SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB V SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017 BAB V SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN A. Kompetensi Inti Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu B. Kompetensi Dasar Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu C. Uraian Materi Pembelajaran 1. Arti Penting Sosialisasi Pada kegiatan belajar ini, saya akan mengajak Anda untuk memperdalam materi tentang sosialisasi dan pembentukan kepribadian. Baiklah sebelum kita memperdalam hubungan antara sosialisasi dan pembentukan kepribadian, pertama-tama saya akan mengajak Anda untuk memahami pengertian sosialisasi dan arti penting sosialisasi. Orang yang baik di mata masyarakat adalah orang yang berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat itu. Ketertiban masyarakat tidak lahir dari proses yang bersifat kodrati atau bersifat alamiah, melainkan lahir melalui proses belajar. Proses belajar seperti itu berlangsung secara terus menerus sepanjang hayat dan sepanjang masyarakat itu masih ada. Proses belajar seperti itulah yang dalam sosiologi disebut dengan sosialisasi. Melalui sosialisasi, individu-individu masyarakat belajar mengetahui dan memahami perilaku apakah yang boleh dilakukan dan perilaku apakah yang tidak boleh dilakukan dalam masyarakat. Sementara tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai seorang anak, sebagai seorang adik, kakak, dan seterusnya disebut dengan peran (role). Dengan demikian apa yang disebut dengan status? Dan apa pula yang dimaksudkan dengan peran? Status adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok atau masyarakat. Sedangkan peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memegang status. Agar seorang individu dapat memainkan peran sesuai dengan yang diharapkan oleh kelompok dan masyarakatnya dibutuhkan proses belajar bagaimana cara memainkan peran sesuai dengan statusnya masing-masing. Proses pembelajaran yang 1 diberikan oleh lingkunagn keluarga, sekolah, dan masyarakat kepada individu, dan proses belajar peran yang dilakukan secara perorangan disebut dengan sosialisasi. Melalui sosialisasi, anggota masyarakat akan saling mengetahui peranan masing-masing dalam masayarakat, dan karena itu anggota masayarakat dapat berperilaku sesuai dengan peranan sosial masing-masing itu, tepat sesuai yang diharapkan oleh norma-norma sosial yang ada. Selanjutnya, antaranggota masyarakat dapat saling menyesuaikan perilakunya ketika melakukan interaksi sosial. Gambar 5.1 Ibu Melakukan Sosialisasi Cara Makan yang Baik Kepada Anak Sumber: https://images.detik.com/content/2013/10/12/857/105509_makansehat.jpg?w=500&q=90 Sosialisasi adalah suatu proses belajar yang seseorang menghayati (internalisasi) norma-norma sosial dimana ia hidup sehingga menjadi individu yang baik. Sosialisasi adalah suatu proses mempelajari kebiasaan dan tata kelakukan untuk menjadi bagian dari suatu masyarakat. Sosialisasi yang sempurna dalam kenyataannya memang tidak selamanya dapat diwujudkan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial seringkali terjadi. Setiap hari kita membaca surat kabar atau menyaksikan di layar televisi tentang orang ditangkap polisi kemudian diadili di lembaga peradilan. Tindakan-tindakan seperti itu merupakan upaya masyarakat untuk menjaga ketertiban masyarakat. Untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat, pelanggaran terhadap norma-norma sosial akan diberikan sanksi, mulai dari sanksi sosial berupa dipergunjingkan, dicemooh, dikucilkan hingga sanksi hukum, seperti diadili kemudian dipenjara. Sebaliknya, anggota masyarakat 2 yang mematuhi norma-norma sosial akan mendapatkan ganjaran (reward), seperti dipuji, disanjung, dihormati, dan sebagainya. Proses sosialisasi berlangsung secara terus menerus dari generasi ke generasi. Proses sosialisasi mempunyai peran yang sangat penting bagi keberlangsungan keadaan tertib masyarakat. Hanya melalui sosialisasi, norma-norma sosial dapat diwariskan dari generasi ke genarasi. Bagi individu, sosialisasi juga mempunyai peran agar dapat hidup normal dalam masyarakat. Hanya melalui sosialisasi, anggota masyarakat akan menyesuaikan perilakunya dengan norma-norma sosial. Anggota masyarakat yang cukup banyak menjalani proses sosialisasi akan mendapatkan kemudahan dalam hidup di masyarakat. Sebaliknya, anggota masyarakat yang hanya sedikit menjalani proses sosialisasi akan mengalami kesulitan dan akan mengganggu ketertiban masyarakat. Sosialisasi dapat dibedakan menjadi sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer dikaitkan dengan pembentukan dasar atau awal kepribadian. Dalam diri anak, proses ini dimulai dengan mengakumulasi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi anggota dalam masyarakat tertentu. Proses ini melibatkan berbagai aktivitas, seperti bermain, meniru, dan mengamati. Aktor penting atau orang yang berpengaruh adalah orangtua, teman sebaya, dan saudara kandung. Sementara itu, sosialisasi sekunder terdiri atas pengalaman-pengalaman yang komplek dan terjadi sepanjang masa untuk menjadi anggota masyarakat atau kelompok budaya tertentu. Proses ini menunjuk pada proses yang lebih luas mengenai keterampilan, pengetahuan dan peran yang dipelajari secara lebih mendalam dalam kehidupan. Sosialisasi sekunder merupakan proses memahami dan merasakan berbagai budaya yang ditunjukkan dalam kehidupan secara keseluruhan (Scott, 2011: 259-260). 2. Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian Kepribadian individu manusia tidak dibawa sejak lahir, namun dibentuk oleh lingkungan sosialnya, yaitu keluarga, sekolah, tetangga, kelompok sebaya, dan organisasi. Pengaruh lingkungan sosial itulah yang membentuk kepribadian seseorang. Warisan biologis hanyalah menyediakan bahan mentah kepribadian. Persamaan biologis membantu menjelaskan beberapa persamaan dalam kepribadian. Manusia dilahirkan tidak sebagai organisme yang tegas dan dengan susunan saraf yang telah sempurna, atau 3 dengan kata lain manusia pada saat dilahirkan tidak memiliki insting-insting kodrati yang diwarisi secara biologis. Dalam kondisi demikian dibutuhkan lingkungan sosial yang membentuk atau mempengaruhi kepribadian manusia. Demikian juga dalam pembentukan kepribadian, manusia sangat tergantung pada orang lain atau kelompoknya. Kepribadian seseorang tidak bersifat kodrati, melainkan dibentuk setelah ia dilahirkan ke dunia. Pembentukan kepribadiannya melalui dua proses, yaitu: pertama, proses sosialisasi tanpa sengaja melalui interaksi sosial, dan kedua, proses sosialisasi secara sengaja melalui proses pendidikan dan pengajaran (Narwoko dan Suyanto, 2004: 66). Proses sosialisasi tanpa sengaja terjadi apabila seorang individu yang disosialisasi menyaksikan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan sekitarnya di dalam interaksi antarmereka, kemudian individu melakukan internalisasi pola-pola tingkah laku dan pola-pola interaksi itu beserta norma-norma sosial yang mendasarinya ke dalam mentalnya (Narwoko dan Suyanto, 2004: 66-67). Proses sosialisasi yang disengaja terjadi apabila seorang individu (yang disosialisasi) mengikuti pengajaran dan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidikpendidik yang mewakili masyarakat, dengan tujuan yang disadari agar norma-norma sosial bisa dipahami individu yang disosialisasi tersebut dan bisa tertanam baik-baik dalam batinnya (Narwoko dan Suyanto, 2004: 67). Norma-norma sosial, pola-pola tingkah laku, dan nilai-nilai budaya yang disosialisasikan secara langsung melalui proses pendidikan dan pengajaran maupun sosialisasi secara tidak langsung kesemuanya diperhatikan dan diterima oleh individu yang tengah terbentuk kepribadiannya, kemudian diinternalisasikan ke dalam mentalnya. Dapat dikatakan bahwa individu yang telah mengalami proses ini telah terbentuk kepribadiannya. 3. Agen-agen Sosialisasi dalam Pembentukan Kepribadian a. Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak yang baru lahir mengalami proses sosialisasi. Di keluarga inilah seorang anak mengenal lingkungan sosial dan budayanya, dan juga mengenal anggota keluarganya. Pembentukan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh bagiamana keluarga itu memberikan pendidikan kepada anakanaknya, baik melalui kebiasaan, teguran, nasihat, perintah, atau larangan. Kepribadian 4 anak ditentukan oleh bagaimana orangtua dan anggota keluarga lain memotivasi anak agar mau mempelajari pola perilaku yang diajarkan kepadanya. Motivasi positif dengan memberikan ganjaran (reward) kepada anak apabila berhasil melakukan sesuatu yang bermanfaat. Motivasi negatif dengan memberikan hukuman (punishment) apabila anak tidak mentaati perintah atau melanggar larangan. Pada nuclear family (keluarga inti), sosialisasi hanya dilakukan oleh ayah dan ibunya, atau mungkin oleh saudara kandung. Pada extended family (keluarga luas), agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan mencakup pula kakek, nenek, paman, atau bibi. Pada keluarga menengah dan atas di perkotaan pembantu rumahtangga pun juga memegang peran penting dalam sosialisasi anak, setidak-tidaknya pada tahap awal. b. Sekolah Baiklah saya akan mengajak Anda untuk mengenal agen sosialisasi berikutnya yaitu sekolah, paling tidak bagi masyarakat yang sudah mengenal pendidikan formal. Di sekolah seseorang mempelajari hal baru yang belum dikenalnya dalam keluarga. Pendidikan formal mempersiapkan anak untuk menguasai peran-peran baru di kemudian hari pada saat dia tidak tergantung lagi pada orangtuanya. Kegiatan yang dilaksanakn anak di sekolah adalah aturan mengenai kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesifitas. Di sekolah seorang anak harus belajar untuk mandiri. Di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh tanggungjawab. Ketergantungan terhadap orangtua seperti di rumah tidak terjadi, guru menuntut kemandirian dan tanggungjawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Guru merupakan aktor yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan sistem nilai dan norma yang dikontruksi oleh sekolah sebagai struktur sosial. Oleh karena itu, guru memiliki fungsi ganda, selain sebagai eksekutor implementasi norma di lapangan, guru juga sebagai kontrol sosial untuk menjaga atau mengawasi agar normanorma sosial bisa berjalan dengan baik. 5 Gambar 5.1 Salah Satu Bentuk Sosialisasi Nilai dan Norma di Sekolah Sumber: http://jabar.tribunnews.com/2015/08/28/breaking-news-foto-wow-blogger-isisosialisasi-medsos-sehat-di-sekolah Aturan yang dipelajari anak di sekolah adalah universalime. Di sekolah setiap anak mendapatkan perlakuan yang sama. Perlakuan yang berbeda hanya dibenarkan apabila didasarkan pada kelakuan peserta didik di sekolah. Di sekolah, kegiatan peserta didik atau penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi secara spesifik. Kekeliruan yang dilakukan oleh seorang peserta didik dalam mata pelajaran sosiologi, misalnya, sama sekali tidak mempengaruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya dalam mata pelajaran yang lain. c. Kelompok Bermain Nah, Anda sudah mempunyai pemahaman dua agen sosialisasi yang baru kita pelajari bersama, yaitu keluarga dan sekolah. Marilah kita sekarang memahami agen sosialisasi yang ketiga, yaitu kelompok bermain. Setelah mulai dapat berpergian seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain yaitu teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat atau tetangga dan teman sekolah. Di dalam kelompok bermain ini seorang anak mempelajari kemampuan baru. Di rumah, seorang anak mempelajari hubungan antaranggota keluarga yang tidak sederajat, dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage, yakni mempelajari aturan yang mengatur peran 6 orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok ini pula seorang anak mempelajari nilai-nilai keadilan, kebersamaan, tolong menolong, maupun kerjasama. Gambar 5.2 Geng Motor Sebagai Bentuk Kelompok Permainan Sumber: http://www.ampera.co/baca/inilah-30-geng-motor-palembang-yang-dipantau-polrestapalembang/ 4. Teori Sosialisasi Baiklah setelah Anda memahami agen sosialisasi, saya akan mengajak Anda untuk memahami sosialisasi secara teoritik. Salah satu teori sosialisasi dikemukakan oleh George Herbert Mead. Mead dalam bukunya berjudul “Mind, Self, and Society”, menguraikan tahap pengembangan diri manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead, pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other (Leight, 1989: 48-50). Setiap anggota masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat, suatu proses yang dinamakan sebagai pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan oleh orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada ini 7 seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Pada play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orangtuanya atau peran orang dewasa lain yang sering berinteraksi dengan dia. Namun dalam tahap ini, seorang anak sepenuhnya memahami isi peran-peran yang ditirunya. Dalam tahap ini, seorang anak dapat berpura-pura menjadi dokter, petani, guru atau polisi, tetapi mereka tidak mengetahui mengapa petani mencangkul, dokter menyuntik, polisi menginterogasi maling, dan guru mengajar muridnya. Pada tahap game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain. Seseorang telah dapat mengambil peran orang lain. Seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut. Pada tahap awal sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain (ayah dan ibu). Menurut Mead, orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant other. Pada tahap ketiga sosialisasi, seseorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan oleh orang lain dalam masyarakat. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain. Menurut Charles Horton Cooley, konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini disebut looking-glass self (Horton dan Hunt, 1991: 100). Nama ini analog dengan orang yang sedang bercermin. Kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. Looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pertama, seseorang mempunyai persepsi terhadap pandangan orang lain terhadapnya. Kedua, seseorang mempunyai persepsi tentang penilaian orang lain terhadap penampilannya. Ketiga, seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya. Perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai dirinya. Diri seseorang merupakan pencerminan penilaian orang lain (looking-glass self). 8 Erik Erikson (dalam Horton dan Hunt, 1991: 111-112) mengembangkan teori sosialisasi siklus kehidupan (life cycle socialization) melalui delapan tahap yang disebut dengan krisis identitas (identity crisis). Krisis identitas adalah titik balik dalam perkembangan ketika seseorang harus masuk ke dalam satu dari dua arah yang umum. Delapan tahap tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Tahapan Krisis Kehidupan Menurut Erik Erikson No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Usia Krisis Identitas yang Harus Kebajikan Dasar untuk Dipecahkan Dikembangkan Masa bayi Percaya vs tidak percaya Harapan Masa kanak-kanak awal Otonomi vs malu dan Kemauan (2-3 tahun) bimbang Masa bermain Inisiatif vs rasa bersalah Tujuan (4-5 tahun) Masa sekolah Kerajinan vs rasa rendah diri Kecakapan (6-11 tahun) Remaja (12-18 tahun) Identitas vs kekacauan Kesetiaan peran Dewasa (19-35 tahun) Keakraban vs isolasi Kasih sayang Setengah umur (36-50 Generativitas vs stagnasi Perawatan tahun) Masa tua (51+) Integritas vs keputusasaan Kebijakan Sumber: Horton dan Hunt, 1991: 111 Tahap-tahap ini bermula pada masa bayi, ketika bayi belajar rasa percaya diri atau rasa tidak percaya. Apabila orangtuanya secara konstan mencintai dan memperhatikan kebutuhan fisiknya, bayi tersebut membentuk perasaan aman dan percaya. Sebaliknya, apabila orangtuanya tidak mencintai dan memperhatikan, bayi tersebut akan menjadi merasa tidak aman dan tidak percaya pada orang lain. Pada tahap kedua, masa kanakkanak awal, anak-anak belajar berjalan, berbicara, mempergunakan tangannya, dan melakukan berbagai hal lain. Mereka mulai membangun otonomi, yaitu mereka mulai memilih sendiri, mengungkapkan keinginan-keinginanannya, membentuk dan mengejar harapan-harapan. Apabila dimotivasi, mereka akan mengembangkan rasa otonominya, merasa sebagai orang yang cakap. Namun sebaliknya, apabila dihambat, mereka yakin mereka menjadi ragu-ragu dan merasa malu dalam berhubungan dengan orang lain (Horton dan Hunt, 1991: 111-112). 9 Pada tahap ketiga, seseorang mulai mengembangkan pengertian moralnya. Dalam tahap keempat, dunia anak meluas, keterampilan teknis dipelajari, rasa percaya diri diperbesar. Dalam tahap kelima, remaja mengembangkan rasa identitas pribadi melalui interaksi dengan orang lain. Tahap keenam, orang dewasa mengembangkan hubungan kasih yang awet dengan lawan jenisnya. Dalam tahap ketujuh, dalam usia setengah baya, seseorang mengembangkan sesuatu pada keluarga dan pada masyarakat. Dalam tahap terakhir, seseorang menghadapi masa akhir hidup (masa tua), baik secara terhormat ataupun penuh putus asa. Untuk setiap tahap, ada kebajikan mendasar yang menyertainya, yang berkembang dengan berlalunya krisis dengan berhasil. Bila belajar yang cocok pada suatu tahap terlewati, tahap tersebut mungkin saja, walaupun sukar, diperoleh pada masa usia lanjut (Horton dan Hunt, 1992: 112). D. Referensi Horton, P. B. dan Hunt, C. L. (1992). Sosiologi. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Leight, D. (1989). Sociology. Fifth Edition. New York: Alfred A Kenopf. Soekanto, S. (1992). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://jabar.tribunnews.com/2015/08/28/breaking-news-foto-wow-blogger-isisosialisasi-medsos-sehat-di-sekolah http://www.ampera.co/baca/inilah-30-geng-motor-palembang-yang-dipantaupolresta-palembang/ https://images.detik.com/content/2013/10/12/857/105509_makansehat.jpg?w=500 &q=90 10