BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejumlah berita pada media massa yang memberitakan mengenai ruang publik ini terus bergulir. Kepentingannya pun saling berbenturan sehingga antara kemampuan pemenuhan ruang publik dan kemampuan penghilangannya terus diwacanakan. Dalam media massa itupun tidak semua terangkat menjadi informasi publik, mengingat begitu kompleksnya permasalahan dalam suatu lembaga yang disebut negara ini. Ruang publik merupakan ruang yang bisa digunakan untuk kepentingan publik. Ia bisa terbentuk apa saja, seperti sekolah, terminal, bandara, kantor pemerintahan, hingga seluas lapangan hingga taman dan hutan kota. Ruang publik ini sudah menjadi kewajiban dalam kehidupan manusia sekarang untuk diwujudkan dan digunakan untuk kepentingan publik. Dewasa ini ruang publik biasanya identik dengan keadaan perkotaan atau kota. Kota dianggap sebagai awal dari pengadaan ruang publik. Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Kota juga didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. 1 Kota pada umumnya mempunyai watak dan karakter sebagai refleksi dari kondisi alam, manusia, dan budaya. Ada kota yang teratur rapi, bersih, serba teratur, berkarakter. Ada pula kota yang semrawut, kotor, kacau, tanpa karakter. Ada pula kota yang selalu dilanda malapetaka seperti banjir, erosi, longsor, kekeringan, bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, hingga gelombang pasang. Patut dipahami bahwa sumber alam merupakan nyawa sebuah kota yang dapat menetukan vitalitas bangsa. Oleh karena itu, sumber alam perlu dikelola 1 Prof. Dr. Ir. Zoer'aini Djamal Irwan, M.Si. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2005), hal 31. secara wajar, cermat, dan sepantasnya. Sumber alam yang dimaksud berupa materi, energi, ruang, waktu, informasi, maupun keanekaragaman. 2 Pada umumnya, di setiap kota terutama di kota Jakarta (sebagai ibukota negara Indonesia), untuk memenuhi kebutuhan penduduknya telah dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi berbagai sektor sebagai berikut: perumahan yang berkaitan dengan masalah kebutuhan lahan dan perumahan bagi pertumbuhan penduduk; perdagangan dan jasa; transportasi; fasilitas umum dengan berbagai kebutuhan, dari kegiatan pendidikan, kesehatan, ibadah, olahraga dan rekreasi, pemerintahan, bina sosial, pasar dan perbelanjaan; air minum dan sumber air; sanitasi; drainase dan pengendalian banjir; utilitas umum; ruang terbuka hijau (RTH).3 Aktivitas dan perkembangan kota hingga dewasa ini justru menunjukan kemunduran kualitas hidup manusia. Berbagai masalah lingkungan perkotaan ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Dengan majunya semua aspek pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi, khususnya di kota-kota besar maka ekosistem udara dewasa ini juga berubah. Berbagai implikasi tersebut pada garis besarnya menyangkut industrialisasi, mobilitas manusia yang terus meningkat, diskonkurensi masalah kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar.4 Perkembangan kota Jakarta dalam semua aspek kegiatan dengan diikuti pertambahan jumlah penduduk kota yang cukup besar 5, pertambahan segala bentuk dan jenis bangunan, semakin padatnya kendaraan bermotor di jalan kota, semuanya sangat mempengaruhi tingkat klimatologi kota, seperti suhu udara, radiasi matahari, kelembapan udara, serta aliran dan kecepatan angin lokal yang semua ini mempengaruhi keseimbangan kota.6 2 Ibid., hal 44. Ibid., hal 36. 4 Ibid., hal 45. 5 World Urbanization Prospects Reports (revisi 2005) dari Deddy Halim. Psikologi Lingkungan Perkotaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal 298. Sejumlah 13.215.000 manusia di Jakarta (Jabodetabek) yang memiliki total luas 1360 km persegi dirasakan mempunyai andil dalam pertambahan dan kepadatan dalam wilayah tersebut. 6 Prof. Dr. Ir. Zoer'aini Djamal Irwan, M.Si. Op.Cit., hal 46. Terdapat hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan suhu yang tajam, yaitu mencapai 10º Celcius antara lingkungan 3 Pembangunan yang terus meningkat di daerah perkotaan, sering tidak menghiraukan kehadiran lahan hijau seperti lahan buah-buahan, lahan pertanian, dan lahan hijau lainnya. Bukan saja yang ada di dalam kota, bahkan berkembang ke daerah pinggir kota atau daerah perbatasan kota (suburban). Tumbuhan pekarangan dan halaman bangunan kantor, sekolah, atau di halaman bangunan lainnya serta tumbuhan yang ada di pinggir jalan, baik jumlah maupun keanekaragamannya semakin menurun. 7 Permasalahan kota Jakarta justru muncul di tengah perkembangannya dari masa ke masa. Masalah terutama disoroti isu lingkungan perkotaan yang semakin dewasa ini kondisi lingkungan dan kehidupannya terus menurun. Tercatat sembilan fakta mengenai kondisi lingkungan dan keseimbangan ekosistem yang cenderung menurun: Jakarta adalah kota sebagai penghasil CO 2 terbanyak; suhu udara kota yang semakin meningkat, bahkan sudah mempengaruhi kenyamanan penduduk Jakarta; ruang terbuka hijau yang semakin terdesak, jumlah lahan hijau dan vegetasi cenderung menurun dan semakin banyak spesies langka; kadar kebisingan terus meningkat dan hampir di semua tempat di Jakarta yang dimonitor sudah melewati ambang batas; limbah domestik atau limbah rumah tangga terutama yang berbentuk sampah dan cair meningkat; kadar debu terus meningkat bahkan di tempat-tempat tertentu sudah melewati ambang batas dan Jakarta merupakan kota penghasil debu terbanyak di Indonesia; air tanah yang semakin terkuras dan perembesan (intrusi) air laut yang terus meluas disebabkan pengambilan air tanah dari tahun ke tahun; berkurangnya taman rekreasi di alam terbuka; masalah persepsi atau etika lingkungan dari kalangan masyarakat yang belum terbangun. 8 Pembangunan selain menimbulkan berbagai masalah dalam lingkungan perkotaan, juga diperlukan untuk menanggulangi masalah lingkungan perkotaan itu sendiri. Misalnya pencemaran air sungai harus ditanggulangi dengan terbangun padat dengan yang belum terbangun. Dalam kondisi seperti ini pengelolaan ruang publik dalam bentuk ruang terbuka hijau mendapat perhatian khusus dalam bentuk taman kota, taman monumen, taman lingkungan, taman jalur hijau, taman rotonde, taman bermain, taman kantor, taman tepi jalan/waduk, taman bantaran sungai dan taman pemakaman. 7 Ibid., hal 37-38. 8 Ibid., hal 46-47. pembuatan kanal dan saluran air yang baik; banjir harus ditanggulangi dengan pembuatan tanggul dan pencegahan membuang sampah sembarangan, penghijauan bukit-bukit dan gunung. Kadang-kadang dalam situasi dan kondisi tertentu proses pembangunan dilaksanakan tanpa melihat akibat yang mungkin timbul terhadap lingkungan, dengan perhitungan bahwa keuntungan yang akan diperoleh jauh lebih besar daripada kerugian yang diderita akibat kerusakan lingkungan ini. Banyaknya laporan yang ada di media massa mengenai kerusakan lingkungan perkotaan tersebut hanyalah menjadi tanda bahwa manusia dalam kehidupannya memang memiliki kemampuan untuk terus mempermudah hidupnya dengan pembangunan dan teknologi. Namun apabila tidak direncakan dengan baik, maka kerusakan lingkungan malah menjadi serangan balik bagi manusia yang tidak mempedulikan alam. Media massa dalam kaitannya terhadap kehidupan manusia menjadi sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Ketika media massa yang berdiri sebagai perusahaan yang komersil, ia menjual berbagai bentuk informasi dan dikemas dalam bentuk persaingan -bersama media massa lainnya- di lapangan. Sedangkan pada sisi manusia, proses pemanfaatan informasi yang beredar tersebut menjadi kesempatan dalam tindakan, perasaan manusia dalam melanjutkan kehidupannya. Media massa adalah peralatan dimana isi komunikasi disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Secara sistematis media massa menempati posisi saluran/channel yang memindahkan isi pesan dari komunikator kepada komunikasi. Dewasa ini disebut media massa karena adanya mass character yang melekat atau dimiliki media itu. Jenis-jenis media massa itu sendiri bisa berupa pers, radio, film, dan televisi. Pertama kalinya kegiatan jurnalistik berkisar pada hal-hal yang sifatnya informati saja atau disebut juga journal d'information seperti pada Acta Diurna. 9 Dalam perkembangan masyarakat, surat kabar sebagai sarana jurnalistik yang 9 Marfuah Sri Sanityastuti. Pengantar Ilmu Komunikasi (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1997), hal 53. Sejak zaman Romawi Kuno, ketka Kaisar Yulius Caesar berkuasa, telah dikenal Acta Diurna yang berarti catatan sehari-hari yaitu berupa papan pengumuman kegiatan pemerintah kepada rakyatnya. dapat mencapai khalayak secara masal oleh kaum idealis dipergunakan untuk melakukan kontrol sosial yaitu menyebarkan pesan-pesan untuk mempengaruhi masyarakat sehingga berkembang menjadi journal d’opinion.10 Kepentingan akan informasi publik bagi masyarakat merupakan satusatunya syarat untuk menyesuaikan diri dalam strategi dan taktik guna memperoleh kekuatan politik. Perkembangan selanjutnya jurnalistik menjadi alat dunia perdagangan yaitu untuk mengetahui perkembangan harga-harga di pasar internasional. Setelah sebagai alat dagang, jurnalistik digunakan masyarakat karena melekatnya sense of news dan sense of human interest. Dengan demikian sejak lahirnya jurnalistik sangat lekat dengan masyarakat, karena pada hakekatnya jurnalistik sebagai alat komunikasi yang adanya turut menentukan ada tidaknya dan berkembang tidaknya masyarakat.11 Jurnalistik mengaitkan foto dengan peristiwa, memberikan padanan, dan intinya merangkum apa yang seharusnya bisa terungkap melalui foto. Rekaman peristiwa yang melibatkan emosi, dokumentasi, perilaku, dan bahkan diributkan dalam sidang keredaksian mengenai sudut pandang fotografi yang layak dimuat, telah mengangkat foto dari hanya pengalaman responsi alat yang bernama kamera. Lebih dari itu, pada foto jurnalistik, venue -atau keadaan citra gambar- yang walaupun tidak terabadikan jelas secara kualitas, tidak artistik, bluring, cacat, atau dimetral (terpotong), jika berkaitan dengan peristiwa penting, akan segera diperlakukan dengan sungguh-sungguh.12 Unsur foto dalam media massa merupakan bagian untuk memperkuat bahwa apa yang diberitakan adalah peristiwa yang benar adanya sehingga foto ditempatkan sebagai alat pembuktian. Aspek being there merupakan bagian yang ingin dicapai untuk memperkuat bahwa berita/peristiwa yang disampaikan benarbenar terjadi. Sejak ditemukannya teknologi fotografi, ada anggapan bahwa foto merupakan bentuk rekaman realitas. Proses munculnya citra gambar/visual dalam foto merupakan proses alami sehingga merekam seperti apa adanya. Hingga saat 10 Ibid., hal 54. Ibid., hal 55. 12 Rangga Aditiawan, Ferren Bianca. Belajar Fotografi untuk Hobi dan Bisnis (Jakarta: Dunia Komputer, 2011), hal 22. 11 ini, foto dianggap mampu menghadirkan fakta seperti kenyataannya, sehingga foto dianggap tidak berbohong karena mampu merekam realitas secara persis dengan aslinya. Foto jurnalistik merupakan salah satu produk jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan selain tulisan yang berbau berita (straight news/ hard news, berita bertafsir, berita berkedalaman/indepth reports) maupun non berita (artikel, feature, tajuk rencana, pojok, karikatur dan surat pembaca). Dan sebagai produk dalam pemberitaan, tentunya foto jurnalistik memiliki peran penting dalam media cetak maupun cyber media (internet). Jadi karya foto jurnalistik sudah mendapat pengakuan sebagai karya jurnalistik dalam bentuk visual untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Foto jurnalistik merupakan kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Jurnal adalah laporan dan jurnalistik adalah “sesuatu yang bersifat laporan”. Foto jurnalistik adalah foto yang “melaporkan” sesuatu. Foto jurnalistik adalah suatu media sajian informasi berupa bukti visual (gambar) atas berbagai peristiwa yang disampaikan kepada masyarakat seluas-luasnya dengan tempo dan waktu yang cepat. Ciri-ciri foto jurnalistik antara lain: memiliki nilai berita atau berita itu sendiri, melengkapi suatu berita/artikel, dan dimuat dalam suatu media. Ada banyak segi penting dalam foto jurnalistik, yaitu obyektivitas, kejujuran, dan keaslian foto. Dalam dunia foto jurnalistik, di mana, bagaimana, dan kapan kita memotret adalah inti terciptanya sebuah foto. Seorang jurnalis foto harus sudah mempunyai gambaran seperti apa foto yang dibuat sebelum dia berangkat memotret untuk adegan-adegan yang bisa dibayangkan, seperti acaraacara resmi kepresidenan. Sang fotografer harus sudah punya gambaran kira-kira dia akan memotret di posisi mana, pada keadaan apa. 13 Sementara untuk kejadian tak terduga, seperti kecelakaan lalu lintas atau pohon tumbang, seorang fotografer harus punya imajinasi agar fotonya bisa menggambarkan realitas dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Dengan demikian, dia harus mengambil foto dari beberapa sudut untuk mencari berbagai 13 Arbain Rambey. "Subyektivitas dalam Foto Jurnalistik". Kompas, 11 Oktober 2011. kemungkinan terbaik. Di lapangan, dengan waktu singkat, pemikiran mungkin tak bisa terlalu dalam. Sesampai di kantor, dia bisa lebih leluasa memilih dari sejumlah foto yang sudah diambilnya. Dalam foto jurnalistik, sudut dan cara memotret akan membedakan foto satu dengan yang lainnya. Kebohongan dan kejujuran hanyalah masalah persepsi. 14 Kehidupan manusia secara khusus mereka yang hidup di Indonesia sudah terlalu banyak melihat, menyaksikan banyaknya kerusakan lingkungan perkotaan, hilangnya ruang terbuka hijau, bahkan hingga pada titik terparah yaitu hilangnya ruang publik bagi mereka yang membutuhkan. Jurnalistik banyak melaporkan kejadian semacam ini sebagai kontrol sosial mereka kepada seluruh strata masyarakat. Pada akhirnya dibutuhkan sistem sosial terpadu yang bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan perkotaan yang kompleks ini. Foto jurnalistik dewasa ini sudah sangat memiliki perkembangan yang luar biasa baik itu dari segi praktik, teknologi, maupun kajian ilmu. Bagi mereka yang berprofesi sebagai wartawan khususnya wartawan foto tidak asing dengan organisasi nir-laba bernama World Press Photo15. Didirikan tahun 1955 di Amsterdam, Belanda, sebagai usaha meningkatkan standar dunia jurnalistik khususnya dunia foto jurnalistik. World Press Photo menyelenggarakan kontes foto jurnalistik tingkat dunia tiap tahun. Sebagai penyelenggara dan pemberi penghargaan terbesar dalam kontes foto jurnalistik -dalam dunia jurnalistik umumnya senilai dengan pulitzer-, hasil foto-foto yang ditampilkan dan memenangkan kontes ini merupakan hasil yang dianggap mewakili semangat jurnalistik dan kepentingan umat manusia dan dunia sebagaimana landasan jurnalistik itu sendiri. Sebagai sebuah objek penelitian, foto jurnalistik pilihan World Press Photo memiliki jaminan yaitu berdirinya sebuah karya manusia yang memiliki nilai dan semangat jurnalisme skala dunia. Tidak hanya berkepentingan dalam segelintir manusia saja, namun manusia di dunia memiliki kepentingan yang diwujudkan oleh foto-foto tersebut. 14 15 Ibid. www.worldpressphoto.org (akses 31 Oktober 2012) Foto jurnalistik sangat berperan dalam berbagai laporan kerusakan lingkungan perkotaan yang terjadi. Masyarakat dengan jelas melihat bahwa adanya kerusakan ini disebabkan oleh rencana pembangunan yang tak berstruktur, lebih-lebih tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. Usaha jurnalistik dalam bertanggung jawab terhadap publik termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan tempat manusia hidup. Penelitian ini merupakan bagian yang sangat kecil dari usaha perlindungan lingkungan dengan informasi-informasi di dalamnya. B. Perumusan Masalah Penelitian berawal dari masalah yang diteliti. Namun dalam penelitian, fokus dalam masalah merupakan keutamaan dalam penelitian, tidak bersifat umum atau general, karena jawaban atas masalah tidak maksimal. Masalah dalam penelitian ini adalah representasi ruang publik dalam foto jurnalistik karya Peter Bialobrzeski. Berangkat dari permasalahan tersebut, batasan-batasan penelitian dapat dirangkum sebagai berikut: foto jurnalistik yang diteliti adalah foto yang dimuat dalam situs www.worldpressphoto.org yang memenangkan juara kedua dalam ajang kompetisi World Press Photo tahun 2009 kategori Nature Stories, foto jurnalistik tersebut memiliki sembilan seri foto, dalam penelitian ini, peneliti mengambil enam seri diantaranya dikarenakan lokasi enam foto tersebut berada di wilayah negara peneliti yaitu Jakarta, Indonesia. Foto-foto tersebut dianggap mewakili masalah yang diteliti dalam penelitian ini yaitu ruang publik. 16 Kesimpulan dari batasan-batasan penelitian ini menghasilkan sebuah rumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu "Bagaimana Representasi Ruang Publik dalam Foto karya Peter Bialobrzeski?" 16 Foto karya Peter Bialobrzeski ini merupakan foto jurnalistik yang mengangkat masalah ruang publik dalam bentuk ruang terbuka hijau di tengah kota yang terang benderang oleh cahaya buatan manusia. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu dari banyaknya jenis ruang publik yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui representasi ruang publik dalam foto jurnalistik karya Peter Bialobrzeski. 2. Mengetahui bagaimana relasi manusia terhadap alam yang terefleksikan melalui foto jurnalistik karya Peter Bialobrzeski. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis a. Sebagai bagian pengayaan kajian teoritis semiotika tentang representasi ruang publik dalam foto karya Peter Bialobrzeski. b. Sebagai pembelajaran yang cerdas bagi para akademika terutama dalam kajian ilmu komunikasi sebagai pengetahuan mendalam mengenai pembelajaran representasi dalam karya foto jurnalistik. c. Sebagai referensi bagi riset yang lebih lanjut yang bisa digunakan oleh bagi mereka yang tertarik pada studi semiotika dalam foto jurnalistik. 2. Manfaat Sosial a. Menjadi pengetahuan dan wacana dari sebuah konstruksi realitas dalam bingkai foto. b. Menjadi sebuah referensi bagi para aktivis dalam masyarakat yang bergerak dalam dunia jurnalistik dan dunia lingkungan hidup. c. Menjadi sumbangan dalam seni foto terutama dalam foto jurnalistik itu sendiri, bahwa penelitian ini merupakan satu dari sekian banyaknya representasi dalam realitas yang dibangun dalam bingkai foto tersebut. E. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang pertama tentang analisis semiotika visual berjudul "Kaos dan Resistensi Analisis Semiotik Representasi Resistensi atas Neoliberalisme dalam Kaos Insist Pers". 17 Penelitian ini meneliti bagaimana representasi resistensi mengenai neoliberalisme yang ditunjukan oleh kaos produksi Insist Press. Penelitian ini menyimpulkan kaos merupakan satu jenis pakaian yang digemari banyak orang. Kenyamanan yang dibawanya, membuat kaos sering dikenakan untuk berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Kaos yang semula hanya berfungsi sebagai pakaian dalam, kini telah mengalami banyak perkembangan. Kaos mengalami perkembangan dalam hal bentuk, bahan, dan desain yang ditampilkan. Kaos dapat menjadi media penyampai pesan, dengan pembuat desain/produsen/pemakai kaos sebagai komunikator dan pembaca/pengamat desain kaos sebagai audience. Berbagai bentuk, gambar, dan kata-kata dalam kaos merupakan pesan akan pengalaman, perilaku, status sosial, ataupun penyikapan. Salah satu sikap yang dapat disampaikan melalui kaos adalah sikap resistensi, dalam arti menolak tunduk. Dengan kaos, resistensi dapat digaungkan oleh si pemakai (salah satu komunikator) kapan saja ketika kaos dikenakannya. Kaos telah menjadi bagian dari keseharian sebagian besar orang, sehingga ia menjadi benda yang familiar untuk diperbincangkan. Oleh karenanya, kaos yang mengusungpesan resistensi –apalagi didukung dengan desain yang menarik- dapat menjadi “pemancing” obrolan di antara pemakai kaos dan orang yang membaca desain kaosnya. Dengan adanya komunikasi yang terjalin, 17 Fitria Agustina. "Kaos dan Resistensi Analisis Semiotik Representasi Resistensi atas Neoliberalisme dalam Kaos Insist Pers". (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2005). kesempatan bahwa pesan dipahami lebih mendalam oleh pembaca akan lebih terbuka. Dari analisis semiotik yang dilakukan dengan mencermati elemen-elemen desainnya [obyek tema (gambar dan teks), komposisi (penempatan dan ukuran), modality (warna dan suasana)], kaos-kaos Insist Press merepresentasikan resistensi atas neoliberalisme dengan menggugah kesadaran kritis pembaca –mereka yang melihat, mencermati desain kaosnya-. Resistensi atas neoliberalisme ini diwujudkan dengan desain-desain yang mengangkat tiga hal: proyek dan dampak neoliberalisme (termasuk dalam hal ini hutang luar negeri, privatisasi, pemotongan subsisdi, dan intellectual property rights/Hak Atas Kekayaan Intelektual/HAKI), gerakan melawan neoliberalisme, dan agen neoliberalisme. Penelitian ini menggunakan analisis semiotik Roland Barthes dengan melakukan analisis terhadap desain kaos tersebut. Analisis yang dilakukan mengenai elemen desain yaitu, obyek tema, komposisi, dan modality. Analisis semiotik pada kaos ini menghasilkan representasi unik yaitu dari peneliti sendiri berupa penolakan terhadap neoliberalisme yang dianggapnya sebagai bentuk penjajahan baru dari dunia barat. Penelitian terdahulu yang kedua mengenai analisis semiotika visual berjudul "Mural dan Realitas Sosial Studi Semiotik tentang Mural dalam Merepresentasikan Realitas Sosial Masyarakat Jogja". 18 Penelitian ini meneliti tentang bagaimana mural-mural yang ada di daerah Yogyakarta merepresentasikan realitas sosial di daerah tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mural adalah salah satu bentuk dari seni rupa modern, yang sekarang ini semakin dikenal 18 Rini Larasati. "Mural dan Realitas Sosial (Studi Semiotik tentang Mural dalam Merepresentasikan Realitas Sosial Masyarakat Jogja)". (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2004). keberadaannya oleh publik. Sebagai sebuah seni publik, maka keberadaannya akan langsung bersentuhan dengan beragam fenomena yang terjadi dan juga dengan publik di sekelilingnya. Terciptanya sebuah mural merupakan hasil interaksi antara seniman dengan publik yang ada di sekitar lokasi. Disana terjadi pertukaran cerita, pengalaman, inspirasi, gagasan, serta ide diantara mereka. Publik yang berasal dari latar belakang yang beragam berkolaborasi dengan seniman, menciptakan sebuah karya seni visual, tanpa melupakan lingkungan di sekitar mereka. Munculnya muralmural yang menghiasi kota jogja, membawa spirit untuk memberi penyadaran kepada publik, akan keberadaan sebuah ruang publik sebagai milik publik. Ruang publik bukan hanya pemerintah atau pihak-pihak untuk bermodal besar saja. Selama ini ruang publik selalu didominasi oleh pihak-pihak untuk berkepentingan politis atau komersial. Publik hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk berkreasi dan berekspresi di ruang publik. Dari analisis yang telah dilakukan terhadap mural-mural yang menadi objek penelitian, bisa diketahui realitas sosial apa saja yang ingin disampaikan oleh seniman kepada publik. Melalui elemenelemen yang membentuk mural ini, yaitu lewat tampilan-tampilan visual yang terlihat, seperti figur-figur utama, warna-warna yang dipilih, dan elemen-elemen gambar pendukung serta lewat teks-teks verbal yang terbaca, mural-mural ini bisa dikategorikan memuat tiga realitas sosial dalam kehidupan masyarakat Jogja, yaitu realitas seksual, ekonomi, dan kebudayaan. Penelitian terdahulu ini memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan analisis semiotika Roland Barthes dengan cara melakukan analisis terhadap mural-mural tersebut. Analsis yang dilakukan terhadap mural tersebut meliputi tampilan visual; gambar, teks, warna. Peneliti menyimpulkan bahwa adanya realitas kemanusiaan; seksual, ekonomi dan kebudayaan, yang ditemukan dalam mural-mural tersebut. Persamaan kedua penelitian terdahulu ini dengan penelitian sekarang ini adalah sama-sama menggunakan analisis semiotik milik Roland Barthes, yang melakukan analisis dengan menentukan denotasi, konotasi dan mitos di balik karya-karya visual tersebut. Namun memiliki perbedaan yang jelas mengenai objek penelitian, dimana penelitian terdahulu ini merupakan karya visual gambar, sedangkan penelitian ini merupakan hasil foto jurnalistik Peter Bialobrzeski. Penelitian terdahulu yang ketiga mengenai analisis semiotika dalam foto jurnalistik berjudul "Representasi Pemberitaan Hutan Kalimantan pada Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik pada Foto dalam Artikel "Hutan Yang Coba Bertahan di Majalah National Geographic Indonesia)". 19 Penelitian ini meneliti tentang bagaimana National Geographic Indonesia merepresentasikan hutan Kalimantan dalam beberapa bingkai foto yang dimuat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi November 2008. Penelitian ini menyimpulkan bahwa fotografi sebagai media komunikasi visual memiliki kemampuan untuk menghadirkan kembali suatu peristiwa. Dalam menghadirkan kembali suatu peristiwa, terjadi stereotyping terhadap masyarakat. Hutan Kalimantan di artikel “Hutan Yang Coba Bertahan” direpresentasikan sebagai korban (benda atau objek mati) yang tidak berdaya atas sikap dan perilaku manusia. Perilaku manusia yang bersikap antroposentris dianggap sebagai penyebab kerusakan hutan Kalimantan. Inilah stereotyping yang dilakukan National Geographic Indonesia melalui foto-foto jurnalistik. 19 Wicak Baskoro. "Representasi Pemberitaan Hutan Kalimantan pada Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik pada Foto dalam Artikel "Hutan Yang Coba Bertahan di Majalah National Geographic Indonesia)". (Tesis Magister, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2011). Sikap National antroposentris20 Geographic merupakan Indonesia terhadap proses stereotyping masyarakat negara berkembang. Proses stereotyping itu pada dasarnya dikonstruksi oleh National Geographic Indonesia melalui mitos yang dibangun National Geographic Indonesia sendiri untuk mengirim audience suatu pemahaman yang diinginkan. Mitos ini memberikan gambaran bahwa budaya masyarakat negara berkembang tidak mampu melakukan konservasi hutan karena persoalan ekonomi. Pada penelitian ini, representasi hutan Kalimantan yang digambarkan tentunya tidak terlepas dari subyektivitas National Geographic Indonesia. Subyektivitas ini tampak pada kedua wacana (ekonomi dan ekologi) yang ditampilkan. Meskipun secara langsung adanya keseimbangan dalam mewacanakan dua kepentingan tersebut, tetapi berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa keberpihakan terletak pada wacana ekologi. Keberpihakan tersebut tampak pada cara yang terlihat tidak membela kepentingan ekonomi di balik hutan Kalimantan. Foto-foto yang lebih banyak menampilkan sikap-sikap antroposentris disertai caption. Isi pemberitaan dalam National Geographic Indonesia ini tidak lepas dari campur tangan National Geographic Society yang berada di Washington D.C, Amerika Serikat. Artinya terdapat relasi kuasa yang digunakan dalam konteks pemberitaan. Mitos yang menyatakan bahwa sikap antroposentris identik dengan negara berkembang disebabkan karena adanya ideologi Amerika yang "menguasai" informasi. Tiap edisi National Geographic Indonesia harus mendapat pengesahan dari National Geographic Society. Tentunya hal ini pun 20 A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal 33. Teori etika lingkungan yang memandanng manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. juga berpengaruh dalam merepresentasikan hutan Kalimantan dalam artikel “Hutan Yang Coba Bertahan”. Persamaan penelitian terdahulu ini adalah kesamaan pada analisis semiotika Roland Barthes dan kesamaan objek penelitian yaitu sama-sama melakukan analisis pada foto jurnalistik. Namun kepemilikan dan foto yang dihasilkan berbeda, ini dikarenakan foto dalam penelitian terdahulu merupakan foto jurnalistik yang termuat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi November 2008. Sedangkan penelitian sekarang ini menganalisis foto jurnalistik milik Peter Bialobrzeski yang termuat dalam karyanya Paradise Now. 2. Media dan Fotografi Media ini merupakan bentuk dewasa dari adanya kemajuan teknologi dan informasi. Media massa, demikian disebutnya, merupakan sumber informasi, laporan yang digunakan secara massal, banyak dan serentak. Media merupakan contoh dari adanya konsep komunikasi massa. Media itu memediasi. 21 Bahwa terdapat dugaan yang menyatakan bahwa laporan dalam media itu bersifat langsung namun nyatanya tidak, setidaknya demikian bila melihat bagaimana media melaporkan pemberitaannya dewasa ini. Seperti semua komunikasi manusia, laporan berita harus dituangkan dalam bentuk material -kata-kata, bahasa tubuh, lagu, gambar, tulisan-. Tujuan dari mediasi itu adalah untuk mengkomunikasikan sesuatu melalui ruang dan waktu yang menjangkau sebanyak mungkin orang. Jadi hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa media dapat menjangkau sejumlah besar orang (massa). Kedua, pesan-pesan yang dimediasikan pada saat ini 21 Ziauddin Sardar, Boris Van Loon. Membongkar Kuasa Media (Yogyakarta: Resist Book, 2008), hal 50. Tindakan menyalurkan pengetahuan sosial dan nilai-nilai kultural melalui institusi kepada audiens; proses pemilihan dan pembentukan untuk menciptakan sejumlah makna dari suatu peristiwa publik. Melalui mediasi, media membawa perspektif tertentu dalam menyampaikan isu publik dengan mengorbankan yang lain. Mediasi adalah masalah pertukaran simbolik -pertukaran yang kebanyakan hanya dari satu sisi-. menggunakan teknologi yang sangat canggih. Ketiga, sementara kita mempunyai pilihan untuk membuat musik kita sendiri atau menggambar kartun kita sendiri, kebanyakan dari kita memilih menjadi konsumen dari produksi korporasi profesional yang jumlahnya relatif sedikit. Perusahaan-perusahaan besar ini cukup tertutup dan terpusat, tetapi penerimaan produknya bersifat publik dan tersebar. Keempat, secara virtual tidak ada komunikasi antara sumber dengan penerima.22 Membicarakan media secara langsung membicarakan mengenai komunikasi massa. Media dalam sasarannya adalah sejumlah orang banyak atau yang disebut dengan massa. Dennis McQuaill mengatakan bahwa media memenuhi empat tipe utama kebutuhan yaitu: diversi/pengalihan, pelepasan emosional untuk menghindari permasalahan atau pekerjaan. Hubungan personal, menyediakan teman ketika sendiri dan menjadi subyek diskusi dengan orang lain. Identitas personal, mengkaji dan menempatkan diri kita sendiri di seberang dunia sosial. Pengawasan, menyediakan informasi tentang isu-isu dan peristiwa. 23 Media massa yang dikenal oleh masyarakat banyak jenisnya. Mulai dari media cetak seperti koran, majalah, buletin dan sebagainya. Media penyiaran seperti televisi dan radio. Media online yaitu media informasi dari internet. Semua ini berjalan berurutan sesuai dengan perkembangan zaman teknologi dan informasi. Ketika Elegi Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1450 barulah muncul sejumlah surat kabar. Teknologi mesin cetak dan era media cetak bertahan cukup lama yaitu sekitar empat abad, baru kemudian radio telegraf tanpa kawat pada tahun 1897. Masyarakat secara terbatas mulai mengenal teknologi informasi jarak jauh. Pada saat itu ketika masyarakat diperkenalkan dengan dunia pencitraan 22 23 Ibid., hal 8. Ibid., hal 33. yang mulai sempurna, kemudian telegraf dikembangkan oleh Alexander Graham Bell menjadi telepon. Sebenarnya temuan tersebut adalah sebuah petanda pertama akan lahirnya era telekomunikasi dengan kemampuan melahirkan teknologi informasi super cepat di mana Alexanderson menamainya dengan radio. 24 Teknologi radio ternyata tak mampu bertahan lama sebagaimana teknologi cetak karena Farnsworth kemudian pada tahun 1927 menemukan televisi, maka dunia pencitraan materi mulai disempurnakan menjadi benar-benar sempurna. Namun penemuan itu tidak bertahan lama, karena akhirnya teknologi digital telepon dapat digabung dengan televisi sehingga lahir komputer yang kemudian berkembang dengan amat sangat cepat.25 Terakhir adalah kelahiran media online, media informasi yang menggunakan kemampuan internet dalam mengaksesnya, media ini membutuhkan teknologi komputer pada awalnya dan terus berkembang hingga bisa diakses dari komputer tablet hingga handphone. Media online sering disebut dengan awal mulanya konvergensi media, yaitu penyatuan dan penyederhanaan media sebelumnya. Kekuatan media online merupakan gabungan dari semua media sebelumnya, ia mampu menghadirkan tulisan, gambar, hingga suara. Dari semua kemampuan media yang disebutkan, ada sebuah persamaan yang dimiliki oleh media-media tersebut, yaitu adalah gambar. Media cetak, televisi, dan online memang memiliki gambar secara nyata dan dapat dilihat oleh indera manusia. Namun radio yang tidak memiliki gambar secara nyata memiliki theatre of image yang dimunculkan oleh pendengarnya. Gambar pada media massa tidak dimunculkan begitu saja, terutama pada media cetak, dan online. Dibutuhkan teknologi 24 Prof. Dr. H.M Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2006), hal 113. 25 Ibid penangkap gambar yang disebut kamera. Pada media massa televisi, penangkap gambar ini disebut juga dengan kamera video, yang juga tidak hanya menangkap gambar melainkan juga merekam sehingga bisa diputar ulang dan ditunjukan kepada masyarakat sebagai informasi. Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, bentuk, warna dan komposisi. Ia dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi nonverbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau pun ucapan.26 Gambar atau disebut juga foto pada media cetak ini memiliki dunia tersendiri yang tak terpisah dari dunia jurnalistik yaitu fotografi jurnalistik atau biasa disebut juga foto jurnalistik (photojournalism). Foto jurnalistik sebagai salah satu domain seni visual tidak terlepas dari nilai-nilai dan kaidah estetika yang berlaku. Setiap bentuk karya yang dihasilkan dari foto jurnalistik tidak lain mempunyai tujuan serta konsep penciptaan yang bermula dari ide dasar yang berkembang menjadi implementasi praksis dengan dukungan peralatan dan teknik ungkap melalui bahasa visual. Foto jurnalistik sebagai bagian dari perkembangan seni visual fotografi dipandang berbeda dari kesenian visual. Foto jurnalistik dibuat untuk kepentingan informasi untuk mempresentasikan isi berita sedekat mungkin. 27 Foto berita berlaku sebagai foto dokumentasi yang menyertai sebuah berita. Konvensi ini menjadi bagian penting dalam menangkap pesan suatu foto berita.Mengingat kedudukan foto yang tidak dapat diganggu gugat (analog, analog penuh), foto mempunyai kekuatan menaturalisasikan apa yang dikatakan lewat teks.28 Teks dalam berita tidak mempunyai kekuatan apa-apa di hadapan foto. Teks 26 Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hal 7. Sunardi, ST. Semiotika Negativa (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), 146. 28 Ibid., hal 161. 27 tidak pernah menggandakan referen dari foto yang bersangkutan. Teks (thesis) dinaturalisasikan oleh foto (physis), teks menjadi parasit foto.29 Fotografi juga ditempatkan sebagai contoh perkembangan dunia teknologi pencitraan yang maju. Fotografi mengalami perjalanan dua dunia hingga kini, ditandai dengan evolusi perubahan teknologi dari media analog ke media digital. Fotografi memiliki sifat objektif, menjadikan citraan fotografi sebagai pilar untuk menguak kebenaran pada berbagai disiplin ilmu misalnya sosial, politik, seni, sains dan teknologi. Ranah dunia fotografi termasuk juga dalam pengembangan film, video, dan televisi (cinematography), yang merupakan sistem informasi bagi segala misteri manusia, sampai hal yang paling tersembunyi tidak kasat oleh mata.30 Fotografi menghasilkan tata bahasa baru berupa visual language, dan yang paling penting adalah kemampuan membentuk etika cara pandang baru terhadap suatu kenyataan. Kehadirannya ada di mana-mana (omnipresence) telah diserap dan mengendap di dalam benak tiap manusia modern sebagai sebuah antologi citra-citraan.31 Pada dasarnya karya fotografi merupakan gabungan dari dua hal penting yaitu bingkai dan objek. Bingkai adalah sebuah sudut pandang atau cara melihat sebuah realitas (objek) dengan maksud mengajak khalayak untuk melihat dengan cara seperti fotografer melihat realitas tersebut. Objek adalah sebuah realitas pertama dan dengan menempatkannya pada sebuah bingkai akan menjadi realitas kedua. Hal yang paling dasar dari fotografi, yang membedakannya dengan karya lain seperti lukis atau grafis, adalah bahwa fotografi hanyalah menjiplak realitas. 29 Ibid., hal 186. Moch. Abdul Rahman. "Estetika dalam Fotografi Estetik". Bahasa dan Seni. Nomor 2 (Agustus 2008), hal 179 (bentuk pdf). 31 Ibid., hal 180. 30 Proses penjiplakan ini terjadi melalui proses interpretasi dan seleksi. Interpretasi adalah memahami realitas dengan perangkat pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki. Sedangkan proses seleksi merupakan sebuah pilihan apa yang akan kita tampilkan dan tidak ditampilkan serta bagaimana kita menampilkannya. Pada tahap inilah pengetahuan dan penguasaan kita akan teknik fotografi dan konvensi-konvensi artistik akan sangat berpengaruh. Pengetahuan tentang konvensi artistik paling penting dalam fotografi adalah komposisi. Saat ini, media foto sudah menjadi bagian dari budaya visual yang mengandung banyak makna sekaligus mempunyai dasar dan sistem yang mampu menjangkau dan mengangkat suatu lapisan sosial budaya melalui cara ungkap dan cara pemaknaannya yang spesifik dan mandiri. 3. Representasi John Fiske awalnya mendefinisikan komunikasi menggunakan referensi model komunikasi Shannon dan Weaver yang menjelaskan bahwa komunikasi sebagai proses linear yang sederhana. Melalui kesederhanaan tersebut telah menarik banyak turunannya, sifat linearnya, yang berpusat pada proses, telah memancing banyak kritik. 32 Pada lanjutannya Fiske menyebutkan istilah "medium" dalam model Shannon dan Weaver ini. Medium ini pada dasarnya adalah sarana teknis atau fisik untuk merubah pesan menjadi sinyal yang dapat ditransmisikan melalui saluran tersebut. Sifat dari medium ini kemudian menentukan tingkatan kode yang dapat ia transmisikan. 33 Merujuk pada jenis dan contoh hasil media seperti gambar dan foto pada subbab sebelumnya, Fiske kemudian meletakkan jenis 32 John Fiske. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal 14. 33 Ibid., hal 29. dan contoh itu ke dalam klasifikasi media representasional. Media representasional ini terdiri dari: buku, lukisan, foto, tulisan, arsitektur, dekorasi interior, berkebun, dan lain-lain. Terdapat sejumlah media yang menggunakan konvensi-konvensi estetik dan kultural untuk menciptakan suatu "teks" dari beberapa jenis. Media ini bersifat representasional dan kreatif. 34 Representasi sendiri oleh Fiske didefinisikan sebagai proses yang dengannnya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. 35 Manusia yang dalam kehidupannya terbiasa dengan informasi dari media massa juga dipenuhi dengan berbagai macam representasi atas peristiwa yang terdapat pada media tersebut. Media massa bekerja di dunia yang menjadikan bahasa, ekspresi nonverbal, ilustrasi, gambar gerak, foto, ikon grafis, audio sebagai materi utama untuk menghasilkan produk-produknya. Media massa merupakan agen konstruksi realitas melalui ekspresi bahasa verbal maupun nonverbal yang digambarkan tersebut. Oleh sebab itu bahasa merupakan nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para pekerja media bisa menghasilkan produknya kepada masyarakat. Dengan bahasa secara masif mereka menentukan gambaran berbagai realitas ke dalam benak masyarakat. Di sisi lain, isi berita (bahasa media) yang disampaikan media merupakan representasi dari sebuah realitas. Isi berita yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang telah mengalami proses penambahan atau pengurangan dari pelaku (orang-orang) media karena adanya faktor subjektivitas. Representasi berangkat dari 34 Ibid., hal 30. Dalam pembagiannya, selain media representasional, ada juga media presentasional dan media mekanis. Media presentasional merupakan suara, wajah, tubuh. Media ini menggunakan bahasa "alami" dalam kata-kata yang diucapkan, ekspresi, gestur, dan seterusnya. Sedangkan media mekanis seperti telepon, radio, televisi, teleks. Media ini adalah transmiter media kategori presentasional dan representasional. Perbedaan utamanya terletak pada penggunaan saluran-saluran yang diciptakan lewat keahlian teknik. 35 Ibid., hal 282. kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu sama persis dengan apa yang ada pada realitas sesungguhnya. Berita, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa media dapat dipahami sebagai produksi makna. sebagai kesatuan organik, media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui berita yang mereka hadirkan ke ruang publik. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner obyek fiktif, manusia, peristiwa.36 Stuart Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan di antara semua itu. Bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara atau kesan yang membawa makna adalah tanda. 37 Representasi penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, satu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimana representasi itu ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan visualisasi apa dan bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam media massa kepada khalayak. Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek tersebut 36 Anang Hermawan. "Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes". Hermawan membagi khayalak pengguna media menjadi dua. Pertama, adalah terdapat sebagian orang yang mengatakan bahwa apa yang tampil di media merupakan 'cermin' realitas, dalam pengertian bahwa realitas yang tersaji di media dinilai sama dengan realitas empirik. Kedua, berada pada paham yang berseberangan, mengatakan bahwa realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari orang-orang media. 37 Stuart Hall (Ed.). Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices. (London: Sage Publications, 1997) seperti dikutip oleh Ibid. ditampilkan.38 Dengan kata lain, representasi merupakan penggambaran ulang dari realitas yang ditampilkan lewat media. Representasi juga digunakan dalam konsep sosial pemaknaan, seperti pada dialog, tulisan, gambar, film, iklan, fotografi, dan lainnya. Konsep yang terdapat dalam benak manusia kemudian diproyeksikan melalui bahasa, simbol, dan tanda yang berfungsi merepresentasikan konsep tersebut tentang sesuatu. Hubungan antara konsep (ideologi), bahasa, simbol, dan tanda adalah hasil produksi dari pemaknaan, baik lewat bahasa maupun simbol. Konsep representasi dapat berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang pernah ada. Ini dipengaruhi oleh makna itu sendiri yang tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi yang disesuaikan dengan keadaan baru. Pada intinya makna tidak inheren terhadap sesuatu di dunia ini. Makna akan selalu di produksi lewat proses representasi, ia adalah hasil dari praktek penandaan yang membuat sesuatu bermakna. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita memakai tiga teori representasi, yaitu: pendekatan reflektif, pendekatan intensional dan pendekatan konstruksionis. Menurut pendekatan reflektif, makna dianggap ada dalam objek, pribadi, gagasan atau peristiwa dalam dunia nyata dan bahasa dianggap sekedar cermin, yang merefleksikan makna sejati yang telah ada di dunia ini. Pendekatan intensional, pembicara atau pengaranglah yang mengimposisi makna unik ke dunia melalui bahasa. Kata-kata memiliki makna menurut apa yang pengarang maksudkan atau intensikan. Jadi disini kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Pendekatan konstruksionis, memahami karakter bahasa yang bersifat publik dan sosial. Pendekatan ini juga mengakui 38 Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2008), hal 113. bahwa benda-benda dalam dirinya sendiri maupun pengguna bahasa secara individual tak pernah bisa membakukan makna dalam bahasa. Benda-benda tidak mempunyai arti, kitalah yang sesungguhnya mengkonstruksi makna dengan memakai sistem representasional, konsep dan tanda-tanda.39 Pendekatan konstruktisionis dibagi lagi menjadi dua subpendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan wacana (discursive approach) dimana konstruksi akan makna dibentuk tidak lewat bahasa tetapi melalui wacana. Produksi makna pada suatu kultur dihasilkan lewat wacana yang diangkat oleh individu-idividu yang berinteraksi dalam masyarakat dan diidentifikasi atas kultur yang ditentukan oleh wacana-wacana yang diangkatnya. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan semiotik (semiotic approach). Pada pendekatan ini pembentukan tanda dan makna dikonstruksikan melalui medium bahasa. Bahasa bekerja pada lingkaran kultur dimana makna yang dikonstruksi ini tidak selalu tetap maknanya. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi yang disesuaikan dengan situasi yang baru.40 4. Ruang Publik Publik, seringkali dinamakan khayalak umum atau khalayak ramai, demikian menurut Soekanto, lebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. interaksi secara tidak langsung melalui alat komunikasi seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi, film, dan lain sebagainya. Alat-alat penghubung semacam ini memungkinkan suatu publik mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih besar.41 39 Rini Larasati. Loc.Cit., hal 40. Fitria Agustina. Loc.Cit., hal 34-35. 41 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 248. Lebih lanjut menurut Soekanto, publik dalam kondisi jumlah pengikut yang besar ini justru 40 Pendapat lain berasal dari Polak, yang mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang mempunyai minat sama terhadap suatu kegemaran atau persoalan tertentu. Mempunyai minat yang sama tidak perlu harus mempunyai opini atau pendapat yang sama. Sebaliknya publik mengenal diskusi yang pro dan kontra suatu persoalan atau masalah tertentu. karena suatu masalah terutama masalah sosial itu sangat banyak dan biasanya aktual maka dengan demikian jumlah publik juga banyak. Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap sesuatu masalah dan berhasrat mencari suatu jalan keluar dan dengan mewujudkan tindakan yang konkrit.42 Sedangkan Bogardus berpendapat bahwa publik adalah sejumlah orang yang dengan suatu cara mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu masalah atau setidak-tidaknya mempunyai kepentingan bersama dalam sesuatu hal. Sejumlah orang tersebut antara yang satu dan yang lain dapat tidak kenal mengenal satu sama lain, akan tetapi sebenarnya mempunyai perhatian dan minat yang sama terhadap sesuatu masalah. 43 Ada dua definisi yang biasanya dipakai terkait dengan kepentingan publik, yaitu ruang publik (public space) dan khazanah publik (public sphere). Ruang publik secara umum didefinisikan sebagai tempat fisik dan kasat mata yang ada di dalam kota atau di mana saja kita lihat orang berkumpul. Khazanah publik adalah konsep tidak ada pusat perhatian karena kesatuan juga tidak ada. Setiap aksi publik diprakarsai oleh kepentingan-kepentingan pribadi, pada akhirnya Soekanto mengartikan bahwa tingkah laku publik didasarkan pada tingkah laku atau perilaku individu. Untuk mengumpulkan publik tersebut, digunakan cara-cara dengan menggandengkan nilai sosial atau tradisi masyarakat, atau dengan menyiarkan pemberitaan, baik yang benar maupun yang palsu sifatnya. 42 Drs J.B.A.F. Mayor Polak. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1960) seperti dikutip oleh Dra Djoenaesih S. Sunarjo. Opini Publik (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal 19. 43 Emory S. Borgadus dalam Drs R. Roekomy. Tingkah Laku Kolektif dalam Mobilitas Sosial (Bandung, 1970) seperti dikutip oleh Ibid., hal 20. abstrak yang melukiskan adanya sesuatu yang dimengerti, dibahas dan diperdebatkan secara bersama-sama.44 Konsep public sphere ini memiliki seorang pencetus ahli Sosiologi dari Jerman, Jurgen Habermas. Habermas mendefinisikan public sphere sebagai jaringan komunikasi informasi yang memiliki aliran termasuk dalam proses, penyaringan, penyatuan hingga menjadi suatu kumpulan opini publik yang sudah ditentukan. 45 Sejarah public sphere ini awalnya saat kaum bangsawan, aristokrat, sastrawan, dan tokoh-tokoh kelas atas kerajaan berkumpul. Hal ini menyebabkan saat itu public sphere merupakan kawasan terbatas dan berkelas, ia hanya membicarakan kepentingan- kepentingan kaum borjuis, kaum menengah atas, jauh dari kepentingan masyarakat sipil. Contoh di negara Perancis terkenal akan salon-nya, diterjemahkan seperti ruang besar untuk menerima tamu, atau bisa juga sebagai ruang pameran karya seni. Namun public sphere ini tidak digunakan sebagai tempat diskusi permasalahan sosial melainkan hanyalah menjadi tempat berlandaskan uang dan hak tanah yang menjadi kepentingan mereka. 46 Selain Perancis, ruang publik juga terdapat di daerah Inggris yaitu kedai-kedai kopi (coffee houses). Selain publik dalam ruang tersebut yang hanya berisi orang-orang kelas atas namun ada juga publik yang direkrut dalam ruang tersebut biasanya mereka adalah 44 Deddy Kurniawan Halim. Psikologi Lingkungan Perkotaan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hal 55. 45 Communication for Governance & Accountability Program (CommGAP). The Public Sphere. “network for communicating information and points of view . . . the streams of communication are, in the process, filtered and synthesized in such a way that they coalesce into bundles of topically specified public opinions.” (bentuk pdf). 46 Jurgen Habermas. The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society. Translated by Thomas Burger, Frederick Lawrence (Great Britain: Polity Press, 1989), hal 33. "As in the salons where "intellectuals" met with the aristocracy, literature had to legitimate itself in these coffee houses. In this case, however, the the nobility joining the upper bourgeuis stratum still possessed the social functions lost by French; it represented landed and moneyed interest" orang-orang pengusaha swasta, tokoh-tokoh kerajaan yang dominan berupa mereka yang berpendidikan kelas menengah ke atas.47 Public sphere sebagai suatu bidang yang menjadi perantara antara masyarakat dan negara, dimana masyarakat mengorganisasi dirinya sendiri sebagai pembawa opini publik, sesuai dengan prinsip ruang publik.48 Habermas juga mengikuti perkembangan bagaimana kaum borjuis dibedakan oleh munculnya public sphere yang berada di antara masyarakat sipil dan negara dan yang dimediasi antara kepentingan publik dan swasta. Pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat membentuk opini publik, memberikan ekspresi langsung dengan kebutuhan dan minat mereka meski mempengaruhi praktik politik.49 Hingga kini perubahan wacana dan terbentuknya secara konkrit ruang publik merupakan kepentingan yang tidak terbatas hanya untuk kalangan kelas menengah ke atas. Kepentingan ini berangkat kebutuhan dimana terdapat setiap hak warga yang bebas untuk memiliki mendiskusikan pendapat masalah atas tersebut. permasalahan Dibutuhkan sesuatu wadah dan dalam mewujudkan sikap untuk saling berbagi pengetahuan dan diskusi ini, dan inilah yang dinamakan public sphere. Dewasa ini, surat kabar dan majalah, radio dan televisi adalah media di public sphere.50 47 Ibid., hal 34. "as in the case of the coffee houses, their public was recruited from private people engaged in productive work, from the dignitaries of the principalities capitals, with a strong preponderance of middle-class academics." 48 Jurgen Habermas. Critical Theory and Society: A Reader. Translated by Sara Lennox, Frank Lennox (New York: Routledge, 1989), hal 136. “The public sphere as a sphere which mediates between society and state, in which the public organizes itself as the bearer of public opinion, accords with the principle of the public sphere.” 49 Douglas M. Kellner, Meenakshi Gigi Durham. Media and Cultural Studies KeyWorks. (Massachusettes: Blackwell Publishers Inc., 2001), hal 35-36. “Habermas notes how bourgeois society was distinguished by the rise of a public sphere which stood between civil society and the state and which mediated between public and private interest. For the first time in history, individuals and groups could shape public opinion, giving direct expression to their needs and interest while influencing political practice.” 50 Jurgen Habermas. Critical Theory and Society: A Reader. Translated by Sara Lennox, Frank Lennox (New York: Routledge, 1989), hal 136. “Today, newspapers and magazines, radio and television are the media of the public sphere”. Ruang publik (public space) adalah ruang dalam suatu kawasan yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan kontak publik. Ruang publik dapat berupa cluster maupun linier dalam ruang terbuka maupun tertutup. Beberapa contoh ruang publik antara lain : plaza, square, atrium, pedestrian.51 Ruang publik yang bisa berfungsi optimal untuk kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri antara lain : merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang bagus secara visual dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan (jalur sirkulasi), mempunyai tempat untuk duduk-duduk antara lain berupa anak-anak tangga, dinding atau pagar rendah, kursi dan bangku taman, ruang yang memungkinkan penggunanya dalam melakukan aktifitas komunikasi bisa berpindah-pindah tempat/posisi sesuai dengan karakter dan suasana yang diinginkan. 52 Ruang Publik (Public Space) adalah sebuah area di antara bangunan-bangunan di dalam kota yang dapat diakses dengan bebas oleh warga, termasuk di dalamnya lobi dan ruang penerima dalam bangunan. 53 Ruang publik memiliki peran sosial yang lebih besar dari sekedar menciptakan interaksi. Di ruang publiklah masalah warga mampu untuk diutarakan, di mana semua orang berkedudukan sama dan tidak ada perbedaan sosial. Ruang publik juga bersifat demokratis karena terbuka bagi semua orang dan tidak ada seorang pun boleh menutup akses ke ruang publik. Oleh karena itu, ruang publik memiliki aturan yang dibuat oleh para pejabat publik untuk melayani kepentingan publik.54 Ruang publik adalah ruang di mana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara 51 Alpha Febela Priyatmono. Peran Ruang Publik di Permukiman Tradisional Kampung Laweyan Surakarta. (bentuk pdf). 52 Ibid. 53 Deddy Kurniawan Halim. Op.Cit., hal 346. 54 Ibid., hal 64. bebas dan fair. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi itu. Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi lebih sebagai jaringan yang amat kompleks untuk mengkomunikasikan gagasan, opini, atau aspirasi. Setiap komunitas di mana di dalamnya dibahas norma-norma publik, maka akan menghasilkan ruang publik. 55 Bila dikaitkan dengan sifat ruang yang terbagi atas ruang publik dan ruang privat, maka konflik yang paling pelik adalah ketika ruang publik diambil alih secara serabutan untuk dijadikan ruang privat, dimiliki hanya oleh sebagian anggota masyarakat. Berdasarkan pada kenyataan tersebut maka sering terjadi adanya benturan kepentingan yang meruncing menjadi sebuah konflik di ruang publik. Konflik yang terjadi merupakan pertentangan antara dua kepentingan, maupun berkembang menjadi pertentangan yang sangat kompleks. Sebagai gambaran dapat disebutkan beberapa contoh konflik tersebut, antara lain: hilangnya taman kota dan digantikan oleh areal komersial, dipakainya jalur pejalan kaki sebagai tempat berjualan kaki lima, pemasangan papan reklame yang mengganggu, aksesbilitas ruang publik yang tidak diperhatikan, dan sebagainya. Semua konflik yang terjadi tidak dapat dengan mudah diatasi tanpa adanya upaya terpadu untuk memandang tingginya kebutuhan ruang di suatu kawasan, dan berbagai kepentingan yang melatar belakangi penggunaan ruang publik tersebut. 5. Semiotika dan Mitos Secara umum, strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Sausurrean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Sausurrean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah55 Rini Larasati. Loc.Cit., hal 8. kaidah linguistik ini mereka coba untuk diterapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka. 56 Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship, totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik. 57 Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Strukturalisme memandang bahwa keterkaitan dalam struktur itulah yang mampu memberi makna yang tepat. Inner structure (disebut juga deep structure) dari suatu karya sastralah yang menjadi objek telaah strukturalisme. Strukturalisme semiotik adalah strukturalisme yang dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu pada semiologi. Semiologi atau semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya sastra.58 Semiotika adalah suatu bentuk strukturalisme, karena ia berpandangan bahwa kita tak bisa mengetahui dunia melalui istilah-istilahnya sendiri, melainkan hanya 56 Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. (Yayasan Indonesiatera, 2001), hal 40, seperti dikutip oleh Alex Sobur. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hal 103. 57 Ni Wayan Sartini. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. (bentuk pdf). 58 Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif Edisi III. (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hal 166, seperti dikutip oleh Alex Sobur. Op. Cit., hal 105. melalui struktur-struktur konseptual dan linguistik dalam kebudayaan kita.59 Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. Saussure memberikan sebuah contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya 'pohon'. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni tanda (signifie). Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi). 60 Tanda pertandaan Tersusun Atas Penanda (eksistensi fisik dari penanda) plus Realitas Eksternal atau Makna Petanda (konsep mental) Gambar 1.1 Unsur Makna dari Saussure. Sumber : John Fiske, 2011, hal 66. 59 John Fiske. Op.Cit., hal 159. Ni Wayan Sartini. Loc.Cit. ...a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty. 60 Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suarasuara, baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertian-pengertian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari sebuah sistem konvensi, sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah sistem tanda.61 Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah "bunyi yang bermakna" atau "coretan yang bermakna". Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi: penanda atau petanda; signifier atau signified; signifiant atau signifie. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistis.62 Minat utama Saussure adalah sistem linguistik, minat keduanya adalah cara sistem berelasi dengan realitas yang diacunya, dan yang paling sulit dari semua itu adalah cara sistem berelasi 61 62 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal 46. Ibid. dengan pembaca dan posisi sosio-kulturalnya. Saussure tertarik dengan cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna; Saussure kurang tertarik terhadap kenyataan bahwa kalimat yang sama saja bisa menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. 63 Dengan kata lain, Saussure tidak bersungguh-sungguh memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembaca/penulis dan teks. Saussure menekankan pada teks, bukan cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya (dan soal itu tidaklah penting di sini untuk membedakan antara pembaca dan penulis), tidak juga tertarik pada cara konvensi di dalam teks berinteraksi dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Adalah pengikut Saussure, yaitu Roland Barthes yang pertama kali menyusun model sistematik untuk menganalisis negosiasi dan gagasan makna interaktif tadi. Inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of significations).64 Gambar 1.2 Dua tatanan pertandaan (two order of significations) Roland Barthes Sumber : John Fiske, 2011, hal 122. 63 64 John Fiske. Op.Cit., hal 117. Ibid., hal 117-118. Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antar signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif, sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka (misreading). berfikir untuk mengatasi salah baca 65 Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam, Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan. 66 Setidaknya terdapat dua jenis 'mitos' dalam kajian wacana keilmuan. Mitos pertama yaitu mitos tradisional (mitos tipe pertama), sebagai sebuah cerita fiktif, diceritakan hingga berulang-ulang kali karena memiliki pesan moral, memiliki karakteristik adanya harmonisasi alam, dan kekuatan supranatural di dalamnya. Kedua yaitu mitos modern (mitos tipe kedua), adanya deksripsi mengenai alam namun adanya kesan untuk menunjukan adanya kepalsuan atau 65 66 Alex Sobur. Op.Cit., hal 128. Ibid. kekosongan. Namun hal tersebut masih diceritakan berulang-ulang sebagai pesan moral. 67 Barthes menjelaskan mitos memiliki dampak ideologis, menghubungkan benda budaya untuk kehidupan sehari-hari. Sebuah pembacaan semiologi menginterupsi untuk diberikan adanya mitos modern, memberikan kritik tentang bagaimana mereka mengaburkan sejarah dan memperlakukan sebagai nilai 'alami' kelompok masyarakat borjuis yaitu dengan tidak diragukan hingga melampaui perubahan. 68 Barthes menegaskan bahwa cara kerja mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melaui sejarah tertentu: maknanya, peredaran mitos tersebut mesti dengan membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya menyangkal hal tersebut, dan menunjukan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi sosial atau politik. Para ahli mitologi mengungkapkan sejarah tersembunyi sehingga cara kerja sosial politik mitos adalah dengan melakukan "demistifikasi" mitos.69 Salah satu buku karya Barthes yang terkenal mengenai mitos berjudul Mythologies. Barthes mengambil contoh spesifik dari budaya kontemporer dan mengkritisi sebagai mitos dan bukan mempertanyakan representasi mereka di 'realitas' tersebut (sebagai mitos tipe kedua). Barthes memperluas pendekatan yang menurutnya sebagai 'mengkritisi' dalam studi literatur dan seni dalam budaya massa. Namun, ia tidak terlibat dalam 'mengkritisi' dalam bentuk 67 Tim Dant. Critical Social Theory. (London: SAGE Publications Ltd, 2003), hal 39. Historical stories with superhuman characters and fantastic events (type one myth), timeless stories purpoting to describe casual relations between human action and nature (type two myth). 68 Ibid., hal 39-40. 69 John Fiske. Op.Cit., hal 122. budaya tersebut, ia bukanlah seorang kritikus film tetapi mencoba untuk memahami bagaimana film terletak dalam budaya pada umumnya.70 Dalam tulisannya yang berjudul 'Myth Today', Barthes menghubungkan kritiknya mengenai mitos dengan dimensi politik. Lebih jauh lagi, Barthes dengan jelas membuat hubungan eksplisit antara mitos dan ideologi di mana tanda-tanda memiliki efek ideologis yang dapat dikenakan kritik. Meskipun ia menggunakan kata 'mitos' dengan maksud mitos-mitos masyarakat kuno (mitos tipe pertama), ia juga membawa ide mitos yang lebih bersifat modern di masyarakat sekarang (mitos tipe kedua). Mitos modern adalah perhitungan moral nilai dan penyebabnya (apakah keindahan itu dan bagaimana ia bisa terbentuk, apa yang berguna dari itu dan bagaimana itu dibuat) bahwa pergeseran dengan perubahan teknologi. Pesan nilai mengaburkan asal-usul mereka dan tampaknya abadi dan independen mengenai bagaimana mereka diciptakan.71 Bagi Levi-Strauss, sebuah mitos merupakan kisah yang spesifik dan merupakan transformasi lokal atas struktur dalam dari konsep oposisi biner yang penting dalam bagi kebudayaan tempat beredarnya mitos tersebut. Mitos yang amat kuat dan signifikan berfungsi sebagai penurun kecemasan yang dengan cara ini mitos berhadapan dengan kontradiksi yang melekat pada setiap oposisi biner, dan meski mitos tidak memecahkannya (misalnya, kontradiksi itu akhirnya tak bisa dipersatukan), mitos tetap memberikan cara hidup yang imajinatif bersamanya dan menyesuaikannya sehingga 70 Tim Dant. Op.Cit., hal 33. Barthes memperlakukan Garbo (baca tulisan Barthes berjudul The Face of Garbo) sebagai mitos, terhubung ke bentuk-bentuk budaya lain dan menunjukkan cara bahwa budaya mengkomunikasikan nilai-nilai dan gagasan keindahan bukan melihat secara jelas dan langsung mengenai kecantikan dan keindahan dari subjek semata. 71 Ibid., hal 34. Nilai keindahan yang dimiliki oleh Garbo mungkin tidak berubah namun sebenarnya ada hasil dari teknologi itu yang membuat keindahan Garbo bersifat abadi. Plastik mungkin awalnya tidak memiliki kegunaan, namun adanya sentuhan teknologi yang membuat palstik memiliki nilai kegunaan yang baru (baca tulisan Barthes berjudul Plastic). tidak menjadi terlalu disruptif dan tidak banyak melahirkan kecemasan kultural. 72 F. Metode Penelitian 1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Paradigma ini memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang netral, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu konsentrasi analisis dalam paradigma kritis adalah menemukan kekuatan yang dominan tersebut dalam memarjinalkan dan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. 73 Realitas yang dipahami oleh individu justru dibentuk oleh kekuatankekuatan eksternal di luar dirinya. Paradigma ini mengungkap 'relasi kuasa' yang membentuk pemahaman tersebut. Penelitian ini menggunakan metode semiotik untuk melihat bagaimana makna terbentuk melalui foto. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ruang publik dari enam bingkai foto ini dipahami dengan bersama sebagai suatu realitas yang direpresentasikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada penelitian ini adalah menentukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut direpresentasi dan dengan cara apa dan bagaimana representasi itu dibentuk. 2. Unit Analisis Unit analisis yang akan diteliti adalah foto karya Peter Bialobrzeski yang memenangkan kontes World Press Photo tahun 2009. Dari sembilan foto seri yang memenangkan kontes tersebut, diambil enam (lihat bab II) diantaranya oleh peneliti. Enam seri foto yang diambil ini mewakili dari masalah yang akan diteliti. Selain itu enam seri foto ini dianggap sebagai batasan penelitian karena terdapat pada satu wilayah negara yang sama dengan peneliti. Enam foto ini menjadikan bahasan penelitian semakin 72 73 John Fiske. Op.Cit., hal 170. Eriyanto. Op.Cit., hal 49. lengkap dan akurat, karena pengetahuan peneliti akan daerah tempat foto diambil ini juga membantu menjelaskan permasalahan yang terbingkai dalam foto-foto tersebut. 3. Tahap Penelitian A. Pemilihan unit analisis: pengumpulan semua foto yang akan diteliti, pemilihan foto yang menjadi bahan penelitian (lihat bab II). B. Analisis semiotika dengan dua tatanan pertandaan (order of signification) milik Roland Barthes: 1. Denotasi, sebagai tatanan pertandaan pertama, menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. 74 Definisi lain adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan. 75 Dalam gambar atau foto, pesan denotasi merupakan pesan yang disampaikan oleh gambar secara keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto sejauh kita dapat membedakan unsur-unsur tersebut.76 2. Konotasi, bagian manusiawi dari proses ini; mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai, fokus, rana, sudut pandang, mutu film, dan seterusnya. Barthes menyatakan bahwa konotasi adalah bagaimana memfotonya. 77 Fiske mendefinisikan ini sebagai aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.78 Pada penelitian ini, untuk analisa foto pada tatanan konotasi digunakan tabel unsur-unsur fotografi dengan bentuk sebagai berikut:79 74 John Fiske. Op.Cit., hal 118. Ibid., hal 279. 76 Sunardi, ST. Op.Cit., hal 142. 77 John Fiske. Op.Cit., hal 119. 78 Ibid., hal 280. 79 Wicak Baskoro. Loc.Cit., hal 20-22. 75 Tabel analisis foto Aspek-aspek Fotografi Keterangan Angle Background Balance Central focus Composition Contour Contrast Framing Setting Vantage Point Tabel 1.1 a. Angle, sudut atau posisi dari mana sebuah foto diambil. Dalam fotografi, angle atau sudut pandang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a. 1. High angle, yaitu memotret dari tempat yang lebih tinggi dari objek yang akan kita tampilkan. Biasa juga disebut bird eye position. Dengan sudut pandang ini, bagian-bagian yang dianggap tidak penting oleh fotografer dapat disamarkan. a. 2. Low Angle, yaitu memotret lebih rendah dari objek yang ingin ditampilkan. Biasa juga disebut frog eye position. Sudut pandang ini member kesan tinggi dan megah pada objek yang menjadi fokus pengmbilan gambar. a. 3. Eye level, yaitu sudut normal di mana sudut yang diambil oleh fotografer sejajar dengan pandangan mata. Sudut pandang ini akan menimbulkan kesan wajar pada gambar yang diambil. Sudut pandang ini merupakan sudut pandang yang biasa dan paling umum digunakan pada saat pengambilan gambar. b. Background, bagian dari foto yang terlihat sebagai bagian belakang dari sebuah objek. Dalam sebuah foto, latar belakang berfungsi sebagai: pelengkap keberadaan objek, memberikan kesan terhadap objek, sebagai penunjuk lokasi objek, sebagai keterangan situasi yang sedang terjadi di sekitar objek. c. Balance, distribusi elemen visual dari sebuah foto, dapat secara simetris atau tidak simetris. d. Central focus/focus of interest, objek yang muncul paling mengemuka atau terlihat lebih jelas dalam sebuah foto. e. Composition, susunan atau struktur elemen-elemen foto yang membentuk suatu citra. Composition memiliki beberapa bentuk, di antaranya: e. 1. Komposisi diagonal, yaitu distribusi penempatan objek gambar yang membagi bingkai menjadi dua bagian atau lebih secara diagonal. e. 2. Komposisi simetris, yaitu menempatkan objek gambar secara seimbang pada bingkai dan seolah membagi bingkai menjadi dua bagian yang sama besar. e. 3. Komposisi ¾ bidang, yaitu penempatan objek secara tidak simetris, biasanya dengan titik pusat objek pada ¾ bagian frame. e. 4. Komposisi arah gerak, yaitu penempatan objek yang berorientasi pada gerak objek. e. 5. Komposisi pola irama (rhythm) atau repetisi, yaitu menunjukan sebuah pola irama dengan bentuk pengulangan. Maksudnya adalah pengulangan atas bentuk, garis maupun titik dari sebuah objek foto, yang memberikan kesan terdapatnya irama (seperti halnya irama pada sebuah lagu). e. 6. Kontras, yaitu dengan membandingkan antara dua hal yang kontras, dapat berupa kontras ukuran, bentuk, gelap terang maupun kontras warna. e. 7. Distorsi, yaitu dengan mendistorsi bentuk objek menjadi sedemikian rupa. e. 8. Komposisi tiga titik, yaitu dengan menempatkan titik pusat perhatian (point of interest) pada tiga titik bagian frame. f. Contour, garis atau bagan yang membentuk suatu objek foto. g. Contrast, perbedaan yang tegas antara bidang terang dan gelap, membedakan tekstur dan ukuran. h. Framing, sesuatu yang diletakkan fotografer antara atau sekitar objek foto. i. Setting, lingkungan fisik yang bisa merupakan rekayasa atau yang sebenanrnya. j. Vantage point, tempat dimana fotografer mengambil foto. 3. Mitos, merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Apabila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda.80 Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. 81 C. Pembahasan teoritik, dengan teori-teori dari berbagai kajian ilmu pengetahuan: jurnalisme lingkungan hidup, lingkungan hidup, ruang publik dalam bentuk ruang terbuka hijau. 80 81 Ibid., hal 121. Alex Sobur. Op.Cit., hal 128. D. Penarikan kesimpulan. 4. Metode Analisis Teks Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika yang didefinisikan sebagai studi tentang pertandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam "teks" media; studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan tanda.82 Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: pertama, tanda itu sendiri. Semiotika bergerak atas tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda dalam penyampaian makna, dan cara tanda dalam penggunaannya, dalam hal ini adalah konstruksi manusia. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Cakupan dalam hal ini adalah pengembangan kode dalam pemenuhan kebutuhan manusia atau budaya atau eksplorasi saluran komunikasi untuk transmisi. Ketiga, kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Merupakan eksistensialisme kode-kode dan tanda-tanda itu termasuk bentuknya sendiri. 83 Tanda dalam semiotika merupakan kajian yang tak terpisahkan. Ketiadaan tanda menyebabkan semiotika tidak bergerak dalam pemaknaan sesuatu tersebut. Adalah seorang pendiri tradisi semiotika Eropa yaitu Ferdinand de Saussure. Semiotika dalam Saussure yang seorang ahli linguistik, tertarik dengan bahasa. Perhatiannya dalam cara tanda-tanda (atau dalam hal ini, kata-kata) terkait dengan tanda-tanda lain. Cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna. Bagi Saussure, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna; atau, untuk menggunakan istilahnya sebuah tanda terdiri atas penanda dan petanda. 84 Ketika Saussure tidak memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembaca/penulis dan teks, Roland Barthes, salah seorang 82 John Fiske. Op.Cit., hal 282. Ibid., hal 60. 84 Ibid., hal 65. 83 pengikut Saussure, menyusun model sistematik untuk menganalisis negosiasi dan gagasan makna interaktif tadi. Inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of signification).85 Pada tatanan pertadaan pertama terdapat denotasi yang "membaca" foto dengan melihat apa yang ada di dalam foto tersebut. Fiske menjelaskan pada dua foto yang sama, akan didapat denotasi yang sama pula, namun konotasinya akan memiliki perbedaan. Pada tatanan pertandaan kedua terdapat konotasi yang merupakan pemaknaan dari penanda, dan mitos yang merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Dua tatanan pertandaan dari Barthes cukup jelas dalam membahas lingkup makna yang lebih besar, yaitu dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Spradley menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Dan makna konotatif meliputi semua signifikasi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Sementara Piliang mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Dan makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.86 Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip From Follows Function, dengan mengikuti model semiotik penanda atau fungsi. Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi. 87 Ada empat tipe dalam semiotika sebagai pendekatan kritis. Pertama, pendekatan yang berorientasi kepada addresser (pengirim pesan) yakni “pengarang” (author-oriented critism). Kedua, pendekatan yang berorientasi pada addresse (pihak penerima pesan), yakni "pembaca" 85 Ibid., hal 118. Sumbo Tinarbuko. Op.Cit., hal 20. 87 Ibid., hal 21. 86 (reader-oriented critism). Ketiga, pendekatan yang berorientasi pada kepada konteks (context-oriented critism). Keempat, pendekatan yang berorientasi pada pesan dan kode, atau pendekatan yang berorientasi pada teks (text-oriented critism).88 Pada penelitian ini digunakan pendekatan semiotik yang berorientasi kepada teks yang menekankan foto sebagai teks dan memiliki struktur yang otonom, tetap, tersendiri, dan bersinambung. Foto sebagai teks ini "dianggap" sebagai kemudahan dalam melakukan analisis semiotika berdasarkan makna denotasi dan konotasi, dalam arti lain mengubah foto menjadi tulisan agar mampu mengetahui maknamakna dibalik foto tersebut. Mengubah foto menjadi tulisan dibutuhkan pembacaan yang tepat dalam melihat realitas yang tertangkap dalam foto tersebut. Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto: perseptif, kognitif, etisideologis. Perseptif terjadi saat seseorang melakukan transformasi gambar ke kategori verbal, atau melakukan verbalisasi gambar. Kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur "historis" dari denotasi (perseptif). Etis-ideologis merupakan pengumpulan berbagai penanda yang siap "dikalimatkan". Barthes menyebut penanda pada tingkat konotatif sebagai mitos dan petanda dengan sebutan ideologis. 89 Proses pembacaan ini ternyata sangat sesuai dengan landasan pemikiran semiotika. 90 Pada akhirnya proses pembacaan foto yang melewati perubahan menjadi teks ini memerlukan sebuah pemikiran lainnya yang disebut sebagai intertekstualitas. Secara mudahnya intertekstualitas merupakan hubungan antara dua teks atau lebih, dimana 88 Kris Budiman. Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hal 6-7. Budiman memperoleh empat tipe pendekatan ini melalui "penyalahgunaan" skema model situasi tutur (speech situation) yang dikemukakan oleh Roman Jakobson. Model ini membedakan enam buah fungsi bahasa, yakni fungsi emotif, fungsi konatif, fungsi referensial, fungsi puitik, fungsi fatik, dan fungsi metalingual. Lihat lebih lanjut dalam John Fiske. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal 51-54. 89 Sunardi, ST. Op.Cit., hal 165. 90 John Fiske. Op.Cit., hal 61. Semiotika lebih suka memilih istilah "pembaca" (bahkan untuk foto sebuah lukisan) untuk "penerima" karena hal tersebut secara tak langsung menunjukan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. hubungan itu mempengaruhi cara-cara menikmati teks tertentu. Adapun teks disini tidak terbatas pada karya yang berwujud tulisan saja, tetapi juga merambah pada lakon, tari, lukisan, foto-foto, relief pada suatu dinding candi, bahkan peristiwa dalam hidup. 91 Adalah Julia Kristeva yang mempelopori pemikiran ini. Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Sementara Michael Bakhtin berpendapat bahwa semua ungkapan baik tertulis maupun lisan, dari semua jenis teks seperti laporan ilmiah, novel, dan berita dibedakan di antaranya oleh perubahan dari pembicara atau penulis dan ditunjukan dengan pembicara atau penulis sebelumnya.92 Kristeva menyatakan dalam prinsip sebuah intertekstualitas adalah konsep dialogisme sehingga karya seni dalam hal ini karya sastra tidak lain merupakan mosaik kutipan-kutipan karya sastra sebelumnya. Keristeva juga berpendapat bahwa teks sebenarnya adalah teks yang merupakan kumpulan berbagai unsur yang disusun menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dalam setiap teks ada unsur-unsur dari luar atau teks lain yang ikut terjalin, bahkan sangat mungkin tidak disadari oleh pencipta teks tersebut.93 Hubungan dari berbagai teks yang menjadi satu teks baru ini, menurut Kristeva seperti memiliki ruang 'pascasejarah' yang di dalamnya memiliki pelbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda melakukan dialog. Sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silangmenyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya. 94 91 Sri Djoharnurani. "Seni dan Intertekstualitas Sebuah Perspektif" (Pidato Ilmiah pada Dies Natalies XV Institus Seni Indonesia Yogyakarta, Jumat, 23 Juli 1999). hal 8. (bentuk pdf). 92 Eriyanto. Op.Cit., hal 305-306. 93 Sri Djoharnurani. Loc.Cit., hal 9. 94 Sumbo Tinarbuko. Op.Cit., hal 22. Seakan ikut andil dalam perkembangan pemikiran intertekstualitas, Barthes juga memiliki pendapatnya sendiri dalam hal ini. Menurutnya bahwa teks apapun adalah selembar tisyu baru dari kutipan-kutipan buku yang telah ada. Kedudukan intertekstualitas juga dapat dipersamakan sebagai realitas teks. Dengan kata lain intertekstualitas digunakan karena kenyataan teks adalah intertekstualitas itu sendiri. 95 95 Sri Djoharnurani. Loc.Cit., hal 10.