BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rakyat suatu negara

advertisement
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rakyat suatu negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam
wilayah kekuasaan negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu. 1 Warga negara
yang diartikan sebagai anggota dari unsur negara berarti bagian dari rakyat. Dalam
praktik kenegaraan, rakyat biasanya dibedakan antara, penduduk dan bukan penduduk
dengan warga negara dan bukan warga negara.
Penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam
wilayah negara sedangkan bukan penduduk adalah mereka yang berada di dalam
wilayah negara tetapi tidak bermaksud bertempat tinggal di negara tersebut.
Pengertian warga negara ialah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota
dari suatu negara. Mereka yang bukan warga negara disebut orang asing (bukan
warga negara). Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi berupa perbedaan hak dan
kewajiban tertentu. 2
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dahulu, penduduk Indonesia dibagi
dalam tiga golongan penduduk dan masing-masing penduduk mempunyai hukumnya
sendiri-sendiri. Menurut Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) penduduk Indonesia
1
C.S.T. Kansil, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hlm. 9.
2
Subhan Sophian, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pendidikan Politik,
Nasionalisme dan Demokrasi, (Bandung: Fokusmedia, 2011), hlm.42.
dibagi menjadi :
3
1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, yaitu:
a. Bangsa Belanda:
b. Bukan Bangsa Belanda, tetapi berasal dari Eropa;
c. Bangsa Jepang;
d. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama
dengan hukum keluarga Belanda;
e. Keturunan mereka yang tersebut diatas;
2. Golongan Bumiputera (pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan,
yaitu:
a. Orang-orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan lain;
b. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya ke
dalam golongan Indonesia asli;
3. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India dan Arab), yaitu:
a. Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina):
b. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa;
Masing-masing golongan penduduk ini mempunyai hukum perdata sendirisendiri. Ketidakseragaman dalam hukum perdata ini disebabkan karena banyaknya
macam golongan penduduk di Indonesia yang masing-masing golongan mempunyai
kebutuhan hukum perdata yang berbeda-beda pula. Sampai sekarang ini, hukum
perdata masih banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbedabeda dan beraneka ragam, seperti hukum perkawinan, hukum agraria, hukum
kewarisan dan lain sebagainya. 4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 26
menyatakan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah :
“Orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang diakui
kewarganegaraannya karena undang-undang.”
Di sini menyiratkan bahwa ada orang yang merupakan bangsa Indonesia asli
3
4
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2007), hlm.3.
Ibid.
dengan bangsa Indonesia yang bukan asli. Dulu orang menerjemahkan hal tersebut
dikaitkan dengan pribumi dengan non-pribumi sehingga bisa saja orang India
dianggap tidak asli walaupun ia Warga Negara Indonesia.
Kewarganegaraan seseorang tidak boleh dipisah-pisahkan berdasarkan latar
belakang yang semacam itu. Untuk itu, jika bicara tentang Warga Negara Indonesia
pendekatan dan cara pandangnya harus satu yaitu cara pandang umum. 5 Oleh karena
itu lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006 dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4634 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2006
mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia beserta perubahannya yaitu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1976 tentang perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Ada tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga negara atau
kewarganegaraan seseorang yaitu asas ius sanguinis (law of the blood) yang
menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas kewarganegaraan orang
tuanya, asas ius soli (law of the soil) yang menentukan kewarganegaraan seseorang
menurut daerah atau negara tempat dia dilahirkan, dan asas pewarganegaraan
(naturalisasi) yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan permohonan
5
Subhan Sofhian, Op.Cit., hlm.50
untuk menjadi warga negara di suatu negara tertentu. 6
Orang asing yang datang ke Indonesia mempunyai hak-hak dasar yang
dijamin oleh undang-undang, termasuk untuk membangun suatu keluarga. Oleh
karena itu lahirlah istilah yang dinamakan transcouple (pasangan yang melintasi
negara dan melintasi kebangsaan atau kewarganegaraan). Hal ini dapat ditemukan di
Bali, dimana interaksi dan pergaulan antara masyarakat global dengan anggota
masyarakat terjadi sehingga gadis-gadis Indonesia bertemu dengan pria asing lalu
jatuh cinta.
Perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan ini
sering disebut sebagai perkawinan campuran. Dalam peraturan tentang Perkawinan
Campuran/ Regeling Op de Gemengde Huwelijken, yang lebih terkenal dengan istilah
Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) Staatsblaad 1898 nomor 158 pada Pasal 1
dinyatakan yang dinamakan perkawinan campuran adalah
“Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukumhukum yang berlainan”.
Peraturan Perkawinan campuran ini berlaku bagi golongan penduduk yang
terdapat di Hindia Belanda. Masing-masing golongan penduduk tersebut mempunyai
hukum yang mengatur bagi masing-masing golongan. Pasal 131 IS (Indische
Staatsregeling) mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan
penduduk tersebut, yaitu: 7
6
Musthafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri
,2002), hlm. 10.
1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
yang diselaraskan dengan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Koophandel di
negeri Belanda;
2. Golongan Bumiputera dan yang dipersamakan berlaku hukum adatnya masingmasing;
3. a. Golongan Timur Asing (Tionghoa) berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dengan
pengecualian, yaitu mengenai pencatatan sipil, cara-cara perkawinan, dan
pengangkatan anak (adopsi).
b. Golongan Timur Asing (bukan Tionghoa) berlaku sebagian dari Kitab UndangUndang Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
yaitu hanya mengenai hukum harta kekayaan.
Sehingga menurut GHR 158/1898, perkawinan itu selain meliputi perkawinan
campuran karena perbedaan kewarganegaraan (perkawinan campuran internasional),
juga mengenai perkawinan antara Warga Negara Indonesia asli dengan Warga
Negara Indonesia keturunan (perkawinan antar golongan), perkawinan campuran
karena perbedaan hukum adatnya (perkawinan antar tempat/adat) dan perkawinan
antara Warga Negara Indonesia yang berbeda agamanya (perkawinan antar agama). 8
Perkawinan pada dasarnya merupakan kesepakatan untuk hidup bersama
secara sah diantara seorang pria dan seorang wanita. Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa :
“Perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilakukan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. 9
Di sini terlihat jelas bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan hanya
7
A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1986),
hlm. 14.
8
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hlm. 91.
9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, LN No. 1 Tahun 1974, TLN
No. 3019, psl. 57. Selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan.
memberi pengertian terhadap perkawinan campuran karena adanya perbedaan
kewarganegaraan diantara masing-masing pihak yaitu perkawinan antara Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Pengertian tersebut merupakan
pembatasan
yang
dilakukan
oleh
Undang-Undang
Perkawinan.
Dengan
diundangkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut maka GHR 158/1898 tersebut
berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan sudah tidak berlaku
lagi.
Dalam perkawinan campuran akan berlaku asas-asas Hukum Perdata
Internasional (HPI) antara lain: asas bahwa perkawinan dilakukan berdasarkan hukum
perkawinan dari negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (locus regit
actum), dan akan berlaku pula Statuta Personalia, yaitu bahwa status personil
masing-masing pihak akan mengikuti dimana saja ia berada, kemudian asas Statuta
Realia, dalam hal harta perkawinan berupa benda tetap, yaitu bahwa bagi benda tetap
akan berlaku hukum dimana benda tersebut terletak. 10
Pada saat ini, peraturan yang berhubungan dengan masalah-masalah HPI
masih memakai produk hukum warisan zaman Belanda, yaitu Pasal-Pasal 16, 17, dan
18 A.B.(Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie 30 April 1847).
Pasal 16 A.B. mengatur tentang status personal yang menganut prinsip nasionalitas
atau prinsip kewarganegaraan. Pasal 17 A.B. mengatur tentang hukum yang berlaku
bagi suatu benda (Lex Rei Sitae). Pasal 18 A.B. mengatur tentang hukum yang
berlaku bagi suatu perbuatan hukum (Locus Regit Actum/Lex Loci Celebrationis).
10
Gatot Supramono, Hukum Orang Asing di Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2012), hlm. 19.
Produk hukum tersebut untuk saat ini tidak memadai lagi, mengingat semakin banyak
dan kompleksnya masalah-masalah HPI yang dihadapi oleh hakim-hakim di
Pengadilan.
Perkawinan sebagai status personal maka sebelum perkawinan dilangsungkan
setiap mempelai harus memenuhi syarat-syarat materil dari hukum personal masingmasing pihak. Sedangkan formalitas yang dipakai adalah berdasarkan dimana
perkawinan tersebut dilangsungkan (locus regit actum).
Bagi Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar
wilayah negara Republik Indonesia berlaku asas lex loci celebrations. Asas ini berarti
perkawinan
harus
dilaksanakan
berdasarkan
hukum
dimana
perkawinan
dilangsungkan. Perkawinan tersebut sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia
tidak melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan. 11 Pasal 56 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa :
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga
Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.” 12
Pada umumnya, dalam hukum perkawinan setiap negara disyaratkan adanya
pencatatan perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Adanya keharusan
pencatatan perkawinan tersebut merupakan syarat formal atau syarat administrasi di
11
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III bagian pertama,
(Bandung: Alumni, 1995). hlm 187.
12
Undang-Undang Perkawinan, psl. 56 ayat 1
banyak negara. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa
syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus
dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. 13
Selain memenuhi Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, bagi pasangan yang
melakukan perkawinan di luar negeri harus memperhatikan Pasal 56 ayat (2) UndangUndang Perkawinan yang mengatur pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar
Indonesia, sebagai berikut :
“Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah
Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka.” 14
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan
dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik,
Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif ini bila tidak diperhatikan dan lalai
dalam pemenuhannya akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
Persoalan pencatatan perkawinan walaupun secara nyata undang-undang
mengharuskan untuk dicatat, namun ketentuan tersebut masih banyak yang
mengabaikannya. Mungkin karena tidak jelasnya sanksi hukum bagi pelaku, ataupun
jika ada sanksi hukum tidak mampu ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Dengan
dicatatkannya perkawinan pada pejabat yang berwenang, akan diperoleh kepastian
hukum tentang sahnya suatu perkawinan di mata hukum. 15
13
Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha,
2010), hlm 10.
14
Undang-Undang Perkawinan, psl. 56 ayat 2.
Pencatatan perkawinan sebenarnya harus disadari sebagai akta untuk
membuktikan status dari istri atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari suatu
perkawinan. Namun harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan
pencatatan perkawinan kurang tegas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.
Akibat dari perkawinan campuran salah satunya adalah suami atau isteri
berkewarganegaraan Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan pasangannya dan
dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa:
“Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga
Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum
negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami
sebagai akibat perkawinan tersebut, begitu juga sebaliknya.”
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia bahwa anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga
Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Asing, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita Warga Negara Asing dengan pria Warga Negara
Indonesia, sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. 16
15
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 3.
16
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, psl.5.
Setiap orang yang lahir dari ibu berkewarganegaraan Indonesia adalah asli
menjadi Warga Negara Indonesia dan sekaligus memberikan status kepada anak yang
bersangkutan karena undang-undang di negara asal ayahnya mengakui dia sebagai
warga negara maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas. Hal
ini juga berlaku apabila sang ibu kehilangan kewarganegaraannya karena mengikuti
kewarganegaraan suaminya. Hilangnya status kewarganegaraan sifatnya individual
dan menjadi tanggung jawab pribadinya sendiri.
Pada dasarnya melakukan perkawinan itu bertujuan untuk selama-lamanya,
akan tetapi ada kalanya karena sebab-sebab tertentu mengakibatkan perkawinan tidak
dapat diteruskan. Jadi terpaksa putus dengan sendirinya (kematian salah satu pihak
suami/isteri) atau harus diputuskan oleh pengadilan (perceraian atau atas putusan
pengadilan). Dalam Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan
dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. 17
Perceraian dalam perkawinan campuran termasuk dalam bidang status
personal Hukum Perdata Internasional . Hal ini menjadi tidak masalah apabila suatu
masalah perceraian itu dilakukan oleh suami istri yang mempunyai kewarganegaraan
yang sama, tetapi menjadi kurang apabila suami istri mempunyai kewarganegaraan
yang berbeda.
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran akan menimbulkan
persoalan karena anak tersebut akan mengikuti kewarganegaraan salah satu dari
kedua orang tuanya yang dipengaruhi oleh sistem hukum yang berlaku bagi orang
17
Undang-Undang Perkawinan, psl. 38.
tuanya 18. Sistem-sistem yang dianut oleh hukum di Indonesia mengenai soal warisan
tidak sama adanya karena ada banyak perbedaan dan variasi. Seorang anak yang lahir
dari perkawinan campuran internasional akan mempunyai permasalahan dengan
status kewarganegaraannya serta hak mewarisnya
Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis karena saat ini berlaku
tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan
Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Hukum Waris Adat
yang berlaku di Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya.
19
Hukum Waris Islam dirumuskan sebagai “perangkat ketentuan hukum yang
mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia
meninggal dunia”. Sumber pokok Hukum Waris Islam adalah Al-Quran dan Hadits
Nabi, kemudian Qias (analogon) dan Ijma’ (kesamaan pendapat). 20
Hukum Kodifikasi adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum
yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya di bidang Hukum Harta Kekayaan
(karena kematian seseorang), yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mati beserta
akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam hubungan
antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga. 21
Hukum waris sama halnya dengan hukum perkawinan merupakan bidang
18
Gatot Supramono, Op.Cit, hlm.22
F. Satriyo Wicaksono, Hukum Waris Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan,
(Jakarta:Visimedia,2011), hlm.3.
20
Ibid.
21
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University
Press, 2000) , hlm. 2.
19
hukum yang sensitif atau rawan. Keadaan inilah yang mengakibatkan sulitnya
diadakan unifikasi di bidang hukum waris.
Kemudian dalam Peraturan Pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan belum diatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Oleh karena
belum ada undang-undang yang mengatur masalah harta perkawinan, ataupun
kewarisan, maka melalui ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan masih tetap
berlaku ketentuan hukum yang lama. Ketentuan Penutup, Pasal 66 Undang-Undang
Perkawinan, mengatakan:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen
Indonesiers S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemengde Huwelijken S. 1898 No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.”
Melalui ketentuan yang ada dalam Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan
tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa KUHPerdata (BW) masih berlaku
bagi Warga Negara Indonesia khususnya keturunan Tionghoa dan Eropa. Hal ini
dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim
Pengadilan Tinggi dan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus 1975
No. M.A./Penb/0807/75, tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975.
Dalam kenyataannya bahwa Balai Harta Peninggalan Jakarta menerbitkan
Surat Keterangan Hak Mewaris atas anak yang mempunyai status Warga Negara
Asing, yang secara ringkas dikemukakan dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT adalah Kamlesh Motiram Kalwani
dan Johny Motiram yang berkeberatan atas dikeluarkannya Surat Keterangan Hak
Mewaris oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta mengenai hak mewaris dari seorang
yang bernama Sunesh Rattan Ladharam atas harta peninggalan ibunya yang bernama
Swita Motiram.
Almarhumah dahulu pernah menikah dengan Warga Negara Asing bernama
Rattan Ladharam di Hongkong dan akhirnya bercerai.
Semasa hidupnya
Almarhumah Swita Motiram tidak pernah mencatatkan perkawinan maupun
perceraiannya di Indonesia dan tidak pernah mendaftarkan anaknya di Kantor Catatan
Sipil di Indonesia. Pada saat perkawinannya hingga perceraian almarhumah Swita
Motiram berstatus Warga Negara India.
Setelah perceraian tersebut Sunesh Rattan Ladharam berada dibawah
pengasuhan ayahnya dan berstatus Warga Negara Inggris dan almarhumah Swita
Motiram kembali ke Indonesia dan berubah status menjadi Warga Negara Indonesia
hingga pada saat meninggalnya. Para penggugat (Kamlesh Motiram Kalwani dan
Johny Motiram) yang merupakan saudara kandung dari almarhumah Swita Motiram
mengajukan gugatan bahwa anak tersebut (Sunesh Rattan Ladharam) tidak berhak
mewaris atas harta peninggalan ibunya dan meminta pembatalan dari Surat
Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta.
Selain karena perkawinan, perceraian dan kelahiran anak tersebut tidak
dicatatkan, anak tersebut merupakan Warga Negara Asing yang untuknya tidak dapat
diterapkan hukum yang berlaku di Indonesia. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
dengan putusannya mengabulkan gugatan para penggugat dan menyatakan bahwa
Surat Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan Balai Harta Peninggalan Jakarta
tersebut tidak sah serta mewajibkan tergugat untuk mencabut Surat Keputusan
mengenai Surat Keterangan Hak Mewaris yang diberikan pada Sunesh Lattan
Radham. Namun, hakim dalam memberikan putusannya ini mempunyai pendapat
yang berbeda (dissenting opinion).
Pendapat tersebut bahwa Balai Harta Peninggalan telah benar dalam
menerbitkan Surat Keterangan Hak Mewaris untuk Sunesh Lattan Radham karena
beliau merupakan satu-satunya ahli waris dari almarhumah Swita Motiram tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut judul penelitian ini adalah
“Kedudukan dan Hak Mewaris Anak Yang Berstatus Warga Negara Asing (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT).”
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi
permasalahan adalah:
1. Bagaimana kedudukan anak yang berstatus Warga Negara Asing yang
perkawinan orang tuanya tidak pernah dicatatkan di Indonesia?
2. Bagaimana hak mewaris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing dari orang
tua kandungnya di Indonesia?
3. Bagaimana pertimbangan hukum dari Hakim mengenai pencabutan Surat
Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan Balai Harta Peninggalan Jakarta
dalam
putusan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
di
Jakarta
Nomor
141/G/2010/PTUN-JKT ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kedudukan anak yang berstatus Warga Negara Asing yang
perkawinan orang tuanya tidak pernah dicatatkan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hak waris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing dari
orang tua kandungnya di Indonesia.
3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari hakim mengenai pencabutan Surat
Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta
dalam
putusan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
di
Jakarta
Nomor
141/G/2010/PTUN-JKT sudah sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoretis maupun
praktis antara lain:
1. Secara teoretis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran
dibidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum waris, baik dari segi
perundangannya maupun dari segi penerapannya khususnya tentang kedudukan dan
hak mewaris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing, serta menambah
khasanah kepustakaan dalam bidang hukum waris.
2. Secara Praktis
Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan diterapkan oleh
pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum dibidang hukum waris khususnya
yang berkaitan dengan hak mewaris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing
serta dapat memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak guna
menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk mencegah masalah yang dapat
timbul berkaitan dengan pewarisan serta berbagai antisipasi dan tindakan yang dapat
diambil jika terjadi hambatan dalam pelaksanaannya.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran dan inventarisasi yang telah dilakukan
sebelumnya di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Penelitian tentang
“Kedudukan dan Hak Mewaris Anak Yang Berstatus Warga Negara Asing (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT)”
merupakan
hal
yang
baru
dan
asli,
sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademik. Dan juga terbuka untuk
kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan
permasalahan dalam penelitian ini. Adapun penelitian terkait dengan kedudukan dan
hak mewaris bagi anak yang berstatus Warga Negara Asing yaitu :
a. Rosanty
Siallagan,
NIM
027011055,
mahasiswa
program
studi
kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan
judul “Penerapan Pasal 916 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh
Balai Harta Peninggalan Bagi Perlindungan Hak Mewaris Anak Di Bawah
Umur Bagi Golongan Tionghoa (Studi Kasus Harta Peninggalan Tan Tjoen
Kiah)”.
b. Subur Nauli, NIM 017011026, mahasiswa program studi kenotariatan,
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak
Waris Anak Dalam Kandungan dan Kaitannya Dengan Profesi Notaris
(Suatu Tinjauan Menurut Burgerlijk Wetboek)”.
c.
Dewi Inalya Junita Sitorus, NIM 057011017, mahasiswa program studi
kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan
judul “Perjanjian Pemberian Kuasa Hak Atas Tanah Oleh Indonesian
Nominee Kepada Warga Negara Asing”.
Apabila dilihat dari latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya terlihat perbedaan titik tolak dari sudut pandang penelitian sebelumnya
dengan penelitian ini yang mana pembahasannya pun akan berbeda pula, baik dari
segi materi, maupun objek penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini
merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional, objektif dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait
dengan data dan analisis dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Pada dasarnya perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum
sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai
hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam,
sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas
dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. 22
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoretis.
Teori
memberikan
petunjuk-petunjuk
terhadap
kekurangan-kekurangan
pada
pengetahuan peneliti 23. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai
gejala yang terdapat dalam dunia fisik tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual
dimana pendekatan secara rasional digabungkan dalam pengalaman empiris 24.
Penelitian bertujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan dan
menjelaskan gejala spesifik atau proses yang terjadi, namun harus diuji dengan
menghadapkan pada fakta-fakta yang mampu menunjukkan kebenaran melalui teori-
22
W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, (Jakarta : Raja Grafindo, 1996), hlm.2.
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta : INDHILL-CO, 1990), hlm. 67.
24
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27.
23
teori.
Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana
mengorganisasikan
dan
menginterpretasikan
hasil-hasil
penelitian
dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. 25
Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori keadilan oleh Hans
Kelsen. Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State berpandangan
bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagiaan di dalamnya. 26
Pandangan Hans Kelsen ini bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu
dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum,
namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan diperuntukan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu
tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangan, melainkan kebahagiaan sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok yakni terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh pembuat hukum dianggap sebagai
kebutuhan yang patut dipenuhi. Kebutuhan ini dilihat dengan menggunakan
pengetahuan rasional yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh
25
Burhan Ashosfa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 23.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, terjemahan Rasisul Muttaqien,
(Bandung:Nusa Media, 2011), hlm. 45.
26
faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif. 27
Selain itu, untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tatanan
sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “keadilan” bermakna legalitas. Suatu
peraturan umum adalah adil jika benar-benar diterapkan, sementara itu suatu
peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak
diterapkan pada kasus lain yang serupa.
Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas. Keadilan dalam arti legalitas
adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi
dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu
adalah adil atau tidak adil berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau
tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum
positif. 28
Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan
aturan-aturan yang bersifat umum. Betapapun setiap kepentingan yang ada dalam
masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum
agar kepentingan itu dilindungi dan sedemokratis apapun kehidupan bernegara dan
bermasyarakat
suatu
bangsa,
tidaklah
mungkin
aturan-aturan
itu
dapat
mengakomodasi semua kepentingan tersebut. Begitu pula dalam kehidupan nyata
kasus-kasus yang unik jarang terjadi. Yang terjadi adalah masalah-masalah hukum
dari kepentingan yang harus dilayani. Hal itupun harus dituangkan dalam aturan yang
27
Ibid.
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan
MK-RI, 2006), hlm. 17.
28
bersifat umum juga. 29
Sehubungan dengan teori yang dikemukakan diatas dapat diterapkan dalam
kedudukan dan hak mewaris bagi anak yang berstatus Warga Negara Asing. Tidak
ada pengaturan yang jelas untuk mengatur mengenai hak mewaris seseorang apabila
dia merupakan Warga Negara Asing. Terlebih lagi jika seseorang tersebut mewaris
tanpa wasiat yaitu pewarisan karena hubungan darah.
Dalam
Undang-Undang
Perkawinan
tidak
ada
mengatur
mengenai
status/warisan harta benda karena kematian yang ada hanya mengenai akibat
putusnya perkawinan karena perceraian. Sehingga masih terdapat pluralisme dalam
pengaturan hukum waris di Indonesia.
Menurut Pasal 1 KUHPerdata penikmatan hak-hak perdata tidak tergantung
pada hak-hak kenegaraan. Selain itu, menurut Pasal 852 KUHPerdata tidak ada
perbedaan antara ahli waris, baik itu laki-laki maupun perempuan ataupun urutan
kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada
maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus keatas maupun
kesamping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih
rendah derajatnya.
30
Jauh dekatnya hubungan darah dapat dikelompokkan menjadi (4) empat
golongan, yaitu 31 :
1. Ahli waris golongan I
29
30
31
Peter Mahmud Marzuki , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Kencana, 2008), hlm. 15.
F. Satriyo Wicaksono, Op. Cit., hlm. 13
Ibid
Termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak-anak pewaris berikut
keturunannya dalam garis lurus ke bawah dan janda/duda. Pada golongan I
dimungkinkan terjadinya pergantian tempat (cucu menggantikan anak yang telah
meninggal terlebih dahulu dari si pewaris). Mengenai pergantian tempat ini, Pasal
847 KUHPerdata menentukan bahwa tidak ada seorang pun dapat menggantikan
tempat seseorang yang masih hidup, misalnya anak menggantikan hak waris
ibunya yang masih hidup. Apabila dalam situasi si ibu menolak menerima warisan,
sang anak bertindak selaku diri sendiri, dan bukan menggantikan kedudukan
ibunya.
2. Ahli waris golongan II
Termasuk dalam ahli waris golongan II yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudara
pewaris.
3. Ahli waris golongan III
Termasuk dalam ahli waris golongan III yaitu kakek nenek dari garis ayah dan
kakek nenek dari garis ibu.
4. Ahli waris golongan IV
Termasuk dalam ahli waris golongan IV yaitu sanak saudara dari ayah dan sanak
saudara dari ibu, sampai derajat keenam.
Adapun ketentuan-ketentuan menjadi ahli waris menurut hukum waris
perdata, yaitu sebagai berikut :
a. Memiliki hak atas harta
Ahli waris berdasarkan undang-undang (ab-intestato), maksudnya ahli waris
yang mendapatkan bagian menurut ketentuan yang diatur dalam undangundang, misalnya ahli waris anak, suami, isteri, kakek, nenek, sebagaimana
diatur dalam ahli waris golongan I sampai dengan IV. Selain itu, dalam
ketentuan Pasal 2 KUHPerdata. Pasal 2 KUHPerdata memuat ketentuan
bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya, dianggap telah dilahirkan
apabila untuk kepentingan si anak dalam menerima bagian dalam harta
warisan.
b. Hak mutlak (legitieme portie)
Kepada setiap waris dalam garis lurus diberikan suatu legitieme portie.
Masing-masing dapat memberlakukan haknya atas legitieme portie itu atau
melepaskannya tanpa campur tangan legitimaris lainnya. 32
Namun dalam Undang-Undang Pokok Agraria dalam kaitannya dengan
subjek yang dapat diberikan dan mempunyai hak atas tanah, maka sesuai dengan asas
nasionalitas yang menjadi landasan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),
ditentukan bahwa sesuai Pasal 9 UUPA menyatakan bahwa :
“Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”.
Dalam Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.”
Selanjutnya dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa :
“Orang asing sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian
32
R. Soetojo Prawirohamidjojo,Op.Cit. , hlm. 8.
pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara,
dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lainnya yang membebaninya tetap
berlangsung.”
2.
Konsepsi
Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain,
seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh
sesuatu proses
yang
berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan
analitis. 33
Tujuan digunakan landasan konsepsional dalam penelitian ini adalah untuk
memperoleh dasar konseptual, menghindari pemahaman dan penafsiran yang
berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain:
a. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. 34
b. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 35
33
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 16.
Undang-Undang Perkawinan, Psl 1.
34
c. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. 36
d. Warga Negara Asing adalah warga negara yang berasal dari negara lain selain
Indonesia, yang tinggal dan dan bekerja di Indonesia.
e. Anak adalah anak sah. 37
f. Hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan
yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 38
g. Hak mewaris adalah hak yang timbul karena kematian. 39
h. Ahli waris adalah mereka yang mempunyai hak atas harta untuk sebagian dari
si peninggal warisan 40 dan yang berhak menjadi ahli waris adalah para
keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang
hidup terlama. 41
35
Undang-Undang Perkawinan, Psl.57
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Psl 2.
37
Anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
(sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan ).
38
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,
diterjemahkan oleh M. Isa Arief, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986),hlm 3.
39
Sebagaimana bunyi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Pasal 830 pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
40
Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam,dan Hukum Adat, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 5
41
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 832.
36
i. Hak mutlak (legitime portie) adalah hak ahli waris yang dijamin oleh undangundang suatu bagian minimum dalam harta peninggalan pewaris. 42
G. Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang
mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip),
kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan 43
sehubungan dengan kedudukan dan hak mewaris anak yang berstatus Warga Negara
Asing. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau
mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan kedudukan dan hak mewaris anak yang
berstatus Warga Negara Asing dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di
Jakarta nomor 141/G/2010/PTUN-JKT melalui analisis yang tajam dan tersistematis.
2.
Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang
meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No.
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Putusan Nomor: 141/G/2010/PTUNJKT, tertanggal 13 Oktober 2010 atas nama para penggugat: Kamlesh Motiram
42
A. Pitlo, Op. Cit, hlm. 2
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm.183
43
Kamlani dan Johny Motiram dan para tergugat: Ketua Balai Harta Peninggalan
(tergugat I), dan Sunesh Rattan Ladharam (tergugat II Intervensi).
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah,
jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan dokumen
pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan
dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dapat
berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus
Bahasa Inggris.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini,
maka peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Pada
metode penelitian ini, maka data-data yang diperoleh yaitu dengan mempelajari dan
menganalisa secara sistematis berupa buku-buku, makalah-makalah, peraturanperaturan dan berbagai hal-hal yang berhubungan dengan objek pembahasan
penelitian 44
serta
melakukan
studi
dokumen
terhadap
Putusan
Nomor
141/G/2010/PTUN-JKT, yang diperoleh dari Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah guna memperoleh data yang sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian ini.
44
Burhan Ashofa, Op.Cit., hlm.163.
4.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif yakni penelitian
dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data berdasarkan kualitasnya (tingkat
keterkaitannya) dengan norma-norma, asas-asas, dan kaidah-kaidah yang terdapat di
dalam ketentuan perundang-undangan. Analisis data tidak didasarkan pada
banyaknya data yang dikumpulkan (kualitatif).
45
Data dan Putusan Nomor: 141/G/2010/PTUN-JKT dianalisis berdasarkan
teori-teori yang digunakan, doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma, kaidah-kaidah
yang terdapat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No.12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan KUHPerdata serta peraturan
lainnya yang terpenting dan relevan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan
dengan memberikan argumentasi-argumentasi yuridis atas hasil penelitian yang telah
dilakukan.
45
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm.141.
Download