Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Giri(義理) Menurut Davies dan Osamu Ikeno (2002:95), giri merupakan kunci dalam memahami konsep budaya Jepang dan karakteristik tertentu pola perilaku di antara masyarakat Jepang tradisional yang timbul dari sikap moral tugas dan kewajiban sosial. Pendapat giri menurut Honmiyou dalam Rahayu (2006:17) adalah「義理は社会関 係において相互扶助の原を強調する日本的倫理と深くかかわっています。この 観念ゆえに、日本人は日本人としての責務をはたすのです。」Terjemahannya yaitu ”Suatu konsep yang sangat berhubungan dengan etika-etika Jepang yang menekankan pada hubungan manusia yang saling menguntungkan di dalam masyarakat. Karena adanya konsep inilah, orang Jepang mengemban kewajiban atau tanggung jawab sebagai orang Jepang.” Giri menurut Befu dalam Suyana (1996:24-25) adalah Kanji kata Giri(義理) yang terdiri dari kanji gi ( 義 ) yang memiliki arti keadilan, kewajiban atau perasaan hormat, dan ri ( 理 ) yang memiliki arti alasan, logika atau teori. Kedua kanji ini bergabung menjadi satu dan membentuk arti yang spesifik. Dalam pemakaiannya, giri merujuk kepada kewajiban-kewajiban sosial yang bersifat normative dan etis yang menghendaki orang Jepang untuk berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dalam berhubungan dengan individu lain di tempat seseorang menjalin hubungan yang khusus. 12 Giri mempunyai kekuatan untuk memaksa anggota masyarakat agar terikat dalam aktivitas - aktivitas yang saling berbalasan. Menjalankan giri dengan baik berarti seseorang itu memiliki nilai moral yang tinggi, dan menolak kewajiban timbal balik berarti meniadakan kepercayaan dari mereka yang mengharapkan timbal balik, yang pada akhirnya akan menghilangkan bantuan dari mereka atau melalaikan hubungan giri tersebut. Menurut Matsumura (1988:653) giri mungkin sebaiknya dapat dipahami sebagai kumpulan makna-makna yang saling terkait, diantara beberapa hal yang terpenting sebagai prinsip-prinsip moral atau tugas, seseorang harus mematuhi peraturan-peraturan dalam hubungan-hubungan sosial, dan perilaku seseorang yang wajib diikuti atau yang harus dilaksanakan atas perintah seseorang. Menurut Benedict (1996:141) giri adalah suatu kewajiban untuk mengembalikan atau membalas semua pemberian yang telah diterima dengan nilai yang sama harganya dari apa yang telah diterima sebelumnya. Hubungan antara kedua belah pihak tersebut pun tidak hanya berlaku di antara mereka yang memiliki hubungan khusus, tetapi juga antara teman ataupun kolega dan relasi. Menurut Benedict (1996:134) giri memiliki dua pengertian dalam pelaksanaannya, yang pertama adalah giri kepada dunia, yaitu kewajiban untuk membayar kembali on kepada sesamanya dan giri kepada nama sendiri yaitu kewajiban untuk menjaga nama serta reputasi dari noda fitnah. Berikut contoh dari dua pengertian giri tersebut : Giri terhadap dunia : - Kewajiban mengabdi kepada tuan pelindung - Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh 13 - Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang diterima dari mereka, misalnya ; hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan ( dalam suatu kelompok kerja ). - Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat ( paman, bibi, kemenakan pria dan wanita ) walaupun on yang diterima bukan dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang sama. Giri terhadap nama sendiri : - Kewajiban seseorang untuk “membersihkan” reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam. - Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya. - Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok dan seterusnya Menurut sifatnya giri dapat dibagi menjadi dua yaitu : a. Tsumetai Giri ( 冷たい義理 ) : Sesuai dengan namanya, yang dimaksud dengan tsumetai giri adalah kewajiban yang dengan terpaksa harus dilaksanakan walaupun sebenarnya ia tidak ingin melakukannya. Kewajiban ini dirasakan sebagai beban yang berat, membelenggu dan tidak mengizinkan seseorang melakukan apa yang sebenarnya dinilai wajar. b. Atatakai Giri ( 暖かい義理 ) : Yang pada dasarnya dilakukan dengan senang hati. Pada umumnya jika seseorang menerima pemberian orang lain, pasti dengan sendirinya 14 ia ingin membalas pemberian itu, dan hal tersebut sudah menjadi salah satu sifat manusia, ( Minamoto,1996 : 45 ). Pemberian yang dimaksud di sini dapat berupa jasa maupun materi. Dari perbuatan baik seseorang kepada orang lain ini akan menimbulkan ikatan giri yang terjalin di antara kedua belah pihak. Jika ikatan itu sudah mendalam dalam arti sudah sering terjadi memberi dan diberi maka hubungan itu tidak akan berhenti dalam jangka waktu lama, kalau tidak bisa dikatakan selamanya. Berikut kutipan dari Minamoto (1996:45 ) mengenai tsumetai giri dan atatakai giri : 冷たい義理というのは、われわれがいわゆる「お義理でする」ばあいの 義理―われわれの主観的気持に即していえば「する」というより、むし ろ「させられる」といったほうがぴったりするーのことである。暖かい 義理と言うのは、情的でパーソナル人間関係においで成立する心情心道 徳、われわれの内的規範、という意味での感情である。 Terjemahan : Tsumetai giri adalah suatu kewajiban yang dilakukan atas dasar keterpaksaan walaupun sebenarnya dia tidak mau melakukannya. Sedangkan atatakai giri adalah suatu kewajiban yang dilakukan atas dasar senang hati. Keinginan tersebut muncul atas dasar perasaan ingin membalas perbuatan baik. Kontak antar manusia seperti itu sering kali dapat menggangu individu manusia itu sendiri yang pada dasarnya menginginkan kebebasan daripada keterikatan. Adapun konsekuensi dari daya dan pengaruh perbuatan dari pihak pertama tidak hanya mengenai dan merasuk dalam tindakan pihak kedua, tetapi bahkan pengaruh itu akan mengubah gagasan dan cara berpikirnya. Jika seseorang sudah mulai terlibat dalam hubungan ini maka ia tidak bisa berpikir secara rasional lagi. Semua tindakan yang harus dilakukan harus dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah tindakan itu tidak akan merusak namanya di 15 dalam lingkungan ia berada, karena ia telah lalai melaksanakan giri misalnya. Hak dan kebebabasan seseorang ditekan sekecil-kecilnya, segala sesuatu tindakan yang akan diambil harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Giri menurut Yoichi (1993:27) menyatakan bahwa 「義理は社会関係におい相 互扶助の原を勉調する日本的倫理と深くかかわっています。この観この念ゆえ に、日本人は日本人としての責務をはたすのです。」Terjemahannya yaitu ”Giri adalah kewajiban yang saling berbalasan. Giri merupakan konsep yang sudah berakar didalam etika moral masyarakat didalam interaksi sosial.” Giri tidak dapat terjadi di dalam hubungan suami isteri, hubungan anak dan orangtua, hubungan kekasih, kecuali bila hubungan di antara kedua belah pihak terjadi sesuatu yang tidak berkenan, maka di antara kedua belah pihak akan muncul giri. Menurut Tadao dalam Doi (1992:29), dikatakan bahwa giri selalu berharap untuk berkembang menjadi ninjou. Sehingga dapat dianggap bahwa giri sebagai wadah dan ninjou sebagai isi, dan ini merupakan suatu hubungan antara orangtua dengan anakanaknya yang ditekankan karena adanya hubungan kasih yang alami. 2.2 Konsep Ninjou(人情) Ninjou adalah perasaan kasih sayang manusia yang dicurahkan kepada sesamanya. Perasaan ini adalah perasaan yang murni dari hati yang paling dalam dan dipunyai oleh setiap umat manusia di dunia ini. Ninjou dilakukan oleh seseorang terutama bila ia melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan (Doi, 2002:33). 16 Seseorang yang telah menerima ninjou dari orang lain tidak akan bisa melupakannya. Kebaikan yang diterimanya akan tertanam di dalam hati sanubari, dan pada suatu saat ia harus dapat membalas kebaikan itu. Maka sejak saat itulah akan timbul jalinan hubungan manusia di antara kedua belah pihak, yang tentunya di dalam hubungan itu terdapat tindakan-tindakan, norma-norma yang harus dilaksanakan seperti misalnya giri. Seseorang sering harus membuang ninjou karena ada giri yang harus dilaksanakan dan dirasakan lebih penting. Menurut Minamoto (1996:69) di dalam bukunya yang menjelaskan mengenai perngertian ninjou, yaitu 「人情は,人間の欲望や感情野自然なはたらきであって、 私 て き 世 界 に か か わ る も の で あ る 。 」 Terjemahannya yaitu ”Ninjou adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosi yang bekerja secara alami, yang mempengaruhi kepribadian manusia di dunia.” Konsep giri sering diletakkan secara kontras dengan ninjou. Ninjou terdiri dari dua karakter kanji yaitu nin ( 人 ) yang memiliki arti orang atau manusia, dan jou ( 情 ) yang memiliki arti emosi, perasaan atau perasaan hati. Dalam pengunaannya kata ini merujuk kepada kecenderungan, perasaan dan keinginan – keinginan alamiah manusia. Perasaan manusiawi yang dimiliki seseorang kadangkala bertentangan dengan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat. Seorang samurai rela mengorbankan anaknya atau keluarganya untuk membela tuannya berada pada posisi dilematis antara giri dan ninjou. Di satu sisi perasaan manusiawinya menghendaki dia melindungi dan mempertahankan kehidupan keluarganya, namun disisi lain norma-norma sosial mendesaknya untuk mendahulukan tindakan giri di atas perasaan manusiawinya. 17 Befu (2001:167) mengemukakan tiga alternatif yang bisa dipilih pada saat seseorang berada pada posisi konflik antara giri dan ninjou, yaitu : a. Seseorang harus menindas perasaan-perasaan pribadinya (ninjou) dan menghormati prinsip-prinsip moral yang berlaku dalam masyarakat ( giri ) b. Seseorang menutup mata dari kewajiban-kewajiban moral ( giri ) dan mengikuti tuntutan tuntutan perasaan-perasaan manusiawinya ( ninjou). c. Menghilangkan semua potensi konflik dengan melakukan bunuh diri untuk menghindari tuntutan giri maupun ninjou. Hal- hal ini merupakan alternatif yang sering dipilih oleh orang Jepang, ketika mereka berada dalam posisi dilematis antara giri dan ninjou. 2.3 Teori Tokoh Menurut Nurgiyantoro (1995:125), fiksi merupakan suatu bentuk karya kreatif yang diwujudkan dan dikembangkan oleh si pengarang terhadap tokoh-tokoh di dalam suatu cerita. Tokoh cerita menempati posisi yang sentral sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat maupun moral yang ada dalam suatu cerita yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam pelaku cerita, istilah tokoh menunjuk pada sikap dan sifat para tokoh seperti yang ditafsir oleh para pembaca sehingga lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Stanton dalam Nurgiyantoro (2007:165) mengungkapkan, penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris memiliki dua pengertian yang berbeda, yaitu karakter merupakan sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan karakter sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip 18 moral yang dimiliki tokoh tersebut. Dapat disimpulkan bahwa karakter dapat berarti “pelaku cerita” dan juga dapat berarti “perwatakan”. Tokoh cerita ( character ), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam suatu tindakan. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan katakata (verbal) dan tingkah laku lain (non-verbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Dengan demikian, istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Nurgiyantoro (2007:177) menjelaskan bahwa dalam pembicaraan sebuah fiksi, istilah ’tokoh’ menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya. Penokohan dan karakterisasi - karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Nurgiyantoro juga mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Misalnya saja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Disebut 19 sebagai tokoh utama cerita (central character, main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta perilaku tokoh (Nurgiyantoro, 2007:198). Berbagai teknik dalam penggambaran teknik dramatik: 1. Teknik cakapan Percakapan yang dilakukan oleh (baca:diterapkan pada) tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik, mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya (Nurgiyantoro, 2007: 201). 2. Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang bersifat non-verbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya (Nurgiyantoro, 2007:203). 20 3. Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga (Nurgiyantoro, 2007:204). 2.4 Teori Montase Istilah Montase berasal dari bidang perfilman yang mempunyai pengertian memilah-milah, memotong-motong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga dapat dijadikan satu kesatuan . Teknik Montase ini sering sekali digunakan untuk menciptakan suatu suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang telah diatur secara tepat. Teknik montase ini pun menyajikan suasana kesibukan latar, misalnya hiruk pikuk kota besar atau suatu kekalutan misalnya kekalutan pikiran atau aneka tugas seorang tokoh (secara simultan dan dinamis ). Melalui teknik ini dapat direkam sikap kaotis ( kekacauan ) yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya. Teknik Montase di dalam bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpang tindih satu dan lainnya ( Minderop, 2005 : 151 ). 21