Status Masjid dalam Agama Islam Oleh : Imam Masyhadi Para Hadirin, jama’ah sholat Jum’at yang mulia, Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan mengharapkan ridho-Nya, maka marilah bersamasama kita menambah keimanan dan taqwa kita kepada Allah. Semoga dengan meningkatkan iman dan taqwa ini kita senantiasa medapatkan bimbingan-Nya, sehingga kita dapatkan rasa kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga pula kita dimasukkan ke dalam golongan ummat Nabi Muhammad yang dicintai oleh Allah Ta’ala, terhindar dari nafsu yang merusak jiwa. Dan terhindar pula dari tipu daya syaithon yang terkutuk, semoga di akhir hayat nanti bisa mendapatkan anugerah Husnul Khotimah, Amin. Berkaitan dengan masalah hijrah, masjid adalah wujud bangunan yang pertama didirikan oleh Nabi, sebelum beliau membuat rumah untuk pribadinya. Hal ini menunjukkan, bahwa masjid menempati posisi yang paling utama dalam agama Islam. Mendirikan masjid lebih penting dari pada membuat bangunan lainnya, karena masjid menjadi pusat pembangunan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan agama. Masjid adalah bangunan yang istimewa dalam Islam, yang memiliki status hukum melebihi bangunan-bangunan yang lain. Di antara kelebihan masjid, adalah dapat dijadikannya tempat i’tikaf sebagai ibadah mahdhoh. Kita dapat beribadah hanya dengan diam di dalam masjid dengan niat i’tikaf. Lebih-lebih kalau dalam i’tikaf itu kita membaca ayat-ayat Al-Quran, dzikir, ataupun tafakkur merenungkan kebesaran Allah SWT. 44 MPA 317 / Februari 2013 Ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan dalam masjid, yaitu : 1. Melakukan hubungan suami istri. Firman Allah : “Dan janganlah kamu mencampuri mereka sedangkan kamu beri’tikaf dalam masjid”. (QS. Al Baqarah [2]: 187) Sedangkan selain masjid, tidak ada tempat yang dapat dibuat i’tikaf atau diharamkan melakukan hubungan suami istri. Begitu pula, barang-barang masjid haram dijual. Jumhur ulama juga menetapkan haram menjualnya walaupun untuk kepentingan masjid itu sendiri. Seperti haram menjual genteng bekas atap masjid untuk dibelikan semen. Kalaupun sudah saatnya rusak biarlah rusak dan manfaatkan sedapatnya menurut kondisinya. Seperti dipergunakan untuk meninggikan lantainya. Atau, jika barang itu sudah tidak dibutuhkan lagi maka lebih utama barang itu diberikan kepada masjid yang lain. 2. Seseorang tidak diperbolehkan mengambil tempat yang tetap di dalam masjid. Siapapun yang datang lebih dahulu, dialah yang berhak menempati tempat yang dipilihnya. Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain pindah dari tempatnya, baik untuk ditempatinya sendiri ataupun diberikan kepada orang lain. Tidak ada pengecualian hukum, tidak ada lagi status dan pangkat ketika orang sudah berada di dalam masjid. Semuanya berpangkat sama, yakni hamba Allah. Hanya satu tempat yang boleh diambil tetap yaitu mihrab untuk imam sholat. Yang lazim terjadi pelanggaran hukum dalam hal ini adalah jika terjadi kunjungan dari seseorang yang dianggap penting, seperti pejabat pemerintah, pada waktu sholat jama’ah ataupun sholat Jum’at. Di mana mereka minta jatah shof di depan, agar dikosongkan dahulu untuk mereka tempati. Sedangkan umat yang masuk lebih dahulu menempati shof ke tiga atau ke empat ke belakang. Cara inilah yang harom dilakukan. Yang benar adalah, jika ingin tempat di depan maka masuklah lebih awal. Dan cara tersebut boleh dilakukan selain dalam masjid. 3. Seseorang yang sedang berhadats besar, yakni wanita yang sedang haidh, atau orang yang masih junub belum bersuci, diharamkan memasuki masjid. Kecuali hanya sekedar lewat, itupun kalau tidak ada jalan lain yang dapat dilewati. Firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula menghampiri masjid) sedangkan kamu junub, sehingga kamu bersuci …” (QS. An Nisaa’ [4]: 43) Selain masjid, tidak ada tempat yang haram dimasuki oleh orang yang junub. 4. Alloh SWT. juga berfirman dalam Al-Quran : “Sembahyang mereka (orang-orang musyrik) di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan…” (QS. Al Anfaal [8]: 35) Berdasarkan dari ayat ini, jumhur mufassirin berpendapat, bahwa bertepuk tangan dalam masjid hukumnya harom, karena menyerupai ibadahnya orang musyrik. Yang harus diperhatikan adalah, telah berkembang budaya tepuk tangan di kalangan kita untuk memberi applus kepada seseorang, atau kalau ada suatu hal yang cukup menggembirakan. Kebiasaan ini merambah pada organisasi atau jam’iyyah Islam. Seperti ketika seorang ketua telah mendapatkan prestasi, atau organisasinya mendapatkan anugerah tertentu, secara spontan mereka bertepuk tangan. Maka jika acara itu dilaksanakan dalam masjid, semuanya harus menahan diri dari bertepuk tangan. 5. Merokok menurut pendapat kalangan ulama Syafi’iyyah hukumnya makruh. Syaikh Husain Mohammad Makhluf memfatwakan, bahwa merokok di lingkungan bacaan Al-Quran dan di dalam masjid hukumnya haram. Dari itu, kita yang mempuyai kebiasaan merokok, lebih utama jika tidak melakukannya di dalam masjid atau di lingkungan bacaan Al-Quran. Para hadirin, jama’ah sholat Jum’at yang mulia, Harus kita sadari, bahwa keberadaan masjid adalah kepentingan yang dhorury, artinya kepentingan yang tidak dapat ditunda. Maka dengan demikian, mendirikan sebuah masjid dalam satu kampung hukumnya wajib. Memperbaiki, merawat dan juga memperindah masjid sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sabda Rasulullah saw : “Barang siapa yang mendirikan masjid karena Allah, maka Allah membangun untuknya rumah di sorga” (HR. Muslim) Perlu diketahui di sini, bahwa balasan rumah di sorga oleh Allah, bukan berarti satu orang harus satu masjid. Walaupun satu masjid dibagun oleh lima ratus orang, insya Allah akan mendapatkan balasan semuanya, asalkan ikhlas dalam melakukannya. Akhirnya, marilah kita bersama-sama membangun dan memelihara masjid kita yang mulia ini, kita jaga hukmhukumnya dan kita jaga pula kebersihan dan keindahannya . Dengan harapan, supaya kita mendapatkan ridho dari Allah SWT. dan semoga Allah membangunkan untuk kita semua rumah dalam sorga yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian abadi. Amin Ya Robbal Alamin. MPA 317 / Februari 2013 45