BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejumlah berita pada

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejumlah berita pada media massa yang memberitakan mengenai ruang
publik ini terus bergulir. Kepentingannya pun saling berbenturan sehingga antara
kemampuan pemenuhan ruang publik dan kemampuan penghilangannya terus
diwacanakan. Dalam media massa itupun tidak semua terangkat menjadi
informasi publik, mengingat begitu kompleksnya permasalahan dalam suatu
lembaga yang disebut negara ini.
Ruang publik merupakan ruang yang bisa digunakan untuk kepentingan
publik. Ia bisa terbentuk apa saja, seperti sekolah, terminal, bandara, kantor
pemerintahan, hingga seluas lapangan hingga taman dan hutan kota. Ruang publik
ini sudah menjadi kewajiban dalam kehidupan manusia sekarang untuk
diwujudkan dan digunakan untuk kepentingan publik.
Dewasa ini ruang publik biasanya identik dengan keadaan perkotaan atau
kota. Kota dianggap sebagai awal dari pengadaan ruang publik. Kota adalah suatu
pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam kota terdapat berbagai
ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Kota juga didirikan sebagai tempat
kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Kota merupakan tempat kegiatan
sosial dari banyak dimensi. 1
Kota pada umumnya mempunyai watak dan karakter sebagai refleksi dari
kondisi alam, manusia, dan budaya. Ada kota yang teratur rapi, bersih, serba
teratur, berkarakter. Ada pula kota yang semrawut, kotor, kacau, tanpa karakter.
Ada pula kota yang selalu dilanda malapetaka seperti banjir, erosi, longsor,
kekeringan, bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, hingga gelombang
pasang. Patut dipahami bahwa sumber alam merupakan nyawa sebuah kota yang
dapat menetukan vitalitas bangsa. Oleh karena itu, sumber alam perlu dikelola
1
Prof. Dr. Ir. Zoer'aini Djamal Irwan, M.Si. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota.
(Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2005), hal 31.
secara wajar, cermat, dan sepantasnya. Sumber alam yang dimaksud berupa
materi, energi, ruang, waktu, informasi, maupun keanekaragaman. 2
Pada umumnya, di setiap kota terutama di kota Jakarta (sebagai ibukota
negara Indonesia), untuk memenuhi kebutuhan penduduknya telah dilakukan
berbagai kegiatan yang meliputi berbagai sektor sebagai berikut: perumahan yang
berkaitan dengan masalah kebutuhan lahan dan perumahan bagi pertumbuhan
penduduk; perdagangan dan jasa; transportasi; fasilitas umum dengan berbagai
kebutuhan, dari kegiatan pendidikan, kesehatan, ibadah, olahraga dan rekreasi,
pemerintahan, bina sosial, pasar dan perbelanjaan; air minum dan sumber air;
sanitasi; drainase dan pengendalian banjir; utilitas umum; ruang terbuka hijau
(RTH).3
Aktivitas dan perkembangan kota hingga dewasa ini justru menunjukan
kemunduran kualitas hidup manusia. Berbagai masalah lingkungan perkotaan ini
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Dengan majunya semua aspek
pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi, khususnya di kota-kota
besar maka ekosistem udara dewasa ini juga berubah. Berbagai implikasi tersebut
pada garis besarnya menyangkut industrialisasi, mobilitas manusia yang terus
meningkat, diskonkurensi masalah kependudukan terhadap daya dukung yang
makin melebar.4
Perkembangan kota Jakarta dalam semua aspek kegiatan dengan diikuti
pertambahan jumlah penduduk kota yang cukup besar 5, pertambahan segala
bentuk dan jenis bangunan, semakin padatnya kendaraan bermotor di jalan kota,
semuanya sangat mempengaruhi tingkat klimatologi kota, seperti suhu udara,
radiasi matahari, kelembapan udara, serta aliran dan kecepatan angin lokal yang
semua ini mempengaruhi keseimbangan kota.6
2
Ibid., hal 44.
Ibid., hal 36.
4
Ibid., hal 45.
5
World Urbanization Prospects Reports (revisi 2005) dari Deddy Halim. Psikologi Lingkungan
Perkotaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal 298. Sejumlah 13.215.000 manusia di Jakarta
(Jabodetabek) yang memiliki total luas 1360 km persegi dirasakan mempunyai andil dalam
pertambahan dan kepadatan dalam wilayah tersebut.
6
Prof. Dr. Ir. Zoer'aini Djamal Irwan, M.Si. Op.Cit., hal 46. Terdapat hasil penelitian menunjukan
bahwa terdapat perbedaan suhu yang tajam, yaitu mencapai 10º Celcius antara lingkungan
3
Pembangunan yang terus meningkat di daerah perkotaan, sering tidak
menghiraukan kehadiran lahan hijau seperti lahan buah-buahan, lahan pertanian,
dan lahan hijau lainnya. Bukan saja yang ada di dalam kota, bahkan berkembang
ke daerah pinggir kota atau daerah perbatasan kota (suburban). Tumbuhan
pekarangan dan halaman bangunan kantor, sekolah, atau di halaman bangunan
lainnya serta tumbuhan yang ada di pinggir jalan, baik jumlah maupun
keanekaragamannya semakin menurun. 7
Permasalahan kota Jakarta justru muncul di tengah perkembangannya dari
masa ke masa. Masalah terutama disoroti isu lingkungan perkotaan yang semakin
dewasa ini kondisi lingkungan dan kehidupannya terus menurun. Tercatat
sembilan fakta mengenai kondisi lingkungan dan keseimbangan ekosistem yang
cenderung menurun: Jakarta adalah kota sebagai penghasil CO 2 terbanyak; suhu
udara kota yang semakin meningkat, bahkan sudah mempengaruhi kenyamanan
penduduk Jakarta; ruang terbuka hijau yang semakin terdesak, jumlah lahan hijau
dan vegetasi cenderung menurun dan semakin banyak spesies langka; kadar
kebisingan terus meningkat dan hampir di semua tempat di Jakarta yang
dimonitor sudah melewati ambang batas; limbah domestik atau limbah rumah
tangga terutama yang berbentuk sampah dan cair meningkat; kadar debu terus
meningkat bahkan di tempat-tempat tertentu sudah melewati ambang batas dan
Jakarta merupakan kota penghasil debu terbanyak di Indonesia; air tanah yang
semakin terkuras dan perembesan (intrusi) air laut yang terus meluas disebabkan
pengambilan air tanah dari tahun ke tahun; berkurangnya taman rekreasi di alam
terbuka; masalah persepsi atau etika lingkungan dari kalangan masyarakat yang
belum terbangun. 8
Pembangunan selain menimbulkan berbagai masalah dalam lingkungan
perkotaan, juga diperlukan untuk menanggulangi masalah lingkungan perkotaan
itu sendiri. Misalnya pencemaran air sungai harus ditanggulangi dengan
terbangun padat dengan yang belum terbangun. Dalam kondisi seperti ini pengelolaan ruang
publik dalam bentuk ruang terbuka hijau mendapat perhatian khusus dalam bentuk taman kota,
taman monumen, taman lingkungan, taman jalur hijau, taman rotonde, taman bermain, taman
kantor, taman tepi jalan/waduk, taman bantaran sungai dan taman pemakaman.
7
Ibid., hal 37-38.
8
Ibid., hal 46-47.
pembuatan kanal dan saluran air yang baik; banjir harus ditanggulangi dengan
pembuatan
tanggul
dan
pencegahan
membuang
sampah
sembarangan,
penghijauan bukit-bukit dan gunung. Kadang-kadang dalam situasi dan kondisi
tertentu proses pembangunan dilaksanakan tanpa melihat akibat yang mungkin
timbul terhadap lingkungan, dengan perhitungan bahwa keuntungan yang akan
diperoleh jauh lebih besar daripada kerugian yang diderita akibat kerusakan
lingkungan ini.
Banyaknya laporan yang ada di media massa mengenai kerusakan
lingkungan perkotaan tersebut hanyalah menjadi tanda bahwa manusia dalam
kehidupannya memang memiliki kemampuan untuk terus mempermudah
hidupnya dengan pembangunan dan teknologi. Namun apabila tidak direncakan
dengan baik, maka kerusakan lingkungan malah menjadi serangan balik bagi
manusia yang tidak mempedulikan alam.
Media massa dalam kaitannya terhadap kehidupan manusia menjadi
sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Ketika media massa yang berdiri sebagai
perusahaan yang komersil, ia menjual berbagai bentuk informasi dan dikemas
dalam bentuk persaingan -bersama media massa lainnya- di lapangan. Sedangkan
pada sisi manusia, proses pemanfaatan informasi yang beredar tersebut menjadi
kesempatan dalam tindakan, perasaan manusia dalam melanjutkan kehidupannya.
Media massa adalah peralatan dimana isi komunikasi disampaikan oleh
komunikator kepada komunikan. Secara sistematis media massa menempati posisi
saluran/channel yang memindahkan isi pesan dari komunikator kepada
komunikasi. Dewasa ini disebut media massa karena adanya mass character yang
melekat atau dimiliki media itu. Jenis-jenis media massa itu sendiri bisa berupa
pers, radio, film, dan televisi.
Pertama kalinya kegiatan jurnalistik berkisar pada hal-hal yang sifatnya
informati saja atau disebut juga journal d'information seperti pada Acta Diurna. 9
Dalam perkembangan masyarakat, surat kabar sebagai sarana jurnalistik yang
9
Marfuah Sri Sanityastuti. Pengantar Ilmu Komunikasi (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1997),
hal 53. Sejak zaman Romawi Kuno, ketka Kaisar Yulius Caesar berkuasa, telah dikenal Acta
Diurna yang berarti catatan sehari-hari yaitu berupa papan pengumuman kegiatan pemerintah
kepada rakyatnya.
dapat mencapai khalayak secara masal oleh kaum idealis dipergunakan untuk
melakukan kontrol sosial yaitu menyebarkan pesan-pesan untuk mempengaruhi
masyarakat sehingga berkembang menjadi journal d’opinion.10
Kepentingan akan informasi publik bagi masyarakat merupakan satusatunya syarat untuk menyesuaikan diri dalam strategi dan taktik guna
memperoleh kekuatan politik. Perkembangan selanjutnya jurnalistik menjadi alat
dunia perdagangan yaitu untuk mengetahui perkembangan harga-harga di pasar
internasional. Setelah sebagai alat dagang, jurnalistik digunakan masyarakat
karena melekatnya sense of news dan sense of human interest. Dengan demikian
sejak lahirnya jurnalistik sangat lekat dengan masyarakat, karena pada hakekatnya
jurnalistik sebagai alat komunikasi yang adanya turut menentukan ada tidaknya
dan berkembang tidaknya masyarakat.11
Jurnalistik mengaitkan foto dengan peristiwa, memberikan padanan, dan
intinya merangkum apa yang seharusnya bisa terungkap melalui foto. Rekaman
peristiwa yang melibatkan emosi, dokumentasi, perilaku, dan bahkan diributkan
dalam sidang keredaksian mengenai sudut pandang fotografi yang layak dimuat,
telah mengangkat foto dari hanya pengalaman responsi alat yang bernama kamera.
Lebih dari itu, pada foto jurnalistik, venue -atau keadaan citra gambar- yang
walaupun tidak terabadikan jelas secara kualitas, tidak artistik, bluring, cacat, atau
dimetral (terpotong), jika berkaitan dengan peristiwa penting, akan segera
diperlakukan dengan sungguh-sungguh.12
Unsur foto dalam media massa merupakan bagian untuk memperkuat
bahwa apa yang diberitakan adalah peristiwa yang benar adanya sehingga foto
ditempatkan sebagai alat pembuktian. Aspek being there merupakan bagian yang
ingin dicapai untuk memperkuat bahwa berita/peristiwa yang disampaikan benarbenar terjadi. Sejak ditemukannya teknologi fotografi, ada anggapan bahwa foto
merupakan bentuk rekaman realitas. Proses munculnya citra gambar/visual dalam
foto merupakan proses alami sehingga merekam seperti apa adanya. Hingga saat
10
Ibid., hal 54.
Ibid., hal 55.
12
Rangga Aditiawan, Ferren Bianca. Belajar Fotografi untuk Hobi dan Bisnis (Jakarta: Dunia
Komputer, 2011), hal 22.
11
ini, foto dianggap mampu menghadirkan fakta seperti kenyataannya, sehingga
foto dianggap tidak berbohong karena mampu merekam realitas secara persis
dengan aslinya.
Foto jurnalistik merupakan salah satu produk jurnalistik yang dihasilkan
oleh wartawan selain tulisan yang berbau berita (straight news/ hard news, berita
bertafsir, berita berkedalaman/indepth reports) maupun non berita (artikel,
feature, tajuk rencana, pojok, karikatur dan surat pembaca). Dan sebagai produk
dalam pemberitaan, tentunya foto jurnalistik memiliki peran penting dalam media
cetak maupun cyber media (internet). Jadi karya foto jurnalistik sudah mendapat
pengakuan sebagai karya jurnalistik dalam bentuk visual untuk menyampaikan
informasi kepada masyarakat.
Foto jurnalistik merupakan kombinasi dari kata dan gambar yang
menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Jurnal adalah laporan dan jurnalistik
adalah “sesuatu yang bersifat laporan”. Foto jurnalistik adalah foto yang
“melaporkan” sesuatu. Foto jurnalistik adalah suatu media sajian informasi berupa
bukti visual (gambar) atas berbagai peristiwa yang disampaikan kepada
masyarakat seluas-luasnya dengan tempo dan waktu yang cepat. Ciri-ciri foto
jurnalistik antara lain: memiliki nilai berita atau berita itu sendiri, melengkapi
suatu berita/artikel, dan dimuat dalam suatu media.
Ada banyak segi penting dalam foto jurnalistik, yaitu obyektivitas,
kejujuran, dan keaslian foto. Dalam dunia foto jurnalistik, di mana, bagaimana,
dan kapan kita memotret adalah inti terciptanya sebuah foto. Seorang jurnalis foto
harus sudah mempunyai gambaran seperti apa foto yang dibuat sebelum dia
berangkat memotret untuk adegan-adegan yang bisa dibayangkan, seperti acaraacara resmi kepresidenan. Sang fotografer harus sudah punya gambaran kira-kira
dia akan memotret di posisi mana, pada keadaan apa. 13
Sementara untuk kejadian tak terduga, seperti kecelakaan lalu lintas atau
pohon tumbang, seorang fotografer harus punya imajinasi agar fotonya bisa
menggambarkan realitas dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Dengan
demikian, dia harus mengambil foto dari beberapa sudut untuk mencari berbagai
13
Arbain Rambey. "Subyektivitas dalam Foto Jurnalistik". Kompas, 11 Oktober 2011.
kemungkinan terbaik. Di lapangan, dengan waktu singkat, pemikiran mungkin tak
bisa terlalu dalam. Sesampai di kantor, dia bisa lebih leluasa memilih dari
sejumlah foto yang sudah diambilnya. Dalam foto jurnalistik, sudut dan cara
memotret akan membedakan foto satu dengan yang lainnya. Kebohongan dan
kejujuran hanyalah masalah persepsi. 14
Kehidupan manusia secara khusus mereka yang hidup di Indonesia sudah
terlalu banyak melihat, menyaksikan banyaknya kerusakan lingkungan perkotaan,
hilangnya ruang terbuka hijau, bahkan hingga pada titik terparah yaitu hilangnya
ruang publik bagi mereka yang membutuhkan. Jurnalistik banyak melaporkan
kejadian semacam ini sebagai kontrol sosial mereka kepada seluruh strata
masyarakat. Pada akhirnya dibutuhkan sistem sosial terpadu yang bisa
menyelesaikan permasalahan lingkungan perkotaan yang kompleks ini.
Foto jurnalistik dewasa ini sudah sangat memiliki perkembangan yang luar
biasa baik itu dari segi praktik, teknologi, maupun kajian ilmu. Bagi mereka yang
berprofesi sebagai wartawan khususnya wartawan foto tidak asing dengan
organisasi nir-laba bernama World Press Photo15. Didirikan tahun 1955 di
Amsterdam, Belanda, sebagai usaha meningkatkan standar dunia jurnalistik
khususnya dunia foto jurnalistik. World Press Photo menyelenggarakan kontes
foto jurnalistik tingkat dunia tiap tahun.
Sebagai penyelenggara dan pemberi penghargaan terbesar dalam kontes
foto jurnalistik -dalam dunia jurnalistik umumnya senilai dengan pulitzer-, hasil
foto-foto yang ditampilkan dan memenangkan kontes ini merupakan hasil yang
dianggap mewakili semangat jurnalistik dan kepentingan umat manusia dan dunia
sebagaimana landasan jurnalistik itu sendiri. Sebagai sebuah objek penelitian, foto
jurnalistik pilihan World Press Photo memiliki jaminan yaitu berdirinya sebuah
karya manusia yang memiliki nilai dan semangat jurnalisme skala dunia. Tidak
hanya berkepentingan dalam segelintir manusia saja, namun manusia di dunia
memiliki kepentingan yang diwujudkan oleh foto-foto tersebut.
14
15
Ibid.
www.worldpressphoto.org (akses 31 Oktober 2012)
Foto jurnalistik sangat berperan dalam berbagai laporan kerusakan
lingkungan perkotaan yang terjadi. Masyarakat dengan jelas melihat bahwa
adanya kerusakan ini disebabkan oleh rencana pembangunan yang tak berstruktur,
lebih-lebih tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. Usaha
jurnalistik dalam bertanggung jawab terhadap publik termasuk dalam menjaga
kelestarian lingkungan tempat manusia hidup. Penelitian ini merupakan bagian
yang sangat kecil dari usaha perlindungan lingkungan dengan informasi-informasi
di dalamnya.
B. Perumusan Masalah
Penelitian berawal dari masalah yang diteliti. Namun dalam penelitian,
fokus dalam masalah merupakan keutamaan dalam penelitian, tidak bersifat
umum atau general, karena jawaban atas masalah tidak maksimal. Masalah dalam
penelitian ini adalah representasi ruang publik dalam foto jurnalistik karya Peter
Bialobrzeski.
Berangkat dari permasalahan tersebut, batasan-batasan penelitian dapat
dirangkum sebagai berikut: foto jurnalistik yang diteliti adalah foto yang dimuat
dalam situs www.worldpressphoto.org yang memenangkan juara kedua dalam
ajang kompetisi World Press Photo tahun 2009 kategori Nature Stories, foto
jurnalistik tersebut memiliki sembilan seri foto, dalam penelitian ini, peneliti
mengambil enam seri diantaranya dikarenakan lokasi enam foto tersebut berada di
wilayah negara peneliti yaitu Jakarta, Indonesia. Foto-foto tersebut dianggap
mewakili masalah yang diteliti dalam penelitian ini yaitu ruang publik. 16
Kesimpulan dari batasan-batasan penelitian ini menghasilkan sebuah
rumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu "Bagaimana
Representasi Ruang Publik dalam Foto karya Peter Bialobrzeski?"
16
Foto karya Peter Bialobrzeski ini merupakan foto jurnalistik yang mengangkat masalah ruang
publik dalam bentuk ruang terbuka hijau di tengah kota yang terang benderang oleh cahaya buatan
manusia. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu dari banyaknya jenis ruang publik
yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebelumnya, maka
tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui representasi ruang publik dalam foto jurnalistik karya Peter
Bialobrzeski.
2. Mengetahui bagaimana relasi manusia terhadap alam yang terefleksikan
melalui foto jurnalistik karya Peter Bialobrzeski.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
a. Sebagai bagian pengayaan kajian teoritis semiotika tentang
representasi ruang publik dalam foto karya Peter Bialobrzeski.
b. Sebagai pembelajaran yang cerdas bagi para akademika terutama
dalam kajian ilmu komunikasi sebagai pengetahuan mendalam
mengenai pembelajaran representasi dalam karya foto jurnalistik.
c. Sebagai referensi bagi riset yang lebih lanjut yang bisa digunakan
oleh bagi mereka yang tertarik pada studi semiotika dalam foto
jurnalistik.
2. Manfaat Sosial
a. Menjadi pengetahuan dan wacana dari sebuah konstruksi realitas
dalam bingkai foto.
b. Menjadi sebuah referensi bagi para aktivis dalam masyarakat yang
bergerak dalam dunia jurnalistik dan dunia lingkungan hidup.
c. Menjadi sumbangan dalam seni foto terutama dalam foto jurnalistik
itu sendiri, bahwa penelitian ini merupakan satu dari sekian
banyaknya representasi dalam realitas yang dibangun dalam
bingkai foto tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pertama tentang analisis semiotika
visual berjudul "Kaos dan Resistensi Analisis Semiotik Representasi
Resistensi atas Neoliberalisme dalam Kaos Insist Pers". 17 Penelitian
ini
meneliti
bagaimana
representasi
resistensi
mengenai
neoliberalisme yang ditunjukan oleh kaos produksi Insist Press.
Penelitian ini menyimpulkan kaos merupakan satu jenis
pakaian yang digemari banyak orang. Kenyamanan yang dibawanya,
membuat kaos sering dikenakan untuk berbagai aktivitas dalam
kehidupan sehari-hari. Kaos yang semula hanya berfungsi sebagai
pakaian dalam, kini telah mengalami banyak perkembangan. Kaos
mengalami perkembangan dalam hal bentuk, bahan, dan desain yang
ditampilkan.
Kaos dapat menjadi media penyampai pesan, dengan pembuat
desain/produsen/pemakai
kaos
sebagai
komunikator
dan
pembaca/pengamat desain kaos sebagai audience. Berbagai bentuk,
gambar, dan kata-kata dalam kaos merupakan pesan akan pengalaman,
perilaku, status sosial, ataupun penyikapan. Salah satu sikap yang
dapat disampaikan melalui kaos adalah sikap resistensi, dalam arti
menolak tunduk. Dengan kaos, resistensi dapat digaungkan oleh si
pemakai
(salah
satu
komunikator)
kapan
saja
ketika
kaos
dikenakannya. Kaos telah menjadi bagian dari keseharian sebagian
besar orang, sehingga ia menjadi benda yang familiar untuk
diperbincangkan. Oleh karenanya, kaos yang mengusungpesan
resistensi –apalagi didukung dengan desain yang menarik- dapat
menjadi “pemancing” obrolan di antara pemakai kaos dan orang yang
membaca desain kaosnya. Dengan adanya komunikasi yang terjalin,
17
Fitria Agustina. "Kaos dan Resistensi Analisis Semiotik Representasi Resistensi atas
Neoliberalisme dalam Kaos Insist Pers". (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2005).
kesempatan bahwa pesan dipahami lebih mendalam oleh pembaca
akan lebih terbuka.
Dari analisis semiotik yang dilakukan dengan mencermati
elemen-elemen desainnya [obyek tema (gambar dan teks), komposisi
(penempatan dan ukuran), modality (warna dan suasana)], kaos-kaos
Insist Press merepresentasikan resistensi atas neoliberalisme dengan
menggugah kesadaran kritis pembaca –mereka yang melihat,
mencermati desain kaosnya-. Resistensi atas neoliberalisme ini
diwujudkan dengan desain-desain yang mengangkat tiga hal: proyek
dan dampak neoliberalisme (termasuk dalam hal ini hutang luar
negeri, privatisasi, pemotongan subsisdi, dan intellectual property
rights/Hak Atas Kekayaan Intelektual/HAKI), gerakan melawan
neoliberalisme, dan agen neoliberalisme.
Penelitian ini menggunakan analisis semiotik Roland Barthes
dengan melakukan analisis terhadap desain kaos tersebut. Analisis
yang dilakukan mengenai elemen desain yaitu, obyek tema,
komposisi,
dan
modality.
Analisis
semiotik
pada
kaos
ini
menghasilkan representasi unik yaitu dari peneliti sendiri berupa
penolakan terhadap neoliberalisme yang dianggapnya sebagai bentuk
penjajahan baru dari dunia barat.
Penelitian terdahulu yang kedua mengenai analisis semiotika
visual berjudul "Mural dan Realitas Sosial Studi Semiotik tentang
Mural dalam Merepresentasikan Realitas Sosial Masyarakat Jogja". 18
Penelitian ini meneliti tentang bagaimana mural-mural yang ada di
daerah Yogyakarta merepresentasikan realitas sosial di daerah
tersebut.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa mural adalah salah satu
bentuk dari seni rupa modern, yang sekarang ini semakin dikenal
18
Rini Larasati. "Mural dan Realitas Sosial (Studi Semiotik tentang Mural dalam
Merepresentasikan Realitas Sosial Masyarakat Jogja)". (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2004).
keberadaannya oleh publik. Sebagai sebuah seni publik, maka
keberadaannya akan langsung bersentuhan dengan beragam fenomena
yang terjadi dan juga dengan publik di sekelilingnya.
Terciptanya sebuah mural merupakan hasil interaksi antara
seniman dengan publik yang ada di sekitar lokasi. Disana terjadi
pertukaran cerita, pengalaman, inspirasi, gagasan, serta ide diantara
mereka. Publik yang berasal dari latar belakang yang beragam
berkolaborasi dengan seniman, menciptakan sebuah karya seni visual,
tanpa melupakan lingkungan di sekitar mereka. Munculnya muralmural yang menghiasi kota jogja, membawa spirit untuk memberi
penyadaran kepada publik, akan keberadaan sebuah ruang publik
sebagai milik publik. Ruang publik bukan hanya pemerintah atau
pihak-pihak untuk bermodal besar saja. Selama ini ruang publik selalu
didominasi oleh pihak-pihak untuk berkepentingan politis atau
komersial. Publik hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk
berkreasi dan berekspresi di ruang publik.
Dari analisis yang telah dilakukan terhadap mural-mural yang
menadi objek penelitian, bisa diketahui realitas sosial apa saja yang
ingin disampaikan oleh seniman kepada publik. Melalui elemenelemen yang membentuk mural ini, yaitu lewat tampilan-tampilan
visual yang terlihat, seperti figur-figur utama, warna-warna yang
dipilih, dan elemen-elemen gambar pendukung serta lewat teks-teks
verbal yang terbaca, mural-mural ini bisa dikategorikan memuat tiga
realitas sosial dalam kehidupan masyarakat Jogja, yaitu realitas
seksual, ekonomi, dan kebudayaan.
Penelitian terdahulu ini memiliki kesamaan dengan penelitian
sebelumnya yaitu menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
dengan cara melakukan analisis terhadap mural-mural tersebut.
Analsis yang dilakukan terhadap mural tersebut meliputi tampilan
visual; gambar, teks, warna. Peneliti menyimpulkan bahwa adanya
realitas kemanusiaan; seksual, ekonomi dan kebudayaan, yang
ditemukan dalam mural-mural tersebut.
Persamaan kedua penelitian terdahulu ini dengan penelitian
sekarang ini adalah sama-sama menggunakan analisis semiotik milik
Roland Barthes, yang melakukan analisis dengan menentukan
denotasi, konotasi dan mitos di balik karya-karya visual tersebut.
Namun memiliki perbedaan yang jelas mengenai objek penelitian,
dimana penelitian terdahulu ini merupakan karya visual gambar,
sedangkan penelitian ini merupakan hasil foto jurnalistik Peter
Bialobrzeski.
Penelitian terdahulu yang ketiga mengenai analisis semiotika
dalam foto jurnalistik berjudul "Representasi Pemberitaan Hutan
Kalimantan pada Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik pada Foto dalam
Artikel "Hutan Yang Coba Bertahan di Majalah National Geographic
Indonesia)". 19 Penelitian ini meneliti tentang bagaimana National
Geographic Indonesia merepresentasikan hutan Kalimantan dalam
beberapa bingkai foto yang dimuat dalam majalah National
Geographic Indonesia edisi November 2008.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa fotografi sebagai media
komunikasi visual memiliki kemampuan untuk menghadirkan kembali
suatu peristiwa. Dalam menghadirkan kembali suatu peristiwa, terjadi
stereotyping terhadap masyarakat. Hutan Kalimantan di artikel “Hutan
Yang Coba Bertahan” direpresentasikan sebagai korban (benda atau
objek mati) yang tidak berdaya atas sikap dan perilaku manusia.
Perilaku manusia yang bersikap antroposentris dianggap sebagai
penyebab kerusakan hutan Kalimantan. Inilah stereotyping yang
dilakukan
National
Geographic
Indonesia
melalui
foto-foto
jurnalistik.
19
Wicak Baskoro. "Representasi Pemberitaan Hutan Kalimantan pada Foto Jurnalistik (Analisis
Semiotik pada Foto dalam Artikel "Hutan Yang Coba Bertahan di Majalah National Geographic
Indonesia)". (Tesis Magister, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 2011).
Sikap
National
antroposentris20
Geographic
merupakan
Indonesia
terhadap
proses
stereotyping
masyarakat
negara
berkembang. Proses stereotyping itu pada dasarnya dikonstruksi oleh
National Geographic Indonesia melalui mitos yang dibangun National
Geographic Indonesia sendiri untuk mengirim audience suatu
pemahaman yang diinginkan. Mitos ini memberikan gambaran bahwa
budaya masyarakat negara berkembang tidak mampu melakukan
konservasi hutan karena persoalan ekonomi.
Pada penelitian ini, representasi hutan Kalimantan yang
digambarkan tentunya tidak terlepas dari subyektivitas National
Geographic Indonesia. Subyektivitas ini tampak pada kedua wacana
(ekonomi dan ekologi) yang ditampilkan. Meskipun secara langsung
adanya keseimbangan dalam mewacanakan dua kepentingan tersebut,
tetapi berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa keberpihakan
terletak pada wacana ekologi. Keberpihakan tersebut tampak pada
cara yang terlihat tidak membela kepentingan ekonomi di balik hutan
Kalimantan. Foto-foto yang lebih banyak menampilkan sikap-sikap
antroposentris disertai caption.
Isi pemberitaan dalam National Geographic Indonesia ini tidak
lepas dari campur tangan National Geographic Society yang berada di
Washington D.C, Amerika Serikat. Artinya terdapat relasi kuasa yang
digunakan dalam konteks pemberitaan. Mitos yang menyatakan
bahwa sikap antroposentris identik dengan negara berkembang
disebabkan karena adanya ideologi Amerika yang "menguasai"
informasi. Tiap edisi National Geographic Indonesia harus mendapat
pengesahan dari National Geographic Society. Tentunya hal ini pun
20
A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal 33. Teori etika
lingkungan yang memandanng manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan
yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai
tertinggi adalah manusia dan kepentingannya.
juga berpengaruh dalam merepresentasikan hutan Kalimantan dalam
artikel “Hutan Yang Coba Bertahan”.
Persamaan penelitian terdahulu ini adalah kesamaan pada
analisis semiotika Roland Barthes dan kesamaan objek penelitian
yaitu sama-sama melakukan analisis pada foto jurnalistik. Namun
kepemilikan dan foto yang dihasilkan berbeda, ini dikarenakan foto
dalam penelitian terdahulu merupakan foto jurnalistik yang termuat
dalam majalah National Geographic Indonesia edisi November 2008.
Sedangkan penelitian sekarang ini menganalisis foto jurnalistik milik
Peter Bialobrzeski yang termuat dalam karyanya Paradise Now.
2. Media dan Fotografi
Media ini merupakan bentuk dewasa dari adanya kemajuan
teknologi dan informasi. Media massa, demikian disebutnya,
merupakan sumber informasi, laporan yang digunakan secara massal,
banyak dan serentak. Media merupakan contoh dari adanya konsep
komunikasi massa.
Media itu memediasi. 21 Bahwa terdapat dugaan yang
menyatakan bahwa laporan dalam media itu bersifat langsung namun
nyatanya tidak, setidaknya demikian bila melihat bagaimana media
melaporkan pemberitaannya dewasa ini.
Seperti semua komunikasi manusia, laporan berita harus
dituangkan dalam bentuk material -kata-kata, bahasa tubuh, lagu,
gambar,
tulisan-.
Tujuan
dari
mediasi
itu
adalah
untuk
mengkomunikasikan sesuatu melalui ruang dan waktu yang
menjangkau sebanyak mungkin orang. Jadi hal pertama yang harus
diperhatikan adalah bahwa media dapat menjangkau sejumlah besar
orang (massa). Kedua, pesan-pesan yang dimediasikan pada saat ini
21
Ziauddin Sardar, Boris Van Loon. Membongkar Kuasa Media (Yogyakarta: Resist Book, 2008),
hal 50. Tindakan menyalurkan pengetahuan sosial dan nilai-nilai kultural melalui institusi kepada
audiens; proses pemilihan dan pembentukan untuk menciptakan sejumlah makna dari suatu
peristiwa publik. Melalui mediasi, media membawa perspektif tertentu dalam menyampaikan isu
publik dengan mengorbankan yang lain. Mediasi adalah masalah pertukaran simbolik -pertukaran
yang kebanyakan hanya dari satu sisi-.
menggunakan teknologi yang sangat canggih. Ketiga, sementara kita
mempunyai pilihan untuk membuat musik kita sendiri atau
menggambar kartun kita sendiri, kebanyakan dari kita memilih
menjadi konsumen dari produksi korporasi profesional yang
jumlahnya relatif sedikit. Perusahaan-perusahaan besar ini cukup
tertutup dan terpusat, tetapi penerimaan produknya bersifat publik dan
tersebar. Keempat, secara virtual tidak ada komunikasi antara sumber
dengan penerima.22
Membicarakan
media
secara
langsung
membicarakan
mengenai komunikasi massa. Media dalam sasarannya adalah
sejumlah orang banyak atau yang disebut dengan massa. Dennis
McQuaill mengatakan bahwa media memenuhi empat tipe utama
kebutuhan yaitu: diversi/pengalihan, pelepasan emosional untuk
menghindari permasalahan atau pekerjaan. Hubungan personal,
menyediakan teman ketika sendiri dan menjadi subyek diskusi dengan
orang lain. Identitas personal, mengkaji dan menempatkan diri kita
sendiri di seberang dunia sosial. Pengawasan, menyediakan informasi
tentang isu-isu dan peristiwa. 23
Media massa yang dikenal oleh masyarakat banyak jenisnya.
Mulai dari media cetak seperti koran, majalah, buletin dan sebagainya.
Media penyiaran seperti televisi dan radio. Media online yaitu media
informasi dari internet. Semua ini berjalan berurutan sesuai dengan
perkembangan zaman teknologi dan informasi.
Ketika Elegi Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun
1450 barulah muncul sejumlah surat kabar. Teknologi mesin cetak dan
era media cetak bertahan cukup lama yaitu sekitar empat abad, baru
kemudian radio telegraf tanpa kawat pada tahun 1897. Masyarakat
secara terbatas mulai mengenal teknologi informasi jarak jauh. Pada
saat itu ketika masyarakat diperkenalkan dengan dunia pencitraan
22
23
Ibid., hal 8.
Ibid., hal 33.
yang mulai sempurna, kemudian telegraf dikembangkan oleh
Alexander Graham Bell menjadi telepon. Sebenarnya temuan tersebut
adalah sebuah petanda pertama akan lahirnya era telekomunikasi
dengan kemampuan melahirkan teknologi informasi super cepat di
mana Alexanderson menamainya dengan radio. 24
Teknologi
radio
ternyata
tak
mampu
bertahan
lama
sebagaimana teknologi cetak karena Farnsworth kemudian pada tahun
1927 menemukan televisi, maka dunia pencitraan materi mulai
disempurnakan menjadi benar-benar sempurna. Namun penemuan itu
tidak bertahan lama, karena akhirnya teknologi digital telepon dapat
digabung dengan televisi sehingga lahir komputer yang kemudian
berkembang dengan amat sangat cepat.25
Terakhir adalah kelahiran media online, media informasi yang
menggunakan kemampuan internet dalam mengaksesnya, media ini
membutuhkan
teknologi
komputer
pada
awalnya
dan
terus
berkembang hingga bisa diakses dari komputer tablet hingga
handphone. Media online sering disebut dengan awal mulanya
konvergensi media, yaitu penyatuan dan penyederhanaan media
sebelumnya. Kekuatan media online merupakan gabungan dari semua
media sebelumnya, ia mampu menghadirkan tulisan, gambar, hingga
suara.
Dari semua kemampuan media yang disebutkan, ada sebuah
persamaan yang dimiliki oleh media-media tersebut, yaitu adalah
gambar. Media cetak, televisi, dan online memang memiliki gambar
secara nyata dan dapat dilihat oleh indera manusia. Namun radio yang
tidak memiliki gambar secara nyata memiliki theatre of image yang
dimunculkan oleh pendengarnya.
Gambar pada media massa tidak dimunculkan begitu saja,
terutama pada media cetak, dan online. Dibutuhkan teknologi
24
Prof. Dr. H.M Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2006), hal 113.
25
Ibid
penangkap gambar yang disebut kamera. Pada media massa televisi,
penangkap gambar ini disebut juga dengan kamera video, yang juga
tidak hanya menangkap gambar melainkan juga merekam sehingga
bisa diputar ulang dan ditunjukan kepada masyarakat sebagai
informasi.
Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual
yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, bentuk,
warna dan komposisi. Ia dikelompokkan dalam kategori bahasa
komunikasi nonverbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang
berwujud tulisan atau pun ucapan.26
Gambar atau disebut juga foto pada media cetak ini memiliki
dunia tersendiri yang tak terpisah dari dunia jurnalistik yaitu fotografi
jurnalistik atau biasa disebut juga foto jurnalistik (photojournalism).
Foto jurnalistik sebagai salah satu domain seni visual tidak terlepas
dari nilai-nilai dan kaidah estetika yang berlaku. Setiap bentuk karya
yang dihasilkan dari foto jurnalistik tidak lain mempunyai tujuan serta
konsep penciptaan yang bermula dari ide dasar yang berkembang
menjadi implementasi praksis dengan dukungan peralatan dan teknik
ungkap melalui bahasa visual.
Foto jurnalistik sebagai bagian dari perkembangan seni visual
fotografi dipandang berbeda dari kesenian visual. Foto jurnalistik
dibuat untuk kepentingan informasi untuk mempresentasikan isi berita
sedekat mungkin. 27 Foto berita berlaku sebagai foto dokumentasi yang
menyertai sebuah berita. Konvensi ini menjadi bagian penting dalam
menangkap pesan suatu foto berita.Mengingat kedudukan foto yang
tidak dapat diganggu gugat (analog, analog penuh), foto mempunyai
kekuatan menaturalisasikan apa yang dikatakan lewat teks.28 Teks
dalam berita tidak mempunyai kekuatan apa-apa di hadapan foto. Teks
26
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hal 7.
Sunardi, ST. Semiotika Negativa (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), 146.
28
Ibid., hal 161.
27
tidak pernah menggandakan referen dari foto yang bersangkutan. Teks
(thesis) dinaturalisasikan oleh foto (physis), teks menjadi parasit
foto.29
Fotografi juga ditempatkan sebagai contoh perkembangan
dunia teknologi pencitraan yang maju. Fotografi mengalami
perjalanan dua dunia hingga kini, ditandai dengan evolusi perubahan
teknologi dari media analog ke media digital.
Fotografi memiliki sifat objektif, menjadikan citraan fotografi
sebagai pilar untuk menguak kebenaran pada berbagai disiplin ilmu
misalnya sosial, politik, seni, sains dan teknologi. Ranah dunia
fotografi termasuk juga dalam pengembangan film, video, dan televisi
(cinematography), yang merupakan sistem informasi bagi segala
misteri manusia, sampai hal yang paling tersembunyi tidak kasat oleh
mata.30
Fotografi menghasilkan tata bahasa baru berupa visual
language, dan yang paling penting adalah kemampuan membentuk
etika cara pandang baru terhadap suatu kenyataan. Kehadirannya ada
di mana-mana (omnipresence) telah diserap dan mengendap di dalam
benak tiap manusia modern sebagai sebuah antologi citra-citraan.31
Pada dasarnya karya fotografi merupakan gabungan dari dua
hal penting yaitu bingkai dan objek. Bingkai adalah sebuah sudut
pandang atau cara melihat sebuah realitas (objek) dengan maksud
mengajak khalayak untuk melihat dengan cara seperti fotografer
melihat realitas tersebut. Objek adalah sebuah realitas pertama dan
dengan menempatkannya pada sebuah bingkai akan menjadi realitas
kedua. Hal yang paling dasar dari fotografi, yang membedakannya
dengan karya lain seperti lukis atau grafis, adalah bahwa fotografi
hanyalah menjiplak realitas.
29
Ibid., hal 186.
Moch. Abdul Rahman. "Estetika dalam Fotografi Estetik". Bahasa dan Seni. Nomor 2 (Agustus
2008), hal 179 (bentuk pdf).
31
Ibid., hal 180.
30
Proses penjiplakan ini terjadi melalui proses interpretasi dan
seleksi. Interpretasi adalah memahami realitas dengan perangkat
pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki. Sedangkan proses
seleksi merupakan sebuah pilihan apa yang akan kita tampilkan dan
tidak ditampilkan serta bagaimana kita menampilkannya. Pada tahap
inilah pengetahuan dan penguasaan kita akan teknik fotografi dan
konvensi-konvensi artistik akan sangat berpengaruh. Pengetahuan
tentang konvensi artistik paling penting dalam fotografi adalah
komposisi.
Saat ini, media foto sudah menjadi bagian dari budaya visual
yang mengandung banyak makna sekaligus mempunyai dasar dan
sistem yang mampu menjangkau dan mengangkat suatu lapisan sosial
budaya melalui cara ungkap dan cara pemaknaannya yang spesifik
dan mandiri.
3. Representasi
John
Fiske
awalnya
mendefinisikan
komunikasi
menggunakan referensi model komunikasi Shannon dan Weaver yang
menjelaskan bahwa komunikasi sebagai proses linear yang sederhana.
Melalui kesederhanaan tersebut telah menarik banyak turunannya,
sifat linearnya, yang berpusat pada proses, telah memancing banyak
kritik. 32
Pada lanjutannya Fiske menyebutkan istilah "medium" dalam
model Shannon dan Weaver ini. Medium ini pada dasarnya adalah
sarana teknis atau fisik untuk merubah pesan menjadi sinyal yang
dapat ditransmisikan melalui saluran tersebut. Sifat dari medium ini
kemudian menentukan tingkatan kode yang dapat ia transmisikan. 33
Merujuk pada jenis dan contoh hasil media seperti gambar
dan foto pada subbab sebelumnya, Fiske kemudian meletakkan jenis
32
John Fiske. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal 14.
33
Ibid., hal 29.
dan contoh itu ke dalam klasifikasi media representasional. Media
representasional ini terdiri dari: buku, lukisan, foto, tulisan, arsitektur,
dekorasi interior, berkebun, dan lain-lain. Terdapat sejumlah media
yang menggunakan konvensi-konvensi estetik dan kultural untuk
menciptakan suatu "teks" dari beberapa jenis. Media ini bersifat
representasional dan kreatif. 34 Representasi sendiri oleh Fiske
didefinisikan sebagai proses yang dengannnya realitas disampaikan
dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. 35
Manusia yang dalam kehidupannya terbiasa dengan informasi
dari media massa juga dipenuhi dengan berbagai macam representasi
atas peristiwa yang terdapat pada media tersebut. Media massa bekerja
di dunia yang menjadikan bahasa, ekspresi nonverbal, ilustrasi,
gambar gerak, foto, ikon grafis, audio sebagai materi utama untuk
menghasilkan produk-produknya. Media massa merupakan agen
konstruksi realitas melalui ekspresi bahasa verbal maupun nonverbal
yang digambarkan tersebut. Oleh sebab itu bahasa merupakan nyawa
kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para pekerja media
bisa menghasilkan produknya kepada masyarakat. Dengan bahasa
secara masif mereka menentukan gambaran berbagai realitas ke dalam
benak masyarakat.
Di sisi lain, isi berita (bahasa media) yang disampaikan
media merupakan representasi dari sebuah realitas. Isi berita yang
tampil di media merupakan hasil konstruksi yang telah mengalami
proses penambahan atau pengurangan dari pelaku (orang-orang)
media karena adanya faktor subjektivitas. Representasi berangkat dari
34
Ibid., hal 30. Dalam pembagiannya, selain media representasional, ada juga media
presentasional dan media mekanis. Media presentasional merupakan suara, wajah, tubuh. Media
ini menggunakan bahasa "alami" dalam kata-kata yang diucapkan, ekspresi, gestur, dan
seterusnya. Sedangkan media mekanis seperti telepon, radio, televisi, teleks. Media ini adalah
transmiter media kategori presentasional dan representasional. Perbedaan utamanya terletak pada
penggunaan saluran-saluran yang diciptakan lewat keahlian teknik.
35
Ibid., hal 282.
kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu
sama persis dengan apa yang ada pada realitas sesungguhnya.
Berita, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa media
dapat dipahami sebagai produksi makna. sebagai kesatuan organik,
media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui
berita yang mereka hadirkan ke ruang publik. Representasi merupakan
hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan
pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek,
realitas, atau pada dunia imajiner obyek fiktif, manusia, peristiwa.36
Stuart Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua
bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental
representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang
memiliki
perbedaan
dalam
mengorganisasikan
dan
mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan di
antara semua itu. Bahasa menjadi bagian sistem representasi karena
pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses
terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan
untuk kata, suara atau kesan yang membawa makna adalah tanda. 37
Representasi penting dalam dua hal. Pertama, apakah
seseorang, satu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan
sebagaimana
mestinya.
Kedua,
bagaimana
representasi
itu
ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan visualisasi
apa dan bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut
ditampilkan dalam media massa kepada khalayak. Persoalan utama
dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek tersebut
36
Anang Hermawan. "Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes". Hermawan
membagi khayalak pengguna media menjadi dua. Pertama, adalah terdapat sebagian orang yang
mengatakan bahwa apa yang tampil di media merupakan 'cermin' realitas, dalam pengertian bahwa
realitas yang tersaji di media dinilai sama dengan realitas empirik. Kedua, berada pada paham
yang berseberangan, mengatakan bahwa realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi
yang telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor
subyektivitas dari orang-orang media.
37
Stuart Hall (Ed.). Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices. (London:
Sage Publications, 1997) seperti dikutip oleh Ibid.
ditampilkan.38
Dengan
kata
lain,
representasi
merupakan
penggambaran ulang dari realitas yang ditampilkan lewat media.
Representasi
juga
digunakan
dalam
konsep
sosial
pemaknaan, seperti pada dialog, tulisan, gambar, film, iklan, fotografi,
dan lainnya. Konsep yang terdapat dalam benak manusia kemudian
diproyeksikan melalui bahasa, simbol, dan tanda yang berfungsi
merepresentasikan konsep tersebut tentang sesuatu. Hubungan antara
konsep (ideologi), bahasa, simbol, dan tanda adalah hasil produksi
dari pemaknaan, baik lewat bahasa maupun simbol.
Konsep
representasi
dapat
berubah-ubah,
selalu
ada
pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang
pernah ada. Ini dipengaruhi oleh makna itu sendiri yang tidak pernah
tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi yang disesuaikan
dengan keadaan baru. Pada intinya makna tidak inheren terhadap
sesuatu di dunia ini. Makna akan selalu di produksi lewat proses
representasi, ia adalah hasil dari praktek penandaan yang membuat
sesuatu bermakna.
Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat
bahasa bekerja, kita memakai tiga teori representasi, yaitu: pendekatan
reflektif, pendekatan intensional dan pendekatan konstruksionis.
Menurut pendekatan reflektif, makna dianggap ada dalam objek,
pribadi, gagasan atau peristiwa dalam dunia nyata dan bahasa
dianggap sekedar cermin, yang merefleksikan makna sejati yang telah
ada di dunia ini. Pendekatan intensional, pembicara atau pengaranglah
yang mengimposisi makna unik ke dunia melalui bahasa. Kata-kata
memiliki makna menurut apa yang pengarang maksudkan atau
intensikan.
Jadi
disini
kita
menggunakan
bahasa
untuk
mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita
terhadap sesuatu. Pendekatan konstruksionis, memahami karakter
bahasa yang bersifat publik dan sosial. Pendekatan ini juga mengakui
38
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2008), hal 113.
bahwa benda-benda dalam dirinya sendiri maupun pengguna bahasa
secara individual tak pernah bisa membakukan makna dalam bahasa.
Benda-benda tidak mempunyai arti, kitalah yang sesungguhnya
mengkonstruksi makna dengan memakai sistem representasional,
konsep dan tanda-tanda.39
Pendekatan
konstruktisionis
dibagi
lagi
menjadi
dua
subpendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan wacana
(discursive approach) dimana konstruksi akan makna dibentuk tidak
lewat bahasa tetapi melalui wacana. Produksi makna pada suatu kultur
dihasilkan lewat wacana yang diangkat oleh individu-idividu yang
berinteraksi dalam masyarakat dan diidentifikasi atas kultur yang
ditentukan oleh wacana-wacana yang diangkatnya. Pendekatan yang
kedua adalah pendekatan semiotik (semiotic approach). Pada
pendekatan ini pembentukan tanda dan makna dikonstruksikan
melalui medium bahasa. Bahasa bekerja pada lingkaran kultur dimana
makna yang dikonstruksi ini tidak selalu tetap maknanya. Selalu ada
pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang
sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia
selalu berada dalam proses negosiasi yang disesuaikan dengan situasi
yang baru.40
4. Ruang Publik
Publik, seringkali dinamakan khayalak umum atau khalayak
ramai, demikian menurut Soekanto, lebih merupakan kelompok yang
tidak merupakan kesatuan. interaksi secara tidak langsung melalui alat
komunikasi seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus,
surat kabar, radio, televisi, film, dan lain sebagainya. Alat-alat
penghubung semacam ini memungkinkan suatu publik mempunyai
pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih besar.41
39
Rini Larasati. Loc.Cit., hal 40.
Fitria Agustina. Loc.Cit., hal 34-35.
41
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal
248. Lebih lanjut menurut Soekanto, publik dalam kondisi jumlah pengikut yang besar ini justru
40
Pendapat lain berasal dari Polak, yang mendefinisikan publik
sebagai sejumlah orang yang mempunyai minat sama terhadap suatu
kegemaran atau persoalan tertentu. Mempunyai minat yang sama tidak
perlu harus mempunyai opini atau pendapat yang sama. Sebaliknya
publik mengenal diskusi yang pro dan kontra suatu persoalan atau
masalah tertentu. karena suatu masalah terutama masalah sosial itu
sangat banyak dan biasanya aktual maka dengan demikian jumlah
publik juga banyak. Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan
merasa tertarik terhadap sesuatu masalah dan berhasrat mencari suatu
jalan keluar dan dengan mewujudkan tindakan yang konkrit.42
Sedangkan Bogardus berpendapat bahwa publik adalah
sejumlah orang yang dengan suatu cara mempunyai pandangan yang
sama mengenai suatu masalah atau setidak-tidaknya mempunyai
kepentingan bersama dalam sesuatu hal. Sejumlah orang tersebut
antara yang satu dan yang lain dapat tidak kenal mengenal satu sama
lain, akan tetapi sebenarnya mempunyai perhatian dan minat yang
sama terhadap sesuatu masalah. 43
Ada dua definisi yang biasanya dipakai terkait dengan
kepentingan publik, yaitu ruang publik (public space) dan khazanah
publik (public sphere). Ruang publik secara umum didefinisikan
sebagai tempat fisik dan kasat mata yang ada di dalam kota atau di
mana saja kita lihat orang berkumpul. Khazanah publik adalah konsep
tidak ada pusat perhatian karena kesatuan juga tidak ada. Setiap aksi publik diprakarsai oleh
kepentingan-kepentingan pribadi, pada akhirnya Soekanto mengartikan bahwa tingkah laku publik
didasarkan pada tingkah laku atau perilaku individu. Untuk mengumpulkan publik tersebut,
digunakan cara-cara dengan menggandengkan nilai sosial atau tradisi masyarakat, atau dengan
menyiarkan pemberitaan, baik yang benar maupun yang palsu sifatnya.
42
Drs J.B.A.F. Mayor Polak. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Balai Buku
Ichtiar, 1960) seperti dikutip oleh Dra Djoenaesih S. Sunarjo. Opini Publik (Yogyakarta: Liberty,
1984), hal 19.
43
Emory S. Borgadus dalam Drs R. Roekomy. Tingkah Laku Kolektif dalam Mobilitas Sosial
(Bandung, 1970) seperti dikutip oleh Ibid., hal 20.
abstrak yang melukiskan adanya sesuatu yang dimengerti, dibahas dan
diperdebatkan secara bersama-sama.44
Konsep public sphere ini memiliki seorang pencetus ahli
Sosiologi dari Jerman, Jurgen Habermas. Habermas mendefinisikan
public sphere sebagai jaringan komunikasi informasi yang memiliki
aliran termasuk dalam proses, penyaringan, penyatuan hingga menjadi
suatu kumpulan opini publik yang sudah ditentukan. 45
Sejarah public sphere ini awalnya saat kaum bangsawan,
aristokrat, sastrawan, dan tokoh-tokoh kelas atas kerajaan berkumpul.
Hal ini menyebabkan saat itu public sphere merupakan kawasan
terbatas dan berkelas,
ia
hanya
membicarakan kepentingan-
kepentingan kaum borjuis, kaum menengah atas, jauh dari
kepentingan masyarakat sipil. Contoh di negara Perancis terkenal akan
salon-nya, diterjemahkan seperti ruang besar untuk menerima tamu,
atau bisa juga sebagai ruang pameran karya seni. Namun public
sphere ini tidak digunakan sebagai tempat diskusi permasalahan sosial
melainkan hanyalah menjadi tempat berlandaskan uang dan hak tanah
yang menjadi kepentingan mereka. 46
Selain Perancis, ruang publik juga terdapat di daerah Inggris
yaitu kedai-kedai kopi (coffee houses). Selain publik dalam ruang
tersebut yang hanya berisi orang-orang kelas atas namun ada juga
publik yang direkrut dalam ruang tersebut biasanya mereka adalah
44
Deddy Kurniawan Halim. Psikologi Lingkungan Perkotaan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008),
hal 55.
45
Communication for Governance & Accountability Program (CommGAP). The Public Sphere.
“network for communicating information and points of view . . . the streams of communication
are, in the process, filtered and synthesized in such a way that they coalesce into bundles of
topically specified public opinions.” (bentuk pdf).
46
Jurgen Habermas. The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category
of bourgeois society. Translated by Thomas Burger, Frederick Lawrence (Great Britain: Polity
Press, 1989), hal 33. "As in the salons where "intellectuals" met with the aristocracy, literature
had to legitimate itself in these coffee houses. In this case, however, the the nobility joining the
upper bourgeuis stratum still possessed the social functions lost by French; it represented landed
and moneyed interest"
orang-orang pengusaha swasta, tokoh-tokoh kerajaan yang dominan
berupa mereka yang berpendidikan kelas menengah ke atas.47
Public sphere sebagai suatu bidang yang menjadi perantara
antara masyarakat dan negara, dimana masyarakat mengorganisasi
dirinya sendiri sebagai pembawa opini publik, sesuai dengan prinsip
ruang publik.48 Habermas juga mengikuti perkembangan bagaimana
kaum borjuis dibedakan oleh munculnya public sphere yang berada di
antara masyarakat sipil dan negara dan yang dimediasi antara
kepentingan publik dan swasta. Pertama kalinya dalam sejarah,
individu dan kelompok dapat membentuk opini publik, memberikan
ekspresi langsung dengan kebutuhan dan minat mereka meski
mempengaruhi praktik politik.49
Hingga kini perubahan wacana dan terbentuknya secara
konkrit ruang publik merupakan kepentingan yang tidak terbatas
hanya untuk kalangan kelas menengah ke atas. Kepentingan ini
berangkat kebutuhan dimana terdapat setiap hak warga yang bebas
untuk
memiliki
mendiskusikan
pendapat
masalah
atas
tersebut.
permasalahan
Dibutuhkan
sesuatu
wadah
dan
dalam
mewujudkan sikap untuk saling berbagi pengetahuan dan diskusi ini,
dan inilah yang dinamakan public sphere. Dewasa ini, surat kabar dan
majalah, radio dan televisi adalah media di public sphere.50
47
Ibid., hal 34. "as in the case of the coffee houses, their public was recruited from private people
engaged in productive work, from the dignitaries of the principalities capitals, with a strong
preponderance of middle-class academics."
48
Jurgen Habermas. Critical Theory and Society: A Reader. Translated by Sara Lennox, Frank
Lennox (New York: Routledge, 1989), hal 136. “The public sphere as a sphere which mediates
between society and state, in which the public organizes itself as the bearer of public opinion,
accords with the principle of the public sphere.”
49
Douglas M. Kellner, Meenakshi Gigi Durham. Media and Cultural Studies KeyWorks.
(Massachusettes: Blackwell Publishers Inc., 2001), hal 35-36. “Habermas notes how bourgeois
society was distinguished by the rise of a public sphere which stood between civil society and the
state and which mediated between public and private interest. For the first time in history,
individuals and groups could shape public opinion, giving direct expression to their needs and
interest while influencing political practice.”
50
Jurgen Habermas. Critical Theory and Society: A Reader. Translated by Sara Lennox, Frank
Lennox (New York: Routledge, 1989), hal 136. “Today, newspapers and magazines, radio and
television are the media of the public sphere”.
Ruang publik (public space) adalah ruang dalam suatu
kawasan yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan
kontak publik. Ruang publik dapat berupa cluster maupun linier
dalam ruang terbuka maupun tertutup. Beberapa contoh ruang publik
antara lain : plaza, square, atrium, pedestrian.51
Ruang publik yang bisa berfungsi optimal untuk kegiatan
publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri antara lain :
merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang
bagus secara visual dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu
jalan (jalur sirkulasi), mempunyai tempat untuk duduk-duduk antara
lain berupa anak-anak tangga, dinding atau pagar rendah, kursi dan
bangku taman, ruang yang memungkinkan penggunanya dalam
melakukan aktifitas komunikasi bisa berpindah-pindah tempat/posisi
sesuai dengan karakter dan suasana yang diinginkan. 52
Ruang Publik (Public Space) adalah sebuah area di antara
bangunan-bangunan di dalam kota yang dapat diakses dengan bebas
oleh warga, termasuk di dalamnya lobi dan ruang penerima dalam
bangunan. 53 Ruang publik memiliki peran sosial yang lebih besar dari
sekedar menciptakan interaksi. Di ruang publiklah masalah warga
mampu untuk diutarakan, di mana semua orang berkedudukan sama
dan tidak ada perbedaan sosial. Ruang publik juga bersifat demokratis
karena terbuka bagi semua orang dan tidak ada seorang pun boleh
menutup akses ke ruang publik. Oleh karena itu, ruang publik
memiliki aturan yang dibuat oleh para pejabat publik untuk melayani
kepentingan publik.54
Ruang publik adalah ruang di mana setiap orang tanpa melihat
agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara
51
Alpha Febela Priyatmono. Peran Ruang Publik di Permukiman Tradisional Kampung Laweyan
Surakarta. (bentuk pdf).
52
Ibid.
53
Deddy Kurniawan Halim. Op.Cit., hal 346.
54
Ibid., hal 64.
bebas dan fair. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan
kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam
kontestasi itu. Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi
lebih
sebagai
jaringan
yang
amat
kompleks
untuk
mengkomunikasikan gagasan, opini, atau aspirasi. Setiap komunitas di
mana di dalamnya dibahas norma-norma publik, maka akan
menghasilkan ruang publik. 55
Bila dikaitkan dengan sifat ruang yang terbagi atas ruang
publik dan ruang privat, maka konflik yang paling pelik adalah ketika
ruang publik diambil alih secara serabutan untuk dijadikan ruang
privat, dimiliki hanya oleh sebagian anggota masyarakat. Berdasarkan
pada kenyataan tersebut maka sering terjadi adanya benturan
kepentingan yang meruncing menjadi sebuah konflik di ruang publik.
Konflik yang terjadi merupakan pertentangan antara dua kepentingan,
maupun berkembang menjadi pertentangan yang sangat kompleks.
Sebagai gambaran dapat disebutkan beberapa contoh konflik tersebut,
antara lain: hilangnya taman kota dan digantikan oleh areal komersial,
dipakainya jalur pejalan kaki sebagai tempat berjualan kaki lima,
pemasangan papan reklame yang mengganggu, aksesbilitas ruang
publik yang tidak diperhatikan, dan sebagainya. Semua konflik yang
terjadi tidak dapat dengan mudah diatasi tanpa adanya upaya terpadu
untuk memandang tingginya kebutuhan ruang di suatu kawasan, dan
berbagai kepentingan yang melatar belakangi penggunaan ruang
publik tersebut.
5. Semiotika dan Mitos
Secara umum, strukturalisme merupakan sebuah paham
filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran
linguistik Sausurrean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun
filsafat
para
strukturalis),
karena
linguistik
Sausurrean
memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah55
Rini Larasati. Loc.Cit., hal 8.
kaidah linguistik ini mereka coba untuk diterapkan di lapangan
penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam
model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian
mereka. 56
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh
banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik
struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem
tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship, totemisme,
Lacan dengan unconcious, Barthes dengan grammar of narrative.
Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk
struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial
kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu
menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian dengan a
self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan
tanda dalam situasi sosial yang spesifik. 57
Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra
merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Strukturalisme
memandang bahwa keterkaitan dalam struktur itulah yang mampu
memberi makna yang tepat. Inner structure (disebut juga deep
structure) dari suatu karya sastralah yang menjadi objek telaah
strukturalisme. Strukturalisme semiotik adalah strukturalisme yang
dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu pada
semiologi. Semiologi atau semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda
dalam bahasa dan karya sastra.58 Semiotika adalah suatu bentuk
strukturalisme, karena ia berpandangan bahwa kita tak bisa
mengetahui dunia melalui istilah-istilahnya sendiri, melainkan hanya
56
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. (Yayasan Indonesiatera, 2001), hal 40, seperti dikutip
oleh Alex Sobur. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hal 103.
57
Ni Wayan Sartini. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. (bentuk pdf).
58
Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif Edisi III. (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hal
166, seperti dikutip oleh Alex Sobur. Op. Cit., hal 105.
melalui struktur-struktur konseptual dan linguistik dalam kebudayaan
kita.59
Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang
terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam
sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi
yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas.
Saussure memberikan sebuah contoh kata arbor dalam bahasa Latin
yang maknanya 'pohon'. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua
segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya
sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon
(bukan pohon tertentu) yakni tanda (signifie). Tidak ada hubungan
langsung dan alamiah antara penanda (signifier) dan petanda
(signified). Hubungan ini disebut hubungan arbitrer. Hal yang
mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi). 60
Tanda
pertandaan
Tersusun Atas
Penanda
(eksistensi fisik
dari penanda)
plus
Realitas Eksternal atau Makna
Petanda
(konsep mental)
Gambar 1.1 Unsur Makna dari Saussure.
Sumber : John Fiske, 2011, hal 66.
59
John Fiske. Op.Cit., hal 159.
Ni Wayan Sartini. Loc.Cit. ...a body of necessary conventions adopted by society to enable
members of society to use their language faculty.
60
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada
teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu
adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua
bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut
Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suarasuara, baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa
dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana
suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan, atau
menyampaikan ide-ide, pengertian-pengertian tertentu. Untuk itu,
suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari sebuah sistem
konvensi, sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah
sistem tanda.61
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier)
dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda
adalah "bunyi yang bermakna" atau "coretan yang bermakna". Jadi,
penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran
mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari
bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa
yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Tanda bahasa
selalu mempunyai dua segi: penanda atau petanda; signifier atau
signified; signifiant atau signifie. Suatu penanda tanpa petanda tidak
berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya,
suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari
penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan
dengan demikian merupakan suatu faktor linguistis.62
Minat utama Saussure adalah sistem linguistik, minat
keduanya adalah cara sistem berelasi dengan realitas yang diacunya,
dan yang paling sulit dari semua itu adalah cara sistem berelasi
61
62
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal 46.
Ibid.
dengan pembaca dan posisi sosio-kulturalnya. Saussure tertarik
dengan cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna; Saussure kurang tertarik terhadap
kenyataan bahwa kalimat yang sama saja bisa menyampaikan makna
yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. 63
Dengan kata lain, Saussure tidak bersungguh-sungguh
memperhitungkan
makna
sebagai
proses
negosiasi
antara
pembaca/penulis dan teks. Saussure menekankan pada teks, bukan
cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya (dan soal itu tidaklah penting di
sini untuk membedakan antara pembaca dan penulis), tidak juga
tertarik pada cara konvensi di dalam teks berinteraksi dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Adalah
pengikut Saussure, yaitu Roland Barthes yang pertama kali menyusun
model sistematik untuk menganalisis negosiasi dan gagasan makna
interaktif tadi. Inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan
pertandaan (order of significations).64
Gambar 1.2 Dua tatanan pertandaan (two order of significations) Roland Barthes
Sumber : John Fiske, 2011, hal 122.
63
64
John Fiske. Op.Cit., hal 117.
Ibid., hal 117-118.
Barthes
menjelaskan
bahwa
signifikasi
tahap
pertama
merupakan hubungan antar signifier dan signified di dalam sebuah
tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah
yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.
Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau
paling tidak intersubjektif. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif,
sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali
membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah
satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan metode
analisis
dan kerangka
(misreading).
berfikir
untuk
mengatasi salah
baca
65
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam, Mitos merupakan produk kelas sosial yang
sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya, mengenai
hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos
masa
kini
misalnya
mengenai
feminitas,
maskulinitas,
ilmu
pengetahuan, dan kesuksesan. 66
Setidaknya terdapat dua jenis 'mitos' dalam kajian wacana
keilmuan. Mitos pertama yaitu mitos tradisional (mitos tipe pertama),
sebagai sebuah cerita fiktif, diceritakan hingga berulang-ulang kali
karena memiliki pesan moral, memiliki karakteristik adanya
harmonisasi alam, dan kekuatan supranatural di dalamnya. Kedua
yaitu mitos modern (mitos tipe kedua), adanya deksripsi mengenai
alam namun adanya kesan untuk menunjukan adanya kepalsuan atau
65
66
Alex Sobur. Op.Cit., hal 128.
Ibid.
kekosongan. Namun hal tersebut masih diceritakan berulang-ulang
sebagai pesan moral. 67
Barthes menjelaskan mitos memiliki dampak ideologis,
menghubungkan benda budaya untuk kehidupan sehari-hari. Sebuah
pembacaan semiologi menginterupsi untuk diberikan adanya mitos
modern, memberikan kritik tentang bagaimana mereka mengaburkan
sejarah
dan
memperlakukan
sebagai
nilai
'alami'
kelompok
masyarakat borjuis yaitu dengan tidak diragukan hingga melampaui
perubahan. 68
Barthes menegaskan bahwa cara kerja mitos adalah untuk
menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukan kenyataan bahwa mitos
sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi
melaui sejarah tertentu: maknanya, peredaran mitos tersebut mesti
dengan membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos
membuatnya menyangkal hal tersebut, dan menunjukan maknanya
sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos
memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki
dimensi sosial atau politik. Para ahli mitologi mengungkapkan sejarah
tersembunyi sehingga cara kerja sosial politik mitos adalah dengan
melakukan "demistifikasi" mitos.69
Salah satu buku karya Barthes yang terkenal mengenai mitos
berjudul Mythologies. Barthes mengambil contoh spesifik dari budaya
kontemporer
dan
mengkritisi
sebagai
mitos
dan
bukan
mempertanyakan representasi mereka di 'realitas' tersebut (sebagai
mitos tipe kedua). Barthes memperluas pendekatan yang menurutnya
sebagai 'mengkritisi' dalam studi literatur dan seni dalam budaya
massa. Namun, ia tidak terlibat dalam 'mengkritisi' dalam bentuk
67
Tim Dant. Critical Social Theory. (London: SAGE Publications Ltd, 2003), hal 39. Historical
stories with superhuman characters and fantastic events (type one myth), timeless stories
purpoting to describe casual relations between human action and nature (type two myth).
68
Ibid., hal 39-40.
69
John Fiske. Op.Cit., hal 122.
budaya tersebut, ia bukanlah seorang kritikus film tetapi mencoba
untuk memahami bagaimana film terletak dalam budaya pada
umumnya.70
Dalam tulisannya yang berjudul 'Myth Today', Barthes
menghubungkan kritiknya mengenai mitos dengan dimensi politik.
Lebih jauh lagi, Barthes dengan jelas membuat hubungan eksplisit
antara mitos dan ideologi di mana tanda-tanda memiliki efek ideologis
yang dapat dikenakan kritik. Meskipun ia menggunakan kata 'mitos'
dengan maksud mitos-mitos masyarakat kuno (mitos tipe pertama), ia
juga membawa ide mitos yang lebih bersifat modern di masyarakat
sekarang (mitos tipe kedua). Mitos modern adalah perhitungan moral
nilai dan penyebabnya (apakah keindahan itu dan bagaimana ia bisa
terbentuk, apa yang berguna dari itu dan bagaimana itu dibuat) bahwa
pergeseran dengan perubahan teknologi. Pesan nilai mengaburkan
asal-usul mereka dan tampaknya abadi dan independen mengenai
bagaimana mereka diciptakan.71
Bagi Levi-Strauss, sebuah mitos merupakan kisah yang
spesifik dan merupakan transformasi lokal atas struktur dalam dari
konsep oposisi biner yang penting dalam bagi kebudayaan tempat
beredarnya mitos tersebut. Mitos yang amat kuat dan signifikan
berfungsi sebagai penurun kecemasan yang dengan cara ini mitos
berhadapan dengan kontradiksi yang melekat pada setiap oposisi
biner, dan meski mitos tidak memecahkannya (misalnya, kontradiksi
itu akhirnya tak bisa dipersatukan), mitos tetap memberikan cara
hidup yang imajinatif bersamanya dan menyesuaikannya sehingga
70
Tim Dant. Op.Cit., hal 33. Barthes memperlakukan Garbo (baca tulisan Barthes berjudul The
Face of Garbo) sebagai mitos, terhubung ke bentuk-bentuk budaya lain dan menunjukkan cara
bahwa budaya mengkomunikasikan nilai-nilai dan gagasan keindahan bukan melihat secara jelas
dan langsung mengenai kecantikan dan keindahan dari subjek semata.
71
Ibid., hal 34. Nilai keindahan yang dimiliki oleh Garbo mungkin tidak berubah namun
sebenarnya ada hasil dari teknologi itu yang membuat keindahan Garbo bersifat abadi. Plastik
mungkin awalnya tidak memiliki kegunaan, namun adanya sentuhan teknologi yang membuat
palstik memiliki nilai kegunaan yang baru (baca tulisan Barthes berjudul Plastic).
tidak menjadi terlalu disruptif dan tidak banyak melahirkan
kecemasan kultural. 72
F. Metode Penelitian
1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kritis. Paradigma ini memandang bahwa realitas kehidupan sosial
bukanlah realitas yang netral, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi,
politik, dan sosial. Oleh karena itu konsentrasi analisis dalam paradigma
kritis adalah menemukan kekuatan yang dominan tersebut dalam
memarjinalkan dan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. 73
Realitas yang dipahami oleh individu justru dibentuk oleh kekuatankekuatan eksternal di luar dirinya. Paradigma ini mengungkap 'relasi
kuasa' yang membentuk pemahaman tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode semiotik untuk melihat
bagaimana makna terbentuk melalui foto. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan ruang publik dari enam bingkai foto ini dipahami
dengan bersama sebagai suatu realitas yang direpresentasikan. Karenanya,
konsentrasi analisis pada penelitian ini adalah menentukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut direpresentasi dan dengan cara apa dan
bagaimana representasi itu dibentuk.
2. Unit Analisis
Unit analisis yang akan diteliti adalah foto karya Peter Bialobrzeski
yang memenangkan kontes World Press Photo tahun 2009. Dari sembilan
foto seri yang memenangkan kontes tersebut, diambil enam (lihat bab II)
diantaranya oleh peneliti. Enam seri foto yang diambil ini mewakili dari
masalah yang akan diteliti. Selain itu enam seri foto ini dianggap sebagai
batasan penelitian karena terdapat pada satu wilayah negara yang sama
dengan peneliti. Enam foto ini menjadikan bahasan penelitian semakin
72
73
John Fiske. Op.Cit., hal 170.
Eriyanto. Op.Cit., hal 49.
lengkap dan akurat, karena pengetahuan peneliti akan daerah tempat foto
diambil ini juga membantu menjelaskan permasalahan yang terbingkai
dalam foto-foto tersebut.
3. Tahap Penelitian
A. Pemilihan unit analisis: pengumpulan semua foto yang akan diteliti,
pemilihan foto yang menjadi bahan penelitian (lihat bab II).
B. Analisis semiotika dengan dua tatanan pertandaan (order of
signification) milik Roland Barthes:
1. Denotasi, sebagai tatanan pertandaan pertama, menggambarkan
relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda
dengan referennya dalam realitas eksternal. 74 Definisi lain adalah
hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas
dalam pertandaan. 75 Dalam gambar atau foto, pesan denotasi
merupakan
pesan
yang
disampaikan
oleh
gambar
secara
keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh
unsur-unsur gambar dalam foto sejauh kita dapat membedakan
unsur-unsur tersebut.76
2. Konotasi, bagian manusiawi dari proses ini; mencakup seleksi atas
apa yang masuk dalam bingkai, fokus, rana, sudut pandang, mutu
film, dan seterusnya. Barthes menyatakan bahwa konotasi adalah
bagaimana memfotonya. 77 Fiske mendefinisikan ini sebagai aspek
makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi.78 Pada penelitian ini, untuk analisa foto
pada tatanan konotasi digunakan tabel unsur-unsur fotografi
dengan bentuk sebagai berikut:79
74
John Fiske. Op.Cit., hal 118.
Ibid., hal 279.
76
Sunardi, ST. Op.Cit., hal 142.
77
John Fiske. Op.Cit., hal 119.
78
Ibid., hal 280.
79
Wicak Baskoro. Loc.Cit., hal 20-22.
75
Tabel analisis foto
Aspek-aspek Fotografi
Keterangan
Angle
Background
Balance
Central focus
Composition
Contour
Contrast
Framing
Setting
Vantage Point
Tabel 1.1
a. Angle, sudut atau posisi dari mana sebuah foto diambil. Dalam
fotografi, angle atau sudut pandang dapat dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu:
a. 1. High angle, yaitu memotret dari tempat yang lebih
tinggi dari objek yang akan kita tampilkan. Biasa juga
disebut bird eye position. Dengan sudut pandang ini,
bagian-bagian yang dianggap tidak penting oleh fotografer
dapat disamarkan.
a. 2. Low Angle, yaitu memotret lebih rendah dari objek
yang ingin ditampilkan. Biasa juga disebut frog eye
position. Sudut pandang ini member kesan tinggi dan
megah pada objek yang menjadi fokus pengmbilan gambar.
a. 3. Eye level, yaitu sudut normal di mana sudut yang
diambil oleh fotografer sejajar dengan pandangan mata.
Sudut pandang ini akan menimbulkan kesan wajar pada
gambar yang diambil. Sudut pandang ini merupakan sudut
pandang yang biasa dan paling umum digunakan pada saat
pengambilan gambar.
b. Background, bagian dari foto yang terlihat sebagai bagian
belakang dari sebuah objek. Dalam sebuah foto, latar belakang
berfungsi sebagai: pelengkap keberadaan objek, memberikan kesan
terhadap objek, sebagai penunjuk lokasi objek, sebagai keterangan
situasi yang sedang terjadi di sekitar objek.
c. Balance, distribusi elemen visual dari sebuah foto, dapat secara
simetris atau tidak simetris.
d. Central focus/focus of interest, objek yang muncul paling
mengemuka atau terlihat lebih jelas dalam sebuah foto.
e. Composition, susunan atau struktur elemen-elemen foto yang
membentuk suatu citra. Composition memiliki beberapa bentuk, di
antaranya:
e. 1. Komposisi diagonal, yaitu distribusi penempatan objek
gambar yang membagi bingkai menjadi dua bagian
atau lebih secara diagonal.
e. 2. Komposisi simetris, yaitu menempatkan objek gambar
secara seimbang pada bingkai dan seolah membagi
bingkai menjadi dua bagian yang sama besar.
e. 3. Komposisi ¾ bidang, yaitu penempatan objek secara
tidak simetris, biasanya dengan titik pusat objek pada
¾ bagian frame.
e. 4. Komposisi arah gerak, yaitu penempatan objek yang
berorientasi pada gerak objek.
e. 5. Komposisi pola irama (rhythm) atau repetisi, yaitu
menunjukan sebuah pola irama dengan bentuk
pengulangan. Maksudnya adalah pengulangan atas
bentuk, garis maupun titik dari sebuah objek foto,
yang memberikan kesan terdapatnya irama (seperti
halnya irama pada sebuah lagu).
e. 6. Kontras, yaitu dengan membandingkan antara dua hal
yang kontras, dapat berupa kontras ukuran, bentuk,
gelap terang maupun kontras warna.
e. 7. Distorsi, yaitu dengan mendistorsi bentuk objek
menjadi sedemikian rupa.
e. 8. Komposisi tiga titik, yaitu dengan menempatkan titik
pusat perhatian (point of interest) pada tiga titik
bagian frame.
f. Contour, garis atau bagan yang membentuk suatu objek foto.
g. Contrast, perbedaan yang tegas antara bidang terang dan gelap,
membedakan tekstur dan ukuran.
h. Framing, sesuatu yang diletakkan fotografer antara atau sekitar
objek foto.
i. Setting, lingkungan fisik yang bisa merupakan rekayasa atau
yang sebenanrnya.
j. Vantage point, tempat dimana fotografer mengambil foto.
3. Mitos, merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang
sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami
sesuatu. Apabila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua
dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari
petanda.80 Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. 81
C. Pembahasan teoritik, dengan teori-teori dari berbagai kajian ilmu
pengetahuan: jurnalisme lingkungan hidup, lingkungan hidup, ruang
publik dalam bentuk ruang terbuka hijau.
80
81
Ibid., hal 121.
Alex Sobur. Op.Cit., hal 128.
D. Penarikan kesimpulan.
4. Metode Analisis Teks
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika yang
didefinisikan sebagai studi tentang pertandaan dan makna dari sistem
tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam
"teks" media; studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam
masyarakat yang mengkomunikasikan tanda.82
Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: pertama, tanda itu
sendiri. Semiotika bergerak atas tanda yang berbeda, cara tanda yang
berbeda dalam penyampaian makna, dan cara tanda dalam penggunaannya,
dalam hal ini adalah konstruksi manusia. Kedua, kode atau sistem yang
mengorganisasikan tanda. Cakupan dalam hal ini adalah pengembangan
kode dalam pemenuhan kebutuhan manusia atau budaya atau eksplorasi
saluran komunikasi untuk transmisi. Ketiga, kebudayaan tempat kode dan
tanda bekerja. Merupakan eksistensialisme kode-kode dan tanda-tanda itu
termasuk bentuknya sendiri. 83
Tanda dalam semiotika merupakan kajian yang tak terpisahkan.
Ketiadaan tanda menyebabkan semiotika tidak bergerak dalam pemaknaan
sesuatu tersebut. Adalah seorang pendiri tradisi semiotika Eropa yaitu
Ferdinand de Saussure. Semiotika dalam Saussure yang seorang ahli
linguistik, tertarik dengan bahasa. Perhatiannya dalam cara tanda-tanda
(atau dalam hal ini, kata-kata) terkait dengan tanda-tanda lain. Cara
kompleks pembentukan kalimat
dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna. Bagi Saussure, tanda merupakan objek fisik dengan
sebuah makna; atau, untuk menggunakan istilahnya sebuah tanda terdiri
atas penanda dan petanda. 84
Ketika Saussure tidak memperhitungkan makna sebagai proses
negosiasi antara pembaca/penulis dan teks, Roland Barthes, salah seorang
82
John Fiske. Op.Cit., hal 282.
Ibid., hal 60.
84
Ibid., hal 65.
83
pengikut Saussure, menyusun model sistematik untuk menganalisis
negosiasi dan gagasan makna interaktif tadi. Inti teori Barthes adalah
gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of signification).85 Pada
tatanan pertadaan pertama terdapat denotasi yang "membaca" foto dengan
melihat apa yang ada di dalam foto tersebut. Fiske menjelaskan pada dua
foto yang sama, akan didapat denotasi yang sama pula, namun konotasinya
akan memiliki perbedaan. Pada tatanan pertandaan kedua terdapat konotasi
yang merupakan pemaknaan dari penanda, dan mitos yang merupakan
pemaknaan tatanan kedua dari petanda.
Dua tatanan pertandaan dari Barthes cukup jelas dalam membahas
lingkup makna yang lebih besar, yaitu dengan membedakan makna
denotatif dengan makna konotatif. Spradley menjabarkan makna denotatif
meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Dan
makna konotatif meliputi semua signifikasi sugestif dari simbol yang lebih
daripada arti referensialnya. Sementara Piliang mengartikan makna
denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau
realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Dan makna konotatif meliputi
aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi.86
Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip From Follows
Function, dengan mengikuti model semiotik penanda atau fungsi.
Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier
(penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara
penanda dan petanda relatif stabil dan abadi. 87
Ada empat tipe dalam semiotika sebagai pendekatan kritis.
Pertama, pendekatan yang berorientasi kepada addresser (pengirim pesan)
yakni “pengarang” (author-oriented critism). Kedua, pendekatan yang
berorientasi pada addresse (pihak penerima pesan), yakni "pembaca"
85
Ibid., hal 118.
Sumbo Tinarbuko. Op.Cit., hal 20.
87
Ibid., hal 21.
86
(reader-oriented critism). Ketiga, pendekatan yang berorientasi pada
kepada konteks (context-oriented critism). Keempat, pendekatan yang
berorientasi pada pesan dan kode, atau pendekatan yang berorientasi pada
teks (text-oriented critism).88 Pada penelitian ini digunakan pendekatan
semiotik yang berorientasi kepada teks yang menekankan foto sebagai teks
dan memiliki struktur yang otonom, tetap, tersendiri, dan bersinambung.
Foto sebagai teks ini "dianggap" sebagai kemudahan dalam melakukan
analisis semiotika berdasarkan makna denotasi dan konotasi, dalam arti
lain mengubah foto menjadi tulisan agar mampu mengetahui maknamakna dibalik foto tersebut.
Mengubah foto menjadi tulisan dibutuhkan pembacaan yang tepat
dalam melihat realitas yang tertangkap dalam foto tersebut. Barthes
mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto: perseptif, kognitif, etisideologis. Perseptif terjadi saat seseorang melakukan transformasi gambar
ke kategori verbal, atau melakukan verbalisasi gambar. Kognitif dilakukan
dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur "historis"
dari denotasi (perseptif). Etis-ideologis merupakan pengumpulan berbagai
penanda yang siap "dikalimatkan". Barthes menyebut penanda pada
tingkat konotatif sebagai mitos dan petanda dengan sebutan ideologis. 89
Proses pembacaan ini ternyata sangat sesuai dengan landasan
pemikiran semiotika. 90 Pada akhirnya proses pembacaan foto yang
melewati perubahan menjadi teks ini memerlukan sebuah pemikiran
lainnya
yang disebut
sebagai intertekstualitas. Secara mudahnya
intertekstualitas merupakan hubungan antara dua teks atau lebih, dimana
88
Kris Budiman. Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hal 6-7. Budiman memperoleh
empat tipe pendekatan ini melalui "penyalahgunaan" skema model situasi tutur (speech situation)
yang dikemukakan oleh Roman Jakobson. Model ini membedakan enam buah fungsi bahasa,
yakni fungsi emotif, fungsi konatif, fungsi referensial, fungsi puitik, fungsi fatik, dan fungsi
metalingual. Lihat lebih lanjut dalam John Fiske. Cultural and Communication Studies Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal 51-54.
89
Sunardi, ST. Op.Cit., hal 165.
90
John Fiske. Op.Cit., hal 61. Semiotika lebih suka memilih istilah "pembaca" (bahkan untuk foto
sebuah lukisan) untuk "penerima" karena hal tersebut secara tak langsung menunjukan derajat
aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk
melakukannya; karena itu pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.
hubungan itu mempengaruhi cara-cara menikmati teks tertentu. Adapun
teks disini tidak terbatas pada karya yang berwujud tulisan saja, tetapi juga
merambah pada lakon, tari, lukisan, foto-foto, relief pada suatu dinding
candi, bahkan peristiwa dalam hidup. 91
Adalah
Julia
Kristeva
yang
mempelopori
pemikiran
ini.
Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk
oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu
bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Sementara Michael
Bakhtin berpendapat bahwa semua ungkapan baik tertulis maupun lisan,
dari semua jenis teks seperti laporan ilmiah, novel, dan berita dibedakan di
antaranya oleh perubahan dari pembicara atau penulis dan ditunjukan
dengan pembicara atau penulis sebelumnya.92
Kristeva menyatakan dalam prinsip sebuah intertekstualitas adalah
konsep dialogisme sehingga karya seni dalam hal ini karya sastra tidak lain
merupakan mosaik kutipan-kutipan karya sastra sebelumnya. Keristeva
juga berpendapat bahwa teks sebenarnya adalah teks yang merupakan
kumpulan berbagai unsur yang disusun menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Dalam setiap teks ada unsur-unsur dari luar atau teks lain yang ikut
terjalin, bahkan sangat mungkin tidak disadari oleh pencipta teks
tersebut.93
Hubungan dari berbagai teks yang menjadi satu teks baru ini,
menurut Kristeva seperti memiliki ruang 'pascasejarah' yang di dalamnya
memiliki pelbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda
melakukan dialog. Sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di
dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silangmenyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya. 94
91
Sri Djoharnurani. "Seni dan Intertekstualitas Sebuah Perspektif" (Pidato Ilmiah pada Dies
Natalies XV Institus Seni Indonesia Yogyakarta, Jumat, 23 Juli 1999). hal 8. (bentuk pdf).
92
Eriyanto. Op.Cit., hal 305-306.
93
Sri Djoharnurani. Loc.Cit., hal 9.
94
Sumbo Tinarbuko. Op.Cit., hal 22.
Seakan ikut andil dalam perkembangan pemikiran intertekstualitas,
Barthes juga memiliki pendapatnya sendiri dalam hal ini. Menurutnya
bahwa teks apapun adalah selembar tisyu baru dari kutipan-kutipan buku
yang telah ada. Kedudukan intertekstualitas juga dapat dipersamakan
sebagai realitas teks. Dengan kata lain intertekstualitas digunakan karena
kenyataan teks adalah intertekstualitas itu sendiri. 95
95
Sri Djoharnurani. Loc.Cit., hal 10.
Download