10 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Interaksi Sosial Pada hakikatnya

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Interaksi Sosial
Pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang sejak dilahirkan sudah
membutuhkan pergaulan dengan orang-orang untuk memenuhi kebutuhannya (Gerungan,
2000:24). Sehingga tidak mungkin ada manusia yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan
dari manusia lain di seklilingnya.
Sama halnya dengan pernyataan Kluytmans (2006:81) yang menyatakan bahwa
antara individu dan kebersamaan seakan merupakan dua hal berbeda yang tidak
terjembatani, tapi sesungguhnya tidak demikian. Dikatakan bahwa manusia itu sendiri
justru hidup dalam kebersamaan, begitu juga sebaliknya, kebersamaan hidup dari
manusia.
Masih bersinggungan dengan pernyataan di atas, Kluytmans (2006:81) juga
menyatakan bahwa hidup kebersamaan memiliki arti yang abstrak. Dengan demikian,
akan ada ketergantungan kepada manusia lain di dunia, jika ingin hidup. Masih berdasar
Kluytmans (2006:81) dikatakan bahwa keluarga, perusahaan, perkumpulan, tetangga,
provinsi dan daerah adalah bentuk kehidupan bersama.
Sementara itu menurut Freud dalam Gerungan (2000:25) dikatakan bahwa manusia
tidak akan bisa berkembang menjadi manusia sesungguhnya yang utuh jika tanpa
pergaulan sosial. Jadi melalui interaksi sosial tersebut, manusia bisa mewujudkan
perkembangan dirinya sebagai manusia utuh, karena tanpa hubungan timbal-balik dalam
interaksi, manusia tidak akan bisa mewujudkan perkembangan dirinya sebagai manusia.
10
Itulah sebabnya Adler dalam Kluytmans (2006:72) mengatakan bahwa manusia adalah
mahluk sosial.
Untuk menjaga keharmonisan dalam pergaulan sosial tersebut dibutuhkan adanya
norma-norma yang mendukung. Seperti dikatakan oleh Gerungan (2000:103) yang
menyebutkan tentang pengertian norma sosial adalah patokan-patokan umum mengenai
tingkah laku dan sikap individu anggota kelompok yang dikehendaki oleh kelompok
mengenai bermacam-macam hal yang berhubungan dengan kehidupan kelompok.
Selanjutnya diungkapkan oleh Sherif melalui Gerungan (2000:156) bahwa dalam
interaksi kelompok terdapat hubungan timbal-balik yang langsung antar manusia.
Dalam interaksi kelompok, bukan hanya hubungan manusia dengan manusia lain
dalam arti luas, tetapi dikatakan oleh Gerungan (2000:157) bahwa keluarga merupakan
kelompok yang menjadi pegangan hidup manusia dimana setiap individu merasa adanya
hubungan batin, karena pada dasarnya keluarga merupakan kelompok sosial pertama
dalam kehidupan manusia.
Sementara itu diungkapkan mengenai norma sosial yang biasanya dijadikan pedoman
dalam berperilaku menolong. Hal ini berdasar teori yang dikatakan oleh Sarwono
(2002:330) bahwa dalam norma timbal-balik berarti setiap individu yang menolong
individu lain, maka individu tersebut harus membalas dengan memberikan pertolongan
juga. Diungkapkan pula oleh Gouldner dalam Sarwono (2002:330) bahwa jika kita
menolong orang lain, lain kali kita akan ditolong oleh orang lain karena di masa lampau
kita telah menolong orang lain.
11
2.2 Giri dan Gimu dalam Masyarakat Jepang
Dikatakan oleh Gillespie dan Sugiura dalam Davies dan Osamu (2002:98) bahwa
peninggalan sangat dipertahankan untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan
manusia. Dengan kata lain menjaga adat dan budaya yang telah ada dari leluhur dan
mewariskannya turun temurun hingga kini, merupakan sebuah keharusan.
Masyarakat Jepang adalah kelompok sosial yang sangat menjaga tradisi. Dalam
kehidupannya, masyarakat Jepang kebanyakan masih tetap menganut apa yang menjadi
warisan dari nenek moyang mereka. Tidak hanya budaya, tetapi juga tata cara
melakukan hubungan sosial yang baik dalam kelompok masyarakatnya. Dengan kata
lain adalah bagaimana cara mereka bersikap terhadap sesamanya. Begitu kuatnya tradisi
tersebut hingga kehidupan masyarakat Jepang begitu teratur.
Seperti dikatakan De Mente (1997:4) bahwa masyarakat tradisional Jepang adalah
satu-satunya yang memiliki struktur sistem sosial yang paling kuat penerapannya
dibanding dengan Negara lain. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat Jepang begitu
menjunjung tinggi adat istiadat yang sudah membudaya di dalam kehidupan mereka
sejak jaman leluhur.
Sistem sosial yang ada tersebut bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat
Jepang supaya memiliki sikap dan tingkah laku sesuai dengan tata krama yang baik agar
tercipta sebuah keharmonisan dalam lingkungannya. Tidak hanya dalam hubungan antar
individu dalam kelompok masyarakatnya, baik terhadap orang yang lebih tua atau pun
yang sederajat seperti kawan, namun juga bagaimana seseorang bisa bersikap
sebagaimana mestinya terhadap keluarga, terutama orangtua.
Dalam De Mente (1997:4) dikatakan pula bahwa sistem sosial tradisional ini telah
dipaksakan oleh kekuatan mutlak dari zaman Feodal melalui berbagai macam generasi
12
lalu menyebar keseluruh bagian dan membentuk budaya, selanjutnya menjadi bukan
hanya satu-satunya standar dari segala kelakuan baik yang telah ditetapkan, tapi juga
memiliki arti sama dengan sebuah identitas sebagai orang Jepang. Dengan begitu,
meskipun dalam penerapannya terdapat paksaan, namun budaya adalah budaya dan
sudah turun menurun sehingga tidak akan bisa hilang dari masyarakat karena sudah
dianut seperti kepercayaan sendiri.
Menurut Maus (1992:11) yang mengatakan bahwa pemberian-pemberian ini mungkin
sekali pada hakikatnya didasari oleh adanya kewajiban untuk melakukannya dan bersifat
permanen, sehingga pembayaran atas pemberian tersebut dilakukan hanya melalui
sistem hak dan kewajiban yang memaksakan mereka untuk melakukannya. Oleh karena
itu bisa diketahui bahwa adakalanya seseorang akan sangat merasa terpaksa dalam
mengembalikan apa yang telah mereka terima. Namun karena telah mengakar menjadi
suatu budaya, maka secara sendirinya setiap individu akan melakukan pengembalian
barang-barang atau bantuan yang sudah diterimanya itu.
Salah satu adat yang sudah meluas dalam masyarakat Jepang dan menjadi sebuah
kebudayaan turun temurun untuk mengatur hubungan antara manusianya adalah giri dan
gimu.
Seperti dikatakan oleh Minami (1989:187)
義理とか義というのは、社会生活のなかで自分が他人に対して、どのような
関係にたっており、したがってどのようにふるまうべきであるかについての
約束である。
Yang artinya
Giri atau gi adalah janji untuk bersikap dengan tata krama yang pantas seperti
dimana seseorang berdiri dalam hubungan dengan orang lain dalam struktur sosial
masyarakat.
13
Dengan kata lain giri juga turut berperan dalam hubungan manusia dengan manusia
lain di dalam masyarakat dan mengatur sikap seseorang agar bisa diterima oleh orang
lain. Tidak hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam keluarga yang tidak begitu akrab
seperti paman, bibi atau ibu mertua, karena giri ditujukan untuk semua orang dan
menuntut seseorang itu untuk memenuhi kewajibannya tersebut karena ia telah
mendapat sebuah kebaikan dari orang lain. Dengan begitu giri terhadap orang lain telah
membuat setiap manusia di dalam masyarakat hidup dalam hubungan timbal balik yang
sudah sepantasnya. Hal ini bertujuan untuk membentuk kelompok masyarakat yang
harmonis karena memiliki tata krama yang sudah seharusnya mereka lakukan. Tanpa
melakukan giri, masyarakat Jepang akan sulit menjalani hidupnya.
Giri telah menjadi sebuah aturan tak tertulis yang harus dilakukan oleh orang Jepang
dalam hidup bersama individu lain, meskipun mereka adalah keluarga sendiri. Seperti
dikatakan oleh De Mente (1997:5) bahwa secara keseluruhan faktor kontrol dalam
hubungan setiap pribadi di Jepang disatukan ke dalam kata giri, yang diterjemahkan
sebagai ‘kewajiban, tanggung jawab dan keadilan’. Sehingga seluruh kehidupan manusia
dalam masyarakat Jepang telah diatur oleh sebuah giri.
Minami (1993:159) juga mengatakan bahwa bangsa Jepang memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan cara mematuhi giri secara terus menerus. Bahkan ketika
seorang itu tidak mengetahui mengenai giri akan dikatakan sebagai manusia yang egois
dan tidak mengenal apa itu hutang budi, karena itu giri sangat penting dalam menjaga
sikap seseorang di dalam masyarakat.
Menurut Davies dan Osamu (2002:95) dituliskan bahwa:
A key concept in understanding Japanese culture and certain characteristic patterns
of behavior among the Japanese arising from tradisional attitudes toward moral
duty and social obligation is known as giri.
14
Terjemahan:
Sebuah kunci konsep dalam memahami kebudayaan orang Jepang dan beberapa
bentuk karakteristik mengenai kesopanan diantara orang Jepang muncul dari sikap
tradisional terhadap kewajiban moral dan kewajiban sosial dikenal sebagai giri.
Menurut Davies dan Osamu (2002:97) diketahui bahwa giri dalam penggunaan
umum memiliki arti yaitu sebuah aturan yang harus dilakukan dalam hubungan dengan
manusia dan hubungan sosial.
Sementara itu menurut Davies dan Osamu (2002:97) terdapat bahwa sekarang ini
konsep giri masih memainkan peranan penting dalam masyarakat Jepang modern dalam
ragam tentang pemberian hadiah. Meskipun pernyataan terwujud dalam bentuk
pemberian barang, pada hakikatnya giri tidak hanya berupa pemberian barang. Seperti
diungkapkan Benedict (1996:116) bahwa giri untuk dunia berarti memiliki kewajiban
membayarkan hutangnya pada seseorang yang telah memberikan bantuan seperti
pemberian uang, kemurahan hati atau kontribusi dalam pekerjaan.
Diungkapkan pula oleh Gillespie dan Sugiura dalam Davies dan Osamu (2002:95)
bahwa:
Giri…does not have any equivalent concept in English (although in Japan
considered) the most valued standard in human relationship: master-subordinate,
parent-child, husband-wife, brothers and sisters, friends and sometimes even
enemies and business connections. If pressed to define it, giri involves caring for
others from whom one has received a debt of gratitude and a determination to
realize their happiness, sometimes even by self-sacrifising.
Terjemahan:
Giri…tidak memiliki konsep yang sama dalam bahasa Inggris (walaupun dalam
Jepang) standar paling dihargai dalam hubungan manusia: atasan-bawahan,
orangtua-anak, suami-istri, kakak dan adik, teman-teman, dan terkadang sesama
musuh dan rekan bisnis. Jika ditekankan untuk mendefinisikan hal ini, giri
melibatkan kepedulian pada orang lain dari seseorang yang sudah menerima hutang
terima kasih dan penentuan untuk mewujudkan kebahagiaan mereka
15
Menurut Davies dan Osamu (2002:98) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang
menerima hadiah tanpa memberikan hadiah sebagai timbal baliknya, ia akan dianggap
sebagai orang yang bodoh dalam hal kewajiban sosial.
Tidak berbeda jauh dengan giri, yang merupakan sebuah kewajiban membalas
kebaikan orang lain, gimu pun memiliki pengertian yang hampir serupa. Diungkapkan
oleh Benedict (1996:117), “these obligation of gimu are compulsory”, yang artinya
kedua tanggungan dalam gimu ini adalah wajib. Dengan demikian gimu pun memiliki
makna yang hampir sama dengan giri yaitu sebuah kewajiban yang juga harus
dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama terhadap keluarga dan Negara.
Benedict (1996:117) juga mengatakan bahwa gimu tidak pernah bersyarat,
maksudnya adalah dalam hal ini setiap individu tidak memiliki sesuatu yang akan
menentukan bagaimana gimu itu dilakukan. Tidak dengan waktu ataupun biaya.
Melalui Benedict (1996:119) diketahui pula bahwa kebaikan terhadap orangtua yang
masuk ke Jepang menjadi sebuah tanggung jawab untuk seseorang penuhi meskipun
seandainya harus memaafkan cela dan kejahatan orangtua sendiri. Sehingga inilah yang
dimaksud bahwa gimu itu tidak bersyarat karena diperlukan ketetapan hati dan ketulusan
dalam menjalankannya.
Disebutkan oleh Tanaka (2002:36) mengenai gimu:
既に述べたように、権利は個人の欲望を認める方向で動くが、義務はこれ
とは逆に社会から個人に要請されるものである。どちらかというと、個人
の欲望を抑制する方向で動くと言えるだろう。このように述べると、義務
は個人にとって非常に魅力の薄いものに映るかもしれない。誰かに、義務
個人よりも社会の視点に立っており、強制されるものと受け取られがちで
ある。
16
Terjemahan:
Berdasarkan apa yang pernah dijabarkan sebelumnya, hak adalah menyaksikan
keinginan pribadi yang bergerak dengan sebuah tujuan, tetapi kewajiban adalah
kebalikan daripada hak itu sendiri yaitu dimohonkan dari masyarakat kepada
perorangan. Disebutkan bagaimana pun juga, dikatakan bahwa mengendalikan
ambisi pribadi yang bergerak dengan memiliki tujuan. Berdasar penjelasan tersebut,
gimu adalah untuk individual mungkin terpantul dalam hal darurat dan tipisnya
daya tarik. Untuk siapapun, gimu perorangan juga berdiri pada titik pandangan
masyarakat, harus dipahami dan dipaksakan.
Dalam Lebra (1998:98) dikatakan bahwa pemberian barang merupakan perwujudan
terbaik dalam hubungan timbal balik. Pemberian barang ini biasanya disebut chuugen
ataupun seibo. Sementara itu, ketika melakukan pemberian yang dilakukan terhadap
seseorang yang merupakan korban dari sebuah kecelakaan atau seseorang yang sedang
tertimpa bencana, merupakan bantuan yang disebut dengan mimai. Biasanya pemberian
ini ditujukan untuk memberikan bantuan secara ekonomi dan juga menunjukkan rasa
simpati terhadap korban atau seseorang yang sedang terkena musibah tersebut.
Diungkapkan pula menurut Davies dan Osamu (2002:98) bahwa pemberian chuugen
dan seibo mewajibkan adanya pengembalian hadiah yang disebut dengan okaeshi. Di
Jepang, seseorang yang menerima hadiah tanpa melakukan okaeshi akan dianggap
sebagai orang yang menolak kewajiban sosial.
Sementara itu, menurut Sendra (2008:31) dikatakan bahwa pemujaan terhadap
leluhur adalah salah satu bentuk pembayaran hutang yang harus dilakukan oleh
masyarakat Jepang. Salah satu kewajiban yang dimaksud adalah gimu dimana terdapat
kewajiban yang ditujukan untuk leluhur, termasuk orangtua. Hal ini bisa tercermin dari
banyaknya matsuri yang ada di Jepang dan juga adanya tempat-tempat pemujaan
terhadap leluhur seperti ihai.
17
2.3 Konsep Giri dan Gimu
Pengertian giri menurut Minami (1993:151) yaitu huruf gi di sini menandai bahwa
setiap pribadi bertindak mengenai pengertian bagaimana ia harus tampil semestinya.
Oleh karena itu, maka giri menuntun seseorang untuk bisa bersikap dengan baik.
Seperti dikatakan oleh Benedict (1996:134) bahwa giri bisa diartikan juga sebagai
jalan yang baik, aturan yang harus diikuti oleh manusia, dan sesuatu yang dengan paksa
dilakukan oleh seseorang untuk mencegah permintaan maaf terhadap dunia.
Konsep ini mengandung norma baik yang bisa mengatur sikap seseorang dalam
berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat. Giri membuat seseorang melakukan
sesuatu yang sudah seharusnya ia lakukan untuk bisa bersosialisasi. Dalam hal ini, giri
dilakukan untuk sebuah hubungan timbal balik yang sesuai dengan norma yang ada.
Sehingga pada dasarnya giri merupakan kewajiban yang patut dijalankan oleh setiap
manusia untuk bisa hidup dalam masyarakat yang harmonis. Meskipun begitu, konsep
ini memaksa seseorang untuk melakukannya. Giri mengikat setiap individu untuk
melakukan tindakan timbal balik atau berbalaskan walaupun individu tersebut tidak
ingin melakukannya. Hal ini bertujuan supaya seseorang tidak menerima cap buruk dari
mata masyarakat lain yang akan memandang rendah orang yang tidak memiliki giri.
Dikatakan oleh Benedict (1996:135) bahwa seseorang tidak akan melakukan giri
ketika ia bersikap sesuai dengan hati. Dengan kata lain adalah tulus. Maka bisa
disimpulkan bahwa giri dilakukan dengan adanya sebuah keterpaksaan yang mendorong
seseorang untuk melakukannya. Hal ini berdasarkan tujuan agar seseorang bisa diterima
dalam masyarakat dan tidak mendapat sebuah penghinaan karena dianggap tidak
mengerti atau tidak memahami sebuah giri. Begitu juga dikatakan Benedict (1996:134)
giri tidak memberikan orang Barat ide yang berlebih untuk mendeskripsikannya, namun
18
kata ‘segan’ menjadi point di sini. Selebihnya dikatakan pula bahwa melakukan giri
adalah penuh dengan keputusasaan.
Menurut Minami (1989:187) pengertian giri adalah sebagai berikut.
「 義理」ということばは、日本語で、いろいろな意味もっているが、いち
ばんひろくいえば、「義」とは、名人が、自分の「あるべきやう」をわきま
えて行動することであり、「義理」とは、義の道理にほかならない。
Terjemahan:
Kata giri, dalam bahasa Jepang, memiliki banyak arti tetapi jika dikatakan secara
luas, huruf ‘gi’ adalah orang yang ahli yang bertindak berdasarkan kesadaran
tentang diri sendiri bagaimana seharusnya bersikap. Giri adalah tidak ada yang lain
lagi selain melakukan ‘gi’ (kewajiban) tersebut.
Oleh karena itu De Mente (1997:5) mengatakan bahwa melakukan giri dengan sikap
tidak sungguh-sungguh atau tidak serius maka akan disebut giri ippen, secara sungguhan
dinamakan ‘giri yang tidak lengkap’, namun secara kiasan dikatakan sebagai ‘giri tanpa
hati’. Meskipun begitu, giri memiliki nilai yang akan membawa hubungan interpersonal
setiap manusia kepada sebuah kebaikan. Disamping itu, giri juga menuntun sebuah
hubungan antara manusia ke dalam hubungan timbal balik yang sepantasnya dan sesuai
dengan norma yang ada.
Menurut Benedict (1996:136) dinyatakan bahwa giri adalah sulit dan juga cukup
‘segan’ dilakukan, karena itu ‘karena sebuah giri’ tampaknya bagi orang Jepang adalah
cukup dengan sebuah kalimat mengenai hubungan yang menjadi beban. Hal ini
dikarenakan pada dasarnya seseorang yang tidak ingin melakukan sebuah kebaikan atau
tidak ingin memberikan sebuah barang, namun demi memainkan peranan yang baik di
mata masyarakat, ia rela melakukan hal tersebut. Oleh sebab itu, hubungan yang timbul
diantara keduanya kemungkinan telah menjadi sebuah hubungan yang penuh beban.
19
Menurut De Mente (1997:5) dikatakan bahwa sekarang ini giri adalah kewajiban
seseorang untuk memenuhi tanggung jawab sosial. Tidak hanya berupa sebuah
pengorbanan seseorang untuk membantu orang lain, namun juga seringkali dihubungkan
dengan sebuah pembalasan dari pemberian yang telah diberikan oleh orang lain. Jika
seseorang sudah menerima bantuan atau sebuah barang dari orang lain, maka ia akan
berhutang terhadap orang lain dan kemudian berkewajiban membayarkan hutangnya
tersebut atau dengan kata lain menyeimbangkannya dengan beberapa kebaikan atau
pengorbanan. Dengan begitu, seseorang itu telah melakukan kewajiban sosialnya
terhadap orang lain.
Dikatakan oleh Benedict (1996:116) yang menjelaskan bahwa giri adalah hutang
yang harus dibayarkan yang secara matematis sepadan terhadap kebaikan yang telah
diterima dan ada batas waktunya. Dalam hal ini giri dibagi menjadi dua bagian, yaitu
giri kepada dunia dan giri untuk nama seseorang. Giri terhadap dunia berarti kewajiban
membayarkan hutang pada orang lain yang telah memberikan kebaikan atau sebuah
hadiah. Giri kepada dunia meliputi kewajiban terhadap kawan, keluarga yang tidak
begitu akrab meskipun memiliki satu leluhur yang sama, dan orang yang tidak memiliki
hubungan darah. Giri bisa berupa uang, hadiah, kebaikan hati atau kontribusi dalam
pekerjaan. Di sisi lain giri untuk nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga nama
baik seseorang. Semua bentuk giri memiliki satu tujuan yaitu untuk memenuhi
kewajiban yang harus dilakukan seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang
lain.
Menurut Matsumura dalam Davies dan Osamu (2002:95) diungkapkan bahwa giri
mungkin akan lebih bisa dimengerti jika dijabarkan sebagai prinsip moral atau
20
kewajiban, aturan yang harus ditaati dalam hubungan sosial, dan kelakuan baik yang
wajib diikuti atau malah harus dilakukan disamping hanya akan dilakukan.
Seseorang yang berpegang teguh dalam memegang prinsip untuk memenuhi girinya,
akan lebih dihormati oleh orang lain. Orang akan menganggapnya sebagai seseorang
yang melakukan kewajiban yang sudah seharusnya dilakukan dan memenuhinya dengan
baik. Sehingga seseorang yang tidak mengenal atau bahkan tidak melakukan giri akan
seperti diasingkan dari dunianya. Oleh sebab itu, setiap orang akan berusaha memenuhi
giri untuk memenuhi kewajiban akan aturan yang sudah berlaku sejak lama.
Menurut Benedict (1996:142) membayarkan giri dipikirkan sebagai pembayaran
yang benar-benar sepadan. Dimaksudkan bahwa jika seseorang menerima kebaikan atau
sebuah pemberian dari orang lain, ia harus membayar hutangnya terhadap orang lain
tersebut dalam jumlah yang sepadan dengan yang ia terima. Jika ia mengembalikan lebih
atau kurang dari yang sudah ia terima, maka ia tetap saja dianggap tidak menghormati
orang lain yang sudah memberikan kemurahan hati padanya, baik dalam bentuk bantuan
atau barang. Seperti yang diungkapkan Benedict (1996:142) bahwa orang Jepang tabu
dalam mengembalikan pemberian dengan pemberian yang lebih besar. Oleh sebab itu,
orang Jepang akan mengembalikan apa yang sudah ia terima, secara sepadan. Hal ini
untuk mencegah pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa ia tidak menaruh
hormat akan pemberian orang lain tersebut.
Minamoto dalam Davies dan Osamu (2002:96) mengatakan bahwa giri dihormati
sebagai sebuah cara pembayaran sesuatu untuk kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa
seseorang tidak akan mungkin membayarkan sebuah hutangnya apabila ia hanya
mendapat pandangan jelek seperti dianggap tidak menghormati orang yang memberikan
kebaikan hati hanya karena ia membayarkan hutangnya tidak sepadan dengan jumlah
21
yang ia terima. Untuk mencegah pandangan buruk tersebut, orang Jepang memilih
membayarkan giri mereka dalam jumlah yang sesuai dengan yang sudah ia terima. Hal
ini juga terungkap oleh Minamoto dalam Davies dan Osamu (2002:97) yang mengatakan
bahwa jika seseorang menerima sebuah hadiah dari orang lain, ia harus
mengembalikannya dalam harga yang sama. Dengan demikian tujuan harmonisasi dari
sebuah hubungan sosial antar manusia dapat terwujud karena mengikuti norma dan
aturan yang telah menjadi budaya dalam masyarakat Jepang.
Pada intinya, bagaimana pun kondisi sebuah giri tetaplah sesuatu yang menuntut
seseorang untuk bisa memenuhi kewajibannya. Meskipun dikatakan Benedict
(1996:135) bahwa giri tidak menggunakan hati saat melakukannya.
Sementara itu menurut Fukutake (1989:142) mengatakan bahwa disebagian tempat
anak-anak tumbuh dengan memperhatikan apa yang mereka tampilkan dan kewajiban
giri sehingga mengirimkan moral mereka ke dalam sebuah pemikiran mengenai: “jangan
lakukan itu atau orang akan menertawakan kamu, maka kamu akan kehilangan muka”.
Dengan begitu, berarti setiap individu, terlepas usia, memang harus mematuhi giri
supaya mereka bisa diterima masyarakat luas dengan reputasi yang baik. Hal ini
berhubungan dengan giri terhadap nama baik seseorang, dimana setiap individu sudah
memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang kuat untuk menjaga nama baik dirinya
sendiri, terutama orang lain.
Pada akhirnya, mengingat manusia tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang
lain, maka giri pun pada akhirnya yang mengikat manusia untuk bisa memiliki perasaan
saling ketergantungan. Seperti dikatakan oleh Doi (1992:31) bahwa giri mengikat
hubungan antara manusia dalam hubungan ketergantungan. Giri memang membuat
manusia melakukan hubungan timbal balik atau tindakan berbalasan untuk bisa saling
22
menghormati satu sama lain. Oleh karena itu, manusia tidak akan bisa hidup tanpa giri
jika ingin menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang membutuhkan kehadiran
orang lain. Giri juga membuat keadaan dalam sebuah hubungan menjadi seimbang.
Dikarenakan giri membuat sebuah keseimbangan dalam hidup, maka Benedict
(1996:149) mengatakan bahwa dalam giri untuk nama seseorang juga dibutuhkan bahwa
seseorang harus mampu hidup sesuai dengan posisi orang lain dalam kehidupan. Jika
seseorang gagal melakukan giri tersebut, maka ia akan kehilangan harga diri dan tidak
berhak menghargai dirinya sendiri. Sebaliknya, jika seseorang berhasil memenuhi giri,
maka ia telah berhasil memenuhi kewajiban sosialnya di dalam hidup. Maka ia tak perlu
menyandang rasa malu dan bisa menghargai dirinya sendiri. Sama dengan yang telah
diungkapkan oleh Minami (1992:159) bahwa giri merupakan sebuah kehormatan bagi
nama seseorang atau nama baik dalam masyarakat. Oleh sebab itulah giri tidak
diterapkan hanya dalam perorangan, namun juga diterapkan dalam keseluruhan
masyarakat. Sehingga giri juga berarti sebagai janji untuk tidak merusakkan nama baik
seseorang dan tidak membawa malu pada masyarakat.
Dalam menjaga nama baik seseorang, giri juga berperan penting dalam keluarga.
Sehingga bukan saja nama baik atau kemurahan hati dari orang lain saja yang harus
mendapat bayaran, tetapi keluarga juga termasuk di dalamnya. Sebagai seorang individu
yang hidup dalam komunitas kelompok terkecil bernama keluarga, tentu saja membayar
setiap hutang pada anggota keluarga juga merupakan kewajiban dan tanggung jawab
yang harus dipenuhi. Seperti diutarakan Minami (1993:155) bahwa giri juga terdapat
dalam hubungan orangtua dengan anak dalam bentuk tindakan baik dan juga bentuk rasa
sayang anak terhadap balasan dari kasih sayang yang sudah diberikan oleh orangtua.
23
Sementara itu, konsep lain yang juga memiliki kesamaan adalah gimu. Konsep ini
juga merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya.
Hanya saja antara giri dan gimu berada dalam jangka waktu dan keadaan yang berbeda.
Apabila membayarkan giri memiliki batas waktu tertentu, sementara gimu tidak
memiliki batasan waktu dalam membayarkan hutangnya. Seperti dikatakan oleh
Benedict (1996:115) pembayaran hutang tanpa batas waktu disebut sebagai gimu
sehingga dikatakan bahwa pembayaran seseorang tidak mungkin lebih dari sepersepuluhribu dari on ini. Dengan kata lain gimu tidak akan bisa dibayarkan hingga lunas.
Gimu adalah kewajiban pembayaran terhadap on yang pernah diterima, namun
jangka waktunya tidaklah terbatas. Oleh karena itu gimu seperti ini bersifat seumur
hidup. Contohnya saja: gimu terhadap Kaisar atau Negara yang disebut dengan chuu.
Ada juga gimu terhadap orangtua atau leluhur yang sering disebut koo. Sedangkan gimu
terhadap profesi seseorang disebut dengan nimmu. Diantara nilai chuu (kesetiaan) dan
koo (kepatuhan), nilai tertinggi dalam keluarga adalah kepatuhan anak terhadap orangtua,
nenek moyang dan leluhurnya. Kepatuhan atau koo ini memiliki lima unsur yaitu :
hubungan antara bapak-anak, majikan-bawahan, suami-istri, kakak-adik, dan teman
dengan teman (Bellah, 1992:249).
Sementara itu menurut Benedict (1996:134) gimu setidaknya adalah sekelompok
kewajiban yang menjadi utang seseorang kepada lingkaran keluarga terdekatnya.
Sehingga gimu ini dibayar seseorang karena ada ikatan-ikatan khusus yang kuat dan erat
yang telah dimiliki saat ia lahir. Yang lebih ditekankan melalui teori ini adalah dimana
gimu adalah terhadap keluarga kandung.
24
Menurut Tamori (2005:117) dijelaskan bahwa gimu adalah:
「義務」というのは、返しきれるものではなく、時間的にも限りがない義務
のこと。チュー「忠」、コー「孝」、ニンム「任務」などの義務がある、と
いう。忠、考は、天皇や両親に対する義務だ。
Terjemahan:
Yang disebut dengan gimu adalah bukan hanya sekedar pengembalian, karena
dalam gimu masa waktunya pun tidak memiliki batasan. Chuu, koo, ninmu ada
dalam bagian gimu. Chuu dan koo merupakan gimu terhadap kaisar dan orangtua.
Menurut Benedict (1996:116) dijabarkan tentang pengertian gimu yaitu pembayaran
penuh dari kewajiban yang satu ini adalah masih belum cukup dan tidak ada batasan
waktu di dalamnya. Seperti giri yang memiliki pembagian, gimu pun memiliki tiga
bagian. Pertama adalah chuu sebagai kewajiban terhadap Negara. Kedua adalah koo
yang berarti kewajiban kepada orangtua atau leluhur. Ketiga adalah nimmu yang berarti
kewajiban terhadap pekerjaan seseorang. Ketiga gimu tersebut adalah wajib dan
sesungguhnya sekolah di Jepang menyebut ‘gimu pendidikan’ karena tidak ada kata-kata
yang cukup berjasa mengartikan kata ‘wajib’. Sehingga melakukan gimu bisa
disimpulkan sebagai seorang yang berpendidikan. Maka dari itu, kedua gimu tidaklah
memiliki syarat dalam perwujudannya.
Seperti dalam Benedict (1996:123) bahwa adalah gimu untuk menjaga dan mendidik
anak sendiri. Meskipun tidak ada kata-kata yang bisa menjabarkan kewajiban orangtua
terhadap anak, karena semua kewajiban tersebut tertutup oleh koo yang memang
ditujukan untuk orangtua. Dari penjabaran diatas jelas sekali menunjukkan bagaimana
seorang anak seharusnya bersikap terhadap orangtua. Bagaimana ia merawat orangtua
masing-masing di usia yang sudah tua untuk membalas kebaikan dan kasih sayang
25
orangtua mereka sendiri yang telah merawat mereka sebagai anaknya. Ditambah lagi,
bagaimana cara seorang anak membalas jasa orangtua dengan berbakti dan sadar apa
yang harus ia bantu untuk orangtua sendiri, seperti misalkan membantu membersihkan
rumah. Sementara chuu sendiri dijabarkan sebagai sebuah kesetiaan yang diberikan
seorang bawahan terhadap atasan dalam jaman-jaman sejarah.
Pada dasarnya, menurut Benedict (1996:117) dalam membuat jasa seperti ini, Jepang
telah mengadaptasi konsep dari Cina tentang kewajiban terhadap negara dan sikap baik
pada orangtua. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa seorang anak telah melakukan
gimu pada orangtuanya. Dengan kata lain, gimu bisa diartikan sebagai warna lain dalam
sebuah tanggung jawab dan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap individu dalam
peranannya sebagai mahluk sosial yang tidak akan bisa hidup sendiri saja. Sama seperti
giri, gimu pun bertujuan mengatur hubungan dalam manusia. Dengan kata gi yang
mengawali kedua huruf tersebut, berarti memiliki makna sebuah ketetapan hati,
karenanya baik giri ataupun gimu harus dilaksanakan sebagai aturan yang berlaku.
Dikatakan pula oleh Benedict (1996:124) bahwa ‘bekerja untuk koo’ tidak selalu
bertujuan untuk mendapatkan kasih sayang dari orangtua. Ada beberapa hal yang
memang sudah seharusnya dan sewajarnya dilakukan oleh seseorang untuk keluarga
mereka sendiri.
Menurut Benedict (1996:134) dikatakan bahwa gimu tidak pernah didefinisikan
sebagai ‘rasa segan’. Point inilah yang membuat giri dan gimu tampak begitu kontras.
Dinyatakan pula bahwa gimu, seberapa berat diminta terhadap seseorang, paling tidak
adalah sebuah kewajiban kelompok yang harus ia bayarkan diantara kelompok terdekat
dari keluarga intim dan terhadap aturan dimana didirikan sebagai simbol untuk negara,
jalan hidup dan juga sikap patriotismenya.
26
Sementara itu menurut Yabuuchi (2004:268) disebutkan pula bahwa pembayaran atas
kewajiban ini masih tidak lebih dari sebelah pihak dan tidak ada batasan waktunya.
Pada intinya, seseorang yang membayarkan giri harus membayarkan gimu seperti ia
membayar giri tersebut. Keduanya adalah kewajiban dan aturan yang membuat
seseorang bersikap berbalasan atau timbal balik demi keharmonisan hidup. Hanya saja
keduanya dikondisikan berbeda dalam penerapannya.
2.4 Teori Penokohan
Tokoh merupakan unsur penting dalam setiap karya fiksi. Seperti dikatakan Unsriana
dan Vitriani (2006:109) bahwa karakter adalah pemeranan, pelukisan watak. Sebuah
karakter akan mampu membangkitkan semangat penikmat karya fiksi karena tokoh
merupakan pusat dari sebuah cerita. Biasanya orang akan lebih memperhatikan seorang
karakter atau tokoh dibanding plot ceritanya. Tokoh yang memiliki karakter kuat akan
mampu membawa suasana yang lebih mendalam. Bisa dikatakan, khususnya dalam
drama, bahwa tokoh adalah penentu dari sebuah drama. Sebuah tokoh yang mampu
menempatkan karakternya dengan baik, akan membuat penonton menjadi terpikat dan
jatuh cinta terhadap drama tersebut.
Seperti dikatakan oleh Jones melalui Nurgiyanto (2002:165) bahwa penokohan
adalah pelukisan yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Sehingga jika tokoh yang ada dalam sebuah cerita tidak jelas, maka drama tersebut
kemungkinan besar tidak akan bisa dinikmati masyarakat. Hal ini juga menunjukkan
betapa besarnya peranan sebuah tokoh dalam sebuah drama. Unsur tokoh merupakan
penting dalam hal menghidupkan sebuah cerita, menomorduakan unsur-unsur lainnya.
27
Menurut Nurgiyanto (2002:172) bahwa penokohan dan pemplotan merupakan dua
fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menggantungkan satu sama lain. Dengan
kata lain, plot memang merupakan kerangka-kerangka yang membangun sebuah cerita
sementara tokoh merupakan pewarna dalam sebuah drama. Pada hakikatnya, orang akan
lebih tertarik pada ‘warna’ ini dibanding dengan kerangka-kerangka yang menyusunnya.
Itulah mengapa tokoh memiliki peranan penting sebagai pewarna agar cerita dalam
sebuah drama tampak lebih hidup. Plot juga merupakan penjelasan bagaimana sebuah
tokoh itu bisa terbentuk. Oleh karena itu keduanya merupakan kesinambungan yang
sangat erat kaitannya dalam membangun sebuah cerita.
Nurgiyanto (2002:173) juga mengungkapkan mengenai tokoh dan tema dimana
sebagai unsur utama sebuah karya fiksi, tokoh dan tema juga saling berhubungan erat.
Apabila sebuah tokoh dimasukkan ke dalam sebuah tema tertentu yang tidak relevan,
maka tokoh itu tidak akan bisa disampaikan kepada penonton. Jika dipaksakan, maka
akan terjadi keanehan dalam sebuah cerita yang membuat kisahnya terasa begitu janggal
dan tidak bisa diterima masyarakat. Oleh sebab itu, biasanya penulis akan memilih
karakter-karakter yang paling sesuai dengan temanya.
Dalam pembagiannya, tokoh memiliki banyak bagiannya, namun pada dasarnya
setiap drama akan memiliki tokoh utama, tokoh pembantu, tokoh antagonis dan tokoh
protagonis. Tokoh-tokoh ini yang akan saling beradu secara emosional sehingga
menimbulkan perasaan ikut terhanyut ke dalamnya, yang membuktikan bahwa tokoh itu
terasa begitu relevan dengan penonton.
28
2.5 Teknik Montase
Menurut Humprey (2005:150) dijelaskan bahwa teknik montase adalah salah satu
teknik mendasar dalam sinema. Teknik montase itu sendiri berasal dari perfilman, yang
memiliki arti memotong-motong, memilah-milah, serta menyambung-nyambung gambar
sehingga menjadi kesatuan yang utuh.
Teknik montase di dalam bidang perfilman digunakan untuk memperlihatkan antar
hubungan atau asosiasi gagasan. Sehingga pada dasarnya, teknik montase mengambil
sebuah kegiatan yang terdapat pada sebuah film, menggabung-gabungkannya dan
membentuk kesatuan yang utuh sehingga mampu dimengerti oleh orang umum.
Teknik montase juga seringkali digunakan untuk menciptakan suasana. Teknik ini
juga digunakan dalam penyajian ekacakap karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul.
Teknik montase pun bisa menyajikan kesibukan latar seperti hiruk pikuk kota atau suatu
kekalutan.
29
Download