PANDANGAN TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Serjana Strata Satu (S1) Oleh: BAHRIYADI 1112033100066 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI “PANDANGAN TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID” Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Oleh: Bahriyadi NIM. 1112033100066 Dosen Pembimbing Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA NIP. 19690210 199403 2 004 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M LEMBAR PERNYATAAN i Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Bahriyadi NIM : 1112033100066 Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam Tempat, Tanggal Lahir : Pamekasan, 02 Mei 1993 Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini asli merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Negeri Syarif Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 04 Februari 2017 Bahriyadi ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “PANDANGAN TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 April 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. Sidang Munaqasyah; Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dra. Tien Rohmatin, MA NIP: 19680803 199403 2 002 Abdul Hakim Wahid, SHI., MA NIP: 19680424 201503 1 001 Anggota; Penguji 2, Penguji 1, Hanafi, MA NIP: 19691216 199603 1 002 Arrazy Hasyim, MA Pembimbing; Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA NIP. 19690210 199403 2 004 iii ABSTRAKSI Hasyim Asy‟ari merupakan ulama besar pada abad pertama pertengahan ke-20, beliau merupan sosok ulama yang produktif. Beliau banyak menghasilkan karya tulis dan ide-ide pemikiran yang dituangkan kedalam beberapa hasil karyanya. Ia juga merupana ulama pejuang untuk kemerdekan Indonesia dari penjajahan Belanda. Beliau sanget diakui dikalangan para Ulama Nusantara, dan kalangan para pejuang kemerdekaan bahkan hinggak manca Negara, atas kepandaian ilmu yang dimilikinya. Beliau juga masih keturunan Raja Brawijaya, dan elit Agama (Islam) Jawa (Sunan Giri dan Sunan Gunungjati). Hasyim Asy‟ari menghasilkan banyak karya tulis, diantara karyakaryanya menjadi rujukan penting dan kajian khusus dibeberapa Pondok peasantren di Indonesia, khususnya Pondok pesantren di Jawa dan Madura. Bukan hanya karya tulis yang dihasilkan, tetepi beliau juga mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan N-U (Nahdlatul Ulama). ulama-ulama lain mengakui atas kepintarannya, sehingga para ulama memberikan gelar “Hadratus Syaikh” (Sang Maha Guru). Salah satu diantara kitap beliau yang membahas tasawuf, Risālah Jāmi„ah al-Maqāṣid di dalamnya ia memeberikan gambaran bagaimana jalan sampai kepada Allah dengan beberapa pandangan yang dikemukakan, diantaranya melaksana perintah Allah dan menjauhi larangannya, serta mentauladani baginda nabi Muhammad SAW. Ditekankan juga untuk selalu berdzikir (Doa) di waktu pagi dan sore beliau jadikan sebagai sebuah tarekat, karena dengan cara begitu manusia bisa sampai kepada tuhannya (Allah). Kata kunci; Hadratus Syaikh, Tashawuf, Jalan Menuju Allah. iv KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam yang telah memberikan kekuatan bagi hamba-Nya untuk menjalankan segala aktifitasnya. Berkat pertolongan dan kekuatan yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semuga tetep tercurahkan kepada sang legendaris dunia, baginda nabi besar Muhammad SAW, sebagai penutan bagi ummat Islam yang menjadikan teladan dan panutan hidup. Beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana sabdanya, إّٔحذ٘ثص ألضُّ ِىحعَ جألسالق “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulya” Semoga kita semua dapat meneladaninya, dalam segala hal yang telah beliau contohkan kepada kita semua. Kita sebagai ummatnya semoga mendapatkan syafa‟at di dunia dan di akhirat nanti. Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi besar atas selesainya penulisan sikripsi ini, penulis menyadari sikripsi ini tidak mungkin rampung tanpa bantuan, dukungan dan doronganya, oleh karena itu penulis mengucakan terimakasih banyak kepada; 1. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terima kasih sudah menerima, membimbing, menasehati, dan sabar dalam memberikan masukan serta arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dengan baik. 2. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. Abdul Hakim Wahid, SHI.,MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, dan Dr. Edwin Syarif, M.Ag. Sebagai Dosen v pembimbing Akademik penulis. Terima kasih banyak atas nasihat, dorongan dan bantuannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini. 3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.. 4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebut namanya satu persatu. Semoga ilmu yang telah diajarkan kepada penulis dapat diamalkan dan semoga kelak mendapat balasan dar Allah. 5. Kepada kedua orang tua tercinta. Bpak Suda‟i dan Ibu Tiparmi. Yang telah merustui penulis untuk melanjutkan Studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena berkat doa dan dorongan beliau penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan masa pendidikan dengan baik. Juga kepada kakak dan adek penulis: Sa‟odah, Habiburrahman dan Rosiyah serta keponakan tercinta; Filda Yatus Syafirah dan Muhammad Wasik. Karena mereka semua, penulis semangat dan gigih dalam menyelesaikan skripsi ini, guna menjadi teladan yang baik. 6. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. 7. Kepada temen-teman angkata AF12 (Aqidah Filsafat 2012), yang berasal dari Sabang sampai Merauke, yang tidak bisa penulis sebut namanya satusatu. Terimkasih banyak atas diskusi-diskusinya. vi 8. Kepada temen-temen Se-Organisasi: Tretan-tretan Pengurus Forum Mahasiswa Madura (FORMAD) Se-Jabodetabek. Kawan-kawan Ikatan Mahasiwa Bata-Bata (IMABA) Se-Asia, utamanya kawan-kawan IMABA Se-Jabodetabek. Kakak-kakak angkatan; Muhammad Salim, Mustafa Afif, Izzat Gazali, Khoirul Anam dll, terimakasih banyak telah membantu mendaftar penulis kuliah di UIN Jakarta, memberikan arahan serta motivasi bagi penulis. Juga buat kawan-kawan seangkatan 12, Baihakim, Ahmad Fauzi dll. Dan juga buat adek-adek angkatan yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Juga IMABA MALAYSIA. Yang tidak bisa disebut satu-persatu. Terimakasih banyak. Kawan-kawan Himpunan Mahawasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, utamanya Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam (KOMFUF), kakanda Dani Ramdani, Bahrur Rosi, dll. Terimakasih atas diskusi-diskusinya, dan telah banyak memberikan arahan kepada penulis pada saat Maba. Kawan-kawan Himpunan Pengusaha Muda Perguruan Tinggi (HIPMI PT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Wendi, Burhan, Iqbal, Intan, Gigi, Kiki, dan Badrus. 9. Temen-temen Kuliah Kerja Nyata (KKN) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015, Kelompok MAHATMA. Yang telah wisuda mendahului penulis. 10. Temen-temen seperjuangan. Jakarta, 4 Februri 2017 (Bahriyadi) vii DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...............................................iii ABSTRAK ......................................................................................................iv KATA PENGANTAR.....................................................................................v DAFTAR ISI ...................................................................................................viii PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................7 D. Tinjauan Pustaka ..................................................................8 E. Metodologi Penelitian ..........................................................10 F. Sistematika Penulisan ...........................................................11 BAB II BIOGRAFI A. Latar Belakang Keluarga ......................................................14 B. Latar Belakang Sosial Budaya .............................................17 C. Latar Belakang Pendidikan ..................................................19 D. Sanat Tashawuf Hasyim Asy‟ari ..........................................25 E. Karya-karyanya ....................................................................27 BAB III TASAWUF A. Pengertian dan Tujuan Tashawuf .........................................30 B. Sumber Ajaran Tashawuf .....................................................38 viii C. Maqamat dan Ahwal ............................................................45 D. Tarekat ..................................................................................48 BAB IV TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID A. Penisbahan Kitab Kepada Hasyim Asy‟ari ..........................51 B. Corak Pemikiran ...................................................................52 C. Tema-tema Tasawuf dalam Kitab RISᾹLAH JᾹMI„AH ALMAQᾹSHID .................................................................................54 1. Jalan Menuju Allah ..............................................................54 2. Amalan-Amalan (wiritan) ....................................................63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................69 B. Saran-saran ...........................................................................71 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................73 LAMPIRAN ...................................................................................................76 ix PEDOMAN TRANSLITERASI Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris ج A A ٍ th ṭ خ B B ّ zh ẓ ش T T ٕ „ „ ظ Ts Th ٙ gh Gh ج J J ف f F ح ḥ ḥ ق q Q ر Kh Kh ن k K ص D D ي l L ط Dz Dh َ m M ع R R ْ n N ػ Z Z ٚ w W ؽ S S ٖ h H ف Sy Sh ء , , م Sh ṣ ٞ y Y ى Dl ḍ Vokal Panjang Arab Indonesia Inggris ﺁ Ā Ā ِْٜئ Ī Ī ُْٚأ Ū ū x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah telah mencatat betapa besar sumbangan para ulama dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan agama. Bukan saja ilmu pengetahuan agama dalam arti sempit seperti aqidah, syari‟ah, akhlaq dan tashawuf, juga seperti filsafat, sains, matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi, kedokteran, sosiologi, ekonomi, dan politik. Apabila pada zaman Yunani kuno kita mengenal para filosof dan ilmuwan seperti Socrates, Plato, Aritoteles, serta pada abad modern ada Rene Descartes, John Locke, David Hume, dan Immanuel Kant, yang notabenenya non muslim, maka tidak boleh melupakan bahwa pada Abad Pertengahan, khususnya pada sekitar abad ke-8 sampai abad ke-12 M. para ulama dan filosof muslim telah berhasil menempati jenjang terhormat dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta menciptakan apa yang dikenal sebagai Masa Kejayaan atau Abad Keemasan.1 Dewasa ini, kaum muslimin di seluruh dunia khususnya di Indonesia, merasa kesulitan untuk menemukan seorang figur ulama, untuk dijadikan pemimpin atau pelopor yang mampu mengembangkan IPTEK Pengetahuan dan Tekhnologi) dan (Ilmu mampu memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan umat yang semakin komplek.2 1 Achmad Mursyidi, Ulama, Pejuang, Dan Politisi dari Betawi (Jakarta: Pustaka Darul Hikmah, 2003), h. 67. 2 Achmad Mursyidi, Ulama, Pejuang, Dan Politisi dari Betawi, h. 68. 1 2 Apabila kita melihat dengan mata terbuka, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini, kita dapat memahami bahwa kita sedang menghadapi krisis nasional yang bersifat multidimensi. Tidak berlebihan, bila permasalahan ini penulis katakan sebagai krisis sosial, krisis akhlak, krisis politik, krisis disiplin nasional, krisis moneter/ekonomi, dan bahkan krisis kemanusiaan. Selain dari permasalahan yang disebutkan pada pasal sebelumnya, ketimpangan sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin, permasalahan moral (Akhlak) juga terjadi. Sehingga cita-cita seorang pemimpin dalam proses memperbaiki kehidupan masyarakat cenderung gagal yang pada akhirnya menimbulkan fenomena muntaber (munafik tapi berhasil).3 Berdasarkan itu, manusia dituntut untuk melakukan perubahan terhadap realita yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (seperti yang telah dijelaskan pada alinea sebelumnya). Penyelesaian ini, harus didasarkan atas kesadaran (Individu/kelompok) sebagai keharusan untuk mewujudkan kemerdekaan (Ikhtiyār dan Taqdīr). Pada proses kesadaranlah, manusia dapat melakukan suatu perubahan. Sebab, perubahan (pada yang lebih baik/saleh) merupakan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (free will). Sebab sifat pasrah (fatalis) bukanlah ciri manusia yang merdeka, melainkan sebuah sifat yang membawa pada kemunduran dalam sebuah peradaban, inilah yang menjadi rujukan utama dari pesan agama (wahyu) bahwa “manusia adalah mahluk berfikir/beragama” (al-Hayawān al-Nātiq). 3 Kahmi Jaya, Indonesia di Simpang Jalan (Bandung: Mizan Pustaka, 1998), h. 17. 3 Namun, sampai saat ini yang menjadi masalah besar adalah, mereka (umat Islam) masih terlalu asik dengan kejayaan masa lalu (pembebasan yang dilakukan oleh para sahabat).4 Selain dari itu, permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga disebabkan oleh kemandekan cara berfikir, yang mana kemandekan itu terjadi oleh sebab terlalu mensucikan pesan agama (wahyu) secara tekstual.5 Mengacu pada penjelasan pasal di atas, manusia sebagai khalifah di Bumi (Khalifah Fi al-Ard), manusia mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk melakukan sebuah perubahan (Ikhtiyār) yang didasarkan pada alQur‟an dan Hadist.6 Berbicara mengenai perubahan tentu ada solusi yang ditawarkan, dalam hal ini selain dari keilmuan lain, penulis menawarkan bahwa tashawuflah yang mampu melakukan sebuah perubahan, pemikiran dan prilaku seseorang, seperti yang dikatakan Eric Giovroa, guru besar berkebangsaan Perancis di Universitas Luxemburg menegaskan: “masa depan Islam dipastikan tergantung pada arus tashawuf“, bahkan ada generasi Muslim baru yang menegaskan bahwa solusi kehidupan masa kita ada di tangan tashawuf.7 Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa tashawuf menjadi sebuah solusi dalam melakukan perubahan? Sebab, sebuah masalah itu dimulai dari hati, dan hati merupakan komandan tertinggi bagi seseorang, jika 4 Mahbub Risad, Perilaku Tashawuf Gus Dur (Uin Jakarta: Skripsi, 2011), h. 1. Zuhairi Misrawi, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat (Ciputat: LSIP Jakarta, 2005), Cet. Ke II. h. Xi. 6 Achmad Amrullah, Perspektif Islam Dalam Pembangunan Bangsa (Yogyakarta: PLP2M, 1987), h. 194-195. 7 Aman Syaifuddin dan Abdul Qadir Isa, Tashawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa dan Raga ( Banten: Ruhama, 2014), Cet. Ke IV. h. 29. 5 4 hatinya baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika rusak, maka rusakalah seluruh jasadnya. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, جٌمٍدٟ٘ٚ ئطج فـض ش فـض جٌجـض وٍٗ أالٚ ٍٗ جٌجـض ٌِغس ئطج هٍذص هٍخ جٌجـض وٟئْ فٚ أال “Ingatlah! Di dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Jika dia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam tashawuf, hati dikondisikan sedemikian rupa, sehingga menjadi suci dan bersih dari berbagai penyakit mental. Singkatnya, puncak kehidupan spiritual diperoleh dalam tashawuf. Dengan spritualitas manusia mendapat kesadaran illahiah tertinggi dalam menjalankan misi hidupnya. Tashawuf bukanlah wacana, tetapi merupakan tindakan nyata dan kongkrit yang keluar murni dari hati yang bersih dan jiwa yang suci. Tashawuf mendudukkan manusia sebagai makhluk terhormat, tashawuf menciptakan manusia memiliki rasa keindahan dalam hidup, rasa cinta, rasa damai, tentram, bahagia, dekat dengan Allah dan juga dekat dengan sesama makhluk Allah.8 Luasnya tashawuf hampir dalam seluruh episode peradaban Islam menandakan bahwa taswuf relevan dengan kebutuhan ummat. Menurut Hamka, tashawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman. Hamka juga sering memperkenalkan konsep neozuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proporsional merupakan kenistaan. Pendekatan tashawuf yang seperti ini sangat relevan dalam mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern, agar bisa 8 Aman Syaifuddin dan Abdul Qadir Isa, Tashawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa dan Raga, h. 30. 5 menormalkan pandangannya tentang relasi dirinya (manusia) dengan sesamanya, pekerjaan dan eksistensinya.9 Pada intinya tashawuf memberikan ajaran penting yang perlu untuk dikaji oleh seluruh ummat muslim, khususnya muslim Indonesia yang telah dicontohkan oleh Buya Hamka sebagai seorang reformis Islam, karena tashawuf tidak hanya memperhatikan aspek hati dan jiwa. Namun, tashawuf telah merumuskan metode praktis yang dapat mengantarkan seorang muslim ke tingkat kesempurnaan iman dan akhlak, dan dapat mengubah diri seseorang dari kepribadian yang sesat dan menyimpang menuju kepribadian yang lurus, ideal dan sempurna. Dan perubahan itu mencakup aspek pelurusan iman, ibadah yang ikhlas, muamalah yang baik dan akhlak yang terpuji.10 Untuk itu penting kita menggali lebih dalam tentang tashawuf, karena mungkin saja terjadinya beberapa penyimpangan dan penyesatan dalam ajaranajarannya. KH. Hasyim Asy‟ari yang selanjutnya akan ditulis Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya (Risalah ahl al-sunnah wa al-jamā„ah) mengatakan, terdapat beberapa penyimpangan konsep tashawuf dalam ajarannya. Seperti yang dilakukan oleh kelompok Ibāḥiyūn, mereka (kelompok) telah menganggap gugurnya kewajiban syariat untuk maqām tertentu dalam golongan kaum sufi yang mereka anggap telah mencapai puncaknya Mahabbah. Mereka (menganggap) telah bersih hatinya dari sifat ghaflah (lalai).11 Penganut thariqah sufi dan para sufi tetaplah wajib menjalankan syariat, dimanapun, 9 Husnul Khotimah, Tashawuf Sebagai Metode Terapi Krisis Manusia Modern Menurut Pemikiran Hamka (UIN Jakarta: Skripsi, 2009.), h. 6. 10 Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tashawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 19. 11 Ngabdurrahman, Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah (Jakarta: LTM PBNU dan Pesantren Ciganjur, 2011), h. 18 6 dalam keadaan apapun. Hasyim Asy‟ari menolak jika kewajiban syariat nabi Muhammad itu hanya berlaku untuk orang tertentu dan terbatas pada waktu. Orang yang meyakini gugurnya syariat pada orang tertentu dikatakan sebagai orang yang mendustakan dan merendahkan al-Qur‟an, kafir hukumnya. “Sayyid Muhammad dalam Syarah Ihya mengatakan, bahwa keyakinan seperti ini adalah kufur, sindiq dan sesat”.12 Hasyim Asy‟ari dalam kitab al-Darar dan al-Tibyān juga menjelaskan, bahwa terjadinya penyimpangan ajaran sufi itu merupakan penyimpangan para sufi itu sendiri yang terlalu mengagungkan para sesepuh dan guru-guru mereka.13 Ia juga berpendapat bahwa seorang manusia suci tidak akan memamerkan diri sendiri meskipun dipaksa membakar mereka, barang siapa yang berkeinginan menjadi figur yang popular tidak dapat disebut sebagai anggota kelompok sufi manapun.14 Demikian uraian singkat dari pemikiran Hasyim Asy‟ari dalam bidang tashawuf. Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh yang hebat, dibuktikan dari hasil pemikiran beliau dengan adanya lembaga pendidikan yang didirikan oleh NU yang tumbuh pesat di Indonesia, yang mana NU merupakan gagasan beliau di masa hidupnya, beliau merupakan seorang ulama besar, pendidik dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang sangat memperjuangkan asasasas ke islaman dengan sistem kesalafannya. Dari sekian pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap konsep tashawuf Hasyim Asy‟ari. Karena 12 Ngabdurrahman, Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah, h. 18 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Jogjakarta: LKIS, 2000), h. 51 14 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 58 13 7 menurut penulis, pemikiran tashawuf dari tokoh tersebut sangatlah penting diteliti secara akademis dan guna menjawab persoalan yang terjadi di masa sekarang. Maka dari itu penulis meneliti pemikiran beliau sebagai materi bahasan skripsi dengan judul “KONSEP TAṢAWUF KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹṢID”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka penulisan ini dibatasi pada pemikiran Hasyim Asy‟ari yang terfokuskan pada konsep tashawuf yang terdapat dalam karya beliau yaitu; Risālah Jāmi„ah alMaqāshid. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Konsep Tashawuf KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Risālah Jāmi‘ah alMaqāṣid ”?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk menggali lebih dalam tentang konsep tashawuf Hasyim Asy‟ari, sehingga nantinya para pembaca tahu lebih dalam tentang tashawuf dan lebih mudah dalam mengamalkan. Tujuan lain, agar penulis dan para pembaca tahu lebih mendalam tentang ilmu tashawuf dan sejauh mana tashawuf itu relevan dengan kondisi kehidupan dimasa sekarang, mengingat berkembangnya ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi semakin pesat. Secara teoritis adanya hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan bagi peneliti pribadi, juga bagi para pengembara dunia filsafat dan perkembangan pemikiran, khususnya bagi 8 mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga timbul minat yang besar untuk filsafat dan perkembangan pemikiran secara mendalam dan mengkaji membangun keahlian di bidang tersebut. Adapun manfaat secara praktis adalah: Pertama, bagi semua pihak di bidang Akademik, khususnya yang menangani Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, diharapkan dengan hadirnya penelitian ini, dapat mengetahui kebiasaan dan kemampuan para mahasiswa dalam meneliti dan menganalisa sesuatu yang dianggap sebagai masalah, sehingga bisa dijadikan sebagai bahan untuk pembenahan-pembenahan kurikulum kedepannya. Kedua, bagi pihak Pengurus Perpustakaan, hasil dari penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk menciptakan lingkungan atau kondisi yang nyaman, tenang, aktif, dan kreatif bagi mahasiswa agar mereka mempunyai minat yang besar dalam hal membaca, meneliti, menganalisa, dan lainnya, sehingga kualitas mahasiswa bisa meningkat. Ketiga, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang betapa pentingnya kebiasaan membaca, meneliti dan manganalisa suatu masalah dalam segala hal, yang selanjutnya dikemas dalam sebuah karya tulis. D. Tinjauan Pustaka Hasyim Asy‟ari sebagai seorang Ulama besar di Indonesia beliau juga merupakan seorang pendiri NU yang produktif dalam menghasilkan karya tulis diberbagi bidang ke-ilmuan islam. Sebagaimana tampak dalam karya- 9 karyanya yang meliputi bidang pendidikan, teologi, fiqh, tashawuf dan sebagainya. Hal ini menjadikan daya tarik tersendiri bagi para peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang hasil pemikiran beliau. Berikut beberapa hasil penelitian atas pemikiran beliau yang pernah dilakukan: 1. Perspektif Iman dan Eskatologi Menurut K.H. Hasyim Asy‟ari, karya Muhammad Rusli, jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 2008. Secara garis besar peneliti membicarakan tentang pandangan teologi K.H. Hasyim Asy‟ari. 2. Pandangan K.H. Muhammad Hasyim Asy‟ari Tentang Taqlid Dalam Fiqih, karya Entus Hilman Mutaqin, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 2009. Dalam penelitian ini berbicara tentang Hasyim Asy‟ari, tetapi tentang persoaln hukum fiqh. 3. Ajaran Kebangunan Ulama, karya Latiful Khuluq, LKSI Yogyakarta pada tahun 2000. Penelitian ini berbicara tentang biografi K.H. Hasyim Asy‟ari. Demikian skripsi dan buku yang penulis temukan di perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas tentang Hasyim Asy‟ari. Jika dalam kedua skripsi dan buku tersebut membahas tentang Hasyim Asy‟ari dari segi Teologi, Hukum Fiqh dan Biografinya maka lain halnya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengungkap tentang konsep tashawuf Hasyim Asy‟ari, yang menurutnya di dalam tashawuf telah terjadi 10 banyak penyimpangan pada golongan tententu yang disebabkan oleh kaum sufi sendiri yang terlalu mengagungkan para gurunya. Melihat zaman sekarag banyak bermunculan aliran-aliran toriqah dan ajaran-ajaran tentang sufistik baik yang disampaikan secara langsung atau yang melalui media cetak. Dalam perkembangan zaman yang sudah memasuki zaman modern dengan berkembangnya ilmu pengetahun dan ilmu teknologi yang semakin canggih maka sangat mungkin terjadinya penyimpangan ajaran-ajaran sufistik. Mungkinkah tashawuf bisa menjawab semua tantangan tersebut dalam memberikan jawaban atas dasar-dasar keagamaan. E. Metodologi Penelitian Dalam sebuah penelitian sudah barang tentu menggunakan sebuah metode-metode khusus untuk melakukan sebuah penelitian, tidak heran jika dalam suatu penelitian metodologi merupakan suatu yang sangat penting. Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode deskriptif dan analisis. Penulis dalam penelitian ini berupaya mendeskripsikan konsep tashawuf Hasyim Asy‟ari dan berupaya menganalisis ajaran-ajaran tashawuf Hasyim Asy‟ari. 1. Sumber Data Penelitian a. Data primer Data primer dalam penelitian ini akan diambil dari karya Hasyim Asy‟ari yang membahas tentang tashawuf, yaitu, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid. 11 b. Data Skunder Data sekunder terdiri dari beberapa Kitab dan buku Hasyim Asy‟ari yang di dalamnya berbicara tentang tashawuf. Beberapa buku dan kitab lainnya juga akan dijadikan bahan rujukan atau referensi dalam penelitian ini, selama buku tersebut dianggap relevan dan berkaitan dengan pembahasan. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini, dengan cara melakukan penelitian pustaka (Library Research), kemudian mengambil beberapa bab dan halaman tertentu yang berkaitan dengan tashawuf, baik dalam data primer maupun sekunder. Dengan demikian, pembahasan akan lebih fokus dan tidak melebar ke mana-mana. Untuk bisa menjawab beberapa masalah penelitian yang telah disebutkan. Adapun teknis penulisan skripsi, penulis menggunakan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh, CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Adapun transliterasi Arab merujuk pada Jurnal Ilmu Usuluddin yang diterbitkan oleh Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin (HIPIUS), tahun terbitan 2011. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini biar mudah dan runtut dalam penulisan, kami sertakan sistematika penulisan. Skripsi ini terdiri dari lima bab dan 12 masing-masing bab terdapat sub-sub bab, adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikiut: Bab pertama adalah pendahulan. Dalam pendahuluan terdapat latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini untuk memberikan gambaran dari keseluruhan permasalahan yang akan dibahas secara rinci dan detil. Hal ini penulis anggap begitu penting untuk di letakan pada bab pertama, karena sebagai sebuah pengantar dan juga menceritakan asal-usul permaslahan yang terjadi yang kemudian dibahas pada bab-bab selanjutnya. Bab kedua, menjelaskan tentang biografi Hasyim Asy‟ari yang meliputi latar belakang keluarga, latar belakang sosial budaya, latar belakang pendididkan dan karya-karyanya. Pembahasan ini sengaja di letakkan di bab ke dua oleh penulis, agar para pembaca bisa mengenal terlebih dahulu sosok dari seorang Hasyim Asy‟ari yang dikenal sebagai ulama berkerismatik tinggi hingga akhirnya digelari sang Maha Guru “Hadratus Syaikh”, pun juga sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Untuk itu penulis mengajak para pembaca terlebih dahulu mengenal sosok Hasyim Asy‟ari, dengan begitu nantinya bisa mengenal lebih jauh dan cinta terhadap ajaranajaran yang diajarkannya. Seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang. Bab ketiga, menjelaskan tentang tashawuf yang meliputi,pengertian dan tujuan tashawuf, sumber ajaran tashawuf, maqāmat dan ahwāl, dan tarekat. Pembahasan pada bab ini memberikan gambaran tentang asal-usul Tashawuf atau Intisari dalam tashawuf, untuk mengenal dan memahami tashawuf terlebih 13 dahulu sebelum masuk pada pembahsan mengenai konsep dari pada tashawuf Hasyim Asy‟ari. Bab keempat, menjelaskan tentang Tashawuf KH. Hasyim Asy‟ari meliputi, penisbahan kitab, corak pemikiran, jalan menuju Allah, dan tarekat. Penjelasan tersebut penulis ambil dalam kitab karya Hasyim Asy‟ari Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid. Sengaja bab IV membahas tentang tashawuf Hasyim Asy‟ari, karena merupakan poin pokok pembehasan daripada bab-bab sebelumnya yang telah disebutkat dalam latar belarang. Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian ini, yaitu berupa jawaban dari rumusan masalah yang telah penulis tetapkan di atas, serta saran-saran bagi pembaca. 14 BAB II BIOGRAFI HASYIM ASY’ARI A. Latar Belakang Keluarga Muhammad Hasyim merupakan nama yang diberikan oleh orang tuanya, beliau lahir dari keluarga elit kiai Jawa pada hari Selasa Kliwon, tanggal 24 Dzul Qa‟dah 1287 H/ 14 Februari 1871 M, di dalam pondok Kiai Usman di desa Gendang15. Dalam sumber lain desa Gendang terletak tidak jauh dari kediaman Kiai Asy‟ari, sekitar dua kilometer sebelah Timur Jombang, dan desa Gedang juga merupakan salah satu dusun yang menjadi wilayah administratif desa Tambakrejo kecamatan Jombang.16 Hasyim Asy‟ari sejak dikandung selama empat belas bulan lamanya, terdapat tanda-tanda bahwa beliau kelak akan menjadi orang yang luar biasa, pasalnya Nyai Halimah ibundanya ketika mengandung menunjukan tandatanda yang luar biasa, beliau pernah bermimpi perutnya kejatuhan bulan purnama. Mungkin karena Nyai Halimah jauh sebelumnya melakukan tirakat batin dengan cara berpuasa tiga tahun berturut-turut. Satu tahun pertama diniatkan untuk dirinya sendiri, satu tahun lagi untuk anak cucunya dan satu tahun lagi untuk seluruh santrinya.17 Ayahnya adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang. Sementara kakeknya Kiai Usman18 adalah Kiai terkenal dan 15 Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim (Bandung: Mizan, 2011). Cet. I, h. 70 16 Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah (Surabaya: Khalista, 2010). Cet. I, h.69 17 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati (Surabaya: Pustaka Wrisan Islam, 2000). Cet. I, h. 12 18 Kiai Usman, dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian santri-santri Jawa pada abad-19. Lihat dalam Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, h. 69 14 15 pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada abad ke-19. Moyangnya Kiai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambak Beras, Jombang.19 Ayah Hasyim Asy‟ari sebelumnya merupakan santri terpandai di Pesantren Kiai Usman. Ilmu dan aklaq Asy‟ari (ayah Hasyim Asy‟ari) membuat Kiai Usman kagum hingga akhirnya Asy‟ari diambil menantu oleh kiai Usman untuk dinikahkan20 dengan putrinya yang bernama Halimah. Ibu Hasyim Asy‟ari, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara laki-laki dan dua perempuan, yaitu Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah Hasyim dipercaya keturunan tingkir, beliau dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercaya bahwa mereka adalah keturunn raja muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy‟ari selain dipercayai keturunan tingkir juga dipercayai sebagai katurunan dari keluarga bangsawan.21 Berikut silsilah Hasyim Asy‟ari dari jalur Ibunya; Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Soihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Kerebet) bin Prabu Brawijaya.22 Sedangkan dari garis ayahnya; Muhammad Hasyim bin Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan naman Pangeran Benawa bin Abdurrahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka 19 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Jogjakarta: LKIS, 2000). h. 16 20 Perkawinan merupakan hal yang biasa dilakukan pesantren untuk menjalin ikatan antar kiai. 21 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h.17 22 Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Perpengaruh di Indonesia (Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara, 2003). h. 1 16 Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aizi bin Abdul Fatah bin Maulana Ishak bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.23 Jika kita melihat silsilah di atas maka jelaslah bahwa Hasyim Asy‟ari mewakili dua aliran sekaligus, dari keturunan elit agama (Islam) dan bagsawan Jawa. Dari sisi ayah, mata rantainya bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa ( Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibunya, Hasyim Asy‟ari keturunan langsung raja Brawijaya (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bengsawan Hindu Jawa.24 Seiring berputarnya waktu, masa demi masa telah berganti yang lalu telah terlewati, sehingga terjadilah beberapa perbedaan pendapat yang didasarkan atas ketidaksamaan data yang ditemukan. Maka terdapat kerancuan dalam silsilah beliau dari sisi ayahnya, lantaran kurangnya data mengenai ayah Asy‟ari, sumber lain mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdul Wahid. Dahulu beliau adalah komandan pasukan perang Diponegoro di bawah Panglima Besar Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Beliau dikenal sebagai panglima Gareng, namun setelah pangeran Diponegoro ditangkap, beliau melarikan diri guna menghindar dari kejaran belanda dan menyamar dengan cara berganti-ganti nama, maka itulah sebabnya yang menyulitkan untuk menemukan nama asli maupun aliasnya, termasuk asal usulnya. Maka penulis mengambil kesimpulkan bahwa silsilah Hasyim Asy‟ari dari sisi ayahnya memiliki dua versi, versi pertama bersambung kepada 23 Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h.67 24 Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah. h. 68 17 Maulana Ishaq (Sunan Giri) seperti yang telah disebutkan oleh penulis di atas. Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa Hasyim Asy‟ari keturunan dari menantu Sunan Gunungjati yang bernama Syyid Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Basyaiban. Beliau berasal dari Hadramaut Yaman, namun setelah tinggal di Jawa digelari Sunan Tajuddin. Berikut silsilahnya; Muhammad Hasyim bin Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdurrahman yang dikenal dengan Pangeran Sambo bin Abdullah yang dikenal dengan Pangeran Benowo binti R.A. Putri Khodijah, kemudian bersambung kepada menantu Putri Khodijah yaitu, Sayyid Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Basyaiban alias Sunan Tajuddin.25 Hasyim Asy‟ari merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara yaitu; Nafi‟ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Makmun, Nahrawi dan Adnan. Beliau dibesarkan di lingkungan pesantren, sampai pada usianya yang ke 6 tahun, beliau diasuh oleh orang tua dan kakenya di pesantren Gedang. Jadi sudah tidak diragukan lagi suasana lingkungan pesantren akan mempengaruhi karakter Hasyim Asy‟ari dimasa kecilnya, tempat dimana para santri belajar berbagai macam ilmu keagamaan dan mengamalkan ajaran-ajaran Agama Islam.26 B. Latar Belakang Sosial Budaya Hasim Asy‟ari kecil tinggal bersama ayah dan ibunya di pesantren kakeknya, kiai Usman. Beliau mendapat asuhan langsung dari ayah ibu beserta kakek-neneknya di Gedang. Dengan penuh kasih sayang mereka mengajarkan kitab al-Qur‟an dan akhlaq luhur serta menanamkan jiwa kepemimpinan dan 25 26 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 9-11 Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 15 18 makna perjuangan. Namun menjelang usianya yang keenam tahun Hasyim Asy‟ari diajak ayahnya pindah ke Desa Keras, sekitar sepuluh kilo miter selatan kota Jombang, di sanalah Hasyim Asy‟ari tinggal dan besar bersama ayah dan ibunya. Melalui didikan keluarganya Hasyim kecil meresapi nilainilai sosial budaya pondok pesantren, dan menghayati kehidupan santri yang penuh sederhana, kebersamaan tentunya juga semangat untuk mengejar citacita luhur. Semua itu memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan watak beliau dikemudian hari, dan disana pula beliau pertama kali mengenal, meresapi nilai-nilai budaya dan mengikuti perkembangan sosial pondok Pesantren.27 Kehidupan masa kecil Hasim Asy‟ari tidak sama seperti kehidupan anak-anak di masa sekarang, pasalnya Hasyim Asy‟ari hidup di dalam lingkungan pesantren. Ada yang menarik dengan masa kecilnya, yaitu ketika beliau bermain dengan anak-anak di lingkungannya ia selalu jadi penengah di saat terjadi permasalahan di antara teman-temannya. Hasyim Asy‟ari selalu membuat temannya senang, pasalnya sikap Hasyim Asy‟ari yang suka menolong dan menjaga temannya di saat anak-anak lain datang hendak mencampuri kawan-kawannya. Jika melihat ada temannya yang bermain curang, maka beliau tidak segan-segan untuk menegur dan membela yang perlu untuk dibelanya.28 Tampak pengaruh lingkungan dan ajaran orang tua beliau memberikan hasil positif yang diaplikasikan dalam perilaku sehari-hari, seperti tindakan kebijkasanaan yang digambarkan pada saat beliau bermain bersama teman27 28 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 12 Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim, h. 71 19 temannya. Terbukti juga bahwasanya Budaya Pesantren memberikan pengaruh besar terhadap beliau. Di saat beliau masih usia 13 tahun sudah berani dan mampu menggantikan ayahnya untuk mengajar para santri-santrinya.29 Hasyim Asy‟ari sejak lahir hingga diusianya yang ke-21 beliau hidup dalam lingkungan sosial budaya pesantren, beliau terakhir mondok pada usia yang ke-21 tahun hingga pada akhinya beliau dinikahkan dengan putri sang kiyai (Kiai Ya‟qub) pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Dan setelah itu Hasyim Asy‟ari bersama istri tercinta tinggal di Mekkah. Selebihnya sosial budaya Hasyim Asy‟ari banyak dipengaruhi oleh perkembangan sosial budaya Arab, karena sejak usia 21 tahun beliau menetap di Mekkah dalam rangka belajar selama tujuh tahun lamanya. Setelah itu pada akhirnya Hasyim Asy‟ari kembali lagi ke lingkungan pondok pesantren, beliau pulang dari mekkah Pada tahun 1315 H/1899 M. C. Latar Belakang Pendidikan Hasyim Asy‟ari dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (Islam), bahkan beliau termasuk santri yang sangat serius menerapkan Falsafah Jawa, luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan cara berkelana),30 kita ketahui bersama bahwa Hasyim Asy‟ari sejak kecil dibimbing langsung oleh ayah dan ibunya sampai usia 15 tahun. Beliau sangat begitu tampak cerdas dan tekun dalam mempelajari beberapa pelajaran yang diajarkan oleh ayahnya, terbukti setiap pelajaran yang diajarkan oleh ayahnya, Hasim Asy‟ari nampak begitu sangat memahaminya. Ada banyak pelajaran yang beliau dapatkan, meliputi ajaran agama Islam antra lain; ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan hadits. 29 Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h.16 Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h.73 30 20 Namun Hasyim Asy‟ari tidak merasa cukup hanya sebatas belajar kepada orang tuanya saja, beliau juga memutuskan diri untuk berpetualangan ke beberapa pondok Pesantren yang tersebar di pulau Jawa, berikut nama-nama pondok pesantren yang pernah beliau singgahi, antara lain, Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis, Pesantren Demangan (Bangkalan, Madura). Hasyim Asy‟ari sempat belajar tatabahasa dan sastra arab, fiqh, dan tashawuf kepada Kiai Khalil Bangkalan selama tiga tahun, sumber lain mengatakan bahwasanya beliau tidak lama mondok di Pesantren Kiai Kholil Bangkalan, hal ini disebabkan karena sang guru sudah mengaggap Hasyim Asy‟ari sudah cukup pintar dan mampu untuk mengajarkan ilmu yang telah didapatkannya kepada orang lain, hingga akhirnya Hasyim Asy‟ari diperintahkan oleh sang guru untuk segera pulang ke rumah guna mengajarkan ilmu yang telah beliau proleh semasa beliau nyantri.31 Hasyim Asy‟ari sendiri belum merasakan kepuasan dan tak berbangga diri, akan tetapi beliau melanjutan pencarian ilmu yang ingin beliau pelajari, Hasyim Asy‟ari sungguh merupakan pemuda yang sangat haus akan ilmu pengetahuan agama pada saat itu, hingga akhirnya pada tahun 1891 beliau memutuskan diri untuk pindah ke pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), beliau di pondok itu memfokuskan diri belajar ilmu fiqh selama dua tahun di bawah asuhan Kiai Ya‟qub.32 Sumber lain mengatakan, di bawah asuhan Kiai Ya‟qub selain fokus belajar ilmu fiqh, Hasyim Asy‟ari juga fokus di bidang 31 32 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 13 Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h.23 21 ilmu tauhid, adab, tafsir dan ilmu hadist.33 Jadi wajar jika akhirnya beliau lebih dikenal sangat alim dalam bidang Ilmu Hadist. Kiai Ya‟qub dengan Hasyim Asy‟ari pada akhirnya memiliki ikatan kekeluargaan, bukan hanya sebatas hubungan seorang guru dan murid, karena Kiai Ya‟qub mengangkat Hasyim Asy‟ari sebagai menantunya dinikahkan dengan putrinya yang bernama Khadijah. Hal itu bermula karena Kiai Ya‟qub sangat kagum atas kecerdasan yang dimiliki oleh Hasyim Asy‟ari. Disebutkan dalam sumber lain bahwa nama putri Kiai Ya‟qub yang dinikahkan dengan Hasyim Asy‟ari bernama Nafisah dan dilangsungkan pernikahan pada tahun 1892. Pada saat itu Hasyim Asy‟ari berusia 21 tahun.34 Setelah menikah, Hasyim Asy‟ari diajak pergi haji ke Mekkah oleh martuanya. Namun seusai menunaikan ibadah haji Kiai Ya‟qub memperintahkan Hasyim Asy‟ari bersama istrinya untuk tinggal di Mekkah guna menuntut ilmu.35 Sekitar tujuh bulan lamanya mereka tinggal di Mekkah, lahirlah anak pertama yang diberi nama Abdullah, namun tidak lama kemudian istrinya meninggal dunia. Empat bulan kemudian anaknya juga meninggal. Akhirnya Hasyim Asy‟ari pulang ke tanah air, kemudian beliau berangkat lagi ke Mekkah bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Namun setelah beberapa lama mukim di Mekkah, Anis meninggal dunia. Meski adiknya meninggal, semangat menuntut ilmu agama Hasyim Asy‟ari sedikitpun tidak berkurang, pantang surut untuk meraih cita-citanya.36 33 Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h.75 34 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h.13 35 Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Perpengaruh di Indonesia, h. 3 36 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 14 22 Selama beberapa tahun di Mekkah Hasyim Asy‟ari belajar ilmu kepada guru-guru terkenal yang juga berasal dari tanah Nusantara, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Mahfudz Termas. Dibawah asuhan Syeikh Mahfud Termas Hasyim Asy‟ari belajar ilmu Hadits dan mendapatkan ijazah untuk mengajar Sahih Bukhārī, serta beliau merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima sanad hadits dari 23 generasi sebelumnya.37 Hasyim Asy‟ari selain berguru kepada orang-orang Nusantara yang tinggal di Mekkah pada waktu itu, beliau juga berguru kepada beberapa tokoh Ulama besar Hijaz, seperti Syeikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawy, Syeikh Ibrahim Arabi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthar, Syeikh Sa‟id Yamany, Sayyid Husein al-Habsi, yang menjabat mufti hingga wafatnya, Sayyid Bakar Syatha, Syeikh Rahmatullah, Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Syeikh Shaleh Bafadlol dan Syeikh Sultan Hasyim Daghastani. 38 Hasyim Asy‟ari selain belajar ilmu agama, beliau juga sempat bergabung dengan komunitas solidaritas yang ada di Mekkah bersama para sahabat-sahabatnya, yang dibentuk atas dasar keprihatinannya terhadap penindasan kolonialisme Barat yang terjadi di Turki Usmani dan wilayahwilayah Islam di bawah naungannya pada saat itu. Maka pada suatu malam tepatnya di bulan suci Ramadhan, Hasyim Asy‟ari bersama kawan-kawannya berdirir di depan multazam dan bersumpah demi Allah, akan berjuang dan memperdalam ilmu dan agama demi ridha Allah tanpa mengharapkan harta dan 37 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 30. Syihab Asad, Hadlratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari Perintis Kemerdekaan Indonesia (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1994). Cet. I, h. 41 38 23 kedudukan. Ikrar suci itu dipegang teguh oleh beliau dan dilaksanakan sepenuh hati ketika beliau pulang ke Indonesia, terbukti atas keikut sertaan beliau dalam membela dan memperjuangkan kemerdekaan republik Indoneisa dari penjajahan Belanda, hingga akhirnya beliau mendirikan sebuah organisasi besar yang tetap kokoh hingga masa sekarang yang dikenal dengan NU (Nahdlatul Ulama). Dan hingga akhirnya beliau dikenal sebagai ulama besar dan pejuang kemerdekaan di tanah air Indonesia.39 Setelah tujuh tahun lamanya Hasyim Asy‟ari menetap di Mekkah belajar ilmu Agama di bawah bimbingan para guru, akhirnya pada tahun 1313 H/1899 M, Kiai Hasyim Asya‟ari memutuskan diri untuk pulang ke tanah air.40 Dikatakan bahwasanya pada tahun 1899 itu datanglah rombongan kiai Romli bersama keluar untuk menunaikan ibadah haji, ikut serta putri Kiai Romli yang bernama Khodijah, pada saat itu kemudian pertemuan Hasyim Asy‟ari dengan keluar Kiai Romli menemukan titik kebahagian bagi Hasyim Asy‟ari, pasalnya Hasyim Asy‟ari dinikahkan dengan putrinya yang bernama Khodijah oleh Kiai Romli. Usai berlangsungnya pernikahan, Kiai Romli dan Hasyim Asy‟ari sekeluarga pulang ketanah Indonesia. Untuk sementra, Hasyim Asy‟ari bersama istri tercinta tinggal di rumah martuanya di Kediri, namun kemudin Hasyim Asy‟ari menetap di Desa Jombang tepatnya di Keras membantu mengajar di pondok pesantren yang di dirikan oleh ayahnya (Asy‟ari). sejak itulah Hasyim Asy‟ari mulai dikenal sebagai pemuda yang alim, hingga sapaan Kiai Hasyim pun melekat pada 39 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 15 Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h. 85 40 24 beliau41. Namun pada saat itu Hasyim Asy‟ari kurang merasa leluasa guna mengembangkan ilmu yang beliau pelajari selama di Mekkah. Pada tahun yang sama, 1899 akhirnya Hasyim Asy‟ari memutuskan diri untuk membangun sebuah Pondok Pesantren yang diberi nama Tebuireng, di Pondok Pesantren itulah Hasyim Asy‟ari menjalankan aktifitas, hingga akhirnya beliau meninggal pada malam tanggal, 7 bulan Ramdhan Tahun 1366 H/25 Juli 1947 M., tepat pada pukul 03:45 dini hari42, dalam usianya yang mendekati 79 tahun. Meninggalnya beliau memberikan goncangan yang dahsyat di seluruh Indonesia bagi golongan Ulama dan para petinggi Negara, dan membuat hati para pejuang terpukul atas kepergianya, bahkan Panglima Besar Angkatan Perang, Letnan Jendral Sudirman43 juga merasakan kesedihan yang sangat dalam, tertuangkan dalam suratnya sebagai berikut; “inna lillahi wa inna ilaihi roji‟un. Atas kemangkatan kiai Hasyim Asy‟ari, kami beserta anggota angkatan perang, menyatakan rasa duka cita, diiringi doa muda-mudahan almarhum bapak Kiai diterima oleh Allah subhanahu wa ta‟ala dan diberikan tempat yang sebaikbaiknya. Amin. Muda-mudahan segala pelajaran amanat dan amal Kiai di masa hidupnya, dapat menjadi jeriah yang diteruskan oleh rakyat dan bangsa Indonesia seterusnya, sebagai bekal perjuangan mempertahankan negara pada dewasa ini. Amin.” Pasalnya pada saat itu Indonesia lagi gencar-gencarnya melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan laskar-laskar yang beliau bentuk sedang dalam pertempuran melawan Belanda.44 Hasyim Asy‟ari di kebumikan di lingkungan pondok pesantren yang beliau dirikan, tepatnya di belakang masjid pondok pesantren Tebuireng, Jombang. 41 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h.15 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 34-35 43 Jenderal sudirman (1945-1950) merupakan pemimpin militer selama Revolusi Indonesia (1945-1949). Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Jogjakarta: LKIS, 2000). h. 25 44 Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 37 42 25 D. Sanad Tashawuf Hasyim Asy’ari Pada dasarnya setiap orang yang belajar ilmu pengetahuan pasti mempunyai sanad atau ikatan mata rantai dengan guru-gurunya. Hasyim Asy‟ari bukan hanya belajar Hadits kepada Syeikh Mahfud, namun beliau juga mendapat ajaran tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.45 Dalam sumber lain, yakni dalam kitab Kifāyatu al-Mustafīd limā „Alā min al-Asānīdi Syeikh Mahfud Termas sendiri, meskipun beliau mengajarkan tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah ternyata beliau merupkana penganut tarekat Syādziliyah. Hal ini dapat dibuktikan dengan Hizib al-Bahr yang beliau dapatkan dari gurunya yakni Sayyid Abi Bakar Syathā al-Makkī yang bersambung hingga Imam Abi al-Hasan al-Syādzilī. Adapun redaksi teksnya sebagai berikut: ُ١٘ ٗٓ ِذّض ذٓ ئذغج،)ٟ ذىغ كِح جٌّىٟض أذ١ع (جٌـٛشٕح جٌّظو١ فّٓ ك:أِح دؼخ جٌرذغٚ ،ٟ ٗٓ ِذّض ذٓ ٗرض جهلل جٌّغغذ،ٞٓ جٌمٕض٘حع٠ٖ جٌض١ ٗٓ عف،ٞ ٗٓ هحٌخ جٌرشحع،غ١ٌ سٟأذ ،)ٖٔٓٔ ف (شٚ ٗٓ ٗرض جٌغؤ،ٍٟ ٗٓ ِذّض ذٓ جٌ٘الء جٌرحذ،ٞٗٓ ٗرض جهلل ذٓ ؿحٌُ جٌروغ ٗٓ جٌ٘ؼ ٗرض،ٞح ذٓ ِذّض جألٔوحع٠ٓ ػوغ٠ ٗٓ جٌؼ،ِٟ١ٗٓ جٌٕجُ ِذّض ذٓ أدّض جٌغ ٟ جٌـرىٟ ذٓ ٗرض جٌىحفٍٟٗ ٟجٌضٖ جٌطمٚ ٓٗ ،ٍٝٗ ٓ٘حخ ذٌٛ ٗٓ ضحج ٗرض ج،ُ ذٓ جٌفغجش١جٌغد (شٟ جٌ٘رحؽ أدّض ذٓ ّٗغ جٌّغؿٟ ٗٓ أذ، ٗٓ جٌطحج أدّض ذٓ ِٗحء جهلل،)6٘ٙ (ش (شٌٟ ذٓ ٗرض جهلل ذٓ ٗرض جٌجرحع جٌلحطٍٟٗ ٓ جٌذـٟ أذٞض١ ٗٓ جٌّإٌف جٌمِد ؿ،) ٙ8ٙ ٗٙ .)ٙ٘ٙ Kendati Hasyim Asy‟ari sudah belajar tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah sebagaimana disebutkan di atas, beliau tidak pernah menyatakan bahwa beliau menganut aliran tarekat manapun. Sedangkan untuk pengamalannya beliau lebih cenderung kepada tarekat Syādzilyah. Bahkan dengan Syeikh Mahfud Tarmes terdapat benang merah yang menghubungkan guru dan murid ini dalam tarekatnya. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kitab Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah. Dalam kitab itu disebutkan bahwa 45 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 30. Abi al-Faidl Muhammad Yāsīn bin „Isā al-Fādānī al-Makkī, Kifāyatu al-Mustafīd limā „Alā min al-Asānīdi, (Bairut: Dār al-Basyāir al-Islāmiyyah, 2008), h. 35-36. 46 26 untuk bidang tashawuf beliau bermadzhab pada Imam al-Ghazālī dan Imam Abī al-Hasan al-Syādzilī.47 Terbukti dalam tulisan Hasyim Asy‟ari berikut: ِٜطذضٚ ،جٌّظ٘دٚ عجء٢ جٟس ِطفم١ٌ جألػِحْ جٌـحٌفس جٌشحٟس ف٠ٚ جأللِحع جٌجحٍّٛلض وحْ ِـ ٟفٚ ،ؾ٠ؾ ِظ٘د جإلِحَ ِذّض ذٓ ئصع١ جٌّظ٘د جٌٕفٍٝٗ ٗ جٌفمُٟ فٍٙ فى،جٌّلغخٚ جٌّأسظ َ ِظ٘د جإلِحٍٝٗ فٛ جٌطوٟفٚ ،ٞ جٌذـٓ جألك٘غٟ ِظ٘د جإلِحَ أذٍٝٗ ٓ٠ي جٌضٛأه .ٓ١ُّ٘ أجٕٙٗ جهللًٟ عٌٟ جٌذـٓ جٌلحطٟجإلِحَ أذٚ ٌٟجٌغؼج “umat Islam di tanah jawa pada zaman dahulu umumnya seragam dalam pendapat dan madzhab. Dalam bidang fiqh mereka semua bermadzhab al-Nafīs yakni madzhab Imam Muhammad Idris. Dalam bidang Ushūl al-Dīn bermadzhab Imam Abī al-Hasan al-Asy‟arī. Dan di bidang Tashawuf mereka bermadzhab Imam al-Ghazālī dan Imam Abī al-Hasan alSyādzilī. Tidak ada pernyataan yang jelas dalam teks tersebut yang menunjukan bahwa Hasyim Asy‟ari merupakan penganut tarekat Syādziliyah, tapi hanya mengatakan bahwa masyarakat jawa umumnya di bidang tashawuf bermadzhab pada Imam Abī al-Hasan al-Syādzilī, namun dalam bukunya yang lain Hasyim Asy‟ari menjadikan dasar tarekat Syādziliyah sebagai dasar tarekat tashawufnya. Sebagaimana redaksi yang tertera dalam kitab Risālah Jāmi‟ah al-Maqāshid, di mana redaksinya sama persis dengan dasar tarekat Syādziliyah yang tertera dalam kitab Jāmi‟ alUshūl fī al-Auliyā‟.48 Pada redaksi selanjutnya, masih dalam kitab Kifāyatu al-Mustafīd limā „Alā min al-Asānīdi disebutkan bahwa Hasyim Asy‟ari merupakan salah satu dari beberapa orang yang mendapat didikan khusus oleh Syeikh Mahfud Tarmes. Adapun redaksinya sebagai beriku: ،ٟ جٌفٍىٟٔٓ صدالْ جٌـّحعج٠ عجصٟ٘ح١جٖ جٌىٛ أس:ُِٕٙ ْٚغ١ضٖ سٍك وث٠ ٍٝٗ ضشغّجٚ ، وحضرٗ جٌشحمًّٟ جٌالؿ١ٍ سٟ٘ح١جٌىٚ ،)ٖٔ٘ٗ (شٟ جٌطغِـُٟح١ِ ِذّض صٟ٘ح١جٌىٚ ٟ٘ح١جٌىٚ ،ِٟٔرحٛ جٌجٞ جٌذحج ِذّض ٘حكُ ذٓ أك٘غٟ٘ح١جٌىٚ ،ٟٔحع جٌّمالٌٙ صٟ٘ح١جٌىٚ 47 Hasyim Asy‟ari, Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari. (Jombang: Maktabah al-Turāst al-Islāmī, 2007), h. 9. 48 Kitab ini dikarang oleh Syeik al-Nasik Dliyā‟u al-Dīn Ahmad Musthafā alKamsyakhānawī al-Naqsyabandī. 27 ٗرضٟ٘ح١جٌىٚ ٌٞٚح١ ذٟ٘ح١جْ جٌىٛجألسٚ ،ِٟٔرحٛٗ ذٓ ٗرض جٌجرحع جٌّـى١ِذّض فم ٔطحشٛ ٗرحؽ ذٟ٘ح١جٌىٚ ،ٟٔجٚ جٌفحؿغٞٚجٛٔ ٟ٘ح١جٌىٚ ،ّٟؼ جٌالؿ٠ّٓ جذٕح ٗرض جٌ٘ؼ١ٌّٙج ٗ9 .ٟ ثُ جٌّىٞٚ جٌـغذحٞٚضعجح١خ جٌـٛ٘م٠ َٓ ذ١ ٗرض جٌّذٟ٘ح١ جٌى،ٟٔٛجٌلغذ Dari pengkaderan khusus oleh Syeikh Mahfud seperti yang tertera pada teks di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa tarekat Syādziliyah juga telah diajarkan kepada Hasyim Asy‟ari, meskipun yang penulis ketahui tidak ada redaksi lansung yang menyatakan bahwa Syeikh Mahfud juga telah mengajarkan tarekat Syādziliyah sebagaimana ia mengijazahkan shahīh al-Buhārī kepada Hasyim Asy‟ari. E. Karya-karyanya Hasyim Asy‟ari merupakan sosok ulama besar, pejuang dan seorang yang berlatar belakang pendidik produktif, pasalnya beliau menghasilkan beberapa karya tulis dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa jawa. Bukan hanya sebatas menulis, beliau juga memiliki perpustakaan pribadi yang di dalamnya terdiri dari beberapa buku-buku ke-Islaman yang jarang bisa ditemukan di tempat lain, baik yang berbentuk cetak maupun naskah-naskah tulisan peninggalan dulu. Perpustakaan beliau terdiri dari beberapa karya kitab yang tertulis dalam beberapa bahasa, di antaranya; arab, indonesia, jawa, dan malaysia.50 Hasyim Asy‟ari merupakan figur yang sangat aktif dalam dunia penulisan, hal itu terbukti dengan karya-karya beliau yang patut kita ketahui dan sangat pantas untuk menjadi refrensi bacaan. Sebagaimana ulama identik dengan seorang cendekia cerdik yang mewariskan ilmu dan amal, begitu 49 Abi al-Faidl Muhammad Yāsīn bin „Isā al-Fādānī al-Makkī, Kifāyatu al-Mustafīd limā „Alā min al-Asānīdi, h. 42. 50 Syihab Asad, Hadlratus syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari Perintis Kemerdekaan Indonesia, h. 51 28 halnya dengan Hasyim Asy‟ari. Beliau pun mewariskan ilmu melalui karyakaryanya (kitab-kitab), dan mewariskan amal melalui pengabdiannya kepada umat. Karya beliau telah mampu memberikan karakter keberagaman yang khas ke-Indonesiaan, mampu beradaptasi dengan budaya dan tradisi lokal yang berkembang, khususnya tradisi jawa. Di samping itu karya Hasyim Asy‟ari juga menjadi sumber inspirasi bagi kalangan pesantren dalam sistem pendidikan.51 Berikut beberapa hasil karya Hasyim Asy‟ari yang tertuang dalam karya tulis; 1. Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim 2. Risālah ahl al-Sunnah wa al-Jamā„ah 3. Al-Tibyān 4. Al-Nūr al-Mubīn 5. Ziyādah al-Ta„līqāt 6. Tanbihāti al-Wājibāt 7. Dlau‟ al-Mishbāḥ 8. Awdlih al-Bayān 9. Irsyād al-Mu‟minīn 10. Al-Manāsik al-Shughrā 11. Jāmi„ah al-Maqāshid 12. Risālah Tusammā bi al-Jāsūs fī bayāni ahkām al-Naqūs 13. Risālah fī jawāzi al-Taqlīd 14. Al-Darar al-Muntatsirah 51 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari (Jakarta: Kompas, 2010), h.94 29 15. Tamyīz al-Haq min al-Bāthil 16. Risālah fī al-„Aqāid 17. Risālah fī al-Tashawwufi Di atas ini merupakan beberapa karya tulis Hasyim Asy‟ari yang didokumentasikan oleh cucunya, penulis mengambil dalam sebuah buku yang berjudul Kumpulan Kitab Karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy‟ari, buku ini dikumpulkan menjadi sebuah kumpulan karangan Hasyim Asy‟ari oleh K.H. Muhammad Ishomuddin Hadziq.52 Namun selain ke 17 karya di atas, masih ada sejumlah karya beliau yang berbentuk manuskrip dan belum diterbitkan. Antara lain sebagai berikut al-Risālat al-Jamā‟ah dan al-Risālat al-Tawhīdiyyah. 53 52 Hasyim Asy‟ari, Irsyād al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syeikh Hasyim Ays‟ari (Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007). 53 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, h.99 30 BAB III T ASHAWUF A. Pegertian Dan Tujuan Tashawuf Tashawuf merupakan ilmu yang dipelajari oleh setiap golongan agama, tidak hanya Islam yang mengenal tashawuf, akan tetapi agama-agama lain pun seperti Yudaisme dan Kristen juga mengena lnya. Tashawuf hadir di tengah masyarakat Yunani Kuno dalam Filsafat Phytagoras. Di kalangan bangsa Persia dalam Filsafat Mani dan Zoroaster, sedangkan di India mistisisme terkandung dalam ajaran Budhisme, Brahma dan kitab Weda.54 Dapat kita simpulkan bahwa tashawuf merupakan ilmu yang sangat pesat, begitu banyak yang menulis dan mendefinisikan, hal itu menunjukkan bahwa tashawuf merupakan ilmu yang sangat berkembang. Terdapat pula berbagai teori tentang pendefinisian asal usul tashawuf. Pegertian tashawuf sendiri meliputi secara etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah), penulis akan mengemukakan secara etimologi terlebih dahulu sebagai berikut; 1. Berasal dari kata ahl al-suffah ( )أً٘ جٌوفسorang-orang yang ikut pindah bersama Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, dalam keadaan miskin karena kehilangan harta dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan berbantal pelana. Pelana itulah yang disebut suffah. Sungguh miskin ahl-suffah namun berhati baik dan 54 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tashawuf Isam dan Akhlak, terj. Kamran As‟at Irsyady (Jakarta: Amzah, 2011), h.3 32 31 mulia, dan tidak mementingkan sifat keduniaan serta sungguh berhati baik dan mulia sifat-sifat kaum sufi.55 2. Ada juga teori yang mengatakan bahwa tashawuf berasal dari kata kota sophos yang berarti hikmah, dan kata tersebut berasal dari bahasa yunani. Kalau kita amati memang ada hubungan antara orang sufi dan kata hikmah, karena kaum sufi membahas persoalan berdasarkan pembahasan yang falsafati. Tetap teori ini ada yang meragukan sebab haruf “s” pada kata sophos jika ditransliterasikan ke dalam bahasa arab menjadi ؽbukan م, jika demikian harusnya sufi ditulis dengan kata ٝفٛ ؿbukan ٝفٛه.56 Ibrahim Basyuni juga berpendapat, bahwasanya ulasan kata tersebut kurang pas, karena pencantuman huruf pada awal kalimat tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Menisbahkan pada lafadl فٛ جٌوyang artinya wol kasar, memang kelihatan adanya hubungan gaya hidup kaum zuhud yang tidak suka kesenangan duniawi, lebih memilih tekun beribadah kepada Allah. Karena wol merupakan pakaian para nabi, simbol para wali dan sufi57 3. Al-Qusyairi mengatakan bahwa asal usul kata tashawuf adalah kata shafwah yang memiliki arti orang pilihan. 4. Al-Shuffah ()جٌوفس ٍُؿٚ ٗ١ٍٗ جهللٍٝ هٟض جٌٕرٙٗ ٟح فٙ١ٍٗ ّْٛ٘جط٠ ْٛ وحْ جٌّطـىٟ جٌطٟ٘ جٌوفس 55 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 57 56 Rusli Ris‟an, Tashawuf dan Tarekat (Jakarta: Raja Wali, 2013), h.5; Lihat juga Harun Nasution, h. 57 57 Institut Agama Islam Negeri, Pengantar Ilmu Tashawuf, (Jakarta: tampa nama penerbit dan tahun cetak), h. 10 32 “ada sekelompok orang yang melakukan ibadah di serambi-serambi masjid pada masa Nabi Muhammad S.A.W”.58 Al-shuffah juga disebutkan sebagai generasi pertama para sufi, mereka melakukan ibadah penuh keikhlasan kepada Allah sehingga mereka menjadi teladan utama bagi generasi-generasi sufi selanjutnya.59 5. Ada juga yang mengatakan tashawuf berasal dari kata al-Shāfa‟ ()جٌوفحء ٟفٛ عذٗ فوٝ ِٓ هحفٌٝح ٔـرس ئٙٔئ “kata al-Shāfa‟ dinisbatkan kepada seseorang yang mensucikan Tuhannya, kemudian disebut seorang sufi”.60 Maksudnya yaitu, seorang sufi terus-menerus melakukan upaya untuk selalu dekat kepada Allah dengan cara mensucikan diri dengan segala bentuk Tasyabbuh atau Imtitsāl yang diwujudkan melalui ibadah-ibadah yang di lakukan atau dengan cara lain untuk membersihkan batinnya. 6. Menurut Dzunnun al-Mishrī, bahwa kata tashawuf berasal dari kata Shafwiyah (س٠ٛ )هفdiambil dari kata al-Shāfa‟ ()جٌوفحء, dikatakan bahwasanya para sufi melakukan amalan secara tersembunyi dan merahasiakannya, sehingga tidak timbul perasaan untuk disanjung atau menghindari rasa Riya‟ (rasa ingin disanjung orang lain), supaya amalan yang dilakukan benar-benar 58 Muhammad Ghalab, al-Tashawuf al-Muqāran (Al-Qahirah: Maktabah Nahdhah Mesir, 1957), h.26 59 Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tashawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta: Qisthi Press, 2014),h.7 60 Muhammad Ghalab, Al-Tashawuf al-Muqaran, h.26-27 33 tulus dan iklas karena Allah. Seperti yang dikutip dalam pernyataanya sebagai berikut; حء٠ذٗ جٌغٛل٠ ٔٗ فالّٛىط٠ٚ ًٌّْ٘ جٚـطغ٠ ُٙٔطٌه أ “mereka para sufi merahasiakan dan menyambunyikan amal perbuatannya, sehingga amal perbuatan tersebut tidak menyerupai riya”.61 Musā‟id Muslim „Ali jakfar menjelaskan, bahwa akar kata tashawuf secara detail menurutnya, apabila diambil dari kata al-Shafā maka yang terbentuk adalah kata Syafawiyyah, apa bila diambil dari kata al-Shifā atau alSaff maka akan menjadi Safiyyah. Maka kata yang paling tepat sebagai pembentukan istilah tashawuf adalah al-Suf.62 Diatas ini merupakan definisi tashawuf secara etimologi. Selanjutnya penulis akan menggemukakan tashawuf secara terminologi (istilah). Terdapat beberapa istilah yang dikemukakan oleh beberapa tokoh sufi, diantranya menurut al-Junaydī, س٠جسّحص هفحش جٌرلغٚ س١٘١ِفحعلس جسالق جٌِرٚ ٝح جٌظجضٙص ٘ح ً٘فٚ٘ح٠ الٝخ دطٍٛس جٌم١ف ضوفٛجٌطو جش جٌٕفؾِٚجحٔرس ٔؼٚ “Tashawuf adalah mensucikan hati sehingga tidak ditimpa suatu kelemahan, menjuhi akhlak alamiah, melenyapkan sifat kemanusiaan, dan menjauhi segala keinginan nafsu. ”63 Abu Amr al-Damsyaqī mengatakan, 61 Abdul Halim, Dzunnun al-Misri, tanpa penerbit dan tahun cetak, h. 47 Aramdhan kodrat permana, Nuansa Tasawwuf, (Bekasi: An Nahl, 2016), h.98 63 Rusli Ris‟an, Tashawuf dan Tarekat, h. 7 62 34 “Tashawuf melihat ketaksempurnaan alam fenomena, bahkan menutup mata terhadap alam fenomena” Rumi mengatakan, “Tashawuf itu merupakan renungan kelubuk makna kehidupan yang bersifat batin dengan maksud mencapai dan menyingkap misteri agung”64 Imam Sya‟rani mendefinisikan, “ilmu Tashawuf tidak lain merupakan sebuah keilmuan yang terpercik dalam hati para wali, ketika hati tersebut diterangi oleh pengalaman-pengalaman terhadap al-Qur‟an dan Sunnah.”65 Ibnu Kaldun mengatakan, “ Tashawuf itu adalah semacam ilmu syari‟at yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasanhiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyadari menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”. Al-Hallaj ketika ditanya oleh seorang di saat dia disalib, “ di waktu sekarang patut engkau mewariskan kata kepada 64 Abdul Hamid, Tashawuf yang Tertindas (jakarta: Paramadinah, 2001), h.13 Muhammad Syaraf Jalal, Tashawuf Islam Mazhab Baghdad (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2014), cet. I. h. 7 65 35 kami, apakah arti yang sejati dari Tashawuf itu?”, maka dia berkata “ Tashawuf ialah yang engkau lihat dengan matamu ini. Inilah dia tashawuf.”66 Dengan demikian, bahwa tumbuhnya tashawuf adalah, karena seseorang tekun dalam melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berpaling dari kemegahan duniawi yang hanya sifatnya sementara, mereka lebih memilih jalan zuhud dengan cara meninggalkan diri dari kesenangan dunia dan kemweahan lainnya.67 Kita ketahui, bahwa begitu banyak yang telah mendefinisan tashawuf. Menurut Ahmad Zaruq, kata tashawuf telah didefinisikan dan ditafsirkan dari berbagai aspek, sehingga mencapai kurang lebih dua ribu definisi.68 seperti yang telah ditulis di awal bahwa tashawuf merupakan ilmu yang sangat berkembang dan selalu relevan dengan kebutuhan ummat. Setelah diatas penulis mengemukakan tentang pengertian tasawauf, maka sekarang penulis akan mengemukakan tujuan tashawuf. Secara Filosofis Mustafa Zuhri menggatakan, bahwa tujuan tashawuf itu Fana untuk mencapai Makrifat. Arti fana sendiri adalah meniadakan diri supaya ada. Sementara itu, secara tashawuf yaitu leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhaan dalam keadaan mana, semua rahasia yang menutup diri dengan al-Haqqu Ta„ala tersingkap kasyaf, ketika itu antara Allah dan dirinya menjadi satu dalam Baqa‟nya tanpa Hulūl/berpadu dan tanpa Ittihād/bersatu, dalam artian seolah-olah merasa manusia dan Tuhan sama. Seperti yang dikutip dalam pernyataan Ali bin Abi Thalib r.a, sebagai berikut; 66 Hamka, Tashawuf Modern, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015 ), h. 3 Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, (Malang: UIN-Malang, 2008), h. 20 68 Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tashawuf, terj. Khairul Amru Harahap, h. 19. 67 36 جضش أٔصٚ ٝ فٕح تٝفٚ #ٜٝ فٕح فٕحتٝ فٕحتٝفٚ “Dan di dalam kefanaanku, leburlah kefanaanku. Tetapi di dalam kefanaanku itulah bahkan aku mendapatkan engkau (al-Haqqu Taala).” Dikutip pula dalam pernyataan Abdul Karim Al-Jailnī ُس ث١ذٛع ؿغ جٌغذٛٙٔح ٗٓ عذٗ ذ١ٔ ثحٕٝف٠ ُع عذٗ ثٛٙٔال ٗٓ ٔفـٗ ذٚ إٔٝف٠ ْٗالِس ٘ظج جٌىلف جٚ .ٗ ثحٌثح ٗٓ ِطٍ٘محش هفحضٗ ذّذطممحش طجضٕٝف٠ “Tanda-tanda kasyaf itu adalah: pertama. Fananya seseorang dari dirinya karena jelasnya tuhannya, kedua. Fananya seseorang dari pancaran tuhannya karena jelasnya rahasia ketuhanan, ketiga. Fananya seseorang dari segala yang menyangkut sifatnya karena tahqī„q zatnya Allah”. 69 Sedangkan menurut Toriquddin dalam bukunya Sekularitas Tashawuf, bahwa tujuan para mutashawwifin yaitu tidak ada tujuan lain kecuali hanyalah bertujuan untuk mencapai “Ma‟rifah billah” (mengenal Allah), dan tersingkapnya hijab yang membatasi dirinya dengan Allah.70 Namun tujuan terpenting secara umum menurut Rivay Seregar, adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Tetapi kalau dilihat secara karakSteristik tashawuf secara umum ada tiga bagian. Pertama. Bertujuan aspek moral, hal ini umumnya bersifat praktis, kedua. Bertujuan ma‟rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode kasyf al-hijab, tashawuf ini 69 70 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tashawuf, h. 164 Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, h. 30 37 bersifat teoritis yang menggunakan seperangkat ketentuan yang diformulasikan secara sistematis dan analistis, ketiga. Bertujuan membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah, secara mistis dan filosofis. Kalau kita amati secara keseluruhan, terdapat beragam tujuan tashawuf, tetapi pada intinya Tashawuf adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah, karena Allah merupakan penggerak utama dari semua kejadian.71 Tujuan lain dari Tashawuf seperti yang dikatakan Rosihon Anwar dalam bukunya, Yaitu untuk memperoleh hubungan langsung dengan Allah secara khusus. Hubungan tersebut memiliki arti tersendiri dengan kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Allah. Kesadaran tersebut menuju komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Allah. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang dilakukan dengan cara formal belum dianggap memuaskan, karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.72 Begitu juga Sayyid Nur Ibn Sayyid Ali, mengemukakan tujuan tashawuf yang dibagi kedalam enam bagian, sebagai berikut. Pertama, berupaya menyelamatkan manusia dari akidah-akidah syirik dan batil. Kedua, untuk melepaskan diri atau menggosongkan hati dari sifat-sifat tercela. Ketiga, untuk menghiasi diri dengan akhlak mulia yang diajarkan agama Islam. Keempat, untuk meraih tingkatan ihsān dalam ibadah. Kelima, untuk menstabilkan akidah persahabatan dengan Tuhan (suhbah ilāhiyyah). Keenem, bertujuan untuk meraih kekuatan iman yang dulu pernah dimiliki para sahabat Nabi Muhammad. Ketujuh, menyebarkan ilmu syari‟at dan menghembuskan 71 72 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf, h.58-59 Rasihon Anwar, Akhlak Tashawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.148 38 ruh kehidupan, sehingga karenanya dihasilkan motivasi bagi kaum muslim untuk memimpin kembali umat manusia.73 B. Sumber Ajaran Tashawuf 1. Al-Qur’an Sumber ajaran tashawuf dalam Islam berdasarkan al-Quran dan alSunnah, meskipun ada sebagian yang mengatakan bahwa tashawuf dalam Islam timbul karena adanya pengaruh dari luar Islam. Al-Qur‟an dan al-Sunnah merupakan dalil naqli atas sumber ajaran tashawuf, karena pembentukan awal tashawuf adalah akhlak, sementara moral dan keagamaan banyak diataur dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah.74 Jelaslah bahwa sumber utamanya adalah al-Qur‟an, sebab tashawuf ditimbulkan dari al-Qur‟an, al-Sunnah, dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu tidak keluar dari ruang lingkup al-Qur‟an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu sumber utama tashawuf adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah.75 Al-Qur‟an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran Islam, untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an tidak cukup hanya secara lahiriah (tektual), tetapi perlu juga memahaminya secara rahaniah (kontekstual). Sebab, jika hanya dipahami secara lahiriah, ayat-ayat al-Qur‟an terasa kaku, mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Pada dasarnya Islam telah mengatur kehidupan manusia secara 73 Sayyid Nur Ibn Sayyid Ali, al-Tashawuf al-Syar‟i, terj. M. Yaniyullah (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 17-18 74 Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, h. 17 75 Syamsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 15 39 lahiriah dan bathiniah, pada akhirnya unsur ajaran batiniah melahirkan Tashawuf.76 Dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menggambarkan ajaran tashawuf. Allah memerintahkan manusia agar selalu membersihkan diri dan bertaubat kepadanya, karena Allah cinta kepada hambanya yang bertaubat dan selalau membersihkan dirinya. seperti firmannya; .ٓ٠ غِٙذد جٌّط٠ٚ ٓ١جذٛذد جٌط٠ جْ جهلل Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah (2): 222) Kalau kita resapi, ayat di atas ini memiliki makna yang sangat luas. Jika sahnya shalat wajib diawali dengan bersuci secara lahir (berwhudu‟), maka begitu juga dalam tashawuf ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu, bertaubat. Bersuci secara lahir (berwhudu‟) akan berpengaruh pada kebersihan hati. Sedangkan bersuci secara batin (taubat) akan membersihkan batin yang lebih dalam.77 Bersuci yang dimaksud di kalangan para sufi yaitu, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Seperti hasad, thama‟, ujūb, pemarah, dengki terhadap sesama, dan lain-lain.78 Jika terus-terusan bertaubat dan bersuci, maka Allah akan mencintainya. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin dapat mensucikan dirinya tanpa bertaubat terlebih dahulu. Dengan demikian, bertaubat dan mensucikan diri merupakan hal yang tidak dapat 76 Rosihon Anwar, Akhlak Tashawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.152 Syaikh Al-Waasi‟ Achma Syaechudi, Bulan Terang di Bukhara, (Jakarta: Khazanah, 2007), h. 30 78 Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, h. 29 77 40 dipisahkan untuk mencapai kedekatan kepada Allah. Seperti halnya bunga dan kumbang, mustahil madu akan ada dengan sendirinya tanpa perpaduan di antara keduanya.79 Al-Qur‟an juga menyerukan manusia untuk iman kepada Allah dan rasulnya, hingga para sufi senantiasa selalu mencontoh Rasullah dan para sahabatnya dalam ibadah maupun prilakunya. Selain itu, al-Qur‟an juga sebagai petunjuk bagi manuisa. Sebagaimana yang tertera dalam firma-Nya: ٜجٌظٛ٘ .ٓ١ِٕثمىُ ئٔىٕطُ ِإ١ِ لض أسضٚ ُْ ذغذىِٕٛ وُ ٌطإٛٗض٠ يٛجٌغؿٚ ْ ذحهللِِٕٛح ٌىُ ال ضإٚ .ُ١ف ع دٚئْ جهلل ذىُ ٌغءٚ عٌٕٛ جٌٝشغ جىُ ِٓ جٌٍّٔص ئ١ٌ ٕص١ص ذ٠ ٗرضٖ ءجٍٝٗ ٕؼي٠ “Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada tuhanmu. Dan sesungguhnya dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Dialah (Allah) yang menurunkan kepada hambanya ayat-ayat yang terang (al-Quran) supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar maha penyantun lagi maha penyayang terhadapmu.” (QS. Al-Hadid (57: 8-9) َجٔٗ ؿرً جٌـالًٛ ذٗ جهلل ِٓ جضرٖ عٜضٙ٠ “Allah memimpin (memberi petunjuk) dengan Qur‟an kepada orangorang yang mengikuti keridhaannya ke jalan (Tarekat) keselamatan.” (QS. Al-Maidah (5): 16 ).80 ُ١ٍٗ ٖجؿٚ جٗ جهلل ئْ جهللٚ ُأ فثٌّٕٛٛح ض٠جٌّغغخ فأٚ هلل جٌّلغقٚ 79 80 Syaikh Al-Waasi‟ Achma Syaechudi, Bulan Terang di Bukhara, h. 31 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tashawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,2007), h. 156 41 “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah maha (rahmmatNya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 115) Terdapat pula ayat yang menganjurkan manusia untuk tidak mendekati dunia. Dalam artian, Allah memerintahkan manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dangan bersikap zuhud (tidak suka dunia), seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini: ٓ١ذد جٌّـغ ف٠ ج ئٔٗ الٛال ضـغفٚ جٛجكغذٚ جٍٛ وٚ ٕطىُ ٕٗض وً ِـجض٠ج ػٚ ﺁصَ سظٕٝر٠ “wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (masuk) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-a‟raf (8): 31 ) Dalam ayat ini jelas sekali bahwasanya Allah telah menganjurkan kita untuk tidak berlebihan dalam urusan dunia, karena Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan. Ayat ini menggambarkan kepada kita sebagai landasan utama bagi para sufi untuk bersikap zuhud, dan bukti sebagai dasar landasan tashawuf. 2. Al-Sunnah Sejalan dengan apa yang terdapat dalam al-Qur‟an di atas, al-Sunnah yang juga merupakan sumber tashawuf banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah, seperti yang di contohkan oleh Nabi Muhammad dalam bersikap Zuhud. Beliau mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah 42 kekayaan harta, melainkan kekayaan rohaniah. Nabi Muhammad tidak tertarik dengan kekayaan harta, karena beliau memandang kekayaan rohani lebih tinggi kedudukannya dari pada harta benda.81 Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Wahai manusia, dunia ini adalah kampung kebinasaan, dan bukan kampung kelurusan; tempat kesusahan, dan bukan tempat kebahagian. Makan, barang siapa mengetahuinya, maka ia tidak berbahagia karena kemewahannya, dan tidak bersedih karena kesengsaraannya. Ketahuilah bahwa Allah SWT menciptakan dunia sebagai kampung ujian dan akhrat sebagai kampung balasan. Dia menjadikan musibah dunia sebagai sebab bagi pahala akhirat, dan pahala akhirat sebagai ganti musibah dunia. Karena itu, dia mengambil untuk memberi, dan menguji untuk membalas. Sungguh, dunia cepat hilang dan segera berubah. Karenanya, berhati-hatilah kalian dalam menghadapi manisnya penyusunan karena pahitnya penyepihan. Tinggalkan kelezatan saat kini karena kebenciannya saat nanti. Janganlah kalian berusaha memakmurkan rumah dengannya, padahal Allah telah menghendaki dari kalian untuk menjahinya. (Jika tidak), kalian menjadi orang-orang yang menghadapi kemurkaan-Nya dan berhak mendapatkan hukuman-Nya”.82 Ada juga hadist yang menganjurkan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah, hingga akhirnya dengan cara begitu kita bisa menyatu bersamanya. Seperti hadist berikut ini; ٌٟ ٜ ِٓ ٗحص: لحيٍٝ٘ ئْ جهلل ض:ٍُؿٚ ٗ١ٍٗ جهللٍٝي جهلل هٛ لحي عؿ: جهلل ٕٗٗ لحيًٟغز ع٠ ٘غٟٗٓ أذ طمغخ٠ ٞؼجي ٗرض٠ ِحٚ ٗ١ٍٗ ِّح جفطغًصٌٟة أدد ئ١ ذلٞ ٗرضٌِٟح ضمغخ ئٚ ح فمض أصٔطٗ ذحٌذغخ١ٌٚ 81 Hamzah Ya‟Qub, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin, (Jakarta: Atisa, 1992), h. 28 82 Ibnu „Arabi, Wasiat-Wasiat Ibnu „Arabi, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 184 43 حٙرِق ذ٠ ٟضٖ جٌط٠ٚ ٗروغ ذ٠ ٞذوغٖ جٌظٚ ٗـّٖ ذ٠ ٞ أدرٗ فاطج أدررطٗ وٕص ؿّ٘ٗ جٌظٝجفً دطٌٕٛ ذحٌٟج ]ٞجٖ جٌرشحعٚظ ذٗ [ع١ٗ ألٌٟٔثٓ جؿط٘حطٚ ٗط١ِٗ ألٌٌٟٕثٓ ؿأٚ حّٙق ذ٠ ٟعجٍٗ جٌطٚ “Dari Abi Hurairah ra. Berkata: “RasulAllah SAW, bersabda: Sesungguhnya Allah telah berfirman: “Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang padanya, dan hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada menjalankan kewajiban. Seorang hamba selalu mendekatkan diri pada-Ku dengan melakukan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya untuk melihat, tangannya yang ia jadikan sebagai kekuata, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon padaku pasti akan aku kabulkan, jika ia berlindung kepada-Ku, pasti akan Kulindungi.”83 Menurut Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya (Irsyādu al-Mu‟minīn), jika seseorang menginginkan kebahagiaan dunia maupun akhirat maka harus mengikuti perjalanan Nabi Muhammad, karena yang beliau tempuh (Nabi Muhammad SAW) merupakan perjalanan untuk mencapai sebuah keselamatan. Hasyim Asy‟ari dalam hal ini berlandasan pada al-Qur‟an.84 Sebagaimana firman Allah: .غج١ط وغ جهلل وثٚ َ جألسغٛ١ٌجٚ جهللٛغج٠ ْز دـٕس ٌّٓ وحٛ ي جهلل أؿٛ عؿٌٝمض وحْ ٌىُ ف “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”. (Q.S, alahzāb (33): 21). Nabi Muhammad merupakan contoh dan suri tauladan yang paling baik, beliau selalu berbuat baik kepada sesama manusia, berbuat baik kepada keluarga, tamu dan juga para tetangganya. Dalam bidang sosial beliau dikenal sangat pemurah, dan penolong sesama dari segala kesulitan. Selalu 83 Muhammad bin Ismail al-Bukhāri, Shahih Bukhāri, (Bairut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 5, h. 238. 84 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Irsyād al-Mu‟minīn, Irshd al-Sari Fi Jam‟i Musannafat al-Shaykh Hasyim Ays‟ari (Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007), h. 5 44 memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang-orang lemah.85 Dan selanjutkan di dalam kehidupan nabi Muhammad terdapat suri tauladan yang mengambarkan beliau sebagai seorang sufi, ditunjukan dengan sikap zuhud yang tidak rakus terhadap urusan duniawi. Disaat melakukan pengasingan di gua Hira‟ Nabi Muhammad hanya bertafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup dalam kesederhanaan, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal.86 Tergambar pula sifat zuhud nabi Muhammad dalam sebuah hadis yang meriwayatkan, ketika sahabat Umar bin Khatthab berkunjung ke rumah RasulAllah SAW. Ketika Umar masuk kedalamnya, dia kaget melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah meja dengan alas daun kurma yang kasar, sementara yang terdapat di dinding rumah Nabi hanyalah sebuah tempat air (griba) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu‟. Keharuan terjadi pada Umar, tanpa disadari air matanya menites. Kemudian nabi Muhammad menanyakannya: “Gerangan apa yang membuatmu menangis wahai sahabtku?” Umar pun menjawab: “ Bagaimana akau tidak menangis, ya RasulAllah?, hanya seperti ini keadaan yang aku dapati di rumah tuan. tidak ada perkakas dan tidak ada kekayan kecuali meja dan griba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan dunia barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar, aku ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari romawi dan juga bukan seorang kisra dari 85 86 h. 158 Hamzah Ya‟Qub, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin, h. 29 Abuddin Nata, Akhlak Tashawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta, Raja Wali Pres, 2015), 45 persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrowi.”87 C. Maqamat Dan Ahwal Para sufi memiliki sebuah konsepsi tentang jalan (thariqah) untuk sampai kepada Allah taqarrub ilallāh (mendekatkan diri kepada Allah). Jalan itu merupakan sebuah latihan rohaniah yang dilakukan secara bertahap. Latihan tersebut ditempuh dengan berbagai fase yang dikenal dengan maqamat (tingkatan-tingkatan) serta ahwal (sebuah keadaan), dan pada akhirnya sampai mengenal Allah.88 Secara historis konsep maqamat dan ahwal pertama kali muncul diduga pada masa sahabat Ali bin Abi Thalib. Hal tersebut diperkuat dengan adanya para sahabat pada waktu itu berkonsultasi tentang iman. Ali bin Abi Thalib menjawab bahwa iman itu bersumber pada empat fondasi, yaitu taqwa, sabar, adil dan jihad.89 Seperti yang telah ditulis diatas, untuk menggapai sebuah tujuan pastilah melalui beberapa proses perjalanan, Harun Nasution dalam bukunya (Falsafat dan Mistisisme dalam Islam) mengatakan, seorang sufi apabila ingin sampai kepada Allah, maka ia harus menempuh perjalanan panjang yang berisi stasiun-stasiun, yaitu yang disebut dengan maqamat ( )ِمحِحشdalam istilah arab, atau stages dan stations dalam istilah Inggris90. Disamping istilah maqam, terdapat juga isltilah ahwal, namun yang dimaksud ahwal (keadaan) disini merupakan keadaan psikologis seorang sufi 87 Adib Zain, Zahid dan Luqmanul Hakim Dkk, Mengenal Thariqah (Semarang: Anika Ilmu Semarang, 2005), h. 5 88 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 166 89 Mustafa, Akhlak Tashawuf (Bandung. Pustaka Setia, 1997), h. 280-281 90 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 48 46 ketika sudah mencapai maqam tertentu. Secara teliti para sufi menegaskan perbedaan antara maqam dan ahwal. Maqam menurut kaum sufi ditandai dengan kemapanan. Sementara ahwal, justru mudah menghilang. Maqam bisa dicapai dengan kehendak (kamauan) dan upaya. Sementara ahwal, dapat diperoleh secara disengaja91, bukan diperoleh melalui atas usaha manusia, tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah dan sifatnya sementara, datang dan pergi. Bagi seorang sufi datang dan pergi dalam perjalanannya mendekati Allah.92 Para sufi berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang maqam secara bahasa, namun pada dasranya secara subtansi memiliki pemahaman yang sama. Al-Qusyairi mengatakan, maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada Allah dengan berbagai usaha, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta melakukan latihan-latihan spritual menuju Allah.93 Al-Qusyairi mengatakan, ahwal adalah makna yang datang pada hati dengan cara disengaja, ahwal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenagsenang, rasa tercekam, rindu, gelisah atau harapan.94 Menurut Dzun An-Nun Al-Mishri, Maqam-maqam dapat diketahui berdasrkan tanda-tanda, simbol-simbol dan amalannya. Dan harus dilalui secara bertahap. Sedangkan Ahwal dapat dikatakan, merupakan sebuah pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki, 91 92 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 167 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 49 93 94 Media Zainun Bahri, Tashawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga, 2010), h.84 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 168 47 pemberian tersebut adakalanya tidak melalui usaha. Tidak semua orang yang berusaha itu berhasil, namun ia menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani tashawuf.95 Penjelasan diatas menunjukkan bahwa maqam lebih lama dari pada ahwal. Maqam bersifat tetap, sementara ahwal silih berganti. Namun keduanya sama-sama menunjukan perkara yang berdimensi spritual, meskipun keduanya berbeda. Dan pasti hanya dipahami oleh mereka yang telah menjalankannya. Di kalangan kaum sufi, urutan maqam berbeda-beda. Harun Nasution menjelaskan, bahwa tidak semua buku-buku (kitab) tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasiun-stasiun (maqam). Abu Hamid al-Gazali dalam Ihyā‟ „Ulum al-Din memberikan lima tingkatan (stasiun) untuk sampai kepada Allah; tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, makrifat dan kerelaan.96 Sementara Imam As-Suhrawardi memeberikan sembilan urutan maqam sebagai berikut; tobat, wara‟, zuhud, sabar, fakir, syukur, khauf, tawakkal dan ridha97. Abu Nasr as-Sarrāj didalam kitab momuntemnya al-Luma menyebutkan ada tujuh urutan; tobat, wara‟, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, ridha. Tokoh lai, Ibrahim Basyuni berpendapat ada lima; tobat, zuhud, ridha, tawakkal, khalwah, dan zikir.98 Begitu pula ahwal, memiliki tingkatan tingkatan khusus. Namun pada umumnya para sufi hanya menulis sepuluh tingkatan dalam ahwal; muqarabah, 95 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 178 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 97 Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 170 98 Cecep Alba, Tashawuf dan Tarekat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 20 96 48 Qurbu, mahabbah, khauf, raja‟, syauq, unsu, itmi‟nan, musyahadah, dan yaqin.99 D. Tarekat Istilah tarekat banyak digunakan dalam kalangan tashawuf, Mustafa Zahri dalam hal ini mengatakan bahwa makna tarekat merupakan sebuah jalan atau petunjuk dalam melakukan suatau ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan RasulAllah SAW. Dan yang dikerjakan oleh para sahabat Nabi, tabi‟in, dan tabi‟it-tab‟in sampai kepada para ulama dan menyambung pada sama kita ini.100 Secara bahasa tarekat beasal dari bahsa arab al-thariqat ( )جٌِغقyang berarti jalan, keadaan dan aliran dalam garis sesuatu. Ada juga yang mengatakan bahwa tarekat secara harfiah berarti jalan yang terang, dan lurus yang mungkin mengantarkan pada tujuan dengan keadaan selamat. Selanjutnya pengertian tarekat berbeda-beda sesuai dengan tinjauan masing-masing. Namun kalangan para muhaddsin memberikan gambaran dalam dua arti asasi. Pertama, mengambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua, didasarkan pada sistem yang jelas yang dibatasi sebelumnya. Tarekat juga diartikan sebagai sebuah renungan, dan sebuah usaha inderawi yang akan mengantarkan seseorang pada hakikit, atau sesuatu data yang benar.101 99 Cecep Alba, Tashawuf dan Tarekat, h. 21 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Taswuf (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), h. 42 101 Abuddin Nata, Akhlak Tashawuf dan Karakter Mulia, h. 233 100 49 Dari definisi tarekat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian tarekat berbeda-beda disebabkan tinjauan yang berbeda-berda pula. Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi mendefiniskan tarekat sebagai berikut;102 .س ذمضع جٌِحلس١ٌٙ جِغ جإلٚجِطثحي جألٚذحُٕحٚحش ٓح٘غج١ٌّٕٙ جدطٕحخ جٟ٘ مس٠ججٌِغ “Tarekat adalah menjauhi dan melakukan perintah tuhan sesuai dengan kesanggupan, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak nyata.” ِٓ ٕجصجءجٌفغجتي فّحؿطِحٚ ي جٌّرحدحشٌٛفٚ جٌّىغ٘حشٚ جدطٕحخ جٌّذغِحشٟ٘ مس٠جٌِغ .س٠حٌٕٙسٗحعف ِٓ جً٘ ج٠جفً ضذص عٗحٌٕٛج “Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadlilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunahkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seorang arif (Syaikh) dari (sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.” Seorang calon sufi harus menempuh jalan untuk mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan Allah. Tiap tarekat mempunya guru, upacara ritual, dan zikir sendiri103. Dengan demikian, tarekat merupakan sebuah jalan untuk dekat dengan Allah yang telah ditentukan atau dipimpin langsun oleh seorang Syekh (guru), baik dengan melakukan upacara atau bacaan-bacan tertentu (zikir dan wiritan). 102 103 Mustafa, Akhlak Tashawuf (Bandung. Pustaka Setia, 1997), h. 280-281 Rosihun Anwar, Akhlak Tashawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 50 Namun ada seorang yang melakukan penelitian terhadap kehidupan tashawuf yang dilakukan di beberapa negara Islam. Yaitu L. Missignon, memberikan sebuah kesimpulan. Bahwa tarekat mempunyai dua macm pengertian. Pertama, Tarekat yang diartikan sebagai sebuah pendidikan kerohanian yang sering dilakukan orang-orang yang ingin menempuh kehidupan tashawuf, untuk mencapai tingkatan-tingkatan kerohanian yang disebut Maqamat dan Ahwal. Kedua, Tarekat yang diartikan sebagai sebuah perkumpulan (organisasi) yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh Syekh (seorang guru) yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Dalam perkumpulan tersebut kemudian Syekh mengamalkan suatu aliran Tarekat yang dianut bersama para muridnya104. Seperti halnya tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Qadariyah yang berkembang pesat di Indonesia, guru besarnya dalam tarekat tersebut adalah Syekh Ahmad Khatib105 104 Mustofa, Akhlak Tashawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997). Cet, 5. 2010, h. 281-282 Nama lengkapnya, Syekh Muhammad Khatib bin Abdul Gaffar As-sambasi Al-jawi. Beliau berasal dari kampung Dagang, namun ada riwayat lain yang mengatakan beliau berasal dari Kampung Asam Sambas. Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya (Tradisi Pesantren) mengatakan, Syekh Ahmad Khotib Sambas dilahirkan di kalimantan, dan menetap di mekah pada abad ke-19 hingga akhirnya meninggal pada tahun 1875. Semasa remaja beliau belajar di Mekah kepada Ulama Haramain. Diantaranya belajar kepada Syekh Daud bin Abdillah al-Fattani, seorang mursyid tarekat Sattariyah. Namun beliau tidak membaiatnya, ia menyeruh Syekh Ahmad Khatib untuk berbaiat kepada Syekh Syamsuddin, beliau tekun belajar kepadanya hingga gurunya tersebut meninggal, ia telah diangkat menjadi mursyid kamil mukammil dalam Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Jadi Syekh Ahmad Khotib merupakan Mursyid yang pertama kali menyatukan Terekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Cecep Alba, Tashawuf dan Tarekat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 164 105 51 BAB IV TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID A. Penisbahan kitab Kepada Hasyim Asy’ari Dalam Bab ini menjelaskan tentang pandangan tashawuf Hasyim Asy‟ari yang diambil dalam kitab Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid. Kitab tersebut dikarang oleh Hasyim Asy‟ari, di dalamnya terdiri dari beberapa bab pembahsan yang membahas tentang ilmu tauhid, fiqhi, dan tashawuf, kitab ini hanya terdiri dari satu kitab yang memiliki 38 halaman. Tetapi tidak terdapat penjelasan terkait kapan selesainya kitab tersebut ditulis, dan tanpa tahun cetak. Kemungkinan besar penamaan dari pada kitab tersebut bukan dari Hasyim Asy‟ari sendiri, melihat kurangnya penjelasan di dalamnya yang menerangkan bahwa kitab tersebut bernama Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid Nama kitab diatas kemungkinan yang diberikan oleh cucunya yang bernama Muhammad Ishomuddin, yang telah berhasil mengumpulkan berbagai macam karya Hasyim Asy‟ari kedalam sebuah kumpulan kitab dengan nama Kumpulan Kitab Karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy‟ari. Sebelum penulis membahas tentang pandangan tashawuf Hasyim Asy‟ari yang terdapat dalam kitab tersebut, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan sedikit gambaran dari pada corak pemikirannya. B. Corak Pemikiran 51 52 Hasyim Asy‟ari merupakan sosok ulama besar yang mempunyai pengaruh tinggi diantara para ulama-ulama lain pada pertengahan abad pertama ke-20, beliau dianggap sebagai ulama yang paling alim di Indonesia dengan kepandaian ilmu yang dimilikinya, terbukti dengan adanya guru Hasyim Asy‟ari yang datang menemuinya untuk belajar ilmu hadits, yaitu kyai Kholil bin Abdullatif dari Bangkalan. Namun para Kyai menilai prilaku yang dilakukan Kyai Kholil merupakan suatu petunjuk, bahwa setelah meninggalnya Kyai Kholil, para Kyai diisyaratkan untuk menerima kepemimpinan Hasyim Asy‟ari. Hal tersebut juga terbukti atas kesuksesan Hasyim Asy‟ari dalam mendirikan sebuah organisasi besar yang tetap berdiri kokoh sampai hari ini, yaitu Nahdhatul Ulama (Pergerakan Ulama) yang populer dengan sebutan N-U. Merupakan sebuah kelayakan para ulama lain memberikan gelar “ Hadratus Syekh” yang artinya “tuan guru besar”.106 Dengan lahirnya Nahdhatul Ulama dalam kontek islam Indonesia telah menjadikan Hasyim Asy‟ari juga dikenal oleh berbagai macam golongan di luar Indonesia. James J. Fox (1999), seorang antropolog dari Asutralia National University, menyebutkan bahwa Hasyim Asy‟ari merupakan salah satu wali yang sangat berpengaruh di Jawa, karena mempunyai kedalaman ilmu dan diyakini membawa berkah bagi para pengikutnya.107 Hal di atas ini menujukan bahwa gagasan pemikiran Hasyim Asy‟ari sangat diakui dikalangan para ulama di Indonesia bahkan manca negara, selain sebagai ulama besar beliau juga merupakan penulis aktif, dibuktikan dengan 106 107 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2011), h.137 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari (Jakarta: Kompa, 2010), h. 27 53 beberapa hasil karya tulis seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya terkait karya-karya beliau. Dapat digambarkan pula kehebatan Hasim Asy‟ari dari corak pemikiran tasawuf, beliau lebih menekankan pada pemurnian tasawuf itu sendiri. Ia ingin tasawuf dilihat dari aspek subtansinya bukan dari aspek kulturalnya.108 Sebagaimana dikatakan oleh Latiful Khuluq dalam bukunya (Fajar Kebangunan Ulama), Hasyim Asy‟ari Mengatakan, dengan mengutip perkataan Fazlur Rahman, bahwa tujuan dari pembaharuan itu untuk membersihkan sufisme dari ajaran-ajaran eskatik dan metafisik diganti dengan ajaran-ajaran islam murni. Ajaran pembaharuan itu diterima oleh Hasyim Asy‟ari saat beliau belajar di Mekkah pada waktu itu. Pemikiran sufi Hasyim Asy‟ari bertujuan untuk memperbaiki perilaku umat islam secara umum, dan dalam banyak hal dipengaruhi oleh pemikiran imam Al-Gazali.109 Konsep Hasyim Asy‟ari tidak lepas dari pengaruh gerakan pembaharuan “neo Sufi” yang berpusat di mekkah dan madinah pada akhir abad Ke-19 yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dalam usahanya untuk merumuskan doktrin-doktrin islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern yang dimaksudkan supaya islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan politik, sosial dan pendididkan. Dengan alasan tersebut Muhammad Abduh Melancarkan ide-idenya agar ummat islam melepaskan diri dari keterikatan pada pola pikiran para madzhab dan agar umat islam meninggalkan segala bentuk praktik tarekat.110 108 Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 371 Latiful Khuluq, FajaSr Kebangunan Ulama (Yagyakarta: LKIS, 2000), h.53-54 110 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, h. 140 109 54 Namun Hasyim Asy‟ari sendiri tidak setuju dengan gagasan yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh, beliau lebih menekan umat islam untuk tetap mengikuti madzhab empat (Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi‟ie). Dan menyepakati untuk tidak terikat pada suatu golongan tarekat tertentu. Dalam pernyataannya Hasyim Asy‟ari mengutip pendapat Suhrawardi, “Jalan kaum sufi adalah membersihkan jiwa, menjaga nafsu, dan melepaskan diri dari berbagai sifat buruk, seperti ujub, takabur, riya‟ dan senang dunia. Selain itu, menjalankan budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, tawadhu‟, tawakal dan memperkenankan hati kepada setiap orang lain dan setiap kejadian ridha, serta memperoleh ma‟rifat dari Allah.”111 C. Tema-Tema Tasawuf dalam Kitab Risālah Jāmi‘ah al-Maqāshid 1. Jalan Menuju Allah Pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan tentang tarekat (jalan) dan maqamat (tingkatan-tingkatan) untuk sampai kepada Allah. Pada hakikatnya yang dimaksud sampai kepada Allah, bukanlah makna yang dipahami di antara benda-benda. Sebab, Allah yang maha tinggi dan maha suci tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Pada bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana jalan untuk sampai kepada-Nya. Karena hal tersebut berkaitan juga dengan maqam-maqam yang ada dalam hati, seperti tobat, khauf (perasaan takut), raja‟ (pengharapan), dan muraqabah, pun juga berkaitan dengan sifatsifat terpuji, seperti Siddiq (tulus), ikhlas dan sabar yang harus dimiliki bagi calon sufi dalam perjalanan untuk sampai ketingkatan makrifatullah.112 111 Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 371 Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta: Qisthi Press, 2014),h. 185 112 55 Hasyim Asy‟ari dalam Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid mengatakan, bahwa untuk sampai kepada Allah seorang manusia harus melalui beberapa tingkatan-tingkatan dasar, dibagi menjadi lima tingkatan.113 Sebagaimana Hasyim Asy‟ari katakan, ٓٗ جإلٗغجىٚ ،جألف٘حيٚ جيٛ جأللٟجضرحٕ جٌـٕس فٚ ،س١ٔجٌ٘الٚ جٌـغٟ جهلل فٜٛ سّـس ضمٟ٘ٚ ٟ جهلل فٌٕٝ ئٛ جٌغج،غ١جٌىثٚ ً١ٍ جٌمٟ فٌٝ ٗٓ جهلل ض٘حًٝجٌغٚ ،جإلصذحعٚ جإللرحيٟجٌشٍك ف .جٌٌغجءٚ جٌـغجء Yaitu ada lima: bertaqwa kepada Allah baik dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan, mengikuti sunnah dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk dalam keadaan gampang dan susah (sejahtera dan susah), rela terhadap Allah dalam keadaan sedikit dan banyak (rizki), kembali kepada Allah dalam keadaan senang dan susah..114 Dari pernyataan di atas sangat jelas, bahwa tahapan dasar untuk mencapai ridha Allah dibagi menjadi lima bagian. Pertama adalah Taqwa, hakikat dari taqwa yaitu bersikap wara‟ (menjauhkan diri atau berhati-hati dalam melakukan sesuatu) dan istiqomah (tekun dalam menjalankan ibadah kepada Allah). Kedua adalah mengikuti sunnah Rasul, hakikat dari mengikuti sunnah rasul yaitu dengan penuh kehati-hatian dan berperilaku dengan akhlaq yang baik (seperti akhlaq yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad). Ketiga adalah berpaling dari makhluq, hakikat berpaling dari makhluq yaitu sabar dan memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah (tawakal). Keempat adalah rela kepada Allah (pasrah), hakikat rela kepada Allah yaitu menerima terhadap ketetapan yang diberikan oleh Allah dan berserah diri kepada Allah. Kelima adalah kembali kepada Allah (tawakkal), hakikat dari kembali kepada Allah yaitu dengan cara bersyukur kepada Allah dalam keadaan senang dan 113 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari. (Jombang: Maktabah al-Turāst al-Islāmī, 2007 ), h. 34 114 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34 56 berlindung kepadanya dalam keadaan susah115. Sebagaimana ia katakan sebagi berikut; ك١ضشمٚ ،دـٓ جٌشٍكٚ ْك جضرحٕ جٌـٕس ذحٌطذف١ضذمٚ ،جالؿطمحِسٚ ٕعٌٛ ذحٜٛك جٌطم١فطذم ك١ضذمٚ ،ي٠ٛجٌطفٚ ك جٌغًح ٗٓ جهلل ذحٌمٕحٗس١ضذمٚ ،ًوٛجٌطٚ جإلٗغجى ٗٓ جٌشٍك ذحٌورغ . جٌٌغجءٟٗ ف١ٌجالٌطجحء ئٚ جٌـغجءٟ جهلل ذحٌلىغ ٌٗ فٌٕٝ ئٛجٌغج Adapun hakikat taqwa ialah dengan wara‟ (menjauhkan diri dari dosa) dan istiqamah, hakikat mengikuti sunnah ialah dengan penuh kehati-hatian dan berakhlaq yang baik, hakikat berpaling dari makhluk ialah dengan sabar dan tawakal, hakikat ridha kepada Allah ialah dengan qana‟ah dan berserah kepada Allah, adapun hakikat kembali kepada Allah ialah dengan cara bersyukur kepada Allah dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.116 Dapat diambil kesimpulan dari pada penjelasan di atas ini, bahwa seorang untuk sampai kepada Allah harus melalui tahapan-tahapan dasar yang telah diperinci menjadi lima bagian, dalam hal ini Hasyim Asy‟ari tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh sufi yang menyatakan bahwa untuk dekat dengan Allah harus melalui perjalan panjang yang dikenal dengan maqamat (tingkatatingkatan), seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya. Namun dasar tingkatan di atas ada pokok-pokok dasarnya yang kemudian dibagi lagi menjadi lima bagian. Pertama, punya semangat yang tinggi. Kedua, menjaga kehormatan. Ketiga, rajin dalam menjalankan ibadah. keempat, melaksanakan ketetapan hati (suatau pilihan yang telah mantap didalam hati). Kelima, mengagungkan nikmat Allah. Seperti yang dikatakan langsung Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya; ُ١ٔ٘ضٚ ،ّس٠ط جٌ٘ؼٛٔمٚ ،دـٓ جٌشضِسٚ ،دمْ جٌذغِسٚ ،ّسٌٙ جٍٛٗ ،ي طٌه وٍٗ سّـسٛأهٚ ِٗٓ دـٕص سضِطٚ ِٗٓ دفْ دغِس جهلل دفْ جهلل دغِطٚ ٗ فّٓ ٍٗص ّ٘طٗ جعضف٘ص عضرط.جٌٕ٘س ِٓ كىغ٘حٚ ِٓ ُٗٔ جٌّٕ٘س كىغ٘حٚ ٗط٠ّطٗ صجِص ٘ضج٠ِٓ ٔمظش ٗؼٚ ٗجرص وغجِطٚ .ض٠جد جٌّؼٛجؿط 115 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34 116 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34 57 Adapun pokok-pokok (dasar) itu semua ada lima: semangat yang tinggi, menjaga kehormatan, pelayanan yang baik, menjalankan kemauan (yang menjadi ketetapan hati), dan mengagungkan nikmat. Karena barangsiapa mempunyai semangat yang tinggi maka akan tinggi derajatnya, dan barangsiapa menjaga kemuliaan Allah maka Allah akan menjaga kemuliaanya, dan barangsiapa melayani dengan baik maka dipastikan akan mulia, barangsiapa melaksanakan ketetapan hatinya makan akan abadi hidayah-Nya, dan barangsiapa yang mengagungkan nikmat-Nya maka pasti mensyukuri dan yang mensyukurinya berhak mendapat tambahan dari-Nya.117 Hasyim Asy‟ari memberikan keterangan lebih jelas maksud dari pokok-pokok dasar tingkatan-tingkatan di atas. Yaitu barangsiapa yang mempunyai Semangat yang tinggi (luhur) maka Allah akan meninggikan derajatnya, dan barangsiapa yang menjaga kemuliaan Allah, maka Allah akan menjaga kemulyaan orang tersebut, barangsiapa melayani dengan baik, maka wajib (pasti) mulia, barangsiapa melaksanakan ketetapan hatinya, maka akan abadi petunjuk (hidayah) dari Allah, barangsiapa yang mengagungkan nikmat Allah, maka wajib untuk mensyukurinya, dan barang siapa mensyukuri nikmatNya, maka ia berhak untuk mendapatkan tambahan nikmat dari-Nya118, dan barang siapa tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya, maka layak adab Allah baginya, Allah SWT berfirman; ض٠ ٌلضٌٟثٓ وفغضُ ئّْ ٗظجذٚ ُضٔى٠ٌثٓ كىغضُ ألػ Jika kamu bersyukur, pasti akan Aku limpahkan lebih banyak Kerunia kepadamu:jikakamu tidak bersyukur, maka Ketahuilah sesungguhnya azab-Ku amat kera. (QS. Ibrahib (14) : (8)). Sangat jelas bagi kalangan sufi, bahwa semangat dalam melakukan ibadah kepada Allah adalah sebagai pintu utama untuk memperoleh ridha-Nya, 117 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34 118 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34 58 dengan cara begitu, Allah akan mengangkat (meninggikan) derajatnya, begitu pun bagi orang-orang yang selalu istiqamah menjalankan perintah-Nya maka Allah akan memberikan petunjuk baginya (hidayah). Dengan cara begitu Allah memastikan akan memulyakan kehidupannya. Setelah mengatakan ada pokok-pokok dasar dari pada tingkatan di atas, lanjut Hasyim Asy‟ari memberikan tanda-tanda khusus pada pokok-pokok dasar tersebut (tingkatan-tingkatan) sebagai berikut. Pertama, menuntut ilmu karena melaksanakan perintah Allah. Kedua, bersahabat dengan para Kiyai (ulama) dan saudara-saudaranya, karena hati-hati. Ketiga, meninggalkan hal yang ringan (al-Rukhshah) dan takwilan-takwilan, karena berhati-hati. Keempat, mengatur waktu dengan cara memperbanyak wirid karena hudlur (menghadap kepada Allah). Kelima, menuntut diri (memaksakan) dari segala sesuatu yang menimbulkan nafsu demi menyalamatkan diri dari kehancuran. Sebagaimana ia katakan di dalam kitabnya, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, ضغنٚ ،جْ ٌٍطروغٛجإلسٚ ز٠هذرس جٌّلحٚ ،حَ ذحألِغ١ي جٌ٘الِحش سّـس ٍُد جٌٍُ٘ ٌٍمٛأهٚ ة١ وً كٟحَ جٌٕفؾ فٙجضٚ ،عٌٛعجص ٌٍذٚلحش ذحألًٚرَ جألٚ ،ْالش ٌٍطذف٠ٚجٌطأٚ جٌغسن .جٌـالِس ِٓ جٌِ٘دٚ ٌٜٛٙج ِٓ جٌٍٚغسغ Adapun tanda-tanda pokoknya ada lima, menuntut ilmu karena melaksanakan perintah Allah, berteman dengan para masyaikh dan saudara-saudaranya karena tabashshur (melihat dengan teliti atau pertimbangan yang mendalam), meninggalkan hal-hal yang ringan119 dan takwilan-takwilan karena menjaga diri, mengatur waktu dengan wirid karena hudur (hadir di hadapan-Nya), menuntut diri dalam segala sesuatu untuk menjauh dari hawa nafsu dan terhindar dari kehancuran.120 ﺁفسٚ .ال لحٗضزٚ ً أهٌٝغجٖ ئ٠ ٕح ِّح ال٠صٚ ٗمالٚ فٍِد جٌٍُ٘ ﺁفطٗ هذرس جألدضجظ ؿٕح َحٙﺁفس جضٚ ، جٌٕفؾٍٝٗ الش جٌلفمس٠ٚجٌطأٚ ﺁفس ضغن جٌغسنٚ ،يٌٛجٌفٚ جٌوذرس جالغطغجع .حِٕٙ إسظ٠ ئْ ض٘ضي وً ٗضي الٚ :ٌٝلض لحي جهلل ض٘حٚ .حٙجؿطمحِطٚ حٌٙجٛجٌٕفؾ جألٔؾ ذذـٓ أد 119 Rukhsah, ialah pendapat para Ulama dalam masalah Khilafiyah yang paling ringan yang tidak bersandar pada dalil yang shahih. Dan banyak lagi definisi lainnya. 120 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34-35 59 Adapun bahaya menuntut ilmu ialah bersahabat dengan yang masih dini umur, akal dan agama yang tidak bisa kembali pada asal dan kaidah. Bahaya pertemanan dengan masyaikh ialah terbujuk dan berlebih-lebihan, bahaya meninggalkan rukhshah dan takwilan ialah kikir terhadap diri sendiri dan bahaya menuntut diri ialah bersenangsenang dengan keadaan jiwa yang baik dan lurus. Alah swt berfirman, “Dan jika ia hendak menebus dengan segala macam tebusan niscaya tidak akan diterima darinya”.121 Pertama, Adapun bahaya menuntut ilmu ialah bersahabat dengan yang masih dini (baru belajar), baik secara umur, akal dan agama yang tidak bisa kembali pada asal dan kaidah (asal mula dari suatu perkara). Kedua, bahaya perteman atau berhubungan dengan masyaikh ialah terbujuk dan berlebih-lebihan. Ketiga, bahaya meninggalkan rukhshah (ringan) dan takwilan ialah kikir terhadap diri sendiri. keempat, bahaya menuntut diri ialah menyianyiakan keadaan jiwa yang baik dan lurus.122 Sebagaimana firman Allah SWT, حِٕٙ إسظ٠ جْ ض٘ضي وً ٗضي الٚ Dan jika ia hendak menebus dengan segala macam tebusan niscaya tidak akan diterima darinya. (QS. A-l an‟ām (6) : (71)) Lanjut pada tahapan akhir (puncak tahapan), dari pada tingkatantingkatan di atas. yaitu ada sepuluh; Pertama, tobat dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan. Kedua, mencari ilmu sesuai kebutuhan. Ketiga, tidak meninggalkan thaharah (selalu mensucikan diri dengan cara tidak lapas dari wudlu‟). Keempat, melaksanakan ibadah wajib dan sunnah di awal waktu secara berjamaah. Kelima, menjaga delapan rakaat shalat dluha dan enam rakaat antara maghrib dan isya‟. Keenam, menjaga shalat malam. ketujuh, 121 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35 122 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35 60 melaksanakan shalat witir. Kedelapan, melakukan puasa senin dan kamis serta puasa tiga hari bait dan pada hari yang diutamakan (rajab dan asyura‟). Kesembilan, membaca al-Qur‟an dengan hudlūr (hadir dihadapannya) dan renungan (memikirkan maknanya). Kesepuluh, memperbanyak membaca istingfar serta membaca shalawat kepada nabi Muhammad SWA, dan menjaga dzikir sunnah di pagi dan sore hari.123 Sebagaimana ia katakan, ،٘حشٚجٌّىغٚ ٖ جٌّذغِحش١ّذس ِٓ جٛ ذحٌطٛ٘ٚ ٌٝ جهلل ض٘حٌٝي ئٛهٌٛحْ ج١ ذٟجٌشحضّس ف يٚ أٟجضد فٚجٌغٚ أصجء جٌفغجتيٚ حعزٌِٙ جٍٝٗ جٌّالػِسٚ ،ٗ١ٌٍُد جٌٍُ٘ ذمضع جٌذحجس ئٚ هالزٚ ،جٌ٘لحءٚ ٓ جٌّغغخ١ؿص ذٚ جّحٗسِٝالػِس ثّحْ عو٘حش جٌٌذٚ ،ح جّحٗسٙلطٚ ْز جٌمغﺁٚضالٚ ،حَ جٌفحًٍس٠جألٚ ي١حَ جٌر٠ثالثس أٚ ،ؾ١ّجٌشٚ ٓ١َٕ جالثٛهٚ ،ضغٌٛجٚ ،ً١ٌٍج ،ٍُؿٚ ٗ١ٍٗ جهللٍٝ هٟ جٌٕرٍٝٗ جٌوالزٚ جإلوثحع ِٓ جالؿطغفحعٚ ،جٌطضذغٚ عٌٛذحٌذ ،ِـحءٚ ِالػِس أطوحع جٌـٕس هرحدحٚ Penutup, penjelasan bagaimana jalan menuju kepada Allah SWT. hal itu bisa dilakukan dengan bertaubat dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan, mencari ilmu sesuai kebutuhan, menjaga untuk tidak meninggalkan thaharah, melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah di awal waktu secara berjamaah, menjaga delapan rakaat shalat dhuha dan enam rakaat antara maghrib dan isya‟, menjaga shalat malam, shalat witir, menjaga puasa senin dan kamis, serta puasa tiga hari baidl124 dan hari yang diutamakan (Rajab dan Asyora‟), dan memperbanyak membaca al-Qur‟an dengan penuh hudlūr (hadir di depan-Nya) dan renungan (memikirkan ma‟nanya), dan memperbanyak istighfar, serta membaca shalawat kepada nabi, dan menjaga dzikir sunnah setiap pagi dan sore.125 Penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk sampai kepada Allah (mencapai Ridha Allah). Seorang sufi harus melalui beberapa tahapan-tahapan di atas. Tahapan-tahapan yang disebutkan bisa diambil 123 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35-36 124 Puasa mutih, diambil dari bahasa arab al-Baidl (ي١ )جٌرyang berarti mutih. Hasyim Asy‟ari menjelaskan tentang puasa baidl yang dikutip dari perkataan Nabi Muhammad; َح٠ جٝ٘ٚ حَ جٌض٘غ؛١غ هٙحَ ِٓ وً ك٠حَ ثالثس أ١ ه:ؿٍُ لحيٚ ٗ١ٍٗ جهللٍٝ هٝ جهلل ٕٗٗ ٗٓ جٌٕرًٝغ ذٓ ٗرضجهلل ع٠ٗٓ جغ .جٖ جٌٕـحبٚسّؾ ٗلغز؛ عٚ أعذٖ ٗلغزٚ ذس ثالظ ٗلغز١ي ًر١جٌر bahwa puasa baidl merupakan puasa yang dilakukan setiap bulan tiga kali yang faidahnya seperti melakukan puasa penuh selama 1 tahun. Dilakukan pada tiap tanggal 13,14,dan 15 dengan cara tidak makan, makanya disebut dengan hari mutih ( ي١حَ جٌر٠)أ. Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Awdlaḥ al-bayān, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, (Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007 ), h. 58 125 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35-36 61 kesimpulan, bahwa itu merupakan cara yang ditawarkan oleh Hasyim Asy‟ari untuk mendekatkan diri kepada Allah. Serta tahapan-tahapan tersebut, dekenal dengan istilah maqāmāt (tingkatan-tingkatan) di kalangan para sufi lain. Dalam hal ini, Hasyim Asy‟ari tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh sufi lain, memposisikan tobat pada tingkatan pertama, namun lebih memperinci dan memberikan batasan-batasan khusus di setiap tingkatan-tingkatanya. Dimulai dari tahapan dasar, popok-pokok tahapan dasar, tanda-tanda pokok tahapan dasar, dan sampai pada tahapan puncak. Sepeti yang terdapat pada tabel berikut; Tahapan-tahapan Dasar 1. Takwa 2. Sunnah Rasul 3. Berpaling dari Makhluq 4. Rela kepada Allah 5.Kembali kepada Allah 62 Pokok-Pokok Tahapan Dasar 1. Semangat yang tinggi 2. Menjaga kehormatan 3. Rajin beribadah 4.Melaksankan ketetepan hati 5. Mengagungkat nikmat Tanda-Tanda Pokok Tahapan Dasar 1. Menuntut ilmu karena melaksanakan perintah Allah 2. Bersahabat dengan ulama beserta seluruh keluarganya karena hatihati 3. Meninggalkan hal ringan dan takwilan-takwilan karena berhati-hati 4. Mengatur waktu dengan cara memperbanya wirid karena menghadap kepada Allah 5. Menuntut diri dari segala sesuatu yang menimbulkan nafsu karena untuk menyalamatkan diri dari kehancuran Puncak Tahapan-Tahapan Untuk Mencapai Ridho Allah 1. Tobat dari hal-hal yang haram dan dimakruhkan 2. Mencari ilmu sesuai kebutuhan 3. Selalu mensucikan diri dengan cara tidak lapas whudu‟ 4. Melaksanakan ibadah wajib dan sunnah diawal waktu secara 63 berjamaah 5. Menjaga delapan rakaat shalat dhuha dan enam rakaat antara mangrib dan isya‟ 6. Melaksanakan shalat malam 7. Melaksanakan shalat witir 8. Melaksanakan puasa senin kamis dan puasa tiga hari pada hari yang diutamakan (pada bulan Rajab dan bulan Sya‟ban) 9. Membaca al-Qur‟an dengan merenungkan maknanaya 10. Memperbanyak baca istingfar serta membaca sholawat kepada Nabi Muhammad dan berzikir. 2. Amalan-amalan Di dalam pembahasan kali ini penulis akan menguraikan tentang amalan-amalan praktis yang dianjurkan oleh Hasyim Asy‟ari. Seperti aliran tarekat, baik tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan orang-orang yang ingin menempuh kehidupan tasawuf, atau Tarekat yang diartikan sebagai sebuah perkumpulan (organisasi). Amalan-amalan praktis ini tidak lain adalah aplikasi dari apa yang terkandung di dalam alQur‟an, serta peneladanan terhadap Nabi Muhammad, pun juga para sahabatsahabatnya.126 Hal ini juga merupakan anjuran langsung dari Allah SWT. Sebagaimana firmanya. .لغن ذ٘رحصزعذٗ أدضج٠الٚ ًّ٘ ّٗال هحٌذح١ٍج ٌمحء عذٗ فٛغج٠ ْفّٓ وح “maka barangsiapa yang ingin menghadap Allah, maka hendaklah mengerjakan amalan baik dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadah kepada Tuhan.” (QS. Al-Kahfi: 110). 126 Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta: Qisthi Press, 2014),h. 22 64 Dan juga hadits yang diriwayatkan dari abu Huraira bahwa Rasulullah bersabda, “Allah telah berfirman, .ٖ كفطحٟضذغوص ذٚ ٟٔط وغٛ٘ ئطجٞأٔح ِٖ ٗرض “Aku bersama hamba-Ku selama dia berzikir kepada-Ku dan kedua bibirya bergerak menyebut-Ku.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad dan Hakim). Kalangan sufi mempunyai guru tersendiri, tak heran jika amalanamalan di kalangan sufi merupakan sebuah pokok keharusan, karena hal tersebut merupakan sebuah cara atau metode untuk mendekatkan diri kapada Tuhan-Nya, seperti tokoh-tokoh sufi terdahulu yang menekankan pada beberapa bacaan (amalan khusus) baik shalawat, bacaan Qur‟an dan zikir-zikir tertentu. Seperti yang dilakukan oleh Syekh Abd Al-Qodir Al-Jailani dalam anjurannya untuk memperbanyak amalan-amalan127. Hasyim Asy‟ari mengatakan, seperti yang telah dikatakan di pasal sebelumnya, bahwa sesorang yang ingin sampai kepada Allah, harus memperbanyak membaca amalan. Istighfar, membaca sholawat kepada nabi Muhammad SWA, dan menjaga dzikir sunnah di pagi dan sore hari. Sebagai mana perkataannya, جهللٍٝ هٟ جٌٕرٍٝٗ جٌوالزٚ جإلوثحع ِٓ جالؿطغفحعٚ ،جٌطضذغٚ عٌٛز جٌمغﺁْ ذحٌذٚضالٚ ،ِـحءٚ ِالػِس أطوحع جٌـٕس هرحدحٚ ،ٍُؿٚ ٗ١ٍٗ Dan memperbanyak membaca al-Qur‟an dengan penuh hudlur (hadir di depan-Nya) serta renungan (memikirkan maknanya), memperbanyak istighfar, serta membaca shalawat kepada nabi, dan menjaga dzikir sunnah setiap pagi dan sore.128 Berikut beberapa amalan-amalan yang dianjurkan untuk dibaca. 127 Amalan yang dimaksud disini meliputi bacan-bacan zikir yang diajaurkan oleh sang guru, shalawat dan sebagian dari bacan-bacan al-Qur‟an. 128 Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 36 65 /أهرخٚ غ أهرذٕح١ جٌّو/عٛه جٌٕل١ٌجٚ شّٛٔ ذهٚ ٝ١ذه ٔذٚ ٟذه ّٔـٚ ُ ذه ٔورخٌٍٙج ِٓح ؿىٚ حعٌٕٙجٚ ً١ٌٍجٚ جٌشٍكٚ جٌّ٘ٔس هللٚ حء٠جٌىرغٚ جٌذّضهللٚ جٌٍّه هللٝأِـٚ ٕح١أِـ ه ٌه فٍه٠دضن الكغٚ ذأجض ِٓ سٍمه فّٕهٚ ِٓ ّٔ٘س جٟ ذٝ أِـ/ُ ِح أهرخٌٍّٙح هلل جٙ١ف 3x. ٌه جٌلىغٚ جٌذّض Do‟a di atas merupakan bacaan yang dianjurkan untuk dibaca sebagai dzikir di waktu pagi dan sore hari. Lafad al-Nusyur (عٛ )جٌٕلJika dibaca pagi hari, dan jika dibaca sore hari diganti dengan lafadz al-Mashir (غ١)جٌّو. Lafad ashbahna wa ashbaha (أهرخٚ )أهرذٕحjika dibaca di waktu pagi, dan jika dibaca pada sore hari, diganti menjadi amsaina wa amsi (ٝأِـٚ ٕح١)جِـ.129 ٖ سٍمه أٔه أٔص١ّجٚ ِال تىطهٚ ض دٍّس ٗغكهٙأكٚ ضنٙص أك١ أِـ/ أهرذصُٟٔ ئٌٍٙج جهلل 4x .ٌهٛعؿٚ أْ ِذّضج ٗرضنٚ ه ٌه٠دضن ال كغٚ الجٌٗ جال أٔص 3x .الٛعؿٚ ض ٔح ِذّضج ٗرضن١ذـٚ ٕح٠ذحإلؿالَ صٚ ص ذحهلل عذح١ًع Dan beberapa bacaan yang diambil dari al-Qur‟an, sebagai berikut, . 129 ٖٔٓ . Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 36 130 QS. Al-Baqorah (02) (275-276). 66 3xٖٔٔ. 3x.ٖٕٔ Membaca surah Yasin. 3x 3x. ُ١ِحْ جٌغج١ُ ِٓ جٌل١ٌٍٖ٘ ج١ّط ذحهلل جٌـٛٗأ 3x.ٖٖٔ. Membaca surah al-Ikhlas, dan surah al-Ma‟dzutain. 3x Beberapa bacaan lain yang juga dianjurkan oleh Hasyim Asy‟ari; 3x .ُ١ٌٍٖ٘ ج١ّ جٌـٛ٘ٚ جٌـّحءٟال لٚ جالعىٟة ف١ٌغ ِٖ جؿّٗ ك٠ الٞذـُ جهلل جٌظ ْجٚ ٓ١ُح١ِٓ ّ٘ؼجش جٌلٚ ٖكغ ٗرحصٚ ٗٗمحذٚ ٗط ذىٍّحش جهلل جٌطحِحش ِٓ غٌرٛٗأ 3x .ْٚذٌغ٠ 3x .ٗ١ٌخ جٛأضٚ َٛ١ جٌمٟ جٌذٛ٘ الئٌٗ جالُٞ جٌٍظ١ٌٔ٘جؿطغفغ جهلل ج 3x .ٖذذّضٚ ؿرذحْ جهلل 131 QS. Al-Taubah (09) (129). QS. Al-Rum (30) (17-19). 133 QS. Al-Hasyar (59) (21-24). 132 67 3x .ِٗضجص وٍّح ضٚ ٗػٔس ٗغكٚ ٗعًح ٔفـٚ ٗذذّضٖ ٗضص سٍمٚ ؿرذحْ جهلل 100x .جهلل أورغٚ ال جٌٗ جهللٚ جٌذض هللٚ ؿرذحْ جهلل 100x .ُ١ٌٔ٘ جٌٍٟ٘ز جال ذحهلل جٛال لٚ يٛال د 100x .ٓ١الجٌٗ جالجهلل جٌٍّه جٌذك جٌّر 100x atau 3x.غ٠ة لض١ وً كٍٝٗ ٛ٘ٚ ٌٗ جٌذّضٚ ه ٌٗ ٌٗ جٌٍّه٠دضٖ الكغٚ الجٌٗ جالجهلل ٗهذرٚ ٌٗ جٍٝٗٚ ٌٟه جٌٕرٛعؿٚ ره١درٚ ه١ٔرٚ ضٔح ِذّضٗرضن١ ؿٍٝٗ ًُ هٌٍٙج 100x atau 3x.ٍُؿٚ Amalan-amalan di atas bisa disimpulkan sebagai sebuah tarekat (jalan) Hasyim Asy‟ari untuk sampai kepada Allah. Amalan-amalan di atas mirip dangan amalan-amalan tarekat Syādziliyah. Dengan hal itu, kemungkinan besar Hasyim Asy‟ari merupakan seorang pengamal dari ajaran tarekat tersebut, meskipun pada dasarnya beliau seorang sufi yang tidak memiliki ikatan kepada salah satu aliran tarekat tertentu. Kendati demikian beliau tidak melarang, dan tidak menganjurkan para murid-muridnya untuk mengikuti aliran-aliran tarekat yang ada. Kemungkinan besar bahwa ia sebagai salah satu pengamal dari Tarekat Syādziliyah diperkuaat dengan adanya kemiripan terhadap amalaamalan yang ia anjurkan, hal tersebut juga diperkuat dengan adanya penemuan, bahwa Hasyim Asy‟ari pernah menerima ajaran terikat dari gurunya sewaktu ia belajar di Mekkah, yaitu dari Syeikh Mahfud Tarmes. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkina bahwa pengamalan Syādziliyah Hasyim Asy‟ari mendapat dari Syeikh mahfud, ditambah lagi beliau merupakan orang yang dikader oleh Syeikh Mahfud. Sedangkan Syeikh Mahfud mendapat ajaran langsung al-Sayyid Abi Bakar Syathā al-Makkī yang sanad-nya bersambung sampai pada Imam Abi al-Hasan al-Syādzilī. 68 Berikut adalah tabel sanad keilmuan Hasyim Asy‟ari: Nawawi 1813-1897 Syeikh Ahmad Mahfud Termas Khatib Minangkabau 1868-1920 Khalil Bangkalan Ya‟qub 1820-1923 Hasyim Asy‟ari (Hadratus Syeikh) 1971-1947 Ro-is „Am NU 1, 1926-1947 Bisri Samsuri 1886-1980 Ro-is „Am NU III 1972-1980 Wahab Hasbullah 1888-1971 Ro-is „Am NU II 1947-1971 Pemimpin Ulama Pesantren di Jawa Dewasa ini. 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan panjang lebar terkait pandangan tashawuf Hasyim Asy‟ari dalam kitab Risālah Jāmi„ah al-Maqāṣid, kemudian penulis ingin memberikan kesimpulan dari pada penjelasan sebelumnya yang dapat penulis pahami. Di antara pandangan tashawuf Hasyim Asy‟ari di dalam kitab tersebut berbicara tentang bagaimana cara menuju kepada Allah. Beliau juga penekanan terhadap beberapa amalan-amalan khusus yang dianjurkan untuk dibaca. Diantaranya, seperti bacaan zikir, doa, dan sebagian bacaan yang diambil dari al-Qur‟an untuk dibaca pada waktu pagi dan sore hari, hal tersebut penulis mengartikan sebagai amalan Tarekat Hasyim Asy‟ari. Pandangan menarik yang ditawarkan Hasyim Asy‟ari dalam kitab tersebut, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan serta penekanan beliau untuk selalu mencontoh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, niat yang ikhlas tanpa pamrih dalam setiap melakukan ibadah kepada Allah, bersahabat dengan para ulama, mengatur waktu dengan cara memperbanyak zikir dan meninggalkan diri sesuatau yang menyebabkan datangnya nafsu untuk menyelamatkan diri dari kehancuran, karena dengan begitu manusia akan sampai kepada Tuhannya. Namun ada beberapa penekanan yang dikemukakan Hasyim Asy‟ari; Pertama, bertaubat dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan. Kedua, mencari ilmu sesuai kebutuhan. Ketiga, tidak meninggalkan thaharah (mensucikan diri dengan cara tidak lapas dari wudlu‟). Keempat, 69 70 melaksanakan ibadah wajib dan sunnah di awal waktu secara berjemaah. Kelima, menjaga delapan rakaat sholat dluha dan enam rakaat antara mangrib dan isya‟. Keenam, menjaga shalat malam. ketujuh, melaksanakan shalat witir. Kedelapan, melakukan puasa Senin dan Kamis serta puasa tiga hari baidl dan pada hari yang diutamakan (rajab dan ashora‟). Kesembilan, membaca alQur‟an dengan hudlur (hadir dihadapannya) dan renungan (memikirkan maknanya). Kesepuluh, memperbanyak baca istingfar serta membaca shalawat kepada nabi Muhammad SWA, dan menjaga zikir sunnah di pagi dan sore hari. Kesimpulan diatas memberikan pandangan, bahwa Hasyim Asy‟ari merupakan seorang sufi yang mengamalkan tarekat Syādziliyah meskipun pada dasarnya ia tidak mau terikat pada sebuah tarekat manapun. Namun gambaran tingkatan-tingkatan untuk sampai kepada Allah, Hasyim Asy‟ari memiliki kesamaan dengan tokoh-tokoh sufi yang lain, yakni memposisikan tobat sebagai langkah pertama, pun juga ada beberapa perbedaan di dalamnya. Adanya beberapa perincian tahapan-tahapan untuk sampai kepada Allah yang dibagi menjadi empat tahapan Pertama, tahapan-tahapan dasar. Kedua, pokok-pokok tahapan dasar. Ketiga, tanda-tanda pokok tahapan dasar. Keempat, puncak tahapan-tahapan untuk mencapai ridha Allah. B. Saran-saran Setelah mengemukakan kesimpulan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis menyadari bahwa dalam memahami salah satu karya dari Hasyim Asy‟ari sanget membutuhkan karangka analisa yang lengkap, tentu didalam pembahsan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis manyadari bahwa skripsi ini masih jauh 71 dari kesempurnaan baik dari teknis penulisan, repfrensi, serta materi yang disampainkan. Karena Hasyim Asy‟ari merupakan ulama besar yang kaya akan ilmu dan luas akan pemikiran. Maka dari itu perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pemikiran tokoh ini. Besar harapan jika nantinya ada yang meneliti tentang tema ini, semoga tidak hanya fokus disatu kitab tertentu yang beliau tulis, karena masih banyak beberapa konsep lain tentang taswauf yang beliau tulis didalam kitab lain dalam hasil karyanya. Besar harapan keritikan dan saran bagi para pembaca, jika menemukan kekurangan dan kesalahan dari apa yang penulis teliti, untuk mencapai penelitian yang lebih baik ke depannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis pribadi. Amin. 72 DAFTAR PUSTAKA Achmad, Amrullah. Perspektif Islam Dalam Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: PLP2M, 1987. Asad, Syihab. Hadlratus syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari Perintis Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1994. Asy‟ari, Syaikh Muhammad Hasyim, Irsyād al-Mu‟minīn, Irshd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Shaykh Hasyim Ays‟ari. Jombang: Maktabah Turast alIslami, 2007. ____________. Al-Risālah Jāmi„ah al-Maqāṣid, Irshd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Shaykh Hasyim Ays‟ari. Jombang: Maktabah Turast alIslami, 2007. ___________. Irshd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafat al-Shaykh Hasyim Ays‟ari. Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007. Aboebakar. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim. Bandung: Mizan, 2011. Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2014. Agama Islam Negeri, Institut. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: tampa nama penerbit dan tahun cetak. Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010. „Arabi, Ibnu. Wasiat-Wasiat Ibnu „Arabi, terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014. Bahri, Media Zainun. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlangga, 2010. Dhofir, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 2011. Ghalab, Muhammad. Al-Tasawuf al-Muqaran. Al-qahirah. Maktabah Nahdhah Mesir, 1957. Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI- Pres/Tinta Mas, 2006. Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit, 2015. Hamid, Shalahuddin dan Ahza, Iskandar. 100 Tokoh Islam Paling Perpengaruh di Indonesia. Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara, 2003. Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Isam dan Akhlak, terj. Kamran As‟at Irsyady, Jakarta: Amzah, 2011. Halim, Abdul. Dzunnun al-Misri, tampa penerbit dan tahun cetak. 73 Hamid, Abdul. Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Paramadinah, 2001. Ismail al-Bukhāri, Muhammad bin. Shahih Bukhāri, Bairut: Dar Ibnu Katsir, 1987. Ishom, Hadzir. K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati. Surabaya: Pustaka Wrisan Islam, 2000. Isa, Syaikh Abdul al-Qadir. Hakikat Tasawuf, terj. Harahap Khairul Amru. Jakarta: Qisthi Press, 2014. Jaya, Kahmi. Indonesia di Simpang Jalan. Bandung: Mizan Pustaka, 1998. Jalal, Muhammad Syaraf. Tasawuf Islam Mazhab Baghdad. Tangerang: Gaya Media Pratama, 2014. Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari. Jogjakarta: LKIS, 2000. Khitimah, Husnul. “Tasawuf Sebagai Metode Terapi Krisis Manusia Modern Menurut Pemikiran Hamka.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Muhammad Yāsīn bin „Isā al-Fādānī al-Makkī, Abi al-Faidl. Kifāyatu al-Mustafīd limā „Alā min al-Asānīdi. Bairut: Dār al-Basyāir al-Islāmiyyah, 2008. Majid, Nurcholish. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadinah, 1997. Mutqin, Hilman. “Pandangan K.H. Muhammah Hasyim Asy‟ari Tentang Taqlid Dalam Fiqh.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Mursyidi, Achmad. Ulama, Pejuang, Dan Politisi dari Betawi. Jakarta: Pustaka Darul Hikmah, 2003. Misrawi, Zuhairi. Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat. Ciputat: LSIP Jakarta, 2005. Muhibbin, Zuhri. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Surabaya: Khalista, 2010. Mustafa, Akhlak Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia, 1997. Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta, Raja Wali Pres, 2015. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. 74 Ngabdurrahman. Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah. Jakarta: LTM PBNU dan Pesantren Ciganjur, 2011. Ris‟an, Rusli. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: Raja Wali, 2013. Risad, Mahbub, Perilaku Tasawuf Gus Dur. Uin Jakarta: Skripsi, Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin, 2011. Syaifuddin Aman dan Isa Abdul Qadir. Tasawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa dan Raga. Banten: Ruhama, Cet. Ke IV, 2014. Syaechudi, Syaikh Al-Waasi‟ Achma. Bulan Terang di Bukhara. Jakarta: Khazanah, 2007. Toriquddin. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN-Malang, 2008. Permana, Aramdhan Kodrat, Nuansa Tasawwuf. Bekasi: An Nahl, 2016. Ya‟Qub, Hamzah. Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin. Jakarta: Atisa, 1992. Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu,2007. Zain, Adib. Zahid dan Hakim, Luqmanul Dkk. Mengenal Thariqah. Semarang: Anika Ilmu Semarang, 2005. 75