PANDANGAN TASHAWUF KH HASYIM ASY`ARI

advertisement
PANDANGAN TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI
DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Serjana Strata Satu (S1)
Oleh:
BAHRIYADI
1112033100066
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
“PANDANGAN TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB
RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID”
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Strata Satu
(S1)
Oleh:
Bahriyadi
NIM. 1112033100066
Dosen Pembimbing
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA
NIP. 19690210 199403 2 004
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
i
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
: Bahriyadi
NIM
: 1112033100066
Program Studi
: Aqidah dan Filsafat Islam
Tempat, Tanggal Lahir
: Pamekasan, 02 Mei 1993
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini asli merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di
Universitas Negeri Syarif Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 04 Februari 2017
Bahriyadi
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PANDANGAN TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI
DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID” telah diujikan dalam
sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 April 2017. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Sidang Munaqasyah;
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP: 19680803 199403 2 002
Abdul Hakim Wahid, SHI., MA
NIP: 19680424 201503 1 001
Anggota;
Penguji 2,
Penguji 1,
Hanafi, MA
NIP: 19691216 199603 1 002
Arrazy Hasyim, MA
Pembimbing;
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA
NIP. 19690210 199403 2 004
iii
ABSTRAKSI
Hasyim Asy‟ari merupakan ulama besar pada abad pertama
pertengahan ke-20, beliau merupan sosok ulama yang produktif. Beliau banyak
menghasilkan karya tulis dan ide-ide pemikiran yang dituangkan kedalam
beberapa hasil karyanya. Ia juga merupana ulama pejuang untuk kemerdekan
Indonesia dari penjajahan Belanda. Beliau sanget diakui dikalangan para
Ulama Nusantara, dan kalangan para pejuang kemerdekaan bahkan hinggak
manca Negara, atas kepandaian ilmu yang dimilikinya. Beliau juga masih
keturunan Raja Brawijaya, dan elit Agama (Islam) Jawa (Sunan Giri dan Sunan
Gunungjati).
Hasyim Asy‟ari menghasilkan banyak karya tulis, diantara karyakaryanya menjadi rujukan penting dan kajian khusus dibeberapa Pondok
peasantren di Indonesia, khususnya Pondok pesantren di Jawa dan Madura.
Bukan hanya karya tulis yang dihasilkan, tetepi beliau juga mendirikan sebuah
organisasi yang dikenal dengan N-U (Nahdlatul Ulama). ulama-ulama lain
mengakui atas kepintarannya, sehingga para ulama memberikan gelar
“Hadratus Syaikh” (Sang Maha Guru). Salah satu diantara kitap beliau yang
membahas tasawuf, Risālah Jāmi„ah al-Maqāṣid di dalamnya ia memeberikan
gambaran bagaimana jalan sampai kepada Allah dengan beberapa pandangan
yang dikemukakan, diantaranya melaksana perintah Allah dan menjauhi
larangannya, serta mentauladani baginda nabi Muhammad SAW. Ditekankan
juga untuk selalu berdzikir (Doa) di waktu pagi dan sore beliau jadikan sebagai
sebuah tarekat, karena dengan cara begitu manusia bisa sampai kepada
tuhannya (Allah).
Kata kunci; Hadratus Syaikh, Tashawuf, Jalan Menuju Allah.
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam
yang telah memberikan kekuatan bagi hamba-Nya untuk menjalankan segala
aktifitasnya. Berkat pertolongan dan kekuatan yang diberikan, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semuga tetep tercurahkan
kepada sang legendaris dunia, baginda nabi besar Muhammad SAW, sebagai
penutan bagi ummat Islam yang menjadikan teladan dan panutan hidup. Beliau
diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana sabdanya,
‫إّٔحذ٘ثص ألضُّ ِىحعَ جألسالق‬
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang
mulya”
Semoga kita semua dapat meneladaninya, dalam segala hal yang
telah beliau contohkan kepada kita semua. Kita sebagai ummatnya semoga
mendapatkan syafa‟at di dunia dan di akhirat nanti. Selanjutnya penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
kontribusi besar atas selesainya penulisan sikripsi ini, penulis menyadari
sikripsi ini tidak mungkin rampung tanpa bantuan, dukungan dan doronganya,
oleh karena itu penulis mengucakan terimakasih banyak kepada;
1. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terima kasih
sudah menerima, membimbing, menasehati, dan sabar dalam memberikan
masukan
serta
arahan
kepada
penulis,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penulisan dengan baik.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam. Abdul Hakim Wahid, SHI.,MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam, dan Dr. Edwin Syarif, M.Ag. Sebagai Dosen
v
pembimbing Akademik penulis. Terima kasih banyak atas nasihat,
dorongan dan bantuannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan
judul skripsi ini.
3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin..
4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
tidak bisa penulis sebut namanya satu persatu. Semoga ilmu yang telah
diajarkan kepada penulis dapat diamalkan dan semoga kelak mendapat
balasan dar Allah.
5. Kepada kedua orang tua tercinta. Bpak Suda‟i dan Ibu Tiparmi. Yang telah
merustui penulis untuk melanjutkan Studi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Karena berkat doa dan dorongan beliau penulis pada akhirnya
dapat menyelesaikan masa pendidikan dengan baik. Juga kepada kakak
dan adek penulis: Sa‟odah, Habiburrahman dan Rosiyah serta keponakan
tercinta; Filda Yatus Syafirah dan Muhammad Wasik. Karena mereka
semua, penulis semangat dan gigih dalam menyelesaikan skripsi ini, guna
menjadi teladan yang baik.
6. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi
dan birokrasi.
7. Kepada temen-teman angkata AF12 (Aqidah Filsafat 2012), yang berasal
dari Sabang sampai Merauke, yang tidak bisa penulis sebut namanya satusatu. Terimkasih banyak atas diskusi-diskusinya.
vi
8. Kepada temen-temen Se-Organisasi: Tretan-tretan Pengurus Forum
Mahasiswa Madura (FORMAD) Se-Jabodetabek. Kawan-kawan Ikatan
Mahasiwa Bata-Bata (IMABA) Se-Asia, utamanya kawan-kawan IMABA
Se-Jabodetabek. Kakak-kakak angkatan; Muhammad Salim, Mustafa Afif,
Izzat Gazali, Khoirul Anam dll, terimakasih banyak telah membantu
mendaftar penulis kuliah di UIN Jakarta, memberikan arahan serta
motivasi bagi penulis. Juga buat kawan-kawan seangkatan 12, Baihakim,
Ahmad Fauzi dll. Dan juga buat adek-adek angkatan yang tidak bisa saya
sebut satu persatu. Juga IMABA MALAYSIA. Yang tidak bisa disebut
satu-persatu.
Terimakasih
banyak.
Kawan-kawan
Himpunan
Mahawasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, utamanya Komisariat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam (KOMFUF), kakanda Dani
Ramdani, Bahrur Rosi, dll. Terimakasih atas diskusi-diskusinya, dan telah
banyak memberikan arahan kepada penulis pada saat Maba. Kawan-kawan
Himpunan Pengusaha Muda Perguruan Tinggi (HIPMI PT) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Wendi, Burhan, Iqbal, Intan, Gigi, Kiki, dan Badrus.
9.
Temen-temen Kuliah Kerja Nyata (KKN) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2015, Kelompok MAHATMA. Yang telah wisuda mendahului
penulis.
10. Temen-temen seperjuangan.
Jakarta, 4 Februri 2017
(Bahriyadi)
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...............................................iii
ABSTRAK ......................................................................................................iv
KATA PENGANTAR.....................................................................................v
DAFTAR ISI ...................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah .......................................................1
B.
Batasan dan Rumusan Masalah ............................................7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................7
D.
Tinjauan Pustaka ..................................................................8
E.
Metodologi Penelitian ..........................................................10
F.
Sistematika Penulisan ...........................................................11
BAB II BIOGRAFI
A.
Latar Belakang Keluarga ......................................................14
B.
Latar Belakang Sosial Budaya .............................................17
C.
Latar Belakang Pendidikan ..................................................19
D.
Sanat Tashawuf Hasyim Asy‟ari ..........................................25
E.
Karya-karyanya ....................................................................27
BAB III TASAWUF
A.
Pengertian dan Tujuan Tashawuf .........................................30
B.
Sumber Ajaran Tashawuf .....................................................38
viii
C.
Maqamat dan Ahwal ............................................................45
D.
Tarekat ..................................................................................48
BAB IV TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB
RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID
A.
Penisbahan Kitab Kepada Hasyim Asy‟ari ..........................51
B.
Corak Pemikiran ...................................................................52
C.
Tema-tema Tasawuf dalam Kitab RISᾹLAH JᾹMI„AH ALMAQᾹSHID .................................................................................54
1.
Jalan Menuju Allah ..............................................................54
2.
Amalan-Amalan (wiritan) ....................................................63
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan ...........................................................................69
B.
Saran-saran ...........................................................................71
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................73
LAMPIRAN ...................................................................................................76
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Indonesia
Inggris
Arab
Indonesia
Inggris
‫ج‬
A
A
ٍ
th
ṭ
‫خ‬
B
B
ّ
zh
ẓ
‫ش‬
T
T
ٕ
„
„
‫ظ‬
Ts
Th
ٙ
gh
Gh
‫ج‬
J
J
‫ف‬
f
F
‫ح‬
ḥ
ḥ
‫ق‬
q
Q
‫ر‬
Kh
Kh
‫ن‬
k
K
‫ص‬
D
D
‫ي‬
l
L
‫ط‬
Dz
Dh
َ
m
M
‫ع‬
R
R
ْ
n
N
‫ػ‬
Z
Z
ٚ
w
W
‫ؽ‬
S
S
ٖ
h
H
‫ف‬
Sy
Sh
‫ء‬
,
,
‫م‬
Sh
ṣ
ٞ
y
Y
‫ى‬
Dl
ḍ
Vokal Panjang
Arab
Indonesia
Inggris
‫ﺁ‬
Ā
Ā
ِْٜ‫ئ‬
Ī
Ī
ْٚ‫ُأ‬
Ū
ū
x
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah telah mencatat betapa besar sumbangan para ulama dalam
menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan agama. Bukan saja ilmu
pengetahuan agama dalam arti sempit seperti aqidah, syari‟ah, akhlaq dan
tashawuf,
juga seperti filsafat, sains, matematika, fisika, kimia, biologi,
astronomi, kedokteran, sosiologi, ekonomi, dan politik.
Apabila pada zaman Yunani kuno kita mengenal para filosof dan
ilmuwan seperti Socrates, Plato, Aritoteles, serta pada abad modern ada Rene
Descartes, John Locke, David Hume, dan Immanuel Kant, yang notabenenya
non muslim, maka tidak boleh melupakan bahwa pada Abad Pertengahan,
khususnya pada sekitar abad ke-8 sampai abad ke-12 M. para ulama dan filosof
muslim telah berhasil menempati jenjang terhormat dalam penemuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan serta menciptakan apa yang dikenal sebagai
Masa Kejayaan atau Abad Keemasan.1
Dewasa ini, kaum muslimin di seluruh dunia khususnya di Indonesia,
merasa kesulitan untuk menemukan seorang figur ulama, untuk dijadikan
pemimpin atau
pelopor yang mampu mengembangkan IPTEK
Pengetahuan dan Tekhnologi) dan
(Ilmu
mampu memberikan solusi terhadap
berbagai permasalahan umat yang semakin komplek.2
1
Achmad Mursyidi, Ulama, Pejuang, Dan Politisi dari Betawi (Jakarta: Pustaka Darul
Hikmah, 2003), h. 67.
2
Achmad Mursyidi, Ulama, Pejuang, Dan Politisi dari Betawi, h. 68.
1
2
Apabila kita melihat dengan mata terbuka, dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini, kita dapat memahami
bahwa kita sedang menghadapi krisis nasional yang bersifat multidimensi.
Tidak berlebihan, bila permasalahan ini penulis katakan sebagai krisis sosial,
krisis akhlak, krisis politik, krisis disiplin nasional, krisis moneter/ekonomi,
dan bahkan krisis kemanusiaan.
Selain dari permasalahan yang disebutkan pada pasal sebelumnya,
ketimpangan sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin, permasalahan
moral (Akhlak) juga terjadi. Sehingga cita-cita seorang pemimpin dalam proses
memperbaiki kehidupan masyarakat cenderung gagal yang pada akhirnya
menimbulkan fenomena muntaber (munafik tapi berhasil).3
Berdasarkan itu, manusia dituntut untuk melakukan perubahan
terhadap realita yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (seperti yang
telah dijelaskan pada alinea sebelumnya). Penyelesaian ini, harus didasarkan
atas kesadaran (Individu/kelompok) sebagai keharusan untuk mewujudkan
kemerdekaan (Ikhtiyār dan Taqdīr).
Pada
proses
kesadaranlah,
manusia
dapat
melakukan
suatu
perubahan. Sebab, perubahan (pada yang lebih baik/saleh) merupakan cita-cita
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (free will). Sebab sifat pasrah
(fatalis) bukanlah ciri manusia yang merdeka, melainkan sebuah sifat yang
membawa pada kemunduran dalam sebuah peradaban, inilah yang menjadi
rujukan utama dari pesan agama (wahyu) bahwa “manusia adalah mahluk
berfikir/beragama” (al-Hayawān al-Nātiq).
3
Kahmi Jaya, Indonesia di Simpang Jalan (Bandung: Mizan Pustaka, 1998), h. 17.
3
Namun, sampai saat ini yang menjadi masalah besar adalah, mereka
(umat Islam) masih terlalu asik dengan kejayaan masa lalu (pembebasan yang
dilakukan oleh para sahabat).4 Selain dari itu, permasalahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara juga disebabkan oleh kemandekan cara berfikir, yang
mana kemandekan itu terjadi oleh sebab terlalu mensucikan pesan agama
(wahyu) secara tekstual.5
Mengacu pada penjelasan pasal di atas, manusia sebagai khalifah di
Bumi (Khalifah Fi al-Ard), manusia mempunyai tanggung jawab yang sangat
besar untuk melakukan sebuah perubahan (Ikhtiyār) yang didasarkan pada alQur‟an dan Hadist.6
Berbicara mengenai perubahan tentu ada solusi yang ditawarkan,
dalam hal ini selain dari keilmuan lain, penulis menawarkan
bahwa
tashawuflah yang mampu melakukan sebuah perubahan, pemikiran dan prilaku
seseorang, seperti yang dikatakan Eric Giovroa, guru besar berkebangsaan
Perancis di Universitas Luxemburg menegaskan: “masa depan Islam dipastikan
tergantung pada arus tashawuf“, bahkan ada generasi Muslim baru yang
menegaskan bahwa solusi kehidupan masa kita ada di tangan tashawuf.7
Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa tashawuf
menjadi sebuah solusi dalam melakukan perubahan? Sebab, sebuah masalah itu
dimulai dari hati, dan hati merupakan komandan tertinggi bagi seseorang, jika
4
Mahbub Risad, Perilaku Tashawuf Gus Dur (Uin Jakarta: Skripsi, 2011), h. 1.
Zuhairi Misrawi, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat
(Ciputat: LSIP Jakarta, 2005), Cet. Ke II. h. Xi.
6
Achmad Amrullah, Perspektif Islam Dalam Pembangunan Bangsa (Yogyakarta:
PLP2M, 1987), h. 194-195.
7
Aman Syaifuddin dan Abdul Qadir Isa, Tashawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa
dan Raga ( Banten: Ruhama, 2014), Cet. Ke IV. h. 29.
5
4
hatinya baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika rusak, maka rusakalah
seluruh jasadnya. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad,
‫ جٌمٍد‬ٟ٘ٚ ‫ئطج فـض ش فـض جٌجـض وٍٗ أال‬ٚ ٍٗ‫ جٌجـض ٌِغس ئطج هٍذص هٍخ جٌجـض و‬ٟ‫ئْ ف‬ٚ ‫أال‬
“Ingatlah! Di dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Jika dia baik,
maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah
seluruh tubuhnya. Segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalam tashawuf, hati dikondisikan sedemikian rupa, sehingga
menjadi suci dan bersih dari berbagai penyakit mental. Singkatnya, puncak
kehidupan spiritual diperoleh dalam tashawuf. Dengan spritualitas manusia
mendapat kesadaran illahiah tertinggi dalam menjalankan misi hidupnya.
Tashawuf bukanlah wacana, tetapi merupakan tindakan nyata dan
kongkrit yang keluar murni dari hati yang bersih dan jiwa yang suci. Tashawuf
mendudukkan manusia sebagai makhluk terhormat, tashawuf menciptakan
manusia memiliki rasa keindahan dalam hidup, rasa cinta, rasa damai, tentram,
bahagia, dekat dengan Allah dan juga dekat dengan sesama makhluk Allah.8
Luasnya tashawuf hampir dalam seluruh episode peradaban Islam
menandakan bahwa taswuf relevan dengan kebutuhan ummat. Menurut
Hamka, tashawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan
jantung dari keislaman. Hamka juga sering memperkenalkan konsep neozuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak
proporsional merupakan kenistaan. Pendekatan tashawuf yang seperti ini
sangat relevan dalam mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern, agar bisa
8
Aman Syaifuddin dan Abdul Qadir Isa, Tashawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa
dan Raga, h. 30.
5
menormalkan pandangannya tentang relasi dirinya (manusia) dengan
sesamanya, pekerjaan dan eksistensinya.9
Pada intinya tashawuf memberikan ajaran penting yang perlu untuk
dikaji oleh seluruh ummat muslim, khususnya muslim Indonesia yang telah
dicontohkan oleh Buya Hamka sebagai seorang reformis Islam, karena
tashawuf tidak hanya memperhatikan aspek hati dan jiwa. Namun, tashawuf
telah merumuskan metode praktis yang dapat mengantarkan seorang muslim ke
tingkat kesempurnaan iman dan akhlak, dan dapat mengubah diri seseorang
dari kepribadian yang sesat dan menyimpang menuju kepribadian yang lurus,
ideal dan sempurna. Dan perubahan itu mencakup aspek pelurusan iman,
ibadah yang ikhlas, muamalah yang baik dan akhlak yang terpuji.10
Untuk itu penting kita menggali lebih dalam tentang tashawuf, karena
mungkin saja terjadinya beberapa penyimpangan dan penyesatan dalam ajaranajarannya. KH. Hasyim Asy‟ari yang selanjutnya akan ditulis Hasyim Asy‟ari
dalam kitabnya (Risalah ahl al-sunnah wa al-jamā„ah) mengatakan, terdapat
beberapa penyimpangan konsep tashawuf dalam ajarannya. Seperti yang
dilakukan oleh kelompok Ibāḥiyūn, mereka (kelompok) telah menganggap
gugurnya kewajiban syariat untuk maqām tertentu dalam golongan kaum sufi
yang mereka anggap telah mencapai puncaknya Mahabbah. Mereka
(menganggap) telah bersih hatinya dari sifat ghaflah (lalai).11 Penganut
thariqah sufi dan para sufi tetaplah wajib menjalankan syariat, dimanapun,
9
Husnul Khotimah, Tashawuf Sebagai Metode Terapi Krisis Manusia Modern Menurut
Pemikiran Hamka (UIN Jakarta: Skripsi, 2009.), h. 6.
10
Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tashawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta:
Qisthi Press, 2014), h. 19.
11
Ngabdurrahman, Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah (Jakarta: LTM PBNU dan
Pesantren Ciganjur, 2011), h. 18
6
dalam keadaan apapun. Hasyim Asy‟ari menolak jika kewajiban syariat nabi
Muhammad itu hanya berlaku untuk orang tertentu dan terbatas pada waktu.
Orang yang meyakini gugurnya syariat pada orang tertentu dikatakan sebagai
orang yang mendustakan dan merendahkan al-Qur‟an, kafir hukumnya.
“Sayyid Muhammad dalam Syarah Ihya mengatakan, bahwa keyakinan seperti
ini adalah kufur, sindiq dan sesat”.12
Hasyim Asy‟ari dalam kitab al-Darar dan al-Tibyān juga
menjelaskan, bahwa terjadinya penyimpangan ajaran sufi itu merupakan
penyimpangan para sufi itu sendiri yang terlalu mengagungkan para sesepuh
dan guru-guru mereka.13 Ia juga berpendapat bahwa seorang manusia suci tidak
akan memamerkan diri sendiri meskipun dipaksa membakar mereka, barang
siapa yang berkeinginan menjadi figur yang popular tidak dapat disebut
sebagai anggota kelompok sufi manapun.14
Demikian uraian singkat dari pemikiran Hasyim Asy‟ari dalam
bidang tashawuf. Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh yang hebat, dibuktikan dari
hasil pemikiran beliau dengan adanya lembaga pendidikan yang didirikan oleh
NU yang tumbuh pesat di Indonesia, yang mana NU merupakan gagasan beliau
di masa hidupnya, beliau merupakan seorang ulama besar, pendidik dan
pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang sangat memperjuangkan asasasas ke islaman dengan sistem kesalafannya.
Dari sekian pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap konsep tashawuf Hasyim Asy‟ari. Karena
12
Ngabdurrahman, Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah, h. 18
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Jogjakarta:
LKIS, 2000), h. 51
14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 58
13
7
menurut penulis, pemikiran tashawuf dari tokoh tersebut sangatlah penting
diteliti secara akademis dan guna menjawab persoalan yang terjadi di masa
sekarang. Maka dari itu penulis meneliti pemikiran beliau sebagai materi
bahasan skripsi dengan judul “KONSEP TAṢAWUF KH. HASYIM
ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH JᾹMI‘AH AL-MAQᾹṢID”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka
penulisan ini dibatasi pada pemikiran Hasyim Asy‟ari yang terfokuskan pada
konsep tashawuf yang terdapat dalam karya beliau yaitu; Risālah Jāmi„ah alMaqāshid.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
Konsep Tashawuf KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Risālah Jāmi‘ah alMaqāṣid ”?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk menggali lebih dalam tentang konsep
tashawuf Hasyim Asy‟ari, sehingga nantinya para pembaca tahu lebih dalam
tentang tashawuf dan lebih mudah dalam mengamalkan.
Tujuan lain, agar penulis dan para pembaca tahu lebih mendalam
tentang ilmu tashawuf dan sejauh mana tashawuf itu relevan dengan kondisi
kehidupan dimasa sekarang, mengingat berkembangnya ilmu pengetahuan dan
ilmu teknologi semakin pesat.
Secara
teoritis adanya hasil penelitian ini
diharapkan mampu
memberikan sumbangan pengetahuan bagi peneliti pribadi, juga bagi para
pengembara dunia filsafat dan perkembangan pemikiran,
khususnya bagi
8
mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, sehingga timbul minat yang besar untuk
filsafat dan perkembangan pemikiran secara mendalam dan
mengkaji
membangun
keahlian di bidang tersebut.
Adapun manfaat secara praktis adalah: Pertama, bagi semua pihak di
bidang Akademik, khususnya yang menangani Jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin, diharapkan dengan hadirnya penelitian ini, dapat
mengetahui kebiasaan dan kemampuan para mahasiswa dalam meneliti dan
menganalisa sesuatu yang dianggap sebagai masalah, sehingga bisa dijadikan
sebagai bahan untuk pembenahan-pembenahan kurikulum kedepannya. Kedua,
bagi pihak Pengurus Perpustakaan, hasil dari penelitian ini bisa dijadikan
sebagai bahan evaluasi untuk menciptakan lingkungan atau kondisi yang
nyaman, tenang, aktif, dan kreatif bagi mahasiswa agar mereka mempunyai
minat yang besar dalam hal membaca, meneliti, menganalisa, dan lainnya,
sehingga kualitas mahasiswa bisa meningkat. Ketiga, hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi mahasiswa, khususnya
mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tentang betapa pentingnya kebiasaan membaca, meneliti
dan manganalisa suatu masalah dalam segala hal, yang selanjutnya dikemas
dalam sebuah karya tulis.
D. Tinjauan Pustaka
Hasyim Asy‟ari sebagai seorang Ulama besar di Indonesia beliau
juga merupakan seorang pendiri NU yang produktif dalam menghasilkan karya
tulis diberbagi bidang ke-ilmuan islam. Sebagaimana tampak dalam karya-
9
karyanya yang meliputi bidang pendidikan, teologi, fiqh, tashawuf dan
sebagainya. Hal ini menjadikan daya tarik tersendiri bagi para peneliti untuk
mengkaji lebih dalam tentang hasil pemikiran beliau. Berikut beberapa hasil
penelitian atas pemikiran beliau yang pernah dilakukan:
1. Perspektif Iman dan Eskatologi Menurut K.H. Hasyim Asy‟ari,
karya Muhammad Rusli, jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 2008.
Secara garis besar peneliti membicarakan tentang pandangan
teologi K.H. Hasyim Asy‟ari.
2. Pandangan K.H. Muhammad Hasyim Asy‟ari Tentang Taqlid
Dalam Fiqih, karya Entus Hilman Mutaqin, Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, pada tahun 2009.
Dalam penelitian ini berbicara tentang Hasyim Asy‟ari, tetapi
tentang persoaln hukum fiqh.
3. Ajaran Kebangunan Ulama, karya Latiful Khuluq, LKSI
Yogyakarta pada tahun 2000. Penelitian ini berbicara tentang
biografi K.H. Hasyim Asy‟ari.
Demikian skripsi dan buku yang penulis temukan di perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas tentang Hasyim
Asy‟ari. Jika dalam kedua skripsi dan buku tersebut membahas tentang Hasyim
Asy‟ari dari segi Teologi, Hukum Fiqh dan Biografinya maka lain halnya
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.
Dalam penelitian ini peneliti ingin mengungkap tentang konsep
tashawuf Hasyim Asy‟ari, yang menurutnya di dalam tashawuf telah terjadi
10
banyak penyimpangan pada golongan tententu yang disebabkan oleh kaum sufi
sendiri yang terlalu mengagungkan para gurunya. Melihat
zaman sekarag
banyak bermunculan aliran-aliran toriqah dan ajaran-ajaran tentang sufistik
baik yang disampaikan secara langsung atau yang melalui media cetak.
Dalam perkembangan zaman yang sudah memasuki zaman modern
dengan berkembangnya ilmu pengetahun dan ilmu teknologi yang semakin
canggih maka sangat mungkin terjadinya penyimpangan ajaran-ajaran sufistik.
Mungkinkah tashawuf bisa menjawab semua tantangan tersebut dalam
memberikan jawaban atas dasar-dasar keagamaan.
E. Metodologi Penelitian
Dalam sebuah penelitian sudah barang tentu menggunakan sebuah
metode-metode khusus untuk melakukan sebuah penelitian, tidak heran jika
dalam suatu penelitian metodologi merupakan suatu yang sangat penting.
Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan
metode deskriptif dan analisis. Penulis dalam penelitian ini berupaya
mendeskripsikan konsep tashawuf Hasyim Asy‟ari dan berupaya menganalisis
ajaran-ajaran tashawuf Hasyim Asy‟ari.
1. Sumber Data Penelitian
a. Data primer
Data primer dalam penelitian ini akan diambil dari karya
Hasyim Asy‟ari yang membahas tentang tashawuf, yaitu, Risālah
Jāmi„ah al-Maqāshid.
11
b. Data Skunder
Data sekunder terdiri dari beberapa Kitab dan buku Hasyim
Asy‟ari yang di dalamnya berbicara tentang tashawuf. Beberapa
buku dan kitab lainnya juga akan dijadikan bahan rujukan atau
referensi dalam penelitian ini, selama buku tersebut dianggap
relevan dan berkaitan dengan pembahasan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini, dengan cara
melakukan penelitian pustaka (Library Research), kemudian mengambil
beberapa bab dan halaman tertentu yang berkaitan dengan tashawuf, baik
dalam data primer maupun sekunder.
Dengan demikian, pembahasan akan lebih fokus dan tidak melebar ke
mana-mana. Untuk bisa menjawab beberapa masalah penelitian yang telah
disebutkan.
Adapun teknis penulisan skripsi, penulis menggunakan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh, CeQDA
(Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Adapun transliterasi Arab
merujuk pada Jurnal Ilmu Usuluddin yang diterbitkan oleh Himpunan Peminat
Ilmu-Ilmu Ushuluddin (HIPIUS), tahun terbitan 2011.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini biar mudah dan runtut dalam penulisan,
kami sertakan sistematika penulisan. Skripsi ini terdiri dari lima bab dan
12
masing-masing bab terdapat sub-sub bab, adapun sistematika penulisan skripsi
ini sebagai berikiut:
Bab pertama adalah pendahulan. Dalam pendahuluan terdapat latar
belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab pertama ini untuk memberikan gambaran dari keseluruhan permasalahan
yang akan dibahas secara rinci dan detil. Hal ini penulis anggap begitu penting
untuk di letakan pada bab pertama, karena sebagai sebuah pengantar dan juga
menceritakan asal-usul permaslahan yang terjadi yang kemudian dibahas pada
bab-bab selanjutnya.
Bab kedua, menjelaskan tentang biografi Hasyim Asy‟ari yang
meliputi latar belakang keluarga, latar belakang sosial budaya, latar belakang
pendididkan dan karya-karyanya. Pembahasan ini sengaja di letakkan di bab ke
dua oleh penulis, agar para pembaca bisa mengenal terlebih dahulu sosok dari
seorang Hasyim Asy‟ari yang dikenal sebagai ulama berkerismatik tinggi
hingga akhirnya digelari sang Maha Guru “Hadratus Syaikh”, pun juga sebagai
pejuang kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Untuk itu penulis
mengajak para pembaca terlebih dahulu mengenal sosok Hasyim Asy‟ari,
dengan begitu nantinya bisa mengenal lebih jauh dan cinta terhadap ajaranajaran yang diajarkannya. Seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang.
Bab ketiga, menjelaskan tentang tashawuf yang meliputi,pengertian
dan tujuan tashawuf, sumber ajaran tashawuf, maqāmat dan ahwāl, dan tarekat.
Pembahasan pada bab ini memberikan gambaran tentang asal-usul Tashawuf
atau Intisari dalam tashawuf, untuk mengenal dan memahami tashawuf terlebih
13
dahulu sebelum masuk pada pembahsan mengenai konsep dari pada tashawuf
Hasyim Asy‟ari.
Bab keempat, menjelaskan tentang Tashawuf KH. Hasyim Asy‟ari
meliputi, penisbahan kitab, corak pemikiran, jalan menuju Allah, dan tarekat.
Penjelasan tersebut penulis ambil dalam kitab karya Hasyim Asy‟ari Risālah
Jāmi„ah al-Maqāshid. Sengaja bab IV membahas tentang tashawuf Hasyim
Asy‟ari, karena merupakan poin pokok pembehasan daripada bab-bab
sebelumnya yang telah disebutkat dalam latar belarang.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari
penelitian ini, yaitu berupa jawaban dari rumusan masalah yang telah penulis
tetapkan di atas, serta saran-saran bagi pembaca.
14
BAB II
BIOGRAFI HASYIM ASY’ARI
A. Latar Belakang Keluarga
Muhammad Hasyim merupakan nama yang diberikan oleh orang
tuanya, beliau lahir dari keluarga elit kiai Jawa pada hari Selasa Kliwon,
tanggal 24 Dzul Qa‟dah 1287 H/ 14 Februari 1871 M, di dalam pondok Kiai
Usman di desa Gendang15. Dalam sumber lain desa Gendang terletak tidak jauh
dari kediaman Kiai Asy‟ari, sekitar dua kilometer sebelah Timur Jombang, dan
desa Gedang juga merupakan salah satu dusun yang menjadi wilayah
administratif desa Tambakrejo kecamatan Jombang.16
Hasyim Asy‟ari sejak dikandung selama empat belas bulan lamanya,
terdapat tanda-tanda bahwa beliau kelak akan menjadi orang yang luar biasa,
pasalnya Nyai Halimah ibundanya ketika mengandung menunjukan tandatanda yang luar biasa, beliau pernah bermimpi perutnya kejatuhan bulan
purnama. Mungkin karena Nyai Halimah jauh sebelumnya melakukan tirakat
batin dengan cara berpuasa tiga tahun berturut-turut. Satu tahun pertama
diniatkan untuk dirinya sendiri, satu tahun lagi untuk anak cucunya dan satu
tahun lagi untuk seluruh santrinya.17 Ayahnya adalah pendiri Pesantren Keras
di Jombang. Sementara kakeknya Kiai Usman18 adalah Kiai terkenal dan
15
Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim (Bandung: Mizan, 2011). Cet. I, h.
70
16
Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah (Surabaya: Khalista, 2010). Cet. I, h.69
17
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati (Surabaya:
Pustaka Wrisan Islam, 2000). Cet. I, h. 12
18
Kiai Usman, dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pesantren Gedang yang pernah
menjadi pusat perhatian santri-santri Jawa pada abad-19. Lihat dalam Zuhri Muhibbin, Pemikiran
KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, h. 69
14
15
pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada abad ke-19. Moyangnya Kiai
Sihah adalah pendiri Pesantren Tambak Beras, Jombang.19
Ayah Hasyim Asy‟ari sebelumnya merupakan santri terpandai di
Pesantren Kiai Usman. Ilmu dan aklaq Asy‟ari (ayah Hasyim Asy‟ari)
membuat Kiai Usman kagum hingga akhirnya Asy‟ari diambil menantu oleh
kiai Usman untuk dinikahkan20 dengan putrinya yang bernama Halimah. Ibu
Hasyim Asy‟ari, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara laki-laki dan
dua perempuan, yaitu Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah
Hasyim dipercaya keturunan tingkir, beliau dari Tingkir dan keturunan Abdul
Wahid dari Tingkir. Dipercaya bahwa mereka adalah keturunn raja muslim
Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim
Asy‟ari selain dipercayai keturunan tingkir juga dipercayai sebagai katurunan
dari keluarga bangsawan.21
Berikut silsilah Hasyim Asy‟ari dari jalur Ibunya; Muhammad Hasyim
binti Halimah binti Layyinah binti Soihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin
Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Kerebet) bin
Prabu Brawijaya.22 Sedangkan dari garis ayahnya; Muhammad Hasyim bin
Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan naman
Pangeran Benawa bin Abdurrahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka
19
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Jogjakarta:
LKIS, 2000). h. 16
20
Perkawinan merupakan hal yang biasa dilakukan pesantren untuk menjalin ikatan antar
kiai.
21
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h.17
22
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Perpengaruh di
Indonesia (Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara, 2003). h. 1
16
Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aizi bin Abdul Fatah bin
Maulana Ishak bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.23
Jika kita melihat silsilah di atas maka jelaslah bahwa Hasyim Asy‟ari
mewakili dua aliran sekaligus, dari keturunan elit agama (Islam) dan bagsawan
Jawa. Dari sisi ayah, mata rantainya bertemu langsung dengan bangsawan
muslim Jawa ( Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir) dan sekaligus elit agama
Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibunya, Hasyim Asy‟ari keturunan
langsung raja Brawijaya (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bengsawan
Hindu Jawa.24
Seiring berputarnya waktu, masa demi masa telah berganti yang lalu
telah terlewati, sehingga terjadilah beberapa perbedaan pendapat yang
didasarkan atas ketidaksamaan data yang ditemukan. Maka terdapat kerancuan
dalam silsilah beliau dari sisi ayahnya, lantaran kurangnya data mengenai ayah
Asy‟ari, sumber lain mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdul Wahid.
Dahulu beliau adalah komandan pasukan perang Diponegoro di bawah
Panglima Besar Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Beliau dikenal sebagai
panglima Gareng, namun setelah pangeran Diponegoro ditangkap, beliau
melarikan diri guna menghindar dari kejaran belanda dan menyamar dengan
cara berganti-ganti nama, maka itulah sebabnya yang menyulitkan untuk
menemukan nama asli maupun aliasnya, termasuk asal usulnya.
Maka penulis mengambil kesimpulkan bahwa silsilah Hasyim Asy‟ari
dari sisi ayahnya memiliki dua versi, versi pertama bersambung kepada
23
Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h.67
24
Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah. h. 68
17
Maulana Ishaq (Sunan Giri) seperti yang telah disebutkan oleh penulis di atas.
Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa Hasyim Asy‟ari keturunan dari
menantu Sunan Gunungjati yang bernama Syyid Abdurrahman bin Umar bin
Muhammad bin Abu Bakar Basyaiban. Beliau berasal dari Hadramaut Yaman,
namun setelah tinggal di Jawa digelari Sunan Tajuddin. Berikut silsilahnya;
Muhammad Hasyim bin Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdurrahman yang
dikenal dengan Pangeran Sambo bin Abdullah yang dikenal dengan Pangeran
Benowo binti R.A. Putri Khodijah, kemudian bersambung kepada menantu
Putri Khodijah yaitu, Sayyid Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Abu
Bakar Basyaiban alias Sunan Tajuddin.25
Hasyim Asy‟ari merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara yaitu;
Nafi‟ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Makmun,
Nahrawi dan Adnan. Beliau dibesarkan di lingkungan pesantren, sampai pada
usianya yang ke 6 tahun, beliau diasuh oleh orang tua dan kakenya di pesantren
Gedang. Jadi sudah tidak diragukan lagi suasana lingkungan pesantren akan
mempengaruhi karakter Hasyim Asy‟ari dimasa kecilnya, tempat dimana para
santri belajar berbagai macam ilmu keagamaan dan mengamalkan ajaran-ajaran
Agama Islam.26
B. Latar Belakang Sosial Budaya
Hasim Asy‟ari kecil tinggal bersama ayah dan ibunya di pesantren
kakeknya, kiai Usman. Beliau mendapat asuhan langsung dari ayah ibu beserta
kakek-neneknya di Gedang. Dengan penuh kasih sayang mereka mengajarkan
kitab al-Qur‟an dan akhlaq luhur serta menanamkan jiwa kepemimpinan dan
25
26
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 9-11
Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 15
18
makna perjuangan. Namun menjelang usianya yang keenam tahun Hasyim
Asy‟ari diajak ayahnya pindah ke Desa Keras, sekitar sepuluh kilo miter
selatan kota Jombang, di sanalah Hasyim Asy‟ari tinggal dan besar bersama
ayah dan ibunya. Melalui didikan keluarganya Hasyim kecil meresapi nilainilai sosial budaya pondok pesantren, dan menghayati kehidupan santri yang
penuh sederhana, kebersamaan tentunya juga semangat untuk mengejar citacita luhur. Semua itu memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan watak
beliau dikemudian hari, dan disana pula beliau pertama kali mengenal,
meresapi nilai-nilai budaya dan mengikuti perkembangan sosial pondok
Pesantren.27
Kehidupan masa kecil Hasim Asy‟ari tidak sama seperti kehidupan
anak-anak di masa sekarang, pasalnya Hasyim Asy‟ari hidup di dalam
lingkungan pesantren. Ada yang menarik dengan masa kecilnya, yaitu ketika
beliau bermain dengan anak-anak di lingkungannya ia selalu jadi penengah di
saat terjadi permasalahan di antara teman-temannya. Hasyim Asy‟ari selalu
membuat temannya senang, pasalnya sikap Hasyim Asy‟ari yang suka
menolong dan menjaga temannya di saat anak-anak lain datang hendak
mencampuri kawan-kawannya. Jika melihat ada temannya yang bermain
curang, maka beliau tidak segan-segan untuk menegur dan membela yang perlu
untuk dibelanya.28
Tampak pengaruh lingkungan dan ajaran orang tua beliau memberikan
hasil positif yang diaplikasikan dalam perilaku sehari-hari, seperti tindakan
kebijkasanaan yang digambarkan pada saat beliau bermain bersama teman27
28
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 12
Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim, h. 71
19
temannya. Terbukti juga bahwasanya Budaya Pesantren memberikan pengaruh
besar terhadap beliau. Di saat beliau masih usia 13 tahun sudah berani dan
mampu menggantikan ayahnya untuk mengajar para santri-santrinya.29
Hasyim Asy‟ari sejak lahir hingga diusianya yang ke-21 beliau hidup
dalam lingkungan sosial budaya pesantren, beliau terakhir mondok pada usia
yang ke-21 tahun hingga pada akhinya beliau dinikahkan dengan putri sang
kiyai (Kiai Ya‟qub) pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Dan
setelah itu Hasyim Asy‟ari bersama istri tercinta tinggal di Mekkah.
Selebihnya sosial budaya Hasyim Asy‟ari banyak dipengaruhi oleh
perkembangan sosial budaya Arab, karena sejak usia 21 tahun beliau menetap
di Mekkah dalam rangka belajar selama tujuh tahun lamanya. Setelah itu pada
akhirnya Hasyim Asy‟ari kembali lagi ke lingkungan pondok pesantren, beliau
pulang dari mekkah Pada tahun 1315 H/1899 M.
C. Latar Belakang Pendidikan
Hasyim Asy‟ari dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama
(Islam), bahkan beliau termasuk santri yang sangat serius menerapkan Falsafah
Jawa, luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan cara berkelana),30
kita ketahui bersama bahwa Hasyim Asy‟ari sejak kecil dibimbing langsung
oleh ayah dan ibunya sampai usia 15 tahun. Beliau sangat begitu tampak cerdas
dan tekun dalam mempelajari beberapa pelajaran yang diajarkan oleh ayahnya,
terbukti setiap pelajaran yang diajarkan oleh ayahnya, Hasim Asy‟ari nampak
begitu sangat memahaminya. Ada banyak pelajaran yang beliau dapatkan,
meliputi ajaran agama Islam antra lain; ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan hadits.
29
Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h.16
Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h.73
30
20
Namun Hasyim Asy‟ari tidak merasa cukup hanya sebatas belajar
kepada orang tuanya saja, beliau juga memutuskan diri untuk berpetualangan
ke beberapa pondok Pesantren yang tersebar di pulau Jawa, berikut nama-nama
pondok pesantren yang pernah beliau singgahi, antara lain, Pesantren
Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis,
Pesantren Demangan (Bangkalan, Madura).
Hasyim Asy‟ari sempat belajar tatabahasa dan sastra arab, fiqh, dan
tashawuf kepada Kiai Khalil Bangkalan selama tiga tahun, sumber lain
mengatakan bahwasanya beliau tidak lama mondok di Pesantren Kiai Kholil
Bangkalan, hal ini disebabkan karena sang guru sudah mengaggap Hasyim
Asy‟ari sudah cukup pintar dan mampu untuk mengajarkan ilmu yang telah
didapatkannya kepada orang lain, hingga akhirnya Hasyim Asy‟ari
diperintahkan oleh sang guru untuk segera pulang ke rumah guna mengajarkan
ilmu yang telah beliau proleh semasa beliau nyantri.31
Hasyim Asy‟ari sendiri belum merasakan kepuasan dan tak berbangga
diri, akan tetapi beliau melanjutan pencarian ilmu yang ingin beliau pelajari,
Hasyim Asy‟ari sungguh merupakan pemuda yang sangat haus akan ilmu
pengetahuan agama pada saat itu, hingga akhirnya pada tahun 1891 beliau
memutuskan diri untuk pindah ke pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo),
beliau di pondok itu memfokuskan diri belajar ilmu fiqh selama dua tahun di
bawah asuhan Kiai Ya‟qub.32 Sumber lain mengatakan, di bawah asuhan Kiai
Ya‟qub selain fokus belajar ilmu fiqh, Hasyim Asy‟ari juga fokus di bidang
31
32
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 13
Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h.23
21
ilmu tauhid, adab, tafsir dan ilmu hadist.33 Jadi wajar jika akhirnya beliau lebih
dikenal sangat alim dalam bidang Ilmu Hadist.
Kiai Ya‟qub dengan Hasyim Asy‟ari pada akhirnya memiliki ikatan
kekeluargaan, bukan hanya sebatas hubungan seorang guru dan murid, karena
Kiai Ya‟qub mengangkat Hasyim Asy‟ari sebagai menantunya dinikahkan
dengan putrinya yang bernama Khadijah. Hal itu bermula karena Kiai Ya‟qub
sangat kagum atas kecerdasan yang dimiliki oleh Hasyim Asy‟ari. Disebutkan
dalam sumber lain bahwa nama putri Kiai Ya‟qub yang dinikahkan dengan
Hasyim Asy‟ari bernama Nafisah dan dilangsungkan pernikahan pada tahun
1892. Pada saat itu Hasyim Asy‟ari berusia 21 tahun.34 Setelah menikah,
Hasyim Asy‟ari diajak pergi haji ke Mekkah oleh martuanya. Namun seusai
menunaikan ibadah haji Kiai Ya‟qub memperintahkan Hasyim Asy‟ari
bersama istrinya untuk tinggal di Mekkah guna menuntut ilmu.35
Sekitar tujuh bulan lamanya mereka tinggal di Mekkah, lahirlah anak
pertama yang diberi nama Abdullah, namun tidak lama kemudian istrinya
meninggal dunia. Empat bulan kemudian anaknya juga meninggal. Akhirnya
Hasyim Asy‟ari pulang ke tanah air, kemudian beliau berangkat lagi ke
Mekkah bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Namun setelah
beberapa lama mukim di Mekkah, Anis meninggal dunia. Meski adiknya
meninggal, semangat menuntut ilmu agama Hasyim Asy‟ari sedikitpun tidak
berkurang, pantang surut untuk meraih cita-citanya.36
33
Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h.75
34
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h.13
35
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Perpengaruh di
Indonesia, h. 3
36
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 14
22
Selama beberapa tahun di Mekkah Hasyim Asy‟ari belajar ilmu
kepada guru-guru terkenal yang juga berasal dari tanah Nusantara, seperti
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syeikh
Mahfudz Termas. Dibawah asuhan Syeikh Mahfud Termas Hasyim Asy‟ari
belajar ilmu Hadits dan mendapatkan ijazah untuk mengajar Sahih Bukhārī,
serta beliau merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima sanad hadits
dari 23 generasi sebelumnya.37
Hasyim Asy‟ari selain berguru kepada orang-orang Nusantara yang
tinggal di Mekkah pada waktu itu, beliau juga berguru kepada beberapa tokoh
Ulama besar Hijaz, seperti Syeikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan bin
Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawy, Syeikh Ibrahim Arabi, Sayyid Ahmad bin
Hasan al-Atthar, Syeikh Sa‟id Yamany, Sayyid Husein al-Habsi, yang
menjabat mufti hingga wafatnya, Sayyid Bakar Syatha, Syeikh Rahmatullah,
Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah
az-Zawawi, Syeikh Shaleh Bafadlol dan Syeikh Sultan Hasyim Daghastani. 38
Hasyim Asy‟ari selain belajar ilmu agama, beliau
juga sempat
bergabung dengan komunitas solidaritas yang ada di Mekkah bersama para
sahabat-sahabatnya, yang dibentuk atas dasar keprihatinannya terhadap
penindasan kolonialisme Barat yang terjadi di Turki Usmani dan wilayahwilayah Islam di bawah naungannya pada saat itu. Maka pada suatu malam
tepatnya di bulan suci Ramadhan, Hasyim Asy‟ari bersama kawan-kawannya
berdirir di depan multazam dan bersumpah demi Allah, akan berjuang dan
memperdalam ilmu dan agama demi ridha Allah tanpa mengharapkan harta dan
37
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 30.
Syihab Asad, Hadlratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari Perintis Kemerdekaan
Indonesia (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1994). Cet. I, h. 41
38
23
kedudukan. Ikrar suci itu dipegang teguh oleh beliau dan dilaksanakan sepenuh
hati ketika beliau pulang ke Indonesia, terbukti atas keikut sertaan beliau dalam
membela dan memperjuangkan kemerdekaan republik Indoneisa dari
penjajahan Belanda, hingga akhirnya beliau mendirikan sebuah organisasi
besar yang tetap kokoh hingga
masa sekarang yang dikenal dengan NU
(Nahdlatul Ulama). Dan hingga akhirnya beliau dikenal sebagai ulama besar
dan pejuang kemerdekaan di tanah air Indonesia.39
Setelah tujuh tahun lamanya Hasyim Asy‟ari menetap di Mekkah
belajar ilmu Agama di bawah bimbingan para guru, akhirnya pada tahun 1313
H/1899 M, Kiai Hasyim Asya‟ari memutuskan diri untuk pulang ke tanah air.40
Dikatakan bahwasanya pada tahun 1899 itu datanglah rombongan kiai Romli
bersama keluar untuk menunaikan ibadah haji, ikut serta putri Kiai Romli yang
bernama Khodijah, pada saat itu kemudian pertemuan Hasyim Asy‟ari dengan
keluar Kiai Romli menemukan titik kebahagian bagi Hasyim Asy‟ari, pasalnya
Hasyim Asy‟ari dinikahkan dengan putrinya yang bernama Khodijah oleh Kiai
Romli. Usai berlangsungnya pernikahan, Kiai Romli dan Hasyim Asy‟ari
sekeluarga pulang ketanah Indonesia.
Untuk sementra, Hasyim Asy‟ari bersama istri tercinta tinggal di
rumah martuanya di Kediri, namun kemudin Hasyim Asy‟ari menetap di Desa
Jombang tepatnya di Keras membantu mengajar di pondok pesantren yang di
dirikan oleh ayahnya (Asy‟ari). sejak itulah Hasyim Asy‟ari mulai dikenal
sebagai pemuda yang alim, hingga sapaan Kiai Hasyim pun melekat pada
39
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 15
Zuhri Muhibbin, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa alJamā‟ah, h. 85
40
24
beliau41. Namun pada saat itu Hasyim Asy‟ari kurang merasa leluasa guna
mengembangkan ilmu yang beliau pelajari selama di Mekkah.
Pada tahun yang sama, 1899 akhirnya Hasyim Asy‟ari memutuskan
diri untuk membangun sebuah Pondok Pesantren yang diberi nama Tebuireng,
di Pondok Pesantren itulah Hasyim Asy‟ari menjalankan aktifitas, hingga
akhirnya beliau meninggal pada malam tanggal, 7 bulan Ramdhan Tahun 1366
H/25 Juli 1947 M., tepat pada pukul 03:45 dini hari42, dalam usianya yang
mendekati 79 tahun. Meninggalnya beliau memberikan goncangan yang
dahsyat di seluruh Indonesia bagi golongan Ulama dan para petinggi Negara,
dan membuat hati para pejuang terpukul atas kepergianya, bahkan Panglima
Besar Angkatan Perang, Letnan Jendral Sudirman43 juga merasakan kesedihan
yang sangat dalam, tertuangkan dalam suratnya sebagai berikut;
“inna lillahi wa inna ilaihi roji‟un. Atas kemangkatan kiai Hasyim
Asy‟ari, kami beserta anggota angkatan perang, menyatakan rasa
duka cita, diiringi doa muda-mudahan almarhum bapak Kiai diterima
oleh Allah subhanahu wa ta‟ala dan diberikan tempat yang sebaikbaiknya. Amin. Muda-mudahan segala pelajaran amanat dan amal
Kiai di masa hidupnya, dapat menjadi jeriah yang diteruskan oleh
rakyat dan bangsa Indonesia seterusnya, sebagai bekal perjuangan
mempertahankan negara pada dewasa ini. Amin.”
Pasalnya pada saat itu Indonesia lagi gencar-gencarnya melakukan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan laskar-laskar yang beliau bentuk
sedang dalam pertempuran melawan Belanda.44 Hasyim Asy‟ari di kebumikan
di lingkungan pondok pesantren yang beliau dirikan, tepatnya di belakang
masjid pondok pesantren Tebuireng, Jombang.
41
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h.15
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 34-35
43
Jenderal sudirman (1945-1950) merupakan pemimpin militer selama Revolusi
Indonesia (1945-1949). Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari
(Jogjakarta: LKIS, 2000). h. 25
44
Hadzir Ishom, K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati, h. 37
42
25
D. Sanad Tashawuf Hasyim Asy’ari
Pada dasarnya setiap orang yang belajar ilmu pengetahuan pasti
mempunyai sanad atau ikatan mata rantai dengan guru-gurunya. Hasyim
Asy‟ari bukan hanya belajar Hadits kepada Syeikh Mahfud, namun beliau juga
mendapat ajaran tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.45 Dalam sumber lain,
yakni dalam kitab Kifāyatu al-Mustafīd limā „Alā min al-Asānīdi Syeikh
Mahfud Termas sendiri, meskipun beliau mengajarkan tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah ternyata beliau merupkana penganut tarekat Syādziliyah. Hal
ini dapat dibuktikan dengan Hizib al-Bahr yang beliau dapatkan dari gurunya
yakni Sayyid Abi Bakar Syathā al-Makkī yang bersambung hingga Imam Abi
al-Hasan al-Syādzilī. Adapun redaksi teksnya sebagai berikut:
ُ١٘‫ ٗٓ ِذّض ذٓ ئذغج‬،)ٟ‫ ذىغ كِح جٌّى‬ٟ‫ض أذ‬١‫ع (جٌـ‬ٛ‫شٕح جٌّظو‬١‫ فّٓ ك‬:‫أِح دؼخ جٌرذغ‬ٚ
،ٟ‫ ٗٓ ِذّض ذٓ ٗرض جهلل جٌّغغذ‬،ٞ‫ٓ جٌمٕض٘حع‬٠‫ٖ جٌض‬١‫ ٗٓ عف‬،ٞ‫ ٗٓ هحٌخ جٌرشحع‬،‫غ‬١ٌ‫ س‬ٟ‫أذ‬
،)ٖٔٓٔ ‫ف (ش‬ٚ‫ ٗٓ ٗرض جٌغؤ‬،ٍٟ‫ ٗٓ ِذّض ذٓ جٌ٘الء جٌرحذ‬،ٞ‫ٗٓ ٗرض جهلل ذٓ ؿحٌُ جٌروغ‬
‫ ٗٓ جٌ٘ؼ ٗرض‬،ٞ‫ح ذٓ ِذّض جألٔوحع‬٠‫ٓ ػوغ‬٠‫ ٗٓ جٌؼ‬،ِٟ١‫ٗٓ جٌٕجُ ِذّض ذٓ أدّض جٌغ‬
ٟ‫ جٌـرى‬ٟ‫ ذٓ ٗرض جٌىحف‬ٍٟٗ ٟ‫جٌضٖ جٌطم‬ٚ ٓٗ ،ٍٝٗ ٓ‫٘حخ ذ‬ٌٛ‫ ٗٓ ضحج ٗرض ج‬،‫ُ ذٓ جٌفغجش‬١‫جٌغد‬
‫ (ش‬ٟ‫ جٌ٘رحؽ أدّض ذٓ ّٗغ جٌّغؿ‬ٟ‫ ٗٓ أذ‬،‫ ٗٓ جٌطحج أدّض ذٓ ِٗحء جهلل‬،)6٘ٙ ‫(ش‬
‫ (ش‬ٌٟ‫ ذٓ ٗرض جهلل ذٓ ٗرض جٌجرحع جٌلحط‬ٍٟٗ ٓ‫ جٌذـ‬ٟ‫ أذ‬ٞ‫ض‬١‫ ٗٓ جٌّإٌف جٌمِد ؿ‬،) ٙ8ٙ
ٗٙ
.)ٙ٘ٙ
Kendati Hasyim Asy‟ari sudah belajar tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah sebagaimana disebutkan di atas, beliau tidak pernah
menyatakan bahwa beliau menganut aliran tarekat manapun. Sedangkan untuk
pengamalannya beliau lebih cenderung kepada tarekat Syādzilyah. Bahkan
dengan Syeikh Mahfud Tarmes terdapat benang merah yang menghubungkan
guru dan murid ini dalam tarekatnya. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kitab
Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah. Dalam kitab itu disebutkan bahwa
45
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, h. 30.
Abi al-Faidl Muhammad Yāsīn bin „Isā al-Fādānī al-Makkī, Kifāyatu al-Mustafīd limā
„Alā min al-Asānīdi, (Bairut: Dār al-Basyāir al-Islāmiyyah, 2008), h. 35-36.
46
26
untuk bidang tashawuf beliau bermadzhab pada Imam al-Ghazālī dan Imam
Abī al-Hasan al-Syādzilī.47 Terbukti dalam tulisan Hasyim Asy‟ari berikut:
ٜ‫ِطذض‬ٚ ،‫جٌّظ٘د‬ٚ ‫عجء‬٢‫ ج‬ٟ‫س ِطفم‬١ٌ‫ جألػِحْ جٌـحٌفس جٌشح‬ٟ‫س ف‬٠ٚ‫ جأللِحع جٌجح‬ٍّٛ‫لض وحْ ِـ‬
ٟ‫ف‬ٚ ،‫ؾ‬٠‫ؾ ِظ٘د جإلِحَ ِذّض ذٓ ئصع‬١‫ جٌّظ٘د جٌٕف‬ٍٝٗ ٗ‫ جٌفم‬ٟ‫ُ ف‬ٍٙ‫ فى‬،‫جٌّلغخ‬ٚ ‫جٌّأسظ‬
َ‫ ِظ٘د جإلِح‬ٍٝٗ ‫ف‬ٛ‫ جٌطو‬ٟ‫ف‬ٚ ،ٞ‫ جٌذـٓ جألك٘غ‬ٟ‫ ِظ٘د جإلِحَ أذ‬ٍٝٗ ٓ٠‫ي جٌض‬ٛ‫أه‬
.ٓ١ّ٘‫ُ أج‬ٕٙٗ ‫ جهلل‬ًٟ‫ ع‬ٌٟ‫ جٌذـٓ جٌلحط‬ٟ‫جإلِحَ أذ‬ٚ ٌٟ‫جٌغؼج‬
“umat Islam di tanah jawa pada zaman dahulu umumnya seragam
dalam pendapat dan madzhab. Dalam bidang fiqh mereka semua
bermadzhab al-Nafīs yakni madzhab Imam Muhammad Idris. Dalam bidang
Ushūl al-Dīn bermadzhab Imam Abī al-Hasan al-Asy‟arī. Dan di bidang
Tashawuf mereka bermadzhab Imam al-Ghazālī dan Imam Abī al-Hasan alSyādzilī.
Tidak ada pernyataan yang jelas dalam teks tersebut yang
menunjukan
bahwa
Hasyim
Asy‟ari
merupakan
penganut
tarekat
Syādziliyah, tapi hanya mengatakan bahwa masyarakat jawa umumnya di
bidang tashawuf bermadzhab pada Imam Abī al-Hasan al-Syādzilī, namun
dalam bukunya yang lain Hasyim Asy‟ari menjadikan dasar tarekat
Syādziliyah sebagai dasar tarekat tashawufnya. Sebagaimana redaksi yang
tertera dalam kitab Risālah Jāmi‟ah al-Maqāshid, di mana redaksinya sama
persis dengan dasar tarekat Syādziliyah yang tertera dalam kitab Jāmi‟ alUshūl fī al-Auliyā‟.48
Pada redaksi selanjutnya, masih dalam kitab Kifāyatu al-Mustafīd
limā „Alā min al-Asānīdi disebutkan bahwa Hasyim Asy‟ari merupakan
salah satu dari beberapa orang yang mendapat didikan khusus oleh Syeikh
Mahfud Tarmes. Adapun redaksinya sebagai beriku:
،ٟ‫ جٌفٍى‬ٟٔ‫ٓ صدالْ جٌـّحعج‬٠‫ عجص‬ٟ٘‫ح‬١‫جٖ جٌى‬ٛ‫ أس‬:ُِٕٙ ْٚ‫غ‬١‫ضٖ سٍك وث‬٠ ٍٝٗ ‫ضشغّج‬ٚ
،‫ وحضرٗ جٌشحم‬ّٟ‫ً جٌالؿ‬١ٍ‫ س‬ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ ،)ٖٔ٘ٗ ‫ (ش‬ٟ‫ جٌطغِـ‬ُٟ‫ح‬١ِ‫ ِذّض ص‬ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ
ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ ،ٟٔ‫ِرح‬ٛ‫ جٌج‬ٞ‫ جٌذحج ِذّض ٘حكُ ذٓ أك٘غ‬ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ ،ٟٔ‫حع جٌّمال‬ٌٙ‫ ص‬ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ
47
Hasyim Asy‟ari, Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i
Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari. (Jombang: Maktabah al-Turāst al-Islāmī, 2007), h. 9.
48
Kitab ini dikarang oleh Syeik al-Nasik Dliyā‟u al-Dīn Ahmad Musthafā alKamsyakhānawī al-Naqsyabandī.
27
‫ ٗرض‬ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ ٞٚ‫ٌح‬١‫ ذ‬ٟ٘‫ح‬١‫جْ جٌى‬ٛ‫جألس‬ٚ ،ٟٔ‫ِرح‬ٛ‫ٗ ذٓ ٗرض جٌجرحع جٌّـى‬١‫ِذّض فم‬
‫ٔطحش‬ٛ‫ ٗرحؽ ذ‬ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ ،ٟٔ‫ج‬ٚ‫ جٌفحؿغ‬ٞٚ‫ج‬ٛٔ ٟ٘‫ح‬١‫جٌى‬ٚ ،ّٟ‫ؼ جٌالؿ‬٠‫ّٓ جذٕح ٗرض جٌ٘ؼ‬١ٌّٙ‫ج‬
ٗ9
.ٟ‫ ثُ جٌّى‬ٞٚ‫ جٌـغذح‬ٞٚ‫ضعجح‬١‫خ جٌـ‬ٛ‫٘م‬٠ ٓ‫َ ذ‬١‫ ٗرض جٌّذ‬ٟ٘‫ح‬١‫ جٌى‬،ٟٔٛ‫جٌلغذ‬
Dari pengkaderan khusus oleh Syeikh Mahfud seperti yang tertera
pada teks di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa tarekat Syādziliyah
juga telah diajarkan kepada Hasyim Asy‟ari, meskipun yang penulis ketahui
tidak ada redaksi lansung yang menyatakan bahwa Syeikh Mahfud juga
telah mengajarkan tarekat Syādziliyah
sebagaimana ia mengijazahkan
shahīh al-Buhārī kepada Hasyim Asy‟ari.
E. Karya-karyanya
Hasyim Asy‟ari merupakan sosok ulama besar, pejuang dan seorang
yang berlatar belakang
pendidik produktif, pasalnya beliau menghasilkan
beberapa karya tulis dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa jawa.
Bukan hanya sebatas menulis, beliau juga memiliki perpustakaan pribadi yang
di dalamnya terdiri dari beberapa buku-buku ke-Islaman yang jarang bisa
ditemukan di tempat lain, baik yang berbentuk cetak maupun naskah-naskah
tulisan peninggalan dulu. Perpustakaan beliau terdiri dari beberapa karya kitab
yang tertulis dalam beberapa bahasa, di antaranya; arab, indonesia, jawa, dan
malaysia.50
Hasyim Asy‟ari merupakan figur yang sangat aktif dalam dunia
penulisan, hal itu terbukti dengan karya-karya beliau yang patut kita ketahui
dan sangat pantas untuk menjadi refrensi bacaan. Sebagaimana ulama identik
dengan seorang cendekia cerdik yang mewariskan ilmu dan amal, begitu
49
Abi al-Faidl Muhammad Yāsīn bin „Isā al-Fādānī al-Makkī, Kifāyatu al-Mustafīd limā
„Alā min al-Asānīdi, h. 42.
50
Syihab Asad, Hadlratus syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari Perintis Kemerdekaan
Indonesia, h. 51
28
halnya dengan Hasyim Asy‟ari. Beliau pun mewariskan ilmu melalui karyakaryanya (kitab-kitab), dan mewariskan amal melalui pengabdiannya kepada
umat. Karya beliau telah mampu memberikan karakter keberagaman yang khas
ke-Indonesiaan, mampu beradaptasi dengan budaya dan tradisi lokal yang
berkembang, khususnya tradisi jawa. Di samping itu karya Hasyim Asy‟ari
juga menjadi sumber inspirasi bagi kalangan pesantren dalam sistem
pendidikan.51
Berikut beberapa hasil karya Hasyim Asy‟ari yang tertuang dalam
karya tulis;
1. Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim
2. Risālah ahl al-Sunnah wa al-Jamā„ah
3. Al-Tibyān
4. Al-Nūr al-Mubīn
5. Ziyādah al-Ta„līqāt
6. Tanbihāti al-Wājibāt
7. Dlau‟ al-Mishbāḥ
8. Awdlih al-Bayān
9. Irsyād al-Mu‟minīn
10. Al-Manāsik al-Shughrā
11. Jāmi„ah al-Maqāshid
12. Risālah Tusammā bi al-Jāsūs fī bayāni ahkām al-Naqūs
13. Risālah fī jawāzi al-Taqlīd
14. Al-Darar al-Muntatsirah
51
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari (Jakarta: Kompas, 2010), h.94
29
15. Tamyīz al-Haq min al-Bāthil
16. Risālah fī al-„Aqāid
17. Risālah fī al-Tashawwufi
Di atas ini merupakan beberapa karya tulis Hasyim Asy‟ari yang
didokumentasikan oleh cucunya, penulis mengambil dalam sebuah buku yang
berjudul Kumpulan Kitab Karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim
Asy‟ari, buku ini dikumpulkan menjadi sebuah kumpulan karangan Hasyim
Asy‟ari oleh K.H. Muhammad Ishomuddin Hadziq.52
Namun selain ke 17 karya di atas, masih ada sejumlah karya beliau
yang berbentuk manuskrip dan belum diterbitkan. Antara lain sebagai berikut
al-Risālat al-Jamā‟ah dan al-Risālat al-Tawhīdiyyah. 53
52
Hasyim Asy‟ari, Irsyād al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syeikh Hasyim Ays‟ari
(Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007).
53
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, h.99
30
BAB III
T ASHAWUF
A. Pegertian Dan Tujuan Tashawuf
Tashawuf merupakan ilmu yang dipelajari oleh setiap golongan
agama, tidak hanya Islam yang mengenal tashawuf, akan tetapi agama-agama
lain pun seperti Yudaisme dan Kristen juga mengena lnya. Tashawuf hadir di
tengah masyarakat Yunani Kuno dalam Filsafat Phytagoras. Di kalangan
bangsa Persia dalam Filsafat Mani dan Zoroaster, sedangkan di India
mistisisme terkandung dalam ajaran Budhisme, Brahma dan kitab Weda.54
Dapat kita simpulkan bahwa tashawuf merupakan ilmu yang sangat
pesat, begitu banyak yang menulis dan mendefinisikan, hal itu menunjukkan
bahwa tashawuf merupakan ilmu yang sangat berkembang. Terdapat pula
berbagai teori tentang pendefinisian asal usul tashawuf. Pegertian tashawuf
sendiri meliputi secara etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah), penulis
akan mengemukakan secara etimologi terlebih dahulu sebagai berikut;
1. Berasal dari kata ahl al-suffah (‫ )أً٘ جٌوفس‬orang-orang yang ikut
pindah bersama Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, dalam keadaan
miskin karena kehilangan harta dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal
di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan berbantal pelana. Pelana
itulah yang disebut suffah. Sungguh miskin ahl-suffah namun berhati baik dan
54
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tashawuf Isam dan Akhlak, terj. Kamran As‟at Irsyady
(Jakarta: Amzah, 2011), h.3
32
31
mulia, dan tidak mementingkan sifat keduniaan serta sungguh berhati baik dan
mulia sifat-sifat kaum sufi.55
2. Ada juga teori yang mengatakan bahwa tashawuf berasal dari kata
kota sophos yang berarti hikmah, dan kata tersebut berasal dari bahasa yunani.
Kalau kita amati memang ada hubungan antara orang sufi dan kata hikmah,
karena kaum sufi membahas persoalan berdasarkan pembahasan yang falsafati.
Tetap teori ini ada yang meragukan sebab haruf “s” pada kata sophos jika
ditransliterasikan ke dalam bahasa arab menjadi ‫ ؽ‬bukan ‫ م‬, jika demikian
harusnya sufi ditulis dengan kata ٝ‫ف‬ٛ‫ ؿ‬bukan ٝ‫ف‬ٛ‫ه‬.56 Ibrahim Basyuni juga
berpendapat, bahwasanya ulasan kata tersebut kurang pas, karena pencantuman
huruf pada awal kalimat tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya.
Menisbahkan pada lafadl ‫ف‬ٛ‫ جٌو‬yang artinya wol kasar, memang kelihatan
adanya hubungan gaya hidup kaum zuhud yang tidak suka kesenangan
duniawi, lebih memilih tekun beribadah kepada Allah. Karena wol merupakan
pakaian para nabi, simbol para wali dan sufi57
3. Al-Qusyairi mengatakan bahwa asal usul kata tashawuf adalah kata
shafwah yang memiliki arti orang pilihan.
4. Al-Shuffah (‫)جٌوفس‬
ٍُ‫ؿ‬ٚ ٗ١ٍٗ ‫ جهلل‬ٍٝ‫ ه‬ٟ‫ض جٌٕر‬ٙٗ ٟ‫ح ف‬ٙ١ٍٗ ّْٛ٘‫جط‬٠ ْٛ‫ وحْ جٌّطـى‬ٟ‫ جٌط‬ٟ٘ ‫جٌوفس‬
55
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 57
56
Rusli Ris‟an, Tashawuf dan Tarekat (Jakarta: Raja Wali, 2013), h.5; Lihat juga Harun
Nasution, h. 57
57
Institut Agama Islam Negeri, Pengantar Ilmu Tashawuf, (Jakarta: tampa nama penerbit
dan tahun cetak), h. 10
32
“ada sekelompok orang yang melakukan ibadah di serambi-serambi
masjid pada masa Nabi Muhammad S.A.W”.58
Al-shuffah juga disebutkan sebagai generasi pertama para sufi, mereka
melakukan ibadah penuh keikhlasan kepada Allah sehingga mereka menjadi
teladan utama bagi generasi-generasi sufi selanjutnya.59
5. Ada juga yang mengatakan tashawuf berasal dari kata al-Shāfa‟
(‫)جٌوفحء‬
ٟ‫ف‬ٛ‫ عذٗ فو‬ٝ‫ ِٓ هحف‬ٌٝ‫ح ٔـرس ئ‬ٙٔ‫ئ‬
“kata al-Shāfa‟ dinisbatkan kepada seseorang yang mensucikan
Tuhannya, kemudian disebut seorang sufi”.60
Maksudnya yaitu, seorang sufi terus-menerus melakukan upaya untuk
selalu dekat kepada Allah dengan cara mensucikan diri dengan segala bentuk
Tasyabbuh atau Imtitsāl yang diwujudkan melalui ibadah-ibadah yang di
lakukan atau dengan cara lain untuk membersihkan batinnya.
6. Menurut Dzunnun al-Mishrī, bahwa kata tashawuf berasal dari kata
Shafwiyah (‫س‬٠ٛ‫ )هف‬diambil dari kata al-Shāfa‟ (‫)جٌوفحء‬, dikatakan bahwasanya
para sufi melakukan amalan secara tersembunyi dan merahasiakannya,
sehingga tidak timbul perasaan untuk disanjung atau menghindari rasa Riya‟
(rasa ingin disanjung orang lain), supaya amalan yang dilakukan benar-benar
58
Muhammad Ghalab, al-Tashawuf al-Muqāran (Al-Qahirah: Maktabah Nahdhah Mesir,
1957), h.26
59
Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tashawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta:
Qisthi Press, 2014),h.7
60
Muhammad Ghalab, Al-Tashawuf al-Muqaran, h.26-27
33
tulus dan iklas karena Allah. Seperti yang dikutip dalam pernyataanya sebagai
berikut;
‫حء‬٠‫ذٗ جٌغ‬ٛ‫ل‬٠ ‫ٔٗ فال‬ّٛ‫ىط‬٠ٚ ًٌّ٘‫ْ ج‬ٚ‫ـطغ‬٠ ُٙٔ‫طٌه أ‬
“mereka para sufi merahasiakan dan menyambunyikan amal
perbuatannya, sehingga amal perbuatan tersebut tidak menyerupai
riya”.61
Musā‟id Muslim „Ali jakfar menjelaskan, bahwa akar kata tashawuf
secara detail menurutnya, apabila diambil dari kata al-Shafā maka yang
terbentuk adalah kata Syafawiyyah, apa bila diambil dari kata al-Shifā atau alSaff maka akan menjadi Safiyyah. Maka kata yang paling tepat sebagai
pembentukan istilah tashawuf adalah al-Suf.62
Diatas ini merupakan definisi tashawuf secara etimologi. Selanjutnya
penulis akan menggemukakan tashawuf secara terminologi (istilah). Terdapat
beberapa istilah yang dikemukakan oleh beberapa tokoh sufi, diantranya
menurut al-Junaydī,
‫س‬٠‫جسّحص هفحش جٌرلغ‬ٚ ‫س‬١٘١‫ِفحعلس جسالق جٌِر‬ٚ ٝ‫ح جٌظجض‬ٙ‫ص ٘ح ً٘ف‬ٚ‫٘ح‬٠ ‫ ال‬ٝ‫خ دط‬ٍٛ‫س جٌم‬١‫ف ضوف‬ٛ‫جٌطو‬
‫جش جٌٕفؾ‬ٚ‫ِجحٔرس ٔؼ‬ٚ
“Tashawuf adalah mensucikan hati sehingga tidak ditimpa suatu
kelemahan, menjuhi akhlak alamiah, melenyapkan sifat kemanusiaan,
dan menjauhi segala keinginan nafsu. ”63
Abu Amr al-Damsyaqī mengatakan,
61
Abdul Halim, Dzunnun al-Misri, tanpa penerbit dan tahun cetak, h. 47
Aramdhan kodrat permana, Nuansa Tasawwuf, (Bekasi: An Nahl, 2016), h.98
63
Rusli Ris‟an, Tashawuf dan Tarekat, h. 7
62
34
“Tashawuf melihat ketaksempurnaan alam fenomena, bahkan
menutup mata terhadap alam fenomena”
Rumi mengatakan,
“Tashawuf itu merupakan renungan kelubuk makna kehidupan yang
bersifat batin dengan maksud mencapai dan menyingkap misteri
agung”64
Imam Sya‟rani mendefinisikan,
“ilmu Tashawuf tidak lain merupakan sebuah keilmuan yang
terpercik dalam hati para wali, ketika hati tersebut diterangi oleh
pengalaman-pengalaman terhadap al-Qur‟an dan Sunnah.”65
Ibnu Kaldun mengatakan,
“ Tashawuf itu adalah semacam ilmu syari‟at yang timbul kemudian
di dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian
dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasanhiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang
banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyadari menuju jalan
Tuhan dalam khalwat dan ibadah”. Al-Hallaj ketika ditanya oleh seorang di
saat dia disalib, “ di waktu sekarang patut engkau mewariskan kata kepada
64
Abdul Hamid, Tashawuf yang Tertindas (jakarta: Paramadinah, 2001), h.13
Muhammad Syaraf Jalal, Tashawuf Islam Mazhab Baghdad (Tangerang: Gaya Media
Pratama, 2014), cet. I. h. 7
65
35
kami, apakah arti yang sejati dari Tashawuf itu?”, maka dia berkata “ Tashawuf
ialah yang engkau lihat dengan matamu ini. Inilah dia tashawuf.”66
Dengan demikian, bahwa tumbuhnya tashawuf adalah, karena
seseorang tekun dalam melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan berpaling dari kemegahan duniawi yang hanya sifatnya sementara,
mereka lebih memilih jalan zuhud dengan cara meninggalkan diri dari
kesenangan dunia dan kemweahan lainnya.67
Kita ketahui, bahwa begitu banyak yang telah mendefinisan tashawuf.
Menurut Ahmad Zaruq, kata tashawuf telah didefinisikan dan ditafsirkan dari
berbagai aspek, sehingga mencapai kurang lebih dua ribu definisi.68 seperti
yang telah ditulis di awal bahwa tashawuf merupakan ilmu yang sangat
berkembang dan selalu relevan dengan kebutuhan ummat.
Setelah diatas penulis mengemukakan tentang pengertian tasawauf,
maka sekarang penulis akan mengemukakan tujuan tashawuf.
Secara Filosofis Mustafa Zuhri menggatakan, bahwa tujuan tashawuf
itu Fana untuk mencapai Makrifat. Arti fana sendiri adalah meniadakan diri
supaya ada. Sementara itu, secara tashawuf yaitu leburnya pribadi pada
kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhaan
dalam keadaan mana, semua rahasia yang menutup diri dengan al-Haqqu
Ta„ala tersingkap kasyaf, ketika itu antara Allah dan dirinya menjadi satu
dalam Baqa‟nya tanpa Hulūl/berpadu dan tanpa Ittihād/bersatu, dalam artian
seolah-olah merasa manusia dan Tuhan sama. Seperti yang dikutip dalam
pernyataan Ali bin Abi Thalib r.a, sebagai berikut;
66
Hamka, Tashawuf Modern, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015 ), h. 3
Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, (Malang: UIN-Malang, 2008), h. 20
68
Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tashawuf, terj. Khairul Amru Harahap, h. 19.
67
36
‫جضش أٔص‬ٚ ٝ‫ فٕح ت‬ٝ‫ف‬ٚ #ٜٝ‫ فٕح فٕحت‬ٝ‫ فٕحت‬ٝ‫ف‬ٚ
“Dan di dalam kefanaanku, leburlah kefanaanku. Tetapi di dalam
kefanaanku itulah bahkan aku mendapatkan engkau (al-Haqqu
Taala).”
Dikutip pula dalam pernyataan Abdul Karim Al-Jailnī
ُ‫س ث‬١‫ذ‬ٛ‫ع ؿغ جٌغذ‬ٛٙٔ‫ح ٗٓ عذٗ ذ‬١ٔ ‫ ثح‬ٕٝ‫ف‬٠ ُ‫ع عذٗ ث‬ٛٙٔ‫ال ٗٓ ٔفـٗ ذ‬ٚ‫ أ‬ٕٝ‫ف‬٠ ْ‫ٗالِس ٘ظج جٌىلف ج‬ٚ
.ٗ‫ ثحٌثح ٗٓ ِطٍ٘محش هفحضٗ ذّذطممحش طجض‬ٕٝ‫ف‬٠
“Tanda-tanda kasyaf itu adalah: pertama. Fananya seseorang dari
dirinya karena jelasnya tuhannya, kedua. Fananya seseorang dari
pancaran tuhannya karena jelasnya rahasia ketuhanan, ketiga. Fananya
seseorang dari segala yang menyangkut sifatnya karena tahqī„q zatnya
Allah”. 69
Sedangkan menurut Toriquddin dalam bukunya Sekularitas Tashawuf,
bahwa tujuan para mutashawwifin yaitu tidak ada tujuan lain kecuali hanyalah
bertujuan untuk mencapai “Ma‟rifah billah” (mengenal Allah), dan
tersingkapnya hijab yang membatasi dirinya dengan Allah.70
Namun tujuan terpenting secara umum menurut Rivay Seregar, adalah
berada sedekat mungkin dengan Allah. Tetapi kalau dilihat secara
karakSteristik tashawuf secara umum ada tiga bagian. Pertama. Bertujuan
aspek moral, hal ini umumnya bersifat praktis, kedua. Bertujuan ma‟rifatullah
melalui penyingkapan langsung atau metode kasyf al-hijab, tashawuf ini
69
70
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tashawuf, h. 164
Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, h. 30
37
bersifat teoritis yang menggunakan seperangkat ketentuan yang diformulasikan
secara sistematis dan analistis, ketiga. Bertujuan membahas bagaimana sistem
pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah, secara mistis dan filosofis.
Kalau kita amati secara keseluruhan, terdapat beragam tujuan tashawuf, tetapi
pada intinya Tashawuf adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak
mutlak Allah, karena Allah merupakan penggerak utama dari semua kejadian.71
Tujuan lain dari Tashawuf seperti yang dikatakan Rosihon Anwar
dalam bukunya, Yaitu untuk memperoleh hubungan langsung dengan Allah
secara khusus. Hubungan tersebut memiliki arti tersendiri dengan kesadaran,
bahwa manusia sedang berada di hadirat Allah. Kesadaran tersebut menuju
komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Allah. Para sufi beranggapan
bahwa ibadah yang dilakukan dengan cara formal belum dianggap memuaskan,
karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.72
Begitu juga Sayyid Nur Ibn Sayyid Ali, mengemukakan tujuan
tashawuf yang dibagi kedalam enam bagian, sebagai berikut. Pertama,
berupaya menyelamatkan manusia dari akidah-akidah syirik dan batil. Kedua,
untuk melepaskan diri atau menggosongkan hati dari sifat-sifat tercela. Ketiga,
untuk menghiasi diri dengan akhlak
mulia yang diajarkan agama Islam.
Keempat, untuk meraih tingkatan ihsān dalam ibadah. Kelima, untuk
menstabilkan akidah persahabatan dengan Tuhan (suhbah ilāhiyyah). Keenem,
bertujuan untuk meraih kekuatan iman yang dulu pernah dimiliki para sahabat
Nabi Muhammad. Ketujuh, menyebarkan ilmu syari‟at dan menghembuskan
71
72
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf, h.58-59
Rasihon Anwar, Akhlak Tashawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.148
38
ruh kehidupan, sehingga karenanya dihasilkan motivasi bagi kaum muslim
untuk memimpin kembali umat manusia.73
B. Sumber Ajaran Tashawuf
1. Al-Qur’an
Sumber ajaran tashawuf dalam Islam berdasarkan al-Quran dan alSunnah, meskipun ada sebagian yang mengatakan bahwa tashawuf dalam
Islam timbul karena adanya pengaruh dari luar Islam. Al-Qur‟an dan al-Sunnah
merupakan dalil naqli atas sumber ajaran tashawuf, karena pembentukan awal
tashawuf adalah akhlak, sementara moral dan keagamaan banyak diataur dalam
al-Qur‟an dan al-Sunnah.74 Jelaslah bahwa sumber utamanya adalah al-Qur‟an,
sebab tashawuf ditimbulkan dari al-Qur‟an, al-Sunnah, dan amalan serta
ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu tidak keluar dari
ruang lingkup al-Qur‟an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu sumber utama tashawuf
adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah.75
Al-Qur‟an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung
ajaran-ajaran Islam, untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an tidak cukup hanya
secara lahiriah (tektual), tetapi perlu juga memahaminya secara rahaniah
(kontekstual). Sebab, jika hanya dipahami secara lahiriah, ayat-ayat al-Qur‟an
terasa kaku, mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima
secara psikis. Pada dasarnya Islam telah mengatur kehidupan manusia secara
73
Sayyid Nur Ibn Sayyid Ali, al-Tashawuf al-Syar‟i, terj. M. Yaniyullah (Jakarta:
Hikmah, 2003), h. 17-18
74
Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, h. 17
75
Syamsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 15
39
lahiriah dan bathiniah, pada akhirnya unsur ajaran batiniah melahirkan
Tashawuf.76
Dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menggambarkan ajaran tashawuf.
Allah memerintahkan manusia agar selalu membersihkan diri dan bertaubat
kepadanya, karena Allah cinta kepada hambanya yang bertaubat dan selalau
membersihkan dirinya. seperti firmannya;
.ٓ٠ ‫غ‬ِٙ‫ذد جٌّط‬٠ٚ ٓ١‫جذ‬ٛ‫ذد جٌط‬٠ ‫جْ جهلل‬
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah (2):
222)
Kalau kita resapi, ayat di atas ini memiliki makna yang sangat luas.
Jika sahnya shalat wajib diawali dengan bersuci secara lahir (berwhudu‟),
maka begitu juga dalam tashawuf ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu,
bertaubat. Bersuci secara lahir (berwhudu‟) akan berpengaruh pada kebersihan
hati. Sedangkan bersuci secara batin (taubat) akan membersihkan batin yang
lebih dalam.77 Bersuci yang dimaksud di kalangan para sufi yaitu,
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Seperti hasad, thama‟, ujūb,
pemarah, dengki terhadap sesama, dan lain-lain.78 Jika terus-terusan bertaubat
dan bersuci, maka Allah akan mencintainya. Oleh karena itu, seseorang tidak
mungkin dapat mensucikan dirinya tanpa bertaubat terlebih dahulu. Dengan
demikian, bertaubat dan mensucikan diri merupakan hal yang tidak dapat
76
Rosihon Anwar, Akhlak Tashawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.152
Syaikh Al-Waasi‟ Achma Syaechudi, Bulan Terang di Bukhara, (Jakarta: Khazanah,
2007), h. 30
78
Toriquddin, Sekularitas Tashawuf, h. 29
77
40
dipisahkan untuk mencapai kedekatan kepada Allah. Seperti halnya bunga dan
kumbang, mustahil madu akan ada dengan sendirinya tanpa perpaduan di
antara keduanya.79
Al-Qur‟an juga menyerukan manusia untuk iman kepada Allah dan
rasulnya, hingga para sufi senantiasa selalu mencontoh Rasullah dan para
sahabatnya dalam ibadah maupun prilakunya. Selain itu, al-Qur‟an juga
sebagai petunjuk bagi manuisa. Sebagaimana yang tertera dalam firma-Nya:
ٜ‫جٌظ‬ٛ٘ .ٓ١ِٕ‫ثمىُ ئٔىٕطُ ِإ‬١ِ ‫لض أسض‬ٚ ُ‫ْ ذغذى‬ِٕٛ ‫وُ ٌطإ‬ٛٗ‫ض‬٠ ‫ي‬ٛ‫جٌغؿ‬ٚ ‫ْ ذحهلل‬ِٕٛ‫ِح ٌىُ ال ضإ‬ٚ
.ُ١‫ف ع د‬ٚ‫ئْ جهلل ذىُ ٌغء‬ٚ ‫ع‬ٌٕٛ‫ ج‬ٌٝ‫شغ جىُ ِٓ جٌٍّٔص ئ‬١ٌ ‫ٕص‬١‫ص ذ‬٠‫ ٗرضٖ ءج‬ٍٝٗ ‫ٕؼي‬٠
“Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal rasul menyeru
kamu supaya kamu beriman kepada tuhanmu. Dan sesungguhnya dia telah
mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman.
Dialah (Allah) yang menurunkan kepada hambanya ayat-ayat yang terang
(al-Quran) supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar maha penyantun lagi maha
penyayang terhadapmu.” (QS. Al-Hadid (57: 8-9)
َ‫جٔٗ ؿرً جٌـال‬ًٛ‫ ذٗ جهلل ِٓ جضرٖ ع‬ٜ‫ض‬ٙ٠
“Allah memimpin (memberi petunjuk) dengan Qur‟an kepada orangorang yang mengikuti keridhaannya ke jalan (Tarekat) keselamatan.”
(QS. Al-Maidah (5): 16 ).80
ُ١ٍٗ ٖ‫جؿ‬ٚ ‫جٗ جهلل ئْ جهلل‬ٚ ُ‫أ فث‬ٌٛٛ‫ّٕح ض‬٠‫جٌّغغخ فأ‬ٚ ‫هلل جٌّلغق‬ٚ
79
80
Syaikh Al-Waasi‟ Achma Syaechudi, Bulan Terang di Bukhara, h. 31
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tashawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,2007), h. 156
41
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah maha (rahmmatNya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 115)
Terdapat pula ayat yang menganjurkan manusia untuk tidak
mendekati dunia. Dalam artian, Allah memerintahkan manusia untuk selalu
mendekatkan diri kepada-Nya dangan bersikap zuhud (tidak suka dunia),
seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini:
ٓ١‫ذد جٌّـغ ف‬٠ ‫ج ئٔٗ ال‬ٛ‫ال ضـغف‬ٚ ‫ج‬ٛ‫جكغذ‬ٚ ‫ج‬ٍٛ‫ و‬ٚ ‫ٕطىُ ٕٗض وً ِـجض‬٠‫ج ػ‬ٚ‫ ﺁصَ سظ‬ٕٝ‫ر‬٠
“wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada
setiap (masuk) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-a‟raf (8): 31 )
Dalam ayat ini jelas sekali bahwasanya Allah telah menganjurkan kita
untuk tidak berlebihan dalam urusan dunia, karena Allah tidak menyukai
terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan. Ayat ini menggambarkan kepada
kita sebagai landasan utama bagi para sufi untuk bersikap zuhud, dan bukti
sebagai dasar landasan tashawuf.
2.
Al-Sunnah
Sejalan dengan apa yang terdapat dalam al-Qur‟an di atas, al-Sunnah
yang juga merupakan sumber tashawuf banyak berbicara tentang kehidupan
rohaniah, seperti yang di contohkan oleh Nabi Muhammad dalam bersikap
Zuhud. Beliau mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah
42
kekayaan harta, melainkan kekayaan rohaniah. Nabi Muhammad tidak tertarik
dengan kekayaan harta, karena beliau memandang kekayaan rohani lebih tinggi
kedudukannya dari pada harta benda.81
Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Wahai manusia, dunia ini adalah
kampung kebinasaan, dan bukan kampung kelurusan; tempat kesusahan, dan
bukan tempat kebahagian. Makan, barang siapa mengetahuinya, maka ia tidak
berbahagia karena kemewahannya, dan tidak bersedih karena kesengsaraannya.
Ketahuilah bahwa Allah SWT menciptakan dunia sebagai kampung ujian dan
akhrat sebagai kampung balasan. Dia menjadikan musibah dunia sebagai sebab
bagi pahala akhirat, dan pahala akhirat sebagai ganti musibah dunia. Karena
itu, dia mengambil untuk memberi, dan menguji untuk membalas. Sungguh,
dunia cepat hilang dan segera berubah. Karenanya, berhati-hatilah kalian dalam
menghadapi manisnya penyusunan karena pahitnya penyepihan. Tinggalkan
kelezatan saat kini karena kebenciannya saat nanti. Janganlah kalian berusaha
memakmurkan rumah dengannya, padahal Allah telah menghendaki dari kalian
untuk menjahinya. (Jika tidak), kalian menjadi orang-orang yang menghadapi
kemurkaan-Nya dan berhak mendapatkan hukuman-Nya”.82
Ada juga hadist yang menganjurkan kita untuk mendekatkan diri
kepada Allah, hingga akhirnya
dengan cara begitu kita bisa menyatu
bersamanya. Seperti hadist berikut ini;
ٌٟ ٜ‫ ِٓ ٗحص‬:‫ لحي‬ٍٝ٘‫ ئْ جهلل ض‬:ٍُ‫ؿ‬ٚ ٗ١ٍٗ ‫ جهلل‬ٍٝ‫ي جهلل ه‬ٛ‫ لحي عؿ‬:‫ جهلل ٕٗٗ لحي‬ًٟ‫غز ع‬٠‫ ٘غ‬ٟ‫ٗٓ أذ‬
‫طمغخ‬٠ ٞ‫ؼجي ٗرض‬٠ ‫ِح‬ٚ ٗ١ٍٗ ‫ ِّح جفطغًص‬ٌٟ‫ة أدد ئ‬١‫ ذل‬ٞ‫ ٗرض‬ٌٟ‫ِح ضمغخ ئ‬ٚ ‫ح فمض أصٔطٗ ذحٌذغخ‬١ٌٚ
81
Hamzah Ya‟Qub, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin, (Jakarta: Atisa,
1992), h. 28
82
Ibnu „Arabi, Wasiat-Wasiat Ibnu „Arabi, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997), h. 184
43
‫ح‬ٙ‫رِق ذ‬٠ ٟ‫ضٖ جٌط‬٠ٚ ٗ‫روغ ذ‬٠ ٞ‫ذوغٖ جٌظ‬ٚ ٗ‫ـّٖ ذ‬٠ ٞ‫ أدرٗ فاطج أدررطٗ وٕص ؿّ٘ٗ جٌظ‬ٝ‫جفً دط‬ٌٕٛ‫ ذح‬ٌٟ‫ج‬
]ٞ‫جٖ جٌرشحع‬ٚ‫ظ ذٗ [ع‬١ٗ‫ أل‬ٟٔ‫ٌثٓ جؿط٘حط‬ٚ ٗ‫ط‬١ِٗ‫ أل‬ٌٟٕ‫ٌثٓ ؿأ‬ٚ ‫ح‬ٙ‫ّق ذ‬٠ ٟ‫عجٍٗ جٌط‬ٚ
“Dari Abi Hurairah ra. Berkata: “RasulAllah SAW, bersabda:
Sesungguhnya Allah telah berfirman: “Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka
Aku menyatakan perang padanya, dan hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku
dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada menjalankan kewajiban. Seorang
hamba selalu mendekatkan diri pada-Ku dengan melakukan amalan sunnah
hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka Aku akan menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya untuk
melihat, tangannya yang ia jadikan sebagai kekuata, dan kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon padaku pasti akan aku kabulkan, jika
ia berlindung kepada-Ku, pasti akan Kulindungi.”83
Menurut Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya (Irsyādu al-Mu‟minīn), jika
seseorang menginginkan kebahagiaan dunia maupun akhirat maka harus
mengikuti perjalanan Nabi Muhammad, karena yang beliau tempuh (Nabi
Muhammad SAW) merupakan perjalanan untuk mencapai sebuah keselamatan.
Hasyim Asy‟ari dalam hal ini berlandasan pada al-Qur‟an.84 Sebagaimana
firman Allah:
.‫غج‬١‫ط وغ جهلل وث‬ٚ ‫َ جألسغ‬ٛ١ٌ‫ج‬ٚ ‫ جهلل‬ٛ‫غج‬٠ ْ‫ز دـٕس ٌّٓ وح‬ٛ‫ ي جهلل أؿ‬ٛ‫ عؿ‬ٝ‫ٌمض وحْ ٌىُ ف‬
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”. (Q.S, alahzāb (33): 21).
Nabi Muhammad merupakan contoh dan suri tauladan yang paling
baik, beliau selalu berbuat baik kepada sesama manusia, berbuat baik kepada
keluarga, tamu dan juga para tetangganya. Dalam bidang sosial beliau dikenal
sangat pemurah, dan penolong sesama dari segala kesulitan. Selalu
83
Muhammad bin Ismail al-Bukhāri, Shahih Bukhāri, (Bairut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz
5, h. 238.
84
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Irsyād al-Mu‟minīn, Irshd al-Sari Fi Jam‟i
Musannafat al-Shaykh Hasyim Ays‟ari (Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007), h. 5
44
memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang-orang
lemah.85 Dan selanjutkan di dalam kehidupan nabi Muhammad terdapat suri
tauladan yang mengambarkan beliau sebagai seorang sufi, ditunjukan dengan
sikap zuhud yang tidak rakus terhadap urusan duniawi. Disaat melakukan
pengasingan di gua Hira‟ Nabi Muhammad hanya bertafakkur, beribadah dan
hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup dalam kesederhanaan, terkadang
mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal.86
Tergambar pula sifat zuhud nabi Muhammad dalam sebuah hadis
yang meriwayatkan, ketika sahabat Umar bin Khatthab berkunjung ke rumah
RasulAllah SAW. Ketika Umar masuk kedalamnya, dia kaget melihat isi
rumah beliau, yang ada hanyalah meja dengan alas daun kurma yang kasar,
sementara yang terdapat di dinding rumah Nabi hanyalah sebuah tempat air
(griba) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu‟. Keharuan terjadi pada
Umar, tanpa disadari air matanya menites. Kemudian nabi Muhammad
menanyakannya: “Gerangan apa yang membuatmu menangis wahai sahabtku?”
Umar pun menjawab: “ Bagaimana akau tidak menangis, ya RasulAllah?,
hanya seperti ini keadaan yang aku dapati di rumah tuan. tidak ada perkakas
dan tidak ada kekayan kecuali meja dan griba, padahal di tangan Tuan telah
tergenggam kunci dunia timur dan
dunia barat, dan kemakmuran telah
melimpah.” Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar, aku ini adalah Rasul Allah.
Aku bukan seorang kaisar dari romawi dan juga bukan seorang kisra dari
85
86
h. 158
Hamzah Ya‟Qub, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin, h. 29
Abuddin Nata, Akhlak Tashawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta, Raja Wali Pres, 2015),
45
persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan
ukhrowi.”87
C. Maqamat Dan Ahwal
Para sufi memiliki sebuah konsepsi tentang jalan (thariqah) untuk
sampai kepada Allah taqarrub ilallāh (mendekatkan diri kepada Allah). Jalan
itu merupakan sebuah latihan rohaniah yang dilakukan secara bertahap. Latihan
tersebut ditempuh dengan berbagai fase yang dikenal dengan maqamat
(tingkatan-tingkatan) serta ahwal (sebuah keadaan), dan pada akhirnya sampai
mengenal Allah.88
Secara historis konsep maqamat dan ahwal pertama kali muncul
diduga pada masa sahabat Ali bin Abi Thalib. Hal tersebut diperkuat dengan
adanya para sahabat pada waktu itu berkonsultasi tentang iman. Ali bin Abi
Thalib menjawab bahwa iman itu bersumber pada empat fondasi, yaitu taqwa,
sabar, adil dan jihad.89 Seperti yang telah ditulis diatas, untuk menggapai
sebuah tujuan pastilah melalui beberapa proses perjalanan, Harun Nasution
dalam bukunya (Falsafat dan Mistisisme dalam Islam) mengatakan, seorang
sufi apabila ingin sampai kepada Allah, maka ia harus menempuh perjalanan
panjang yang berisi stasiun-stasiun, yaitu yang disebut dengan maqamat
(‫ )ِمحِحش‬dalam istilah arab, atau stages dan stations dalam istilah Inggris90.
Disamping istilah maqam, terdapat juga isltilah ahwal, namun yang
dimaksud ahwal (keadaan) disini merupakan keadaan psikologis seorang sufi
87
Adib Zain, Zahid dan Luqmanul Hakim Dkk, Mengenal Thariqah (Semarang: Anika
Ilmu Semarang, 2005), h. 5
88
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 166
89
Mustafa, Akhlak Tashawuf (Bandung. Pustaka Setia, 1997), h. 280-281
90
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010),
h. 48
46
ketika sudah mencapai maqam tertentu. Secara teliti para sufi menegaskan
perbedaan antara maqam dan ahwal. Maqam menurut kaum sufi ditandai
dengan kemapanan. Sementara ahwal, justru mudah menghilang. Maqam bisa
dicapai dengan kehendak (kamauan) dan upaya. Sementara ahwal, dapat
diperoleh secara disengaja91, bukan diperoleh melalui atas usaha manusia,
tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah dan sifatnya sementara,
datang dan pergi. Bagi seorang sufi datang dan pergi dalam perjalanannya
mendekati Allah.92
Para sufi berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang maqam
secara bahasa, namun pada dasranya secara subtansi memiliki pemahaman
yang sama. Al-Qusyairi mengatakan, maqam adalah tahapan adab seorang
hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada Allah dengan berbagai usaha,
diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing
berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta
melakukan latihan-latihan spritual menuju Allah.93 Al-Qusyairi mengatakan,
ahwal adalah makna yang datang pada hati dengan cara disengaja, ahwal
diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenagsenang, rasa tercekam, rindu, gelisah atau harapan.94
Menurut Dzun An-Nun Al-Mishri, Maqam-maqam dapat diketahui
berdasrkan tanda-tanda, simbol-simbol dan amalannya. Dan harus dilalui
secara bertahap. Sedangkan Ahwal dapat dikatakan, merupakan sebuah
pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki,
91
92
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 167
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 49
93
94
Media Zainun Bahri, Tashawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga, 2010), h.84
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 168
47
pemberian tersebut adakalanya tidak melalui usaha. Tidak semua orang yang
berusaha itu berhasil, namun ia menjadi dambaan bagi setiap orang yang
menjalani tashawuf.95
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa maqam lebih lama dari pada
ahwal. Maqam bersifat tetap, sementara ahwal silih berganti. Namun keduanya
sama-sama menunjukan perkara yang berdimensi spritual, meskipun keduanya
berbeda. Dan pasti hanya dipahami oleh mereka yang telah menjalankannya.
Di kalangan kaum sufi, urutan maqam berbeda-beda. Harun Nasution
menjelaskan, bahwa tidak semua buku-buku (kitab) tidak selamanya
memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasiun-stasiun (maqam).
Abu Hamid al-Gazali dalam Ihyā‟ „Ulum al-Din memberikan lima tingkatan
(stasiun) untuk sampai kepada Allah; tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal,
makrifat dan kerelaan.96 Sementara Imam As-Suhrawardi memeberikan
sembilan urutan maqam sebagai berikut; tobat, wara‟, zuhud, sabar, fakir,
syukur, khauf, tawakkal dan ridha97. Abu Nasr as-Sarrāj didalam kitab
momuntemnya al-Luma menyebutkan ada tujuh urutan; tobat, wara‟, zuhud,
fakir, sabar, tawakkal, ridha. Tokoh lai, Ibrahim Basyuni berpendapat ada lima;
tobat, zuhud, ridha, tawakkal, khalwah, dan zikir.98
Begitu pula ahwal, memiliki tingkatan tingkatan khusus. Namun pada
umumnya para sufi hanya menulis sepuluh tingkatan dalam ahwal; muqarabah,
95
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 178
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h.
97
Samsul Munir Amin, Ilmu Tashawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 170
98
Cecep Alba, Tashawuf dan Tarekat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 20
96
48
Qurbu, mahabbah, khauf, raja‟, syauq, unsu, itmi‟nan, musyahadah, dan
yaqin.99
D. Tarekat
Istilah tarekat banyak digunakan dalam kalangan tashawuf, Mustafa
Zahri dalam hal ini mengatakan bahwa makna tarekat merupakan sebuah jalan
atau petunjuk dalam melakukan suatau ibadah sesuai dengan ajaran yang
dicontohkan RasulAllah SAW. Dan yang dikerjakan oleh para sahabat Nabi,
tabi‟in, dan tabi‟it-tab‟in sampai kepada para ulama dan menyambung pada
sama kita ini.100
Secara bahasa tarekat beasal dari bahsa arab al-thariqat (‫ )جٌِغق‬yang
berarti jalan, keadaan dan aliran dalam garis sesuatu. Ada juga yang
mengatakan bahwa tarekat secara harfiah berarti jalan yang terang, dan lurus
yang mungkin mengantarkan pada tujuan dengan keadaan selamat. Selanjutnya
pengertian tarekat berbeda-beda sesuai dengan tinjauan masing-masing.
Namun kalangan para muhaddsin memberikan gambaran dalam dua arti asasi.
Pertama, mengambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar),
dan kedua, didasarkan pada sistem yang jelas yang dibatasi sebelumnya.
Tarekat juga diartikan sebagai sebuah renungan, dan sebuah usaha inderawi
yang akan mengantarkan
seseorang pada hakikit, atau sesuatu data yang
benar.101
99
Cecep Alba, Tashawuf dan Tarekat, h. 21
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Taswuf (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), h. 42
101
Abuddin Nata, Akhlak Tashawuf dan Karakter Mulia, h. 233
100
49
Dari definisi tarekat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
pengertian tarekat berbeda-beda disebabkan tinjauan yang berbeda-berda pula.
Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi mendefiniskan tarekat sebagai berikut;102
.‫س ذمضع جٌِحلس‬١ٌٙ ‫جِغ جإل‬ٚ‫جِطثحي جأل‬ٚ‫ذحُٕح‬ٚ‫حش ٓح٘غج‬١ٌّٕٙ‫ جدطٕحخ ج‬ٟ٘ ‫مس‬٠‫ججٌِغ‬
“Tarekat adalah menjauhi dan melakukan perintah tuhan sesuai
dengan kesanggupan, baik larangan dan perintah yang nyata
maupun yang tidak nyata.”
ِٓ ٕ‫جصجءجٌفغجتي فّحؿطِح‬ٚ ‫ي جٌّرحدحش‬ٌٛ‫ف‬ٚ ‫جٌّىغ٘حش‬ٚ ‫ جدطٕحخ جٌّذغِحش‬ٟ٘ ‫مس‬٠‫جٌِغ‬
.‫س‬٠‫ح‬ٌٕٙ‫سٗحعف ِٓ جً٘ ج‬٠‫جفً ضذص عٗح‬ٌٕٛ‫ج‬
“Tarekat
adalah
meninggalkan
yang
haram
dan
makruh,
memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadlilah,
menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunahkan, sesuai
dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seorang arif
(Syaikh) dari (sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.”
Seorang calon sufi harus menempuh jalan untuk mencapai tujuan
berada sedekat mungkin dengan Allah. Tiap tarekat mempunya guru, upacara
ritual, dan zikir sendiri103. Dengan demikian, tarekat merupakan sebuah jalan
untuk dekat dengan Allah yang telah ditentukan atau dipimpin langsun oleh
seorang Syekh (guru), baik dengan melakukan upacara atau bacaan-bacan
tertentu (zikir dan wiritan).
102
103
Mustafa, Akhlak Tashawuf (Bandung. Pustaka Setia, 1997), h. 280-281
Rosihun Anwar, Akhlak Tashawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.
50
Namun ada seorang yang melakukan penelitian terhadap kehidupan
tashawuf yang dilakukan di beberapa negara Islam. Yaitu L. Missignon,
memberikan sebuah kesimpulan. Bahwa tarekat mempunyai dua macm
pengertian. Pertama, Tarekat yang diartikan sebagai sebuah pendidikan
kerohanian yang sering dilakukan orang-orang yang ingin menempuh
kehidupan tashawuf, untuk mencapai tingkatan-tingkatan kerohanian yang
disebut Maqamat dan Ahwal. Kedua, Tarekat yang diartikan sebagai sebuah
perkumpulan (organisasi) yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh
Syekh (seorang guru) yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Dalam
perkumpulan tersebut kemudian Syekh mengamalkan suatu aliran Tarekat yang
dianut bersama para muridnya104. Seperti halnya tarekat Naqsyabandiyah dan
tarekat Qadariyah yang berkembang pesat di Indonesia, guru besarnya dalam
tarekat tersebut adalah Syekh Ahmad Khatib105
104
Mustofa, Akhlak Tashawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997). Cet, 5. 2010, h. 281-282
Nama lengkapnya, Syekh Muhammad Khatib bin Abdul Gaffar As-sambasi Al-jawi.
Beliau berasal dari kampung Dagang, namun ada riwayat lain yang mengatakan beliau berasal dari
Kampung Asam Sambas. Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya (Tradisi Pesantren) mengatakan,
Syekh Ahmad Khotib Sambas dilahirkan di kalimantan, dan menetap di mekah pada abad ke-19
hingga akhirnya meninggal pada tahun 1875. Semasa remaja beliau belajar di Mekah kepada
Ulama Haramain. Diantaranya belajar kepada Syekh Daud bin Abdillah al-Fattani, seorang
mursyid tarekat Sattariyah. Namun beliau tidak membaiatnya, ia menyeruh Syekh Ahmad Khatib
untuk berbaiat kepada Syekh Syamsuddin, beliau tekun belajar kepadanya hingga gurunya tersebut
meninggal, ia telah diangkat menjadi mursyid kamil mukammil dalam Tarekat Qadiriyah dan
Naqsabandiyah. Jadi Syekh Ahmad Khotib merupakan Mursyid yang pertama kali menyatukan
Terekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Cecep Alba, Tashawuf dan Tarekat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), h. 164
105
51
BAB IV
TASHAWUF K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISᾹLAH
JᾹMI‘AH AL-MAQᾹSHID
A. Penisbahan kitab Kepada Hasyim Asy’ari
Dalam Bab ini menjelaskan tentang pandangan tashawuf Hasyim
Asy‟ari yang diambil dalam kitab Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid. Kitab tersebut
dikarang oleh Hasyim Asy‟ari, di dalamnya terdiri dari beberapa bab
pembahsan yang membahas tentang ilmu tauhid, fiqhi, dan tashawuf, kitab ini
hanya terdiri dari satu kitab yang memiliki 38 halaman. Tetapi tidak terdapat
penjelasan terkait kapan selesainya kitab tersebut ditulis, dan tanpa tahun cetak.
Kemungkinan besar penamaan dari pada kitab tersebut bukan dari Hasyim
Asy‟ari sendiri, melihat kurangnya penjelasan di dalamnya yang menerangkan
bahwa kitab tersebut bernama Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid
Nama kitab diatas kemungkinan yang diberikan oleh cucunya yang
bernama Muhammad Ishomuddin, yang telah berhasil mengumpulkan berbagai
macam karya Hasyim Asy‟ari kedalam sebuah kumpulan kitab dengan nama
Kumpulan Kitab Karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy‟ari.
Sebelum penulis membahas tentang pandangan tashawuf Hasyim Asy‟ari yang
terdapat dalam kitab tersebut, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan sedikit
gambaran dari pada corak pemikirannya.
B. Corak Pemikiran
51
52
Hasyim Asy‟ari merupakan sosok ulama besar yang mempunyai
pengaruh tinggi diantara para ulama-ulama lain pada pertengahan abad pertama
ke-20, beliau dianggap sebagai ulama yang paling alim di Indonesia dengan
kepandaian ilmu yang dimilikinya, terbukti dengan adanya guru Hasyim
Asy‟ari yang datang menemuinya untuk belajar ilmu hadits, yaitu kyai Kholil
bin Abdullatif
dari Bangkalan. Namun para Kyai menilai prilaku yang
dilakukan Kyai Kholil merupakan suatu petunjuk, bahwa setelah meninggalnya
Kyai Kholil, para Kyai diisyaratkan untuk menerima kepemimpinan Hasyim
Asy‟ari. Hal tersebut juga terbukti atas kesuksesan Hasyim Asy‟ari dalam
mendirikan sebuah organisasi besar yang tetap berdiri kokoh sampai hari ini,
yaitu Nahdhatul Ulama (Pergerakan Ulama) yang populer dengan sebutan N-U.
Merupakan sebuah kelayakan para ulama lain memberikan gelar “ Hadratus
Syekh” yang artinya “tuan guru besar”.106
Dengan lahirnya Nahdhatul Ulama dalam kontek islam Indonesia
telah menjadikan Hasyim Asy‟ari juga dikenal oleh berbagai macam golongan
di luar Indonesia. James J. Fox (1999), seorang antropolog dari Asutralia
National University, menyebutkan bahwa Hasyim Asy‟ari merupakan salah
satu wali yang sangat berpengaruh di Jawa, karena mempunyai kedalaman
ilmu dan diyakini membawa berkah bagi para pengikutnya.107
Hal di atas ini menujukan bahwa gagasan pemikiran Hasyim Asy‟ari
sangat diakui dikalangan para ulama di Indonesia bahkan manca negara, selain
sebagai ulama besar beliau juga merupakan penulis aktif, dibuktikan dengan
106
107
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2011), h.137
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari (Jakarta: Kompa, 2010), h. 27
53
beberapa hasil karya tulis seperti yang telah penulis jelaskan di bab
sebelumnya terkait karya-karya beliau.
Dapat digambarkan pula kehebatan Hasim Asy‟ari dari corak
pemikiran tasawuf, beliau lebih menekankan pada pemurnian tasawuf itu
sendiri. Ia ingin tasawuf dilihat dari aspek subtansinya bukan dari aspek
kulturalnya.108 Sebagaimana dikatakan oleh Latiful Khuluq dalam bukunya
(Fajar Kebangunan Ulama), Hasyim Asy‟ari Mengatakan, dengan mengutip
perkataan Fazlur Rahman, bahwa tujuan dari pembaharuan itu untuk
membersihkan sufisme dari ajaran-ajaran eskatik dan metafisik diganti dengan
ajaran-ajaran islam murni. Ajaran pembaharuan itu diterima oleh Hasyim
Asy‟ari saat beliau belajar di Mekkah pada waktu itu. Pemikiran sufi Hasyim
Asy‟ari bertujuan untuk memperbaiki perilaku umat islam secara umum, dan
dalam banyak hal dipengaruhi oleh pemikiran imam Al-Gazali.109
Konsep Hasyim Asy‟ari tidak lepas dari pengaruh gerakan
pembaharuan “neo Sufi” yang berpusat di mekkah dan madinah pada akhir
abad Ke-19 yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dalam usahanya untuk
merumuskan doktrin-doktrin islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
modern yang dimaksudkan supaya islam dapat memainkan kembali tanggung
jawab yang lebih besar dalam lapangan politik, sosial dan pendididkan. Dengan
alasan tersebut Muhammad Abduh Melancarkan ide-idenya agar ummat islam
melepaskan diri dari keterikatan pada pola pikiran para madzhab dan agar umat
islam meninggalkan segala bentuk praktik tarekat.110
108
Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 371
Latiful Khuluq, FajaSr Kebangunan Ulama (Yagyakarta: LKIS, 2000), h.53-54
110
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, h. 140
109
54
Namun Hasyim Asy‟ari sendiri tidak setuju dengan gagasan yang
ditawarkan oleh Muhammad Abduh, beliau lebih menekan umat islam untuk
tetap mengikuti madzhab empat (Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi‟ie). Dan
menyepakati untuk tidak terikat pada suatu golongan tarekat tertentu.
Dalam
pernyataannya
Hasyim
Asy‟ari
mengutip
pendapat
Suhrawardi, “Jalan kaum sufi adalah membersihkan jiwa, menjaga nafsu, dan
melepaskan diri dari berbagai sifat buruk, seperti ujub, takabur, riya‟ dan
senang dunia. Selain itu, menjalankan budi pekerti yang bersifat kerohanian,
seperti ikhlas, tawadhu‟, tawakal dan memperkenankan hati kepada setiap
orang lain dan setiap kejadian ridha, serta memperoleh ma‟rifat dari Allah.”111
C. Tema-Tema Tasawuf dalam Kitab Risālah Jāmi‘ah al-Maqāshid
1. Jalan Menuju Allah
Pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan tentang tarekat (jalan)
dan maqamat (tingkatan-tingkatan) untuk sampai kepada Allah. Pada
hakikatnya yang dimaksud sampai kepada Allah, bukanlah makna yang
dipahami di antara benda-benda. Sebab, Allah yang maha tinggi dan maha suci
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Pada bab ini penulis akan menjelaskan
bagaimana jalan untuk sampai kepada-Nya. Karena hal tersebut berkaitan juga
dengan maqam-maqam yang ada dalam hati, seperti tobat, khauf (perasaan
takut), raja‟ (pengharapan), dan muraqabah, pun juga berkaitan dengan sifatsifat terpuji, seperti Siddiq (tulus), ikhlas dan sabar yang harus dimiliki bagi
calon sufi dalam perjalanan untuk sampai ketingkatan makrifatullah.112
111
Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 371
Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta:
Qisthi Press, 2014),h. 185
112
55
Hasyim Asy‟ari dalam Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid mengatakan,
bahwa untuk sampai kepada Allah seorang manusia harus melalui beberapa
tingkatan-tingkatan dasar, dibagi menjadi lima tingkatan.113 Sebagaimana
Hasyim Asy‟ari katakan,
ٓٗ ‫جإلٗغجى‬ٚ ،‫جألف٘حي‬ٚ ‫جي‬ٛ‫ جألل‬ٟ‫جضرحٕ جٌـٕس ف‬ٚ ،‫س‬١ٔ‫جٌ٘ال‬ٚ ‫ جٌـغ‬ٟ‫ جهلل ف‬ٜٛ‫ سّـس ضم‬ٟ٘ٚ
ٟ‫ جهلل ف‬ٌٝ‫ٕ ئ‬ٛ‫ جٌغج‬،‫غ‬١‫جٌىث‬ٚ ً١ٍ‫ جٌم‬ٟ‫ ف‬ٌٝ‫ ٗٓ جهلل ض٘ح‬ًٝ‫جٌغ‬ٚ ،‫جإلصذحع‬ٚ ‫ جإللرحي‬ٟ‫جٌشٍك ف‬
.‫جٌٌغجء‬ٚ ‫جٌـغجء‬
Yaitu ada lima: bertaqwa kepada Allah baik dalam keadaan rahasia
maupun terang-terangan, mengikuti sunnah dalam ucapan dan
perbuatan, berpaling dari makhluk dalam keadaan gampang dan susah
(sejahtera dan susah), rela terhadap Allah dalam keadaan sedikit dan
banyak (rizki), kembali kepada Allah dalam keadaan senang dan
susah..114
Dari pernyataan di atas sangat jelas, bahwa tahapan dasar untuk
mencapai ridha Allah dibagi menjadi lima bagian. Pertama adalah Taqwa,
hakikat dari taqwa yaitu bersikap wara‟ (menjauhkan diri atau berhati-hati
dalam melakukan sesuatu) dan istiqomah (tekun dalam menjalankan ibadah
kepada Allah). Kedua adalah mengikuti sunnah Rasul, hakikat dari mengikuti
sunnah rasul yaitu dengan penuh kehati-hatian dan berperilaku dengan akhlaq
yang baik (seperti akhlaq yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad).
Ketiga adalah berpaling dari makhluq, hakikat berpaling dari makhluq yaitu
sabar dan memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah (tawakal). Keempat
adalah rela kepada Allah (pasrah), hakikat rela kepada Allah yaitu menerima
terhadap ketetapan yang diberikan oleh Allah dan berserah diri kepada Allah.
Kelima adalah kembali kepada Allah (tawakkal), hakikat dari kembali kepada
Allah yaitu dengan cara bersyukur kepada Allah dalam keadaan senang dan
113
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari. (Jombang: Maktabah al-Turāst al-Islāmī, 2007 ), h. 34
114
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34
56
berlindung kepadanya dalam keadaan susah115. Sebagaimana ia katakan sebagi
berikut;
‫ك‬١‫ضشم‬ٚ ،‫دـٓ جٌشٍك‬ٚ ْ‫ك جضرحٕ جٌـٕس ذحٌطذف‬١‫ضذم‬ٚ ،‫جالؿطمحِس‬ٚ ٕ‫ع‬ٌٛ‫ ذح‬ٜٛ‫ك جٌطم‬١‫فطذم‬
‫ك‬١‫ضذم‬ٚ ،‫ي‬٠ٛ‫جٌطف‬ٚ ‫ك جٌغًح ٗٓ جهلل ذحٌمٕحٗس‬١‫ضذم‬ٚ ،ً‫و‬ٛ‫جٌط‬ٚ ‫جإلٗغجى ٗٓ جٌشٍك ذحٌورغ‬
.‫ جٌٌغجء‬ٟ‫ٗ ف‬١ٌ‫جالٌطجحء ئ‬ٚ ‫ جٌـغجء‬ٟ‫ جهلل ذحٌلىغ ٌٗ ف‬ٌٝ‫ٕ ئ‬ٛ‫جٌغج‬
Adapun hakikat taqwa ialah dengan wara‟ (menjauhkan diri dari
dosa) dan istiqamah, hakikat mengikuti sunnah ialah dengan penuh
kehati-hatian dan berakhlaq yang baik, hakikat berpaling dari
makhluk ialah dengan sabar dan tawakal, hakikat ridha kepada Allah
ialah dengan qana‟ah dan berserah kepada Allah, adapun hakikat
kembali kepada Allah ialah dengan cara bersyukur kepada Allah
dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan
susah.116
Dapat diambil kesimpulan dari pada penjelasan di atas ini, bahwa
seorang untuk sampai kepada Allah harus melalui tahapan-tahapan dasar yang
telah diperinci menjadi lima bagian, dalam hal ini Hasyim Asy‟ari tidak jauh
berbeda dengan tokoh-tokoh sufi yang menyatakan bahwa untuk dekat dengan
Allah harus melalui perjalan panjang yang dikenal dengan maqamat (tingkatatingkatan), seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya.
Namun dasar tingkatan di atas ada pokok-pokok dasarnya yang
kemudian dibagi lagi menjadi lima bagian. Pertama, punya semangat yang
tinggi. Kedua, menjaga kehormatan. Ketiga, rajin dalam menjalankan ibadah.
keempat,
melaksanakan ketetapan hati (suatau pilihan yang telah mantap
didalam hati). Kelima, mengagungkan nikmat Allah.
Seperti yang dikatakan langsung Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya;
ُ١ٔ٘‫ض‬ٚ ،‫ّس‬٠‫ط جٌ٘ؼ‬ٛ‫ٔم‬ٚ ،‫دـٓ جٌشضِس‬ٚ ،‫دمْ جٌذغِس‬ٚ ،‫ّس‬ٌٙ‫ ج‬ٍٛٗ ،‫ي طٌه وٍٗ سّـس‬ٛ‫أه‬ٚ
ٗ‫ِٓ دـٕص سضِط‬ٚ ٗ‫ِٓ دفْ دغِس جهلل دفْ جهلل دغِط‬ٚ ٗ‫ فّٓ ٍٗص ّ٘طٗ جعضف٘ص عضرط‬.‫جٌٕ٘س‬
‫ِٓ كىغ٘ح‬ٚ ‫ِٓ ُٗٔ جٌّٕ٘س كىغ٘ح‬ٚ ٗ‫ط‬٠‫ّطٗ صجِص ٘ضج‬٠‫ِٓ ٔمظش ٗؼ‬ٚ ٗ‫جرص وغجِط‬ٚ
.‫ض‬٠‫جد جٌّؼ‬ٛ‫جؿط‬
115
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34
116
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34
57
Adapun pokok-pokok (dasar) itu semua ada lima: semangat yang
tinggi, menjaga kehormatan, pelayanan yang baik, menjalankan
kemauan (yang menjadi ketetapan hati), dan mengagungkan nikmat.
Karena barangsiapa mempunyai semangat yang tinggi maka akan
tinggi derajatnya, dan barangsiapa menjaga kemuliaan Allah maka
Allah akan menjaga kemuliaanya, dan barangsiapa melayani dengan
baik maka dipastikan akan mulia, barangsiapa melaksanakan
ketetapan hatinya makan akan abadi hidayah-Nya, dan barangsiapa
yang mengagungkan nikmat-Nya maka pasti mensyukuri dan yang
mensyukurinya berhak mendapat tambahan dari-Nya.117
Hasyim Asy‟ari memberikan keterangan lebih jelas maksud dari
pokok-pokok dasar tingkatan-tingkatan di atas. Yaitu barangsiapa yang
mempunyai Semangat yang tinggi (luhur) maka Allah akan meninggikan
derajatnya, dan barangsiapa yang menjaga kemuliaan Allah, maka Allah akan
menjaga kemulyaan orang tersebut, barangsiapa melayani dengan baik, maka
wajib (pasti) mulia, barangsiapa melaksanakan ketetapan hatinya, maka akan
abadi petunjuk (hidayah) dari Allah, barangsiapa yang mengagungkan nikmat
Allah, maka wajib untuk mensyukurinya, dan barang siapa mensyukuri nikmatNya, maka ia berhak untuk mendapatkan tambahan nikmat dari-Nya118, dan
barang siapa tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya, maka layak
adab Allah baginya, Allah SWT berfirman;
‫ض‬٠‫ ٌلض‬ٟ‫ٌثٓ وفغضُ ئّْ ٗظجذ‬ٚ ُ‫ضٔى‬٠‫ٌثٓ كىغضُ ألػ‬
Jika kamu bersyukur, pasti akan Aku limpahkan lebih banyak Kerunia
kepadamu:jikakamu tidak bersyukur, maka Ketahuilah sesungguhnya
azab-Ku amat kera. (QS. Ibrahib (14) : (8)).
Sangat jelas bagi kalangan sufi, bahwa semangat dalam melakukan
ibadah kepada Allah adalah sebagai pintu utama untuk memperoleh ridha-Nya,
117
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34
118
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34
58
dengan cara begitu, Allah akan mengangkat (meninggikan) derajatnya, begitu
pun bagi orang-orang yang selalu istiqamah menjalankan perintah-Nya maka
Allah akan memberikan petunjuk baginya (hidayah). Dengan cara begitu Allah
memastikan akan memulyakan kehidupannya.
Setelah mengatakan ada pokok-pokok dasar dari pada tingkatan di
atas, lanjut Hasyim Asy‟ari memberikan tanda-tanda khusus pada pokok-pokok
dasar tersebut (tingkatan-tingkatan) sebagai berikut. Pertama, menuntut ilmu
karena melaksanakan perintah Allah. Kedua, bersahabat dengan para Kiyai
(ulama) dan saudara-saudaranya, karena hati-hati. Ketiga, meninggalkan hal
yang ringan (al-Rukhshah) dan takwilan-takwilan, karena berhati-hati.
Keempat, mengatur waktu dengan cara memperbanyak wirid karena hudlur
(menghadap kepada Allah). Kelima, menuntut diri (memaksakan) dari segala
sesuatu yang menimbulkan nafsu demi menyalamatkan diri dari kehancuran.
Sebagaimana ia katakan di dalam kitabnya, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid,
‫ضغن‬ٚ ،‫جْ ٌٍطروغ‬ٛ‫جإلس‬ٚ ‫ز‬٠‫هذرس جٌّلح‬ٚ ،‫حَ ذحألِغ‬١‫ي جٌ٘الِحش سّـس ٍُد جٌٍُ٘ ٌٍم‬ٛ‫أه‬ٚ
‫ة‬١‫ وً ك‬ٟ‫حَ جٌٕفؾ ف‬ٙ‫جض‬ٚ ،‫ع‬ٌٛ‫عجص ٌٍذ‬ٚ‫لحش ذحأل‬ٚ‫ًرَ جأل‬ٚ ،ْ‫الش ٌٍطذف‬٠ٚ‫جٌطأ‬ٚ ‫جٌغسن‬
.‫جٌـالِس ِٓ جٌِ٘د‬ٚ ٌٜٛٙ‫ج ِٓ ج‬ٚ‫ٌٍغسغ‬
Adapun tanda-tanda pokoknya ada lima, menuntut ilmu karena
melaksanakan perintah Allah, berteman dengan para masyaikh dan
saudara-saudaranya karena tabashshur (melihat dengan teliti atau
pertimbangan yang mendalam), meninggalkan hal-hal yang ringan119
dan takwilan-takwilan karena menjaga diri, mengatur waktu dengan
wirid karena hudur (hadir di hadapan-Nya), menuntut diri dalam
segala sesuatu untuk menjauh dari hawa nafsu dan terhindar dari
kehancuran.120
‫ﺁفس‬ٚ .‫ال لحٗضز‬ٚ ً‫ أه‬ٌٝ‫غجٖ ئ‬٠ ‫ٕح ِّح ال‬٠‫ص‬ٚ ‫ٗمال‬ٚ ‫فٍِد جٌٍُ٘ ﺁفطٗ هذرس جألدضجظ ؿٕح‬
َ‫ح‬ٙ‫ﺁفس جض‬ٚ ،‫ جٌٕفؾ‬ٍٝٗ ‫الش جٌلفمس‬٠ٚ‫جٌطأ‬ٚ ‫ﺁفس ضغن جٌغسن‬ٚ ،‫ي‬ٌٛ‫جٌف‬ٚ ‫جٌوذرس جالغطغجع‬
.‫ح‬ِٕٙ ‫إسظ‬٠ ‫ئْ ض٘ضي وً ٗضي ال‬ٚ :ٌٝ‫لض لحي جهلل ض٘ح‬ٚ .‫ح‬ٙ‫جؿطمحِط‬ٚ ‫ح‬ٌٙ‫ج‬ٛ‫جٌٕفؾ جألٔؾ ذذـٓ أد‬
119
Rukhsah, ialah pendapat para Ulama dalam masalah Khilafiyah yang paling ringan
yang tidak bersandar pada dalil yang shahih. Dan banyak lagi definisi lainnya.
120
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 34-35
59
Adapun bahaya menuntut ilmu ialah bersahabat dengan yang masih
dini umur, akal dan agama yang tidak bisa kembali pada asal dan
kaidah. Bahaya pertemanan dengan masyaikh ialah terbujuk dan
berlebih-lebihan, bahaya meninggalkan rukhshah dan takwilan ialah
kikir terhadap diri sendiri dan bahaya menuntut diri ialah bersenangsenang dengan keadaan jiwa yang baik dan lurus. Alah swt berfirman,
“Dan jika ia hendak menebus dengan segala macam tebusan niscaya
tidak akan diterima darinya”.121
Pertama, Adapun bahaya menuntut ilmu ialah bersahabat dengan
yang masih dini (baru belajar), baik secara umur, akal dan agama yang tidak
bisa kembali pada asal dan kaidah (asal mula dari suatu perkara). Kedua,
bahaya perteman atau berhubungan dengan masyaikh ialah terbujuk dan
berlebih-lebihan. Ketiga, bahaya meninggalkan rukhshah (ringan) dan takwilan
ialah kikir terhadap diri sendiri. keempat, bahaya menuntut diri ialah menyianyiakan keadaan jiwa yang baik dan lurus.122
Sebagaimana firman Allah SWT,
‫ح‬ِٕٙ ‫إسظ‬٠ ‫جْ ض٘ضي وً ٗضي ال‬ٚ
Dan jika ia hendak menebus dengan segala macam tebusan
niscaya tidak akan diterima darinya. (QS. A-l an‟ām (6) : (71))
Lanjut pada tahapan akhir (puncak tahapan), dari pada tingkatantingkatan di atas. yaitu ada sepuluh; Pertama, tobat dari hal-hal yang
diharamkan dan dimakruhkan. Kedua, mencari ilmu sesuai kebutuhan. Ketiga,
tidak meninggalkan thaharah (selalu mensucikan diri dengan cara tidak lapas
dari wudlu‟). Keempat, melaksanakan ibadah wajib dan sunnah di awal waktu
secara berjamaah. Kelima, menjaga delapan rakaat shalat dluha dan enam
rakaat antara maghrib dan isya‟. Keenam, menjaga shalat malam. ketujuh,
121
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35
122
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35
60
melaksanakan shalat witir. Kedelapan, melakukan puasa senin dan kamis serta
puasa tiga hari bait dan pada hari yang diutamakan (rajab dan asyura‟).
Kesembilan, membaca al-Qur‟an dengan hudlūr (hadir dihadapannya) dan
renungan (memikirkan maknanya). Kesepuluh, memperbanyak membaca
istingfar serta membaca shalawat kepada nabi Muhammad SWA, dan menjaga
dzikir sunnah di pagi dan sore hari.123 Sebagaimana ia katakan,
،‫٘حش‬ٚ‫جٌّىغ‬ٚ ‫ٖ جٌّذغِحش‬١ّ‫ذس ِٓ ج‬ٛ‫ ذحٌط‬ٛ٘ٚ ٌٝ‫ جهلل ض٘ح‬ٌٝ‫ي ئ‬ٛ‫ه‬ٌٛ‫حْ ج‬١‫ ذ‬ٟ‫جٌشحضّس ف‬
‫ي‬ٚ‫ أ‬ٟ‫جضد ف‬ٚ‫جٌغ‬ٚ ‫أصجء جٌفغجتي‬ٚ ‫حعز‬ٌِٙ‫ ج‬ٍٝٗ ‫جٌّالػِس‬ٚ ،ٗ١ٌ‫ٍُد جٌٍُ٘ ذمضع جٌذحجس ئ‬ٚ
‫هالز‬ٚ ،‫جٌ٘لحء‬ٚ ‫ٓ جٌّغغخ‬١‫ؿص ذ‬ٚ ‫ جّحٗس‬ٝ‫ِالػِس ثّحْ عو٘حش جٌٌذ‬ٚ ،‫ح جّحٗس‬ٙ‫لط‬ٚ
ْ‫ز جٌمغﺁ‬ٚ‫ضال‬ٚ ،‫حَ جٌفحًٍس‬٠‫جأل‬ٚ ‫ي‬١‫حَ جٌر‬٠‫ثالثس أ‬ٚ ،‫ؾ‬١ّ‫جٌش‬ٚ ٓ١ٕ‫َ جالث‬ٛ‫ه‬ٚ ،‫ضغ‬ٌٛ‫ج‬ٚ ،ً١ٌٍ‫ج‬
،ٍُ‫ؿ‬ٚ ٗ١ٍٗ ‫ جهلل‬ٍٝ‫ ه‬ٟ‫ جٌٕر‬ٍٝٗ ‫جٌوالز‬ٚ ‫جإلوثحع ِٓ جالؿطغفحع‬ٚ ،‫جٌطضذغ‬ٚ ‫ع‬ٌٛ‫ذحٌذ‬
،‫ِـحء‬ٚ ‫ِالػِس أطوحع جٌـٕس هرحدح‬ٚ
Penutup, penjelasan bagaimana jalan menuju kepada Allah SWT. hal
itu bisa dilakukan dengan bertaubat dari hal-hal yang diharamkan
dan dimakruhkan, mencari ilmu sesuai kebutuhan, menjaga untuk
tidak meninggalkan thaharah, melaksanakan ibadah wajib dan
ibadah sunnah di awal waktu secara berjamaah, menjaga delapan
rakaat shalat dhuha dan enam rakaat antara maghrib dan isya‟,
menjaga shalat malam, shalat witir, menjaga puasa senin dan kamis,
serta puasa tiga hari baidl124 dan hari yang diutamakan (Rajab dan
Asyora‟), dan memperbanyak membaca al-Qur‟an dengan penuh
hudlūr (hadir di depan-Nya) dan renungan (memikirkan ma‟nanya),
dan memperbanyak istighfar, serta membaca shalawat kepada nabi,
dan menjaga dzikir sunnah setiap pagi dan sore.125
Penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk sampai
kepada Allah (mencapai Ridha Allah). Seorang sufi harus melalui beberapa
tahapan-tahapan di atas. Tahapan-tahapan yang disebutkan bisa diambil
123
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35-36
124
Puasa mutih, diambil dari bahasa arab al-Baidl (‫ي‬١‫ )جٌر‬yang berarti mutih. Hasyim
Asy‟ari menjelaskan tentang puasa baidl yang dikutip dari perkataan Nabi Muhammad;
َ‫ح‬٠‫ ج‬ٝ٘ٚ ‫حَ جٌض٘غ؛‬١‫غ ه‬ٙ‫حَ ِٓ وً ك‬٠‫حَ ثالثس أ‬١‫ ه‬:‫ؿٍُ لحي‬ٚ ٗ١ٍٗ ‫ جهلل‬ٍٝ‫ ه‬ٝ‫ جهلل ٕٗٗ ٗٓ جٌٕر‬ًٝ‫غ ذٓ ٗرضجهلل ع‬٠‫ٗٓ جغ‬
.‫جٖ جٌٕـحب‬ٚ‫سّؾ ٗلغز؛ ع‬ٚ ‫أعذٖ ٗلغز‬ٚ ‫ذس ثالظ ٗلغز‬١‫ي ًر‬١‫جٌر‬
bahwa puasa baidl merupakan puasa yang dilakukan setiap bulan tiga kali yang
faidahnya seperti melakukan puasa penuh selama 1 tahun. Dilakukan pada tiap tanggal 13,14,dan
15 dengan cara tidak makan, makanya disebut dengan hari mutih ( ‫ي‬١‫حَ جٌر‬٠‫)أ‬. Syaikh Muhammad
Hasyim Asy‟ari, Awdlaḥ al-bayān, Irsyd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari,
(Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007 ), h. 58
125
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 35-36
61
kesimpulan, bahwa itu merupakan cara yang ditawarkan oleh Hasyim Asy‟ari
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Serta tahapan-tahapan tersebut, dekenal
dengan istilah maqāmāt (tingkatan-tingkatan) di kalangan para sufi lain. Dalam
hal ini,
Hasyim Asy‟ari tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh sufi lain,
memposisikan tobat pada tingkatan pertama, namun lebih memperinci dan
memberikan batasan-batasan khusus di setiap tingkatan-tingkatanya. Dimulai
dari tahapan dasar, popok-pokok tahapan dasar, tanda-tanda pokok tahapan
dasar, dan sampai pada tahapan puncak. Sepeti yang terdapat pada tabel
berikut;
Tahapan-tahapan Dasar
1. Takwa
2. Sunnah Rasul
3. Berpaling dari Makhluq
4. Rela kepada Allah
5.Kembali kepada Allah
62
Pokok-Pokok Tahapan Dasar
1. Semangat yang tinggi
2. Menjaga kehormatan
3. Rajin beribadah
4.Melaksankan ketetepan hati
5. Mengagungkat nikmat
Tanda-Tanda Pokok Tahapan Dasar
1. Menuntut ilmu karena melaksanakan perintah Allah
2. Bersahabat dengan ulama beserta seluruh keluarganya karena hatihati
3. Meninggalkan hal ringan dan takwilan-takwilan karena berhati-hati
4. Mengatur waktu dengan cara memperbanya wirid karena
menghadap kepada Allah
5. Menuntut diri dari segala sesuatu yang menimbulkan nafsu karena
untuk menyalamatkan diri dari kehancuran
Puncak Tahapan-Tahapan Untuk Mencapai Ridho Allah
1. Tobat dari hal-hal yang haram dan dimakruhkan
2. Mencari ilmu sesuai kebutuhan
3. Selalu mensucikan diri dengan cara tidak lapas whudu‟
4. Melaksanakan ibadah wajib dan sunnah diawal waktu secara
63
berjamaah
5. Menjaga delapan rakaat shalat dhuha dan enam rakaat antara
mangrib dan isya‟
6. Melaksanakan shalat malam
7. Melaksanakan shalat witir
8. Melaksanakan puasa senin kamis dan puasa tiga hari pada hari yang
diutamakan (pada bulan Rajab dan bulan Sya‟ban)
9. Membaca al-Qur‟an dengan merenungkan maknanaya
10. Memperbanyak baca istingfar serta membaca sholawat kepada
Nabi Muhammad dan berzikir.
2. Amalan-amalan
Di dalam pembahasan kali ini penulis akan menguraikan tentang
amalan-amalan praktis yang dianjurkan oleh Hasyim Asy‟ari. Seperti aliran
tarekat, baik tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan orang-orang yang ingin menempuh kehidupan tasawuf, atau Tarekat
yang diartikan sebagai sebuah perkumpulan (organisasi). Amalan-amalan
praktis ini tidak lain adalah aplikasi dari apa yang terkandung di dalam alQur‟an, serta peneladanan terhadap Nabi Muhammad, pun juga para sahabatsahabatnya.126 Hal ini juga merupakan anjuran langsung dari Allah SWT.
Sebagaimana firmanya.
.‫لغن ذ٘رحصزعذٗ أدضج‬٠‫ال‬ٚ ‫ًّ٘ ّٗال هحٌذح‬١ٍ‫ج ٌمحء عذٗ ف‬ٛ‫غج‬٠ ْ‫فّٓ وح‬
“maka barangsiapa yang ingin menghadap Allah, maka hendaklah
mengerjakan amalan baik dan janganlah ia mempersekutukan
siapapun dalam beribadah kepada Tuhan.” (QS. Al-Kahfi: 110).
126
Syaikh Abd al-Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta:
Qisthi Press, 2014),h. 22
64
Dan juga hadits yang diriwayatkan dari abu Huraira bahwa Rasulullah
bersabda, “Allah telah berfirman,
.ٖ‫ كفطح‬ٟ‫ضذغوص ذ‬ٚ ٟٔ‫ط وغ‬ٛ٘ ‫ ئطج‬ٞ‫أٔح ِٖ ٗرض‬
“Aku bersama hamba-Ku selama dia berzikir kepada-Ku dan kedua
bibirya bergerak menyebut-Ku.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
Ahmad dan Hakim).
Kalangan sufi mempunyai guru tersendiri, tak heran jika amalanamalan di kalangan sufi merupakan sebuah pokok keharusan, karena hal
tersebut merupakan sebuah cara atau metode untuk mendekatkan diri kapada
Tuhan-Nya, seperti tokoh-tokoh sufi terdahulu yang menekankan pada
beberapa bacaan (amalan khusus) baik shalawat, bacaan Qur‟an dan zikir-zikir
tertentu. Seperti yang dilakukan oleh Syekh Abd Al-Qodir Al-Jailani dalam
anjurannya
untuk
memperbanyak
amalan-amalan127.
Hasyim
Asy‟ari
mengatakan, seperti yang telah dikatakan di pasal sebelumnya, bahwa sesorang
yang ingin sampai kepada Allah, harus memperbanyak membaca amalan.
Istighfar, membaca sholawat kepada nabi Muhammad SWA, dan menjaga
dzikir sunnah di pagi dan sore hari. Sebagai mana perkataannya,
‫ جهلل‬ٍٝ‫ ه‬ٟ‫ جٌٕر‬ٍٝٗ ‫جٌوالز‬ٚ ‫جإلوثحع ِٓ جالؿطغفحع‬ٚ ،‫جٌطضذغ‬ٚ ‫ع‬ٌٛ‫ز جٌمغﺁْ ذحٌذ‬ٚ‫ضال‬ٚ
،‫ِـحء‬ٚ ‫ِالػِس أطوحع جٌـٕس هرحدح‬ٚ ،ٍُ‫ؿ‬ٚ ٗ١ٍٗ
Dan memperbanyak membaca al-Qur‟an dengan penuh hudlur
(hadir di depan-Nya) serta renungan (memikirkan maknanya),
memperbanyak istighfar, serta membaca shalawat kepada nabi, dan
menjaga dzikir sunnah setiap pagi dan sore.128
Berikut beberapa amalan-amalan yang dianjurkan untuk dibaca.
127
Amalan yang dimaksud disini meliputi bacan-bacan zikir yang diajaurkan oleh sang
guru, shalawat dan sebagian dari bacan-bacan al-Qur‟an.
128
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 36
65
/‫أهرخ‬ٚ ‫غ أهرذٕح‬١‫ جٌّو‬/‫ع‬ٛ‫ه جٌٕل‬١ٌ‫ج‬ٚ ‫ش‬ّٛٔ ‫ذه‬ٚ ٝ١‫ذه ٔذ‬ٚ ٟ‫ذه ّٔـ‬ٚ ‫ُ ذه ٔورخ‬ٌٍٙ‫ج‬
ٓ‫ِح ؿى‬ٚ ‫حع‬ٌٕٙ‫ج‬ٚ ً١ٌٍ‫ج‬ٚ ‫جٌشٍك‬ٚ ‫جٌّ٘ٔس هلل‬ٚ ‫حء‬٠‫جٌىرغ‬ٚ ‫جٌذّضهلل‬ٚ ‫ جٌٍّه هلل‬ٝ‫أِـ‬ٚ ‫ٕح‬١‫أِـ‬
‫ه ٌه فٍه‬٠‫دضن الكغ‬ٚ ‫ ذأجض ِٓ سٍمه فّٕه‬ٚ‫ ِٓ ّٔ٘س ج‬ٟ‫ ذ‬ٝ‫ أِـ‬/‫ُ ِح أهرخ‬ٌٍٙ‫ّح هلل ج‬ٙ١‫ف‬
3x. ‫ٌه جٌلىغ‬ٚ ‫جٌذّض‬
Do‟a di atas merupakan bacaan yang dianjurkan untuk dibaca sebagai
dzikir di waktu pagi dan sore hari. Lafad al-Nusyur (‫ع‬ٛ‫ )جٌٕل‬Jika dibaca pagi
hari, dan jika dibaca sore hari diganti dengan lafadz al-Mashir (‫غ‬١‫)جٌّو‬. Lafad
ashbahna wa ashbaha (‫أهرخ‬ٚ ‫ )أهرذٕح‬jika dibaca di waktu pagi, dan jika dibaca
pada sore hari, diganti menjadi amsaina wa amsi (ٝ‫أِـ‬ٚ ‫ٕح‬١‫)جِـ‬.129
‫ٖ سٍمه أٔه أٔص‬١ّ‫ج‬ٚ ‫ِال تىطه‬ٚ ‫ض دٍّس ٗغكه‬ٙ‫أك‬ٚ ‫ضن‬ٙ‫ص أك‬١‫ أِـ‬/‫ أهرذص‬ٟٔ‫ُ ئ‬ٌٍٙ‫ج‬
‫جهلل‬
4x .‫ٌه‬ٛ‫عؿ‬ٚ ‫أْ ِذّضج ٗرضن‬ٚ ‫ه ٌه‬٠‫دضن ال كغ‬ٚ ‫الجٌٗ جال أٔص‬
3x .‫ال‬ٛ‫عؿ‬ٚ ‫ض ٔح ِذّضج ٗرضن‬١‫ذـ‬ٚ ‫ٕح‬٠‫ذحإلؿالَ ص‬ٚ ‫ص ذحهلل عذح‬١ً‫ع‬
Dan beberapa bacaan yang diambil dari al-Qur‟an, sebagai berikut,
            
             
            .   
               
                

129
ٖٔٓ
.         
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risālah Jāmi„ah al-Maqāshid, Irsyd al-Sāri Fi
Jam‟i Musannafāt al-Syikh Hasyim Ays‟ari, h. 36
130
QS. Al-Baqorah (02) (275-276).
66
              
3xٖٔٔ.
         
      
   
3x.ٖٕٔ       
Membaca surah Yasin. 3x
3x. ُ١‫ِحْ جٌغج‬١‫ُ ِٓ جٌل‬١ٌٍ٘‫ٖ ج‬١ّ‫ط ذحهلل جٌـ‬ٛٗ‫أ‬
            
             
             
         
            
3x.ٖٖٔ.         
Membaca surah al-Ikhlas, dan surah al-Ma‟dzutain. 3x
Beberapa bacaan lain yang juga dianjurkan oleh Hasyim Asy‟ari;
3x .ُ١ٌٍ٘‫ٖ ج‬١ّ‫ جٌـ‬ٛ٘ٚ ‫ جٌـّحء‬ٟ‫ال ل‬ٚ ‫ جالعى‬ٟ‫ة ف‬١‫ٌغ ِٖ جؿّٗ ك‬٠‫ ال‬ٞ‫ذـُ جهلل جٌظ‬
ْ‫ج‬ٚ ٓ١ُ‫ح‬١‫ِٓ ّ٘ؼجش جٌل‬ٚ ٖ‫كغ ٗرحص‬ٚ ٗ‫ٗمحذ‬ٚ ٗ‫ط ذىٍّحش جهلل جٌطحِحش ِٓ غٌر‬ٛٗ‫أ‬
3x .ْٚ‫ذٌغ‬٠
3x .ٗ١ٌ‫خ ج‬ٛ‫أض‬ٚ َٛ١‫ جٌم‬ٟ‫ جٌذ‬ٛ٘ ‫ الئٌٗ جال‬ٞ‫ُ جٌٍظ‬١ٌٔ٘‫جؿطغفغ جهلل ج‬
3x .ٖ‫ذذّض‬ٚ ‫ؿرذحْ جهلل‬
131
QS. Al-Taubah (09) (129).
QS. Al-Rum (30) (17-19).
133
QS. Al-Hasyar (59) (21-24).
132
67
3x .ٗ‫ِضجص وٍّح ض‬ٚ ٗ‫ػٔس ٗغك‬ٚ ٗ‫عًح ٔفـ‬ٚ ٗ‫ذذّضٖ ٗضص سٍم‬ٚ ‫ؿرذحْ جهلل‬
100x .‫جهلل أورغ‬ٚ ‫ال جٌٗ جهلل‬ٚ ‫جٌذض هلل‬ٚ ‫ؿرذحْ جهلل‬
100x .ُ١ٌٔ٘‫ ج‬ٌٍٟ٘‫ز جال ذحهلل ج‬ٛ‫ال ل‬ٚ ‫ي‬ٛ‫ال د‬
100x .ٓ١‫الجٌٗ جالجهلل جٌٍّه جٌذك جٌّر‬
100x atau 3x.‫غ‬٠‫ة لض‬١‫ وً ك‬ٍٝٗ ٛ٘ٚ ‫ٌٗ جٌذّض‬ٚ ‫ه ٌٗ ٌٗ جٌٍّه‬٠‫دضٖ الكغ‬ٚ ‫الجٌٗ جالجهلل‬
ٗ‫هذر‬ٚ ٌٗ‫ ج‬ٍٝٗٚ ٟ‫ٌه جٌٕر‬ٛ‫عؿ‬ٚ ‫ره‬١‫در‬ٚ ‫ه‬١‫ٔر‬ٚ ‫ضٔح ِذّضٗرضن‬١‫ ؿ‬ٍٝٗ ً‫ُ ه‬ٌٍٙ‫ج‬
100x atau 3x.ٍُ‫ؿ‬ٚ
Amalan-amalan di atas
bisa
disimpulkan sebagai sebuah tarekat
(jalan) Hasyim Asy‟ari untuk sampai kepada Allah. Amalan-amalan di atas
mirip
dangan
amalan-amalan
tarekat
Syādziliyah.
Dengan
hal
itu,
kemungkinan besar Hasyim Asy‟ari merupakan seorang pengamal dari ajaran
tarekat tersebut, meskipun pada dasarnya beliau seorang sufi yang tidak
memiliki ikatan kepada salah satu aliran tarekat tertentu. Kendati demikian
beliau tidak melarang, dan tidak menganjurkan para murid-muridnya untuk
mengikuti aliran-aliran tarekat yang ada.
Kemungkinan besar bahwa ia sebagai salah satu pengamal dari
Tarekat Syādziliyah diperkuaat dengan adanya kemiripan terhadap amalaamalan yang ia anjurkan, hal tersebut juga diperkuat dengan adanya penemuan,
bahwa Hasyim Asy‟ari pernah menerima ajaran terikat dari gurunya sewaktu ia
belajar di Mekkah, yaitu dari Syeikh Mahfud Tarmes. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkina bahwa pengamalan Syādziliyah Hasyim Asy‟ari
mendapat dari Syeikh mahfud, ditambah lagi beliau merupakan orang yang
dikader oleh Syeikh Mahfud. Sedangkan Syeikh Mahfud mendapat ajaran
langsung al-Sayyid Abi Bakar Syathā al-Makkī yang sanad-nya bersambung
sampai pada Imam Abi al-Hasan al-Syādzilī.
68
Berikut adalah tabel sanad keilmuan Hasyim Asy‟ari:
Nawawi
1813-1897
Syeikh Ahmad
Mahfud Termas
Khatib Minangkabau 1868-1920
Khalil Bangkalan Ya‟qub
1820-1923
Hasyim Asy‟ari
(Hadratus Syeikh)
1971-1947
Ro-is „Am NU 1, 1926-1947
Bisri Samsuri
1886-1980
Ro-is „Am NU III
1972-1980
Wahab Hasbullah
1888-1971
Ro-is „Am NU II
1947-1971
Pemimpin Ulama Pesantren di Jawa Dewasa ini.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan panjang lebar terkait pandangan
tashawuf Hasyim Asy‟ari dalam kitab Risālah Jāmi„ah al-Maqāṣid, kemudian
penulis ingin memberikan kesimpulan dari pada penjelasan sebelumnya yang
dapat penulis pahami. Di antara pandangan tashawuf Hasyim Asy‟ari di dalam
kitab tersebut berbicara tentang bagaimana cara menuju kepada Allah. Beliau
juga penekanan terhadap beberapa amalan-amalan khusus yang dianjurkan
untuk dibaca. Diantaranya, seperti bacaan zikir, doa, dan sebagian bacaan yang
diambil dari al-Qur‟an untuk dibaca pada waktu pagi dan sore hari, hal tersebut
penulis mengartikan sebagai amalan Tarekat Hasyim Asy‟ari.
Pandangan menarik yang ditawarkan Hasyim Asy‟ari dalam kitab
tersebut, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan serta
penekanan beliau untuk selalu mencontoh nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya, niat yang ikhlas tanpa pamrih dalam setiap melakukan ibadah
kepada Allah, bersahabat dengan para ulama, mengatur waktu dengan cara
memperbanyak zikir dan meninggalkan diri sesuatau yang menyebabkan
datangnya nafsu untuk menyelamatkan diri dari kehancuran, karena dengan
begitu manusia akan sampai kepada Tuhannya.
Namun ada beberapa penekanan yang dikemukakan Hasyim Asy‟ari;
Pertama, bertaubat dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan.
Kedua, mencari ilmu sesuai kebutuhan. Ketiga, tidak meninggalkan
thaharah (mensucikan diri dengan cara tidak lapas dari wudlu‟). Keempat,
69
70
melaksanakan ibadah wajib dan sunnah di awal waktu secara berjemaah.
Kelima, menjaga delapan rakaat sholat dluha dan enam rakaat antara mangrib
dan isya‟. Keenam, menjaga shalat malam. ketujuh, melaksanakan shalat witir.
Kedelapan, melakukan puasa Senin dan Kamis serta puasa tiga hari baidl dan
pada hari yang diutamakan (rajab dan ashora‟). Kesembilan, membaca alQur‟an dengan hudlur (hadir dihadapannya) dan renungan (memikirkan
maknanya). Kesepuluh, memperbanyak baca istingfar serta membaca shalawat
kepada nabi Muhammad SWA, dan menjaga zikir sunnah di pagi dan sore hari.
Kesimpulan diatas memberikan pandangan, bahwa Hasyim Asy‟ari
merupakan seorang sufi yang mengamalkan tarekat Syādziliyah meskipun pada
dasarnya ia tidak mau terikat pada sebuah tarekat manapun. Namun gambaran
tingkatan-tingkatan untuk sampai kepada Allah, Hasyim Asy‟ari memiliki
kesamaan dengan tokoh-tokoh sufi yang lain, yakni memposisikan tobat
sebagai langkah pertama, pun juga ada beberapa perbedaan di dalamnya.
Adanya beberapa perincian tahapan-tahapan untuk sampai kepada
Allah yang dibagi menjadi empat tahapan Pertama, tahapan-tahapan dasar.
Kedua, pokok-pokok tahapan dasar. Ketiga, tanda-tanda pokok tahapan dasar.
Keempat, puncak tahapan-tahapan untuk mencapai ridha Allah.
B. Saran-saran
Setelah mengemukakan kesimpulan, penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis menyadari bahwa
dalam memahami salah satu karya dari Hasyim Asy‟ari sanget membutuhkan
karangka analisa yang lengkap, tentu didalam pembahsan ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis manyadari bahwa skripsi ini masih jauh
71
dari kesempurnaan baik dari teknis penulisan, repfrensi, serta materi yang
disampainkan. Karena Hasyim Asy‟ari merupakan ulama besar yang kaya akan
ilmu dan luas akan pemikiran.
Maka dari itu perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pemikiran
tokoh ini. Besar harapan jika nantinya ada yang meneliti tentang tema ini,
semoga tidak hanya fokus disatu kitab tertentu yang beliau tulis, karena masih
banyak beberapa konsep lain tentang taswauf yang beliau tulis didalam kitab
lain dalam hasil karyanya.
Besar harapan keritikan dan saran bagi para pembaca, jika
menemukan kekurangan dan kesalahan dari apa yang penulis teliti, untuk
mencapai penelitian yang lebih baik ke depannya. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis pribadi. Amin.
72
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Amrullah. Perspektif Islam Dalam Pembangunan Bangsa. Yogyakarta:
PLP2M, 1987.
Asad,
Syihab. Hadlratus syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari Perintis
Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1994.
Asy‟ari, Syaikh Muhammad Hasyim, Irsyād al-Mu‟minīn, Irshd al-Sāri Fi Jam‟i
Musannafāt al-Shaykh Hasyim Ays‟ari. Jombang: Maktabah Turast alIslami, 2007.
____________. Al-Risālah Jāmi„ah al-Maqāṣid, Irshd al-Sāri Fi
Jam‟i
Musannafāt al-Shaykh Hasyim Ays‟ari. Jombang: Maktabah Turast alIslami, 2007.
___________. Irshd al-Sāri Fi Jam‟i Musannafat al-Shaykh Hasyim Ays‟ari.
Jombang: Maktabah Turast al-Islami, 2007.
Aboebakar. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim. Bandung: Mizan, 2011.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2014.
Agama Islam Negeri, Institut. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: tampa nama
penerbit dan tahun cetak.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
„Arabi, Ibnu. Wasiat-Wasiat Ibnu „Arabi, terj. Irwan Kurniawan. Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997.
Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Bahri, Media Zainun. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlangga, 2010.
Dhofir, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 2011.
Ghalab, Muhammad. Al-Tasawuf al-Muqaran. Al-qahirah. Maktabah Nahdhah
Mesir, 1957.
Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI- Pres/Tinta Mas, 2006.
Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit, 2015.
Hamid, Shalahuddin dan Ahza, Iskandar. 100 Tokoh Islam Paling Perpengaruh di
Indonesia. Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara, 2003.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Isam dan Akhlak, terj. Kamran As‟at Irsyady,
Jakarta: Amzah, 2011.
Halim, Abdul. Dzunnun al-Misri, tampa penerbit dan tahun cetak.
73
Hamid, Abdul. Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Paramadinah, 2001.
Ismail al-Bukhāri, Muhammad bin. Shahih Bukhāri, Bairut: Dar Ibnu Katsir,
1987.
Ishom, Hadzir. K.H. Hasyim Asy‟ari Figur Ulama dan Pejuang Sejati. Surabaya:
Pustaka Wrisan Islam, 2000.
Isa, Syaikh Abdul al-Qadir. Hakikat Tasawuf, terj. Harahap Khairul Amru.
Jakarta: Qisthi Press, 2014.
Jaya, Kahmi. Indonesia di Simpang Jalan. Bandung: Mizan Pustaka, 1998.
Jalal, Muhammad Syaraf. Tasawuf Islam Mazhab Baghdad. Tangerang: Gaya
Media Pratama, 2014.
Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari.
Jogjakarta: LKIS, 2000.
Khitimah, Husnul. “Tasawuf Sebagai Metode Terapi Krisis Manusia Modern
Menurut Pemikiran Hamka.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Muhammad Yāsīn bin „Isā al-Fādānī al-Makkī, Abi al-Faidl. Kifāyatu al-Mustafīd
limā „Alā min al-Asānīdi. Bairut: Dār al-Basyāir al-Islāmiyyah, 2008.
Majid, Nurcholish. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia. Jakarta: Paramadinah, 1997.
Mutqin, Hilman. “Pandangan K.H. Muhammah Hasyim Asy‟ari Tentang Taqlid
Dalam Fiqh.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Mursyidi, Achmad. Ulama, Pejuang, Dan Politisi dari Betawi. Jakarta: Pustaka
Darul Hikmah, 2003.
Misrawi, Zuhairi. Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran
Rahmat. Ciputat: LSIP Jakarta, 2005.
Muhibbin, Zuhri. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‟ari Tentang Ahl al-Sunnah wa
al-Jama‟ah. Surabaya: Khalista, 2010.
Mustafa, Akhlak Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia, 1997.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta, Raja Wali Pres,
2015.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
74
Ngabdurrahman. Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah. Jakarta: LTM PBNU dan
Pesantren Ciganjur, 2011.
Ris‟an, Rusli. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: Raja Wali, 2013.
Risad, Mahbub, Perilaku Tasawuf Gus Dur. Uin Jakarta: Skripsi, Aqidah dan
Filsafat Fakultas Ushuluddin, 2011.
Syaifuddin Aman dan Isa Abdul Qadir. Tasawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah
Jiwa dan Raga. Banten: Ruhama, Cet. Ke IV, 2014.
Syaechudi, Syaikh Al-Waasi‟ Achma. Bulan Terang di Bukhara. Jakarta:
Khazanah, 2007.
Toriquddin. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN-Malang, 2008.
Permana, Aramdhan Kodrat, Nuansa Tasawwuf. Bekasi: An Nahl, 2016.
Ya‟Qub, Hamzah. Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin. Jakarta: Atisa,
1992.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu,2007.
Zain, Adib. Zahid dan Hakim, Luqmanul Dkk. Mengenal Thariqah. Semarang:
Anika Ilmu Semarang, 2005.
75
Download