BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERILAKU PROSOSIAL
1. Definisi Perilaku Prososial
Perilaku prososial merupakan tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk
membantu dan menguntungkan individu atau kelompok individu lain (Mussen,
1989). Paul Henry Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial
dilakukan secara sukarela dan bukan karena paksaan. Meskipun perilaku prososial
ditujukan untuk memberikan konsekuensi positif (bantuan) bagi orang lain,
perilaku prososial dapat dilakukan untuk berbagai alasan.
Baron, dkk (2006) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu
tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan
suatu manfaat langsung kepada orang yang melakukan tindakan menolong
tersebut, dan bahkan mungkin memberikan risiko bagi orang yang menolong.
Menurut Shaffer (2005) perilaku prososial adalah segala tindakan yang
menguntungkan orang lain, seperti berbagi dengan orang-orang yang kurang
beruntung dari pada kita, menghibur atau menolong orang yang sedih,
bekerjasama dengan atau menolong seseorang untuk mencapai suatu tujuan, atau
contoh sederhana seperti menyapa dan memberikan pujian.
Menurut Batson (1998 dalam Taylor, 2009) perilaku prososial merupakan
kategori yang sangat luas, yang mencakup setiap tindakan yang membantu atau
dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong.
Universitas Sumatera Utara
Dividio et al. (2006 dalam Franzoi, 2009) mengungkapkan bahwa perilaku
prososial adalah perilaku yang dengan sukarela bertujuan untuk menolong orang
lain. Perilaku prososial juga dikatakan lebih mendasar, yang artinya tindakan
tersebut bermaksud untuk memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan
tersebut tidak dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan
penerima adalah orang dan bukan organisasi (Bierhoff, 2002).
Kenrick (2010) mengungkapkan bahwa perilaku prososial merupakan
suatu tindakan yang menguntungkan orang lain yang mana hal ini juga berlaku
ketika si penolong memiliki tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Kenrick
mengemukakan beberapa tujuan dari tindakan prososial, yaitu meningkatkan
kesejahteraan tiap individu, menaikkan status sosial, mengatur self-image, serta
mengatur mood dan emosi.
Berdasarkan pengertian perilaku prososial yang dibuat oleh berbagai tokoh
diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan menolong
atau memberikan bantuan yang ditujukan untuk menguntungkan orang lain (tanpa
mengharapkan imbalan) atau menguntungkan diri sendiri, tanpa ada unsur
paksaan.
2. Faktor-faktor Penentu Perilaku Prososial
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain (Baron, 2006):
a. Faktor internal, terdiri dari guilt dan mood
b. Faktor eksternal, terdiri dari social norms, number of bystanders, time
pressures, dan similarity
Universitas Sumatera Utara
c. Faktor karakteristik penolong (helpers’ dispositions), terdiri dari
personality trait, gender, dan religious faith.
Para peneliti kepribadian mengemukakan 3 hal penting (Baron, 2006), yakni:
a) Adanya
individual
differences
dalam
perilaku
menolong,
dan
menunjukkan bahwa perilaku menolong tersebut bertahan lama atau
menetap dan dapat diamati oleh orang lain. Orang-orang yang dapat
dipercaya cenderung lebih suka menolong.
b) Para peneliti mengumpulkan bukti-bukti sebagai network of traits
(kumpulan trait yang berhubungan) yang menunjukkan kecenderungan
seseorang untuk memberikan pertolongan. Trait yang tinggi dalam hal
emosi positif, empati, dan self-efficacy adalah yang paling mendapatkan
perhatian dan dapat dikategorikan suka menolong.
c) Kepribadian mempengaruhi bagaimana orang-orang merespon pada
situasi-situasi tertentu. Self-monitoring yang tinggi disesuaikan dengan
harapan orang lain disebut sebagai „suka menolong‟ jika mereka berpikir
bahwa pertolongan yang mereka berikan tersebut akan mendapatkan
reward secara sosial.
Staub (1978) mengkategorikan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya
perilaku prososial ke dalam:
a. The Situation
Pengaruh sosial merupakan elemen yang sangat penting dari sebuah
situasi. Orang-orang saling memberi pengaruh yang kuat satu sama lain. Salah
satu unsur dari faktor situasi ini adalah sifat stimulus untuk perilaku prososial.
Universitas Sumatera Utara
Stimulus tersebut dapat berbeda pada beberapa dimensi. Unsur lainnya dari faktor
ini adalah sifat dari kondisi di sekitar stimulus.
b. Temporary States of Potential Helpers
Faktor lain yang mempengaruhi perilaku prososial adalah bagaimana
perasaan orang-orang yang berada dalam posisi untuk membantu melihat orang
lain yang membutuhkan bantuan. Apakah mereka merasa baik atau buruk,
kompeten atau tidak kompeten. Apakah sesaat harga diri mereka tinggi atau
rendah. Apakah perhatian dan kepedulian mereka sangat terfokus pada diri
mereka sendiri, atau mereka “bebas” untuk mengurus orang lain.
c. Relationship to Potential Recipients of Help
Hubungan seseorang dengan orang lain mungkin sangat penting dalam
menentukan apakah seseorang tersebut akan membantunya. Mempertimbangkan
apakah ada hubungan timbal balik atau hubungan yang saling menguntungkan
pada masing-masing pihak atau tidak.
d. Personality Characteristics
Segala jenis karakteristik kepribadian adalah penting dalam menentukan
perilaku prososial, terutama yang dihubungkan dengan faktor situasi. Selain dari
faktor situasi, orang-orang cukup sering mencari kesempatan untuk terlibat dalam
tindakan prososial ini. Faktor penentu perilaku ini juga penting untuk
dipertimbangkan.
e. Psychological Processes
Pemahaman kita mengenai penentuan perilaku sosial secara positif,
kemampuan kita untuk memprediksi perilaku tersebut, dan kapasitas kita untuk
Universitas Sumatera Utara
menerapkan praktik sosialisasi yang akan mendorong keinginan orang lain untuk
berperilaku prososial, apabila kita tahu mengapa pada kondisi tertentu seseorang
akan atau tidak akan (kurang) berperilaku prososial.
Menurut Sears (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara
lain:
a. Faktor situasi, terdiri dari:
1) Kehadiran orang lain
Kehadiran orang lain terkadang dapat menghambat usaha untuk menolong,
karena orang yang begitu banyak menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung
jawab.
2) Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan disebut juga sebagai keadaan fisik, mempengaruhi
kesediaan untuk membantu. Keadaan fisik ini meliputi cuaca, ukuran wilayah, dan
tingkat kebisingan.
3) Tekanan waktu
Dalam penelitian Darley dan Batson (dalam Sears, 1994) membuktikan
bahwa kadang-kadang seseorang berada dalam keadaan tergesa untuk menolong.
Keadaan ini menekan individu untuk tidak melakukan tindakan menolong, karena
memperhitungkan keuntungan dan kerugian.
b. Faktor karakteristik penolong, terdiri dari:
1) Kepribadian
Kepribadian
setiap
individu
berbeda-beda,
salah
satunya
adalah
kepribadian individu yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk dapat diakui oleh
Universitas Sumatera Utara
lingkungannya. Kebutuhan ini akan memberikan corak yang berbeda dan
memotivasi individu untuk memberikan pertolongan.
2) Suasana hati
Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan perhatian pada
diri kita sendiri yang menyebabkan mengurangi kemungkinan untuk membantu
orang lain. Pada situasi seperti ini, apabila kita beranggapan bahwa dengan
melakukan tindakan menolong dapat mengurangi suasana hati yang buruk dan
membuat kita merasa lebih baik mungkin kita akan cenderung melakukan
tindakan menolong.
3) Rasa bersalah
Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila kita
melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk mengurangi rasa
bersalah dapat menyebabkan kita menolong orang yang kita rugikan atau berusaha
menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang lebih baik.
4) Distress diri dan rasa empati
Distress diri adealah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain,
perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami.
Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya
untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan
orang lain.
c. Faktor orang yang membutuhkan pertolongan, terdiri dari:
1) Menolong orang yang disukai
Universitas Sumatera Utara
Individu yang mempunyai perasaan suka terhadap orang lain dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik atau adanya kesamaan antar individu.
2) Menolong orang yang pantas ditolong
Individu lebih cenderung melakukan tindakan menolong apabila individu
tersebut yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang
tersebut.
3. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Aspek-aspek perilaku prososial menurut Mussen (1989), meliputi:
a. Sharing (berbagi), yaitu kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain
baik dalam suasana suka maupun duka. Berbagi dilakukan apabila
penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui
dukungan verbal dan fisik.
b. Cooperating (bekerjasama), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan
orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerja sama biasanya
mencakup hal-hal yang saling menguntungkan, saling memberi, saling
menolong, dan menenangkan.
c. Helping (menolong), yaitu kesediaan untuk menolong orang lain yang
sedang dalam kesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain,
memberi informasi, menawarkan bantuan kepada orang lain, atau
melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang
lain.
Universitas Sumatera Utara
d. Donating (memberi atau menyumbang), yaitu kesediaan berderma,
memberi secara suka rela sebagian barang miliknya untuk yang
membutuhkan.
e. Honesty (kejujuran), yaitu kesediaan untuk tidak berbuat curang
terhadap orang lain.
B. KEPRIBADIAN BERDASARKAN TEORI BIG FIVE
1. Definisi Kepribadian Berdasarkan Teori Big Five
Pervin (2010) menyebutkan bahwa kepribadian adalah karakteristik
seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan
perilaku. Menurt Allport, trait adalah karakteristik yang kontinum berbeda–beda
pada setiap orang untuk memandu perilaku setiap orang. Menurut Catteel, reaksi
kecenderungan yang berasal dari analisis faktor merupakan bagian dari
kepribadian permanen. Dan menurut Eysenk trait merupakan habitual response
yang bersifat konsisten dan saling berhubungan satu sama lain. Eysenck dan
Cattel sama-sama mengakui bahwa trait adalah unit dasar kepribadian, yang
merupakan kecenderungan umum untuk merespon dengan cara tertentu (dalam
Pervin dkk, 2010).
Teori kepribadian Big Five merupakan kesimpulan dari definisi para tokoh
tersebut. McCrae dan Costa (dalam Pervin, 2010) membagi ke dalam 5 besar
faktor
atau
dimensi
kepribadian,
yaitu
Openness,
Conscientiousness,
Extroversion, Agreeableness, dan Neuroticism (OCEAN).
Universitas Sumatera Utara
2. Dimensi Kepribadian Berdasarkan Teori Big Five
Berdasarkan teori Big Five terdapat 5 tipe dalam kepribadian. McCrae dan
Kosta (dalam Pervin, 2005) menggambarkan kelima tipe tersebut sebagai berikut:
1) Neuroticism (N).
Tipe ini mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis
yaitu yang mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas yang berlebihan,
memiliki dorongan yang berlebihan dan memiliki coping respon yang maladaptif
atau tidak sesuai. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Neuroticism VS
Emotional Stability. Neuroticism dikarakteristikkan dengan kekhawatiran, cemas,
emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak
beralasan. Sedangkan, Emotional Stability dikarakteristikkan dengan sifat yang
tenang, santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.
2) Extroversion (E).
Tipe ini melihat kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal yang
dimiliki individu yaitu tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi dan
kemampuan bersenang–senang individu. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah
Introversion VS Extroversion. Introversion dikarakteristikkan dengan tidak ramah,
tenang, tidak periang, menyendiri, task-oriented, pemalu, dan pendiam.
Sedangkan, extroversion dikarakteristikkan dengan mudah bergaul, aktif, banyak
bicara, person-oriented, optimis, menyenangkan, penuh kasih sayang, dan
bersahabat.
Universitas Sumatera Utara
3) Openness (O).
Tipe ini melihat keterbukaan individu untuk mencari, menghargai dan
mengeksplorasi pengalaman baru. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah
Closedness VS Openness. Closedness dikarakteristikkan dengan mengikuti apa
yang sudah ada, down to earth, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa
seni, dan kurang analitis. Sedangkan, openness dikarakteristikkan dengan rasa
ingin tahu yang tinggi, ketertarikan luas, kreatif, original, imajinatif, tidak
„ketinggalan jaman‟.
4) Agreeableness (A).
Tipe ini melihat kualitas orientasi personal individu, perasaan dan
perbuatan yang penuh kasih sayang hingga yang antagonis. Dimensi bipolar dari
faktor ini adalah Antagonism VS Agreeableness. Antagonism dikarakteristikkan
dengan sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam,
mudah marah, dan manipulatif. Sedangkan, agreeableness dikarakteristikkan
dengan berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan,
mudah untuk dimanfaatkan dan berterus terang.
5) Conscientiousness (C).
Tipe ini melihat motivasi, pendirian serta kemampuan mengorganisasikan
sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack
of Direction VS Conscientiousness. Lack of Direction dikarakteristikkan dengan
tidak bertujuan tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono,
tidak disiplin, keinginan lemah, dan suka bersenang-senang. Sedangkan,
Universitas Sumatera Utara
Conscientiousness dikarakteristikkan dengan teratur, dapat dipercaya, pekerja
keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, dan tekun.
Berdasarkan kelima tipe kepribadian tersebut, terdapat beberapa tipe yang
berkaitan dengan perilaku prososial ditinjau dari aspek-aspek perilakunya, yaitu
tipe extroversion dan agreeableness. Extroversion, di mana individu lebih
menyukai dan dominan melakukan segala kegiatan bersama-sama dengan
individu lain (Pervin, 2005), memiliki kesamaan / keterkaitan dengan aspek
cooperating dalam perilaku prososial. Sifat ini dimaknai dengan adanya keinginan
untuk bekerjasama dengan orang lain (Mussen, 1989). Pada tipe agreeableness,
individu cenderung melakukan tindakan yang penuh kasih sayang yang dicirikan
dengan perilaku yang suka menolong, mempercayai orang lain sehingga
cenderung mudah untuk dimanfaatkan sesamanya, mudah memaafkan, dan jujur
ketika menyampaikan suatu hal (Pervin, 2005). Hal ini memiliki kesamaan
dengan hampir semua aspek perilaku prososial yaitu sharing, helping, donating,
dan honesty.
C. SUKU BATAK TOBA
Batak Toba adalah sebuah suku di Pulau Sumatera, Indonesia. Sejak
masuknya penginjil I. L. Nomensen ke tanah Batak, mayoritas orang Batak Toba
beragama Kristen. Batak Toba merupakan salah satu sub suku Batak yang berada
di Sumatera Utara yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing,
Batak Pakpak, dan Batak Simalungun. Secara geografis, sub suku Batak Toba
cukup banyak berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi
Universitas Sumatera Utara
Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla (Sagala,
2008).
Menurut Bayral Hamidy Harahap dan Hotman Siahaan (Sitanggang,
2009), terdapat 9 nilai budaya utama suku Batak Toba yang menjadi falsafah
hidup mereka, yaitu :
1. Kekerabatan
Mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan
darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, dan
Boru) Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendekiawan)
serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan
dan solidaritas marga.
2. Religi
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama
yang datang kemudian, yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta
hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.
3. Hagabeon
Mencakup keyakinan akan keberhasilan dalam segala hal, atau secara
spesifik keyakinan untuk memiliki banyak keturunan dan panjang umur.
4. Uhum (Hukum)
Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum
merupakan nilai yang kuat disosialisasikan orang Batak. Budaya menegakkan
kebenaran dan berkecimpung dalam hukum merupakan dunia orang Batak.
5. Hamajuon
Universitas Sumatera Utara
Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu.
Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi ke seluruh
pelosok tanah air.
6. Hamoraon
Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan
mendorong orang Batak Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.
Hamoraon dalam kehidupan sehari-hari orang Batak merupakan misi budaya yang
menonjol. Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.
7. Hasangapon
Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan nilai
utama yang memberi dorongan yang kuat untuk meraih kejayaan. Hasangapon
diperoleh setelah memenuhi Hagabeon dan Hamoraon, serta dibarengi dengan
bisuk (arif dan bijaksana).
8. Konflik
Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan
kekerabatan melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil
nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang merupakan sumber konflik yang
abadi bagi suku Batak Toba.
9. Pengayoman
Kehadiran pengayom, pelindung, dan pemberi kesejahteraan umumnya
hanya diperlukan dalam keadaan yang mendesak.
Berkaitan dengan falsafah pertama, suku Batak Toba sangat mahir dalam
memaparkan hubungan kekerabatan yang dikaitkan dengan marga-marga.
Universitas Sumatera Utara
Solidaritas marga yang sangat kuat pada suku Batak Toba sudah dikenal secara
luas (Sianipar, 2008).
Jan Pieter Sitanggang (2009) mengungkapkan 2 istilah yang berkaitan
dengan sistem sosial atau falsafah kekerabatan masyarakat Batak Toba.
Marsiadapari atau istilah untuk berkumpulnya orang-orang Batak, merupakan
sebuah kegiatan yang berupa arisan kerja dan bagian dari sistem gotong-royong.
Ada juga istilah lainnya yang serupa dengan marsiadapari namun terkadang
masih dibedakan penggunaannya, yaitu mangarumpa. Mangarumpa adalah
kegiatan di mana seseorang atau kelompok memberikan bantuan umum yaitu
bantuan yang diberikan oleh siapa saja, misalnya dalam bertetangga ketika
pembangunan rumah, pemasangan atap rumah, atau kegiatan lain yang
membutuhkan banyak tenaga.
Pada suatu bentuk perkumpulan suku Batak Toba, dalam hal pendanaan
ada yang secara suka rela membantu dan ada pula yang dengan keinginan agar
dirinya diketahui sebagai penentu keberhasilan perkumpulan tersebut (Sitanggang,
2009).
D. HUBUNGAN
TIPE
EXTROVERSION
DAN
AGREEABLENESS
DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SUKU BATAK TOBA
Suku Batak Toba adalah salah satu sub suku Batak yang berada di
Sumatera Utara (Sagala, 2008). Suku Batak Toba sangat mahir dalam
memaparkan hubungan kekerabatan, secara khusus yang telah dikenal secara luas
yaitu solidaritas marga yang sangat kuat pada suku Batak Toba (Sianipar, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Sisi solidaritas tersebut diterapkan dalam berbagai jenis kegiatan dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya marsiadapari dan mangarupa yang merupakan kegiatan
memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukan banyak tenaga, serta
pada acara adat pernikahan, kematian, dan acara-acara adat lainnya (Sitanggang,
2009).
Kegiatan-kegiatan dalam sistem sosial tersebut merupakan bagian dari
perilaku prososial, yang mana mencakup suatu tindakan yang menguntungkan
orang lain dan hal ini juga berlaku ketika si penolong memiliki tujuan untuk
menguntungkan diri sendiri (Kenrick, 2010). Perilaku prososial mencakup
kategori yang sangat luas, yang merupakan setiap tindakan membantu atau
dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong (Taylor,
2009).
Perilaku prososial terdiri dari beberapa aspek (Mussen, 1989), yaitu
sharing (berbagi), cooperating (bekerjasama), helping (menolong), donating
(memberi atau menyumbang), dan honesty (kejujuran). Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku prososial (Baron, 2006), dapat berupa faktor internal
(terdiri dari rasa bersalah dan mood), eksternal (terdiri dari norma sosial, jumlah
pengamat, tekanan waktu dan similarity), dan karakteristik penolong (terdiri dari
personality trait, gender, religious faith).
Kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
prososial individu. Kepribadian dapat diartikan sebagai karakteristik seseorang
yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku
(Pervin, 2010). Hal-hal penting yang berkaitan dengan perilaku sosial dan
Universitas Sumatera Utara
kepribadian di antaranya ialah: (a) ada perbedaan pada masing-masing individu
dalam perilaku menolong (individual differences), (b) adanya hubungan trait-trait
tertentu yang dapat menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memberikan
pertolongan, dan (c) kepribadian mempengaruhi bagaimana orang-orang
merespon pada situasi-situasi tertentu (Baron, 2006).
Berdasarkan teori Big Five, kepribadian digambarkan ke dalam 5 besar
tipe, yaitu Openness, Conscientiousness, Extroversion, Agreeableness, dan
Neuroticism (OCEAN). Dua di antaranya memiliki keterkaitan dengan perilaku
prososial, yaitu extroversion dan agreeableness. Kedua tipe kepribadian ini
memiliki kesamaan karakteristik dengan aspek-aspek perilaku prososial,
sedangkan ketiga tipe lainnya tidak memenuhi unsur-unsur dari aspek perilaku
prososial. Tipe extroversion memiliki kesamaan dengan aspek cooperating pada
perilaku prososial, yakni individu bersedia dan dominan bekerjasama dengan
orang lain. Sedangkan tipe agreeableness memiliki kesamaan dengan aspek
sharing, donating, helping, dan honesty pada perilaku prososial, yakni individu
cenderung bersikap jujur, bersedia berbagi perasaan dengan orang lain serta
membantu individu lainnya dengan ikhlas hati (Mussen, 1989).
E. HIPOTESA
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka hipotesa penelitian
adalah :
H1 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian extroversion dan
agreeableness dengan perilaku prososial pada suku Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
H2 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian extroversion dengan
perilaku prososial pada suku Batak Toba.
H3 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian agreeableness dengan
perilaku prososial pada suku Batak Toba.
Semakin tinggi extroversion dan agreeableness, maka kecenderungan
perilaku prososial juga semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.
F. KERANGKA BERPIKIR
Suku Batak
Toba
memiliki
Sistem Sosial :
perilaku
prososial
Dipengaruhi oleh
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial :
o Internal (guilty & mood)
o Eksternal (social norms, number of bystanders,
time pressures, dan similarity)
o Karakteristik penolong (personality trait, gender,
dan religious faith)
Kepribadian berdasarkan
teori Big Five :
 Extroversion
 Agreeableness
Memiliki
hubungan
dengan aspekaspek perilaku
prososial
Universitas Sumatera Utara
Download