BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1 Teori Pemberian Menurut Marcell Mauss Mauss (1992) mengemukakan bahwa, “ Pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma atau gratis. Segala bentuk pemberian selalu diikuti oleh sesuatu pemberian kembali atau imbalan “. Mauss (1992) juga mengemukakan, kebiasaan saling tukar menukar pemberian itu adalah suatu proses sosial yang dinamik yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat, sebagai sistem yang menyeluruh. Proses-proses dinamik tersebut terwujud melalui hakikat saling memberi yang mengharuskan si penerima untuk melebihi pengembalian pemberian, yang mencerminkan adanya persaingan kedudukan dan kehormatan dari pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga saling tukar-menukar tersebut tidak ada habis-habisnya dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi. Sebuah kutipan mengatakan bahwa : 「贈答」は、本来使われていた相手に贈り物をする場合の「贈進」とそ れに対する返礼である「答礼」とが合わせ使われるようになった言葉で す。(Zoutou, 2005) Artinya : Pemberian kata tersebut sebenarnya telah digunakan untuk menyatukan sebuah penghormatan berupa balasan hadiah terhadap pemberian hadiah berupa barang kepada teman atau pasangan. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Nobuyuki (1986), seperti yang terkutip di bawah ini : 10 11 社会関係者、商人、一般の社会人間で行われる夏(中元)と年末(歳暮) の贈り物の交換葉、日本中でみられる一般的な習慣です. Artinya : Pendapat di atas menjelaskan bahwa, di dalam hubungan masyarakat khususnya pedagang mereka melakukan kebiasaan saling memberikan okurimono pada saat musim panas (ochuugen) dan akhir tahun (oseibo). Bentuk interaksi dalam masyarakat bisa berupa perbuatan saling tolong menolong sebagai sebuah tuntutan hidup bermasyarakat. Dalam masyarakat kuno, bentuk interaksi dalam masyarakat bisa berupa saling bertukar pemberian yang melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat secara menyeluruh. Sistem saling tukar menukar ini menyangkut setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. (Mauss, 1992:xix) Di dalam suatu hubungan perkawinan, Mauss (1992) pun mengatakan bahwa sebuah pemberian hadiah yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya haruslah dilihat sebagai sebuah imbalan atas pelayanan seksual yang diberikan oleh sang istri kepada suaminya. Pendapat dari Mauss (1992) ini juga didukung oleh Malinowski dalam Mauss (1992), yang berpendapat bahwa semua bentuk transaksi berada dalam suatu gabungan yang berkesinambungan yang di satu kutub pemberian itu bercorak murni, tanpa tuntutan imbalan, dan di kutub lainnya bercorak pemberian yang harus dikembalikan.. Sebuah pemberian dan saling memberi yang berlaku pada masyarakat, khususnya masyarakat kuno menghasilkan adanya sistem tukar menukar pemberian yang melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat yang bersangkutan 12 secara menyeluruh. Apa yang saling dipertukarkan dilihat oleh Mauss (1992) sebagai prestasi (prestation), yaitu nilai barang menurut sistem-sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukannya nilai harfiah dari barang pemberian tersebut. Masih menurut Mauss (1992), prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi menyeluruh karena tukar-menukar tersebut melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Sedangkan dalam masyarakat yang telah mengenal perdagangan, tukar menukar pemberian di antara kelompok-kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral, dan hukum legal. Yang tertinggal dalam tukar-menukar tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa;dan berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara-antara kelompok-kelompok. Menurut Mauss (1992) saling tukar-menukar pemberian prestasi, terwujud sebagai saling tukar-menukar pemberian hadiah, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama, maka namanya barter. (2) Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telaah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu. (3) Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dengan nilai 13 harfiahnya, tetapi sebagai mana atau prestasi, karena benda-benda tersebut dipercaya berisikan mana atau kekuatan gaib yang oleh Mauss digolongkan ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestation atau prestasi. Setiap pemberian merupakan bagian dari suatu sistem tukar-menukar yang saling mengimbangi di mana kehormatan dari si pemberi dan si penerima terlibat di dalamnya. Menurutnya, sistem tukar-menukar ini merupakan suatu sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiaap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Dalam sistem tukar menukar ini setiap pemberian harus dikembalikan dengan suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-habisnya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima harus dapat diimbangi nilai barang yang telah diterima karena bersamaan dengan pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan. Selanjutnya Mauss (1992) menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian mana atau sari kehidupan dari si pemberi kepada si penerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena penolakan itu sama dengan penghinaan terhadap si pemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada si pemberi oleh si penerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, di samping dapat diartikan sebagai ketidakmampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini, si penerima 14 digolongkan dalam kategori yang lebih renda kedudukannya dari pada si pemberi Mauss (1992) juga memperlihatkan bahwa ada pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima. Contohnya adalah sedekah. Tetapi jika diperhatikan lebih lanjut, akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur dari sistem yang lebih luas yang memperlihatkan adanya hubungan di antara si pemberi dengan unsur ke tiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si pemberi. Sistem dari pemberian-pemberian hadiah tidak terbatas hanya dalam hal perkawinan, sistem ini juga muncul dalam peristiwa-peristiwa kelahiran bayi, sunatan, sakit, anak perempuan menginjak dewasa atau pubertas, upacara penguburan orang mati, dan perdagangan (Mauss, 1992:11). Pemberian-pemberian ini mungkin sekali pada hakekatnya didasari oleh adanya kewajiban untuk melakukannya dan yang bersifat permanen, dan pengembalian-pengembalian hadiah dilakukan hanya melalui sistem hak dan kewajiban yang memaksakan mereka untuk melakukanya. Kewajiban dari pengembalian barang yang berharga merupakan suatu keharusan. Muka akan hilang untuk selamanya jika itu tidak dilakukan atau sekiranya nilai yang sama tidak dihancurkan. Sanksi bagi kewajiban untuk membayar kembali dalam kasus hutang adalah menjadi budak. (Mauss, 1992:60) Kewajiban untuk mengembalikan hadiah pemberian tidaklah kurang kendalanya. Seseorang tidaklah mempunyai hak untuk menolak sesuatu pemberian hadiah. Melakukan hal itu berarti menunjukkan rasa takut harus membayar kembali, dan malu melakukan kegagalan. Kegagalan untuk memberi atau menerima, sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatannya. (Mauss, 1992:58-59) 15 2. 2 Teori Resiprositas (Pertukaran/Timbal-Balik) Menurut Takie Sugiyama Lebra Sebuah pemberian secara timbal-balik merupakan sebuah pertukaran yang melibatkan hubungan secara simetris. Hubungan simetris tersebut bisa terlihat dengan adanya hubungan sosial antara dua individu, A dan B : ( 1 ). Kemungkinan bilateral (Tindakan A disatu pihak menguntungkan B, kemudian B secara kebetulan membayar apa yang telah diterimanya, begitu juga sebaliknya) ; ( 2 ). Ketergantungan antara rekan untuk keuntungan timbal-balik. (A memberikan hadiah pada B karena A tahu bahwa B memiliki sesuatu yang A perlukan, begitu juga sebaliknya) ; ( 3 ). Persamaan nilai pertukaran (apa yang diberikan harus sama nilainya dengan apa yang diterima.) (Lebra,1976:192) Aspek-aspek dari hubungan timbal-balik yang simetris ini telah ditekankan oleh Malinowski dalam Lebra (1959), sebagai contoh ketika dia menandai hubungan timbal-balik sebagai “ dualisme kemasyarakatan ”, saling memberi dan menerima dalam hal ekonomi, dan kewajiban pembayaran kembali sebagai bentuk undang-undang timbal-balik. Dalam hubungan timbal-balik, konsep on merupakan sebuah basis yang mendasari kesusilaan masyarakat Jepang pada tingkat yang melibatkan rasa bersalah dan rasa berterima kasih yang dalam. On sering diidentifikasi sebagai suatu beban berat yang secepat mungkin untuk bongkar/dikeluarkan. Menerima on bisa berarti kehilangan kebebasan. Beban tersebut dinyatakan sebagai giri, meskipun giri memiliki arti yang 16 lain. (Lebra, 1976:92) Pengertian giri, dijelaskan oleh seorang ahli yang bernama Kawashima dalam Lebra (1976). Kawashima berpendapat, bahwa giri dapat dikenali sebagai iji (sebuah kehendak untuk memelihara kehormatan). Giri yang dipelajarinya, digambarkan sebagai okaeshi (mengembalikan/ pembayaran kembali dari giri). Giri mengacu pada suatu pesanan sosial yang terdiri atas satu set norma-norma sosial yang menugaskan setiap pemilik status melakukan suatu peran tertentu. Lebih khususnya, giri merupakan suatu cara dalam berhubungan dengan individu tertentu. Hubungan tersebut salah satunya ditandai oleh jangka waktu (bukan hubungan yang bersifat sementara tetapi permanen, contohnya giri yang dilakukan secara teratur pada kebiasaan saling memberi hadiah). Dalam buku Minamoto(1969), giri dibedakan menjadi dua, yaitu tsumetai giri dan atatakai giri. 冷たい義理というのは、われわれがいわゆる「お義理でする」ばあいの 義理―われわれの主観的気持に即していえば、 「する」というより、むし ろ「させられる」といったほうがぴったりする―のことである。暖かい 義理と言うのは、情的でパーソナルな人間関係において成立する心情道 徳、われわれの内的規範、という意味での義理である. Tsumetai (dingin) giri adalah suatu kewajiban yang dilakukan atas dasar keterpaksaan walaupun sebenarnya dia tidak mau melakukannya. Sedangkan atatakai (hangat) giri adalah suatu kewajiban yang dilakukan atas dasar senang hati. keinginan tersebut muncul atas dasar perasaan ingin membalas perbuatan baik. Giri dinyatakan sebagai sebuah arti yang memaksa si penerima bantuan merasa terbelenggu oleh si pemberi bantuan, oleh karena itu si peminjam berusaha untuk membayar kembali segala bantuan yang pernah dia terima. Bentuk timbal-balik berupa 17 saling memberi hadiah, secara umum dihubungkan secara khusus pada kesempatan, seperti perayaan, pernyataan duka cita atau ungkapan terima kasih pada saat ritual keagamaan. (Lebra, 1976:97) Kesempatan saling memberi juga dilakukan secara reguler, yakni dua kali dalam setahun, pada pertengahan tahun dan akhir tahun, setiap orang di Jepang terpikat untuk membeli, memberi dan menerima hadiah. Hadiah pada pertengahan disebut chuugen dan hadiah pada akhir tahun disebut seibo. Beberapa bentuk hubungan saling berbalasan secara khusus dipertimbangkan, karena hadiah bisa dibayar kembali dengan hadiah;kemampuan untuk membayar kembali merupakan sebuah langkah yang tegas. Kemampuan dalam membayar kembali mengambil dua bentuk : pembayaran kembali secara langsung dan pembayaran kembali secara seimbang. (Lebra, 1976:99) 2. 3 Pengertian Giri Dalam buku yang berjudul 日 本 文 化 を 英 語 で 説 明 す る , menjelaskan pengertian giri, yaitu : 義理は社会関係において相互扶助の原理を強調する日本的倫理と深 くかかわっています。この観念ゆえに、日本人は日本人としての責 務をはたすのです。 Artinya : Giri adalah kewajiban yang saling berbalasan. Giri merupakan konsep yang sudah berakar di dalam etika moral masyarakat Jepang yang mana mengandung arti asas saling memberi dan menerima di dalam interaksi sosial. (Yuhikaku Co, 1986:62-63) Sedangkan pendapat lain menyebutkan, giri merupakan sebuah kewajiban yang 18 bersifat moral yang mengharuskan orang Jepang untuk bersikap seperti yang diharapkan oleh individu – individu lain sehingga menjalin hubungan yang istimewa atau khusus. (Befu, 1971:168–169). Giri adalah poros penting dari hubungan manusia antara masyarakat atau orang-orang Jepang. Pada dasarnya, kata itu berarti hal-hal yang mana orang-orang harus melakukan atau suatu jalan perilaku / tingkah laku yang benar untuk kehidupan sosial yang lancar. Dengan begitu ini meliputi suatu cakupan luas dari tingkah laku dan sikap manusia. Kewajiban ini dilakukan sebagai tindakan berbalasan dalam berinteraksi sosial, misalnya jika kita mendapat pertolongan dari orang lain, kita juga harus memberikan balasan kepada orang yang telah menolong kita. Giri memiliki dua pembagian yang jelas (Benedict,1982), yaitu : 1. “giri terhadap dunia “, arti harfiahnya “ membayar kembali giri adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya. 2. “ giri kepada nama sendiri “ adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah. Konsep giri tidak pernah lepas dari kedua konsep yang lain, yakni konsep on dan ninjou. Ketiga konsep ini menjadi dasar sebuah pemberian. Banyak sekali buku yang menjelaskan mengenai pengertian on, di dalam buku yang berjudul Pedang Samurai dan Bunga Seruni, on memiliki pengertian sebagai sebuah, “hutang”, “hutang budi”, “kewajiban”. On merupakan sesuatu yang harus dipikul oleh seseorang sebaik mungkin. (Benedict,1982:105) Dalam bahasa Jepang, kewajiban bukan hanya berarti suatu keharusan, tetapi juga merupakan hutang yang harus dibayar. Hutang tersebut tidak hanya secara materil, 19 seperti meminjam uang, tetapi juga hutang yang bersifat moril, karena segala keputusan dan tindakan yang dilakukan sehari-hari harus bersumber dari hutang tersebut. Perasaan seperti ini dimiliki oleh setiap orang Jepang. Jika orang Jepang mendapatkan bantuan dari orang lain, maka di dalam diri mereka terdapat perasaan berhutang budi dengan orang yang telah membantunya, dan mereka wajib untuk membalas hutang tersebut. Orang Jepang beranggapan bahwa orang yang berbudi luhur tidak mengatakan bahwa mereka tidak berhutang apa-apa kepada siapapun. Mereka selalu merasa memiliki hutang, terutama kepada negara, dan hutang-hutang tersebut adalah suatu kewajiban moral. (Benedict, 1982:104). Pengertian on lainnya, seperti yang di bawah ini : 恩は相手に感謝の念を起こし、返礼の義務感を起こさせる給付行為 で、物品によることが多い。 Artinya : On adalah tindakan memberi pada orang lain berupa sesuatu ( biasanya barangbarang ) yang mana membuat si penerima merasa berterima kasih dan menjaga rasa tanggung jawabnya.) (Mitsubishi. Co, 1983:159) Pemberian-pemberian itu secara hukum tidak memerlukan balasan, tetapi pada kenyataannya perasaan berhutang yang dirasakan si penerima on sangat kuat sehingga walaupun secara hukum ia tidak dituntut untuk membalas pemberian yang telah diterima, namun secara moral hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan (Befu, 1971:166). Kedua-duanya, yakni on dan giri merupakan konsep yang saling berbalasan secara alami, dan berasal dari sebuah hubungan di mana seorang bawahan diharapkan 20 untuk memberikan pelayanan dan kesetiaan kepada atasannya, dan atasan berkewajiban untuk menunjukkan rasa terima kasih dan pertanggungjawabannya pada bawahannya. Tanpa giri, sistem on akan hancur. (Phoenix Books,1981:50) Jika seseorang yang memiliki on pada orang lain tetapi dia tidak mau membayar kembali on tersebut maka orang tersebut dipanggil dengan sebutan onshirazu atau orang yang tidak tahu on, seperti yang terkutip di bawah ini : 恩に返礼すると「恩返し」した、義理を果たしたわけで、返礼でき る状態になっても知らん顔をしていると「恩知らず」と される。 Artinya : ketika sebuah on dibayar kembali disebut ongaeshi, berarti dia telah menunaikan kewajibannya, ketika seseorang melalaikan untuk membayar kembali sebuah bantuan padahal dia mampu atau sanggup untuk melakukannya, dia dikritik dengan disebut onshirazu atau orang yang tidak tahu on. (Mitsubishi. Co, 1983:159). Jika seseorang dikatakan dengan sebutan onshirazu, maka itu merupakan penghinaan yang paling buruk yang diterima oleh seseorang. Konsep selanjutnya yang berhubungan dengan kebiasaan saling memberi pemberian, yaitu ninjou. 日本人は、愛、いつくしみ、哀れみ、そして思いやりの心を、人間 が育むべき最も大切な感情であると信じています。 Artinya : Ninjou adalah perasaan manusia. Orang Jepang percaya bahwa cinta, perasaan kasihan, dan simpati adalah perasaan yang lebih penting dari semua sifat manusia. (Yuhikaku Co, 1986:196-197) Ini pun didukung oleh Minamoto (1969) dalam bukunya yang menjelaskan 21 mengenai pengertian ninjou, seperti yang ada di bawah ini : 人情は人間の欲望や感情の自然なはたらきであって、私的世界にか かわるものである。 Artinya : Ninjou adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosi yang bekerja secara alami, yang mempengaruhi kepribadian manusia di dunia. Pada awalnya istilah ninjou berasal dari kata nasake yang berarti, “ kasih sayang “. Istilah ini banyak terdapat dalam novel-novel ninjou yang ada pada zaman Edo (1623-1868) yang banyak mengisahkan percintaan antara laki-laki dan perempuan. (Supardjo, 1999:66) Ninjou merupakan rasa kemanusiaan dan perasaan kasih sayang kepada sesama. Perasaan ini murni timbul dari lubuk hati yang terdalam yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia. Perasaan seperti ini biasanya timbul jika seseorang melihat orang lain mengalami kesulitan atau kesusahan dan membutuhkan pertolongan. Meskipun giri dan ninjou memiliki arti yang kuno pada zaman modern Jepang, tetapi konsep ini sangat penting sebagai pemandu dalam melakukan hubungan dengan masyarakat jepang. Masyarakat Jepang terutama orang-orang yang lebih muda cenderung menghargai ninjou melebihi giri, tetapi ketika mereka masuk ke dunia kedewasaan di mana hubungan antar manusia bergantung atas kewajiban rasa timbal-balik, mereka belajar mematuhi norma-norma sosial dan menjadi lebih taat pada kewajiban-kewajiban giri. Jika mereka melalaikan kewajiban giri mereka akan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. 22 2. 4 Pengertian Okurimono Okurimono terdiri dari 2 huruf kanji yaitu okuri ( 贈 り ) yang berarti mengirimkan dan mono (物) yang berarti benda/barang. Jadi, Okurimono adalah sebuah pemberian berupa barang. Salah satu kebiasaan yang ada pada masyarakat Jepang yang berupa saling bertukar hadiah tetapi bukan berupa uang. Kebiasaan pemberian ini dalam bahasa Jepang dinamakan zoutou (贈答). Kata zoutou mengandung arti tukar-menukar hadiah. Kata tersebut terdiri dari dua karakter kanji yaitu kanji zou (贈) yang jika dibaca secara kunyomi adalah okuru (贈る)yang berarti mengirimkan, menyerahkan, memberi, dan kanji tou (答) yang dibaca secara kunyomi adalah kotaeru (答える) yang berarti menjawab, membalas. Dengan demikian, kebiasaan bertukar pemberian merupakan sebuah bentuk perilaku dari masyarakat Jepang berupa saling memberi antara satu dengan yang lainnya, dan kemudia dibalas kembali dengan sebuah pemberian pula. Yang termasuk ke dalam bentuk pemberian okurimono adalah : (1) Chuugen (中元) Dalam buku Honna (1986), menguraikan pengertian chuugen, yaitu : 夏の挨拶をかねて、日頃お世話になっている人々「上司、先生、取引先 など」に贈り物をすることです。 Artinya : Chuugen adalah hadiah yang diberikan pada pertengahan tahun atau pada saat musim panas. Ini diberikan sebagai salam pada pertengahan musim panas pada mereka yang telah memberikan bantuan, seperti atasan, guru, pelanggan, dll. Chuugen mengandung dua pengertian, yaitu yang pertama pemberian yang dilakukan pada saat pertengahan tahun atau pada saat musim panas dan yang kedua 23 adalah mengacu pada hadiah yang akan diberikan. Orang Jepang menyebutnya dengan nama ochuugen, huruf o di sini dimaksudkan untuk memperhalus kata dari chuugen. Biasanya digunakan pada bahasa perempuan. Chuugen dilakukan bersamaan dengan perayaan festival Bon, yakni pada bulan Juli sekitar pada tanggal 13 sampai 16, walaupun ada di beberapa daerah diadakan pada bulan Agustus. Festival Bon atau Obon merupakan salah satu kebudayaan Jepang berupa sebuah upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jepang untuk menghormati arwah para leluhur (nenek moyang). Pada kesempatan itu, orang Jepang saling bertukar pemberian kepada para relasi kantor, dan teman-teman seperti yang mereka lakukan pada saat akhir tahun maupun tahun baru, yang mana sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat barat pada saat natal. (Miyanoshita, 1950:522) Pada saat menjelang pertengahan tahun, banyak karyawan-karyawan perusahaan di Jepang yang menerima bonus gaji yang cukup besar hingga dua atau tiga bulan gaji, yang disebut dengan bounasu-buumu (ボーナスブーム). Itu pula yang menjadikan salah satu faktor yang mendukung orang Jepang untuk membelanjakan uangnya dalam rangka ochuugen. Pada kesempatan ini, dibagikan pemberian-pemberian kepada relasi-relasi dan yang lainnya. Hadiah-hadiah yang diberikan biasanya berupa mie, bahan makanan pokok, juga pakaian dan alas kaki. (2) Seibo (歳暮) Seibo atau oseibo terdiri dari dua huruf kanji, yakni sei (歳) yang berarti tahun atau umur dan bo/kureru (暮) yang berarti terbenam atau berakhir. Oseibo adalah Salah 24 satu budaya saling memberi dalam masyarakat Jepang dalam menyambut datangnya tahun baru. Dalam kamus, oseibo sendiri berarti : Akhir tahun atau hadiah akhir tahun (Matsuura,1994:859). Oseibo adalah adat atau kebiasaan dalam masyarakat Jepang yaitu saling memberikan hadiah pada saat menjelang akhir tahun, dan hadiah tersebut diberikan sebagai sebuah ekspresi penghargaan rasa terima kasih dari seseorang kepada orang lain yang telah banyak membantu atau memberi bantuan pada satu tahun yang lalu. (Kodansha, 1993:49) Asal-usul pemberian oseibo yaitu bermula pada sebuah kebiasaan berupa mempersembahkan barang-barang untuk para orang-orang tua sebagai bentuk menghormati arwah para nenek moyang/leluhur yang dimulai pada saat tahun baru. Ini juga disebutkan pada masa Periode Zaman Edo (1603-1867), sebagai sebuah pemberian salam menyambut tahun baru, dan hadiah-hadiah yaitu kagamimochi (kue beras) sebagai hadiah dari keluarga inti kepada keluarga cabang, dan dari guru kepada murid. (What’s Oseibo, 2005) Oseibo dirayakan biasanya pada bulan Desember akhir yaitu pada saat kita ingin menyambut saat-saat terakhir menjelang akhir tahun yaitu sekitar tanggal 10 Desember sampai berakhir bulan tersebut. Di dalam masyarakat oseibo diberikan pada seseorang yang memiliki tingkatan sosialnya lebih tinggi dari pada si pemberi, seperti kepada seorang nakoudo (makcomblang pernikahan), dokter, atau seorang guru kesenian tradisional, seperti merangkai bunga (ikebana) atau upacara minum the (chanouyu), merupakan contoh orang-orang yang layak diberikan oseibo. (Kodansha, 1993:49). Seperti halnya menjelang pertengahan tahun, di akhir tahun pun mereka menerima bonus sebanyak dua bulan atau lebih dari gaji mereka. Menjelang akhir tahun, 25 biasanya pasangan suami-istri saling berunding untuk membicarakan hadiah apa dan kepada siapa saja hadiah itu akan diberikan, dan berapa besar uang yang akan dibelanjakan untuk membeli keperluan oseibo. Biasanya harga hadiah tersebut berkisar 3000 sampai 10000 yen, dan rata-rata harganya 5000 yen. (Japanese End Of Year Gift Giving, 2005) Barang-barang yang cocok untuk dijadikan hadiah pada saat oseibo, seperti daging ham, minyak goreng, bir, makanan kaleng, kopi, buah. Sake merupakan salah satu jenis hadiah yang paling populer yang bisa dijadikan bingkisan oseibo. Tipe dan barang pemberian tergantung pada hubungan seseorang dengan si penerima. Biasanya seseorang memberikan hadiah-hadiah yang sangat mahal untuk para bos di tempat kerja mereka. Departemen store pada saat menjelang akhir tahun menyediakan sebuah tempat khusus untuk memamerkan beberapa tipe barang yang mereka miliki untuk dijadikan hadiah-hadiah oseibo selama bulan Desember dan tempat tersebut selalu dipadati oleh para pengunjung yang sedang mencari barang-barang yang cocok untuk dijadikan hadiah oseibo. Pada zaman dahulu, orang Jepang dalam memberikan bingkisan oseibo dengan cara berkunjung langsung kepada orang yang akan diberikan bingkisan tersebut, hal ini dilakukan sebagai bentuk hormat kepada orang yang akan diberikan bingkisan oseibo tersebut. Tetapi pada zaman modern kali ini, mereka lebih menyukai melalui jasa antar yang tersedia di departemen store. Mungkin dikarenakan kesibukan masing-masing orang dan segala urusan yang menyebabkan tidak adanya waktu bagi mereka untuk mengantarkan seorang diri hadiah tersebut. 26 Setiap departement store menerima jasa antar bagi mereka yang menginginkan untuk mengantarkan bingkisan oseibo mereka kepada orang yang dituju. Caranya, setelah kita memilih salah satu barang yang menurut kita cocok untuk dijadikan bingkisan, setelah itu kita mengambil selembar katu kecil yang ada di kotak di depan counter tersebut, lalu salah satu petugas akan membantu anda untuk mengisi takuhaibin (formulir permohonan jasa antar). Jika anda tidak bisa berbahasa Jepang, anda harus memiliki teman yang bisa berbahasa Jepang untuk menuliskan alamat si penerima agar menghindari adanya kesalahan, tetapi ada di beberapa tempat yang menyetujui ditulis dengan huruf romaji (tulisan roman), jadi itu tidak akan menjadi suatu masalah yang besar. (Plus-Custom Oseibo, 2005)