan Penggunaan Rumus a. Pendugaan pengaruh tetua betina (Maternal effect) Dicontohkan dari suatu penelitian “Pola Pewarisan Karakter Jumlah Berkas Pembuluh Kedelai” (Alia, et al., 2004) dengan menyilangkan antara genotipe No. 73 dengan No. 49. Genotipe No. 73 berciri sebagai tetua dengan jumlah berkas pembuluh yang banyak, sedangkan genotipe No. 49 berciri sebagai tetua dengan jumlah berkas pembuluh yang sedikit. Dari persilangan bergantian peran tetua, diperoleh data sebagai berikut (Tabel 8.1). Pemuliaan Tanaman Konvensional 90 Tabel 8.1. Rerata umlah berkas pembuluh hasil persilangan bergantian peran tetua antara kedelai genotipe No.73 dengan kedelai genotipe No. 49 Parameter Jumlah tanaman Rerata Ragam Ragam gabungan Perbedaan rerata Perbedaan ragam No. 73 x No. 49 No. 49 x No. 73 (F1R) (F1) 58 57 15,9138 15,8421 1,2030 1,8096 1,5234 0,0717 0,2302 Dengan menggunakan uji-t (T-Student) sesuai rumus Steel dan Torrie (1980): t= X F1 − X F1R S F 1 − S F 1R maka: t = (15,9138 – 15,8421)/(1,2030 – 1,8096) = 0,0717 – 0,2302 = 0,3114, sehingga t-hitung = 0,3114. Berdasarkan nilai ttabel pada tingkat kepercayaan 95% (alpha = 0,05) yang mempunyai besaran nilai 1,96, ternyata, nilai t-hitung lebih kecil dari pada nilai t-tabel. Ini berarti bahwa kedua keturunan pertama (F1 dan F1R) hasil persilangan kedua tetuanya secara bergantian peran tidak cukup alasan untuk menyatakan kalau keduanya berbeda. Secara genetik dapat disimpulkan bahwa pewarisan sifat jumlah berkas pembuluh kedelai tidak diturunkan dari kromosom yang terletak pada sitoplasma tetua betina. Dengan demikian, gengen yang mengendalikan sifat jumlah berkas pembuluh ditentukan oleh gen-gen yang terletak pada kromosom di dalam inti sel, bukan di dalam sitoplasma atau bukan pewarisan maternal. b. Pendugaan jumlah gen pengendali (controller gene numbers) suatu sifat Untuk menduga jumlah gen yang mengendalikan suatu sifat dapat dilakukan dengan dua mekanisme. Pertama, dilakukan pengPemuliaan Tanaman Konvensional 91 ujian kesesuaian nisbah fenotipe segregasi populasi F2 hasil pengamatan dengan harapan segregasi Mendel, menggunakan uji Chisquare (Steel dan Torrie, 1980). Kedua, Apabila rasio Mendel tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan model pendugaan Das dan Griffey (1994), atau menurut cara Kuspira dan Bhambhani (1994). (1). Pendugaan jumlah gen pengendali melalui pengujian kesesuaian nisbah fenotipe menurut Steel dan Torrie (1980) Dari suatu persilangan antara tanaman Kacang Kapri dengan satu sifat beda yaitu berbunga merah (dominan) dan putih (resesif), diperoleh 290 tanaman berbunga merah dan 110 berbunga putih pada populasi F2 (Tabel 8.2). Hipotesis yang diajukan adalah nisbah 3 : 1, yaitu 300 tanaman berbunga merah dan 100 tanaman berbunga putih (Crowder, 1986). Dengan menggunakan uji Chisquare menurut Steel dan Torrie (1980), hasil perhitungan dan pengujiannya adalah (Tabel 8.2).  (O − E ) 2   E   χ2 = ∑ Tabel 8.2. Hasil perhitungan nilai Chi-square (Χ2) bagi satu sifat beda Kelas Merah Putih Total O 290 110 400 E 300 100 D -10 10 Koreksi d d2 - 9,5 90,25 9,5 90,25 Χ2 = ∑d2/E = D2/E 0,30 0,30 1,20 Perhitungan tersebut di atas nampak bahwa bila kelas genotipe hanya 2 atau kurang dari 4 kelas, maka nilai perbedaan antara O (Observation, pengamatan) dan E (Expectation, harapan) harus dikurangi dengan bilangan 0,5 untuk memenuhi “Kaidah Yates” yaitu “koreksi d” atau “Yates Correction”. Dari hasil perhitungan dimaksud maka nilai χ2 adalah 1,20 dan kalau dibandingkan dengan nilai χ2 tabel, nilai tersebut terletak antara 20 – 30% (lebih dekat 20%) dengan derajad bebas dua kelas kurang satu yaitu db = 2-1 = 1 adalah 1,07 – 1,64. Dengan menggunakan taraf signifikan 95%, Pemuliaan Tanaman Konvensional 92 ternyata nilai χ2 tabel dimaksud lebih besar (3,84) dari nilai χ2 hitung (1,20). Oleh karena itu disimpulkan bahwa nisbah genotipe 3 : 1 diterima atau memenuhi kaidah pengujian. Cara perhitungan di atas adalah untuk satu sifat beda (monohibrida) dengan dua kelas fenotipe. Untuk perhitungan bagi 3, 4, dan 5 kelas fenotipe, mengikuti cara yang sama di atas tanpa “koreksi d”. Andaikata terdapat dua sifat beda (dihibrida) dengan empat kelas fenotipe seperti komposisi berikut (Tabel 8.3), maka dengan menggunakan uji Chi-square menurut Steel dan Torrie (1980), perhitungannya adalah seperti pada Tabel 8.3. Tabel 8.3 di atas menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan adalah untuk dua sifat beda (dihibrid) yaitu warna (kuning dan hijau) dan bentuk buah (bulat dan berkerut), dengan nisbah fenotipe 9 : 3 : 3 : 1. Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa nilai Χ2 adalah 0,5102 yang lebih kecil dari nilai X2 tabel pada alpha 0,05 sebesar 0,58. Tabel 8.3. Hasil perhitungan nilai Chi-square (Χ2) bagi dua sifat beda Kelas Kuning, Bulat Kuning, Berkerut Hijau, Bulat Hijau, Berkerut Total O 315 101 108 32 E 313 104 104 35 d d2 2 4 3 9 4 14 3 9 Χ2 = ∑d2/E = d2/E 0,0128 0,0865 0,1538 0,2571 0,5102 Sumber: Crowder, (1986). Ini berarti bahwa nisbah fenotipe 9 : 3 : 3 : 1 sesuai dengan kaidah uji pada dua sifat beda di atas karena nilai X2-hitung lebih kecil dari nilai X2-tabel atau keduanya berbeda tidak signifikan. (2). Pendugaan jumlah gen pengendali menurut formula Das dan Griffey (1994) dan formula Kuspira dan Bhambhani (1994) Jumlah gen pengendali suatu fenotipe diduga dengan formula Wright (1920) yang dimodifikasi oleh Cockerham (1983) dan digunakan oleh Das dan Griffey (1994) sebagai berikut (Tabel 8.4): Pemuliaan Tanaman Konvensional 93 Tabel 8.4. Data pengamatan panjang tongkol jagung tetua P1 (Tom Thumb), tetua P2 (Black Mexican), keturunan pertama dan ke dua dari persilangan keduanya Parameter P1 6,632 0,816 57 Rerata Ragam Jumlah individu Famili atau Generasi P2 F1 16,802 12,116 1,887 1,519 101 69 F2 12,888 2,252 401 Dengan menggunakan rumus berikut: n= ( P1 − P2 ) 8 σ F2 − (2σ 2 F1 + σ 2 P1 + σ 2 P2 ) / 4 [ 2 ] maka: n = (6,632 – 16,802)/8[2,52 – (2 x 1,519 + 0,816 + 1,887)/4] = 10,17/8[2,52 – (3,038 + 0,816 + 1,887)/4] = 10,17/8[2,52 – (5,741)/4] = 10,17/8[2,52 – 1,435] = 10,17/[20,16 – 15,096] = 10,17/5,064 = 2,008, sehingga n = 2. Sementara itu, dari data yang sama di atas dengan menggunakan formula Kuspira dan Bhambhani (1994) berikut: N= D2 8[σ F2 − σ F1 ] maka perhitungannya adalah: D2 = 16,802 – 6,632 = 10,17; σ F1 = 1,519 dan σ F 2 = 2,252 sehingga N = (16,802 – 6,632)/8(2,252 – 1,519) = (10,17)/8(0,73) = (10,17)/ (5,84) = 1,74; sehingga N = 2. Dengan demikian, jumlah gen atau alel yang mengendalikan karakter panjang tongkol jagung hasil persilangan kedua tetua di atas dengan menggunakan formula yang berbeda memberikan nilai yang sama yaitu berjumlah dua buah gen atau alel. Pemuliaan Tanaman Konvensional 94 c. Pendugaan aksi gen Mengambil contoh persilangan antara kedelai toleran terhadap tanah masam (Kerinci) dengan kedelai yang suseptibel (Lokon) oleh Haryanto et al. (1994), diperoleh informasi mengenai komponen-komponen yang berkaitan dengan aksi gen pada sifat toleransi, adalah sebagai berikut (Tabel 8.5). Tabel 8.5. Nilai rerata indeks toleransi kedelai varietas Kerinci (K), Lokon (L) dan keturunan F1 dari persilangan keduanya Parameter Indeks toleransi Kerinci 1,7 Rerata K + L 2,4 F1 2,2 Aksi gen toleransi kedelai terhadap tanah masam yang diduga dengan rasio potensi (Potence ratio) mengikuti formula Griffing (1950), adalah sebagai berikut: hp = ( F 1 − MP) 1 / 2( HP − MP) maka hp = (2,2 – 2,4)/1/2(1,7 – 2,4) = (- 0,2)/(- 0,7) = 0,3551, sehingga rasio potensi adalah 0,3551. Dengan besaran nilai hp seperti ini dapat disimpulkan bahwa tingkat toleransi kedelai terhadap tanah masam pada kasus ini adalah dominansi positif tidak sempurna (positive dominance incomplete). d. Pendugaan interaksi gen-gen tidak sealel Percobaan persilangan antara dua galur murni tanaman kapas untuk membentuk seperangkat bahan uji dalam mempelajari sifat tinggi tanaman yang disandikan oleh gen-gen yang tidak sealel yang dilaporkan oleh Kearsey dan Pooni (1998), diperoleh data rerata tinggi (cm) tanaman bagi enam famili. Keenam famili dimaksud adalah: P1, P2, F1, BC1.1, BC1.2, dan F2, dan rerata tinggi tanaman dari masing-masing 100 individu berturut-turut adalah: 69,44; 59,04; 83,44; 76,03; 71,28 dan 74,36. Pemuliaan Tanaman Konvensional 95 Nilai-nilai (Tabel 8.6): varians - S x2 , derajad bebas (db), rerata varians, S x2 , dan rerata varians terboboti, diperoleh dengan: (1) varians, S x2 = ∑ X i ; (2) db = jumlah individu kurang satu=100N i 1=99; (3) rerata varians, S x2 = S x2 /100; (4) rerata varians terboboti = 1/ S x2 ; sedangkan penduga rerata, m, penduga aditif, [a], dan penduga dominan [d] ditetapkan sesuai Mather dan Jinks (1971). Tabel 8.6. Rerata dan varians tinggi tanaman kapas, nilai bobot (ukuran famili dibagi dengan varians), dan model aditif-dominan bagi enam macam generasi atau famili Generasi P1 P2 F1 BC1.1 BC1.2 F2 Rerata Tinggi 69,44 59,04 83,44 76,03 71,28 74,36 S x2 df S x2 59,73 65,71 51,81 81,05 90,83 100,75 99 99 99 99 99 99 0,5973 0,6571 0,5181 0,8105 0,9083 1,0075 Nilai m [a] [d] Terboboti 1,6742 1 1 0 1,5218 1 -1 0 1,9301 1 0 1 1,2338 1 0,5 0,5 1,1010 1 -0,5 0,5 0,9926 1 0 0,5 Dari nilai-nilai di atas, dapat dihitung uji skala gabungan menurut cara Mather dan Jinks (1971), dan Kearsey dan Pooni (1998) sebagai berikut: A = 2 BC1.1 − P1 − F1 ïƒ 2 x 76.03 – 69,44 – 83,44 = - 0,82. 2 2 2 2 S BC = S xBC 1.1 / n = 81,05/100 = 0,8105. S P1 = S xP1 / n 1.1 2 = 59.73/100 = 0,5973 S F2 1 = S xF 1 / n = 51,81/100 = 0,5181. 2 S A2 = 4 S BC + S P21 + S F2 1 = 4 x 0,8105 + 0,5973 + 0,5181 1.1 = 4,3574. sehingga t(db BC11+P1+F1) = A / S A2 = t(297) = - 0,82/√4,3547 = - 0,39 ts (ts = tidak signifikan) Pemuliaan Tanaman Konvensional 96 B = 2 BC1.2 − P2 − F1 ïƒ 2 x 71.28 – 59,04 – 83,44 = 0,08. 2 2 S BC = S xBC 1.2 / n = 90,83/100 = 0,9083. 1.2 2 S P2 2 = S xP 2 / n =65,71/100 = 0,6571. 2 S B2 = 4 S BC + S P2 2 + S F2 1 = 4 x 0,9083 + 0,6571 + 0,5181 1.2 = 4,8084. sehingga t(db) = B / S B2 ïƒ t(297) = 0,08/√4,8084 = 0,04 ts C = 4 F2 − P1 − 2 F1 − P2 ïƒ 4 x 74,36 – 69,44 – 2 x 83,44 – 59,04 = 2,08. 2 S F2 2 = S xF 2 / n = 100,75/100 = 1,0075. SC2 = 16 S F2 2 + 4 S F2 1 + S P21 + S P2 2 = 16 x 1,0075 + 4 x 0,5181 + 0,5973 + 0,6571 = 19,4468. sehingga t(db) = C / SC2 ïƒ t(396) = 2,08/√19,4468 = 0,47 ts. Berdasarkan uji skala gabungan di atas nampak bahwa tidak satupun parameter (A, B, dan C) yang menunjukkan hasil uji-t yang signifikan sehingga dapat disimpulkan efek-efek kompleks seperti pengaruh tatua betina atau interaksi gen tidak terlibat pada pengendalian genetik sifat tinggi tanaman yang dipelajari pada persilangan ini. Berdasarkan data Tabel 8.6 pula, maka nilai-nilai penduga model aditif-dominan dapat dihitung menggunakan metode matriks sesuai prosedur yang diuraikan oleh Mather dan Jinks (1971), Rowe dan Alexander, (1980), dan Kearsey dan Pooni (1998) sebagai berikut. Pertama, buat empat macam matriks, yaitu: (1) matriks Y ukuran 6 x 1 vektor rerata generasi, (2) matriks C ukuran 6 x 3 sebagai matriks koefisien, (3) matriks W ukuran 6 x 6 vektor matriks diagonal rerata varians terboboti, dan (4) matriks M ukuran 3 x 1 vektor parameter, seperti berikut: Pemuliaan Tanaman Konvensional 97 Y 69,44 59,04    83,44  74,36  76,02  71,28    C 1 1  1 1 1 1  1 0 -1 0   0 1  0 0,5  0,5 0,5  - 0,5 0,5 W 0 0 1,6742  0 1,5218 0  0 1,9301  0 0 0  0  0 0 0  0 0 0  0 0 0  0 0 0   0 0 0  0,9925 0 0  0 1,2338 0  0 0 1,1010  M m  [a ]   [d ] Ke dua, buat matriks C’WC vektor 3 x 3 yang berisi sembilan nilai melalui perhitungan sebagai berikut: elemen 1.1 = {∑(koefisien m)2 x nilai rerata varians terboboti)} 1 x 1 x 1,6742 + 1 x 1 x 1,5278 + …. + 1 x 1 x 1,1010 = 8,4534. elemen 1.2 = {∑(koefisien m) x (koefisien [a]) x nilai rerata varians terboboti)} 1 x 1 x 1,6742 + 1 x -1 x 1,5278 + …. + 1 x -0,5 x 1,1010 = 0,21880. elemen 1.3 = {∑(koefisien m) x (koefisien [d]) x nilai rerata varians terboboti)} 1 x 0 x 1,6742 + 1 x 0 x 1,5278 + …. + 1 x 0,5 x 1,1010 = 3,59375. elemen 2.1 = 1.2 elemen 2.2 = {∑(koefisien [a])2 x nilai rerata varians terboboti)} 1 x 1 x 1,6742 + -1 x -1 x 1,5278 + …. + -0,5 x -0,5 x 1,1010= 3,7797. elemen 2.3 = {∑(koefisien [a]) x (koefisien [d]) x nilai rerata varians terboboti)} 1 x 0 x 1,6742 + -1 x 0 x 1,5278 + …. -0,5 x 0,5 x 1,1010 = 0,03320. elemen 3.1 = 1.3; tetapkan 3.2 = 2.3 elemen 3.3 = {∑(koefisien [d])2 x nilai rerata varians terboboti)} 0 x 0 x 1,6742 + 0 x 0 x 1,5278 + …. + 0,5 x 0,5 x 1,1010 = 2,76192, sehingga matriks C’WC yang diperoleh adalah: 8,45340 0,21880 3,59375  C’WC = 0,21880 3,77970 0,03320   3,59375 0,03320 2,76192 Pemuliaan Tanaman Konvensional 98 Ke tiga, buat matriks C’WY vektor 3 x 1 dengan menghitung nilai-nilai selnya sebagai berikut: elemen 1.1 = {∑(koefisien m) x nilai rerata varians terboboti x rerata Y} 1 x 1,6742 x 69,44 + 1 x 1,5218 x 59,04 + … + 1 x 1,1010 x 71,28 = 613,226. elemen 2.1 = {∑(koefisien [a]) x nilai rerata varians terboboti x rerata Y} 1 x 1,6742 x 69,44 + -1 x 1,5218 x 59,04 + … + -0,5 x 1,1010 x 71,28 = 34,066. elemen 3.1 = {∑(koefisien [d]) x nilai rerata varians terboboti x rerata Y} 0 x 1,6742 x 69,44 + -1 x 1,5218 x 59,04 + … + 0,5 x 1,1010 x 71,28 = 284,085. Dengan demikian, matriks C’WY dimaksud adalah: 613,226  C’WY = 34,066    284,085 Ke empat, tentukan matriks inversi C’WC dengan menghitung sesuai standar penyelesaian pembentukan matriks inversi (C’WC)-1 sebagai berikut: 8,45340 0,21880 3,59375  C’WC = 0,21880 3,77970 0,03320   3,59375 0,03320 2,76192 Dengan cara “Ajoin”, dimana: matriks (C’WC)-1 = 1/determinan C’WC x ajoin C’WC, dan determinan C’WC = 8,45340 3,77970 0,03320 0,21880 0,03320 0,21880 3,77970 − 0,21880 + 3,59375 0,03320 2,76192 3,59375 2,76192 3,59375 0,03320 = 8,45340[(3,77970)(2,76192)-(0,03320)(0,03320)]0,21880[(0,21880)(2,76192)(0,03320)(3,59375)]+3,59375[(0,21880)(0,03320)(3,77970)(3,59375)] Pemuliaan Tanaman Konvensional 99 = 8,45340[(10,43923)-(0,00110)] – 0,21880[(0,60431)-(0,11931)] + 3,59375[ (0,00726)-(13,58330)] = 8,45340(10,43813) – 0,21880(0,4850) + 3,59375(-13,57604) = 88,23769 – 0,10612 – 48,78889 = 88,23769 – 48,89501 = 39,34269 sehingga determinan matriks C’WC = 39,34269. Matriks ajoin C’WC sebagai berikut: elemen 1.1 = [(3,77970 x 2,76192) – (0,03320 x 0,03320)] = 10.43923 – 0,00110 = 10,43813 elemen 1.2 = - [(0,21880 x 2,76192) – (3,59375 x 0,03320)] = - 0,60431 – 0,11931 = - 0,48500 elemen 1.3 = [(0,21880 x 0,03320) – (3,59375 x 3,77970)] = 0,00726 – 13,58330 = - 13,57604 elemen 2.1 = - [(0,21880 x 2,76192) – (0,03320 x 3,59375) = - 0,60431 – 0,11931 = - 0,48500 elemen 2.2 = [(8,45340 x 2,76192) – (3,59375 x 3,59375)] = 23,34761 – 12,91503 = 10,43257 elemen 2.3 = - [(8,45340 x 0,03320) – (3,59375 x 0,21880)] = - 0,28065 – 0,78631= - 0,50566 elemen 3.1 = [(0,21880 x 0,03320) – (3,77970 x 3,59375)] = 0,00726 – 13,58330 = - 13,57604 elemen 3.2 = - [( 8,45340 x 0,03320) – (0,21880 x 3,59375)] = - 0,28065 – 0,78631= - 0,50566 elemen 3.3 = [(8,45340 x 3,77970) – (0,21880 x 0,21880)] = 31,95132 – 0,04787 = - 31,90345 Dengan demikian, matriks ajoin C’WC = 10,43813 - 0,48500 - 13,57604  - 0,48500 10,43257 - 0,50566   - 13,57604 - 0,50566 - 31,90345  dan matriks inversi C’WC-1 diperoleh dengan mengalikan determinan matriks C’WC dengan matriks ajoin C’WC sebagai berikut: elemen 1.1 = 1/39,34269 x 10,43813 = 0,26531 elemen 1.2 = 2.1 = 1/39,34269 x (- 0,48500) = - 0,01233 elemen 1.3 = 3.1 = 1/39,34269 x (- 13,57604) = - 0,34507 Pemuliaan Tanaman Konvensional 100 elemen 2.2 = 1/39,34269 x (10,43257) = 0,26517 elemen 2.3 = 3.2 = 1/39,34269 x (- 0,50566) = - 0,01285 elemen 3.3 = 1/39,34269 x (31,90345) = 0,81091 sehingga matriks inversi (C’WC)-1 adalah:  0,26531 - 0,01233 - 0,34507  -1 C’WC = - 0,01233 0,26517 - 0,01285   0,81091 - 0,34507 - 0,01285 Ke lima, hitung nilai-nilai m, [a], dan [d] dengan mengalikan nilai-nilai pada matriks inversi C’WC dengan matriks C’WY atau (C’WC)-1 x (C’WY) seperti berikut: C’WC-1 C’WY 0,26531 0,01233 0,34507 613   ,226   - 0,01233 0,26517 - 0,01285 34,066     0,81091 284,085 - 0,34507 - 0,01285 sehingga diperoleh: m = 0,26531 x 613,226 – 0,01233 x 34,066 – 0,34507 x 284,085 = 64,25 [a] = -0,01233 x 613,226 + 0,26517 x 34,066 – 0,01285 x 284,085 = 5,13 [d] = - 0,34507 x 613,226 – 0,01285 x 34,066 + 0,81091 x 284,085 = 19,20 Uji signifikansi nilai-nilai: m, [a], dan [d] dengan uji t-Student sebagai berikut: SE[m] = √0,26531 = ± 0,52 ïƒ t = m/SE[m](db >100) = 64,25/0,52 = 123 *** SE[a] = √0,26517 = ± 0,52 ïƒ t = [a]/SE[a] (db >100) = 5,13/0,52 = 10*** SE[d] = √0,81091 = ± 0,90 ïƒ t = [a]/SE[a] (db >100) = 19,20/0,90 = 21*** Ke enam, dengan menggunakan nilai-nilai m, [a], dan [d] di atas, tentukan nilai-nilai harapan (E, Ekspektasi) keenam generasi sebagai berikut: Pemuliaan Tanaman Konvensional 101 P1 = m + [a] = 64,25 + 5,13 = 69,38 P2 = m – [a] = 64,25 – 5,13 = 59,12 F1 = m + [d] = 64,25 + 19,20 = 83,45 F2 = m + 1/2[d] = 64,25 + ½(19,20) = 73,85 BC1.1 = m + 1/2[a] + 1/2[d] = 64,25 + ½(5,13) + ½(19,20) = 76,42 BC1.2 = m – 1/2[a] + 1/2[d] = 64,25 – ½(5,13) + ½(19,20) = 71,29 Ke tujuh, hitung Chi-square dengan formula berikut: χ = ∑(Nilai Rerata Observasi–Nilai Rerata Harapan)2 x nilai rerata varians terboboti. = (69,44 – 69,38)2 x 1,6742 + …. + (71,28 -71,29)2 x 1,1010 = 0,47. Dengan nilai χ2-hitung = 0,47 di atas pada derajad bebas 6-3 = 3, ternyata berbeda tidak signifikan, berarti model yang diuji sesuai dengan data hasil pengukuran. 2 e. Pendugaan nilai heritabilitas Dicontohkan bahwa suatu persilangan kedua tetua diperoleh data hipotetis nilai rerata dan ragam masing-masing famili menurut jumlah individu setiap famili, disajikan pada Tabel 8.7. Tabel 8.7. Data hipotetis nilai rerata dan ragam kedua tetua dan hasil persilangan keduanya menurut jumlah individu masing-masing famili Parameter Rerata Ragam Jumlah individu P1 93,39 1,21 40 Famili atau Generasi P2 F1 F2 BC1.1 36,84 86,35 77,11 89,87 1,19 0,56 0,55 0,33 40 80 160 160 BC1.2 65,75 0,71 160 Dengan data yang disajikan pada Tabel 8.7 tersebut, maka nilai heritabilitas dalam arti sempit (NS, narrow sense) menurut Warner, (1952) adalah: Pemuliaan Tanaman Konvensional 102 h 2 ( NS ) = 2 2 2σ F2 1 − (σ BC 1.1 + σ BC1.2 ) σ F2 2 H2(NS) = 2(0,56) – (0,33 – 0,71)/(0,55) = (1,12) – (- 0,38)/(0,55) = 1,50/0,55 = 2,73 2 sehingga h ( NS ) = 2,73. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai heritabilitas dalam arti sempit termasuk sedang menurut kriteria Stansfield (1983). f. Kemajuan genetik (Genetic advance) Suatu populasi yang terdiri dari 100 individu tanaman kapas hasil persilangan kedua tetuanya diperoleh nilai rerata umum berat produksi sebesar 450 g per tanaman dengan simpangan baku (standard deviation) sebesar 58,0 g per tanaman. Heritabilitas hasil per tanaman adalah 60%, dan rerata 5% individu terbaik adalah 570 g per tanaman. Sementara itu, nilai k (indeks seleksi) sebesar 2,06 pada intensitas seleksi sebesar 5%. Dengan demikian, maka kemajuan genetik (KG) dari struktur populasi seperti di atas dapat dihitung sesuai rumus Allard (1960) sebagai berikut. KG = (k )( S F 2 )(h 2 NS ) sehingga KG = (2,06) x (58,0) x (0,60) = 71,69. Angka KG di atas mengindikasikan bahwa kemajuan genetik berada pada predikat tinggi menurut kriteria Karmana et al. (1990). Oleh karena itu, penggunaan populasi dari generasi 5% individu terpilih diperkirakan dapat meningkatkan rerata hasil sebesar 450 + 71,69 = 521,69 g. Pemuliaan Tanaman Konvensional 103 Bab 9 PROSEDUR PERBANYAKAN DAN PELEPASAN VARIETAS SERTA HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL 9.1. Pendahuluan Pemulia tanaman mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengidentifikasi kultivar-kultivar yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pengambilan keputusan dalam menyediakan kultivar yang beradaptasi luas, perbanyakannya, dan penyebarannya ke penangkar benih akan melibatkan banyak tambahan tenaga dan badan-badan yang bekerja dalam perbanyakan dan penyebarluasan benih. Prosedur pelepasan dan perbanyakan benih bervariasi menurut jenis kultivar, penangkar yang akan memperbanyak dan menyebarkan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sehubungan dengan pelepasan dan perbanyakan benih. Demikian pula terdapat perbedaan aturan dan ketentuan antar negara dalam pengawasan, pelepasan dan distribusinya. Dalam bagian ini akan diuraikan mengenai terminologi, klasifikasi benih, dan prosedur perbanyakan, penyebaran, dan sertifikasi benih. 9.2. Terminologi Beberapa istilah yang berkaitan dengan tanaman dalam mempelajari pemuliaan tanaman dikemukakan sebagai berikut: (1) Varietas dan kultivar (cultivated variety) mempunyai arti yang sama, yaitu sekelompok tanaman dengan sifat-sifat yang dapat dibedakan, seragam dan stabil. Dapat dibedakan, berarti setiap kultivar dapat dibedakan dengan satu atau lebih sifat-sifat morfologi, fisiologi, atau sifat-sifat lain dari varietas lainnya. Seragam, menunjukkan perbedaan antara tanaman pada kultivar Pemuliaan Tanaman Konvensional 104 yang sama untuk karakter tertentu dengan varietas lainnya. Stabil, adalah bahwa kultivar akan tetap tidak mengalami perubahan sedikitpun terhadap karakternya yang dapat dikenali dan tetap seragam meskipun diperbanyak kembali. (2) Klon adalah kultivar yang terdiri dari satu atau beberapa klon yang sama yang diperbanyak secara tidak kawin. (3) Varietas bersari bebas, yaitu varietas yang menyerbuk terbuka terdiri dari tanaman menyerbuk silang yang diseleksi dengan standar tertentu dan mempunyai variasi tetapi varietas ini mempunyai satu atau beberapa sifat yang berdiferensiasi dari kultivar lainnya. (4) Varietas sintetis adalah kultivar yang diperoleh dari persilangan secara bebas satu set klon atau galur-galur dari perbanyakan benih. Keturunan pertama hasil saling-silang di atas disebut varietas sintetis-1, dan keturunan kedua disebut varietas sintetis-2, dan seterusnya. (5) Galur adalah kultivar yang terdiri dari sekelompok tanaman baik yang menyerbuk sendiri maupun menyerbuk silang yang mempunyai latar belakang genetik luas, dan didefinisikan secara teoritis mempunyai koefisien silsilah sebesar 0,87 atau lebih (Kempthorne, 1957). (6) Galur murni (pure line) adalah kultivar yang diperoleh melalui silangsendiri (selfing) secara terkendali hingga beberapa generasi tanaman menyerbuk sendiri sehingga alel-alel dalam kromosom yang menyandikan suatu sifat relatif berada dalam pasangan yang homozigot. (7) Galur inbrida (inbrid line) adalah galur yang diperoleh melalui silangsendiri hingga beberapa generasi tanaman menyerbuk silang sehingga alel-alel dalam kromosom relatif berada dalam pasangan yang homozigot. (8) Varietas hibrida, adalah keturunan pertama yang dihasilkan dari persilangan antara tetua galur murni atau galur inbrida melalui pengendalian persarian. Varietas hibrida ini dapat diperoleh dari: persilangan dua galur murni/inbrida (silang tunggal), persilangan bertingkat antara tiga galur murni/inbrida (silang tiga), dua silang tunggal (silang ganda), - satu galur murni atau silang tunggal dengan satu varietas bersari bebas atau varietas sintetik, dan dua klon, galur murni, kultivar, atau spesies. Pemuliaan Tanaman Konvensional 105 (9) Varietas komposit atau sering juga disebut sebagai populasi persilangan komposit dihasilkan dari hibridisasi lebih dari dua kultivar atau galur yang normalnya adalah tanaman yang menyerbuk sendiri, kemudian diperbanyak pada generasi lebih lanjut dari populasi bersegregasi secara bulk pada lingkungan yang spesifik sehingga seleksi alami berperan dalam menghasilkan perubahan genetik. (10) Varietas atau galur campuran (multiline atau blend variety) adalah kultivar atau galur yang terbentuk dari pencampuran benih-benih dua atau lebih galur atau varieats yang mirip, dalam arti mempunyai kemiripan karakter (near-isogenic lines). Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No.72 tahun 1971, bahwa yang dimaksud dengan "benih" adalah segala bahan tanaman untuk dikembangbiakkan baik berupa biji maupun bibit. Dari batasan di atas jelaslah bahwa benih adalah semua bahan tanaman yang diperuntukkan bagi pengembangbiakan tanaman, bukan untuk tujuan konsumsi secara langsung. Oleh karenanya, dalam pembentukan benih mendapat perhatian secara khusus dan mengikuti prosedur dan ketentuan yang telah diatur sebelumnya dan ditangani secara kelembagaan, bukan perorangan, kecuali pemulia yang menciptakan benih awal dari varietas baru tertentu. Benih bina adalah benih dari jenis dan/atau varietas tanaman yang benihnya sudah ditetapkan untuk diatur dan diawasi dalam pemasarannya berdasarkan peraturan yang berlaku. Setiap benih yang akan diperdagangkan wajib diberi label pada wadahnya dalam bahasa yang jelas dan dimengerti orang banyak pada tempat yang mudah dilihat dan memuat: (1) nama umum dari jenis dan varietas; (2) nomor kelompok benih atau tanda pengenal; (3) tempat asal (daerah tempat benih diproduksi); (4) persentase (%) berat benih dari jenis dan/atau varietas yang dilabel dalam kelompok benih (bagian ini disebut benih murni); (5) persentase (%) berat benih dari jenis dan/atau varietas lain dalam kelompok benih; (6) persentase (%) berat biji rerumputan yang terdapat dalam kelompok benih; (7) persentase (%) berat kotoran benih dalam kelompok benih; Pemuliaan Tanaman Konvensional 106 (8) persentase (%) daya tumbuh berdasarkan jumlah benih murni dan persentase (%) biji keras berdasarkan jumlahnya; (9) tanggal berakhirnya pengujian untuk mengetahui persentase (%) daya tumbuh dan atau biji keras: (10) nama dan alamat orang/badan hukum yang memberi label atau yang menjual, menawarkan untuk dijual benih tersebut. 9.3. Klasifikasi benih Di dalam sistem produksi benih, dikenal ada empat macam benih menurut klasifikasinya, yaitu: (1) benih penjenis (breeder seed), adalah benih atau material membiak vegetatif (klon, umbi) yang dihasilkan oleh pemulia dan instansinya, digunakan untuk menghasilkan benih dasar; (2) benih dasar (foundation seed), adalah keturunan pertama dari benih penjenis, identitas genetik dan kemurniannya tetap terjaga dengan baik, digunakan untuk menghasilkan benih benih pokok; (3) benih pokok (stock seed), adalah turunan dari benih dasar, identitas genetik dan kemurniannya tetap dipertahankan, digunakan untuk menghasilkan benih sebar, dan (4) benih sebar (extention seed), adalah keturunan dari benih pokok yang digunakan langsung oleh petani untuk memproduksi bahan makanan. Ilustrasi susunan keempat kelas benih di atas disajikan pada Gambar 9.1. Pemuliaan Tanaman Konvensional 107 BENIH PENJENIS Breeder Seed Dihasilkan di Lembaga Penelitian BENIH DASAR Foundation Seed Perbanyakan Benih Penjenis Program Benih BENIH POKOK Registered Seed Perbanyakan Benih Dasar Petani Produser Benih BENIH SEBAR Sertified Seed Perbanyakan Benih Dasar/Pokok Produser Benih Dijual ke Petani Gambar 9.1. Hirarsi kelas-kelas benih hingga sampai di tangan petani (Poehlman dan Sleper, 2006). 9.4. Prosedur perbanyakan, penyebaran dan sertifikasi benih Benih-benih yang akan diperbanyak berasal dari benih pokok atau keturunan dari benih dasar yang mempunyai identitas genetik dan kemurnian yang tetap terjaga. Cara-cara menghasilkan benih sebar atau benih bersertifikat harus memenuhi bebe-rapa ketentuan berikut ini: (1) dihasilkan dari benih pokok atau benih dasar; (2) ditanam pada lahan yang bersih, bebas dari gulma atau tanaman lain; (3) ditanam pada lahan yang sebelumnya tidak ditanami varietas lain; (4) isolasi penanaman yang cukup baik guna mencegah terjadinya penyerbukan silang dengan varietas lain; Pemuliaan Tanaman Konvensional 108 (5) dihindari kemungkinan tercampur pada saat pembersihan maupun pengantongan benih; (6) diberi label yang benar dan jelas menurut ketentuan yang telah diuraikan di atas, dan (7) pemeriksaan di lapangan maupun waktu pengolahan oleh instansi yang berwenang Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan benih agar tetap berpedoman pada penjagaan identitas genetik dan kemurnian varietas adalah: - ditanam pada lahan yang bersih dari varietas lain dari tanaman yang sama; - lahan harus bebas dari gulma-gulma penting; - penanaman harus pada lahan yang terisolasi dari varietas lain; - ditanam pada tempat dengan tingkat kesuburan yang tinggi, dan tindakan budidaya optimum; - penjagaan khusus pada saat pembersihan maupun pengantongan benih, agar jangan tercampur dengan varietas lain atau benih tanaman lain; - diperlakukan dengan fungisida guna memberantas penyakit yang dibawa oleh benih, dan - disimpan pada tempat yang sejuk dan kering agar daya kecambah dapat dipertahankan. Selanjutnya, sebelum varietas baru itu disampaikan kepada petani hendaklah memenuhi beberapa ketentuan di bawah ini: • dapat dibuktikan keunggulannya, melalui berbagai pengujian, dibandingkan dengan varietas baku; • diadakan pengujian multilokasi; • dalam pengujian dilakukan pencatatan secara teliti untuk berbagai sifat, serta digunakan disain eksperimen yang tepat, dan • dapat dibuktikan keunggulan dalam satu atau lebih sifat tertentu (daya hasil, tahan rebah, tahan penyakit tertentu, dsb.), kemudian diberi nama oleh pemulianya. Penyebaran varietas kepada para petani hingga saat ini belum merupakan masalah yang pelik oleh karena instansi-instansi yang bekerja dalam sistem perbanyakan benih juga merupakan lembaga yang sekaligus sebagai penjual benih. Oleh karena itu para petani dapat secara langsung memperoleh benih yang diinginkan baik secara perorangan maupun secara kelompok. Pemuliaan Tanaman Konvensional 109 Mengenai sertifikasi benih, merupakan wewenang dari instansi pemerintah yang khusus menangani urusan sertifikasi benih. Hal ini karena dalam sistem perbanyakan, penyebarluasan, dan pembentukan varietas baru ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: (1) pemulia, (2) badan sertifikasi, dan (3) badan produksi komersil. Pemulia tanaman bertanggungjawab dalam mengembangkan varietas baru, badan sertifikasi benih bertugas mengurus administrasi, produksi, pemasaran, menjamin kemurnian benih dan menentukan ukuran dari kualitas benih. Sedangkan produksi komersil adalah tanggungjawab organisasi penangkar atau kelompok-kelompok yang memperbanyak benih komersil. Khusus untuk badan sertifikasi benih, melalui surat keputusan Menteri Pertanian RI. No. 460/Kpts/Org/XI/1971 sebagai penjabaran dari KEPPRES No. 72 tahun 1971, menguraikan bahwa tujuan dari sertifikasi benih adalah memelihara kemurnian dan mutu benih dari varietas unggul, serta menyediakannya secara berkesinambungan untuk petani. Sertifikasi benih juga dimaksudkan sebagai pelayanan terhadap produsen/penangkar benih dan pedagang benih. 9.5. Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Bidang Pertanian a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual atau disingkat dengan HaKI adalah kekayaan pribadi berupa: hak cipta dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak-hak pelaku, produser rekaman suara, dan lembaga-lembaga penyiaran (copyright and related right, that is, rights of performers, producers of sound recordings and broadcasting organizations), merek (trade mark), indikasi geografis (geographycal indications), desain industri (industrial designs), paten (patents), desain rangkaian sirkit terpadu (layout designs of integrated circuits), informasi rahasia termasuk rahasia dagang dan data uji (undisclosed information including trade secrets and test data), dan varietas tanaman baru (new plant varieties), yang dapat dimiliki dan diperjualbelikan dan diperlakukan sama dengan bentuk kekayaan lainnya (Anonim, 2007). Dari semua cakupan HaKI yang dikemukakan di atas, hanya hak paten, Pemuliaan Tanaman Konvensional 110 dan varietas tanaman baru yang akan diuraikan dalam paparan berikut karena keduanya berhubungan dengan pemuliaan tanaman. b. Paten Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001). Batasan di atas mengandung beberapa pengertian, meliputi: inventor, invensi, dan pemegang paten. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Sementara itu, invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Selain itu, pemegang paten adalah inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam daftar umum paten . Invensi yang dapat diberi paten adalah invensi yang baru mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas. Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang dituangkan sebelumnya. Pengertian teknologi yang dituangkan sebelumnya adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seprang ahli untuk Pemuliaan Tanaman Konvensional 111 melaksanakan invensi tersebut sebelum: tanggal penerimaan atau tanggal prioritas. Invensi yang tidak diberikan paten berupa: (1) proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; (2) metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang ditetapkan terhadap manusia dan/atau hewan; (3) teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, dan (4) semua mahluk hidup, kecuali jazad renik, dan proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Jangka waktu pemberian paten berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal penerimaan yang tidak dapat diperpanjang bagi paten umum, dan untuk 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan yang tidak dapat diperpanjang bagi paten sederhana. Berbagai ketentuan yang mengatur mengenai paten, dapat dipelajari pada dokumen Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001. c. Varietas Tanaman Baru Varietas tanaman baru adalah varietas tanaman yang diperoleh dari kegiatan pemuliaan tanaman, baik secara konvensional melalui persilangan antara tanaman maupun secara inkonvensional melalui budidaya jaringan secara in vitro dan rekayasa genetik tanaman (plant genetic engineering) atau bioteknologi tanaman. Aspek utama yang berkaitan dengan varietas tanaman baru adalah perlindungan varietas tanaman atau tatacara pengajuan perlindungan varietas tanaman. Untuk hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya. 9.6. Tatacara Pengajuan Permohonan Perlindungan Varietas a. Pengertian Perlindungan varietas tanaman adalah perlindungan khusus yang diberikan oleh negara, dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT), terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh Pemuliaan Tanaman Konvensional 112 pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Sementara itu, hak perlindungan varietas tanaman (HPVT) merupakan hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu. b. Manfaat Hak PVT Pemegang hak PVT berhak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan varietas berupa benih dan hasil panen. Hal tersebut digunakan untuk kegiatan memproduksi/memperbanyak benih, menyiapkan untuk tujuan propagasi, mengiklankan, menawarkan, menjual/memperdagangkan, mengekspor, mengimpor dan mencadangkan untuk keperluan-keperluan tersebut. c. Pengajuan Permohoan Hak PVT Varietas yang dapat diberi PVT meliputi varietas dari jenis atau spesies tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama. Permohonan hak PVT diajukan secara tertulis kepada Pusat PVT dengan menggunakan formulir permohonan hak PVT dengan dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain mengisi formulir permohonan hak PVT, setiap permohonan hak PVT harus dilengkapi dengan persyaratan berupa deskrispi varietas baru, foto yang disebut dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas deskripsinya dicetak berwarna di atas kertas dof, dan persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setiap permohonan hak PVT hanya dapat diajukan untuk satu varietas dan semua persyaratannya dibuat dalam rangkap dua. d. Perlindungan Sementara Perlindungan sementara diberikan kepada varietas yang dimohonkan hak PVT-nya setelah persyaratan permohonan dinyatakan lengkap dan biaya permohonan telah dibayar lunas. Perlindungan sementara berlaku sampai varietas tersebut dinyatakan diterima/ditolak permohonan hak PVT-nya. Permohonan hak PVT Pemuliaan Tanaman Konvensional 113 diajukan kepada Pusat PVT dengan membayar biaya sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). e. Pengumuman Permohonan Hakp PVT Pemohon yang telah memenuhi ketentuan akan diumumkan dalam Berita Resmi PVT selama enam (6) bulan. Pengumuman dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat luas dalam membantu memeriksa ada atau tidaknya pelanggaran atas permohonan hak PVT. Selama jangka waktu pengumuman, setiap orang atau badan hukum setelah memperhatikan pengumuman permohonan hak PVT dapat mengajukan secara tertulis pandangan atau keberatannya atas permohonan hak PVT yang bersangkutan dengan mencantumkan alasannya. Pandangan atau keberatan yang disampaikan setelah lewat jangka waktu pengumuman tidak dapat diterima. f. Pemeriksaan Substantif Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak PVT harus diajukan ke Pusat PVT paling lambat satu (1) bulan setelah waktu berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan. Pemeriksaan substantiif dilakukan oleh pemeriksa PVT, meliputi sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan varietas yang dimohonkan hak PVT. Pemeriksaan substantif dilakukan maksimal dua puluh empat (24) bulan terhitung sejak tanggal permohonan hak pemeriksaan substantif. Apabila diperlukan perpanjangan waktu pemeriksaan, Pusat PVT akan memberitahukan kepada pemohon dengan disertai alasan dan penjelasan yang mendukung perpanjangan tersebut. g. Pemberian Hak PVT Apabila hasil pemeriksaan substantif menyatakan bahwa suatu varietas telah memenuhi persyaratan BUSS (Baru, Unik, Seragam, dan Stabil), Pusat PVT memberikan Sertifikat Hak PVT kepada pemohon. Hak PVT berlaku untuk dua puluh (20) tahun untuk tanaman semusim, dan dua puluh lima (25) tahun untuk tanaman tahunan. Jangka waktu hak PVT dihitung sejak tanggal sertifikat hak PVT dikeluarkan. Pemuliaan Tanaman Konvensional 114 h. Penolakan Hak PVT Apabila hasil pemeriksaan substantif menyatakan bahwa suatu varietas tidak memenuhi persyaratan BUSS, atau permohonan ditarik kembali, Pusat PVT menolak permohonan hak PVT disertai alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan kepada pemohon. Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan banding berdasarkan alasan dan dasar pertimbangan mengenai halhal yang bersifat substantif yaitu kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan. Permohonan banding hanya dapat diajukan secara tertulis kepada komisi banding PVT disertai uraian secara lengkap keberatan terhadap penolakan permohonan hak PVT berikut alasannya selambat-lambatnya tiga (3) bulan sejak tanggal pengiriman surat penolakan permohonan hak PVT dengan tembusan kepada Pusat PVT. i. Sanksi Pelanggaran Hak PVT Barang siapa dengan sengaja menggunakan varietas tanaman yang telah diberi hak PVT tanpa persetujuan pemegang hak PVT, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh (7) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Secara skematis, prosedur pengajuan permohonan perlindungan varietas tanaman disajikan pada bagan alur Gambar 9.1. Pemuliaan Tanaman Konvensional 115 DAFTAR PUSTAKA Alia, Y., A. Baihaki, N. Hermiati, dan Y. Yuwariah, 2004. Pola pewarisan karakter jumlah berkas pembuluh kedelai. Zuriat, 15(1): 24-30. Allard, R. W., 1960. Principles of plant breeding, John Wiley and Sons, New York. Anonim, 2007. Essential Legislation 2007. Australia Indonesia Partnership. Bari, A., S. Musa, dan E. Sjamsuddin, 1976. Pengantar pemuliaan tanaman. Depar-temen Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Blum, A., 1988. Plant breeding for stress environmental. CRC Press Inc. Boca Raton. Browning, I.A., 1963. Teaching and applying the gene-for-gene hypothesis for interactions in host parasite systems. Journal La. Acad. Sci., 70: 120-125. Burnham, C.R., 1902. Dicussion in cytogenetics. Burgess Publ. Comp., Minneapolis. Chahal, G.S. dan S.S. Gosal, 2002. Principles and procedures of plant breeding. Biotechnological and conventional approaches. Alpha Science International Ltd. Pangbourne. Cockerham, C.C., 1963. Estimation of genetic variances. Dalam: Statistical Genetics and Plant Breeding, Hanson, W.D., dan H.F. Robinson (eds.). National Academy of Sciences– National Research Council, Washington, D.C. Cocking, E. C., 1978. Protoplast culture and somatic hybridization. Dalam: Proceeding of symposium on plant tissue culture. Petman Advanced Publishing Program, Boston, London, Melbourne, p: 255 - 263. Pemuliaan Tanaman Konvensional 117 Crowder, L. V., 1986. Genetika tumbuhan. Diterjemahkan oleh Ir. Lilik Kusdiarti, M.Sc., dan editor oleh Ir. Soertarso, M.Sc., Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta. Darjanto dan Siti Satifah, 1984. Biologi bunga dan teknik penyerbukan silang buatan. PT. Gramedia, Jakarta. Das, M.K., dan C.A. Griffey, 1994. Heritability and number of genes governing adult-plant resistance to powdery mildew in houser and redcoat winter wheat. The American Phytopathology of Society, 84(4): 12-17. Denisen, E.L., 1967. Principles of horticulture. The Macmillan Company, New York. Esquinas-Alcazar, J.T., 1993. Plant genetic resources. Dalam: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, dan I. Romagosa, (eds.). Plant breeding. Principles and Prospects. Chapman and Hall. London. Evans. L.T., 1993. Crop evolution, adaptation and yield. Cambridge University Press. Falconer, D.S., 1989. Introduction to quantitative genetics. 3rd edn., Longman, Burnt Mill. Fehr, W.R., 1993. Principles of cultivar development. Vol. l. Theory and Technique. Macmillian Publishing Company, New York. Fisher, R.A., 1918. The correlation between relatives on the supposition of Mendelian inheritance. Trans. Royal Society Edinburg, 52: 399-433. Flor, H.H., 1956. The complementary genic systems in flax and flaxrust, Adv. Genet., 8:29-54. Griffing, B., 1950. An analysis of quantitative gene action by constant parent regres-sion and related techniques. Genetics, 35: 303-321. Halloran, G.M., 1979. Breeding of self pollinated crops. Dalam: Halloran, G. M., R. Knight, K.S. McWhirter, dan H.B. Pemuliaan Tanaman Konvensional 118 Sparrow (eds.). Plant breeding. Poly-Graphics Pty., Ltd., Brisbane. Harlan, J.R., 1971. Agricultural origins: centers and noncenters. Science, 174:468- 474. Harlan, J.R., dan J.M.J. de Wet, 1971. Towards a rational classification of cultivated plants. Taxon, 20: 509-517. Hartman, H.T. dan D.E. Kester, 1975. Plant propagation. principles and practices. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Haryanto, T.A.D., R. Setiamihardja, A. Baihaki, dan S. Djakasutami, 1994. Pola pewarisan sifat, pengaruh tetua betina, dan heritabilitas toleransi tanaman kedelai terhadap tanah masam. Zuriat, 5(1): 50-55. Hayward, M. D., dan E.L. Breese, 1993. Population structure and variability. Dalam: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, dan I. Romagosa, (eds.). Plant breeding. Principles and Prospects. Chapman and Hall. London. Jennings, P.R., dan J.H. Cock, 1977. Centres of origin of crops and their productivity. Econ. Bot., 31:51-54. Jinks, J.L. dan R.M. Jones, 1958. Estimation of the genetic components of heterosis. Genetics, 43: 223-234. Karmana, M.H., A. Baihaki, G. Satari, T. Danakusuma, dan A.H. Permadi, 1990. Variasi genetik sifat-sifat tanaman bawang putih di Indonesia. Zuriat 1: 32-36. Kearsey, M.J., dan H.S. Pooni, 1998. The genetical analysis of quantitative traits. Stanley Thornes (Publishers) Ltd. Kempthorne, O., 1957. An introduction to genetic statistics. John Willey and Sons. New York. Kepmentan R.I. No. 460, tentang Badan Sertifikasi Benih. Keppres No. 72 Tahun 1971, tentang Perbenihan Nasional. Pemuliaan Tanaman Konvensional 119 Knight, R., 1979. Quantitative genetics, statistics, and plant breeding. Dalam: R. Knight (ed.). Plant Breeding, A.A.U.C.S. Kuckuck, H., G. Kobabe, dan G. Wenzel, 1991. Fundamentals of plant breeding. Springer Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, London, Paris, Tokyo, Hongkong, Barcelona, Budapest. Kuspira, J. dan R. Bhambhani, 1994. Compendium of problems in genetics. WCB Wm. C. Brown Publishers. Dubuque, Iowa, Melbourne – Australia, Oxford, England. Larsten, N.R., 1980. Reproduction and seed development. Dalam: Fehr, R.W. dan H.H. Hadley, (eds.). Hybridization of crop plants. American Society of Agronomy, Madison, Wisconsin. Makmur, A., 1985. Pokok-pokok pengantar pemuliaan tanaman. Bina Aksara. Jakarta. Mather, K., dan J.L. Jinks, 1971. Introduction to biometrical genetics. Cornell University Press Ithaca, New York. Miller, D.R., R.M. Waskom, M.A. Brick dan P.L. Chapman, 1991. Transferring in vitro technology to the field. Bio/Technology. 9:143-146 Murty, U.R., 1991. Apomixis: Achievements, problems and future prospects. Pp.35-51. Dalam: Mandal, A.K., P.K. Ganguli, dan S.P. Banerjee (Eds.) Advances in Plant Breeding, Vol. II. CNBS Publishers and distributors. Petr, F.C. dan K.J. Frey, 1966. Genotypic correlations, dominance, and heritability of quantitative characters in oats. Crop Science, 6: 259-262. Poehlman, J.M., 1982. Breeding field crops. (2nd.edn.). AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut, New York. Poehlman, J. M. dan D.A. Sleper, 1995. Breeding field crops. John Wiley and Sons, New York. Pemuliaan Tanaman Konvensional 120 Poehlman, J. M. dan D.A. Sleper, 2006. Breeding field crops. John Wiley and Sons, New York. Rowe, K.E., dan W.L. Alexander, 1980. Computations for estimating the genetic parameters in joint-scaling tests. Crop Science, 20: 109-110. Simmonds, N.W., 1962. The evolution of the bananas. Longman, London. Stackman, E.C., 1957. Principles of plant pathology. The Ronald Press Co., New York. Stansfield, W.D., 1983. Theory and problem of genetics. 2nd eds., Schaum’s Outline Series. Mc Graw-Hill Inc. pp. 417. Stell, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1980. Principles and procedures statistics. McHill. Tokyo. Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2001 Mengenai Paten. Vanderplank, J.E., 1984. Disease resistance in plants. 2nd ed., Academic Press New York and London. Vavilov, N.I., 1926. Studies on the origin of the cultivated plants. Bull. Appl. Bot. Plant Breeding, 16: 139-245. Wahdah, R., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmana, 1996. Pewarisan laju akumulasi bahan kering pada biji kedelai. Zuriat, 7(2): 57-63. Warner, J.N., 1952. A method of estimating heritability. Agronomy Journal, 44: 427-430. Wright, S., 1920. Evolution and the genetics of populations. I. Genetic and biometric foundations. University of Chicago Press, Chicago. Zeven, A.C. dan L.M.J. de Wet, 1982. Dictionary of cultivated plants and their regions of diversity. (3rd. ed.). Pudoc, Wageningen. Zeven, A.C. dan P.M. Zhukovsky, 1975. Dictionary of cultivated plants and their centres of diversity. Pudoc, Wageningen. Pemuliaan Tanaman Konvensional 121 INDEKS adaptasi, 7, 8, 9, 76 aklimatisasi, 59 allopoliploidi, 79 androgenetic technique, 53 anther, 3 antibiosis, 69 apomic, 15 autopoliploidi, 79 budding, 27, 28 bulb, 22, 23, 62 cell suspension, 29 chimera, 60, 62, 76 cleistogamous-flowers, 31 completely homozygous, 77 continuous variation, 81 corm, 22, 23 cross pollinated crops, 19 cross pollination, 62 crossing over, 16 cytohybrids, 6 Diallel Selective Mating System, 42 dioecy, 45 diploid, 15, 18, 61, 74, 77, 78, 79 donor, 41, 72 double crosses hybrid, 54 facultative apomicts, 64 faktor abiotik, 8 faktor biotik, 8 full sib mating, 52 galur murni, 35, 36, 49, 52, 53, 55, 81, 86, 87, 95, 105 gene-pool, 11 grafting, 27 Haploidisasi, 77 heritability, 89, 120, 121 heterosis, 46, 47, 53, 55, 64, 119 hibridisasi, 33, 38, 42, 47, 52, 53, 59, 60, 71, 73, 106 high parent heterosis, 46 hybrid vigor, 46, 61 hybrid-vigor phenomenon, 52 hypersensitivity, 69 in vitro, 6, 12, 22, 24, 29, 52, 53, 59, 64, 77, 78, 112, 120 inbred vigor, 46 inbreeding, 46, 50, 52 inbreeding depression, 46, 50, 52 intercrossed, 52 introduksi, 47, 59 isolasi, 126 kemajuan genetik, 89, 90, 103 keragaman genetik, 2, 3, 9, 11, 21, 48, 52, 60, 61, 62, 126 klon, 55, 56, 59, 60, 61, 105, 107 kultivar, 3, 6, 30, 33, 34, 35, 38, 70, 77, 80, 104, 105, 106 kultur protoplas, 5 layerage, 25, 26 line breeding, 48 maintainer line, 55 male sterility, 19, 21, 45, 55 mass selection, 48 mericlinal chimera, 62 microspores, 6, 17, 53 mid-parent heterosis, 46 miosis, 15, 16, 17 mitosis, 15, 16, 17 monoecy, 45 multiline breeding, 43 mutasi alami, 75 mutasi buatan, 75 non-preference, 69 Pemuliaan Tanaman Konvensional 122 offsets, 22 ovule, 6, 29 pemuliaan silangbalik, 38, 41 perfect flowers, 31 persilangan, 3, 4, 5, 6, 11, 28, 31, 33, 40, 41, 48, 50, 52, 53, 55, 56, 61, 62, 66, 71, 72, 74, 77, 78, 79, 81, 82, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 102, 103, 105, 106, 112, 126 persilangan XE "persilangan" resiprok, 82 plant genetic engineering, 112 pollen tube, 18 primary gene-pool, 11 progeny selection, 48 propagasi, 113 protoplast fussion, 6 pure line, 105 random mating population, 81 recipient, 41 recurrent selection, 48 resistance, 70, 118, 121 restorer line, 55 rhizome, 22, 24 screening, 71, 72, 73 secondary gene-pool, 11 segregasi, 4, 44, 48, 55, 61, 62, 83, 92, 126 seleksi, 3, 4, 16, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 59, 60, 61, 63, 71, 73, 77, 80, 90, 103, 106, 126 seleksi bulk, 40 seleksi galur murni, 33, 35, 36, 37 seleksi massa, 33, 34, 35, 42, 48, 77 seleksi pedigree, 38, 39 self incompatibility, 19, 20 self pollinated crops, 19, 118 self pollination, 20 selfing, 6, 50, 52, 61, 87, 105 sexual hybridization, 62 single cross hybrid, 53 single plant selection, 48 Single Seed Descend, 35 sitogenetik, 5 somaclonal variation, 12 somatic hybridization, 6, 117 stolon, 22, 24 teknik haploid, 6, 74, 78, 80 teknik mutasi, 5, 61, 62, 64, 74, 75, 78, 80 tertiary gene-pool, 11 three ways crosses hybrid, 53 tolerance, 69, 70 triploid, 17, 61, 74, 79 tuber, 22, 24 varietas hibrida, 7, 21, 22, 38, 49, 52, 53, 54 varietas sintetis, 47, 50, 55, 56, 57, 105 variety blend, 43 vybrid, 64 Pemuliaan Tanaman Konvensional 123 ISBN 978-602 -17 17 6-3-9