HUBUNGAN ANTARA KEBUTUHAN BERKUASA DAN TINDAKAN BULLYING Nunung Harvina WS, Sumardjono Pm. dan Umbu Tagela Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP – Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRAK Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kebutuhan berkuasa dan tindakan bullying (perundungan) pada siswa kelas VIII SMP N 7 Salatiga. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII SMP N 7 yang berjumlah 147 siswa. Digunakan alat ukur Delaware Bullying Questionnaire (2006) berdasarkan teori Olweus (1993) dan skala kebutuhan berkuasa yang dikembangkan berdasarkan teori McClelland (dalam Ivancevich dkk., 2006). Teknik analisis data menggunakan Spearman's rho dengan bantuan program SPSS for Window Release 17.0. Dari hasil analisis deskriptif diketahui 76 siswa (51,7%) berada pada kategori tindakan bullying agak rendah danedang hanya 5 siswa (3,4%) yang berada pada kategori tindakan bullying rendah. Selain itu, 72 siswa (49%) berada pada kategori kebutuhan berkuasa agak tinggi dan hanya 7 siswa (4,8%) berada pada kebutuhan berkuasa rendah. Analisis korelasi antara kebutuhan berkuasa dan tindakan bullying menunjukkan ada hubungan yang positif dan signifikan, yang ditunjukkan dengan nilai rxy = 0,227** dan nilai p = 0,003 < 0,050. Kata Kunci: Kebutuhan Berkuasa, Tindakan Bullying (Perundungan), siswa kelas VIII SMP. LATAR BELAKANG Setiap individu pasti mempunyai motivasi dalam hidupnya. Adanya dorongan yang dimiliki seseorang untuk menguasai orang lain yang merupakan motivasi dasar tiap orang. Berbagai tindakan dilakukan seseorang agar mendapatkan kekuasaan atas individu lainnya. Dorongan berkuasa merupakan salah satu dari tiga kebutuhan dasar yang diungkapkan McClelland (dalam Ivancevich dkk., 2006) yaitu kebutuhan untuk berkuasa (need for Power atau nPow). Ada ciri dan perilaku yang dilakukan seseorang yang mempunyai nPow yang tinggi. Seseorang dengan tingkat kebutuhan berkuasa tinggi memiliki sedikit kontrol diri dan menjalankan kekuasaannya secara impulsif. Hal ini juga berhubungan dengan kecenderungan untuk menjadi kasar, melakukan kekerasan dan menyukai simbol kekuasaan misalnya ukuran 1 meja besar, mobil mewah (Swenson, 2000). Orang tersebut cenderung berbuat kekerasan, memberi kritikan dan saran yang bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya di suatu lingkungan. Cara mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan tindakan bullying. Bullying (perundungan) telah dipandang sebagai fenomena sosial-budaya. Hal ini dipandang sebagai konsekuensi dari kesenjangan kekuasaan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin, ras, kelas sosial, dan gender (Rigby, 2003). Tindakan bullying berhubungan dengan gender. Anak laki-laki lebih sering menggertak anak perempuan daripada sebaliknya (Olweus,1993). Hal itu disebabkan karena ada pandangan bahwa anak laki-laki lebih kuat daripada anak perempuan sehingga cenderung menjadi bully. Laki-laki terlihat lebih mempunyai kekuatan daripada perempuan sebagai konsekuensi dari kepercayaan sosial bahwa laki-laki yang lebih mendominasi dalam segala hal. Olweus (1993) melakukan studi awal mengenai perundungan dan berpendapat perundungan adalah perilaku agresif yang disengaja dan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan. Tindakan ini biasanya dilakukan siswa yang dirasakan mempunyai kedudukan kuat baik secara fisik, psikologis, maupun sosial untuk melakukan kekerasan kepada siswa lain yang mempunyai kedudukan lebih lemah. Perundungan cenderung dilakukan terusmenerus dari waktu ke waktu. Tindakan perundungan dewasa ini banyak dilakukan oleh siswa di sekolah baik dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah atas, dan tingkat sekolah lanjutan. Kecenderungan siswa yang menjadi pelaku bullying bisa juga menjadi korban perundungan. Salah satu contoh kasus perundungan secara fisik yang diliput oleh media elektronik adalah tindakan perundungan yang terjadi di SMA Don Bosco Pondok Indah Jakarta. Peristiwa tersebut menimpa Ar dan 6 siswa baru lainnya di kawasan Perto, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kejadian itu terjadi sepulang sekolah ketika siswa kelas XII mengajak 7 siswa kelas X untuk berkumpul di tempat yang bernama “Pertok Taman Hijau Baru”. Para siswa baru itu diminta duduk dan menunduk. Satu per satu wajah siswa ditutup menggunakan jaket. Kemudian, di antara tujuh siswa kelas X ada yang mengalami tindak kekerasan, antara lain ditempeleng, dipukul, dan disundut rokok. Hal itu terjadi karena adanya ketidakseimbangan psikologis antara siswa “senior” dan “junior” (dalam Kompas, 27 Juli 2012). Adanya rasa senioritas dari kakak kelas yang merasa berkuasa dan adik kelas yang harus menuruti kemauan “senior”-nya membuat terjadinya tindakan perundungan. Di lain pihak, penelitian Magfirah dan Rachmawati (2010) 2 mengenai “Hubungan antara Iklim Sekolah dengan Kecenderungan Perilaku Bullying” menghasilkan hubungan yang negatif signifikan antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku perundungan yang ditunjukkan dengan r = - 0.459 dengan p = 0,000. Semakin positif iklim sekolah, semakin rendah kecenderungan perilaku perundungan, sebaliknya semakin negatif iklim sekolah, semakin tinggi kecenderungan perilaku perundungan. Berarti ada kaitan antara iklim sekolah yang makin favorabel dengan rendahnya kejadian perundungan di sekolah. Hasil penelitian Yuniartiningtyas (2013) menunjukkan bahwa: (1) pola asuh orang tua pada klasifikasi pola asuh permisif (69%), (2) tipe kepribadian berada pada klasifikasi tipe kepribadian sanguinis (39%), (3) perilaku perundungan berada pada klasifikasi rendah (62%), (4) ada hubungan negatif antara pola asuh orang tua dan perilaku perundungan, (5) ada hubungan negatif antara tipe kepribadian dan perilaku perundungan dan (6) ada hubungan antara pola asuh orang tua, tipe kepribadian, dan perilaku perundungan. Levianti (2008) menyatakan individu berpotensi menjadi pelaku perundungan karena individu berpotensi menjadi korban atau penonton perundungan, yang kejadiannya dapat mulai dari lingkungan rumah. Andai individu merespon negatif terhadap perundungan, lingkungan di sekitarnya cenderung terus membiarkan perundungan terjadi. Individu akan dimusuhi jika tetap pada pendiriannya yang negatif terhadap perundungan. Kebutuhan untuk diterima menjadi bagian kelompok, atau rasa takut dimusuhi lingkungan sekitar, akan mendorongnya melakukan konformitas terhadap perundungan. Individu akan ikut melakukan, atau membiarkan perundungan terus terjadi, meski sebenarnya tidak setuju dengan perundungan. Konformitas mendukung perundungan terus berkembang. Konformitas dapat membantu mengurangi terjadinya perundungan apabila figur otoritas, populer, atau signifikan memiliki sikap negatif terhadap perundungan, sehingga anggota kelompok akan turut bersikap negatif terhadap perundungan. Dengan demikian, konformitas dapat dimanfaatkan juga untuk mengatasi perundungan. Berdasarkan latar belakang, penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan antara Kebutuhan Berkuasa dengan Tindakan Bullying ”. 3 TINJAUAN PUSTAKA Olweus dan Sohlberg (2003) mengemukakan bullying terjadi ketika seseorang secara berulang mengatakan atau melakukan sesuatu hal dengan tujuan untuk menyakiti orang yang sulit untuk membela diri sendiri dari tindakan perundungan. Tindakan perundungan mencakup tiga elemen yang utama yaitu menyakiti korban, tindakan dilakukan yang secara berulang-ulang, serta adanya ketidakseimbangan dalam kekuatan psikologis antara korban dan pelaku. Dapat disimpulkan perundungan adalah perilaku di mana terjadi ketidak seimbangan kekuatan di antara pelaku perundungan dan korbannya, sehingga dapat dikatakan bahwa bully selalu lebih kuat daripada korbannya. Tindakan perundungan dapat berupa fisik, verbal maupun psikologis. Olweus dan Sohlberg (2003) membagi aspek-aspek bullying meliputi: 1) Verbal, yaitu tindakan mengatakan sesuatu untuk menyakiti atau menertawakan seseorang atau menjadikan seseorang bahan lelucon dengan menyebut/menyapanya dengan nama yang menyakitkan hatinya, menceritakan kebohongan atau menyebarkan rumor yang keliru tentang seseorang. 2) Indirect, yaitu tindakan yang sepenuhnya menolak atau mengeluarkan seseorang dari kelompok pertemanan atau meninggalkannya dari berbagai hal secara disengaja atau mengirim catatan dan mencoba membuat siswa yang lain tidak menyukainya. 3) Physical, yaitu tindakan memukul, menendang, mendorong, mempermainkan atau menteror dan melakukan hal-hal yang bertujuan menyakiti. Tindakan bullying (perundungan) amat membahayakan sesejahteraan jiwa pelaku perundungan dan korban dari perundungan. Perundungan adalah tindakan menyakiti orang lain yang lebih lemah, baik menyakiti secara fisik, kata-kata, ataupun perasaannya. Di lain pihak, perundungan amat mudah ditiru oleh siswa di sekolah karena perilaku negatif ini amat besar peluangnya dilakukan oleh siswa. Justru bahayanya, siswa cenderung melakukan perundungan setelah siswa sendiri pernah disakiti oleh orang yang lebih kuat, misalnya oleh orang tua, kakak kandung, kakak kelas, ataupun teman sebayanya (Levianti, 2008). Jika jumlah siswa yang melakukan perundungan amat berpengaruh di sekolah, maka siswa lain amat mudah meniru melakukan perundungan pula, atau setidaknya menganggap perundungan sebagai tindakan yang wajar atau kejadian yang biasa terjadi di sekolah. Kebutuhan berkuasa ialah keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain (McClelland, 4 dalam Munandar, 2001). Orang yang mempunyai kebutuhan berkuasa yang menonjol menyukai pekerjaan-pekerjaan yang menempatkan dirinya menjadi pemimpin dan berupaya mempengaruhi orang lain. Kebutuhan berkuasa dimiliki oleh seseorang yang ingin mempunyai pengaruh atas orang-orang lain, individu peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi kelompok siswa. Individu mencoba menguasai orang lain dengan cara mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan padanya, serta menjaga reputasi dan kedudukannya. Disimpulkan bahwa kebutuhan berkuasa adalah keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain. As’ad (2004) mendeskripsikan karakteristik individu yang kebutuhan untuk berkuasa menonjol yaitu amat ingin menguasai dan mempengaruhi orang lain yang menyebabkannya tidak atau kurang mempedulikan perasaan orang lain. Tindakan individu yang didorong oleh kebutuhan untuk berkuasa yang tinggi tampak sebagai berikut: 1) Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta. 2) Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan kelompok atau organisasi di mana individu itu berada. 3) Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise. 4) Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi. METODE PENELITIAN Subyek penelitian ini adalah 147 siswa kelas VIII SMP Negeri 7 Salatiga. Digunakan Delaware Bullying Questionnaire (200) berdasarkan teori Olweus (1993). Kuesioner ini berisi serangkaian pernyataan tentang tindakan perundungan yang dilakukan oleh siswa di sekolah yang terdiri dari 33 butir, yang didalamnya terkandung tiga aspek, yaitu aspek fisik, aspek verbal dan aspek psikologis. Butir-butir pada kuesioner tindakan perundungan memiliki validitas terendah 0,259 dan validitas tertinggi 0,571, sedangkan kuesioner tindakan perundungan memiliki koefisien Alpha Cronbach = 0,878 yang berada pada kategori reliabilitas bagus. Sedangkan untuk mengukur kebutuhan berkuasa digunakan skala kebutuhan berkuasa yang dikembangkan berdasarkan teori motivasi McClelland (dalam Ivancevich dkk, 2006), yang terdiri dari 60 butir yang mencakup aspek mempengaruhi orang lain, aspek mengontrol orang lain dan aspek memanipulasi orang lain. Butir-butir dalam skala kebutuhan berkuasa 5 memiliki validitas terendah 0,219 dan validitas tertinggi 0,537. Skala kebutuhan berkuasa memiliki koefisien Alpha Cronbach = 0,918 dan berada pada kategori reliabilitas memuaskan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif dan analisis korelasi. Dalam analisis ini, penulis dibantu dengan program SPSS 17.0 for Windows. Analisis deskriptif terhadap data penelitian ini meliputi gambaran hasil penelitian secara umum meliputi mean, skor maksimum dan skor minimum untuk masing-masing variabel penelitian. Untuk menguji dan membuktikan secara statistik hubungan antara kebutuhan berkuasa dengan tindakan perundungan digunakan Spearman's rho. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengukuran terhadap kedua variabel penelitian menghasilkan jumlah frekwensi dan kategori yang tertuang pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. Tabel 1. Kategori dan Jumlah Frekwensi Tindakan Perundungan Siswa SMP Interval 108-130 86-107 64-85 42-63 Kategori Tinggi Agak Tinggi Agak Rendah Rendah Total Rerata Skor Minimum Skor Maksimum Frekuensi 5 76 49 17 147 Presentase 3,4% 51,1% 33,3% 11,6% 100% 87,67 42 130 Dari Tabel 1. dapat dinyatakan bahwa sebagian besar siswa SMP kelas VIII berada pada kategori tindakan perundungan agak tinggi (76 siswa/51,1%). Sedangkan hanya ada 17 siswa (11,6%) yang berada pada kategori tindakan perundungan rendah. Tabel 2. Kategori dan Jumlah Frekwensi Kebutuhan Berkuasa Siswa SMP Interval 175-207 143-174 111-142 79-110 Kategori Tinggi Agak Tinggi Agak Rendah Rendah Total Rerata Skor Minimum Skor Maksimum Frekuensi 23 72 45 7 147 Presentase 15,6% 49,0% 30,6% 4,8% 100 150,62 79 207 6 Berdasarkan Tabel 2. dinyatakan bahwa siswa SMP kelas VIII sebagian besar siswa (72 siswa/49,0%) berada pada kategori kebutuhan berkuasa agak tinggi. Sedangkan 45 siswa (30,6%) berada pada kategori agak rendah. Hasil analisis hubungan antara skor kebutuhan berkuasa dan skor tindakan perundungan dirangkum sebagai berikut. Tabel 3. Hubungan antara skor Kebutuhan Berkuasa dan Tindakan Perundungan Siswa SMP Spearman's rho Tindakan Perundungan Correlation Coefficient Keputusan .227** Kebutuhan Berkuasa Sig. (1-tailed) .003 N Korelasi positif signifikan 147 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Tabel 3. menunjukkan adanya hubungan antara skor kebutuhan berkuasa dan skor tindakan perundungan siswa SMP kelas VIII dengan koefisien korelasi sebesar r xy = 0,227 dengan signifikansi p = 0,003 < 0,01. Disimpulkan ada hubungan yang positif sangat signifikan antara kebutuhan berkuasa dan tindakan perundungan siswa. Hasil penelitian tentang hubungan antara kebutuhan berkuasa dengan tindakan perundungan menunjukkan ada hubungan yang positif dan sangat signifikan. Hal ini dapat diketahui dari nilai korelasi rxy = 0,227** dan taraf signifikan 0,003 < 0,050. Dengan demikian apabila ada kenaikan skor kebutuhan berkuasa maka diikuti pula kenaikan skor tindakan perundungan. Hasil penelitian ini senada dengan pernyataan Salzman dan Salzman (dalam Freeman, 1994) yang menyatakan bahwa siswa yang bermasalah tetapi tingkat kebutuhan berkuasanya tinggi, maka cenderung memakai kekerasan fisik, melawan hukum, menunjukkan masalah indispliner di sekolah. Siswa yang sering mengalami masalah mengenai kedisiplinan dan melawan peraturan sekolah mempunyai kebutuhan berkuasa tetapi cenderung menyalurkannya ke bentuk tindakan yang negatif bahkan melakukan perundungan dengan memanfaatkan kekuatan dan kekuasaannya untuk menakuti siswa lain. 7 Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang positif signifikan sebesar 0,227**. Hasil tersebut diartikan bahwa semakin tinggi kebutuhan berkuasa siswa maka semakin tinggi tindakan perundungan. Siswa yang mempunyai kebutuhan berkuasa tinggi menjadi siswa yang melakukan tindakan perundungan yang tinggi pula. Kebutuhan berkuasa sebenarnya diperlukan oleh individu yang ingin menjadi pemimpin. Kebutuhan tersebut tidak melulu bermuatan negatif. Siswa dengan kebutuhan berkuasa yang tinggi apabila diimbangi dengan kebutuhan yang lain misalnya kebutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk berprestasi akan dapat memperlihatkan sikap kepemimpinan yang positif. Adanya kebutuhan berkuasa yang ditunjukkan dengan perilaku positif, maka kecenderungan siswa akan menjadi pemimpin diantara teman-temannya dalam suatu kegiatan. Biasanya siswa tersebut sering ditunjuk menjadi ketua kelas, aktif di ekstrakurikuler, ketua kelompok dan seterusnya. Bahkan dalam penelitian Freeman (1994) menyatakan kelompok yang mempunyai kebutuhan berkuasa tinggi yang diikuti dengan kebutuhan berprestasi moderat dan kebutuhan afiliasi rendah cenderung mempunyai ambisi untuk diakui melalui upaya mencapai keberhasilan di bidang akademik. Maka tidak selalu orang dengan kebutuhan berkuasa akan menjadi pelaku perundungan maupun siswa yang indisipliner. Uduji dan Ankeli (2013) menemukan adanya kebutuhan berkuasa pada tenaga marketing/penjualan melalui hasrat untuk mengendalikan dan mempengaruhi konsumennya. Kebutuhan berkuasa merupakan dorongan yang tidak disadari untuk memberi dampak tertentu pada orang-orang lain. Tenaga penjualan yang memiliki kebutuhan berkuasa yang amat kuat sering memantapkan diri di hadapan orang-orang lain melalui berbagai cara. Individu ini berupaya mencari dan meraih posisi kepemimpinan dalam kelompok sosialnya, dalam asosiasi profesi dan dalam tim penjualan. Penelitian Uduji dan Ankeli (2013) mengisyaratkan bahwa kebutuhan berkuasa dapat dipenuhi melalui status, pengakuan, pengembangan diri dan tantangan bagi tenaga penjualan. Implikasi hasil penelitian ini yaitu bahwa individu yang membuktikan kinerja positif yang menonjol perlu mendapat pengakuan positif secara pribadi dan secara publik dari atasan melalui memberi tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar di lingkungan kerjanya. Tindakan perundungan muncul karena adanya penyalah-gunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang. Penyalahgunaan tersebut biasanya dipakai agar siswa lain takut ataupun hanya untuk bersenang-senang saja. Tetapi 8 dalam siklus tindakan perundungan biasanya mempunyai sedikit rasa empati sehingga tidak mempedulikan korban. Pelaku perundungan mempunyai keinginan untuk berkuasa dan mendominasi siswa lain tetapi dengan caranya sendiri yang cenderung impulsif. Pelaku biasanya sering terlibat dalam kegiatan antisosial atau pelanggaran lain seperti vandalisme maupun kenakalan remaja. Penelitian yang penulis lakukan menghasilkan korelasi positif antara kebutuhan berkuasa dengan tindakan perundungan karena siswa mempunyai kebutuhan berkuasa yang tinggi cenderung ingin mendominasi, menguasai, mempengaruhi orang lain, agar menuruti kehendaknya. Kebutuhan berkuasa yang tinggi diikuti dengan tindakan perundungan yang tinggi pula. Bisa jadi siswa dengan kebutuhan berkuasa yang tinggi menjadi pelaku perundungan karena ada aspek - aspek pendukung lain misal mempunyai sifat agresifitas, empati yang rendah terhadap yang lain, keinginan mendominasi dan berkuasa yang tinggi pula. DAFTAR PUSTAKA As’ad, M. 2004. Psikologi Industri, Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty. Freeman.1994. Power Motivation and Youth: An Analysis of Troubled Students and Student Leaders. Journal of Counseling and Development, July/August 1994, volume 72. Ivancevich dkk. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga. Kompas.com. 2012. Kronologi Bullying di SMA Don Bosco. Kompas 27 Juli 2012. Http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/27/13213935. Diunduh 22 Februari 2013. Levianti. 2008. Konformitas dan Bullying pada Siswa. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Psi/article/view/49. Vol 6, No 01 (2008) . Diunduh 21 April 2015. Magfirah, U. dan Rachmawati, M. A. 2010. Hubungan Antara Iklim Sekolah dengan Kecenderungan Perilaku Perundungan. Jurnal Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya Universitas Islam Indonesia, 1, 1-10. Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press. Olweus, D. 1993. Bullying at school: What we know and what we can do. Malden, MA: Blackwell Publishing. Olweus dan Sohlberg. 2003. Prevalence estimation of school bullying with the Olweus Bully/Victim Questionnaire. Aggressive Behavior, 29. 9 Rigby. 2003. Addressing Bullying in Schools: Theory and Practice. Australia: Criminology Research Council. Swenson, David. 2000. David McClelland's 3-Need Theory. Http://faculty.css.edu/ dswenson/ web/LEAD/McClelland.html. Diunduh Senin, 4 Februari 2013. Uduji, Joseph I. dan Ankeli, Marjorie O. 2013. Needs for Achievement, Affiliation, and Power: the Possible Sales Manager’s Actions for Exceptional Salesforce Performance. Research Journal of Finance and Accounting. Vol.4, No.9, 2013. ISSN 2222-2847 (Online) .www.iiste.org. Diunduh 21 April 2015. Yuniartiningtyas, Fitri. 2013. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Tipe Kepribadian dengan Perilaku Perundungan Siswa SMP. Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Malang. 10