BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus kajian tentang praktik marginalisasi politik pengawasan pemilu di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan hasil temuan dan analisa terhadap praktik pengawasan pemilu legislatif 2004 dan 2009 diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, terjadi praktik marginalisasi politik pengawasan pemilu. Desain politik penyelenggaraan pemilu menempatkan pengawas pemilu sebagai institusi politik penyelenggara pemilu dalam posisi yang lemah, marginal. Panwaslu tidak mempunyai otoritas memberi sanksi kepada para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu. Panwaslu tidak mempunyai kekuatan politik dan hukum untuk “memaksa” para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu untuk mematuhi Panwaslu. Tidak ada sanksi hukum bagi para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu yang mengabaikan kewenangan Panwaslu tersebut. Bahkan diantara para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu melakukan perlawanan yaitu dengan melakukan tekanan politik dan kriminalisasi Panwaslu. Kewenangan Panwaslu meneruskan kasus pelanggaran pemilu kepada aparat terkait, tidak disertai dengan adanya jaminan hukum bahwa para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu itu akan di proses dan mendapat sanksi pidana atau administrasi pemilu. Pada akhirnya beberapa aktor politisi dan partai politik pelaku pelanggaran pemilu bebas dari jerat pidana pemilu dan lolos dari sanksi 249 administrasi pemilu. Panwaslu tidak diciptakan untuk menjadi instrument politik penting untuk mendukung upaya penegakan hukum dan aturan main pemilu. Kedua, desain politik penyelenggaraan pemilu yang menempatkan pengawas pemilu dalam posisi lemah dan melakukan praktik marginalisasi politik pengawas pemilu, merupakan produk politik para aktor politik, politisi dan partaipartai politik berkuasa di DPR sebagaimana tersusun dalam desain politik penyelenggaraan pemilu. Upaya mempertahankan eksistensi lembaga pengawas pemilu dalam peta politik penyelenggaraan pemilu tidak disertai dengan penguatasn lembaga pengawas pemilu secara sungguh-sungguh. Langkah ini merupakan suatu bentuk praktik politik eksternalisasi pengawasan pemilu para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR. Aktor-aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR melepas tanggung jawab moral dan politik mengawasi, mengawal pemilu yang bersih, berkualitas, jujur, adil dan demokratis. Tanggung jawab moral dan politik itu didelegasikan kepada lembaga pengawas pemilu. Sementara itu para aktor politik, politisi dan partaipartai politik peserta pemilu sibuk dengan upaya politik meraih dukungan politik rakyat untuk meraih kekuasaan. Pada saat memperebutkan suara rakyat, para aktor politik, politisi dan partai-partai politik peserta pemilu tidak segan melakukan tindak pelanggaran pemilu. Ketiga, aktor-aktor politik, politisi dan partai-partai berkuasa menikmati keuntungan politik dibalik praktik marginalisasi politik pengawas pemilu. Posisi marginal Panwaslu membuat para aktor politik, politisi dan partai politik peserta pemilu dengan mudah dan leluasa menghindari tindakan tegas Panwaslu. Mereka 250 bebas dari jerat pidana pemilu dan lolos dari sanksi administrasi pemilu. Hal ini mendorong mereka melakukan duplikasi tindakan pelanggaran pemilu tanpa suatu kekhawatiran politik dan hukum. Kewenangan Panwaslu mengawasi aktor-aktor aparat penyelenggara pemilu (anggota KPU dan anggota sekretariat KPU) dan menyampaikan rekomendasi kepada KPU agar di bentuk Dewan Kehormatan KPU untuk mengadili para aktor aparat KPU yang melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pada akhirnya sulit terwujud. Para aktor KPU yang bertindak tidak netral, melakukan “main mata” dengan para aktor politik, politisi atau partai-partai politik peserta pemilu, akhirnya bebas dari jerat sanksi kode etik penyelenggara pemilu. Bebasnya para aktor KPU dari pengadilan kode etik penyelenggara pemilu ini menjadi semacam jaminan politik, keamanan posisinya sebagai anggota KPU, dari para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR yang menyusun desain politik penyelenggara pemilu tersebut. Para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa itu menikmati marginalisasi politik pengawas pemilu, sehingga tidak efektif mengawasi tindak netralitas aktor aparat KPU. Kondisi seperti ini terus menarik bagi para aktor politik peserta pemilu yang melakukan pelanggaran administrasi pemilu untuk terus “menggoda” KPU bertindak tidak netral, memihak kepentingan politik mereka. Sehingga para aktor politik peserta pemilu pelaku pelanggaran pemilu itu bebas dan lolos dari jerat sanksi administrasi pemilu. Keempat, marginalisasi politik pengawasan pemilu dan praktik politik eksternalisasi pengawasan pemilu, tersusun dalam desain politik penyelenggara 251 pemilu sebagai produk politik para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR. Panwaslu dibebani tanggung jawab moral dan politik mengawasi dan menindaklanjuti setiap tidak pelanggaran pemilu. Tetapi Panwaslu tidak diberi otoritas politik dan hukum yang kuat untuk melakukan penegakan hukum, memberi sanksi pemilu. Para aktor politik berkuasa di DPR menciptakan lembaga pengawas pemilu untuk mengawasi para aktor politik, politisi dan partai-partai politik peserta pemilu. Tetapi pengawas pemilu dalam posisi lemah dan terus mengalami marginalisasi politik pengawas pemilu tidak memiliki kekuatan politik dan hukum untuk menindak tegas para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu. Bahkan diantara para aktor politik itu tidak segan melakukan pelanggaran pemilu tanpa rasa takut adanya sanksi pidana pemilu atau sanksi administrasi pemilu. Sebab dalam beberapa kasus tindak pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para aktor politik, politisi dan partai politik itu bebas dari jerat sanksi hukum dan administrasi pemilu. Inilah praktik politik lempar batu sembunyi tangan para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR dalam praktik politik penyelenggaraan pemilu. Terakhir, beberapa butir kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bahan pemikiran untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang. Terutama, terkait dengan pengawas pemilu dan upaya penegakan hukum pemilu. Sehingga pemilu paska reformasi benar-benar memenuhi harapan politik rakyat. Pertama, terselenggaranya pemilu yang lebih berkualitas, bersih, bebas, jujur, adil dan demokratis. Kedua, pemilu yang 252 berkualitas, bersih, bebas, jujur, adil dan demokratis akan menghasilkan aktoraktor politik, politisi wakil-wakil rakyat dan partai-partai politik berkuasa yang bersih, mempunyai integritas moral dan visi politik meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga pemilu menjadi sarana transformasi politik demokrasi menuju masyarakat sejahtera, sekaligus meninggalkan paradigma politik lama, bahwa pemilu hanya sebagai sarana politik formal demokrasi prosedural menjadi ajang perebutan jabatan politik bagi para aktor-aktor politisi dalam buru kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. 2. Saran Pemilu yang berkualitas, bersih, bebas, jujur, adil dan demokartis terkait dengan adanya kemauan politik para aktor-aktor politik yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu (peserta pemilu, penyelenggara pemilu dan pemilih) sebagai agen politik mendukung terwujudnya pemilu yang berkualitas tersebut. Demikian pula, ketersediaan struktur (institusi penyelenggaraan pemilu) aturan main politik pemilu yang baik dan demokratis akan menciptakan situasi agen, para aktor politik yang patuh terhadap hukum, aturan main pemilu. Ada beberapa saran untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik, dan berkualitas di masa yang akan datang, terutama terkait dengan pengawasan pemilu dan penegakan hukum pemilu. Pertama, pengawasan pemilu sebaiknya menjadi mekanisme politik internal partai-partai politik peserta pemilu, yaitu dengan mengambil tanggung jawab moral dan politik untuk mewujudkan pemilu yang bebas dari kecurangan 253 dan pelanggaran. Pembentukan lembaga pengawas pemilu seperti saat ini, dari pusat (Bawaslu) sampai ke tingkat desa (PPL), tidak memiliki kekuatan kewenangan untuk menegakan hukum dan aturan main pemilu, adalah suatu bentuk pemborosan politik dan pemborosan anggaran negara. Sudah waktunya, membangun budaya politik pengawasan pemilu yang berbasis pada nilai-nilai, norma, etika, moral dan tradisi bangsa yang baik seperti sikap sportif, ksatria dan perwira dimiliki aktor-aktor politik yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, seperti aktor politik peserta pemilu, aktor aparat penyelenggara pemilu, pemilih, media dan aparat penegak hukum. Kedua, demokrasi yang berkualitas adalah adanya kepatuhan terhadap hukum dan berjalannya sanksi hukum bagi setiap pihak yang melakukan tindak pelanggaran hukum. Oleh karena itu, sesungguhnya yang dibutuhkan adalah sebuah lembaga penegak hukum pemilu yang bersifat ad hoc atau suatu bentuk lembaga pengadilan pemilu yang bersifat permanen, mempunyai kewenangan penuh untuk mengadili setindak tindak pelanggaran pemilu. Lembaga tersebut diharapkan dapat mengakhiri terjadinya pembiaran terhadap tindak pelanggaran pemilu dan tindakan curang lainnya, seperti kasus pelanggaran politik uang yang semakin luas tetapi sulit di proses Panwaslu, karena lemahnya posisi pengawas pemilu dan terjadinya praktik marginalisasi politik pengawas pemilu secara sistematis dan struktural.*** 254