BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rakyat suatu negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu. 1 Warga negara yang diartikan sebagai anggota dari unsur negara berarti bagian dari rakyat. Dalam praktik kenegaraan, rakyat biasanya dibedakan antara, penduduk dan bukan penduduk dengan warga negara dan bukan warga negara. Penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam wilayah negara sedangkan bukan penduduk adalah mereka yang berada di dalam wilayah negara tetapi tidak bermaksud bertempat tinggal di negara tersebut. Pengertian warga negara ialah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu negara. Mereka yang bukan warga negara disebut orang asing (bukan warga negara). Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi berupa perbedaan hak dan kewajiban tertentu. 2 Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dahulu, penduduk Indonesia dibagi dalam tiga golongan penduduk dan masing-masing penduduk mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Menurut Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) penduduk Indonesia 1 C.S.T. Kansil, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 9. 2 Subhan Sophian, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pendidikan Politik, Nasionalisme dan Demokrasi, (Bandung: Fokusmedia, 2011), hlm.42. dibagi menjadi : 3 1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, yaitu: a. Bangsa Belanda: b. Bukan Bangsa Belanda, tetapi berasal dari Eropa; c. Bangsa Jepang; d. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda; e. Keturunan mereka yang tersebut diatas; 2. Golongan Bumiputera (pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan, yaitu: a. Orang-orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan lain; b. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya ke dalam golongan Indonesia asli; 3. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India dan Arab), yaitu: a. Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina): b. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa; Masing-masing golongan penduduk ini mempunyai hukum perdata sendirisendiri. Ketidakseragaman dalam hukum perdata ini disebabkan karena banyaknya macam golongan penduduk di Indonesia yang masing-masing golongan mempunyai kebutuhan hukum perdata yang berbeda-beda pula. Sampai sekarang ini, hukum perdata masih banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbedabeda dan beraneka ragam, seperti hukum perkawinan, hukum agraria, hukum kewarisan dan lain sebagainya. 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 26 menyatakan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah : “Orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang diakui kewarganegaraannya karena undang-undang.” Di sini menyiratkan bahwa ada orang yang merupakan bangsa Indonesia asli 3 4 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2007), hlm.3. Ibid. dengan bangsa Indonesia yang bukan asli. Dulu orang menerjemahkan hal tersebut dikaitkan dengan pribumi dengan non-pribumi sehingga bisa saja orang India dianggap tidak asli walaupun ia Warga Negara Indonesia. Kewarganegaraan seseorang tidak boleh dipisah-pisahkan berdasarkan latar belakang yang semacam itu. Untuk itu, jika bicara tentang Warga Negara Indonesia pendekatan dan cara pandangnya harus satu yaitu cara pandang umum. 5 Oleh karena itu lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2006 mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia beserta perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Ada tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga negara atau kewarganegaraan seseorang yaitu asas ius sanguinis (law of the blood) yang menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas kewarganegaraan orang tuanya, asas ius soli (law of the soil) yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau negara tempat dia dilahirkan, dan asas pewarganegaraan (naturalisasi) yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan permohonan 5 Subhan Sofhian, Op.Cit., hlm.50 untuk menjadi warga negara di suatu negara tertentu. 6 Orang asing yang datang ke Indonesia mempunyai hak-hak dasar yang dijamin oleh undang-undang, termasuk untuk membangun suatu keluarga. Oleh karena itu lahirlah istilah yang dinamakan transcouple (pasangan yang melintasi negara dan melintasi kebangsaan atau kewarganegaraan). Hal ini dapat ditemukan di Bali, dimana interaksi dan pergaulan antara masyarakat global dengan anggota masyarakat terjadi sehingga gadis-gadis Indonesia bertemu dengan pria asing lalu jatuh cinta. Perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan ini sering disebut sebagai perkawinan campuran. Dalam peraturan tentang Perkawinan Campuran/ Regeling Op de Gemengde Huwelijken, yang lebih terkenal dengan istilah Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) Staatsblaad 1898 nomor 158 pada Pasal 1 dinyatakan yang dinamakan perkawinan campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukumhukum yang berlainan”. Peraturan Perkawinan campuran ini berlaku bagi golongan penduduk yang terdapat di Hindia Belanda. Masing-masing golongan penduduk tersebut mempunyai hukum yang mengatur bagi masing-masing golongan. Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan penduduk tersebut, yaitu: 7 6 Musthafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri ,2002), hlm. 10. 1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang diselaraskan dengan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Koophandel di negeri Belanda; 2. Golongan Bumiputera dan yang dipersamakan berlaku hukum adatnya masingmasing; 3. a. Golongan Timur Asing (Tionghoa) berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dengan pengecualian, yaitu mengenai pencatatan sipil, cara-cara perkawinan, dan pengangkatan anak (adopsi). b. Golongan Timur Asing (bukan Tionghoa) berlaku sebagian dari Kitab UndangUndang Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yaitu hanya mengenai hukum harta kekayaan. Sehingga menurut GHR 158/1898, perkawinan itu selain meliputi perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan (perkawinan campuran internasional), juga mengenai perkawinan antara Warga Negara Indonesia asli dengan Warga Negara Indonesia keturunan (perkawinan antar golongan), perkawinan campuran karena perbedaan hukum adatnya (perkawinan antar tempat/adat) dan perkawinan antara Warga Negara Indonesia yang berbeda agamanya (perkawinan antar agama). 8 Perkawinan pada dasarnya merupakan kesepakatan untuk hidup bersama secara sah diantara seorang pria dan seorang wanita. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa : “Perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. 9 Di sini terlihat jelas bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan hanya 7 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1986), hlm. 14. 8 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hlm. 91. 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, psl. 57. Selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan. memberi pengertian terhadap perkawinan campuran karena adanya perbedaan kewarganegaraan diantara masing-masing pihak yaitu perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Pengertian tersebut merupakan pembatasan yang dilakukan oleh Undang-Undang Perkawinan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut maka GHR 158/1898 tersebut berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Dalam perkawinan campuran akan berlaku asas-asas Hukum Perdata Internasional (HPI) antara lain: asas bahwa perkawinan dilakukan berdasarkan hukum perkawinan dari negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (locus regit actum), dan akan berlaku pula Statuta Personalia, yaitu bahwa status personil masing-masing pihak akan mengikuti dimana saja ia berada, kemudian asas Statuta Realia, dalam hal harta perkawinan berupa benda tetap, yaitu bahwa bagi benda tetap akan berlaku hukum dimana benda tersebut terletak. 10 Pada saat ini, peraturan yang berhubungan dengan masalah-masalah HPI masih memakai produk hukum warisan zaman Belanda, yaitu Pasal-Pasal 16, 17, dan 18 A.B.(Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie 30 April 1847). Pasal 16 A.B. mengatur tentang status personal yang menganut prinsip nasionalitas atau prinsip kewarganegaraan. Pasal 17 A.B. mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu benda (Lex Rei Sitae). Pasal 18 A.B. mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu perbuatan hukum (Locus Regit Actum/Lex Loci Celebrationis). 10 Gatot Supramono, Hukum Orang Asing di Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2012), hlm. 19. Produk hukum tersebut untuk saat ini tidak memadai lagi, mengingat semakin banyak dan kompleksnya masalah-masalah HPI yang dihadapi oleh hakim-hakim di Pengadilan. Perkawinan sebagai status personal maka sebelum perkawinan dilangsungkan setiap mempelai harus memenuhi syarat-syarat materil dari hukum personal masingmasing pihak. Sedangkan formalitas yang dipakai adalah berdasarkan dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (locus regit actum). Bagi Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah negara Republik Indonesia berlaku asas lex loci celebrations. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum dimana perkawinan dilangsungkan. Perkawinan tersebut sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan. 11 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa : “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.” 12 Pada umumnya, dalam hukum perkawinan setiap negara disyaratkan adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Adanya keharusan pencatatan perkawinan tersebut merupakan syarat formal atau syarat administrasi di 11 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III bagian pertama, (Bandung: Alumni, 1995). hlm 187. 12 Undang-Undang Perkawinan, psl. 56 ayat 1 banyak negara. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. 13 Selain memenuhi Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, bagi pasangan yang melakukan perkawinan di luar negeri harus memperhatikan Pasal 56 ayat (2) UndangUndang Perkawinan yang mengatur pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia, sebagai berikut : “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.” 14 Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif ini bila tidak diperhatikan dan lalai dalam pemenuhannya akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Persoalan pencatatan perkawinan walaupun secara nyata undang-undang mengharuskan untuk dicatat, namun ketentuan tersebut masih banyak yang mengabaikannya. Mungkin karena tidak jelasnya sanksi hukum bagi pelaku, ataupun jika ada sanksi hukum tidak mampu ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Dengan dicatatkannya perkawinan pada pejabat yang berwenang, akan diperoleh kepastian hukum tentang sahnya suatu perkawinan di mata hukum. 15 13 Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha, 2010), hlm 10. 14 Undang-Undang Perkawinan, psl. 56 ayat 2. Pencatatan perkawinan sebenarnya harus disadari sebagai akta untuk membuktikan status dari istri atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan. Namun harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang tegas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. Akibat dari perkawinan campuran salah satunya adalah suami atau isteri berkewarganegaraan Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan pasangannya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa: “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut, begitu juga sebaliknya.” Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia bahwa anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Asing, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita Warga Negara Asing dengan pria Warga Negara Indonesia, sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. 16 15 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 3. 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, psl.5. Setiap orang yang lahir dari ibu berkewarganegaraan Indonesia adalah asli menjadi Warga Negara Indonesia dan sekaligus memberikan status kepada anak yang bersangkutan karena undang-undang di negara asal ayahnya mengakui dia sebagai warga negara maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas. Hal ini juga berlaku apabila sang ibu kehilangan kewarganegaraannya karena mengikuti kewarganegaraan suaminya. Hilangnya status kewarganegaraan sifatnya individual dan menjadi tanggung jawab pribadinya sendiri. Pada dasarnya melakukan perkawinan itu bertujuan untuk selama-lamanya, akan tetapi ada kalanya karena sebab-sebab tertentu mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Jadi terpaksa putus dengan sendirinya (kematian salah satu pihak suami/isteri) atau harus diputuskan oleh pengadilan (perceraian atau atas putusan pengadilan). Dalam Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. 17 Perceraian dalam perkawinan campuran termasuk dalam bidang status personal Hukum Perdata Internasional . Hal ini menjadi tidak masalah apabila suatu masalah perceraian itu dilakukan oleh suami istri yang mempunyai kewarganegaraan yang sama, tetapi menjadi kurang apabila suami istri mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran akan menimbulkan persoalan karena anak tersebut akan mengikuti kewarganegaraan salah satu dari kedua orang tuanya yang dipengaruhi oleh sistem hukum yang berlaku bagi orang 17 Undang-Undang Perkawinan, psl. 38. tuanya 18. Sistem-sistem yang dianut oleh hukum di Indonesia mengenai soal warisan tidak sama adanya karena ada banyak perbedaan dan variasi. Seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran internasional akan mempunyai permasalahan dengan status kewarganegaraannya serta hak mewarisnya Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis karena saat ini berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Hukum Waris Adat yang berlaku di Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya. 19 Hukum Waris Islam dirumuskan sebagai “perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia”. Sumber pokok Hukum Waris Islam adalah Al-Quran dan Hadits Nabi, kemudian Qias (analogon) dan Ijma’ (kesamaan pendapat). 20 Hukum Kodifikasi adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya di bidang Hukum Harta Kekayaan (karena kematian seseorang), yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mati beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga. 21 Hukum waris sama halnya dengan hukum perkawinan merupakan bidang 18 Gatot Supramono, Op.Cit, hlm.22 F. Satriyo Wicaksono, Hukum Waris Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, (Jakarta:Visimedia,2011), hlm.3. 20 Ibid. 21 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University Press, 2000) , hlm. 2. 19 hukum yang sensitif atau rawan. Keadaan inilah yang mengakibatkan sulitnya diadakan unifikasi di bidang hukum waris. Kemudian dalam Peraturan Pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum diatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur masalah harta perkawinan, ataupun kewarisan, maka melalui ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan masih tetap berlaku ketentuan hukum yang lama. Ketentuan Penutup, Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, mengatakan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.” Melalui ketentuan yang ada dalam Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa KUHPerdata (BW) masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia khususnya keturunan Tionghoa dan Eropa. Hal ini dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi dan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus 1975 No. M.A./Penb/0807/75, tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975. Dalam kenyataannya bahwa Balai Harta Peninggalan Jakarta menerbitkan Surat Keterangan Hak Mewaris atas anak yang mempunyai status Warga Negara Asing, yang secara ringkas dikemukakan dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT adalah Kamlesh Motiram Kalwani dan Johny Motiram yang berkeberatan atas dikeluarkannya Surat Keterangan Hak Mewaris oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta mengenai hak mewaris dari seorang yang bernama Sunesh Rattan Ladharam atas harta peninggalan ibunya yang bernama Swita Motiram. Almarhumah dahulu pernah menikah dengan Warga Negara Asing bernama Rattan Ladharam di Hongkong dan akhirnya bercerai. Semasa hidupnya Almarhumah Swita Motiram tidak pernah mencatatkan perkawinan maupun perceraiannya di Indonesia dan tidak pernah mendaftarkan anaknya di Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Pada saat perkawinannya hingga perceraian almarhumah Swita Motiram berstatus Warga Negara India. Setelah perceraian tersebut Sunesh Rattan Ladharam berada dibawah pengasuhan ayahnya dan berstatus Warga Negara Inggris dan almarhumah Swita Motiram kembali ke Indonesia dan berubah status menjadi Warga Negara Indonesia hingga pada saat meninggalnya. Para penggugat (Kamlesh Motiram Kalwani dan Johny Motiram) yang merupakan saudara kandung dari almarhumah Swita Motiram mengajukan gugatan bahwa anak tersebut (Sunesh Rattan Ladharam) tidak berhak mewaris atas harta peninggalan ibunya dan meminta pembatalan dari Surat Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta. Selain karena perkawinan, perceraian dan kelahiran anak tersebut tidak dicatatkan, anak tersebut merupakan Warga Negara Asing yang untuknya tidak dapat diterapkan hukum yang berlaku di Indonesia. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan putusannya mengabulkan gugatan para penggugat dan menyatakan bahwa Surat Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan Balai Harta Peninggalan Jakarta tersebut tidak sah serta mewajibkan tergugat untuk mencabut Surat Keputusan mengenai Surat Keterangan Hak Mewaris yang diberikan pada Sunesh Lattan Radham. Namun, hakim dalam memberikan putusannya ini mempunyai pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Pendapat tersebut bahwa Balai Harta Peninggalan telah benar dalam menerbitkan Surat Keterangan Hak Mewaris untuk Sunesh Lattan Radham karena beliau merupakan satu-satunya ahli waris dari almarhumah Swita Motiram tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut judul penelitian ini adalah “Kedudukan dan Hak Mewaris Anak Yang Berstatus Warga Negara Asing (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT).” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah: 1. Bagaimana kedudukan anak yang berstatus Warga Negara Asing yang perkawinan orang tuanya tidak pernah dicatatkan di Indonesia? 2. Bagaimana hak mewaris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing dari orang tua kandungnya di Indonesia? 3. Bagaimana pertimbangan hukum dari Hakim mengenai pencabutan Surat Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan Balai Harta Peninggalan Jakarta dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kedudukan anak yang berstatus Warga Negara Asing yang perkawinan orang tuanya tidak pernah dicatatkan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui hak waris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing dari orang tua kandungnya di Indonesia. 3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari hakim mengenai pencabutan Surat Keterangan Hak Mewaris yang dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan Jakarta dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT sudah sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. D. Manfaat Penelitian Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoretis maupun praktis antara lain: 1. Secara teoretis Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum waris, baik dari segi perundangannya maupun dari segi penerapannya khususnya tentang kedudukan dan hak mewaris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing, serta menambah khasanah kepustakaan dalam bidang hukum waris. 2. Secara Praktis Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan diterapkan oleh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum dibidang hukum waris khususnya yang berkaitan dengan hak mewaris dari anak yang berstatus Warga Negara Asing serta dapat memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak guna menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk mencegah masalah yang dapat timbul berkaitan dengan pewarisan serta berbagai antisipasi dan tindakan yang dapat diambil jika terjadi hambatan dalam pelaksanaannya. E. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil penelusuran dan inventarisasi yang telah dilakukan sebelumnya di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Penelitian tentang “Kedudukan dan Hak Mewaris Anak Yang Berstatus Warga Negara Asing (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT)” merupakan hal yang baru dan asli, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademik. Dan juga terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun penelitian terkait dengan kedudukan dan hak mewaris bagi anak yang berstatus Warga Negara Asing yaitu : a. Rosanty Siallagan, NIM 027011055, mahasiswa program studi kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Penerapan Pasal 916 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh Balai Harta Peninggalan Bagi Perlindungan Hak Mewaris Anak Di Bawah Umur Bagi Golongan Tionghoa (Studi Kasus Harta Peninggalan Tan Tjoen Kiah)”. b. Subur Nauli, NIM 017011026, mahasiswa program studi kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak Waris Anak Dalam Kandungan dan Kaitannya Dengan Profesi Notaris (Suatu Tinjauan Menurut Burgerlijk Wetboek)”. c. Dewi Inalya Junita Sitorus, NIM 057011017, mahasiswa program studi kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Perjanjian Pemberian Kuasa Hak Atas Tanah Oleh Indonesian Nominee Kepada Warga Negara Asing”. Apabila dilihat dari latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya terlihat perbedaan titik tolak dari sudut pandang penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yang mana pembahasannya pun akan berbeda pula, baik dari segi materi, maupun objek penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini. F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori Pada dasarnya perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. 22 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoretis. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti 23. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dalam pengalaman empiris 24. Penelitian bertujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan dan menjelaskan gejala spesifik atau proses yang terjadi, namun harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang mampu menunjukkan kebenaran melalui teori- 22 W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, (Jakarta : Raja Grafindo, 1996), hlm.2. Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta : INDHILL-CO, 1990), hlm. 67. 24 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27. 23 teori. Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. 25 Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori keadilan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya. 26 Pandangan Hans Kelsen ini bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan diperuntukan tiap individu. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangan, melainkan kebahagiaan sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh pembuat hukum dianggap sebagai kebutuhan yang patut dipenuhi. Kebutuhan ini dilihat dengan menggunakan pengetahuan rasional yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh 25 Burhan Ashosfa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 23. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, terjemahan Rasisul Muttaqien, (Bandung:Nusa Media, 2011), hlm. 45. 26 faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif. 27 Selain itu, untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tatanan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “keadilan” bermakna legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil jika benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adalah adil atau tidak adil berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif. 28 Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum. Betapapun setiap kepentingan yang ada dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum agar kepentingan itu dilindungi dan sedemokratis apapun kehidupan bernegara dan bermasyarakat suatu bangsa, tidaklah mungkin aturan-aturan itu dapat mengakomodasi semua kepentingan tersebut. Begitu pula dalam kehidupan nyata kasus-kasus yang unik jarang terjadi. Yang terjadi adalah masalah-masalah hukum dari kepentingan yang harus dilayani. Hal itupun harus dituangkan dalam aturan yang 27 Ibid. Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 17. 28 bersifat umum juga. 29 Sehubungan dengan teori yang dikemukakan diatas dapat diterapkan dalam kedudukan dan hak mewaris bagi anak yang berstatus Warga Negara Asing. Tidak ada pengaturan yang jelas untuk mengatur mengenai hak mewaris seseorang apabila dia merupakan Warga Negara Asing. Terlebih lagi jika seseorang tersebut mewaris tanpa wasiat yaitu pewarisan karena hubungan darah. Dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada mengatur mengenai status/warisan harta benda karena kematian yang ada hanya mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Sehingga masih terdapat pluralisme dalam pengaturan hukum waris di Indonesia. Menurut Pasal 1 KUHPerdata penikmatan hak-hak perdata tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan. Selain itu, menurut Pasal 852 KUHPerdata tidak ada perbedaan antara ahli waris, baik itu laki-laki maupun perempuan ataupun urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. 30 Jauh dekatnya hubungan darah dapat dikelompokkan menjadi (4) empat golongan, yaitu 31 : 1. Ahli waris golongan I 29 30 31 Peter Mahmud Marzuki , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Kencana, 2008), hlm. 15. F. Satriyo Wicaksono, Op. Cit., hlm. 13 Ibid Termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak-anak pewaris berikut keturunannya dalam garis lurus ke bawah dan janda/duda. Pada golongan I dimungkinkan terjadinya pergantian tempat (cucu menggantikan anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris). Mengenai pergantian tempat ini, Pasal 847 KUHPerdata menentukan bahwa tidak ada seorang pun dapat menggantikan tempat seseorang yang masih hidup, misalnya anak menggantikan hak waris ibunya yang masih hidup. Apabila dalam situasi si ibu menolak menerima warisan, sang anak bertindak selaku diri sendiri, dan bukan menggantikan kedudukan ibunya. 2. Ahli waris golongan II Termasuk dalam ahli waris golongan II yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudara pewaris. 3. Ahli waris golongan III Termasuk dalam ahli waris golongan III yaitu kakek nenek dari garis ayah dan kakek nenek dari garis ibu. 4. Ahli waris golongan IV Termasuk dalam ahli waris golongan IV yaitu sanak saudara dari ayah dan sanak saudara dari ibu, sampai derajat keenam. Adapun ketentuan-ketentuan menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata, yaitu sebagai berikut : a. Memiliki hak atas harta Ahli waris berdasarkan undang-undang (ab-intestato), maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian menurut ketentuan yang diatur dalam undangundang, misalnya ahli waris anak, suami, isteri, kakek, nenek, sebagaimana diatur dalam ahli waris golongan I sampai dengan IV. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 2 KUHPerdata. Pasal 2 KUHPerdata memuat ketentuan bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya, dianggap telah dilahirkan apabila untuk kepentingan si anak dalam menerima bagian dalam harta warisan. b. Hak mutlak (legitieme portie) Kepada setiap waris dalam garis lurus diberikan suatu legitieme portie. Masing-masing dapat memberlakukan haknya atas legitieme portie itu atau melepaskannya tanpa campur tangan legitimaris lainnya. 32 Namun dalam Undang-Undang Pokok Agraria dalam kaitannya dengan subjek yang dapat diberikan dan mempunyai hak atas tanah, maka sesuai dengan asas nasionalitas yang menjadi landasan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), ditentukan bahwa sesuai Pasal 9 UUPA menyatakan bahwa : “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Dalam Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa : “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.” Selanjutnya dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa : “Orang asing sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian 32 R. Soetojo Prawirohamidjojo,Op.Cit. , hlm. 8. pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lainnya yang membebaninya tetap berlangsung.” 2. Konsepsi Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh sesuatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 33 Tujuan digunakan landasan konsepsional dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh dasar konseptual, menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain: a. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. 34 b. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 35 33 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 16. Undang-Undang Perkawinan, Psl 1. 34 c. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. 36 d. Warga Negara Asing adalah warga negara yang berasal dari negara lain selain Indonesia, yang tinggal dan dan bekerja di Indonesia. e. Anak adalah anak sah. 37 f. Hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 38 g. Hak mewaris adalah hak yang timbul karena kematian. 39 h. Ahli waris adalah mereka yang mempunyai hak atas harta untuk sebagian dari si peninggal warisan 40 dan yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama. 41 35 Undang-Undang Perkawinan, Psl.57 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Psl 2. 37 Anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan ). 38 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, diterjemahkan oleh M. Isa Arief, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986),hlm 3. 39 Sebagaimana bunyi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 830 pewarisan hanya berlangsung karena kematian. 40 Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam,dan Hukum Adat, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 5 41 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 832. 36 i. Hak mutlak (legitime portie) adalah hak ahli waris yang dijamin oleh undangundang suatu bagian minimum dalam harta peninggalan pewaris. 42 G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan 43 sehubungan dengan kedudukan dan hak mewaris anak yang berstatus Warga Negara Asing. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan kedudukan dan hak mewaris anak yang berstatus Warga Negara Asing dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta nomor 141/G/2010/PTUN-JKT melalui analisis yang tajam dan tersistematis. 2. Sumber Data Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang meliputi: a. Bahan hukum primer yaitu: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Putusan Nomor: 141/G/2010/PTUNJKT, tertanggal 13 Oktober 2010 atas nama para penggugat: Kamlesh Motiram 42 A. Pitlo, Op. Cit, hlm. 2 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm.183 43 Kamlani dan Johny Motiram dan para tergugat: Ketua Balai Harta Peninggalan (tergugat I), dan Sunesh Rattan Ladharam (tergugat II Intervensi). b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dapat berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris. 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Pada metode penelitian ini, maka data-data yang diperoleh yaitu dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis berupa buku-buku, makalah-makalah, peraturanperaturan dan berbagai hal-hal yang berhubungan dengan objek pembahasan penelitian 44 serta melakukan studi dokumen terhadap Putusan Nomor 141/G/2010/PTUN-JKT, yang diperoleh dari Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. 44 Burhan Ashofa, Op.Cit., hlm.163. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif yakni penelitian dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data berdasarkan kualitasnya (tingkat keterkaitannya) dengan norma-norma, asas-asas, dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam ketentuan perundang-undangan. Analisis data tidak didasarkan pada banyaknya data yang dikumpulkan (kualitatif). 45 Data dan Putusan Nomor: 141/G/2010/PTUN-JKT dianalisis berdasarkan teori-teori yang digunakan, doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma, kaidah-kaidah yang terdapat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan KUHPerdata serta peraturan lainnya yang terpenting dan relevan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan dengan memberikan argumentasi-argumentasi yuridis atas hasil penelitian yang telah dilakukan. 45 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm.141.